Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

LAPORAN PENDAULUAN
ISOLASI DIRI

A. Definisi
Isolasi sosial adalah keadaan seorang individu yang mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan
orang lain di sekitarnya (Azizah, dkk, 2012).
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu
mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi
dengan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak
diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti
dengan orang lain (Purba, dkk. 2008).
Kerusakan interaksi sosial merupakan suatu gangguan hubungan
interpresonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel
yang menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang
dalam hubungan sosial (Depkes RI, 2000). Isolasi sosial adalah upaya
klien untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari
hubungan dengan orang lain maupun komunikasi dengan orang lain
(Keliat, budi anna 1998).
Isolasi sosial merupakan upaya menghindari komunikasi dengan
orang lain karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak
mempunyai kesempatan untuk berbagi rasa, pikiran dan kegagalan. Klien
mengalami kesulitan dalam berhubungan secara spontan dengan orang lain
yang dimanifestasikan dengan mengisolasi diri, tidak ada perhatian dan
tidak sanggup berbagi pengalaman.

B. Etiologi
1) Faktor Predisposisi
a) Faktor Tumbuh Kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas
perkembangan yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan
dalam hubungan sosial. Bila tugas-tugas dalam perkembangan
ini tidak terpenuhi maka akan menghambat fase perkembangan
sosial yang nantinya akan dapat menimbulkan masalah.
b) Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam
teori ini yang termasuk masalah dalam berkomunikasi sehingga
menimbulkan ketidakjelasan yaitu suatu keadaan dimana
seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling
bertentangan dalam waktu bersamaan atau ekspresi emosi yang
tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk berhubungan
dengan lingkungan di luar keluarga.

c) Faktor Sosial Budaya


Isolasi social atau mengasingkan diri dari dari lingkungan social
merupakan suatu faktor pendukung terjadinya gangguan dalam
hubungan sosial. Hal ini di sebabkan oleh norma-norma yang
salah dianut oleh keluarga, dimana setiap anggota yang tidak
produktif seperti usia lanjut, penyakit kronis, dan penyandang
cacat diasingkan dari lingkungan sosialnya.

d) Faktor Biologis
Organ tubuh yang dapat mempengaruhi terjadinya gangguan
hubungan social adalah otak, misalnya pada klien skizofrenia
yang mengalami masalah dalam hubungan social memiliki
struktur yang abnormal pada otak seperti atropi otak, serta
perubahan ukuran dan bentuk sel-sel.
2) Faktor Presipitasi
a) Faktor Eksternal
Contohnya adalah stressor sosial budaya, yaitu stress yang
ditimbulkan oleh faktor sosial budaya seperti keluarga.

b) Faktor Internal
Contohnya adalah stressor psikologis, yaitu stress terjadi akibat
ansietas atau kecemasan yang berkepanjangan dan terjadi
bersamaan dengan keterbatasan kemampuan individu untuk
mengatasinya

3) Perilaku
Perilaku pada klien gangguan social menarik diri yaitu:
kurang sopan, apatis, sedih, afek tumpul, kurang perawatan diri,
komunikasi verbal turun, menyendiri, kurang peka terhadap
lingkungan, kurang energy, harga diri rendah dan sikap tidur
seperti janin saat tidur. Sedangkan perilaku pada gangguan sosial
curiga meliputi tidak mempercayai orang lain, sikap bermusuhan,
mengisolasi diri dan paranoia. Kemudian perilaku pada klien
dengan gangguan social manipulasi adalah kurang asertif,
mengisolasi diri dari lingkungan, harga diri rendah, dan sangat
tergantung pada orang lain.
4) Rentang Respon
Rentang respon berhubungan dapat berfluktuasi dari
respons berhubungan adaptif sampai maladaptif

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Menyendiri/solitude Merasa sendiri Manipulasi


Otonomi Menarik diri Impulsif
Bekerja sama Tergantung Narcism
Saling tergantung
(interdependen)

1. Respon Adaptif
Respon individu dalam menyelesaikan masalah yang masih dapat di
terima oleh norma-norma sosial dan budaya yang umum berlaku (
masih dalam batas normal ), meliputi:
a. Menyendiri/solitude
Respon seseorang untuk merenungkan apa yang telah
dilakukan dilingkungan sosial dan juga suatu cara
mengevaluasi diri untuk menentukan langkah berikutnya.
b. Otonomi
Kemampuang individu menentukan dan menyampaikan ide,
pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
c. Bekerja Sama
Kondisi hubungan interpersonal dimana individu mampu untuk
saling member dan menerima.
d. Saling Tergantung (interdependen)
Suatu hubungan saling tergantung antar individu dengan orang
lain dalam membina hubungan interpersonal.
2. Respon Maladaptif
Respon individu dalam penyelesaianmasalah menyimpang dari
norma norma sosial dan budaya lingkungannya, meliputi:

a. Manipulasi
Orang lain diperlakukan sebagai objek, hubungan terpusat
pada masalah pengendalian orang lain dan individu cenderung
berorientasi pada diri sendiri atau tujuan, bukan pada orang
lain.
b. Implusif
Tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari
pengalaman, dan tidak dapaat diandalkan.
c. Narkisme
Harga diri yang rapuh, secara terus-menerus berusaha
mendapatkan penghargaan dan pujian, sikap egosentris,
pencemburu, marah jika orang lain tidak mendukung.

C. Tanda dan Gejala


Gejala subjektif
 Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain.
 Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain.
 Respons verbal kurang dan sangat singkat.
 Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
 Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
 Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan.
 Klien merasa tidak berguna.
 Klien tidak yakin dapat melangsungkan hidup.
 Klien merasa ditolak.
Gejala objektif
 Klien banyak diam dan tidak mau bicara.
 Tidak mengikuti kegiatan
 Banyak berdiam diri di kamar
 Klien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang
terdekat.
 Klien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal.
 Kontak Kmata kurang.
 Kurang spontan, Kurang energi(tenaga)
 Apatis ( acuh terhadap lingkungan ).
 Ekspresi wajah kurang berseri.
 Tidak merawat diri dan kurang memperhatikan kebersihan diri.
 Mengisolasi diri.
 Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya.
 Masukan makanan dan minuman terganggu.
 Retensii urin dan feses
 Rendah diripostur tubuh berubah, misalnya sikap fetus/janin
(khususnya pada posisi tidur)
D. POHON MASALAH

ISOLASI SOSIAL

HARGA DIRI RENDAH


KRONIS

MEKANISME KOPING
IN EFEKTIF

E. MANIFESTASI KLINIS
1. Mekanisme Koping
Individu yang mengalami respon social malAdaptif
menggunakan berbagai mekanisme dalam upaya untuk mengatasi
ansietas. Mekanisme tersebut berkaitan dengan dua jenis masalah
hubungan yang spesifik (Gail,W Stuart 2006).
Koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian
antisocial antara lain proyeksi, splitting dan merendahkan orang
lain, koping yang berhubungan dengan gangguan kepribadian
ambang splitting, formasi reaksi, proyeksi, isolasi, idealisasi orang
lain, merendahkan orang lain dan identifikasi proyeksi.

2. Sumber koping
Menurut Gail W. Stuart 2006, sumber koping berhubungan
dengan respon social mal-adaptif meliputi keterlibatan dalam
hubungan keluarga yang luasan teman, hubungan dengan hewan
peliharaan dan penggunaan kreatifitas untuk mengekspresikan
stress interpersonal misalnya kesenian, music atau tulisan.

F. Komplikasi
Klien dengan isolasi sosial semakin tenggelam dalam perjalanan
dan tingkah laku masa lalu primitive antara lain pembicaraan yang autistic
dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat
lanjut menjadi resiko gangguan sensori persepsi: halusinasi, mencederai
diri sendiri, orang lain serta lingkungan dan penurunan aktivitas sehingga
dapat menyebabkan defisit perawatan diri.

G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Minnesolla Multiphasic Personality Inventory (MMPI)
Adalah suatu bentuk pengujian yang dilakukan oleh psikiater dan
psikolog dalam menentukan kepribadian seseorang yang terdiri dari
556 pernyataan benar atau salah.
2. Elektroensefalografik (EEG)
Suatu pemeriksaan dalam psikiatri untuk membantu membedakan
antara etiologi fungsional dan organik dalam kelainan mental.
3. Test laboratorium kromosom darah untuk mengetahui apakah
gangguan jiwa disebabkan oleh genetik.
4. Rontgen kepala untuk mengetahui apakah gangguan jiwa disebabkan
kelainan struktur anatomi tubuh.

H. Penatalaksanaan
1. Obat anti psikotik
a. Clorpromazine (CPZ)
 Indikasi:
Untuk syndrome psikosis yaitu berdaya berat dalam
kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya
nilai norma sosial dan tilik diri terganggu, berdaya berat dalam
fungsi -fungsi mental: waham, halusinasi, gangguan perasaan
dan perilaku yang aneh atau, tidak terkendali, berdaya berat
dalam fungsi kehidupan sehari -hari, tidak mampu bekerja,
hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin.
 Efek samping:
Sedasi, gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/
parasimpatik,mulut kering, kesulitan dalam miksi, dan
defikasi, hidung tersumbat,mata kabur, tekanan intra okuler
meninggi, gangguan irama ja ntung),gangguan ekstra piramidal
(distonia akut, akatshia, sindromaparkinson/tremor,
bradikinesia rigiditas), gangguan endokrin, metabolik,
hematologik, agranulosis, biasanya untuk pemakaian jangka
panjang.

b. Haloperidol (HLD)
 Indikasi:
Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi
netral serta dalam fungsi kehidupan sehari –hari.
 Efek samping:
Sedasi dan inhibisi psikomotor, gangguan otonomik
(hipotensi, antikolinergik/parasimpatik, mulut kering,
kesulitan miksi dan defikasi, hidung tersumbat, mata kabur,
tekanan intraokuler meninggi, gangguan irama jantung).

c. Trihexy phenidyl (THP)


 Indikasi:
Segala jenis penyakit parkinson,termasuk paska ensepalitis dan
idiopatik,sindrom parkinson akibat obat misalnya reserpin dan
fenotiazine.
 Efek samping:
Sedasi dan inhibisi psikomotor Gangguan otonomik
(hypertensi, anti kolinergik/ parasimpatik, mulut kering,
kesulitanmiksi dan defikasi, hidung tersumbat, mata kabur,
tekanan intra oluker meninggi, gangguan irama jantung).

2. Therapy Farmakologi
3. Electro Convulsive Therapi
Electro Convulsive Therapi (ECT) atau yang lebih dikenal dengan
Elektroshock adalah suatu terapi psikiatri yang menggunakan energy
shock listrik dalam usaha pengobatannya. Biasanya ECT ditujukan
untuk terapi pasien gangguan jiwa yang tidak berespon kepada obat
psikiatri pada dosis terapinya. ECT pertama kali diperkenalkan oleh 2
orang neurologist italia Ugo Cerletti dan Lucio Bini pada tahun 1930.
Diperkirakan hampir 1 juta orang didunia mendapat terapi ECT setiap
tahunnya dengan intensitas antara 2-3 kali seminggu.
ECT bertujuan untuk menginduksi suatu kejang klonik yang dapat
memberi efek terapi (Therapeutic Clonic Seizure) setidaknya 15 detik.
Kejang yang dimaksud adalah suatu kejang dimana seseorang
kehilangan kesadarannya dan mengalami rejatan. Tentang mekanisme
pasti dari kerja ECT sampai saat ini masih belum dapat dijelaskan
dengan memuaskan. Namun beberapa penelitian menunjukkan kalau
ECT dapat meningkatkan kadar serum Brain-Derived Neurotrophic
Factor (BDNF) pada pasien depresi yang tidak responsive terhadap
terapi farmakologis.

4. Therapy Kelompok
Therapy kelompok merupakan suatu psikotherapy yang dilakukan
sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama
lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang therapist atau petugas
kesehatan jiwa. Therapy ini bertujuan memberi stimulus bagi klien
dengan ganggua interpersonal.

5. Therapy Lingkungan
Manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sehingga aspek
lingkungan harus mendapat perhatian khusus dalam kaitannya untuk
menjaga dan memelihara kesehatan manusia. Lingkungan berkaitan
erat dengan stimulus psikologi seseorang yang akan berdampak pada
kesembuhan, karena lingkungan tersebut akan memberikan dampak
baik pada kondisi fisik maupun kondisi psikologis seseorang.

I. Asuhan Keperawatan
1. Data yang perlu dikaji
Data Subyektif: Klien mengatakan tidak percaya diri dan merasa malu
terhadap diri sendiri.
Data Obyektif: Klien terlihat lebih suka menyendiri, tidak mau
berkomunikasi dengan teman-temannya.

2. Diagnosis yang mungkin muncul


a. Isolasi sosial: menarik diri.
b. Harga diri rendah.
c. Halusinasi.
d. Perubahan persepsi sensori : halusinasi
e. Koping individu tidak efektif
f. Koping keluarga tidak efektif
g. Intoleransi aktivitas
h. Defisit perawatan diri
i. Risiko tinggi menciderai diri, oranglain dan lingkungan
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosis NOC NIC
Isolasi Setelah 1. Bina hubungan
sosial: dilakukan saling percaya.
menarik tindakan 2. Berikan perhatian
diri. keperawata dan penghargaan.
n selama 3. Dengarkan klien
2x dengan empati.
pertemuan, SP 1
halusinasi a. identifikasi
klien penyebab isolasi
berkurang sosial
dengan b. identifikasi
kriteria keuntungan
hasil: berinteraksi
1. Klien dengan orang lain
mampu c. identifikasi
mengenali kerugian tidak
penyebab berinteraksi
isolasi dengan orang lain
sosial d. latih pasien untuk
2. Klien berkenalan
mampu dengan satu orang
mengenali e. bimbing klien
keuntungan memasukkan
dari dalam jadwal
membina kegiatan.
hubungan 1. SP 2
dengan a. validasi masalah
orang lain dan latihan
sebelumnya
3. Klien b. latih klien
mampu berinteraksi
mengenal dengan 2 orang
kerugian atau lebih
dari tidak c. bimbing klien
membina memasukkan
hubungan dalam jadwal
dengan kegiatan harian.
orang lain 2. SP 3
4. Klien a. validasi masalah
mampu dan latihan
berinteraksi sebelumnya
dengan b. latih klien
orang lain berinteraksi dalam
kelompok
c. bimbing klien
memasukkan
dalam jadwal
kegiatan harian.

Harga diri Setelah dilakukan 1. Bina hubungan saling


rendah tindakan keperawatan percaya.
selama 2xpertemuan, 2. Berikan perhatian dan
waham klien penghargaan.
berkurang dengan 3. Dengarkan klien dengan
kriteria hasil: empati.
1. Klien dapat SP 1
mengidentifikasi a. identifikasi aspek
kemampuan dan positif yang
aspek positif yang dimiliki pasien
dimiliki b. bantu pasien
2. Klien dapat menilai
menilai kemampuan pasien
kemampuan yang yang masih dapat
dapat digunakan digunakan
3. Klien dapat c. bantu pasien
menentukan atau memilih kegiatan
memilih kegiatan yang akan dilatih
sesuai dengan sesuai dengan
kemampuannya kemampuan pasien
4. Klien dapat d. latih pasien
melatih kegiatan melakukan kegiatan
yang sudah dipilih yang dipilih sesuai
sesuai kemampuan kemampuan
5. Klien dapat e. bimbing pasien
menyusun jadwal memasukkan dalam
untuk melakukan jadwal harian
kegiatan yang pasien.
sudah dilatih. SP 2
a. validasi masalah
dan latihan
sebelumnya
b. latih kegiatan
kedua atau
selanjutnya yang
dipilih sesuai
kemampuan.
c. bimbing klien
untuk memasukkan
kegiatan dalam
jadwal kegiatan
Gangguan persepsi:  Sensory function: 1. Bina hubungan saling
halusinasi hearing percaya.
 Sensory function 2. Berikan perhatian dan
taste and smell penghargaan.
 Sensory function: 3. Dengarkan klien dengan
vision empati.

 Sensory function: SP 1

cutaneous 4. bantu klien mengenali

Setelah dilakukan halusinasi yang

tindakan keperawatan dialaminya: jenis, isi,

selama 2xpertemuan, waktu, frekuensi, situasi,

halusinasi klien dan lain-lain.

berkurang dengan 5. Latih klien mengontrol


kriteria hasil: halusinasi: menghardik

1. Klien mampu 6. Anjurkan klien untuk


mengenali memasukkan cara

halusinasi yang menghardik ke dalam

dialaminya: jenis, jadwal kegiatan.

isi, waktu, SP 2

frekuensi, situasi, 7. Evaluasi jadwal kegiatan


dan lain-lain. harian klien.

2. Klien mampu 8. Latih klien cara

mengontrol mengendalikan

halusinasi halusinasi dengan

3. Pasien mampu bercakap-cakap dengan

memperagakan orang lain.

cara mengontrol 9. Anjurkan klien

halusinasi memasukkan kegiatan ke


dalam jadwal
SP 3
10. Evaluasi jadwal kegiatan
harian klien.
11. Latih klien cara
mengendalikan
halusinasi dengan
melakukan kegiatan
dengan orang lain.
12. Anjurkan klien
memasukkan kegiatan ke
dalam jadwal
SP 4
13. Evaluasi jadwal kegiatan
harian klien.
14. Berikan penkes:
penggunaan obat yang
benar.
15. Anjurkan klien
memasukkan kegiatan ke
dalam jadwal
STRATEGI PELAKSANAAN
STRATEGI PELAKSANAAN PADA PASIEN DENGAN
ISOLASI SOSIAL

STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN PERAWATAN


Hari, tanggal : Selasa, 04 April 2017
Pertemuan :1
SP/ DX : 1 / Isolasi sosial
Bangsal : Sinta
Nama Klien : Ny. T
Umur : 34 tahun

A. Proses Keperawatan
1. Kondisi klien
Klien Ny. T berusia 34 tahun dirawat sejak hari Selasa, 4 April 2017 di
Bangsal Sinta Rumah Sakit Jiwa X . Suatu pagi, Perawat Z melakukan
pengkajian kepada Ny. T. Ny. T menceritakan kepada perawat Z
bahwa dia merasa kesepian dan kehadirannya sering ditolak oleh orang
lain, klien juga mengatakan memiliki hubungan yang tidak berarti
dengan orang lain. Klien terlihat banyak diam dan tidak mau bicara,
tidak memilik ambisi untuk mengikuti kegiatan, sering menyendiri di
kamar dan tidak mau berinteraksi dengan orang lain.
Data Subjektif Data Objektif
 Klien menceritakan  Klien banyak diam dan
perasaan kesepian atau tidak mau bicara.
ditolak oleh orang lain.  Tidak mengikuti kegiatan
 Klien mengatakan  Banyak berdiam diri di
hubungan yang tidak kamar
berarti dengan orang  Klien menyendiri dan tidak
lain. mau berinteraksi dengan
 Klien merasa ditolak orang terdekat
2. Diagnosa Keperawatan : Isoalasi Sosial
3. Tujuan
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya
b. Klien mampu meyebutkan keuntungan dan kerugian hubungan
dengan orang lain
c. Klien dapat melaksanakan hubungan social secara bertahap
4. Tindakan Keperawatan
a. Membina hubungan saling percaya
b. Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian dan keuntungan
berinteraksi dengan orang lain
c. Menganjurkan pasien untuk mengisi kegiatan harian

B. Strategi Pelaksanaan
1. Fase Orientasi
a. Salam Terapeutik
P : “Selamat pagi bu. Perkenalkan saya perawat Z, biasa dipanggil
Z. Saya mahasiswa keperawatan Poltekkes Yogyakarta. Saya
bertugas di bangsal Sinta sampai tanggal 17 April 2017 . Saya
dinas pagi dari jam 07.00 WIB - 14.00 WIB. Maaf, nama ibu
siapa ya? Ibu senang dipanggil apa?”

b. Validasi
P : “Bagaimana perasaan ibu hari ini? Bagaimana dengan kegiatan
sehari – harinya ? Sudah bercakap dengan teman – teman kan
bu? Sudah berapa orang yang ibu kenal? Bagaimana dengan
teman sekamar ibu? Apakah ibu sudah bercakap – cakap dengan
beliau?
c. Kontrak
1) Topik

P : “Wah pagi hari ini santai dan cerah ya bu, Bagaimana jika
hari ini kita berbincang – bincang untuk lebih mengenal satu
sama lain dan juga sekaligus untuk mengetahui keuntungan dan
kerugian bercakap – cakap dengan orang lain?
2) Waktu
P : ”Berapa lama ibu memiliki waktu berbincang – bincang
dengan saya? Bagaiamana jika 20 menit bu?”
3) Tempat
P : ”Untuk berbincang – bincang kira – kira ibu mau dimana bu?
Bagaimana jika di teras belakang saja sambil menikmati
pemandangan yang sejuk pagi ini?

2. Fase Kerja

“Ibu”, kalau boleh saya tau orang yang paling dekat dengan ibu siapa?
Menurut ibu apa keuntungann berinteraksi dengan orang lain dan
kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain? Kalau ibu belum tahu
saya akan memberitahukan keuntungan dari berinteraksi dengan orang
lain yaitu bapak punya banyak teman, saling menolong, saling
bercerita, dan tidak selalu sendirian. Sekarang saya akan mengajarkan
ibu berkenalan. Bagus... ibu dapat mempraktekkan apa yang saya
ajarkan tadi.. Bagaimana jika kegiatan berbincang-bincang dengan
orang lain di masukkan kedalam jadwal kegiatan harian?
3. Fase Terminasi

a. Evaluasi
1) Evaluasi Subyektif
“Bagaimana perasaan ibu setelah kita berbincang-bincang
tadi?”
2) Evaluasi Objektif
“Coba ibu ceritakan kembali keuntungan berinteraksi dan
kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain?”
b. Tindak Lanjut
“Tadi saya sudah menjelaskan keuntungan dan kerugian tidak
berinteraksi dengan orang lain dan cara berkenalan yang benar.
Saya harap ibu dapat mencobanya bagaimana berinteraksi dengan
orang lain!“
c. Kontrak yang akan datang
1) Topik
“Baiklah... pertemuan kita cukup sampai disini. Besok kita akan
berbincang-bincang lagi tentang jadwal yang telah kita buat dan
mempraktekkan cara berkenalan dengan orang lain?
2) Waktu
“Berapa lama ibu punya waktu untuk berbincang-bincang dengan
saya besok? Bagaimana kalau 15 menit saja?”
3) Tempat
“ di mana ibu mau berbincang-bincang dengan saya besok? Ya
sudah... bagaimana kalau besok kita melakukannya di teras depan
saja?...
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, B.A. (2006) Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.


Mosby. (2006) Nursing Outcome Classification (NOC). America: Elsevier.
Mosby. (2004) Nursing Interventions Classification (NIC). America: Elsevier.
Yosep, Iyus. 2010. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai