Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan makin meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan

pangan manusia berimbas pada makin meningkatnya terjadinya alih fungsi lahan

dari lahan pertanian menjadi lahan pemukiman. Hal ini menyebabkan usaha

budidaya pertanian diarahkan pada lahan-lahan marginal termasuk di dalamnya

lahan gambut (Widyati, 2011) yang sementara ini tidak dimanfaatkan dengan

optimal. Lahan marginal memiliki potensi besar untuk pengembangan pertanian

mengingat luas dan penyebarannya di Indonesia. Lahan marginal adalah lahan

sub-optimum yang memiliki kesuburanan tanah yang rendah. Lahan marginal di

Indonesia dapat temukan baik pada lahan basah maupun lahan kering. Lahan

marginal pada lahan basah berupa lahan gambut, lahan sulfat masam dan rawa

pasang surut yang memiliki luas 24 juta ha, sementara pada lahan kering berupa

tanah Ultisol seluas 47,5 juta ha dan Oxisol 18 juta ha (Suprapto, 2002).

Gandasasmita dan Barus (2012) menyatakan bahwa Indonesia memiliki

lahan gambut sangat luas yaitu 50% dari luas lahan gambut tropika dunia.

Suwondo et al., (2011) menambahkan bahwa luas lahan gambut di Indonesia

diperkirakan mencapai 20,6 juta ha. Hal ini berarti bahwa luas lahan gambut

adalah sekitar 10% luas daratan Indonesia (Ratmini, 2012). Lokasi lahan gambut

tersebar luas terutama di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua.

Lahan gambut tergolong lahan marginal dan fragile dengan produktivitas

tanah yang rendah dan sangat mudah mengalami kerusakan. Pengembangan

1
pertanian pada lahan gambut menghadapi banyak kendala yang berkaitan dengan

sifat tanah gambut. Mawardi et al. (2001) menyatakan bahwa secara umum sifat

kimia tanah gambut didominasi oleh asam-asam organik yang merupakan suatu

hasil akumulasi sisa-sisa tanaman. Asam organik yang dihasilkan selama proses

dekomposisi tersebut merupakan bahan yang bersifat meracuni bagi tanaman,

sehingga mengganggu proses metabolisme tanaman yang akan berakibat langsung

terhadap produktifitasnya. Sementara itu secara fisik tanah gambut bersifat lebih

berpori dibandingkan tanah mineral sehingga hal ini akan mengakibatkan

cepatnya pergerakan air pada gambut yang belum terdekomposisi dengan

sempurna sehingga jumlah air yang tersedia bagi tanaman menjadi sangat terbatas.

Potensi lahan gambut sebagai lahan pertanian di Indonesia cukup luas

sekitar 6 juta ha. Pemanfaatannya sebagai lahan pertanian memerlukan

perencanaan yang cermat dan teliti, penerapan teknologi yang sesuai, dan

pengelolaan yang tepat karena ekosistemnya yang marginal dan fragile. Lahan

gambut sangat rentan terhadap kerusakan lahan, yaitu kerusakan fisik (subsiden

dan irriversible drying) serta kerusakan kimia (defisiensi hara dan unsur beracun).

Pengembangan pertanian di lahan gambut menghadapi kendala antara lain

tingginya asam-asam organik. Pengaruh buruk asam-asam organik yang beracun

dapat dikurangi dengan teknologi pengelolaan air dan menambahkan bahan-bahan

yang banyak mengandung kation polivalen seperti Fe, Al, Cu dan Zn (Ratmini,

2012).

2
BAB II
ISI

1.1. Pengertian Gambut

Tanah gambut disebut juga tanah Histosol (tanah organic) asal bahasa

Yunani histories artinya jaringan. Histosol sama halnya dengan tanah rawa, tanah

organik dan gambut.Histosol mempunyai kadar bahan organik sangat tinggi

sampai kedalaman 80 cm (32 inches) kebanyakan adalah gambut (peat) yang

tersusun atas sisa tanaman yang sedikit banyak terdekomposisi dan menyimpan

3
air.Jenis tanah Histosol merupakan tanah yang sangat kaya bahan organik keadaan

kedalaman lebih dari 40 cm dari permukaan tanah. Umumnya tanah ini tergenang

air dalam waktu lama sedangkan didaerah yang ada drainase atau dikeringkan

ketebalan bahan organik akan mengalami penurunan (subsidence).

Bahan organik didalam tanah dibagi 3 macam berdasarkan tingkat

kematangan yaitu fibrik, hemik dan saprik. Fibrik merupakan bahan organik yang

tingkat kematangannya rendah sampai paling rendah (mentah) dimana bahan

aslinya berupa sisa-sisa tumbuhan masih nampak jelas. Hemik mempunyai tingkat

kematangan sedang sampai setengah matang, sedangkan sapri tingkat kematangan

lanjut.Dalam tingkat klasifikasi yang lebih rendah (Great Group) dijumpai tanah-

tanah Trophemist dan Troposaprist. Penyebaran tanah ini berada pada daerah rawa

belakangan dekat sungai, daerah yang dataran yang telah diusahakan sebagai areal

perkebunan kelapa dan dibawah vegetasi Mangrove dan Nipah.

Secara umum definisi tanah gambut adalah: “Tanah yang jenuh air dan

tersusun dari bahan tanah organik, yaitu sisasisa tanaman dan jaringan tanaman

yang melapuk dengan ketebalan lebih dari 50 cm. Dalam sistem klasifikasi baru

(Taksonomi tanah), tanah gambut disebut sebagai Histosols (histos = jaringan

).”Pada waktu lampau, kata yang umum digunakan untuk menerangkan tanah

gambut adalah tanah rawang atau tanah merawang. Di wilayah yang memiliki

empat musim, tanah gambut telah dikelompokan dengan lebih rinci. Padanan yang

mengacu kepada tanah gambut tersebut adalah bog, fen, peatland atau moor.

2.2 Faktor-faktor Pembentuk Tanah

4
Kebanyakan tanah terbentuk dari pelapukan batuan dan mineral (kuarsa,

feldspar, mika, hornblende, kalsit, dan gipsum), meskipun ada yang berasal dari

tumbuhan (gambut/peat; Histosol).Tanah adalah material yang tidak padat yang

terletak di permukaan bumi, sebagai media untuk menumbuhkan tanaman (SSSA,

Glossary of Soil Science Term)Jenny, H (1941) dalam buku Factors of Soil

Formation : tanah terbentuk dari interaksi banyak faktor, dan yang terpenting

adalah : bahan induk (parent material); iklim (climate), organisme (organism)’;

topografi (Relief); waktu (time).

s = f (cl, o, r, p, t, ….

Jika 1 faktor saja yang mempengaruhi sedang yang lain konstan, misal

iklim yang mempengaruhi pembentukan tanah maka fungsi tersebut dapat ditulis :

S atau s = f (cl) o,r,p,t,…..

Climosequence : pembentukan tanah yang hanya dipengaruhi oleh faktor

iklim, sedang faktor yang lain konstan. Istilah yang sama untuk Biosequences,

toposequences, lithosequences, dan chronosequences.Tanah dapat terbentuk dari

pelapukan batuan padat (in situ) atau merupakan deposit dari material/partikel

yang terbawa oleh air, angin, glasier (es), atau gravitasi. Apabila material yang

terbawa tersebut masuk ke lahan (land), maka disebut landform.Penamaan

landform berdasar pada cara transport maupun bentuk akhir. Contoh : Alluvial

berasal dari aliran air; morain berasal dari gerakan es dan membeku; dunes berasal

dari gerakan angin thd pasir; colluvium berasal dari gravitasi.Batuan akan

terlapukkan secara fisik disebut : disintegrasi (disintegration), maupun secara

kimia disebut : dekomposisi (decomposition/decayed) dan diubah menjadi

5
material yang lebih halus. Secara fisik misalnya pengaruh suhu, tekanan, akar

tanaman. Secara kimia yang sangat berperan adalah keberadaan air, misal

hidrolisis, oksidasi, reduksi, dehidrasi, dll.

Laju pelapukan tergantung pada : (1) temperatur; (2) laju air perkolasi; (3)

status oksidasi dari zona pelapukan; (4) luas permukaan bahan induk yang

terekspose; (5) jenis mineral.Mineral adalah substansi inorganik yang homogen

dengan komposisi tertentu, dan mempunyai ciri fisik berupa ukuran, warna, titik

leleh, dan kekerasan. Mineral dapat digolongkan sebagai mineral primer maupun

mineral sekunder.Tipe batuan ada 3 yaitu : (1) batuan beku (igneous rock), (2)

batuan sedimen (sedimentary rock), (3) batuan metamorfosis (metamorphic

rock)Batuan beku berasal dari pemadatan magma yang membeku. Dibagi menjadi

batuan asam (acidic rock) : relatif tinggi kandungan kuarsa; mineral silikat warna

terang Ca atau K/Na dan batuan basa (basic rock) : rendah kandungan kuarsa;

kandungan mineral ferromagnesium warna gelap (hornblende, mika, piroksin)

tinggi.

2.3 Proses Pembentukan Tanah Gambut

Gambut terbentuk akibat proses dekomposisi bahan-bahan organik

tumbuhan yang terjadi secara anaerob dengan laju akumulasi bahan organik lebih

tinggi dibandingkan laju dekomposisinya. Akumulasi gambut umumnya akan

membentuk lahan gambut pada lingkungan jenuh atau tergenang air, atau pada

kondisi yang menyebabkan aktivitas mikroorganisme terhambat. Vegetasi

pembentuk gambut umumnya sangat adaptif pada lingkungan anaerob atau

6
tergenang, seperti bakau (mangrove), rumput-rumput rawa dan hutan air tawar.Di

daerah pantai dan dataran rendah, akumulasi bahan organik akan membentuk

gambut ombrogen di atas gambut topogen dengan hamparan yang berbentuk

kubah (dome). Gambut ombrogen terbentuk dari vegetasi hutan yang berlangsung

selama ribuan tahun dengan ketebalan hingga puluhan meter. Gambut tersebut

terbentuk dari vegetasi rawa yang sepenuhnya tergantung pada input unsur hara

dari air hujan dan bukan dari tanah mineral di bawah atau dari rembesan air tanah,

sehingga tanahnya menjadi miskin hara dan bersifat masam.

Diemont (1986) merangkum pemikiran Polak(1933), Andriesse(1974) dan

Driessen(1978) tentang tahapan-tahapan pembentukan gambut di Indonesia :

1) Permukaan laut stabil (5000 tahun yang lalu)

2) Deposisi sedimen pantai dengan cepat membentuk dataran pantai yang

luas di pantai tilir Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya, yang ditutupi oleh

komunitas hutan mangrove

3) Komunitas mangrove menyebabkan daerah stabil yang mengakibatkan

perluasan tanah, yang akhirnya membentuk daerah mangrove dan lagoon yang

mampu mengurangi kadar garam serta meningkatkan daerah dengan air segar

menyebabkan terjadinya hutan gambut tropika atau danau berair segar

4) Danau berair segar itu secara bertahap menampung BO yang dihasilkan

oleh tumbuhan, berkembang menjadi hutan gambut tropika yang dipengaruhi oleh

air gambut(ground water peat)sebagi gambut topogen

5) Di atas gambut topogen terbentuk hutan gambut ombrotrophic Prinsip

Pembentukan tanah gambut:

7
Proses akumulasi BO > dekomposisi BO

Daerah iklim sedang dan dingin:

Penyebab utama adalah suhu dingin dan kondisi air jenuh sehingga proses oksidas

berjalan lambat

DaerahTropika:

Kelebihan air, kekurangan oksigen

Tahap-tahap proses pembentukan endapan gambut:

1) Asosiasi marin (Rhizophora)

2) Asosiasi payau (Avicennia)

3) Asosiasi transisi (Conocarpus)

4) Asosiasi klimaks (Tropical forest)

Kecepatan pembentukan lapisan gambut:

1) Proses perkembangan tanah gambut adalah Paludiasi,yaitu penebalan

lapisan bahan gambut dalam lahan yang berdrainase jelek di bawah kondisi

anaerob.

2) Kecepatan pembentukan gambut tergantung iklim, vegetasi kemasaman,

kondisi aerob dan anaerob, aktivitas mikroorganisme.

3) Di pantai dekat laut pengaruh kegaraman akan mempercepat pertumbuhan

tanah gambut karena proses dekomposisi BO terhambat akibat hanya

mikroorganisme yang tahan kegaraman saja yang aktif.

2.4 Sifat Fisik, Kimia dan Morfologi Gambut

8
Sifat tanah gambut berbeda dengan tanah mineral lainnya dan untuk

menanam/membuka lahan seperti ini memerlukan tindakan pengelolaan

khusus.Sifat tanah gambut antara lain :Kandungan bahan organic yang tinggi

karena tanah berasal dari sisa tanaman mati dalam keadaan penggenanangan

permanent. Berat isi pada (bulk dencity) sangat rendah sehingga dalam keadaan

kering kosentrasinya sangat lepas kadar hara makro tidak seimbang dengan kadar

hara mikro yang sangat rendah. Daya menahan air sangat besar dan jika

mengalami kekeringan, tanah mengalami pengerutan (irreversible shringkage).

Jika dilakukan pembuangan air(drainase) permukaan tanah akan mengalami

penurunan(soil subsidence).

Sifat khusus Histosol tergantung pada sifat vegetasi yang diendapkan di

dalam air dan tingkat pembususkan. Di dalam air yang relative dalam, sisa-sisa

ganggang dan tumbuhan air lainnya menimbulkan bahan koloid yang sangat

mengerut bila kering.Sementara danau secara berangsur-angsur penuh, rumput,

padi liar, lili air dan tumbuhan-tumbuhan ini yang sebagian membusuk, berlendir

dan bersifat koloid.

Sifat Fisika Tanah Gambut

1. Tingkat dekomposisi :

1) Gambut kasar (Fibrist):gambut dengan BO kasar > 2/3 (sedikit atau belum

terkomposisi atau bahan asal masih terlihat asalnya)warna merah lembayung (2,5

YR 3/2)-coklat kemerahan (5 YR 3/2)

2) Gambut sedang (HemistaktoBO kasar 1/3-2/3 coklat kemerahan (5 YR

3/2)-coklat tua (7,5 YR 3/2)

9
3) Gambut halus (Saprist):BO kasar<1/3,>

2. Penurunan muka tanah : faktor penyebabnya:

1) Drainase

2) Kegiatan budidaya tanaman

3) Tingkat kematangan gambut

4) Umur reklainasi

5) Ketebalan lapisan gambut

6) Pembakaran waktu pembukaan lahan

Hasil penelitian kecepatan penurunan muka tanah: fibrik>hemik>saprik

3. Kerapatan lindak (Bulk Density=BD)

• BD tanah gambut 0,05-0,2 g/cc

• BD tanah yang rendah akibatnya daya dukung tanah rendah akibatnya

tanaman tahunan tumbuh condong atau tumbang

• Makin dalam BD tanah makin kecil

• Makin rendah kematangan gambut maka makin rendah nilai BD nya

4. Porositas dan distribusi ukuran pori

• ditentukan bahan penyusun dan tingkat dekomposisi

• makin matang gambut maka porositas makin rendah dan distribusi ukuran

pori cukup merata

• gambut tidak matang sangat porous dan tidak merata

• porositas tanah dan distribusi ukuran pori pada gambut dari rerumputan

dan semak jauh baik daripada gambut kayu-kayuan

5. Retesi air (daya menahan air)

10
• afinitas tinggi dalam meretensi air karena air bersifat dipolar dan molekul

asam-asam organik sangat banyak, maka air dalam jumlah banyak akan berikatan

dengan asam-asam organik bebas

• Makin matang gambut maka retensi air makin tinggi

6. Daya hantar hidrolik (HC)

• Besarnya HC ditentukan oleh jenis gambut,tingkat kematangan, BD

• HC gambut serat-seratan lebih lambat dari gambut kayu-kayuan

• laju yang baik untuk pertanian <0,36>

• HC secara horisontal sangat cepat dan vertikal sangat lambat

• makin matang gambut HC makin lambat

7. Kering tak balik

• berkaitan dengan kemampuan gambut dalam menyimpan,memegang dan

melepas air

• gambut yang mengalami kekeringan hebat akan berkurang kemampuannya

dalam memegang air

• penyebab kering tak balik adalah akibat terbentuk selimut penahan air

• Pencegahan dengan mengatur tinggi permukaan air

Sifat Kimia Tanah Gambut

1. Kemasaman (pH)

• pH 3-4,5

• Kemasaman disebabkan oleh asam-asam organik

• Kapasitas tanah sanggah tinggi yaitu kemampuan mepertahankan

perubahan pH tinggi

11
• pH ideal untuk gambut 5-5,5

2. Kapasitas tukar kation (KTK)

• KTK tinggi 190-270 me/100 g

• KTK tinggi karena muatan negatif tergantung pH dari gugus karboksil

gambut dangkal (4-5,1)>gambut dalam (3,1-3,9)

• Nilai KTK perlu dikoreksi oleh faktor dalam BD

3. Kejenuhan Basa (KB)

• Nilai KB gambut rendah

• KB gambut pedalaman<>

• KB berhubungan dangan pH dan kesuburan tanah

• Tingkat kritik KB 30%

4. Asam-asam organik

• Bahan humat, asam-asam karboksil, asam fenolat

• makin dalam gambut % bahan humat turun

• bahan humat memberi nilai KTK tinggi(25-75 me/100g(Maas, 1997)

5. Komplek senyawa organik dengan kation

• adanya sifat BO yang dapat mengkhelat kation merupakan fenomena yang

harus dimanfaatkan untuk mengendalikan sifat meracun dari asam organik

meracun

• BO mampu mengkhelat 98%Cu,75% Zn, 84% Mn

6. Komplek organo-Liat

• BO dapat berikat dengan liat membentuk komplek organo liat melaui

ikatan elektrostatik,hidrogen, dan koordinasi

12
• ikatan elektrostatik terjadi melalui proses pertukaran kation

• ikatan hidrogen terjadi bila atom H berfungsi sebagai sambungan

penghubung

• ikatan koordinasi terjadi pada saat lignin organik menyumbangkan

elektron pada ion logam dengan demikian ion logam sebagai jembatan

2.5 Kendala-kendala pada Histosol untuk Usaha Pertanian

• Tingkat kematangan Gambut

• Tebal lapisan gambut

• Penurunan permukaan tanah

• Sifat mengkerut tidak baik

• Adanya lapisan pirit

• Kemasaman tanah yang tinggi

• Salinitas/intrusi air laut

• Jenuh air

• Daya hantar hidraulik horisontal besar tapi daya hantar vertikal kecil

• Daya dukung tanah rendah

D. Kendala Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Pengembangan Budidaya

Pertanian

Pengembangan lahan gambut sebagai lahan pertanian dihadapkan pada berbagai

kendala baik fisik, kimia maupun biologis. Secara teoritis permasalahan pertanian

lahan gambut sesungguhnya disebabkan oleh drainase yang jelek, kemasaman

gambut tinggi, tingkat kesuburan dan kerapatan lindak gambut yang rendah.

13
Kemasaman gambut yang tinggi dan ketersediaan hara serta kejenuhan basa (KB)

rendah. (Sagiman, 2007).

Oleh karena itu, lahan gambut merupakan lahan yang sangat fragile dan tingkat

produktivitasnya sangat rendah. Kendala sifat fisik gambut yang paling utama

adalah sifat kering tidak balik (irriversible drying), sehingga gambut tidak dapat

berfungsi lagi sebagai koloid organik. Produktivitas lahan gambut yang rendah

karena rendahnya kandungan unsur hara makro maupun mikro yang tersedia

untuk tanaman, tingkat kemasaman tinggi, serta rendahnya kejenuhan basa.

Tingkat marginalitas dan fragilitas lahan gambut sangat ditentukan oleh sifat-sifat

gambut yang inherent, baik sifat fisik, kimia maupun biologisnya.

E. Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pengembangan Budidaya Pertanian

Pemanfaatan lahan gambut untuk pengembangan budidaya pertanian dilakukan

dengan melakukan beberpa tindakan pengelolaan yang bertujuan untuk

mengurangi faktor penghambat dari lahan gambut baik faktor fisik maupun kimia

tanah sehingga lahan tersebut mampu menyediakan kondisi yang optimal bagi

pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang akan dibudidayakan.

Pengembangan pertanian pada lahan gambut ditentukan oleh beberapa faktor,

yaitu faktor kesuburan alami gambut dan tingkat manajemen usaha tani yang akan

diterapkan. Pengelolaan lahan gambut pada tingkat petani, dengan pengelolaan

usaha tani termasuk tingkat rendah (low inputs) sampai sedang (medium inputs),

14
akan berbeda dengan produktivitas lahan dengan tingkat manajemen tinggi yang

dikerjakan oleh swasta atau perusahaan besar (Subagyo et al, 1996)

Abdurachman dan Suriadikarta (2000) menyatakan bahwa pada tingkat

manajemen sedang, pengelolaan lahan gambut dilakukan melalui perbaikan sifat

tanah dengan penggunaan input yang terjangkau oleh petani seperti pengolahan

tanah, tata air mikro, pemupukan, pengapuran dan pemberantasan hama dan

penyakit. Tindakan pengelolaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian

dilakukan melalui beberapa tindakan sebagai berikut:

1. Pengelolaan air

a. Pengelolaan Drainase Lahan

Drainase merupakan prasyarat untuk usaha pertanian, walaupun hal tersebut

bukanlah suatu yang mudah untuk dilakukan mengingat sifat dari gambut yang

bisa mengalami penyusutan dan kering tidak balik akibat drainase, sehingga

sebelum mereklamasi lahan gambut perlu diketahui sifat spesifik gambut, peranan

dan fungsinya bagi lingkungan.

Drainase yang baik untuk pertanian gambut adalah drainase yang tetap

mempertahankan batas air kritis gambut akan tetapi tetap tidak mengakibatkan

kerugian pada tanaman yang akan berakibat pada hasil. Intensitas drainase

bervariasi tergantung kondisi alami tanah dan curah hujan. Curah hujan yang

tinggi yaitu antara 4000 sampai 5000 mm per tahun membutuhkan sistem

drainase untuk meminimalkan pengaruh banjir (Ambak dan Melling, 2000).

Setelah drainase dan pembukaan lahan gambut, umumnya terjadi subsidence yang

relatif cepat yang akan berakibat menurunya permukaan tanah. Subsidence dan

15
dekomposisi bahan organik dapat menimbulkan masalah apabila bahan mineral di

bawah lapis gambut terdiri dari lempeng pirit atau pasir kuarsa. Kerapatan lindak

yang rendah berakibat kemampuan menahan (bearing capacity) tanah gambut juga

rendah, sehingga pengolahan tanah sulit dilakukan secara mekanis atau dengan

ternak. Kemampuan menahan yang rendah juga juga merupakan masalah bagi

untuk tanaman pohon-pohonan atau tanaman semusim yang rentan terhadap

kerebahan (lodging) (Radjagukguk, 1990).

Usaha perbaikan drainase untuk tanaman perkebunan dilakukan dengan

pembuatan kanal primer, kanal sekunder dan kanal tersier. Hasil penelitian

sementara di PT. RSUP menunjukkan bahwa kelapa hybrida PB 121 pada umur 4

tahun (4-5 tahun setelah tanam adalah 1,5 ton kopra/ha). Angka ini sementara 5

kali lebih besar dari hasil yang dicapai di negara asalnya Afrika dimana PB 121

pada umur 4 tahun menghasilkan 0,26 ton kopral/ha (Thampan, 1981 dalam

Sudradjat dan Qusairi, 1992).

b. Pengaturan Irigasi

Ketika batas kritis air dapat dikontrol pada level optimum untuk pertumbuhan

tanaman, pengelolan air bukan merupakan suatu masalah kecuali pada tahap awal

pertumbuhan tanaman. Jika batas kritis air tidak dapat terkontrol dan lebih rendah

dari kebutuhan air semestinya, irigasi perlu dilakukan terutama bagi tanaman

tertentu. Hal ini penting untuk memasok kebutuhan air tanaman dan menghindari

sifat kering tidak balik. Sayuran berdaun banyak, menunjukkan layu pada keadaan

udara panas. Kondisi ini mungkin merupakan pengaruh dari dangkalnya profil

16
tanah yang dapat dicapai oleh akar tanaman dan kehilangan air akibat transpirasi

yang lebih cepat daripada tanah mineral (Ambak dan Melling, 2000).

Tanaman mempunyai tahapan pertumbuhan yang sensitif terhadap stress air yang

berbeda. Pengetahuan tentang tahapan tersebut akan mempermudah irigasi pada

saat yang tepat sehingga mengurangi terjadinya stress air dan penggunaan air yang

optimum. Untuk penanaman tanaman semusim, pengaturan irigasi harus

mempertimbangkan saat dan kebutuhan tanaman dan disesuaikan dengan

ketersediaan air tanah diatas water table, jumlah air hujan, distribusi dan jumlah

evapotranspirasi (Lucas,1982).

c. Penggenangan

Untuk meminimalkan terjadinya subsidence, langkah yang bisa dilakukan adalah

tetap mempertahankan kondisi tergenang tersebut dengan mengadopsi tanaman-

tanaman sejenis hidrofilik atau tanaman toleran air yang memberikan nilai

ekonomi seperti halnya Eleocharis tuberosa, bayam cina (Amaranthus hybridus),

kangkung (Ipomoea aquatica) dan seledri air. Di Florida ketika tanaman tertentu

tidak bisa dibudidayakan karena perubahan musim, penggenangan dilakukan dan

digunakan untuk budidaya tanaman air tersebut (Ambak dan Melling, 2000).

2. Pengelolaan Tanah

Tanah gambut sebenarnya merupakan tanah yang baik untuk pertumbuhan

tanaman bila ditinjau dari jumlah pori-pori yang berkaitan dengan pertukaran

oksigen untuk pertumbuhan akar tanaman. Kapasitas memegang air yang tinggi

daripada tanah mineral menyebabkan tanaman bisa berkembang lebih cepat. Akan

tetapi dengan keberadaan sifat inheren yang lain seperti kemasaman yang tinggi,

17
kejenuhan basa yang rendah dan miskin unsur hara baik mikro maupun makro

menyebabkan tanah gambut digolongkan sebagai tanah marginal (Limin et al,

2000). Untuk itulah perlunya usaha untuk mengelola tanah tersebut dengan

semestinya.

a. Pembakaran

Pembakaran merupakan cara tradisional yang sering dilakukan petani untuk

menurunkan tingkat kemasaman tanah gambut. Terjadinya pembakaran bahan

organik menjadi abu berakibat penghancuran tanah serta menurunkan permukaan

tanah. Pembakaran berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman pada tahun

pertama dan meningkatkan serapan P tanaman, namun akan menurunkan serapan

Ca dan Mg (Mawardi et al, 2001).

b. Penambahan Bahan Pembenah Tanah

Pemberian pupuk dan amandemen dalam komposisi dan takaran yang tepat dapat

mengatasi masalah keharaan dan kemasaman tanah gambut. Unsur hara yang

umumnya perlu ditambahkan dalam bentuk pupuk adalah N, P, K, Ca, Mg serta

sejumlah unsur hara mikro terutama Cu, Zn dan Mo. Pemberian Cu diduga lebih

efektif melalui daun (foliar spray) karena sifat sematannya yang sangat kuat pada

gambut, kurang mobil dalam tanaman dan kelarutan yang menurun ketika terjadi

peningkatan pH akibat penggenangan. Sebagai amandemen, abu hasil pembakaran

gambut itu sendiri akan berpengaruh menurunkan kemasaman tanah, memasok

unsur hara dan mempercepat pembentukan lapis olah yang lebih baik sifat

fisikanya (Radjagukguk, 1990).

18
Di Sumatera Barat ditemukan bahan amelioran baru Harzburgite yang defositnya

cukup besar dan kandungan Mg yang tinggi (27,21 – 32,07% MgO) yang

merupakan bahan potensial untuk ameliorasi lahan gambut (Mawardi et al, 2001).

Pupuk kandang khususnya kotoran ayam dibandingkan dengan kotoran ternak

yang lainnya mengandung beberapa unsur hara makro dan mikro tertentu dalam

jumlah yang banyak. Kejenuhan basanya tinggi, tetapi kapasitas tukar kation

rendah. Kotoran ayam, dalam melepaskan haranya berlangsung secara bertahap

dan lama. Tampaknya, pemberian kotoran ayam memungkinkan untuk

memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah gambut. Pada jagung manis, pemberian

kotoran ayam sampai 14 ton/ha pada tanah gambut pedalaman bereng bengkel

dapat meningkatkan jumlah tongkol (Limin, 1992 dalam Darung et al., 2001).

19
III. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pada pembahasan di muka dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut:

1. Lahan gambut merupakan lahan marginal yang memiliki potensi besar

untuk pengembangan budidaya pertanian.

2. Lahan gambut tersusun atas timbunan bahan organik baik yang telah

mengalami pelapukan maupun belum mengalami pelapukan.

3. Lahan gambut tersebar di daerah cekungan pada dataran rendah di wilayah

Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua.

4. Pemanfaatan lahan gambut untuk pengembangan budidaya pertanian

dihadapkan pada kendala drainase yang jelek, kemasaman gambut tinggi, tingkat

kesuburan dan kerapatan lindak gambut yang rendah serta ketersediaan hara dan

kejenuhan basa (KB) rendah.

5. Pengelolaan lahan gambut untuk pertanian dilakukan melalui pengelolaan

air tanah, pengolahan tanah, pemilihan tanaman bududaya sesuai kondisi lahan,

dan melalui kultur teknis.

20

Anda mungkin juga menyukai