Anda di halaman 1dari 16

PERKEMBANGAN PABRIK GULA MERITJAN SEBAGAI SISTEM

PEREKONOMIAN DI KOTA KEDIRI TAHUN 1883 – 1900

Adi Nugraha1

Perekonomian adalah sistem yang digunakan oleh


suatu Negara untuk mengalokasikan sumber daya yang
dimilikinya baik kepada individu maupun organisasi
dinegara tersebut. Indonesia merupakan negara agraris
yang dapat dimanfaatkan secara keberlanjutan terutama
gula sebagai kebutuhan utama masyarakat. Sistem
perekonomian Hindia Belanda berpengaruh dengan hasil
bumi yang didapatkan dari wilayah agraris di jawa. Gula
mempunyai nilai ekonomi tinggi dalam pemanfaatan
sumber daya yang akan dikembangkan secara
keberlanjutan. Pabrik Gula meritjan mempunyai peran
penting dalam meningkatkan perekonomian bagi
pemerintah Hindia Belanda terutama di kota Kediri.
Namun pemerintahan Hindia Belanda memonopoli gula
untuk diekspor ke negara asalnya sehingga rakyat
pribumi tidak dapat menikmati gula secara keseluruhan.

Kata-kata kunci: Pabrik Gula Meritjan, Sistem


Perekonomian, kota Kediri.

Di setiap daerah mempunyai tanaman sebagai komoditas


dalam membangun ekonomi suatu pemerintahan untuk
pemanfaatan bagi pemerintahan Hindia Belanda yang diproduksi
hingga menjadi barang jadi. Salah satu bahan komoditas utama
dalam meningkatkan perekonomian adalah Tebu yang merupakan
salah satu tanaman perkebunan ynag mempunyai peranan dan
posisi penting dalam sektor industri pengolahan di Indonesia.
Tanaman tebu merupakan bahan baku untuk industri gula, dan
tidak hanya menghasilkan gula untuk masyarakat, tetapi juga gula
sebagai bahan baku industri makanan-makanan serta produk-
produk lain, seperti energi, serta blotong, dan lain-lain. Tanaman
tebu masih memerlukan serangkaian proses perubahan hingga
menghasilkan gula. Atas pertimbangan ini, Pemerintahan Kolonial
memerlukan perngakat industri pengolahan yang mampu
memenuhi kebutuhan dalam jumlah besar. Faizin, 2016:25-28).

1
Mahasiswa Pendidikan Sejarah 2016 Offiering A, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri
Malang
Pengembangan tanaman tebu di Indonesia, tercatat mulai
dilakukan sejak tahun 400 masehi, ketika penduduk jawa
mengusahakannya sebagai makan tebu kunyah. Namun,
keterampilan pengolahan tebu, sesungguhnya baru dilakukan pada
abad ke XV, oleh imigran Cina yang datang di Jawa.
Gula merupakan salah satu komoditas yang tinggi nilai
ekonomisnya, maka diperlukan sistem pengolahan tersendiri dalam
pengolahannya yang berbeda dengan komoditas lain. Peran pabrik
gula sangat menentukan dalam rangka pencapaian peningkatan
rendemen (hasil panen tebu) serta memberdayakan petani tebu agar
tercipta sinergitas antara pabrik gula, petani tebu dan pemerintah,
termasuk hubungan harmonis dan saling menguntungkan dengan
pengsaha gula, pedagang, dan para pemangku kepentingan.
Pengolahan dan penanaman tebu tersebut dilakukan pada tempat
terbuka, dengan system penanaman menggunakan sistem ladang
(tebu tagalan). Meskipun pengusahaan tanaman tebu telah
berlangsung jauh sebelum masuknya kolonialisme barat, namun
usaha ini masih dalam jumlah terbatas dan belum menggunakan
modal dalam skala besar. Upaya untuk menjadikan tanaman tebu
sebagai produk yang lebih bermanfaat, dilakukan pada tahun 1637
sejak produksi gula mulai dilakukan dengan persyaratan
perusahaan besar. Ditambah dengan tingkat kebutuhan yang
semakin besar membuat VOC mulai mengusahakan pendirian
pabrik demi meraup untung yang besar. Sebagian besar dari pabrik
tersebut, masih menggunakan tenaga air dan dikelola oleh orang
cina.
Ini dikarenakan, orang cina adalah golongan masyarakat
yang mampu mengolah tebu menjadi gula, sedangkan masyarakat
pribumi belum bisa diandalkan selain hanya berperan sebagai
penyedia bahan baku, pengangkut, dan buruh. Mengingat tujuan
utama yang dikejar VOC adalah keuntungan yang diperoleh dari
monopoli perdagangan, maka diterapkan sistem pemerintahan tak
langsung, dengan hanya menekankan kepada penyerahan surplus
hasil bumi dalam bentuk sistem penyerahan wajib dan kontingensi.
Sistem penyerahan wajib berupa penyerahan barang yang berubah-
ubah jumlahnya dan dibeli dengan harga tertentu. Sedangkan
kontingensi, berupa penyerahan barang-barang yang diwajibkan
dalam jumlah yang ditetapkan, dengan mendapat pembayaran
kembali dengan jumlah yang sedikit atau dibayar sama sekali(.
Selain penyerahan wajib, VOC juga melakukan penyelenggaran
persewaan desa dan tanah partikelir (Particuliere Landerijen).
Praktek persewaan desa biasanya dilakukan dengan menyerahkan
kepada orang cina. Penjualan tanah partikelir semacam ini terjadi
untuk menutup kebutuhan keuangan VOC yang mendesak. Pada
akhir abad ke XVIII, praktek penyewaan tanah terjadi secara besar-
besaran, dan berlanjut hingga pemerintahan beralih kepada
kekuasaan pemerintahan kolonial hindia belanda. (Faizin,
2016:20).
Seperti juga halnya dengan padi, tebu memerlukan tanah
yang diirigasi. Dengan demikian, dapat dimengerti jika kemudian
tanah sawah diharuskan dipergunakan untuk penanaman tebu.
Para pemilik sawah diharuskan menyerahkan sebagian dari sawah-
sawah untuk penanaman tebu menurut suatu skema rotasi
tertentu dengan penanaman padi. Untuk tiap desa ditentukan
bagian dari luas tanah yang luas diserahkan untuk penanaman
tebu. Selain itu, penduduk desa juga diharuskan melakukan
pekerjaan wajib, seperti menanam, memotong, mengangkut tebu ke
pabrik-pabrik gula dan bekerja di pabrik-pabrik gula itu sendiri.
Industri gula, tanaman tebu dan hasil ikutannya mempunyai
nilai ekonomi yang sangat tinggi dan mampu menyerap tenaga kerja
begitu besar. Pengembangan tanaman tebu serta efisiensi pabrik
gula yang kesinambungan menjadi kebutuhan utama mengingat
peluang untuk mengembangkan industri gula masih terbuka lebar.
Hanya saja kecurigaan antara petani tebu dengan pabrik gula
mengenai penetapan rendemen tebu masih menjadi permasalahan
sensitif di lapangan, dan rentan potensi konflik. Petani tebu hingga
kini masih diliputi kondisi ketidaksejahteraan, ketidakadilan,
ketidakpercayaan, dan ketidakberdayaan di tengah-tengah harga
gula dan kebutuhan sangat tinggi.
Pemerintah Hindia Belanda mendapat keuntungan yang
besar atas keberadaan industri pabrik gula ini. Kalau gula di jawa
ini merupakan tulang punggung ekonomi kolonial, baik bagi
penghasil negara maupun pengusaha besar swasta, maka ia
merupakan beban bagi rakyat petani daerah gula. Pekerjaan-
pekerjaan wajib ini merupakan beban berat bagi penduduk desa.
Kadang-kadang seluruh penduduk desa dikerahkan bekerja untuk
kepentingan pemerintah kolonial maupun untuk kepentingan
pejabat-pejabat dan kepala-kepala sendiri. Hal yang terakhir ini
terutama dilakukan dalam bentuk pekerjaan rodi, baik untuk
pemerintah kolonial maupun untuk kepala-kepala melakukan
pekerjaan wajib, seperti menanam, memotong, mengangkutan tebu
ke pabrik-pabrik gula dan bekerja di pabrik-pabrik itu sendiri.
(Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto,
2011:363).
Mengenai permintaan tenaga kerja untuk pengolahan tebu
dalam jumlah besar ini dikarenakan sifat tanaman tebu sebagai
musiman. Sebagai tanaman musiman seperti halnya padi, maka
tebu memerlukan tanah yang mempunyai irirgasi, maka selama
penerapan Sistem tanam Paksa ini, lahan-lahan sawa penduduk
banyak diambil alih untuk penanaman tebu. Selain itu, penduduk
masih dibebankan pekerjaan wajib untuk menanam, memotong,
menganngku ke parik dan bekerja pada pabrik.(Faizin, 2016:30).
Menurut seorang sarjana antrologi, C. Geertz, gula mengakibatkan
proses involusi pertanian atau terpecahnya tanah persawahan yang
makin kecil. Suatu usaha, biasanya menjadi makin lama makin
besar (evolusi). Perkebunan atau pabrik gula, karena untungnya
meningkat, menyebabkan terbentuknya modal. Dalam hal involusi
pertanian sawah sebaliknya, yang terjadi adalah mundurnya ke
belakang, usaha makin kecil, seperti kita lihat pada struktur
pertanian sawah di Jawa sekarang.
Di kota Kediri sendiri terdapat 3 pabrik gula yang sampai
sekarang masih beroperasi, yang pertama adalah pabrik gula
meritjan, yang kedua adalah pabrik gula pesantren dan yang ketiga
adalah pabrik gula ngadirejo. Pabrik gula yang masih beroperasi di
kota Kediri ini kota Kediri menjadi salah satu kota yang penting baik
sejak zaman hindia belanda ataupun sampai zaman Indonesia
merdeka sekarang ini. Wilayah Kediri menjadi penting dikarenakan
disini menjadi salah satu kota produksi bahan komoditas yang
cuku bernilai yaitu gula. Gula sudah menjadi barang primadona
sejak aman hinda belanda. Oleh karena itu dibangunlah pabrik
industri gula dan perkebunan-perkebunan gla di hindia belanda
oleh orang-orang belanda dan juga pemerintah hindia Belanda di
waktu itu. Munculnya industri dan pabrik gula ini menyebabkan
adanya penghisaan para pekerja pribumi untuk bekerja di pabrik-
pabrik ini. Untuk menjalankan produksi gula di berbagai pabrik
gula yang ada. Hal tersebut juga menyebabkan adanya urbanisasi
di wilayah-wilayah yang terdapat banyak industri gula. Tidak
terkecuali di kota Kediri.
Dengan adanya pendirian pabrik tersebut juga menyebabkan
beberapa masalah sosial muncul di kota Kediri. Pembangunan
industri di masa pemerintahan Hindia belanda merupakan salah
satu sumber konflik di tingkat lokal, terutama di daerah-daerah
yang terjadi ekspolitasi untuk kepentingan pemerintah. Pada saat
itu memang hasil dan keuntungan dari pabrik gula di ambil semua
oleh bangsa belanda. Oleh karena itu, konflik perkebunan, dan
konflik kehutanan serta industri pabrik gula, patut ditangkap
sebagai suatu gejala pertarungan pemodal besar dengan
masyarakat kebanyakan. Masyarakat pada umumnya adalah
merupakan suatu kelompok yang berbasis buruh dan pertanian,
dan sebagian masyarakat bekerja sebagai buruh dalm proses
perkebunan dan industrialisasi. Indikasi ini semakin menguatkan
asumsi bahwa industri besar telah membawa dampak sosial baru
entah itu proses marginalisasi secara perlahan-lahan, eksploitasi
sumber-sumber produksi, maupun bentuk-bentuk penindasan
sosial politik dan budaya lainya. Gula yang dihasilkan oleh tanaman
tebu adalah salah satu produk olahan yang menjadi salah satu
andalan pemerintahan kolonial hindia belanda. Kebutuhan akan
gula yang semakin meningkatkan membuat lahan perkebunan tebu
yang semula berada di sekitar Batavia direlokasi ke sejumlah wilyah
yang berada dipantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Relokasi
ini diikuti pula oleh pendirian pabrik-pabrik gula baru di wilayah
yang menjadi tujuan relokasi. Wilayah Jawa Timur khususnya
diplih sebagai pengembangan perkebunan tebu karena dukungan
ilklim yang relative sesuai dan tersedianya tenaga kerja yang
melimpah. Perkembangan yang positif akan permintaan terhadap
gula, menyebabkan industri pabrik gula kian berpengaruh sebagai
cara efektif untuk meraup untung dalam jumalah yang besar bagi
Pemerintahan Kolonial, terlebih setelah deiterapkannya
Cultuurstelsel (Tanam Paksa) yang dilanjutkan dengan swastanisasi
perkebunan pada akhir abad XIX. Sejumlah besar pabrik gula selain
didirikan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda, juga didirikan oleh
pihak swasta asing untuk terus meraup pundi-pundi emas hijau
komoditas perkebunan ini.
Jenis tanah di wilayah Kota Kediri adalah alluvial coklat
kelabu dan mediterian. Sesuai dengan karakteristik jenis tanah
tersebut, yaitu tanah alluvial, memiliki sifat di antaranya memiliki
daya adsorpsi tinggi, permeabilitas rendah, dan kepekaan erosinya
besar. Di samping itu tanah alluvial banyak dijumpai dikawasan
datar (kemiringan rendah), jadi erodibilitas tinggi tidak terlalu
berpengaruh pada kemungkian terjadi erosi. Namun karena
memilik permeabilitas rendah, maka pembengunan di atas alluvial
memerlukan perencanaan sistem drainase yang cermat agar tidak
terjadi genangan yang dapat merugikan. Sedangkan untuk berjenis
tanah mediteran sesuai untuk kawasan terbangun, namun harus
mencermati erodibilitasnya yang besar. Jika berada di wilayah yang
memiliki sumber air cukup, tanah seuai untuk pertanian padi,
palawija tebu tembakau, dan kapas. Kegiatan industri Pabrik Gula
Meritjan yang berada Kelurahan mrican, berada di bagian utara
Kecamatan Mojoroto. Kebanyakan kendaraan berat yang beroperasi
seperti truk pengangkut tebu dan sejenisnya. (Faizin, 2016:44-45).

KOTA KEDIRI
Kota Kediri adalah sebuah kota di propinsi Jawa Timur yang
berada di kabupaten Kediri. Kota Kediri memiliki luas 63,40 km²
terbelah oleh sungai Brantas yang membujur dari selatan ke utara
sepanjang 7 kilometer.Secara administratif, Kota Kediri dibagi 3
kecamatan yaitu kecamatan Mojoroto, kecamatan Kota, kecamatan
Pesantren. Kota Kediri berada pada jalur transportasi regional yang
menghubungkan Kota Surabaya dengan Tulungagung, Nganjuk
dan Malang.(Eastjava.2018). kota Kediri merupakan pusat dari
pemerintahan yang dimana kantor-kantor pemerintahan banyak
terdapat disini. Kediri sudah muncul jauh sebelum masa kolonial
datang yaitu sejak adanya kerajaan pangjalu, Dhaha atau Kadiri.
Pada tahun 1906, berdasarkan Staasblad no. 148 tertanggal
1 maret 1906, mulai berlaku tanggal 1 April 1906 dibentuk
Gemeente Kediri sebagai tempat kedudukan Resident Kediri, sifat
pemerintahan otonom terbatas dan sudah mempunyai Gemeente
Road sebanyak 13 orang, yang terdiri atas 8 orang golongan Eropa
dan yang disamakan, 4 orang Pribumi (Inlander) dan 1 orang
Bangsa Timur Asing, dan berdasarkan Stbl No. 173 tertanggal 13
Maret 1906 ditettapkan anggaran keuangan sebesar f. 15.240
dalam satu tahun, pada tanggal 1 Nopember 1928 berdasarkan Stbl
No. 498 menjadi Zelfstanding Gemeenteschap mulai berlaku tanggal
1 Januari 1928 (menjadi otonom penuh).(Eastjava.2018).
Secara geografis, Kota Kediri terletakan di antara 111,05
derajat-112,03 derajat Bujur Timur dan 7,45 derajat-7,55 derajat
Lintang Selatan dengan luas 63,404 Km2. Dari aspek topografis,
Kota Kediri terletak pada ketinggian rata-rata 67 m diatas
permukaaan laut, dengan tingkat kemiringan 0-40%. Struktur
wilayah Kota Kediri terbelah menjadi 2 bagian oleh sungai berantas,
yaitu sebelah timur dan barat sungai. Wilayah dataran rendah
terletak di bagian timur sungai, meliputi Kec. Kota dan Kec.
Pesantren, sedangkan dataran tinggi terletak pada bagian barat
sungai yaitu Kec. Mojoroto yang mana di bagaian barat sungai ini
merupakan lahan kurang subur yang sebagian masuk kawasan
lereng Gunung Klotok (472 m) dan Gunung Maskumambang
(300m).(Faizin, 2016:21-22). Selain itu, kota Kediri terdiri atas 3
kecamatan yaitu pertama, Kecamatan Kota, dengan luas wilayah
14,900 Km2 terdiri dari 17 Kelurahan. Kedua, Kecamatan
Pesantren, dengan luas wilayah 23,903 Km2 tediri dari 15
Kelurahan. Ketiga, Kecamatan Mojoroto, dengan luas wilayah
24,601 Km2 tediri dari 14 Kelurahan.(Kedirikota.2018).
Di Kediri juga masih terdapat sebuah struktur tata kota
peninggalan jaman kerajaan yang dimana disana adal alun-alun
kota lalu di depannya ada bangunan masjid yang merupakan
masjid agung Kediri lalu di sebelahnya ada kantor pemerintahan
dan sebelahnya ada pasar. Ini memebuktikan bahwa kota Kediri
adalah warisan budaya dari para leluhurnya. Yang masih
menerapkan struktur tata kota tradisional. Walaupun dalam
perkembangan selanjutnya kota Kediri juga mendapat pengaruh
budaya barat yang dibawa oleh bangsa Belanda. Dengan adanya
bangunan-bangunan colonial seperti adanya gereja merah lalu
pendirian industri pabrik dan bangunan infrastruktur masyarakat
di sekitar kota Kediri yang tinggal disana. (Faizin, 2016:44-46).
Tetapi dalam perkembangannya kota Kediri mendapat
banyak pengaruh dari bangsa Eropa yang datang. Serta pengaruh
dari bangsa-bangsa lain yang datang dan tinggal di kota Kediri
seperti orang-orang China. Dan hal itu mempengaruhi kondisi
sosial dan ekonomi di Kediri. Yang pada akhirnya Kediri menjadi
kota yang cukup maju dengan pertumbuhan ekonomi industri dan
perkebunannya yang pesat. Dimana pertumbuhan kota-kota yang
begitu cepat, disertai berbagai kepentingan seperti pendirian
pabrik-pabrik baru, perawatan jalur kereta api dan trem, serta
begitu derasnya modal asing yang masuk membutuhkan
penyelesaian yang cepat pula.(Faizin, 2016:46).

PABRIK GULA MERITJAN


Pabrik Gula Meritjan didirikan pada tahun 1883 oleh
perusahaan Belanda yaitu Nederland indiche landbouw
Maatschappij (NILM) yang berpusat di Amsterdam akan tetapi untuk
keterangan lebih lengkap tidak ada keterangan tentang tanggal dan
bulan pendirian Pabrik Gula ini. Pabrik gula Meritjan adalah pabrik
gula yang berada di daerah yang sangat strategis, hal ini
dikarenakan pabrik gula Meritjan yang berlokasi didekat daerah
Mojoroto yang merupakan wilayah kota Kediri. Lokasi yang
berdekatan dengan kota ini yang memudahkan administrasi dengan
pemerintahan Gemente Kediri. Selain lokasi yang berdekatan
dengan pusat kota, pabrik gulu Meritjan berada di dekat aliran
sungai Brantas. Lokasi yang strategis dengan aliran sungai
memudahkan proses produksi yang sangat membutuhkan air
dengan jumlah besar menjadikan sebauah keuntungan tersendiri
bagi Pabrik Gula Meritjan. (Faizin, 2016:59-60).
Lokasi Pabrik Gula Meritjan, dahulu pada masa kolonial
Belanda alamat atau lokasi suatu tempat masih sederhana. Hal ini
disebakan oleh masih sedikitnya alamat dan tempat-tempat
strategis di Indonesia dan nama jalan juga masih belum sebanyak
sekarang. Pada masa colonial Belanda alamat Pabrik Gula Meritjan
yaitu, alamat pos Kediri, alamat telegram Kediri, alamat Barang
angkutan/Kargo Halte Soesoehan SS. O/l dan alamt Administrasi
Kediri, pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan beberapa
factor ekonomis yang ada, guna menunjang kelangsungan hidup
perusahaan tersebut. Sedangkan untuk sekarang Pabrik Gula
Meritjan berlokasi atau beralamat kurnga lebih 5 KM sebelah utara
kota Kediri dan terletak dijlalan merbabu RT05,RW07,Kelurahan
Dermo, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri. Pemilihan lokasi
berdasarkan atas bahan baku, tenaga kerja, transportasi yang
memadai.(Faizin, 2016:63-64). Perkembangan pabrik gula di Kediri
dipengaruhi oleh keadaan perekonomian serta pola birokrasi
pemerintah terhadap industri gula. Awalnya sebagian besar pabrik
gula bekerja sama dengan pemerintah sebagai kontraktor dalam
pengolahan tebu menjadi gula, sehingga tidak terjun langsung
dalam masalah penanaman tebu yang digunakan sebagai bahan
baku. Perubahan mulai terjadi ketika kontrak antara pabrik gula
dengan pemerintah berakhir.

SISTEM PEREKONOMIAN
Pendirian pabrik gula di suatu daerah menjadi penggerak
roda perekonomian. Adanya pendirian pabrik gula dapat membuka
lapangan kerja, perbaikan infrastruktur sekitar pabrik, dan
pemasukan atau pendapatan pemerintah. Peningkatan jumlah
pabrik bertujuan untuk meningkatkan jumlah produksi. Pabrik-
pabrik gula di Jawa berguna meningkatkan pemasukan bagi
Belanda. Perkembangan pabrik gula merupakan imbas dari
permintaan gula di pasaran Eropa yang terus meningkat dan tidak
mungkin terlewatkan untuk memperoleh keuntungan melimpah.
Alasan pemilihan Jawa sebagai tempat pendirian pabrikpabrik gula
pada masa Hindia-Belanda adalah terdapatnya tenaga kerja yang
murah dan biaya produksi yang rendah. Selain itu, pola kerja pada
pabrik-pabrik gula merupakan gabungan kerja agrikultur
penanaman tanaman ekspor (tebu) dengan kerja manufaktur .
Dengan demikian, pemilihan lokasi merupakan salah satu bagian
yang sangat penting dalam pendirian pabrik gula. Bangsa Eropa
menikmati keuntungannya dan masyarakat pribumi hanya menjadi
buruh (pekerja) di perkebunan maupun pabrik yang didirikan oleh
pemodal asing. Hal ini disebabkan Belanda sebagai pemegang
modal, pengatur penjualan dan upah, pengontrol output, dan
mendikte proses produksi.(Supomo, 1976).
Sebelum tahun 1830, pengolahan gula masih menggunakan
cara tradisional, dengan menggunakan tenaga lembu untuk
menjalankan peralatan mesin yang terbuat dari kayu. Pada masa
Tanam Paksa, tanaman tebu mengalami perkembangan produksi
secara pesat. Untuk mendukung usaha ini, Pemerintahan Kolonial
mulai mengimpor mesin dari Eropa untuk penggilingan gula yang
memakai tenaga uap. (Faizin, 2016:29). Produksi gula pada masa
pemerintahan Hindia-Belanda cukup terkenal di dunia
Internasional, terutama di Jawa. Jawa merupakan eksportir gula
nomor dua terbesar setelah Kuba dalam pasaran dunia. Disisi lain,
pasca 1884 ketika kontrak dengan pemerintah terputus
menyebabkan pendapatan kontaktor (pabrik gula) terhenti karena
ketidakpastian beroperasi dan menimbulkan klaim lain yang
dikonservasi. Selanjutnya kepemilikan pribadi dengan penyertaan
modal menjadi syarat untuk mendapatkan kredit dan dikonservasi
swasta, sehingga tercipta perusahaan saham gabungan yang
menguatkan secara finansial.(Philip Levert, 1934:99). Keuntungan
saham selama 1900-an rata-rata 28,8% per tahun. Volume gula
merupakan barang yang paling banyak terangkut oleh kereta
maupun kapal dan dimuat serta dibongkar di pelabuhan-pelabuhan
Jawa.(Alec Gordon, 1982:32).
Permintaaan akan tenaga bebas baru timbul dengan adanya
pendirian pabrik-pabrik tempat memproses hasil tanaman,
terutama tebu. Pada awalanya industri gula mengalami banyak
kesulitan antara lain soal transporatsi yang terasa amat membebani
rakyat bila diharuskan memikulnya. Kalau dengan tenaga gugur-
gunung jalan-jalan dibangun, penanaman Tanam Paksa sememtara
itu wajis diusahakan rakyat, maka tidak mungkin lagi merek
dituntut menyelenggarakan pengangkutan dan pekerjaan
memproses di pabrik. Gubernemen terpaksa menaikan harga beli
gula agar pemilik pabrik bersedia mengusahakan sendiri
pengangkutan lewat pasaran bebas. Di sini mulai terbuka lapangan
pekerjaan bebas bagi rakyat, antara lain dengan menyewakan
pedati, bekerja sebagai buruh di pabrik, dan sebagainya.
Pembayaran plantloon (upah tanam) sehabis menyarahkan hasil
tanaman wajib dapat dipandang sebagai penukaran tenaga dengan
uang, suatu langka ke arah pembebasan tenaga dari ikatan
tradisional.
Pembayaran plantloon dianggap lebih sesuai daripada
pembebasan pajak tanah karena yang terakhi ini hanya akan
menguntungkan pemilik tanah luas atau yang kaya saja. Secara
lambat laun diadakan pula pekerjaan perseorangan di perkebunan,
dimana seseorang dapat mengerjakan sebidang tanah sendiri
dengan kebebasan mengaturnya sendiri pula. Seperti telah
diuraikan di atas perbagai pekerjaan dilingkungan pabrik mulai
dilaksanakan dengan tenaga pekerja bebas dengan memberi upah.
Pada tahun 1835 pembayaran plantloon dalam tanaman tebu setiap
tahun. Dengan demikian jelaslah pula bahwa Sistem Tanam Paksa
telah menciptakan lalu lintas uang, suatu faktor ekonomi yang
dapat mempercepat timbulnya ekonomi uang di pedalaman. Beban
yang dipikul oleh pemilik tanah dalam Sistem Tanam Paksa menjadi
sangat berat sehingga ada kecenderungan untuk menyerahkan
pengusahaan tanah kepada desa atau warganya yang lain.
Timbullah pula banyak tanah komunal dalam proses itu. Banyak
hak-hak atas tanah jatuh ke tangan penghuni baru. Di daerah
pabrik gula timbul penggeseran milik tanah, sebab sebagai
pengganti tanah yang dipakai untuk tanaman tebu di dekat pabrik,
tanah yang jauh dan sebnarnya masuk hak-milik desa lain
diberikan kepada pemilik tanah dari desa yang dekat pabrik itu.
Dengan penyelenggaraan Sistem Tanam Paksa itu maka
nyatalah usurpati kekuasaan kolonial sampai dipedesaan dan
merusak hak-milik tanah menurut hukum adat setempat. Karena
tekanan dari atas maka milik kurang berarti, dan tergeser menjadi
hak-guna. Maka dikatakan pula bahwa Sistem Tanam Paksa
memperkuat sistem feodal di Jawa. Dampak Sistem Tanam Paksa
pada masyarakat Indonesia yang sangat berpengaruh untuk jangka
panjang pada struktur sosial-ekomnominya ialah bahwa Sistem
Tanam Paksa hanya merupakan suatu intensifikasi system
produksi pre kapitalis, sehingga tidak mampu menciptakan
kekuatan-kekuatan ekonomi yang otokhton yang melahirkan
pertumbuhan ekonomi dengan perkembangan kapitalismenya.
Sistem tanam Paksa menciptakan usaha pertanian yang padat
karya pada pihak pribumi serta usaha industri pertanian yang
padat modal pada pengusahan Eropa atau asing. Akibatnya ialah
bahwa timbul dualisme dalam ekonomi, suatu gejala yang menjadi
ciri khas ekonomi Indonesia dan yang merupakan sistem yang
konsisten dengan politik kolonial Belanda. Tanpa ekonomi dualistis
ini masyarakat kolonial yang jelas membuat diskriminasi antara
golongan penguasa-penjajah dan yang diperintah-dijajah, tidak
dapat dipertahankan eksistensinya dengan segala hak-hak
istimewanya berdasarkan dominasi politiknya. Sektor agraris-
pribumi dalam penyelenggaraan Sistem Tanam Paksa tidak hanya
tidak mengalami perubahan cara produksi bahkan dimantapkan
antara lain dengan memperkuat sistem produksi feodal pada satu
pihak dan pada pihak lain membuat ekosistem agraris yang kuat
dan karenanya membangun pola agraris yang lestari pengaruhnya
sampai sekarang.(Sartono Kartodirdjo, 1988:317-320).
Tanah yang disewa melalui praktek penjualan tanah partkelir
ini lantas digunakan untuk kepentingan penanaman dan
penggilingan tebu, terutama terjadi daerah jawa, jepara, dan
Batavia. Untuk usaha ini, para penduduk yang tanahnya disewa,
diwajibkan untuk melakukan pekerjaan penanaman, pemotongan,
pengangkutan hingga penggilingan tebu menjadi gula. Para
penduduk ini seringkali dibayar dengan jumlah air gula hasil
gilingan yang merak hasilkan, namun seringkali pembayaran ini
diberikan dalam jumlah yang kecil, karena sebelumnya telah
memilik uatang dengan tuan tanah yang menyewa desa mereka.
Kebijakan ekonomi yang berubah setelah di berlakukan
Sistem Tanam Paksa di hindia belanda ini terjadi pada awal di
berlakukannya kuota pajak dan sumbangan paksa dihapuskan
tahun 1813 dengan berlakukannya Sistem Pajak Bumi dan tahun
1830 dan seterusnya dilaksanakan Sistem Tanam Paksa. Setelah
diberlakukannya Tanam Paksa oleh gubernur Jendral Johannes
Van Den Bosch. Sistem ini diterapkan pada lahan sawah yang
dipilih sebagai lahan utama tebu di jawa adalah kondisi tanahnya
yang subur, terjaminnya irigasi dan cukup tersedianya tenaga kerja.
Digunakan sistem Reynoso bertujuan untuk mengubah sistem
drainase lahan sawah yang buruk. Sebab tebu memerlukan tempat
tumbuh dengan drainase yang baik. Perusahaan tanaman tebu di
lahan sawah ini hanya dijumpai di Indonesia, khususnya jawa dan
tidak di pakai di Negara manapun. Sistem ini terbukti merupakan
cara budidaya tebu yang terbaik untuk lahan sawah. (Faizin,
2016:28). Di daerah-daerah penanaman gula di jawa, luas tanah
sawah seluruhnya berjumlah sekitar 483.000 bahu, dimana kurang
lebih 40.500 bahu dipergunakan untuk penanaman gula. Jadi,
tanah sawah yang disediakan untuk penanaman gula dalam tahun
1883 hanya merupakan 1/12 dari seluruh tanah rakyat di daerah-
daerah gula di Jawa. (Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho
Notosusanto, 2011:361).
Menurut sistem tanam paksa pungutan dari rakyat tidak lagi
berupa uang tetapi berupa hasil tanaman yang dapat diekspor.
Seperlima dari tanah garapan yang ditanami padi dari rakyat di
desa wajib ditanami jenis tanaman itu dengan memakai tenaga yang
tidak melebihi tenaga untuk menggarap tanah itu bagi penanaman
padi. Bagian tanah itu bebas dari pajak tanah, sedangkan setiap
surplus dari hasil penjualan yang melebihi jumlah yang sebesar
pajak tanahnya perlu diserahkan kepada desa. Akibat kegagalan
panen menjadi tanggung jawab pemerintah. Untuk pengolahan
hasil tanaman ekspor, seperti gula tebu, tenaga rakyat dikerahkan
yaitu, sebagian untuk menanam, sebagianuntuk menuai, ada yang
ditugaskan mengangkut ke pabrik dan ada untuk bekerja di pabrik.
Rakyat yang dikerahkan itu bebas dari pajak-pajak pada saat
tanaman itu masak untuk panen. Konsep ekonomi politik dari Van
Den Bosch tersusun berdasarkan pengalaman penguasa-penguasa
yang mendahuluinya, maka mencakup beberapa gagasan pokok
mereka tanpa mengabaikan realitas yang dihadapi di Jawa.(Sartono
Kartodirdjo, 1988:306). Yang sangat hakiki dalam perencana Van
Den Bosch ialah bahwa pelaksanaan sistemnya menggunakan
organisasi desa sebagai wahana yang paling tepat untuk
meningkatkan produksi. Penggunaan organisasi desa berarti
memperkuat ikatan-ikatan yang ada di desa seperti ikatan
komunal, ikatan tradisional, dan ikatan feodal diperkuat sehingga
rakyat tidak lagi memiliki kebebasan pribadi atau mempunyai milik
pribadi, jangankan kepastian hokum. Pengaruh kepala desa sebagai
perantara warga desa dan dunia luar desa diperkuat dengan
diikutsertakannya dalam Sistem Tanam Paksa.(Sartono
Kartodirdjo, 1988:307).
Asumsi dasar dari Sistem ini didasarkan bahwa masyarakat
jawa kurang mendapatkan rangsangan memadai untuk
menghasilkan tanaman perdagangan. Perkembangan yag tampak
dalam masa ini adalah kenaikan produksi hasil-hasil tanaman
perdagangan yang pesat yang diakibatkan oleh penanaman paksa
sejak tahun 1830, antara lain nyata dari angka-angka ekspor hasil-
hasil pertanian. Misalnya, selama tahun 1830 sewaktu penanaman
paksa baru dimulai ekspor gula berjumlah 108 ribu pikul. (Marwati
Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto, 2011:364). Oleh
karena itu perlu adanya paksaan untuk menggunakan sebagian
tanah garapannya untuk membudidayakan kopi, nila, dan gula.
Dalam periode Tanam Paksa inilah, tepatnya sejak tahun 1863, cara
bercocok tanam tebu di jawa mengalami perubahan dari sistem
bajak ke sistem Reynoso dari kuba. (Faizin, 2016:27) Secara teoritis
Sistem Tanam Paksa secara langsung akan membentuk hubungan
langsung antara pemerintah dan desa dengan melampaui peranan
bupati sebagai perantara seperti hal yang berlaku pada masa VOC.
Hubungan antara atasan dan bawahan, juga antara penguasa
belanda dengan jawa, berlaku menurut hirarki feodal. Pola tersebut
dalam sistem pemerintahan tak langsung menjadi saluran vital
yang senantiasa perlu dipertahankan. Dalam hubungan ini perlu
disebut bahwa Sistem Tanam Paksa banyak ditentang oleh para
bupati yang perbagai aksi mengadakan obstruksi. (Sartono
Kartodirdjo, 1988:308).
Pada masa Sistem Tanam Paksa ada kecenderungan untuk
meratakan pemilikan tanah, lagi pula timbulnya banyak tanah
komunal. Banyak tekanan dari luar dapat diselesiakan di dalam
desa tanpa mengubah keutuhan desa dengan bentuk organisasinya
yang dapat memberi peranan kepada desa sebagai
“penyambung”(tussen schakel) antara Sistem Tanam Paksa dan
rakyat sebgai penanam. Akibat dari keadaan itu ialah pertama,
proses mengarahkan desa ke luar terlambat dan bersama dengan
itu proses modernisasinya. Memang gejala-gejala komersislisasi,
diferensiasi, dan spesialisasi kurang tampak, kesemuanya tidak
mungkin diharapkan dari system produksi feodal dan ekstratif
sifatnya itu sebagian besar surplus mengalir ke luar tanpa ada
investasi kembali di tempat penghasil penghasil sendiri. Kedua,
Ssitem Tanam Paksa lebih memperkuat perkembangan desa yang
terarah ke dalam karena dengan demikian dapat berfungsi sebagai
alat produksi yang efektif. Ketiga, dalam situasi seperti itu peranan
kepala desa sebagai perantara dengan dunia luar sangata penting
sebagai akibat dari kenyataan bahwa medapatkan dukungan dari
penguasa diatasnya, baik Belanda maupun pribumi.(Sartono
Kartodirdjo, 1988:309-311).
Sifat kepemimpinan bupati sebagai otoritas tertinggi di
daerahnya adalah polimorfik (bersegi banyak), maka dalam
penyelenggarakan Sistem Tanam Paksa agak dipersempit, yaitu,
secara khusus mengawasi dan menjamin produksi. Dipandang
secara demikian, itu berarti suatu kemorosotan atau seperti yang
disebut Schrieke, bupati berubah menjadi mandor tanaman paksa.
Sesungguhnya bupati sebagai perantara tinggal meneruskan
perintah dari pejabat Belanda dan dengan demikian menekan ke
bawah, suatu penggunaan kekuasaan yang dibenarkan oleh target
yang ditentukan dari atas. Proses seperti itu tidak mengurangi
kekuasaan bupati. Tekan pada instasi terakhir ditampung oleh
rakyat pedesaan yang semakin merasa dieksploitasi oleh Belanda
maupun bupati dan pamong-praja atau lainnya.tidak
mengherankan bahwa para pejabat mulai merosot di mata rakyat
dan masa Sistiem Tanam Paksa, banyak gerakan protes melawan
Belanda dan kaki tangannya. Permintaan produksi tinggi dengan
teknologi yang tradisional hanya dapat dipenuhi dengan
pengerahan tenaga kerja dan perluasan daerah penanaman.
Oleh karena penyelenggaraan Sistem Tanam Paksa di tingkat
pedesaan seluruhnya masih dilakukan dengan perantaraan kepala
desa, maka tidak menherankan kalau kemudian timbul
penyalahgunaan kekuasaan itu. Dalam pembayaran pajak tanah
dipungutnya semacam persekot dari rakyat, kemudian tidak disetor
dan dipakai sendiri. Kemudian rakyat masih dipungut jumlah pajak
yang utuh. Mereka secara sengaja dapat menambah beban pemilik
sawah dengan maksud agar kemudian dapat dikuasainya sawah
mereka, ada pula penduduk desa yang dibebaskan dari wajib kerja
dan tanam paksa dengan pembayaran kepada desa. Untuk
menambah keuntungan dilakukannya juga sistem ngijon, ialah
pemberian persekot untuk tanaman yang belum masak (masih ijo =
hijau). Dalam lingkungan tradisional tenaga kerja rakyat pedesaan
terserap dalam perbagai ikatan, baik dari desa maupun yang feodal.
Penyelenggaraan Sistem Tanam Paksa memang didasarkan
sepenuhnya pada kelembagaan itu.

KESIMPULAN
Perekonomian pada Pemerintahan Hindia Belanda berkaitan
dengan hasil bumi terutama tanaman tebu sebagai komoditas
utama dalam kegiatan ekspor impor maupun perdagangan dengan
pihak swasta. Pemerintahan Hindia belanda membangun Pabrik
Gula sebagai pengolahan tebu yang menjadi gula untuk konsumsi
pada kalangan orang belanda sendiri. Selain itu, Pemerintah Hindia
Belanda mendapat keuntungan yang besar atas keberadaan
industri pabrik gula ini. Kalau gula di jawa ini merupakan tulang
punggung ekonomi kolonial, baik bagi penghasil negara maupun
pengusaha besar swasta, maka ia merupakan beban bagi rakyat
petani daerah gula. Pekerjaan-pekerjaan wajib ini merupakan
beban berat bagi penduduk desa. Kadang-kadang seluruh
penduduk desa dikerahkan bekerja untuk kepentingan pemerintah
kolonial maupun untuk kepentingan pejabat-pejabat dan kepala-
kepala sendiri. Hal yang terakhir ini terutama dilakukan dalam
bentuk pekerjaan rodi, baik untuk pemerintah kolonial maupun
untuk kepala-kepala melakukan pekerjaan wajib, seperti menanam,
memotong, mengangkutan tebu ke pabrik-pabrik gula dan bekerja
di pabrik-pabrik itu sendiri.
Di kota Kediri sendiri terdapat 3 pabrik gula yang sampai
sekarang masih beroperasi, yang pertama adalah pabrik gula
meritjan, yang kedua adalah pabrik gula pesantren dan yang ketiga
adalah pabrik gula ngadirejo. Pabrik gula yang masih beroperasi di
kota Kediri ini kota Kediri menjadi salah satu kota yang penting baik
sejak zaman hindia belanda ataupun sampai zaman Indonesia
merdeka sekarang ini. Wilayah Kediri menjadi penting dikarenakan
disini menjadi salah satu kota produksi bahan komoditas yang
cuku bernilai yaitu gula. Gula sudah menjadi barang primadona
sejak aman hinda belanda. Oleh karena itu dibangunlah pabrik
industri gula dan perkebunan-perkebunan gla di hindia belanda
oleh orang-orang belanda dan juga pemerintah hindia Belanda di
waktu itu.
Dengan adanya pendirian pabrik tersebut juga menyebabkan
beberapa masalah sosial muncul di kota Kediri. Pembangunan
industri di masa pemerintahan Hindia belanda merupakan salah
satu sumber konflik di tingkat lokal, terutama di daerah-daerah
yang terjadi ekspolitasi untuk kepentingan pemerintah. Pada saat
itu memang hasil dan keuntungan dari pabrik gula di ambil semua
oleh bangsa belanda.

DAFTAR RUJUKAN
Eastjava. 2018. Sejarah Kota Kediri,
(Online),
http://www.eastjava.com/tourism/kediri/ina/history.html
diakses 13 mei 2018.
Faizin, Muhamad. 2016. Dinamika Industri Pabrik Gula Meritjan Di
KediriTahun 1930-1945. Skripsi. Surabaya: Program Studi
Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
Surabaya.
Gordon, Alec. 1982. “Ideologi, Ekonomi, dan Perkebunan:
Runtuhnya Sistem Gula Kolonial dan Merosotnya Ekonomi
Indonesia Merdeka”. dalam Prisma No. 7 Tahun XI. Jakarta:
LP3ES
Griffin R dan Ronald Elbert. 2006. Business. New Jersey: Pearson
Education.
Kartodirdjo, Sartono. 1988. Pengantar Sejarah Indonesia Baru:
1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium Jilid 1. Jakarta:
PT. Gramedia.
Levert, Philip. 1934. Inheemse Arbeid in de Java-Suikerindustri.
Wageningen: H.Veeman & Zonen.
Pemerintahan Kota Kediri. 2018. Geografi - Pemerintah Kota
Kediri,
(Online),
https://kedirikota.go.id/read/Profil/10/1/32/Geografi.html
diakses 13 mei 2018.
Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. 2011.
Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di
Indonesia (1700-1900). Jakarta: Balai Pustaka.
Supomo, s. 1976. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di
Indonesia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Anda mungkin juga menyukai