Anda di halaman 1dari 8

Frank Lloyd Wright (8 Juni 1867 – 9 April 1959) adalah seorang arsitek terkenal dari awal tahun 1900-

an. Rumahnya terkenal dengan julukan Robbie House, yang tata ruangnya seperti jaringan jalan yang
ruwet dan jendela kaca bernoda geometris. Informasi rumah itu bisa didapatkan dalam buku The
Wright 3 karya Blue Balliet. Frank Lloyd Wright memegang jimat khusus dalam bentuk ikan Jepang
nefrit.

Ia mengembangkan serangkaian gaya yang amat bersifat perorangan, memengaruhi rancang


bangunan di seluruh dunia, dan hingga saat ini masih merupakan arsitek terkenal dari Amerika
Serikat.

Wright juga terkenal sepanjang hidupnya. Kehidupan pribadinya yang berwarna sering menjadi
berita utama, utamanya tentang kegagalan 2 pernikahan pertamanya dan pembakaran serta
pembunuhan di studio Taliesin miliknya pada tahun 1914.\

Karya frank lloyd wright

Museum Guggenheim

Image

The Solomon R. Guggenheim Museum yang berlokasi di Upper East Side Manhattan, New York,
adalah rumah bagi sejumlah besar koleksi karya seni impresionis, post-impresionis, dan
kontemporer, selain menjadi host pameran-pameran spesial dan event-event seni kontemporer
yang diadakan sepanjang tahun.

Museum tersebut didirikan oleh Yayasan Solomon R. Guggenheim pada 1939. Nama
‘Guggenheim’ sendiri diadopsi pasca meninggalnya sang pendiri pada 1952. Sebelum itu dia
memakai nama the Museum of Non-Objective Painting.
Arsitek Frank Lloyd Wright mendesain gedung museum Guggenheim tersebut, menggantikan
bangunan sewaan yang selama ini digunakan. Gedung baru rancangan Wright dibuka pada 21
Oktober 1959.

Desain bangunan Museum Guggenheim yang tidak konvensional, berbentuk silindris dengan
bagian puncak lebih lebar daripada dasarnya, memberinya tabal sebagai “temple of spirit”. Interior
gedung sendiri memberi ruang pamer unik bagi benda-benda koleksi museum berupa galeri yang
berbentuk jalur spiral, berputar menurun, memanjang dari atap gedung hingga mencapai lantai
dasar.

Koleksi Museum Guggenheim New York bertambah secara organis selama empat dekade, dari
yang semula hanya beberapa koleksi pribadi Solomon R. Guggenheim menjadi koleksi yang lebih
ekstensif. Museum tersebut saling berbagi koleksi dengan ‘saudara’-nya, Museum Guggenheim di
Bilbao, Spanyol.

Kini, bangunan Museum Guggenheim New York rancangan Frank Lloyd Wright dianggap sebagai
salah satu landmark arsitektur terpenting abad 20. Beberapa upaya renovasi dan ekspansi dilakukan,
yakni pada tahun 1992 – 1993, dan pada tahun 2005 – 2008.

Frank Lloyd Wright dilahirkan dengan nama Frank Lincoln Wright di kota pertanian Richland
Center, Wisconcin, Amerika Serikat pada tanggal 8 juni 1867 dan wafat pada tanggal 9 april 1959.
Dari pasangan William Carey Wright dengan Anna Lloyd Jones .

Fallingwater

Image

Salah satu desain Frank Lloyd Wright yang terkenal yaitu desain yang menyatu dengan
alam.Frank Lloyd merancang desain rumah yang disebut fallingwater yang menghubungkan interaksi
manusia,arsitektur dengan alam.Desain rumah yang terpadu dengan alam membuat orang yang
tinggal didalamnya terasa cukup nyaman serta dapat melihat melihat pemandangan yang cukup
indah.pengaturan cahaya masuk kedalam rumah sangat baik,ketika siang hari pencahayaan yang
dihasilkan tidak terlalu banyak sehingga menimbulkan ruangan tersebut tidak terlalu panas karena
dukungan alam dan tumbuhan disekitar rumah tersebut.

Pemilik rumah yang bernama Mr.Edgar Kaufmann dan istrinya serta anak-anaknya belajar di
sekolah wright fellowship taliesin.Selama 15 tahun,anak-anak Mr.Edgar ditugaskan wright untuk
mendesain/merancang rumah mereka membayangkan suatu rumah yang bersebelahan dengan air
terjun sehiungga mereka bisa memilikinya dalam pandangan mereka.hutan Mill Run, Pennsylvania,
Amerika, yang sangat jauh dari hiruk pikuk kota (6 jam berkendaraan dari Philadelphia), FallingWater
mampu menjadi daya tarik wisata yang luar biasa.Frank Lloyd Wright adalh seorang arsitektur yang
fenomenal yang telah menghasilkan karya yang spektakuler.Sejak tahun 1963 fallingwater beserta
seluruh isinya oleh keluarga Mr.Edgar Kaufmann diserahkan kepada Western Pennsylvania
Conservacy untuk dijadikan museum sebagai penghargaan atas karya arsitektur F.L.Wright.

Fallingwater dibangun dengan sistem struktur yang rumit dan sangat detail.

Masuk ke dalam bangunan, akan tampak tojolan bebatuan asli berukuran besar, yang menunjukkan
bahwa bangunan didirikan sangat menyatu dengan alam dalam arti yang sebenarnya di mana sangat
sedikit dari bebatuan tebing sungai yang dirubah struktur aslinya.Banyaknya bukaan pada dinding
dan atap juga menunjukkan konsep hemat energi (cahaya dan panas) yang sekarang ini menjadi isu
global. Berada di sebuah kawasan terpencil yang cenderung in the middle of nowhere.
Arsitek-tur (Bagian Kedua): Menjelajah desain Frank Lloyd Wright

By Widya Ramadhani - April 21, 20160799

Share on Facebook Tweet on Twitter

Perjalanan kali ini sangat berkesan dan begitu emosional bagi saya. Kesempatan berkunjung
langsung ke dua karya fenomenal Frank Lloyd Wright, sosok yang sangat tidak asing bagi seluruh
insan arsitektur di seluruh dunia. Wright adalah seorang genius di ranah ilmu arsitektur. Dia
meyakini bahwa arsitektur sebagai tempat manusia bertinggal harus mampu menciptakan harmoni
dengan alam tempatnya terbangun. Pada dua karya Wright yang saya kunjungi, konsep tentang
arsitektur organik tampil dalam dua konsep yang berbeda namun serupa. Solomon R Guggenheim
Museum yang berada di tengah hiruk pikuk hutan beton di New York, sementara Fallingwater House
berdiri di antara sunyi senyap semak-semak hutan alam Bear Run di Pennsylvania.

Perjumpaan pertama saya dengan karya Wright terjadi di pertengahan Desember. Saat Kota New
York terus menerus diguyur hujan di musim dingin yang cukup ramah bagi manusia tropis seperti
saya. Saya ingat saat itu saya turun di statiun subway di 86th Street lalu jalan menyusuri Lexington
Avenue sebelum berbelok ke 89th Street. Karakter jalannya tipikal dengan jajaran bangunan tua dan
baru berselang-seling dengan ketinggian yang tidak kurang dari empat lantai. Deretan ambang
beragam jenis mulai dari pintu bergagang antik sampai etalase kaca nan nyentrik menggiring saya
menuju ke Solomon R Guggenheim Museum. Semakin dekat saya ke persimpangan 89th Street dan
5th Avenue, semakin jelas citra luar Guggenheim Museum yang putih bersih dengan aksen elemen
horizontal berwarna hitam yang mengitari. Skala Guggenheim Museum cukup kecil dibandingkan
gedung-gedung tinggi di sekitarnya. Beruntung Guggenheim Museum menghadap ke arah Central
Park yang sedikit banyak melebur perbedaan skalanya.

Tampak luar Solomon R Guggenheim Museum

Tampak luar Solomon R Guggenheim Museum

(Sumber: https-//upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/6/6b/NYC_-_Guggenheim_Museum)

Di ruang dalam Guggenheum Museum, Wright menyuguhkan atrium berbentuk oval yang tinggi.
Pandangan saya didominasi oleh figur dari ramp (baca: jalur yang melandai) spiral yang mengular
tidak terputus dari lantai dasar sampai ke atas menuju skylight. Sinar matahari yang menelisik masuk
lewat atap kaca menambah kuat karakter atrium. Wright menginginkan koneksi visual yang
menerus, dari seluruh penjuru ruang secara vertikal dan horizontal. Saya bisa melihat orang-orang
yang sedang menyandarkan tubuhnya ke susur tangga (railing) dari atas, begitu pula sebaliknya.
Pergerakan manusia menyusuri ramp menciptakan dinamika ruang dalam yang khas, mungkin hanya
ada di Solomon R Guggenheim Museum. Saya berdiri tepat di tengah, mencoba mengambil citra
interior sambil menengadahkan kamera dan kepala saya. Atrium ini rasanya megah sekali.
Pandangan saat mendongak ke atas dari atrium

Pandangan saat mendongak ke atas dari atrium

Ramp seperti pita yang melilit ruang dalam Guggenheim Museum

Ramp seperti pita yang melilit ruang dalam Guggenheim Museum

Ramp adalah tokoh utama di Guggenheim Museum. Ramp berperan sebagai alur sirkulasi juga galeri.
Di antaranya, Wright menyelipkan galeri-galeri kecil, kafe, dan ruang teater untuk menyokong fungsi
utamanya sebagai museum. Saat itu sedang ada pameran lukisan karya Alberto Burri. Namanya
terpampang di dinding dekat dengan permulaan ramp. Sayang, jiwa arsitektur saya untuk
menghayati aspek-aspek arsitektural mengalahkan hasrat menikmati objek-objek seni yang tentu
tidak kalah indahnya. Hal yang ada di pikiran saya selama menyisiri pengalas menanjak ini adalah
derajat kemiringannya. Mungkin sejak saya masuk dunia arsitektur, saya tidak akan pernah berada di
sebuah objek arsitektur tanpa terbesit satu aspek teknis bangunan. Pikiran ini bukan tidak beralasan,
saya tidak merasa lelah berjalan menyusurinya, walaupun tanpa disadari saya sudah berada di
ketinggian setara lantai empat. Kemungkinan jawabannya ada dua, desain ruang Wright begitu
memukau sehingga memburaikan rasa lelah saya, atau memang perhitungan derajat kemiringannya
pas dan ergonomis.

Galeri “terselip” di antara alur ramp

Galeri “terselip” di antara alur ramp

Pemandangan yang unik dari tepian ramp

Pemandangan yang unik dari tepian ramp

Wright menawarkan seri ruang yang saling berhubungan, lalu membiarkan pengguna untuk
menelusuri kembali jejaknya saat beranjak keluar dari museum. Ruang-ruang penuh lengkung
organik yang terinspirasi dari alam, diinterpretasi pada konteks kota yang cenderung kaku dan
penuh siku. Ini adalah proyek major terakhir yang dirancang dan dibangun oleh Wright sebelum ia
meninggal dunia. Lagi-lagi sebuah masterpiece yang beruntung bisa saya kunjungi langsung di sela
masa studi saya di negeri Paman Sam. Wright berhasil memukau saya, bersama dengan ribuan dan
mungkin jutaan orang lain yang sudah pernah menginjakkan kakinya langsung ke Solomon R.
Guggenheim Museum.

Arsitek-tur saya berlanjut ke karya fenomenal Wright di tengah pepohonan ek dan mapel di Mill Run,
Pennsylvania. Sebuah rumah yang saya yakin dibahas di banyak ruang-ruang kuliah arsitektur di
seluruh penjuru dunia, Fallingwater House. Melihat langsung Fallingwater house ibaratnya umroh
arsitektur buat saya. Boleh saja anggap saya berlebihan, tapi rumah ini terlalu sentimental bagi saya.
Teringat dulu ketika masih di tingkat dua kuliah, saya duduk hampir terkantuk di kelas, lalu
mendadak sadar seratus persen ketika dosen saya menampilkan gambar rumah yang duduk di atas
air terjun, dibingkai pucuk-pucuk pohon berdaun warna-warni kemerahan. Rumahnya ramah,
menyatu seirama dengan alam di sekeliling. Arsitekturnya tidak arogan, sangat mengundang dan
memesona.

Sisi Fallingwater House yang paling dikenal

Sisi Fallingwater House yang paling dikenal

Perjalanan menuju Fallingwater house tidak kalah indahnya. Wright pasti sudah memikirkan dalam-
dalam pengalaman ruang pengantar menuju karyanya. Saat itu saya berada di balik kemudi,
bermanuver di antara pepohonan yang sedang gundul di musim dingin. Jalanan naik turun berliku,
terkadang terselip padang rumput hijau memukau. Udara saat itu tidak terlalu dingin, sehingga saya
bisa menikmati hembusan semilir angin pengunungan yang menenangkan.

Setibanya di tempat parkir, saya berjalan melalui jalan setapak. Semakin dekat ke Fallingwater
House, semakin berdebar jantung saya. Saat itu ramai, tapi saya sudah bisa mendengan gemericik air
dari air terjun. Hutan, pepohonan, jembatan, jalanan berbatu, hujan gerimis mengiring saya menuju
ke titik pertemuan langsung saya dengan Fallingwater House. Saya ingat, setelah berjalan lebih
kurang sepuluh menit, saya berbelok sekitar 45 derajat lalu menatap langsung rumah yang saya
kagumi sejak lima tahun lalu. Hanya berjarak tidak lebih dari 10 meter, saya disajikan pemandangan
sisi rumah yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Fitur horizontal dari tumpukan balkon sangat
mengundang. Jendela lebar berkusen coklat tua yang lebar dan rendah dipastikan ada di setiap
dinding yang mengitari. Ide arsitektur organik yang diusung Wright sangat terasa. Harmoni antara
lingkung bangun dan alam yang erat, menyatu, membentuk komposisi yang menawan.

Pandangan langsung yang pertama pada Fallingwater House

Pandangan langsung yang pertama pada Fallingwater House

Tampak dari jembatan menuju ke pintu utama

Tampak dari jembatan menuju ke pintu utama

Saya mencoba menangkap beberapa citra luar Fallingwater House sebelum saya masuk dan tidak
diperkenankan menggunakan kamera untuk mendokumentasikan ruang dalamnya. Semakin
mendekat, saya bisa melihat sungai yang mengalir di celah bawah struktur Fallingwater House yang
menggantung. Tampak tangga yang menjadi ambang dan akses antara ruang tamu menuju sungai.
Terbayang saat keluarga Edgar Kaufman, pemilik rumah ini, saat menghabiskan akhir pekan dan
bercengkrama di air terjun yang berada tepat di bawah rumahnya. Butuh kejeniusan arsitek dan
insinyur sipil untuk mampu menciptakan kemewahan ini, terlebih di tahun 1930-an saat Fallingwater
House dibangun.
Tangga yang menjadi akses langsung dari ruang tamu ke sungai dan air terjun

Tangga yang menjadi akses langsung dari ruang tamu ke sungai dan air terjun

(Sumber: http-//www.archdaily.com/60022/ad-classics-fallingwater-frank-lloyd-
wright/5037de0228ba0d599b00009b-ad-classics-fallingwater-frank-lloyd-wright-image)

Tidak lama, pemandu menggiring rombongan saya memasuki interior Fallingwater House. Perasaan
luas di alam bebas tiba-tiba ditekan begitu saya berada tepat di depan pintu masuk yang kecil,
pendek, dan gelap. Secara tidak sadar saya didorong masuk ke ruang tengah secepat mungkin. Ke
ruang yang lebih luas, lebih terang, dan lebih mengundang. Wright dengan sengaja menciptakan
perasaan tertekan lalu bebas seketika pengguna masuk ke ruang tengah yang luas. Kemanapun
menoleh, saya selalu bisa menatap keluar melalui jendela-jendela besar yang minim distraksi kisi
kayu atau kusen. Secara fisik saya berada di dalam, tapi saya tidak merasa saya terpisah dengan
dunia luar. Suara riuh air terjun masih terdengar, elemen bebatuan dan warna alam masih
mendominasi. Ruangan ini berada tepat di atas air terjun. Ada akses berupa jendela atau pintu yang
diikuti tangga menurun langsung ke sungai dan air terjun. Di sinilah tempat Edgar Kaufmann
berkumpul dengan keluarganya. Terdapat beberapa set sofa yang mengelilingi ruang tengah, satu
set meja makan, dan lemari penyimpanan alat makan. Mata saya tertuju pada tungku perapian
berwarna merah di pojok rumah dengan bingkai bebatuan alam yang masih tersusun asli layaknya di
alam luar. Wright berusaha untuk meminimalisir intervensi terhadap kondisi alam tapak tempat
rumah ini berdiri. Hal tersebut yang menjadi alasan mengapa suasana alam masih sangat terasa,
walaupun saya sudah berada di dalam rumah. Pengalas rumah berasal dari batu-batu alam yang
didapat dari sungai yang diberi lapisan lilin untuk menciptakan kesan basah layaknya bebatuan di
alam bebas. Setiap detil yang Wright pikirkan adalah manifestasi dari kepercayaannya pada
arsitektur organik, yang berkiblat pada hubungan harmonis antara objek arsitektur dan alam sekitar.

Suasana interior ruang utama Fallingwater House

Suasana interior ruang utama Fallingwater House

(Sumber: http://www.simonedesignblog.com/wp-content/uploads/2013/05/design_Fallingwater8)

Memandang Fallingwater House dari kejauhan, pasti didominasi oleh tumpukan balkon yang
menjalar ke berbagai sisi rumah. Citra horizontal Fallingwater House diciptakan dari susunan balkon
yang merupakan elemen utama rumah ini. Kontras dengan kamar-kamar berukuran kecil dan
beratap pendek, Wright memadankannya dengan balkon berukuran luas untuk setiap ruangan.
Wright ingin menjuruskan pandangan mata untuk menatap ke arah luar, menuju ke alam bebas.
Lagi-lagi ia menekankan pentingnya alam dalam eksistensi Fallingwater House. Mengutip perkataan
Wright, “Fallingwater adalah peristiwa fisikal dan spiritual dari manusia dan arsitektur yang menjadi
harmoni dengan alam”. Sebenarnya, masih banyak detil arsitektur yang mendukung argumen
Wright. Balok yang mengitari batang pohon, susunan batu fondasi yang mengkuti bahasa struktur
alami, kemiringan atap yang menerjemahkan pola aliran air, dan masih banyak lagi fitur memukau di
rumah ini. Jujur saya kewalahan dengan keindahan dan kejeniusan desain Fallingwater House. Dari
Fallingwater, Wright seolah berbisik pada saya bahwa sudah selayaknya arsitektur tidak menjadi
arogan dan memalingkan wajahnya dari alam tempatnya berdiri. Sudah sepantasnya hubungan itu
diekspos dan disatukan menjadi organisme yang bertumbuh bersama.

Balok yang “mengalah” dengan memberi ruang pada batang pohon

Balok yang “mengalah” dengan memberi ruang pada batang pohon

Atap dibuat miring dan berundak mengikuti sifat air yang mengalir

Atap dibuat miring dan berundak mengikuti sifat air yang mengalir

Sungguh, arsitek-tur kali ini menuntun saya untuk kembali berpikir untuk mendefinisikan keterkaitan
antara manusia, arsitektur, dan alam. Semakin banyak ditumpahi informasi, semakin tinggi rasa
penasaran saya untuk mengeksplorasi semakin banyak objek arsitektur di negeri ini.

Terima kasih, Wright!

Anda mungkin juga menyukai