Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN (LP)

ANAK DENGAN BROKOPNEUMONIA DI RUANG TANJUNG

BLUD R.SYAMSUDIN S.H KOTA SUKABUMI

Oleh :

R Novisa Rahmansyah

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

STIKES RAJAWALI BANDUNG

2017
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA ANAK DENGAN BRONKOPNEUMONIA

A. Anatomi
Organ pernafasan berguna bagi transgportasi gas-gas dimana organ-organ
pernafasan tersebut dibedakan menjadi bagian dimana udara mengalir yaitu
rongga hidung, pharynx, larynx, trakhea, dan bagian paru-paru yang berfungsi
melakukan pertukaran gas-gas antara udara dan darah.
1. Saluran nafas bagian atas, terdiri dari:
a) Hidung yang menghubungkan lubang-lubang sinus udara paraanalis yang
masuk kedalam rongga hidung dan juga lubang-lubang naso lakrimal yang
menyalurkan air mata kedalam bagian bawah rongga nasalis kedalam
hidung
b) Parynx (tekak) adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tenggorokan
sampai persambungannya dengan esophagus pada ketinggian tulang rawan
krikid maka letaknya di belakang hidung (naso farynx), dibelakang
mulut(oro larynx), dan dibelakang farinx (farinx laryngeal)
2. Saluran pernafasn bagian bawah terdiri dari :
a) Larynx (Tenggorokan) terletak di depan bagian terendah pharnyx yang
memisahkan dari kolumna vertebra, berjalan dari farine-farine sampai
ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke dalam trakhea di bawahnya.
b) Trachea (Batang tenggorokan) yang kurang lebih 9 cm panjangnya trachea
berjalan dari larynx sampai kira-kira ketinggian vertebra torakalis ke lima
dan ditempat ini bercabang menjadi dua bronchus (bronchi).
c) Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trachea pada ketinggian kira-
kira vertebralis torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan
trachea yang dilapisi oleh jenis sel yang sama. Cabang utama bronchus
kanan dan kiri tidak simetris. Bronchus kanan lebih pendek, lebih besar
dan merupakan lanjutan trachea dengan sudut lancip. Keanehan anatomis
ini mempunyai makna klinis yang penting.Tabung endotracheal terletak
sedemikian rupa sehingga terbentuk saluran udara paten yang mudah
masuk kedalam cabang bronchus kanan. Kalau udara salah jalan, maka
tidak dapat masuk kedalam paru-paru akan kolaps (atelektasis).Tapi arah
bronchus kanan yang hampir vertical maka lebih mudah memasukkan
kateter untuk melakukan penghisapan yang dalam. Juga benda asing yang
terhirup lebih mudah tersangkut dalam percabangan bronchus kanan ke
arahnya vertikal.
Cabang utma bronchus kanan dan kiri bercabang-cabang lagi
menjadi segmen lobus, kemudian menjadi segmen bronchus. Percabangan
ini terus menerus sampai cabang terkecil yang dinamakan bronchioles
terminalis yang merupakan cabang saluran udara terkecil yang tidak
mengandung alveolus. Bronchiolus terminal kurang lebih bergaris tengah
1 mm. Bronchiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan, tetapi di
kelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah, semua saluran
udara dibawah bronchiolus terminalis disebut saluran pengantar udara
karena fungsi utamanya dalah sebagai pengantar udara ketempat
pertukaran gas paru-paru. Di luar bronchiolus terminalis terdapat asinus
yang merupakan unit fungsional paru-paru, tempat pertukaran gas. Duktus
alveolaris yang seluruhnya dibatasi oleh alveolus dan sakus alveolaris
terminalis merupakan struktur akhir paru-paru.
d) Paru merupakan organ elastik berbentuk kerucut yang terletak dalam
rongga toraks atau dada. Kedua paru-paru saling terpisah oleh
mediastinum central yang mengandung jantung dan pembuluh-pembuluh
darah besar. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas paru) dan dasar.
Pembuluh darah paru dan bronchial, bronkus, saraf dan pembuluh limfe
memasuuki tiap paru pada bagian hilus dan membentuk akar paru. Paru
kanan lebih banyak daripada kiri, paru kanan dibagi menjadi tiga lobus
dan paru kiri dibagi menjadi dua lobus. Lobus-lobus tersebut dibagi lagi
menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen bronchusnya. Paru kanan
mempunyai 3 buah segmen pada lobus inferior, 2 buah segmen pada lobus
medialis, 5 buah pada lobus superior kiri. Paru kiri mempunyai 5 buah
segmen pada lobus inferior dan 5 buah segmen pada lobus superior.Tiap-
tiap segmen masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama
lobulus. Didalam lobulus, bronkhiolus ini bercabang- cabang banyak
sekali, cabang ini disebut duktus alveolus.Tiap duktus alveolus berakhir
pada alveolus yang diameternya antara 0,2- 0,3 mm. Letak paru di rongga
dada dibungkus oleh selaput tipis yang bernama selaput pleura.
Pleura dibagi menjadi dua :1) pleura visceral (selaput dada
pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru; 2)
pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar.
Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut kavum
pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini vakum (hampa
udara)sehingga paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit
cairan (eksudat) yang berguna untuk meminyaki permukaannya (pleura),
menghindarkan gesekan antara paru dan dinding sewaktu ada gerakan
bernafas. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfir,
sehingga mencegah kolpas paru kalau terserang penyakit, pleura
mengalami peradangan, atau udara atau cairan masuk ke dalam rongga
pleura, menyebabkan paru tertekan atau kolaps.

Gambar 1. Anatomi Saluran Pernapasan


B. Definisi
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang
mengenai parenkim paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi (Bennete,
2013) :
1. Pneumonia lobaris
2. Pneumonia interstisial (bronkiolitis)
3. Bronkopneumonia
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu
peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai
bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering terjadi pada
anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti
bakteri, virus, jamur dan benda asing. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan
oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu
dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder
terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga
sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang
dewasa (Bennete, 2013).
Bronchopneumoni adalah salah satu jenis pneumonia yang mempunyai
pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi di
dalam bronchi dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya.
(Smeltzer & Suzanne C, 2002). Bronchopneomonia adalah penyebaran daerah
infeksi yang berbercak dengan diameter sekitar 3 sampai 4 cm mengelilingi dan
juga melibatkan bronchi. (Sylvia A. Price & Lorraine M.W, 2006).
Bronkhopneumonia adalah salah satu peradangan paru yang terjadi pada
jaringan paru atau alveoli yang biasanya didahului oleh infeksi traktus respiratus
bagian atas selama beberapa hari. Yang dapat disebabkan oleh bermacam-macam
etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing lainnya. (Dep. Kes. 1996 :
Halaman 106).
Bronkopneumonia digunakan untuk menggambarkan pneumonia yang
mempunyai pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area
terlokalisasi didalam bronki dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di
sekitarnya. Pada bronkopneumonia terjadi konsolidasi area berbercak.
(Smeltzer,2001).
Jadi bronkopneumonia adalah radang paru terutama pada bagian bronkus
dan alveolus yang berada di sekitarnya, serta terjadi konsolidasi area berbercak,
yang sebelumnya didahului dengan adanya infeksi pada saluran pernapasan
bagian atas.

C. Etiologi
Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah (Bradley et.al.,
2011) :
1. Faktor Infeksi
a) Pada neonatus: Streptokokus group B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).
b) Pada bayi :
 Virus: Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,
Cytomegalovirus.
 Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
 Bakteri: Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium
tuberculosa, Bordetella pertusis.
c) Pada anak-anak :
 Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSV
 Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
 Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosis
d) Pada anak besar – dewasa muda :
 Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis
 Bakteri: Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. tuberculosis
2. Faktor Non Infeksi.
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi
a) Bronkopneumonia hidrokarbon :
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde
lambung (zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).
b) Bronkopneumonia lipoid :
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara
intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu
mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan
posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan
pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada
jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung
asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan
minyak ikan.
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk
terjadinya bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita
penyakit yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang
pada bayi dan anak merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.

3. Faktor Predisposisi
a. Usia
b. Genetik

4. Faktor Presipitasi
a. Gizi buruk/kurang
b. Berat badan lahir rendah (BBLR)
c. Tidak mendapatkan ASI yang memadai
d. Imunisasi yang tidak lengkap
e. Polusi udara
f. Kepadatan tempat tinggal
D. Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan,
dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli
telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti
secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan (Bradley et.al., 2011).
1. Berdasarkan lokasi lesi di paru
a) Pneumonia lobaris
b) Pneumonia interstitialis
c) Bronkopneumonia
2. Berdasarkan asal infeksi
a) Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired pneumonia
= CAP)
b) Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)
3. Berdasarkan mikroorganisme penyebab
a) Pneumonia bakteri
b) Pneumonia virus
c) Pneumonia mikoplasma
d) Pneumonia jamur
4. Berdasarkan karakteristik penyakit
a) Pneumonia tipikal
b) Pneumonia atipikal
5. Berdasarkan lama penyakit
a) Pneumonia akut
b) Pneumonia persisten

E. Tanda dan Gejala


Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi
saluran nafas bagian atas selama beberapa hari.
1. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 390-400C
2. Mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi.
3. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan
cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut.
4. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk
setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian
menjadi produktif (Bennete, 2013).
Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia khususnya
bronkopneumonia ditemukan hal-hal sebagai berikut (Bennete, 2013):
1. Pada inspeksi : terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan
pernapasan cuping hidung.
Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah
 retraksi dinding dada
 penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping hidung
 orthopnea
 pergerakan pernafasan yang berlawanan.
Tekanan intrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi
melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-bagian
yang mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan
sub kostal, dan fossae supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya,
ruang interkostal yang melenting dapat terlihat apabila tekanan intrapleura
yang semakin positif. Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir
dimana jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan
anak yang lebih tua.
Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan
pergerakan fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda
yang paling dapat dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada
infant, kontraksi otot ini terjadi akibat “head bobbing”, yang dapat
diamati dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala disangga
tegal lurus dengan area suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres
pernapasan yang lain pada “head bobbing”, adanya kerusakan sistem
saraf pusat dapat dicurigai.
Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan
adanya distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek
secara abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada). Pengembangan
hidung memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi
jalan napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga menstabilkan
jalan napas atas dengan mencegah tekanan negatif faring selama
inspirasi.
2. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan
getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi
perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi
akan berkurang.
3. Pada perkusi tidak terdapat kelainan
4. Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek
dan berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada
tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang
mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang
atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar
(tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles dihasilkan oleh gelembung-
gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-
tiba terbuka.

F. Patofisiologi dan Web Caution

Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai


parenkim paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme
pertahanan anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik.
Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan
mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan
respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin,
makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel.
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau
bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas
bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas
bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan
kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan
mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar
25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus.
Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif
jaringan ikat paru yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial.
Pneumonia bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran
pembuluh darah, eksudasi cairan intra-alveolar, penumpukan fibrin, dan infiltrasi
neutrofil, yang dikenal dengan stadium hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan
menyebabkan penurunan compliance paru dan kapasitas vital. Peningkatan aliran
darah yamg melewati paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya pergeseran
fisiologis (ventilation-perfusion missmatching) yang kemudian menyebabkan
terjadinya hipoksemia. Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan
kerja jantung.
Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan
disintegrasi progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada kebanyakan
kasus, resolusi konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara
enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan dan dikeluarkan melalui batuk.
Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas ke kavitas pleura, supurasi intrapleura
menyebabkan terjadinya empyema. Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung
secara spontan, namun kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan
pembentukan perlekatan (Bennete, 2013).
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):
1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia
ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast
setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut
mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan
jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin
untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler
paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah
paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian
dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau
sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung
sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler
darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Sinar X : mengidentifikasi distribusi struktural; dapat juga menyatakan abses
luas/infiltrat, empiema(stapilococcus); infiltrasi menyebar atau terlokalisasi
(bakterial); atau penyebaran /perluasan infiltrat nodul (virus). Pneumonia
mikoplasma sinar X dada mungkin bersih.
Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan
peningkatan corakan bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang
tersebar di pinggir lapang paru. Bayangan bercak ini sering terlihat pada
lobus bawah.

Gambar 2. Bronchopneumonia pada Anak umur 5 tahun

2. GDA : tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlibat
dan penyakit paru yang ada. Mungkin menunjukkan hipoksemia dan
hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
3. Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah : diambil dengan biopsy jarum,
aspirasi transtrakeal, bronkoskopifiberotik atau biopsi pembukaan paru untuk
mengatasi organisme penyebab.
4. JDL : leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih rendah terjadi pada
infeksi virus, kondisi tekanan imun memungkinkan berkembangnya
pneumonia bakterial. Infeksi virus: leukosit normal atau meningkat (tidak
lebih dari 20.000/mm3 dengan limfosit predominan) dan infeksi bakteri;
leukosit meningkat 15.000-40.000/mm3 dengan neutrofil yang predominan.
5. Pemeriksaan serologi : titer virus atu legionella, aglutinin dingin.
6. LED : meningkat
7. Pemeriksaan fungsi paru : volume mungkin menurun (kongesti dan
kolaps alveolar); tekanan jalan nafas mungkin meningkat dan komplain
menurun, hipoksemia.
8. Elektrolit : natrium dan klorida mungkin rendah
9. Bilirubin : mungkin meningkat
10. Aspirasi perkutan/biopsi jaringan paru terbuka :menyatakan intranuklear
tipikal dan keterlibatan sitoplasmik(CMV) (Doenges, 2000)

H. Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut (Bradley, et
all, 2011):
a. Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding
dada.
b. Panas badan
c. Ronki basah halus-sedang nyaring (crakles)
d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrate difus
e. Leukositas (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit
predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)

I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Keperawatan yang dapat diberikan pada klien
bronkopneumonia adalah:
1. Menjaga kelancaran pernapasan
2. Kebutuhan istirahat
3. Kebutuhan nutrisi dan cairan
4. Mengontrol suhu tubuh
5. Mencegah komplikasi atau gangguan rasa nyaman dan nyaman
Sementara Penatalaksanaan medis yang dapat diberikan adalah:
1. Oksigen 2 liter/menit (sesuai kebutuhan klien)
2. Jika sesak tidak terlalu hebat, dapat dimulai makan eksternal bertahap
melalui selang nasogastrik dengan feeding drip
3. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal
dan beta agonis untuk transpor muskusilier
4. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit (Arief
Mansjoer, 2000).
Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak
terdiri dari 2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus (IDAI, 2012;
Bradley et.al., 2011).
1. Penatalaksaan Umum
a) Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit  sampai sesak nafas hilang atau
PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr.
b) Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
c) Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
2. Penatalaksanaan Khusus
a) Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan
pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi
antibioti awal.
b) Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi,
takikardi, atau penderita kelainan jantung.
c) Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan
manifestasi klinis. Pneumonia ringan  amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis
(di wilayah dengan angka resistensi penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan
menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).
Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :
1. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis
2. Berat ringan penyakit
3. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis
4. Ada tidaknya penyakit yang mendasari
Pemilihan antibiotik dalam penanganan pneumonia pada anak harus
dipertimbangkan berdasakan pengalaman empiris, yaitu bila tidak ada kuman
yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam pertama) menurut kelompok
usia.
1. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :
a) ampicillin + aminoglikosid
b) amoksisillin - asam klavulanat
c) amoksisillin + aminoglikosid
d) sefalosporin generasi ke-3
2. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)
a) beta laktam amoksisillin
b) amoksisillin - asam klavulanat
c) golongan sefalosporin
d) kotrimoksazol
e) makrolid (eritromisin)
3. Anak usia sekolah (> 5 thn)
a) amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
b) tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun).
Dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka
harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali
sampai hari ketiga. Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan
perbaikan yang nyata dalam 24-72 jam  ganti dengan antibiotik lain yang lebih
tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan
dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan
seolah-olah antibiotik tidak efektif).

J. Komplikasi
Komplikasi dari bronchopneumonia adalah :
a. Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps
paru merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk hilang.
b. Empisema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga
pleura terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura.
c. Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.
d. Infeksi sitemik
e. Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
f. Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.

K. Pencegahan Bronkopneumonia
1. Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan
orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat agar tidak
sakit. Secara garis besar, upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum
dan pencegahan khusus.
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap
kejadian bronkopneumonia. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :
a) Memberikan imunisasi BCG satu kali (pada usia 0-11 bulan), Campak satu
kali (pada usia 9-11 bulan), DPT (Diphteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali
(pada usia 2-11 bulan), Polio sebanyak 4 kali (pada usia 2-11 bulan), dan
Hepatitis B sebanyak 3 kali (0-9 bulan)..
b) Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberika ASI pada bayi
neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada balita.
c) Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan polusi
di luar ruangan.
d) Mengurangi kepadatan hunian rumah.

2. Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah
orang telah sakit agar sembuh, menghambat progesifitas penyakit, menghindari
komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi
diagnosis dini dan pengobatan yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya
penyakit dan terjadinya komplikasi. Upaya yang dilakukan antara lain :26
a) Bronkopneumonia berat : rawat di rumah sakit, berikan oksigen, beri
antibiotik benzilpenisilin, obati demam, obati mengi, beri perawatan suportif,
nilai setiap hari.
b) Bronkopneumonia : berikan kotrimoksasol, obati demam, obati mengi.
c) Bukan Bronkopneumonia : perawatan di rumah, obati demam.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :
a) Memberi makan anak selama sakit, tingkatkan pemberian makan setelah sakit.
b) Bersihkan hidung jika terdapat sumbatan pada hidung yang menganggu proses
pemberian makan.
c) Berikan anak cairan tambahan untuk minum.
d) Tingkatkan pemberian ASI.
e) Legakan tenggorok dan sembuhkan batuk dengan obat yang aman.
f) Ibu sebaiknya memperhatikan tanda-tanda seperti: bernapas menjadi sulit,
pernapasan menjadi cepat, anak tidak dapat minum, kondisi anak memburuk,
jika terdapat tanda-tanda seperti itu segera membawa anak ke petugas
kesehatan.

L. Masalah Keperawatan Yang Perlu Dikaji


1. Fokus Pengkajian
Usia bronkopneumoni sering terjadi pada anak. Kasus terbanyak sering
terjadi pada anak berusia dibawah 3 tahun dan kematian terbanyak terjadi pada
bayi berusia kurang dari 2 bulan, tetapi pada usia dewasa juga masih sering
mengalami bronkopneumonia.
2. Keluhan Utama : sesak nafas
3. Riwayat Penyakit
a) Pneumonia Virus : didahului oleh gejala-gejala infeksi saluran nafas,
termasuk renitis (alergi) dan batuk, serta suhu badan lebih rendah daripada
pneumonia bakteri.
b) Pneumonia Stafilokokus (bakteri) : didahului oleh infeksi saluran
pernapasan akut atau bawah dalam beberapa hari hingga seminggu,
kondisi suhu tubuh tinggi, batuk mengalami kesulitan pernapasan.
4. Riwayat Kesehatan Dahulu
Sering menderita penyakit saluran pernapasan bagian atas riwayat penyakit
fertusis yaitu penyakit peradangan pernapasan dengan gejala bertahap panjang
dan lama yang disertai wheezing (pada Bronchopneumonia).
5. Pengkajian Fisik
a) Inspeksi : Perlu diperhatikan adanya takhipnea, dispnea, sianosis
sirkumoral, pernafasan cuping hidung, distensi abdomen, batuk semula
non produktif menjadi produktif, serta nyeri dada pada waktu menarik
nafas pada pneumonia berat, tarikan dinding dada akan tampak jelas.
b) Palpasi : Suara redup pada sisi yang sakit, hati mungkin membesar,
fremitus raba mungkin meningkat pada sisi yang sakit dan nadi mengalami
peningkatan.
c) Perkusi : Suara redup pada sisi yang sakit.
d) Auskultasi : Pada pneumoniakan terdengar stidor suara nafas berjurang,
ronkhi halus pada sisi yang sakit dan ronkhi pada sisi yang resolusi,
pernafasan bronchial, bronkhofoni, kadang-kadang terdenar bising gesek
pleura.
6. Data Fokus
a) Pernapasan
 Gejala : takipneu, dispneu, progresif, pernapasan dangkal, penggunaan obat
aksesoris, pelebaran nasal.
 Tanda : bunyi napas ronkhi, halus dan melemah, wajah pucat atau sianosis
bibir atau kulit
b) Aktivitas atau istirahat
 Gejala : kelemahan, kelelahan, insomnia
 Tanda : penurunan toleransi aktivitas, letargi
c) Integritas ego : banyaknya stressor
d) Makanan atau cairan
 Gejala ; kehilangan napsu makan, mual, muntah
 Tanda: distensi abdomen, hiperperistaltik usus, kulit kering dengan tugor
kulit buruk, penampilan kakeksia (malnutrisi)
e) Nyeri atau kenyamanan
 Gejala : sakit kepala, nyeri dada (pleritis), meningkat oleh batuk, nyeri dada
subternal (influenza), maligna, atralgia.
 Tanda : melindungi area yang sakit (pasien umumnya tidur pada posisi
yang sakit untuk membatasi gerakan) (Doengos,2000).

M. Diagnosa Keperawatan
Masalah keperawatan yang lazim muncul, yaitu (Nurarif,2013):
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d peningkatan produksi sputum
2. Ketidakefektifan pola napas b.d hiperventilasi.
3. Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membrane alveolus kapiler.
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia yang
berhubungan dengan toksin bakteri 20aud an rasa sputum.
5. Resiko ketidakseimbangan elektrolit b.d. kehilangan cairan berlebih.
6. Intoleransi aktivitas b.d insufisiensi O2 untuk aktivitas sehari-hari.

N. Prioritas Tindakan Keperawatan


1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d peningkatan produksi sputum.
2. Ketidakefektifan pola napas b.d hiperventilasi.
3. Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membrane alveolus kapiler.
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia yang
berhubungan dengan toksin bakteri bau dan rasa sputum.
DAFTAR PUSTAKA

Ackley BJ, Ladwig GB. 2011. Nursing Diagnosis Handbook an Evidence-Based


Guide to Planning Care. United Stated of America : Elsevier.

Bennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia.


Diakses pada tanggal 21 Juli 2013
http://emedicine.medscape.com/article/967822-overview.

Bradley JS, Byington CL, Shah SS, Alverson B, Carter ER, Harrison C, Kaplan
SL et all. The Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants
and Children Older Than 3 Month of Age:Clinical Practice Guidelines by the
Pediatric Infectious Diseases Society and the Infectious Diseas Society of
America. Clin Infect Dis. 2011; 53 (7): 617-630.

Bulechek GM, Butcher HK, Dochterman JM. 2009. Nursing Interventions


Classification (NIC) Fifth Edition. United States of America: Mosby Elsevier.

Dahlan Z. 2006. Pneumonia, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Suyono S.
(ed). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Departemen Kesehatan RI.1996. Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat,
Jakarta :Depkes.

Doenges M. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakata : EGC.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Panduan Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta : Penerbit IDAI.

Mansjoer A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke 3 Jilid ke 2. Jakarta:


Media Aesculapius.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Martin T, Susan. 2000. Standar Perawatan Pasien: Proses Keperawatan,


Diagnosis, Dan Evaluasi. Jakarta: EGC.

Moorhead S, Johnson M, Maas ML, Swanson E. 2009. Nursing Outcome


Classification (NOC) Fourth Edition. United States of America: Mosby
Elsevier.

Nurarif AH, Kusuma H. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan


Diagnosa Medis, NANDA, dan NIC-NOC. Yogyakarta : Media Action.

Pearce, C. Evelyn. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama.
Reevers, Charlene J, et all .2001. Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta : Salemba
Medica.

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda GB. 2001. Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8.
Vol 1. Jakarta: EGC.

Smetlzer SC, Bare BG. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
dan Suddart . Jakarta: EGC,

Sylvia A. Price & Lorraine M.W. 2006.Patofisiologi konsep klinis dan proses-
proses penyakit. Jakarta: ECG.

Wiley, Blackwell. 2009. Nursing Dianoses Definition and Classification 2009-


2011. United States of America: Mosby Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai