Oleh :
R Novisa Rahmansyah
2017
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA ANAK DENGAN BRONKOPNEUMONIA
A. Anatomi
Organ pernafasan berguna bagi transgportasi gas-gas dimana organ-organ
pernafasan tersebut dibedakan menjadi bagian dimana udara mengalir yaitu
rongga hidung, pharynx, larynx, trakhea, dan bagian paru-paru yang berfungsi
melakukan pertukaran gas-gas antara udara dan darah.
1. Saluran nafas bagian atas, terdiri dari:
a) Hidung yang menghubungkan lubang-lubang sinus udara paraanalis yang
masuk kedalam rongga hidung dan juga lubang-lubang naso lakrimal yang
menyalurkan air mata kedalam bagian bawah rongga nasalis kedalam
hidung
b) Parynx (tekak) adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tenggorokan
sampai persambungannya dengan esophagus pada ketinggian tulang rawan
krikid maka letaknya di belakang hidung (naso farynx), dibelakang
mulut(oro larynx), dan dibelakang farinx (farinx laryngeal)
2. Saluran pernafasn bagian bawah terdiri dari :
a) Larynx (Tenggorokan) terletak di depan bagian terendah pharnyx yang
memisahkan dari kolumna vertebra, berjalan dari farine-farine sampai
ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke dalam trakhea di bawahnya.
b) Trachea (Batang tenggorokan) yang kurang lebih 9 cm panjangnya trachea
berjalan dari larynx sampai kira-kira ketinggian vertebra torakalis ke lima
dan ditempat ini bercabang menjadi dua bronchus (bronchi).
c) Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trachea pada ketinggian kira-
kira vertebralis torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan
trachea yang dilapisi oleh jenis sel yang sama. Cabang utama bronchus
kanan dan kiri tidak simetris. Bronchus kanan lebih pendek, lebih besar
dan merupakan lanjutan trachea dengan sudut lancip. Keanehan anatomis
ini mempunyai makna klinis yang penting.Tabung endotracheal terletak
sedemikian rupa sehingga terbentuk saluran udara paten yang mudah
masuk kedalam cabang bronchus kanan. Kalau udara salah jalan, maka
tidak dapat masuk kedalam paru-paru akan kolaps (atelektasis).Tapi arah
bronchus kanan yang hampir vertical maka lebih mudah memasukkan
kateter untuk melakukan penghisapan yang dalam. Juga benda asing yang
terhirup lebih mudah tersangkut dalam percabangan bronchus kanan ke
arahnya vertikal.
Cabang utma bronchus kanan dan kiri bercabang-cabang lagi
menjadi segmen lobus, kemudian menjadi segmen bronchus. Percabangan
ini terus menerus sampai cabang terkecil yang dinamakan bronchioles
terminalis yang merupakan cabang saluran udara terkecil yang tidak
mengandung alveolus. Bronchiolus terminal kurang lebih bergaris tengah
1 mm. Bronchiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan, tetapi di
kelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah, semua saluran
udara dibawah bronchiolus terminalis disebut saluran pengantar udara
karena fungsi utamanya dalah sebagai pengantar udara ketempat
pertukaran gas paru-paru. Di luar bronchiolus terminalis terdapat asinus
yang merupakan unit fungsional paru-paru, tempat pertukaran gas. Duktus
alveolaris yang seluruhnya dibatasi oleh alveolus dan sakus alveolaris
terminalis merupakan struktur akhir paru-paru.
d) Paru merupakan organ elastik berbentuk kerucut yang terletak dalam
rongga toraks atau dada. Kedua paru-paru saling terpisah oleh
mediastinum central yang mengandung jantung dan pembuluh-pembuluh
darah besar. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas paru) dan dasar.
Pembuluh darah paru dan bronchial, bronkus, saraf dan pembuluh limfe
memasuuki tiap paru pada bagian hilus dan membentuk akar paru. Paru
kanan lebih banyak daripada kiri, paru kanan dibagi menjadi tiga lobus
dan paru kiri dibagi menjadi dua lobus. Lobus-lobus tersebut dibagi lagi
menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen bronchusnya. Paru kanan
mempunyai 3 buah segmen pada lobus inferior, 2 buah segmen pada lobus
medialis, 5 buah pada lobus superior kiri. Paru kiri mempunyai 5 buah
segmen pada lobus inferior dan 5 buah segmen pada lobus superior.Tiap-
tiap segmen masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama
lobulus. Didalam lobulus, bronkhiolus ini bercabang- cabang banyak
sekali, cabang ini disebut duktus alveolus.Tiap duktus alveolus berakhir
pada alveolus yang diameternya antara 0,2- 0,3 mm. Letak paru di rongga
dada dibungkus oleh selaput tipis yang bernama selaput pleura.
Pleura dibagi menjadi dua :1) pleura visceral (selaput dada
pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru; 2)
pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar.
Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut kavum
pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini vakum (hampa
udara)sehingga paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit
cairan (eksudat) yang berguna untuk meminyaki permukaannya (pleura),
menghindarkan gesekan antara paru dan dinding sewaktu ada gerakan
bernafas. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfir,
sehingga mencegah kolpas paru kalau terserang penyakit, pleura
mengalami peradangan, atau udara atau cairan masuk ke dalam rongga
pleura, menyebabkan paru tertekan atau kolaps.
C. Etiologi
Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah (Bradley et.al.,
2011) :
1. Faktor Infeksi
a) Pada neonatus: Streptokokus group B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).
b) Pada bayi :
Virus: Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,
Cytomegalovirus.
Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
Bakteri: Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium
tuberculosa, Bordetella pertusis.
c) Pada anak-anak :
Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSV
Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosis
d) Pada anak besar – dewasa muda :
Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis
Bakteri: Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. tuberculosis
2. Faktor Non Infeksi.
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi
a) Bronkopneumonia hidrokarbon :
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde
lambung (zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).
b) Bronkopneumonia lipoid :
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara
intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu
mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan
posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan
pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada
jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung
asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan
minyak ikan.
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk
terjadinya bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita
penyakit yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang
pada bayi dan anak merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.
3. Faktor Predisposisi
a. Usia
b. Genetik
4. Faktor Presipitasi
a. Gizi buruk/kurang
b. Berat badan lahir rendah (BBLR)
c. Tidak mendapatkan ASI yang memadai
d. Imunisasi yang tidak lengkap
e. Polusi udara
f. Kepadatan tempat tinggal
D. Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan,
dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli
telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti
secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan (Bradley et.al., 2011).
1. Berdasarkan lokasi lesi di paru
a) Pneumonia lobaris
b) Pneumonia interstitialis
c) Bronkopneumonia
2. Berdasarkan asal infeksi
a) Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired pneumonia
= CAP)
b) Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)
3. Berdasarkan mikroorganisme penyebab
a) Pneumonia bakteri
b) Pneumonia virus
c) Pneumonia mikoplasma
d) Pneumonia jamur
4. Berdasarkan karakteristik penyakit
a) Pneumonia tipikal
b) Pneumonia atipikal
5. Berdasarkan lama penyakit
a) Pneumonia akut
b) Pneumonia persisten
2. GDA : tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlibat
dan penyakit paru yang ada. Mungkin menunjukkan hipoksemia dan
hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
3. Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah : diambil dengan biopsy jarum,
aspirasi transtrakeal, bronkoskopifiberotik atau biopsi pembukaan paru untuk
mengatasi organisme penyebab.
4. JDL : leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih rendah terjadi pada
infeksi virus, kondisi tekanan imun memungkinkan berkembangnya
pneumonia bakterial. Infeksi virus: leukosit normal atau meningkat (tidak
lebih dari 20.000/mm3 dengan limfosit predominan) dan infeksi bakteri;
leukosit meningkat 15.000-40.000/mm3 dengan neutrofil yang predominan.
5. Pemeriksaan serologi : titer virus atu legionella, aglutinin dingin.
6. LED : meningkat
7. Pemeriksaan fungsi paru : volume mungkin menurun (kongesti dan
kolaps alveolar); tekanan jalan nafas mungkin meningkat dan komplain
menurun, hipoksemia.
8. Elektrolit : natrium dan klorida mungkin rendah
9. Bilirubin : mungkin meningkat
10. Aspirasi perkutan/biopsi jaringan paru terbuka :menyatakan intranuklear
tipikal dan keterlibatan sitoplasmik(CMV) (Doenges, 2000)
H. Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut (Bradley, et
all, 2011):
a. Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding
dada.
b. Panas badan
c. Ronki basah halus-sedang nyaring (crakles)
d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrate difus
e. Leukositas (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit
predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Keperawatan yang dapat diberikan pada klien
bronkopneumonia adalah:
1. Menjaga kelancaran pernapasan
2. Kebutuhan istirahat
3. Kebutuhan nutrisi dan cairan
4. Mengontrol suhu tubuh
5. Mencegah komplikasi atau gangguan rasa nyaman dan nyaman
Sementara Penatalaksanaan medis yang dapat diberikan adalah:
1. Oksigen 2 liter/menit (sesuai kebutuhan klien)
2. Jika sesak tidak terlalu hebat, dapat dimulai makan eksternal bertahap
melalui selang nasogastrik dengan feeding drip
3. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal
dan beta agonis untuk transpor muskusilier
4. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit (Arief
Mansjoer, 2000).
Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak
terdiri dari 2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus (IDAI, 2012;
Bradley et.al., 2011).
1. Penatalaksaan Umum
a) Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas hilang atau
PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr.
b) Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
c) Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
2. Penatalaksanaan Khusus
a) Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan
pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi
antibioti awal.
b) Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi,
takikardi, atau penderita kelainan jantung.
c) Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan
manifestasi klinis. Pneumonia ringan amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis
(di wilayah dengan angka resistensi penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan
menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).
Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :
1. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis
2. Berat ringan penyakit
3. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis
4. Ada tidaknya penyakit yang mendasari
Pemilihan antibiotik dalam penanganan pneumonia pada anak harus
dipertimbangkan berdasakan pengalaman empiris, yaitu bila tidak ada kuman
yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam pertama) menurut kelompok
usia.
1. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :
a) ampicillin + aminoglikosid
b) amoksisillin - asam klavulanat
c) amoksisillin + aminoglikosid
d) sefalosporin generasi ke-3
2. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)
a) beta laktam amoksisillin
b) amoksisillin - asam klavulanat
c) golongan sefalosporin
d) kotrimoksazol
e) makrolid (eritromisin)
3. Anak usia sekolah (> 5 thn)
a) amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
b) tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun).
Dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka
harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali
sampai hari ketiga. Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan
perbaikan yang nyata dalam 24-72 jam ganti dengan antibiotik lain yang lebih
tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan
dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan
seolah-olah antibiotik tidak efektif).
J. Komplikasi
Komplikasi dari bronchopneumonia adalah :
a. Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps
paru merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk hilang.
b. Empisema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga
pleura terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura.
c. Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.
d. Infeksi sitemik
e. Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
f. Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.
K. Pencegahan Bronkopneumonia
1. Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan
orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat agar tidak
sakit. Secara garis besar, upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum
dan pencegahan khusus.
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap
kejadian bronkopneumonia. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :
a) Memberikan imunisasi BCG satu kali (pada usia 0-11 bulan), Campak satu
kali (pada usia 9-11 bulan), DPT (Diphteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali
(pada usia 2-11 bulan), Polio sebanyak 4 kali (pada usia 2-11 bulan), dan
Hepatitis B sebanyak 3 kali (0-9 bulan)..
b) Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberika ASI pada bayi
neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada balita.
c) Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan polusi
di luar ruangan.
d) Mengurangi kepadatan hunian rumah.
2. Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah
orang telah sakit agar sembuh, menghambat progesifitas penyakit, menghindari
komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi
diagnosis dini dan pengobatan yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya
penyakit dan terjadinya komplikasi. Upaya yang dilakukan antara lain :26
a) Bronkopneumonia berat : rawat di rumah sakit, berikan oksigen, beri
antibiotik benzilpenisilin, obati demam, obati mengi, beri perawatan suportif,
nilai setiap hari.
b) Bronkopneumonia : berikan kotrimoksasol, obati demam, obati mengi.
c) Bukan Bronkopneumonia : perawatan di rumah, obati demam.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :
a) Memberi makan anak selama sakit, tingkatkan pemberian makan setelah sakit.
b) Bersihkan hidung jika terdapat sumbatan pada hidung yang menganggu proses
pemberian makan.
c) Berikan anak cairan tambahan untuk minum.
d) Tingkatkan pemberian ASI.
e) Legakan tenggorok dan sembuhkan batuk dengan obat yang aman.
f) Ibu sebaiknya memperhatikan tanda-tanda seperti: bernapas menjadi sulit,
pernapasan menjadi cepat, anak tidak dapat minum, kondisi anak memburuk,
jika terdapat tanda-tanda seperti itu segera membawa anak ke petugas
kesehatan.
M. Diagnosa Keperawatan
Masalah keperawatan yang lazim muncul, yaitu (Nurarif,2013):
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d peningkatan produksi sputum
2. Ketidakefektifan pola napas b.d hiperventilasi.
3. Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membrane alveolus kapiler.
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia yang
berhubungan dengan toksin bakteri 20aud an rasa sputum.
5. Resiko ketidakseimbangan elektrolit b.d. kehilangan cairan berlebih.
6. Intoleransi aktivitas b.d insufisiensi O2 untuk aktivitas sehari-hari.
Bradley JS, Byington CL, Shah SS, Alverson B, Carter ER, Harrison C, Kaplan
SL et all. The Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants
and Children Older Than 3 Month of Age:Clinical Practice Guidelines by the
Pediatric Infectious Diseases Society and the Infectious Diseas Society of
America. Clin Infect Dis. 2011; 53 (7): 617-630.
Dahlan Z. 2006. Pneumonia, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Suyono S.
(ed). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Departemen Kesehatan RI.1996. Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat,
Jakarta :Depkes.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Panduan Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta : Penerbit IDAI.
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda GB. 2001. Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8.
Vol 1. Jakarta: EGC.
Smetlzer SC, Bare BG. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
dan Suddart . Jakarta: EGC,
Sylvia A. Price & Lorraine M.W. 2006.Patofisiologi konsep klinis dan proses-
proses penyakit. Jakarta: ECG.