Anda di halaman 1dari 38

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemampuan pelayanan kesehatan suatu negara ditentukan dengan
perbandingan tinggi rendahnya angka kematian ibu dan angka kematian bayi.
Untuk itu dalam menurunkan angka kematian perinatal dibidang pelayanan
kebidanan memerlukan perhatian yang serius, karena pelayanan yang tidak
adekuat pada bayi baru lahir dapat menyebabkan meningginya angka kematian
perinatal.
Angka kematian neonatus di negara-negara berkembang merupakan
masalah besar, namun angka kematian yang cukup besar ini tidak dilaporkan
serta dicatat secara resmi dalam statistik kematian neonatus. Menurut survey
demografi dan kesehatan Indonesia tahun 2008 angka kematian perinatal
adalah 35 per 1000 kelahiran hidup, itu artinya dalam satu tahun sekitar
175.000 bayi meninggal sebelum mencapai usia satu tahun. Berdasarkan
kesepakatan global dalam Milenium Development Goals (MDGs) yang telah
disepakati oleh 189 negara anggota Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) dan
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT), diharapkan pada tahun 2015 AKB dapat
diturunkan sebesar dua pertiga. Berdasarkan hal tersebut maka Indonesia
mempunyai komitmen untuk menurunkan Angka kematian Bayi dari 23
menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup (Depkes RI, 2008).
Banyak faktor yang mempengaruhi angka kematian tersebut antara lain
semua hal yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan baik langsung maupun
tidak langsung.Di negara maju seperti Amerika Serikat terdapat sekitar 60%
bayi menderita ikterus sejak lahir, lebih dari 50% bayi tersebut mengalami
hiperbillirubin. Di Indonesia, hiperbilirubinemia masih merupakan masalah
pada bayi baru lahir yang sering dihadapi tenaga kesehatan terjadi pada sekitar
25-50% bayi cukup bulan dan lebih tinggi pada neonatus kurang bulan. Oleh
sebab itu, memeriksa ikterus pada bayi harus dilakukan pada waktu
melakukan kunjungan neonatal/pada saat memeriksa bayi di klinik (Depkes
RI, 2006).

1
Angka kematian bayi di Jawa Timur pada tahun 2011 adalah 29.24 per
1000 kelahiran hidup, menunjukkan angka yang menurun dari tahun
sebelumnya yang sebesar 29.99 per 1.000 kelahiran hidup, namun tersebut
masih jauh dari target MDGs tahun 2015, yaitu sebesar 23 per 1.000 kelahiran
hidup. Beberapa penyebab kematian bayi di provinsi Jawa Timur diantaranya
BBLR (38,30%), asfiksia (26,75%), tetanus neonatorum (0,39%), infeksi
(4,99%), trauma lahir (1,47%), kelainan bawaan (12,61%), lain-lain termasuk
hiperbilirubinemia (15,49%).Di Kota Malang tercatat angka kematian bayi
pertahunnya mencapai 509 jiwa dengan penyebab yang bervariasi. (Wahyu,
2010)
Ikterus berarti gejala kuning karena penumpukan bilirubin dalam aliran darah
yang menyebabkan pigmentasi kuning pada plasma darah yang menimbulkan
perubahan warna pada jaringan yang memperoleh banyak aliran darah
tersebut. Jaringan permukaan yang kaya elastin seperti sklera dan permukaan
bawah lidah biasanya pertama kali menjadi kuning. Ikterus biasanya baru
dapat dilihat kalau kadar bilirubin serum mencapai 2-3 mg/dl. Kadar bilirubin
serum normal 0,3-1 mg/dl (Saifuddin, 2008).
Ikterus ini pada sebagian lagi mungkin bersifat patologik yang dapat
menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian,
karenanya setiap bayi dengan ikterus harus mendapat perhatian terutama
apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau kadar
bilirubin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam. proses hemolisis darah,
infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari 1 minggu serta bilirubin
direct lebih dari 1 mg/dl juga merupakan keadaan yang menunjukkan
kemungkinan adanya ikterus patologik. Dalam keadaan tersebut
penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk
ikterus dapat dihindarkan (Winkjosastro, 2010).
Banyak faktor yang menjadi predisposisi terjadinya hiperbilirubinemia
pada neonatus diantaranya masa gestasi, berat badan lahir, inkompatibilitas
ABO, inkompatibilitas Rh dan asfiksia, asupan ASI, terpapar sinar matahari,
tingkat pendidikan ibu, tingkat pengetahuan ibu tentang perawatan bayi

2
ikterus, usia ibu, riwayat kesehatan ibu, serta jenis persalinan. Jenis persalinan
yang saat ini banyak dialami oleh ibu hamil adalah induksi persalinan dengan
oksitosin.
World Health Organization (WHO) melaporkan pada tahun 2009 terdapat
500 ribu ibu hamil, didapat sebanyak 200 ribu ibu hamil yang dilakukan
induksi pada saat persalinan di seluruh dunia, sedangkan 300 ribu lain
melakukan persalinan dengan sectio caesar (WHO, 2009). Saat ini sudah
terbukti bahwa tindakan induksi persalinan semakin sering dilakukan.
Hasil survei demografi kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2009
menunjukkan bahwa jumlah kasus pada ibu hamil yang dilakukan induksi
pada saat persalinan sebanyak 250 ribu ibu hamil, yang didapat dari hasil
penelitian yang dilakukan di sejumlah rumah sakit umum di Indonesia.
(Depkes RI, 2009).
Permasalahan yang dapat ditimbulkan dari pemberian oksitosin drip yaitu
oksitosin mampu melintasi barier placenta, memiliki kerja antideuritik pada
janin sehingga terjadi peningkatan fragilitas sel darah merah, hemolisis dan
hiperbilirubinemia. Jika uterus mengalami stimulasi yang berlebihan dan
relaksasinya terlalu singkat, maka akan terjadi hipoksia serta asfiksia yang
yang menjadi penyebab paling banyak kejadian hiperbilirubinemia pada janin.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal
7 Januari 2015 di RS PKU Muhammadiyah Surabaya, terdapat 164 (4,83%)
bayi yang mengalami hiperbilirubinemia dari 3394 bayi yang dirawat selama
periode Januari-Desember 2012. Riwayat persalinan dari bayi yang
mengalami hiperbilirubinemia beragam mulai dari spontan belakang
kepala(50,6%), sectio secarea(17,68%), persalinan dengan induksi(18,9%),
maupun partus tindakan(12,8%).
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang
hubungan oksitosin drip dengan kejadian hiperbilirubinemia pada neonatus.

3
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalah
yaitu ”Adakah hubungan persalinan oksitosin drip dengan kejadian
hiperbilirubinemia pada neonatus”
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Berdasarkan rumusan masalah penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
hubungan oksitosin drip dengan kejadian hiperbilirubinemia pada
neonatus.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi riwayat persalinan dengan oksitosin drip pada neonatus
yang mengalami hiperbilirubinemia.
b. Mengidentifikasi bayi yang mengalami hiperbilirubinemia.
c. Menganalisis hubungan antara riwayat persalinan oksitosin drip dengan
kejadian hiperbillirubinemia pada neonatus.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dan
sebagai masukan bagi rumah sakit atau pusat pelayanan kesehatan dalam
memberikan asuhan kebidanan pada neonatus dengan riwayat persalinan
oksitosin drip, sehingga dapat diambil langkah-langkah pengawasan yang
cepat, tepat dan resiko terjadinya hiperbilirubinemia pada neonatus dapat
diminimalisasi.
1.4.2 Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber data atau informasi
bagi pengembangan penelitian kebidanan berikutnya terutama yang
berhubungan dengan persalinan dengan oksitosin drip dan
hiperbilirubinemia pada neonatus.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep persalinan
2.1.1 Pengertian Persalinan
Persalinan merupakan proses normal, berupa kontraksi uterus
involunter yang efektif dan terkoordinasi yang menyebabkan penapisan dan
dilatasi servik secara progresif serta penurunan dan pelahiran bayi dan
plasenta. Mendekati akhir proses, persalinan dapat dipercepat oleh upaya
mengejan yang volunter untuk membantu pelahiran hasil konsepsi (Benson
C. Ralph. 2009:149).
Persalinan adalah proses dimana bayi, plasenta dan selaput ketuban
keluar dari uterus ibu. Persalinan dianggap normal jika prosesnya terjadi
pada usia kehamilan cukup bulan (setelah 37 minggu) tanpa disertai adanya
penyulit (JNPK-KR, 2007:37)
2.1.2 Sebab – sebab Persalinan
Yang menyebabkan terjadinya persalinan belum diketahui dengan pasti
sehingga menimbulkan beberapa teori yang kompleks. Faktor-faktor
humoral, pengaruh prostaglandin, struktur uterus, sirkulasi uterus, pengaruh
saraf dan nutrisi disebut sebagai faktor-faktor yang mengakibatkan partus
mulai. Perubahan – perubahan dalam biokimia dan biofisika telah banyak
mengungkapkan mulai dan berlangsungnya partus, antara lain penurunan
kadar hormon estrogen dan progesteron. Seperti diketahui progesteron
merupakan penenang bagi otot-otot uterus. Menurunnya kadar kedua
hormon ini terjadi kira-kira 1-2 minggu sebelum partus dimulai. Kadar
prostaglandin dalam kehamilan dari minggu ke 15 hingga aterm meningkat,
lebih-lebih sewaktu partus (Winkjosastro, Hanifa, 2007:297)
Selain itu ada teori yang mengatakan plasenta menjadi tua, villi
koreales mengalami perubahan – perubahan, sehingga kadar estrogen dan
progesteron menurun. Keadaan uterus yang terus membesar dan menjadi
tegang mengakibatkan iskemia otot-otot uterus. Hal ini mungkin merupakan

5
faktor yang dapat mengganggu sirkulasi uteroplasenter sehingga plasenta
mengalami degenerasi. Teori berkurangnya nutrisi pada janin dikemukakan
oleh hippocrates untuk pertama kalinya. Bila nutrisi pada janin berkurang
maka hasil konsepsi akan segera dikeluarkan. Faktor lain yang dikemukakan
ialah tekanan pada ganglion servikale dari pleksus Frankenhauser yang
terletak di belakang serviks. Bila ganglion ini tertekan, kontraksi uterus
dapat dibangkitkan (Winkjosastro Hanifa, 2007:298).
2.1.3 Tanda-Tanda Permulaan Persalinan
a. Lightening atau settling atau dropping yaitu kepala turun memasuki pintu
atas panggul terutama pada primigravida. Beberapa minggu sebelum
persalinan, calon ibu merasa bahwa keadaannya menjadi ringan dan sering
terganggu oleh rasa nyeri pada anggota bagian bawah.
b. Pollakisuria, pada akhir bulan ke-9, hasil pemeriksaan menunjukkan
epigastrium kendur, fundus uterus lebih rendah daripada letak sebenarnya,
dan kepala janin sudah mulai masuk pintu atas panggul. Keadaan ini
menyebabkan kandung kemih tertekan sehingga menstimulasi ibu untuk
sering berkemih
c. False labour, tiga atau empat minggu sebelum persalinan, calon ibu
merasa terganggu oleh his pendahuluan yang sebenarnya hanya
merupakan peningkatan kontraksi Braxton Hicks. His pendahuluan
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1) Nyeri yang hanya terasa di perut bagian bawah
2) Tidak teratur
3) Lamanya his singkat, tidak bertambah kuat dengan bertambahnya
waktu dan jika berjalan, his berkurang.
4) Tidak ada pengaruh pada penipisan atau pembukaan serviks.
d. Perubahan Serviks
Pada akhir bulan ke-9, hasil pemeriksaan serviks menunjukan bahwa
serviks yang sebelumnya tertutup, panjang, dan kurang lunak menjadi
lebih lunak. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pembukaan dan
penipisan serviks

6
e. Energy spurt
Beberapa ibu akan mengalami peningkatan energy kira-kira 24-28 jam
sebelum persalinan di mulai. Setelah beberapa hari sebelumnya merasa
kelelahan fisik karena bertambahnya usia kehamilan, ibu merasakan energi
yang penuh satu hari sebelum persalinan. Peningkatan ini tampak saat ibu
melakukan aktifitas yang dilakukannya.
f. Gastrointestinal Upset
Beberapa ibu mungkin akan mengalami tanda-tanda seperti diare,
obstipasi, mual, dan muntah karena efek penurunan hormon terhadap
pencernaan. Tanda inpartu yaitu sebagai berikut :
1) Timbulnya his persalinan seperti nyeri melingkar dari punggung ke
perut bagian depan
2) Semakin lama, semakin meningkat intervalnya, dan semakin kuat
intensitasnya.
3) Jika berjalan, his bertambah kuat
4) Mempunyai pengaruh pada penipisan dan atau pembukaan serviks.
Dengan penipisan dan pembukaan serviks, lendir dari kanalis
servikalis keluar disertai dengan sedikit darah. Ini disebabkan oleh
lepasnya selaput janin pada bagian bawah segmen bawah uterus hingga
beberapa kapiler darah terputus. (Bloody Show).
Selain itu ketuban pecah juga merupakan tanda persalinan dimana
ketuban pecah adalah keluarnya cairan dengan tiba-tiba dari jalan lahir.
Hal ini terjadi akibat ketuban pecah atau selaput janin robek. Ketuban
pecah biasanya jika sudah pembukaan lengkap atau hampir lengkap
(Ambar, 2011:24)
2.1.4 Proses Persalinan
Tahap persalinan terbagi menjadi empat yaitu kala I, II, III, dan kala IV
a. Kala I (Pembukaan)
Kala I dimulai dari his persalinan yang pertama sampai pembukaan
serviks lengkap. Berdasarkan kemajuan pembukaan serviks, kala I
dibagi menjadi :

7
1) Fase Laten yaitu fase pembukaan yang sangat lambat dari 0 sampai
3 cm yang membutuhkan waktu ± 8 jam
2) Fase Aktif yaitu fase pembukaan yang lebih cepat terbagi menjadi :
a) Fase akselerasi (fase percepatan) dari pembukaan 3 cm sampai
4 cm yang dicapai dalam 2 jam
b) Fase dilatasi maksimal dari pembukaan 4 cm sampai 9 cm yang
dicapai dalam 2 jam
c) Fase deselerasi (kurangnya kecepatan) dari pembukaan 9 cm
sampai 10 cm selama 2 jam
b. Kala II (Pengeluaran)
Kala II atau kala pengeluaran janin adalah tahap persalinan yang di
mulai dengan pembukaan serviks lengkap sampai bayi keluar dari
uterus. Kala II pada primipara biasanya berlangsung 1,5 jam dan pada
multipara biasanya berlangsung 0,5 jam. Perubahan yang terjadi pada
kala II yaitu sebagai berikut :
1) Kontraksi (His). His pada kala II menjadi lebih terkoordinasi, lebih
lama (25 menit), lebih cepat kira-kira 2-3 menit sekali. Sifat
kontraksi simetris, fundus dominan, diikuti relaksasi.
2) Uterus pada saat kontraksi uterus menguncup sehingga menjadi
lebih tebal dan lebih pendek, kavum uterus lebih kecil serta
mendorong janin dan kantong amnion ke arah segmen bawah
uterus dan serviks
3) Pergeseran organ dasar panggul, dimana organ dalam panggul
adalah vesika urinaria, ureter, kolon, uterus, rektum, tuba uterina,
uretra, vagina, anus, perineum, dan labia. Pada saat persalinan
peningkatan hormon relaksin menyebabkan peningkatan mobilitas
sendi, dan kolagen menjadi lunak sehingga terjadi relaksasi
panggul. Hormon relaksin di hasilkan oleh korpus luteum. Karena
adanya kontraksi, kepala janin yang sudah masuk ruang panggul
menekan otot-otot dasar panggul sehingga terjadi tekanan pada
rektum dan secara refleks menimbulkan rasa ingin mengejan, anus

8
membuka, labia membuka, perineum menonjol, dan tidak lama
kemudian kepala tampak di vulva pada saat his.
4) Ekspulsi janin, ada beberapa gerakan yang terjadi pada ekspulsi
janin yaitu sebagai berikut :
a) Floating
Floating yaitu kepala janin belum masuk pintu atas panggul.
Pada primigravida, floating biasa terjadi saat usia kehamilan 28
minggu sampai 36 minggu, namun pada multigravida dapat
terjadi pada kehamilan aterm atau bahkan saat persalinan.
b) Engagement
Engagement yaitu kepala janin sudah masuk pintu atas panggul
dapat berupa sinklitisme atau asinklitisme. Sinklitisme yaitu
sutura sagitalis janin dalam posisi sejajar dengan sumbu
panggul ibu. Asinklitisme yaitu sutura sagitalis janin tidak
sejajar degan sumbu panggul ibu. Asinklitisme dapat anterior
atau posterior.
c) Putaran Paksi dalam
Putaran paksi dalam terjadi karena kepala janin menyesuaikan
dengan pintu tengah panggul. Sutura sagitalis yang semula
melintang menjadi posisi anterior posterior.
d) Ektensi
Ekstensi dalam proses persalinan adalah dimana kepala janin
menyesuaikan pintu bawah panggul ketika kepala dalam posisi
ekstensi karena di pintu bawah panggul bagian bawah terdapat
os sakrum dan bagian atas terdapat os pubis. Dengan adanya
kontraksi persalinan, kepala janin terdorong ke bawah dan
tertahan oleh os sakrum sehingga kepala dalam posisi ekstensi.
e) Putaran paksi luar
Putaran paksi luar terjadi pada saat persalinan yaitu kepala
janin sudah keluar panggul. Kepala janin menyesuaikan

9
bahunya yang mulai masuk pintu atas panggul dengan
menghadap ke arah paha ibu.
c. Kala III
Kala III persalinan adalah periode waktu yang dimulai ketika bayi lahir
dan berakhir pada saat plasenta sudah dilahirkan seluruhnya. 30 %
kematian ibu di indonesia terjadi akibat perdarahan. Segera setelah
bayi dan air ketuban tidak lagi berada dalam uterus, kontraksi akan
terus berlangsung dan ukuran rongga uterus akan mengecil.
Pengurangan ukuran uterus ini akan menyebabkan pengurangan
ukuran tempat plasenta, karena tempat melekatnya plasenta tersebut
lebih kecil, plasenta akan menjadi tebal atau mengerut dan
memisahkan diri dari dinding uterus. Sebagian pembuluh darah yang
kecil akan robek selama saat plasenta akan terus mengalami
perdarahan hingga uterus seluruhnya berkontraksi. Setelah plasenta
lahir, dinding uterus akan kontaksi dan menekan semua pembuluh
darah ini yang akan menghentikan perdarahan dari tempat melekatnya
plasenta tersebut. Sebelum uterus berkontraksi ibu dari tempat
melekatnya plasenta tersebut. Uterus tidak dapat sepenuhnya
berkontraksi hingga plasenta lahir seluruhnya. Oleh sebab itu kelahiran
yang cepat dari plasenta segera setelah lepas dari dinding uterus
merupakan tujuan manajemen kebidanan kala tiga yang kompeten.
Pelepasan plasenta dilihat dari mulainya melepas, yaitu sebagai berikut
1) Pelepasan plasenta dapat dimulai dari tengah/sentral (menurut
Schultze) yang ditandai dengan keluarnya tali pusat semakin
memanjang dari vagina tanpa adanya perdarahan pervaginam
2) Pelepasan plasenta dapat dimulai dari pinggir (menurut Duncan)
yang ditandai dengan keluarnya tali pusat semakin memanjang dan
keluarnya tali pusat semakin memanjang dan keluarnya darah tidak
melebihi 400 ml. Jika darah yang keluar melebihi 400 ml berarti
patologi
3) Pelepasan plasenta dapat bersamaan (menurut Ahfeld)

10
d. Kala IV
Kala IV adalah masa 1-2 jam setelah plasenta lahir. Dalam klinik, atas
pertimbangan praktis masih diakui adanya kala IV persalinan
meskipun masa setelah plasenta lahir adalah masa dimulainya nifas
(puerperium), mengingat pada masa ini sering timbul perdarahan
(Ambar, 2007)

2.2 Persalinan dengan Oksitosin Drip


2.2.1 Pengertian
Oksitosin drip dibagi 2 yaitu induksi persalinan dan augmentasi. Induksi
persalinan adalah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang belum inpartu,
baik secara operatif maupun medisisional untuk merangsang timbulnya
kontraksi rahim sehingga terjadi persalinan (Winkjosastro, 2010).
Akselerasi/augmentasi adalah tindakan menggunakan teknik yang sama
dengan induksi persalinan namun dilakukan pada saat kontraksi sudah ada
(FK Unud, 2003)
2.2.2 Tujuan Oksitosin Drip
a. Akselerasi/augmentasi
Akselerasi persalinan, suatu upaya yang bertujuan mempercepat proses
persalinan, (sudah ada tanda-tanda persalinan, namun kemajuannya
lambat, sehingga diakselerasi menjadi cepat)
b. Induksi persalinan
Induksi persalinan adalah suatu upaya stimulasi persalinan misalnya proses
persalinan (dari tidak ada tanda-tanda persalinan, distimulasi menjadi ada).
Cara ini dilakukan sebagai upaya medis untuk mempermudah keluarnya
bayi dari rahim secara normal. Induksi persalinan dilakukan bila resiko
melanjutkan kehamilan lebih besar dibandingkan dengan resiko
mengakhiri kehamilan.
Menurut Mochtar (2008:56), induksi persalinan dapat dilakukan dengan
berbagai cara yaitu:
1) Cara kimiawi (chemical)

11
Kemasan yang dipakai adalah pitosin, sintosinon. Pemberiannya dapat
secara suntikan intramuskular, intravena dan infus tetes, serta secara
bukal. Yang paling baik dan aman adalah pemberian infus tetes (drip)
karena dapat diatur dan diawasi efek kerjanya.
2) Cara mekanis
a) Melepaskan selaput ketuban dengan jari yang dapat masuk ke dalam
kanalis servikalis, selaput ketuban yang melekat dilepaskan dari
dinding uterus sekitar ostium uteri internal. Cara ini akan lebih
berhasil bila serviks sudah terbuka dan kepala sudah turun. Dianggap
bahwa bersamaan dengan turunnya kepala dan lepasnya selaput
ketuban, maka selaput ini akan lebih menonjol dan akan menekan
pleksus Frankenhauser yang akan merangsang timbulnya his dan
terbukanya serviks.
b) Memecahkan ketuban (amniotomi)
3) Cara kombinasi mekanis dan kimiawi
Adalah memakai cara kombinasi antara cara kimiawi diikuti dengan
cara mekanis, misalnya amniotomi dengan pemberian oksitosin drip
atau pemecahan ketuban dengan pemberian prostaglandin peroral dan
sebagainya.
2.2.3 Indikasi Persalinan Induksi
Pada 100 wanita Amerika (90, 1%), melakukan induksi secara terencana
(elektif). Disini tindakan induksi dilaksanakan demi kepentingan pasien,
dokter, maupun keduanya, karena tidak ada alasan medis yang mendesak
untuk tindakan induksi, maka pemilihan pasien harus dilakukan dengan hati-
hati sekali dan jangan mengambil risiko apapun, persalinan harus diawasi
secara terus-menerus.
Induksi elektif bukan tanpa risiko, risiko-risikonya antara lain latrogenik
prematurity, hiperstimulasi uterus, peningkatan DJJ (Denyut Jantung Janin),
perdarahan postpartum (pada multipara lebih jarang).

12
Hacker/Moore (2004:301), berpendapat bahwa indikasi untuk
melaksanakan persalinan induksi ditentukan oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah:
a. Indikasi maternal
1) Premature Ruptur of Membrance/ Ketuban pecah dini
2) Toksemia gravidarum
3) Polyhydramnion
4) Perdarahan antepartum
5) Intra uterine fetal death/ IUFD
6) Kanker
7) Riwayat persalinan presipitatus
8) Preeklampsia dan eklampsia
9) Postterm
b. Indikasi fetal
1) Diabetes maternal
2) Inkompatibilitas rhesus
3) Recurrent intra uterine death
4) Kehamilan postterm
2.2.4 Kontraindikasi
Menurut Winknjosastro (2010:694-695), kontraindikasi untuk
melaksanakan persalinan induksi adalah:
a. Malposisi dan malpresentasi janin
b. Insufisiensi plasenta
c. Disproporsi sefalo pelvic
d. Cacat rahim, misalnya pernah mengalami sectio sesarea, anoklusi mioma
e. Grandemultipara
f. Distensi rahim yang berlebihan
g. Plasenta previa
2.2.5 Resiko Pemberian Oksitosin Drip
Menurut Cunningham (2007), resiko pemberian oksitosin drip adalah:
a. Pada ibu:

13
1) Nyeri yang berlebihan
2) Ruptur uteri iminen (RUI)
3) Stimulasi berlebih pada uterus (hiperkontraksi)
4) Kontriksi pembuluh darah tali pusat
5) Kerja antideuritik
6) Mual
7) Reaksi hipersensitivitas
8) Intoksikasi cairan
9) Hipotensi
10) Infeksi
b. Pada bayi:
1) Hipoksia pada janin yang berlanjut asfiksia pada bayi baru lahir
2) Gawat janin
3) Hiperbilirubinemia
2.2.6 Syarat-Syarat Pemberian Oksitosin Drip
Menurut Wiknjosastro (2010), syarat-syarat pemberian oksitosin drip:
a. Kehamilan aterm
b. Ukuran panggul normal
c. Tidak ada CPD (Disproporsi antara pelvis dan janin)
d. Janin dalam presentasi kepala
e. Serviks sudah matang yaitu porsio teraba lunak, mulai mendatar dan
membuka.
Keberhasilan induksi persalinan bergantung pada skor pelvis jika skor ≥ 6,
biasanya induksi cukup dilakukan dengan oksitosin, jika ≤ 5, matangkan
serkis terlebih dengan prostaglandin atau kateter foley. Untuk menilai
serviks dapat juga dipakai skor perlvic menurut Bishop, yaitu:
Tabel 2.1 Skor Pelvis MenurutBishop
Skor 0 1 2 3
Pembukaan 0 1-2 3-4 5-6%
serviks (cm)

14
Pendataran 0-30% 40-50% 60-70% 80%
serviks
Penurunan kepala -3 -2 -1 +1, +2
diukur dari
bidang hodge III
(cm)
Konsistensi Keras Sedang Lunak -
serviks
Posisi serviks Kebelakang Searah Kedepan -
sumbu
jalan lahir
Sumber: Wiknjosastro (2010)
2.2.7 Station kepala bayi harus sudah masuk panggul
Selain ada bidang hodge ada cara lain dalam menentukan
turunnya kepala bayi yaitu dengan istilah station. Station 0 (station
zero) bila turunnya kepala bayi setinggi spina ischiadika, bila diatas
spina ischiadika dipakai istilah minus (-1 cm, -2 cm, -3 cm, atau
foting/mengambang), dan bila dibawah spina ischiadika dengan istilah
plus (+1, +2, +3 cm dan perineum)
2.2.8 Metode dan Tata laksana Induksi Persalinan
Setelah keadaan serviks dinilai, maka selanjutnya dapat diikuti
ketentuan-ketentuan berikut:
a. Apabila skor >5, pertama-tama lakukanlah amniotomi, bila 4 jam
kemudian tidak ada kemajuan persalinan, infus dengan oksitosin
b. Bila skor <5, ketuban dibiarkan intak, berikan infus oksitosin, nilai
pelvis kembali setelah beberapa lama. Bila skor >5, lakukan
amniotomi, jika skor<5, oksitosin tetes diulangi. Bila setelah 2-3 kali,
serviks belum juga matang dilakukan amniotomi.

c. Pematangan serviks pra induksi

15
Kita sering mengindikasikan induksi persalinan dengan keadaan
serviks yang belum matang. Upaya-upaya medis untuk mematangkan
serviks berpusat pada pemberian preparat prostaglandin E2
(dinoproston intraservikal/intravaginal. Sayangnya, manfaat terbatas
pada skor bishop dan/atau hingga persalinan aktif dan/atau pelahiran.
Prevalensi induksi dengan agen prostaglandin sebesar 24,5%,
sedangkan dengan non-prostaglandin sebesar 7,7 %.
1) Prostaglandin E2/Dinoproston
Pemakaian prostaglandin E2 dosis rendah meningkatkan
keberhasilan induksi, mengurangi insidensi persalinan yang
berkepanjangan, dan mengurangi dosis oksitosin maksimal dan
total. Tahun 1992 FDA menyetujui pemakaian gel prostaglandin
E2 (prepidil), rute intraserviks mempunyai keuntungan berupa
tidak banyak meningkatkan aktivitas uterus, dan efektif pada
wanita dengan serviks sangat tidak matang.
Angka hiperstimulasi uterus yang dilaporkan 1% untuk
intraservikal (dosis 0,5 mg), 5% untuk intravaginal (2-5 mg)
Akhir-akhir ini prostaglandin digunakan hanya untuk
memancing persalinan (melunakkan serviks) saat term, tetapi tidak
untuk menginduksi persalinan. Harus dihindari jika pasien
mengalami asma, glaucoma, penyakit paru, ginjal, dan hati yang
parah. Resiko pemberian prostaglandin ini sama dengan oksitosin,
yaitu hiperstimuli, resiko lanjut pecah membran.
2) Kateter Foley
Kateter foley merupakan alternatif lain disamping
pemberian prostaglandin untuk mematangkan serviks dan induksi
persalinan. Jangan lakukan kateter foley jika ada riwayat
perdarahan, ketuban pecah, pertumbuhan janin terhambat, atau
infeksi vaginal.
3) Batang laminaria

16
Laminaria Digitata adalah suatu spesies tanaman ganggang
laut. Batangnya yang kering bersifat higroskopis; kalau batang ini
mengenai jaringan yang lebih lembab, diameternya akan
bertambah hingga 3 sampai 5 kali lebih besar dari diameter
sebelumnya. Dengan demikian penggunaan laminaria akan
menghasilkan pelunakan dan dilatasi serviks secara berangsur-
angsur.
d. Induksi Persalinan dengan Oksitosin
Oksitosin masih menjadi agen farmakologi terfavorit untuk
menginduksi persalinan. Pemberian oksitosin drip dapat diberikan dalam
dua seri. Seri pertama diberikan dengan cara: oksitosin 5 IU dalam infus
Dextrose 5%. Tetesan infus dimulai dengan 8 tetes/menit, lalu dinaikkan
tiap 15 menit sebanyak 4 tetes/menit hingga timbul his yang adekuat
dengan tetesan maksimal 60 tetes permenit. Selama pemberian infus,
kesejahteraan janin tetap diperhatikan karena dikhawatirkan dapat timbul
gawat janin. Setelah timbul his adekuat, tetesan infus dipertahankan
hingga persalinan. Namun, jika infus seri pertama habis dan his adekuat
belum muncul, dapat diberikan infus drip oksitosin 5 IU ulangan atau seri
kedua . Jika his adekuat yang diharapkan tidak muncul, maka dilakukan
istirahat selama 24 jam dan dapat dipertimbangkan terminasi dengan
seksio sesaria. Setelah dilakukan istirahat selama 24 jam, maka
pemberian oksitosin dilanjutkan seperti dosis awal. Apabila setelah
pemberian ulangan, his yang diharapkan tidak timbul, maka akan
dilakukan sectio sesarea. Tetesan oksitosin di berikan maksimal 2 labu
atau 1000 cc kecuali untuk letak sungsang hanya satu labu atau 500 cc.
Pada kasus tertentu seperti eklamsi, pendarahan antepartum, infeksi intra
uteri dan kemajuan persalinan yang nyata setelah pemberian tetes
oksitosin labu pertama habis, tetes oksitosin labu ke dua langsung di
berikan
2.2.9 Oksitosin
a. Pengertian

17
Oksitosin adalah suatu hormon yang diproduksi di hipotalamus dan
diangkut lewat aliran aksoplasmik ke hipofisis posterior yang jika
mendapatkan stimulasi yang tepat hormon ini akan dilepas kedalam
darah. Hormon ini diberi nama oksitosin berdasarkan efek
fisiologisnya yakni percepatan proses persalinan dengan merangsang
kontraksi otot polos uterus. Peranan fisiologik lain yang dimiliki oleh
hormon ini adalah meningkatkan ekskresi ASI dari kelenjar mammae.
Oksitosin sintetik adalah satu obat yang paling sering digunakan dan
merupakan hormon polipeptida yang pertama kali
disintesis.Pemakaian oksitosin melalui infus intravena untuk memacu
persalinan yang tidak adekuat/disfungsi uterus, hanya layak dilakukan
setelah dilakukan penilaian untuk menyingkirkan disproporsi
b. Peranan oksitosin dalam persalinan
Awal persalinan yang normal bergantung pada mekanisme umpan
balik yang positif hingga proses persalinan berakhir. Singkatnya
penekanan pada kepala bayi pada serviks menyebabkan pelepasan
oksitosin yang menstimulasi kontraksi rahim dan selanjutnya
kontraksi rahim akan meningkatkan penekanan pada serviks yang
mengintensifkan pelepasan oksitosin. Lingkaran umpan balik ini
terjadi secara berulang sampai bayi dilahirkan.
c. Kerja Oksitosin
Obat oksitosik banyak digunakan untuk induksi serta persalinan,
pencegahan serta penanganan perdarahan postpartum, penanganan
perdarahan akibat abortus inkompletus, dan penanganan aktif kala tiga
persalinan. Obat-obatan yang digunakan adalan prostaglandin E serta
F, oksitosin dan ergometrin. Syntometrine merupakan preparat
kombinasi oksitosin dengan ergometrin. Ergometrin bekerja pada
regio internal miometrium, sedangkan oksitosin dan prostaglandin
pada regio eksternal miometrium. (Jordan, 2004:155)
Pelepasan oksitosin ditingkatkan oleh:
1) Persalinan

18
2) Stimulasi serviks, vagina atau payudara
3) Peningkatan osmolaritas/konsentrasi plasma
4) Volume cairan yang rendah dalam sirkulasi darah
Pelepasan oksitosin disupresi oleh:
1) Alkohol
2) Relaksin
3) Penurunan osmolalitas (konsentrasi) plasma
4) Volume cairan yang tinggi dalam sirkulasi darah
d. Efek samping oksitosin
Bila oksitosin sintetik diberikan, kerja fisiologis hormon ini akan
bertambah sehingga dapat timbul efek samping yang potensial
berbahaya, yaitu:
1) Stimulasi berlebihan pada uterus
2) Kontriksi pembuluh darah pada tali pusat
3) Kerja antidiuretik
4) Kerja pada pembuluh darah (konstriksi dan dilatasi)
5) Mual
6) Reaksi hipersensitivitas
2.3 Bayi Baru Lahir (Neonatus)
2.3.1 Pengertian
Bayi baru lahir atau neonatus meliputi 0-28 hari. Kehidupan pada masa
neonatus ini sangat rawan oleh karena memerlukan penyesuaian fisiologik
agar bayi di luar kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Hal ini dapat
dilihat dari tingginya angka kesakitan dan angka kematian neonatus.
Diperkirakan 2/3 kematian bayi dibawah umur satu tahun terjadi pada
masa neonatus. Peralihan dari kehidupan intrauterin ke ekstrauterin
memerlukan berbagai perubahan biokimia dan faali.
2.3.2 Masalah-masalah yang terjadi pada bayi baru lahir (BBL)
Menurut Saifuddin (2008:259), masalah-masalah yang terjadi pada BBL
a. Ketidakstabilan suhu tubuh

19
Bayi sering mengalami kesulitan untuk mempertahankan suhu tubuh
akibat dari peningkatan hilangnya panas, berkurangnya lemak
subkutan, rasio luas permukaan tubuh terhadap berat badan besar dan
produksi panas berkurang akibat lemak coklat yang tidak memadai
atau ketidakmampuan untuk mengigil.
b. Kesulitan bernafas
Kesulitan bernafas terjadi oleh karena defisiensi surfaktan paru yang
mengarah ke sindrom gawat nafas dan juga resiko aspirasi akibat
refleks menelan dan refleks batuk yang buruk serta pengisapan dan
menelan yang tidak terkoordinasi.
c. Hipoglikemia
Tanda hipoglikemia tidak bersifat spesifik dan dapat serupa dengan
tanda dari masalah lain. Oleh karena itu kadar glukosa harus selalu
dievaluasi dan ditangani ketika terdapat faktor resiko atau tanda
berikut: letargi dan tidak mau menyusu, tangis lemah atau tinggi,
sianosis dan kejang.
d. Hiperbilirubinemia
Istilah hiperbillirubinemia merujuk pada tingginya kadar bilirubin
terakumulasi dalam darah dan ditandai dengan jaundis atau ikterus,
suatu pewarnaan kuning pada kulit, sklera, dan kuku.
Hiperbilirubinemia merupakan temuan biasa pada bayi baru lahir dan
kebanyakan kasus relatif jinak. Akan tetapi hal ini, bisa juga
menunjukkan keadaan patologis.
2.3.3 Penanganan bayi baru lahir
Tujuan utama perawatan bayi setelah lahir adalah:
a. Membersihkan jalan nafas
b. Memotong dan merawat tali pusat/pusat
c. Mempertahankan suhu tubuh bayi
d. Identifikasi
e. Pencegahan infeksi

20
Adapun penanganan pada bayi baru lahir yang dilakukan seperti
pembersihan jalan nafas, perawatan tali pusat, perawatan mata dan
identifikasi adalah rutin segera dilakukan, kecuali dalam keadaan kritis dan
dokter memberi instruksi khusus (Wiknjosastro, 2010:337).
2.4 Hiperbilirubinemia
2.4.1 Pengertian
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin mencapai
suatu nilai yang mempunyai potensi menimbulkan kern-ikterus jika tidak
ditanggulangi dengan baik. Sebagian besar hiperbilirubinemia proses
terjadinya mempunyai dasar yang patologik (Wiknjosastro, 2010:388)
Hiperbilirubinemia adalah warna kuning pada kulit dan organ-organ lain
akibat akumulasi bilirubin yang diberi istilah jaundice atau ikterus
(Bobak,2004). Hiperbilirubinemia adalah meningkatnya kadar bilirubin
total pada minggu pertama kelahiran. Kadar normal maksimal adalah 12-
13 mg% (205-220 µmol/L) (Damanik, 2008:4).
2.4.2 Penyebab
Penyebab hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri
ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
a. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya
pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO,
golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvat kinase,
perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar,
akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim
glukoronil transferase. Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein
Y dalam hepar yang berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sel
hepar.
c. Gangguan transportasi

21
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke
hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat
misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan
lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah
yang mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam ekskresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar
hepar. Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan
bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan
hepar oleh penyebab lain.
2.4.3 Faktor Resiko
a. Diabetes pada ibu
b. Ras (Cina, Jepang, Korea, dan Amerika asli)
c. Prematuritas
d. Obat-obatan (vitamin K3, novobiosin)
e. Tempat yang tinggi
f. Polisitemia
g. Jenis kelamin laki-laki
h. Trisomi-21
i. Memar kulit
j. Sefalhematom
k. Induksi oksitosin
l. Pemberian ASI
m. Kehilangan berat badan (dehidrasi atau kehabisan kalori)
n. Pembentukan tinja lambat
o. Ada saudara yang mengalami ikterus fisiologik
Bayi-bayi tanpa variabel ini jarang mempunyai kadar bilirubin indirek
di atas 12 mg/dL, sedangkan bayi yang mempunyai banyak resiko lebih
mungkin mengalami kadar billirubin yang lebih tinggi.
2.4.4 Patofisiologi

22
Menurut Wiknjosastro (2010:382) pembentukan bilirubin diawali
dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin. Setelah mengalami
induksi biliverdin bebas, bilirubin ini sulit diekskresi dan mudah melewati
membran biologik seperti plasenta dan sawar otak. Di dalam plasma
bilirubin bebas tersebut terikat/bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke
hepar. Di dalam sel hepar, berkat adanya enzim glukoronil transferase,
terjadi proses konjugasi bilirubin yang menghasilkan bilirubin direk, yaitu
bilirubin yang larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresikan
melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi diekskresi
melalui duktus hepatikus kedalam saluran pencernaan yang selanjutnya
menjadi urobilinogen dan keluar bersama sebagai sterkobilin. Di dalam
usus terjadi proses absorbsi enterohepatik, yaitu sebagian kecil bilirubin
direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorbsi kembali oleh
mukosa usus. Peningkatan kadar bilirubin pada hari-hari pertama
kehidupan dapat terjadi pada sebagian besar neonatus. Hal ini disebabkan
karena tingginya kadar eritrosit neonatus dan umur eritrosit yang lebih
pendek dan fungsi hepar yang belum makan. Hal ini merupakan keadaan
fisiologis.
2.4.5 Gejala
Gejala-gejala yang timbul pada hiperbilirubinemia yaitu:
a. Kulit berwarna kuning sampai jingga
b. Pasien tampak lemah
c. Refleks hisap kurang
d. Urine pekat
e. Perut buncit
f. Pembesaran lien dan hati
g. Gangguan neurologik
h. Feses seperti dempul
i. Kadar bilirubin total mencapai 29 mg/dl.
j. Terdapat ikterus pada sklera, kuku, kulit dan membran mukosa

23
k. Jaundice yang nampak 24 jam pertma disebabkan penyakit hemolitik
pada bayi baru lahir, sepsis, ibu dengan diabetik atau infeksi
l. Jaundice yang nampak pada hari ke 2 atau 3 dan mencapai puncak
pada hari ke 3-4 dan menurun hari ke 5-7 yang biasanya merupakan
jaundice fisiologis
Tabel 2.2 Derajat Ikterus

Derajat Perkiraan
ikterus Daerah ikterus kadar
bilirubin
I Kepala dan leher 5,0 mg%
Sampai badan atas (di atas
II 9,0 mg%
umbilikus) S
Sampai badan bawah (di bawah S
III umbilikus) hingga tungkai atas (di u 11,4 mg/dl
atas lutut) m
IV Sampai lengan, tungkai bawah lutut b 12,4 mg/dl
V Sampai telapak tangan dan kaki e 16,0 mg/dl
r
Saiffudin (2008)
2.4.6 Dampak
Hiperbilirubinemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin
indirek telah melalui sawar darah otak. Pada keadaan ini penderita
mungkin menderita kern ikterus atau ensefalopati biliaris. Gejala
ensefalopati biliaris ini dapat segera terlihat pada masa neonatus atau baru
tampak setelah beberapa lama kemudian. Pada masa neonatus gejala
mungkin sangat ringan dan hanya memperlihatkan gangguan minum,
letargi dan hipotermia. Selanjutnya bayi kejang, spastik, epistotonus. Pada
stadium lanjut mungkin ditemukan gangguan pendengaran dan retardasi
mental di kemudian hari. Dengan memperhatikan hal diatas, maka
sebaiknya pada semua penderita hiperbilirubinemia dilakukan

24
pemeriksaan berkala, baik dalam hal pertumbuhan fisik dan motorik,
ataupun perkembangan mental serta ketajaman pendengarannya.

2.4.7 Penatalaksanaan
a. Pencegahan
Hiperbilirubinemia dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya
dengan cara:
1) Pengawasan antenatal yang baik
2) Menghindari obat-obatan yang dapat meningkatkan
hiperbilirubinemia pada masa kehamilan dan kelahiran
3) Pencegahan, pengobatan hipoksia pada janin dan neonatus
4) Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus
5) Pemberian makanan yang dini
6) Pencegahan infeksi
b. Penanganan
1) Foto terapi
Dilakukan pada penderita dengan kadar bilirubin indirek > 10
mg/dL dan pada bayi dengan proses hemolisis yang ditandai
dengan adanya hiperbilirubinemia pada hari pertama kelahiran.
Dalam mekanismenya dapat menimbulkan dekomposisi bilirubin,
kadar bilirubin dipecah sehingga mudah larut dalam air dan tidak
toksik, yang dikeluarkan melalui urine (urobilinogen) dan feses
(sterkobilin). Terdiri dari 8-10 buah lampu yang tersusun pararel
160-200 watt dengan cahaya biru atau putih. Lama penyinaran
tidak lebih dari 100 jam. jarak bayi dan lampu antara 40-50cm,
posisi berbaring tanpa pakaian, daerah mata dan alat kelamin
ditutup dengan bahan yang dapat memantulkan cahaya
(contoh:karbon), dan posisi bayi diubah setiap 1-6 jam. dapat
dilakukan sebelum dan sesudah transfusi tukar
2) Fenobarbital

25
Diberikan untuk mempercepat proses konjugasi dengan
meningkatkan ekskresi bilirubin dalam hati
3) Transfusi tukar
Bertujuan untuk menurunkan kadar bilirubin dan mengganti darah
yang terhemolisis. Dilakukan pada keadaan kadar bilirubin indirek
20 mg/dL atau bila sudah tidak dapat ditangani dengan fototerapi.
Kenaikan bilirubin yang cepat 0,3-1 mg/jam, anemia berat pada
neonatus dengan gejala gagal jantung, atau bayi dengan kadar Hb
tali pusat 14 mgz dan uji combs direk positif.
4) Antibiotik
Diberikan bila terkait dengan adanya infeksi.
2.5 Hubungan Persalinan Oksitosin Drip dengan Kejadian
Hiperbilirubinemia

Menurut Jordan (2004:160), oksitosin sintetik diberikan maka kerja


fisiologis hormon ini akan bertambah sehingga menimbulkan efek samping
yang potensial berbahaya yaitu:
a. Stimulasi berlebih pada uterus (hiperkontraksi)
b. Kontriksi pembuluh darah tali pusat
c. Kerja antideuritik
d. Mual
e. Reaksi hipersensitivitas
f. Intoksikasi cairan
g. Hipotensi
h. Infeksi
Efek samping diataslah yang berpengaruh terhadap kejadian ikterus pada
bayi baru lahir (neonatus). Pada saat kontraksi uterus terjadi kompresi
pembuluh darah yang menggangu pengangkutan oksigen kedalam uterus,
plasenta dan janin (vasokonstriksi pembuluh darah umbilikus). Normalnya,
oksigenasi akan pulih kembali setelah terjadi relaksasi uterus dan pemulihan
keadaan ini mencegah penumpukan asam laktat. Akan tetapi, jika uterus

26
mengalami stimulasi yang berlebihan dan relaksasinya terlalu singkat, maka
akan terjadi hipoksia serta asidosis pada janin (Jordan, 2004:162).
Hipoksia pada janin menyebabkan peningkatan eritropoesis. Eritropoesis
diatur oleh hormon eritropoetin. Hormon ini juga memperpendek jumlah
waktu yang diperlukan oleh pronomoblas untuk matang menjadi retikulosit
sumsum dan selanjutnya juga pelepasan dari retikulosit ke dalam aliran darah.
Eritropoetin dilepas sebagai respon terhadap hipoksia jaringan dan kadarnya
diatur oleh mekanisme umpan balik. Peningkatan eritropoesis menyebabkan
meningkatnya jumlah eritrosit yang lisis sehingga menyebabkan jumlah
billirubin indirek meningkat (Susanti, 2011).
Hipoksia pada janin juga menyebabkan peningkatan hemolisis akibat
penurunan sintesis ATP. Eritrosit tidak memiliki nukleus dan organela
(ribosom, mitokondria) sehingga eritrosit tidak dapat bereplikasi, menyintesis
protein/menghasilkan ATP via jalur oksidatif. Tanpa adanya mitokondria,
eritrosit matur memenuhi kebutuhan terbatasnya untuk seluruh ATP dari
glikolisis. ATP diperlukan untuk mempertahankan bentuk dan kelenturan sel,
untuk pembaharuan fosfolipid (membran eritrosit), untuk transport kation
aktif, dan untuk sistesis piridin nukleotida, glutation, FAD. Sekitar 95%
glukosa dimetabolisme dijalur embden-meyerhof. Asidosis menghambat
glikolisis sel darah merah, turun bila pH rendah.
Sferosit yang kaku dihasilkan dari kerusakan membran akibat kekurangan
ATP (defisit piruvat kinase). Hemolisis pada defisiensi piruvat kinase
merupakan akibat dari sintesis ATP yang tidak cukup. Erotrosit yang kaku
dan rapuh meningkatkan terjadinya destruksi erotrosit sehingga kadar
billirubin indirek dalam darah mengalami peningkatan.
Pada pemberian oksitosin drip, oksitosin akan melintasi plasenta dan
memiliki kerja antideuritik dan retensi air. Retensi air dapat meningkatkan
volume jaringan. Peningkatan ini pada gilirannya menyebabkan edema
dependen. Kenaikan tekanan vena jugularis dan bahkan oedema paru akan
mengganggu pernafasan serta oksigenasi sehingga terjadi peningkatan
fragilitas sel darah merah, hemolisis dan hiperbilirubinemia. Hemolisis yang

27
terjadi menyebabkan produksi bilirubin berlebihan dan asidosis metabolik
dapat menyebabkan naiknya kadar bilirubin indirek karena mengurangi
kesanggupan albumin mengikat bilirubin sehingga terjadi hiperbilirubinemia.
2.6 Kerangka Teori

Induksi persalinan

Kegagalan Intoksikasi Hipotensi His tidak Infeksi


induksi & cairan (retensi ibu sesuai/hipersti
hipertonus cairan) mulasi uterus
uterus 5,6%

Prolapsus Funiculli
0,4 %
Hipoksia Janin

Gangguan
Eritropoesis
fungsi hepar ATP

Gangguan
Eritrosit kaku,
Eritrosit fungsi uptake
rapuh
dan konjugasi

Eritrosit lisis Destruksi


semakin
eritrosit
banyak
Billirubin
indirek

Hiperbilirubinemia

Gambar 2.2. Hubungan Induksi persalinan dengan hiperbilirubinemia

28
2.6 Kerangka Konsep

Persalinan

Passage Power Passanger

Distosia power

Indikasi Ibu: Indikasi bayi:

1. PROM 1. Diabetes Maternal


2. Toksemia Gravidarum 2. Inkompatibilitas rhesus
3. Perdarahan antepartum 3. Recurrent intra uterine
4. Intra uterine fetal death (IUFD) death
5. Kanker
6. Riwayat persalinan presipitatus
7. Postterm

Induksi Persalinan

Kimiawi Mekanis Amniotomi

Resiko pada bayi


1. Hipoksia
2. Gawat janin
3. Hiperbilirubinemia
Oksitosin drip

Resiko pada ibu


Hipertonus uteri, Intoksikasi Cairan,
Hipotensi, Hiperstimulasi uterus, Infeksi,
Keterangan: Mual,yang
= variabel Reaksi Hipersensitivitas.
diteliti
= variabel yang tidak diteliti
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian “Hubungan Oksitosin Drip dengan
kejadian Hiperbilirubinemia”

29
2.7 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah “ada hubungan antara persalinan
oksitosin drip dengan kejadian hiperbilirubinemia pada neonatus”

30
BAB 3
METODE PENELITIAN
2.8 Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
analitik observasional dengan rancangan case control, dan menggunakan
pendekatan retrospektif. Dalam penelitian ini penelusuran dilakukan pada
kejadian hiperbilirubinemia kemudian ditelusuri kebelakang untuk
mengetahui variabel-variabel yang mempengaruhi dari salah satu variabel
tersebut adalah oksitosin drip.
2.9 Populasi dan Sampel
2.9.1 Populasi penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh bayi dengan
hiperbillirubinemia yang lahir pervaginam dengan oksitosin drip selama 2
tahun terakhir di ruang bersalin dari bulan Januari 20…-Desember 20…
yang tercatat pada rekam medis.
2.9.2 Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah bayi yang lahir
pervaginam dan mengalami hiperbilirubinemia yang lahir dengan oksitosin
drip dan memenuhi kriteria inklusi.
2.9.3 Teknik Sampling
Pengambilan sampling yang digunakan adalah non Probability
Sampling. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan
metode total sampling yang artinya seluruh populasi yaitu semua bayi yang
lahir pervaginam dengan oksitosin drip yang mengalami hiperbilirubinemia
yang memenuhi kriteria inklusi digunakan sebagai sampel penelitian.
2.10 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
2.10.1 Kriteria Inklusi
Kriteria inklusipada kelompok penelitian adalah:
a. Persalinan pada usia kehamilan aterm (37-42 minggu).
b. Bayi tidak memiliki kelainan kongenital.
c. Berat badan >2500 gram.

31
2.10.2 Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi:
a. KPD (ketuban pecah dini).
b. Toxemia gravidarum.
c. Perdarahan antepartum.
d. Diabetes maternal.
e. Hipoksia dan hipotermia segera setelah lahir.
f. Hipertensi dalam kehamilan
g. Sectio cesarea
h. Forcef atau vakum.

2.11 Variabel Penelitian


2.11.1 Variabelbebas(independen)
Variabelindependenpadapenelitianiniadalah persalinan dengan oksitosin
drip.
3.4.2 Variabelterikat (dependen)
Variabeldependenpadapenelitianiniadalah bayi dengan hiperbilirubinemia.

32
2.12 Definisi Operasional
Tabel 3.2 Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala Kategori
data
1 2 3 4 5
Persalinan Mencatat data-data Data Ordinal 1. Satu
dengan sekunder yang terkait sekunder seri
Oksitosin dengan persalinan melalui 2. Dua
drip oksitosin drip. Dosis rekam seri
pemberian terdiri dari satu medis dan
seri dan dua seri di Ruang lembar
Bersalin observasi

Satu seri: 500 cc larutan


RL atau dex 5%+5 IU
oksitosin (diberikan
sebanyak 2 flash)

Dua seri: 500 cc larutan


RL atau dex 5%+5 IU
oksitosin (diberikan
sebanyak 2 flash setelah
sebelumnya diistirahatkan
selama 1x24 jam)
Kejadian Suatu keadaan dimana Data Ordinal 1. Derajat
hiperbiliru kadar bilirubin mencapai sekunder 1: 5,0
binemia suatu nilai yang melalui mg/dL
mempunyai potensi rekam 2. Derajat
menimbulkan kern-ikterus medis dan 2: 9,0
jika tidak ditanggulangi lembar mg/dL

33
dengan baik. Dengan observasi 3. Derajat
kriteria hasil bilirubin 3: 11,4
serum >5 mg/dl pada 24 mg/dL
jam pertama kehidupan 4. Derajat
bayi. 4: 12,4
mg/dL
5. Derajat
5:16,0
mg/dL

2.13 Instrumen Penelitian


Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi
yang digunakan untuk keperluan pencatatan data bayi lahir pervaginam
yang mengalami hiperbilirubinemia/tidak dengan oksitosin drip. Dalam
lembar pengumpulan data tercantum: No rekam medik, umur bayi, umur
ibu, jenis kelamin bayi, denyut jantung janin (DJJ) saat persalinan, tekanan
darah ibu saat persalinan, derajat asfiksia, derajat ikterus, pemberian
oksitosin drip.
2.14 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di RS …….. pada bulan ….. 20... Tempat ini dipilih
dengan pertimbangan jumlah bayi yang mengalami hiperbilirubinemia
selama kurun waktu dua tahun (Januari 20…-Desember 20…) yaitu
sebanyak
2.15 Metode Pengumpulan Data
2.15.1 Jenis Data yang Dikumpulkan
Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder berupa bayi lahir
pervaginam yang mengalami hiperbilirubinemia yang dirawat di ruang
perinatologi RS ……, dengan oksitosin drip yang diidentifikasi dari register
bayi dalam catatan rekam medis pada periode Januari 20…-Desember 20…
2.15.2 Cara Pengumpulan Data

34
Pada penelitian ini dimulai dengan meminta surat ijin penelitian kepada
institusi Jurusan Kebidanan ……….. kemudian mengurus surat penelitian
ke Badan Kesatuan bangsa dan Politik…………..., Dinas Kesehatan
…………….., dan RS…………. Setelah diberikan ujin penelitian, peneliti
mengumpulkan data dengan cara studi dokumentasi dengan pedoman
pencatatan dokumen yaitu dengan mengambil data register kejadian
hiperbilirubinemia pada neonatus di ruang perinatologi RS…………..
kemudian ditelusuri kejadian oksitosin drip dalam rekam medis yang sesuai
dengan kriteria inklusi dan eksklusi.
2.16 Metode Pengolahan Data
2.16.1 Teknik Pengolahan Data
a. Editing, yaitu mencakup tentang kualitas isi dari pengumpulan data dan
memeriksa kelengkapan data. Apabila ada data yang belum memenuhi
kriteria, akan segera diselesaikan.
b. Coding, yaitu data yang telah dikoreksi diberikan kode untuk
mempermudah pengolahan data. Pada tahap ini juga dilakukan
pemberian kode pada identitas responden untuk menjaga kerahasiaanya.
c. Transfering, Peneliti memindahkan data ke dalam tabel rekapitulasi
pengumpulan data.
d. Tabulating , yaitu penyajian data dalam penelitian ini menggunakan
tabel dan data ini akan dipaparkan dalam bentuk persentase.
2.16.2 Teknik Analisis Data
a. Analisis univariate
Analisis univariate dilakukan dengan mencari distribusi dan
frekuensi hasil penelitian. Persentase bayi lahir dengan oksitosin drip
dan persentase kejadian hiperbillirubinemia dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut.
𝑓
P=𝑛 x 100%

Keterangan:
P= persentase per sub variabel
F= frekuensi pengamatan per sub variabel

35
N= total sampel

Kesimpulan:
0% : tidak satupun
1%-25% : sebagian kecil
26%-49% : hampir setengahnya
50% : setengahnya
51%-75% : sebagian besar
76%-99% : hampir seluruhnya
100% : seluruhnya

b. Analisis bivariate
Setelah data diolah, selanjutnya untuk mengetahui ada tidaknya
hubungan oksitosin drip dengan hiperbilirubinemia pada neonatus data
dianalisis dengan menggunakan Korelasi Spearman Rankdengan
tingkat signifikansi sebesar 5%.
Dimana rumus hipotesisya :
H0 : Apabila Z hitung < Z tabel maka H0 diterima (tidak ada
hubungan yang signifikan antara oksitosin drip dengan
hiperbilirubinemia pada neonatus).
H1 : Apabila Z hitung > Z tabel maka H0 ditolak (ada hubungan yang
signifikan antara oksitosin drip dengan hiperbilirubinemia pada
neonatus).
2.17 Etika Penelitian
2.17.1 Anonimity (Tanpa Nama)
Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak
mencantumkan namanya pada lembar pengumpulan data, tetapi hanya
menuliskan nomor rekam medis
2.17.2 Confidentiality (Kerahasiaan)

36
Peneliti akan menjamin kerahasiaan dari hasil penelitian baik
informasi maupun masalah-masalah lainnya yang telah dikumpulkan
dan hanya kelompok tertentu yang akan dilaporkan pada hasil
penelitian.

37
3.1 Kerangka Operasional
Dalam usulan penelitian ini kerangka operasional yang digunakan
adalah sebagai berikut.

Populasi
Seluruh bayi dengan hiperbilirubinemia yang lahir pervaginam dengan oksitosin drip yang tercatat
pada rekam medis selama periode 2 tahun yaitu Januari 20…-Desember 20… yang memenuhi
kriteria inklusi.

Total Sampling

Sampel
Seluruh Sampel
bayi yanglahir
yang digunakan yaitu seluruh
pervaginam bayi yang lahir
di......selama pervaginam
2 tahun dandari
terakhir mengalami
bulan
hiperbilirubinemia yang lahir dengan oksitosin drip dan memenuhi kriteria inklusi
Januari 2011-Desember 2012

Pengumpulan data dengan melihat data sekunder (data


rekam medis) dan menggunakan lembar observasi

Pengolahan Data
Editing, Coding, Transfering, Tabulating

Analisis Data
Korelasi Spearman Rank

Hasil Penelitian
p value>α (0,05) maka H0 diterima
p value< α (0,05) maka H0 ditolak

38

Anda mungkin juga menyukai