Anda di halaman 1dari 56

Teori perancangan kota

10-12 minutes

Teori perancangan kota

Teori Perancangan Kota

Menurut Tracik (1986) dalam suatu lingkungan permukiman ada rangkaian antara figure
ground, linkage dan place.

1. Teori Figure Ground (solid-void plan)

A. Pengertian Tata Guna Lahan (Land Use)

Land use atau tata guna lahan adalah pengaturan mengenai penggunaan lahan dimana
memerlukan sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya. Terdiri dari lahan terbangun
(urban solid) dan lahan terbuka (urban void). Pendekatan “figure ground” adalah suatu
bentuk usaha untuk memanipulasi atau mengolah pola “existing figure ground” dengan cara
penambahan, pengurangan, atau pengubahan pola geometris dan juga merupakan bentuk
analisa hubungan antara massa bangunan dengan ruang terbuka Figure ground menekankan
adanya “public civics space” atau “open space” pada kota sebagai figur. Melalui “figure
ground plan” dapat diketahui antara lain pola atau tipologi, konfigurasi “solid void” yang
merupakan elemental kawasan atau pattern kawasan penelitian, kualitas ruang luar sangat
dipengaruhi oleh figur bangunan-bangunan yang melingkupinya, dimana tampak bangunan
merupakan dinding ruang luar, oleh karena itu tata letak, bentuk dan fasade (bagian muka)
sistem bangunan harus berada dalam sistem ruang luar yang membentuknya. Komunikasi
antara privat dan publik tercipta secara langsung. Ruang yang mengurung (enclosure)
merupakan void yang paling dominan, berskala manusia (dalam lingkup sudut pandang mata
25-30 derajat) void adalah ruang luar yang berskala interior, dimana ruang tersebut seperti di
dalam bangunan, sehingga ruang luar yang “enclosure” terasa seperti interior. Diperlukan
keakraban antara bangunan sebagai private domain dan ruang luar sebagai public dominan
yang menyatu.

a. Urban solid

Solid adalah bentukan fisik dari kota, yaitu berupa bangunan-bangunan dan blok-blok
kosong.

Tipe urban solid terdiri dari:

• Massa bangunan, monumen

• Persil lahan blok hunian yang ditonjolkan

• Edges yang berupa bangunan

• Edges yang berupa bangunan


b. Urban void

Void adalah ruang kosong yang terdapat diantara bangunan-bangunan atau tatanan bangunan
yang terbentuk oleh adanya ruang terbuka, misalnya jalan yang merupakan ruang
penghubung antar bangunan.

Tipe urban void terdiri dari:

• Ruang terbuka berupa pekarangan yang bersifat transisi antara publik dan privat

• Ruang terbuka di dalam atau dikelilingi massa bangunan bersifat semi privat sampai privat.

• Jaringan utama jalan dan lapangan bersifat publik karena mewadahi aktivitas publik
berskala kota

• Area parkir publik bisa berupa taman parkir sebagai nodes yang berfungsi preservasi
kawasan hijau

• Sistem ruang terbuka yang berbentuk linier dan curvalinier. Tipe ini berupa daerah aliran
sungai, danau dan semua yang alami dan basah.

B. Pembagian Tata Guna Lahan (Land Use)

Tata guna lahan (land use) terbagi menjadi dua bagian, yaitu :

a. Kawasan terbangun, meliputi fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas peribadatan,


fasilitas perumahan fasilitas perkantoran, fasilitas rekreasi dan olah raga, fasilitas
perdagangan dan jasa serta fasilitas umum.

b. Kawasan terbuka/tak terbangun,

• RTH (Ruang Terbuka Hijau) adalah ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik
dalam bentuk areal memanjang/ jalur maupun dalam bentuk lain, dimana dalam
penggunaanya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan dan
pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuhan.

• Daerah konservasi adalah daerah yang maengandung arti perlindungan sumberdaya alam
dan tanah tebuka serta pelestarian daerah perkotaan. Kawasan lindung diatur dalam keppres
RI Nomor 32 tahun 1990.

2. Teori Keterkaitan (Lingkage)

Linkage artinya berupa garis semu yang menghubungkan antara elemen yang satu dengan
yang lain, nodes yang satu dengan nodes yang lain, atau distrik yang satu dengan yang lain.
Garis ini bisa berbentuk jaringan jalan, jalur pedestrian, ruang terbuka yang berbentuk segaris
dan sebagainya.

Menurut Fumuhiko Maki, Linkage adalah semacam perekat kota yang sederhana, suatu
bentuk upaya untuk mempersatukan seluruh tingkatan kegiatan yang menghasilkan bentuk
fisik suatu kota. Menurut Shirvani (1985), linkage menggambarkan keterkaitan elemen
bentuk dan tatanan masa bangunan, dimana pengertian bentuk dan tatanan massa bangunan
tersebut akan meningkatkan fungsi kehidupan dan makna dari tempat tersebut. Karena
konfigurasi dan penampilan massa bangunan dapat membentuk, mengarahkan, menjadi
orientasi yang mendukung elemen linkage tersebut.

A. Tipe-Tipe Teori Linkage Urban Space

Teori ini terbagi menjadi 3 tipe yaitu:

a. Compositional form

Bentuk ini tercipta dari bangunan yang berdiri sendiri secara 2 dimensi. Dalam tipe ini
hubungan ruang jelas walaupun tidak secara langsung

b. Mega form

Susunan-susunan yang dihubungkan ke sebuah kerangka berbentuk garis lurus dan hirarkis.

c. Group form

Bentuk ini berupa akumulasi tambahan struktur pada sepanjang ruang terbuka. Kota-kota tua
dan bersejarah serta daerah pedesaan menerapkan pola ini.

3. Teori Lokasi (Place)

Bila pada figure ground theory dan linkage theory ditekankan pada konfigurasi massa fisik ,
dalam place theory ditekankan bahwa integrasi kota tidak hanya terletak pada konfigurasi
fisik morfologi, tetapi integrasi antara aspek fisik morfologi ruang dengan masyarakat atau
manusia yang merupakan tujuan utama dari teori ini, melalui pandangan bahwa urban design
pada dasarnya bertujuan untuk memberikan wadah kehidupan yang baik untuk penggunaan
ruang kota baik publik maupun privat. Pentingnya place theory dalam spasial design yaitu
pemahaman tentang culture dan karakteristik suatu daerah yang ada menjadi ciri khas untuk
digunakan sebagai salah satu pertimbangan agar penghuni (masyarakat) tidak merasa asing di
dalam lingkungannya. Sebagaimana tempat mempunyai masa lalu (linkage history), tempat
juga terus berkembang pada masa berikutnya. Artinya, nilai sejarah sangat penting dalam
suatu kawasan kota.

Aspek spesifik lingkungan menjadi indikator yang sangat penting dalam menggali potensi,
mengatur tingkat perubahan serta kemungkinan pengembangan di masa datang.

Teori ini berkaitan dengan space terletak pada pemahaman atau pengertian terhadap budaya
dan karakteristik manusia terhadap ruang fisik. Space adalah void yang hidup mempunyai
suatu keterkaitan secara fisik. Space ini akan menjadi place apabila diberikan makna
kontekstual dari muatan budaya atau potensi muatan lokalnya.

A. Teori Desain Ruang Kota

Salah satu bentuk keberhasilan pembentuk place adalah seperti aturan yang dikemukakan
Kevin Lynch untuk desain ruang kota:
a) Legibillity (kejelasan)

Sebuah kejelasan emosional suatu kota yang dirasakan secara jelas oleh warga kotanya.
Artinya suatu kota atau bagian kota atau kawasan bisa dikenali dengan cepat dan jelas
mengenai distriknya, landmarknya atau jalur jalannya dan bisa langsung dilihat pola
keseluruhannya.

b) Identitas dan susunan

Identitas artinya image orang akan menuntut suatu pengenalan atas suatu obyek dimana
didalamnya harus tersirat perbedaan obyek tersebut dengan obyek yang lainnya, sehingga
orang dengan mudah bisa mengenalinya. Susunan artinya adanya kemudahan pemahaman
pola suatu blok-blok kota yang menyatu antar bangunan dan ruang terbukanya

c) Imageability

Artinya kualitas secara fisik suatu obyek yang memberikan peluang yang besar untuk
timbulnya image yang kuat yang diterima orang. Image ditekankan pada kualitas fisik suatu
kawasan atau lingkungan yang menghubungkan atribut identitas dengan strukturnya.

Kevin Lynch menyatakan bahwa image kota dibentuk oleh 5 elemen pembentuk wajah kota,
yaitu:

• Paths

Adalah suatu garis penghubung yang memungkinkan orang bergerak dengan mudah. Paths
berupa jalur, jalur pejalan kaki, kanal, rel kereta api, dan yang lainnya.

• Edges

Adalah elemen yang berupa jalur memanjang tetapi tidak berupa paths yang merupakan batas
antara 2 jenis fase kegiatan.

Edges berupa dinding, pantai hutan kota, dan lain-lain.

• Districts

Districts hanya bisa dirasakan ketika orang memasukinya, atau bisa dirasakan dari luar
apabila memiliki kesan visual. Artinya districts bisa dikenali karena adanya suatu
karakteristik kegiatan dalam suatu wilayah.

• Nodes

Adalah berupa titik dimana orang memiliki pilihan untuk memasuki districts yang berbeda.
Sebuah titik konsentrasi dimana transportasi memecah, paths menyebar dan tempat
mengumpulnya karakter fisik.

• Landmark
Adalah titik pedoman obyek fisik. Berupa fisik natural yaitu gunung, bukit dan fisik buatan
seperti menara, gedung, sculpture, kubah dan lain-lain sehingga orang bisa dengan mudah
mengorientasikan diri di dalam suatu kota atau kawasan.

d) Visual and symbol conection

• Visual conection

Visual conection adalah hubungan yang terjadi karena adanya kesamaan visual antara satu
bangunan dengan bangunan lain dalam suatu kawasan, sehingga menimbulkan image
tertentu. Visual conection ini lebih mencangkup ke non visual atau ke hal yang lebih bersifat
konsepsi dan simbolik, namun dapat memberikan kesan kuat dari kerangka kawasan

Dalam pengaturan suatu landuse atau tata guna lahan, relasi suatu kawasan memegang
peranan penting karena pada dasarnya menyangkut aspek fungsional dan efektivitas. Seperti
misalnya pada daerah perkantoran pada umumya dengan perdagangan atau fungsi-fungsi lain
yang kiranya memiliki hubungan yang relevan sesuai dengan kebutuhannya.

• Symbolic conection

Symbolic conection dari sudut pandang komunikasi simbolik dan cultural anthropology
meliputi:

 Vitality

Melalui prinsip-prinsip sustainance yang mempengaruhi sistem fisik, safety yang mengontrol
perencanaan urban struktur, sense seringkali diartikan sebagai sense of place yang merupakan
tingkat dimana orang dapat mengingat tempat yang merupakan tingkat dimana orang dapat
mengingat tempat yang memiliki keunikan dan karakteristik suatu kota.

 Fit

Menyangkut pada karakteristik pembangkit sistem fisikal dari struktur kawasan yang
berkaitan dengan budaya, norma dan peraturan yang berlaku

http://kolorkredit.blogspot.co.id/2012/05/teori-perancangan-kota-teori.html
Pola Tatanan Figure/Ground Pakuwon City

Pola tekstrur yang dimiliki oleh kawasan Pakuwon City dapat terlihat secara skala makro
kecil. Dikarenakan analisa yang dilakukan hanya fokus dalam satu kawasan saja, yaitu
kawasan Pakuwon City saja. Gambar figure/ground yang terdapat pada gambar terlihat
bahwa kawasan ini bersifat heterogen. Dimana dalam pola tatanan yang digunakan, terdapat
beberapa bentuk massa yang memiliki bentukan yang berbeda dan saling berbenturan.

Selain sifat terhadap bentuk heterogen yang dimiliki oleh kawasan Pakuwon City, terdapat
pula sifat yang melekat pada perumahan real estate yang tercermin dalam kawasan ini. Sifat
tersebut ialah perhatian akan konfigurasi figure massa yang bersifat massif dan figuratif. Sifat
figure yang figuratif ini dapat terlihat dari bentuk massa yang jelas, dengan rancangan akan
ruang terbuka yang merupakan ‘sisa’ dari berbagai bangunan. Penggunaan pola tatanan yang
seperti ini dikarenakan kawasan Pakuwon City merupakan kawasan perumahan, yang tentu
mengutamakan banyak massa sebagai massa hunian, dan ruang terbuka yang ada merupakan
sisa lahan dari bangunan-bangunan yang ada.

Pola dan Dimensi Unit Kawasan

Selain dilihat dari segi figure/ground terhadap kawasan, analisa akan pola tekstur kota juga
dilakukan. Dalam melakukan analisa terhadap pola tekstur kota, perlu diperhatikan akan
tingkat keteraturan, tingkat keseimbangan, dan tingkat kepadatan antar massa dan ruang
dalam kawasan ini.
Gambar di atas memperlihatkan tentang tatanan dalam kawasan Pakuwon City, dalam
gambar tatanan massanya dapat diketahui bahwa tingkat keteraturan yang dimiliki cukup
baik. Keteraturan massa yang cukup baik ini dapat tercipta oleh penataan massa yang
digolongkan sesuai dengan jenis dan fungsi bangunannya, selain itu juga karena faktor
penataan massa yang disesuaikan oleh bentuk jalan primer dalam kawasan tersebut. Oleh
karenanya, arah hadap massa-massa yang ada dapat tertata secara rapi dan tidak mengalami
benturan dengan garis jalannya.

Sementara untuk tingkat kepadatan dan tingkat keseimbangan dalam kawasan Pakuwon City
tidak begitu terbagi secara rata. Dengan memiliki empat bagian lahan utama, antar lahan
tersebut memiliki luas lahan yang berbeda antar satu dengan yang lainnya. Dengan perbedaan
lahan, maka akan mempengaruhi tingkat kepadatan bangunan pada tiap lahan tersebut. Jika
pada tiap lahan tidak memiliki tingkat kepadatan yang cenderung sama, akan terjadi
ketidakseimbangan terhadap jumlah maupun tatanan massa dan ruangnya.

Dengan tiga parameter yang dimiliki, akan mempengaruhi penataan terhadap kawasan
sebagai sebuah unit. Blok yang terdapat dalam kawasan Pakuwon City merupakan sebuah
blok tunggal yang dominan dengan blok medan yang terdapat pada area depan kawasan.
Tatanan pada blok medan menggunakan pola pembentuk deretan secara terkulai. Yang
kemudian lahan depan dari blok medan tersebut difungsikan sebagai hunian (blok tunggal),
blok tunggal pada lahan ini memiliki tatanan yang mengikuti pola jalan primer, sehingga
tercipta keserasian antara blok tunggal dengan lingkungannya. Tetapi pada beberapa bagian
lahan terdapat variasi sudut sebagai pembatas blok tunggal, dengan bentuk pola jalan yang
tegak tetapi bentukan blok tunggalnya yang meyudut.

Tatanan pola antar blok tunggal dengan blok medan dalam kawasan ini memiliki sifat cluster.
Tiap golongan massa dibagi dalam beberapa lahan, dan dalam tiap lahan tersebut terdapat
beberapa massa bangunan. Ruang terbuka/nodes yang memusat berfungsi sebagai pembagi
antar lahan massa bangunan Pakuwon City, bentuk ruang terbuka tersebut menggunakan
bentuk yang menyiku. Ruang terbuka ini dikelilingi oleh massa bangunan maupun
pepohonan. Sehingga ruang terbuka tersebut terkesan memusat dan terkesan sebagai point of
view pada jalan primer kawasan.

https://arsadvent.wordpress.com/pakuwon-city/analisa-figureground/
Teori figure/ground
Amar Ma'ruf Zarkawi

52-66 minutes

Teori figure/ground

Teori-teori figure/ground di pahami dari tata kota sebagai hubungan tekstural antara bentuk yang di
bangun (building mass) dan ruang terbuka (open space).merupakan analisis yang sangat baik untuk
mengidentifikasikan sebuah tekstur dan pola-pola sebuah tata ruang perkotaan, serta
mengidentifikasikan masala keteraturan perkotaan

2.1 pola sebuah tempat

Kemampuan untuk menentukan pola-pola dapat membantu menangani masalah mengenai


ketepatan (constancy) dan perubahan (change) dalam perancangan kota serta membantu
menentukan pedoman-pedoman dasar untuk menentukan sebuah perancangan lingkungan kota
yang konkret sesuai tekstur konteksnya.

Fungi pengaturan

Untuk memahami bagaimanakah pikiran manusia bekerja karena pikiran manusia menentukan suatu
tatanan dunia dalam pikiran tradisional, dunia alam adalah kacau dan tidak tertib (contoh: daerah
hutan). Artinya manusia cendrung menggolongkan, mengatur dan menghasilkan bagan-bagan
kognitif misalnya permukiman-permukiman bangunan-banguanan dan pertamanan.

Sistim pengaturan

Suatu lingkungan binaaan tidak dapat di rasakan tanpa adanya suatu bagan kognitif yang
mendasarinya.

Beberapa kehidupan dan kegiatan perkotaan secara arsitektural dapat di klasifikasikan dalam tiga
kelompok sebagai berikut:

 Susunan khawasan bersifat homogen yang jelas, dimana ada hanya satu pola penataan.
 Susunan kawasan yang bersifat heterogen, dimana dua (atau lebih) pola berbenturan
 Susunan kawasan yang bersifat menyebar dengan kecenderungan kacau.

2.2 dua pandangan pokok terhadap pola kota

Di Sebuah wilayah yg besar seperti kota, muncul aktifitas-aktifitas sangat luas dan bebeda. Semua
aktivitas itu secara umum menggambarkan pilihan yang dibuat berdasarkan seluruh kemungkinan
alternative yang ada. Dengan demikian kawasan perkotaan tidak mengesankan sebagai suayu bagian
daerah yang luas, melainkan permukiman itu terorganisir menurut prioritas-prioritas tertentu.

Organisasi lingkungan

Dengan kata lain, dapat di ungkapkan suatu prinsip dasar tentang bagaimana lingkungan kota di
organisasikan :

Kenyataan ini menunjukan bahwa perancangan kota selalu berhadapan dengan organisasi ruang
yang bersifat fisik dan social.

Figure yang figurative

Pandangan pertama memperhatikan konfigurasi massa atau blok yang di lihat secara figurative
artinya, perhatian di berikan pada figure massanya. Kebanyakan orang, baik perancang maupun
masyarakat trtarik pada pandangan tersebut yang dapat di temukan di dalam budaya tradisional,
maupun modern. Misalkan pada masa kini kebanyakan kawasan perkotaan seperti real estate atau
daerah perdagangan juga mengekspresikan cara pandang tersebut.

Ground yang figurative

Pandangan kedua mengutamakan konfigurasi ground (konfigurasi ruang tau void). Artinya,
konfigurasi ruang atau vloid dilihat sebagai suatu bentuk tersendiri. Dan sekali lagi pandangan ini
pun dapat di temukan di dalam budaya tradisional maupun budaya teknologi.

Secara teknis pandangan konfigurasi yang bersifat special telah lama di perkenalkan dan pada saat
ini secara umum sering di pakai di dalam perancangan perkotaan sejak gerakan postmodernisme.
Hal itu muncul karena sebuah kawasan kota atau sebuah gedung sebagai sebuah nucleus (inti) kota
sering menghadapi ketidakteraturan ekstern dalam lingkungannya. Secara khusus ada teori desain
yang di sebut sistim poche yang seringkali membantu keberhasilan para perancang kota dalam tugas
mencari kualitas baru tekstur figure/ground sebuah khawasan kota yang belum jelas sebelumnnya.

Definisi system poche

Sistim poche dalam lingkungan kota di rumuskan sebagai berikut:


Sistim desain ini akan sangat membantu arsitek dan perancang kota dalam masalah menemukan
nucleus yang stabil sehingga mampu mengatur ketidakteraturan ekstern lingkungan masing-masing

Pemakaian sistim poche dalam perancangan kota

Sistim poche sebenarnya tidak baru, melainkan sudah lama di kenal dan sering di pakai perlu di
perhatikan skala perkotaan dimana system ini dapat di pakai secara efektif.

Tekstur figure/ground perkotaan secara fungsional

Pada tahun 1748 giambatista nolli seorang arsitek italia, menemukan suatu cara analitis arsitektural
dengan menunjukan secara analitis semua massa dan ruang perkotaan yang bersifat public (dan
semipublic) ke dalam suatu gambaran figure/ground secara khusus cara analisisnya sejak waktu itu
di sebut dengan nolli plan dimana semua massa yang bersifat public atau semipublic tidak lagi di
ekspresikan sebagai massa (dengan warna hitam) melainkan di golongkan bersama tkstur ruang
dengan warna putih.

2.2 solid dan void sebagai elemen perkotaan

Seperti yang telah di katakan, system hubungan di dalam arsitektur figure/ground mengenal dua
kelompok elemen, yaitu solid dan void. Selanjutnya akan di kemukakan elemen-elemen kedua
kelompok tersebut. Ada tiga elemen dasar yang besifat solid serta empat elemen dasar yang bersifat
solid serta empat elemen dasar yang bersifat void.

Ke tiga elemen itu merupakan elemen konkrit karena dibangun secara fisik (dengan bahan massa).
Paling mudah untuk di perhatikan adalah elemen blok tunggal karena bersifat individual. Akan tetapi
elemen ini juga dapat di lihat sebagai bagian dari satu unit yang lebih besar dimana elemen tersebut
sering memiliki sifat yang penting (misalnya sebagai penentu sudut, hirarki atau penyambung).

3 elemen solid diantaranya

 Blok tunggal (single block)


 Blok yang mendefinisi sisi (edge defining block)
 Blok medan (field block)

4 elemen void diantaranya

 System tertutup yang linear (linear closed system)


 System tertutup yang sentral (central closed system)
 System terbuka yang sentral (central open system)
 System terbuka yang linear (linear open system)

2.4 void dan solid sebagai unit perkotaan

Sering dipakai istilah untuk unit perkotaan adalah :


Di dalam kota keberadaan unit sangatlah penting, karena unit-unit berfungsi sebagai kelompok
banguanan bersama ruang terbuaka yang menegaskan kesatuan massa di kota secara tekstural.
Melelui kebersamaan tersebut, penataan kawasan akan tercapai lebih baik kalau massa dan ruang di
hubungkan dan di satukan sebagai suatu kelompok.

Pola dan dimensi unit-unit perkotaan

Oleh sebab itu, elemen-elemen solid/void tidak boleh di lihat terpisah satu dengan yang lain, karena
secara bersama-sama membentuk unit-unit perkotaan yang sering menunjukan sebuah tekstur
perkotaan di dalam dimensi yang lebih besar.

Artiny, setiap kawasan dapat di mengeri bagiannya melalui salah satu cara tekstur tersebut. Namun,
batas antara tekstur dan unit-unit perkotaan tidak selalu jelas di dalam realitas, karena kawasan kota
jarang bersifat homogen, melainkan memiliki keadaan yang heterogen bahkan sering bersifat
menyebar sehingga agak sulit.

Pola dan dimensi unit-unit perkotaan

Oleh karena itu elemen-elemen void/solid tidak boleh di lihatterpisah satu sama yang lain, karena
secara bersama-sama membentuk unit-unit perkotaan yang sering menunjukan sebuah tekstur
perkotaan di dalam dimensi yang lebih besar. Di bedakan enam pola kawasan kota secara tekstural,
yaitu grid, angular, kurvilinear, radial, kosentris, aksial,serta organis. Namun batas antara tekstur dan
unit-unit perkotaan tidak selalu jelas dalam realita karena kawasan kota jarang bersifat homogen,
melainkan heterogen, bahkan menyebar. Sehingga agak sulit. Untuk mengatasi hal itu, dalam analisi
perlu di perhatikan 3 variabel terstruktur yakni tingkat keteraturan, tingkat keseimbangan,tingkat
kepadatan.antara masa dan ruang sehingga pengelompokan dapat di capai.

Kesimpulan

Pembentukan solid/void dengan elemen-elemennya sangat berbeda, bahkan juga pola hubungan di
antara keduannya. Secara arsitektural bentuk-bentuk masa dan ruang serta pola kombinasinya
secara tekstural dapat di analisa secara tepat dengan memperhatikan teori yang di kemukakan di
dalam bab ini dambar di bawah memberikan suatu kesimpulan tentang pemakaian bentuk segi
empat dan pola grid saja

3. Teori lingkage

3.1 Hubungan sebuah tempat dengan yang lain

Pembahasan sebelumnya lebih banyak diberikan pada pola kawasan perkotaan serta bagaimanakah
keteraturan massa dan ruangnya secara tekstural. Namun demikian, perlu dilihat keterbatasan
kelompok teori figure/ground karena, di samping memiliki kelebihan, pendekatannya sering
mengarah ke gagasan-gagasan ruang perkotaan yang bersifat dua dimensi saja dan perhatiannya
terhadap ruang perkotaan terlalu statis. Artinya, dinamika hubungan secara arsitektural berbagai
kawasan kota belum diperhatikan dengan baik.

Oleh sebab itulah, perlu diperhatikan suatu kelompok teori perkotaan lain yang membahas
hubungan sebuah tempat dengan yang lain dari berbagai aspek sebagai suatu generator perkotaan.
Kelompok teori itu disebut dengan istilah lingkage (penghubung), yang memperhatikan dan
menegaskan hubungan-hubungan dan gerakan-gerakan (dinamika) sebuah tata ruang perkotaan
(urban fabric). Sebuah lingkage perkotaan dapat diamati dengan cara dan pendekatan yang
berbeda. Di dalam bab ini lingkage perkotaan akan dikemukakan dalam tiga pendekatan yaitu:

- Lingkage yang visual

- Lingkage yang struktural

- Lingkage bentuk yang kolektif.

Kota adalah sesuatu yang kompleks dan rumit, maka perkembangan kota sering mempunyai
kecenderungan membuat orang merasa tersesat dalam gerakan di daerah kota yang belum mereka
kenal. Hal itu sering terjadi di daerah yang tidak mempunyai lingkage. Setiap kota memiliki banyak
fragmen kota, yaitu kawasan-kawasan kota yang berfungsi sebagai beberapa bagian tersendiri dalam
kota.

Walaupun identitas serta bentuk massa dan ruang fragmen-fragmen itu bisa tampak sangat jelas,
orang masih sering bingung saat bergerak di dalam suatu daerah yang belum cukup mereka kenal.
Kota kota seperti New York atau Mexico City dan juga kota-kota di Asia telah menggambarkan
masalah tersebut. Hal ini menunjukan bahwa jumlah kuantitas dan kualitas masing-masing bagian
(fragmen) di kota tersebut belum memenuhi kemampuan untuk menjelaskan sebagai bagian dalam
keseluruhan kota. Oleh karena itu, diperlukan elemen-elemen penghubung, yaitu elemen-elemen
lingkage dari satu kawasan ke kawasan lain yang membantu orang untuk mengerti fragmen-fragmen
kota sebagai bagian dari suatu keseluruhan yang lebih besar.
3.2 Lingkage visual

Istilah ‘lingkage visual’ dapat dirumuskan sebagai:

Dalam lingkage yang visual dua atau lebih banyak fragmen kota dihubungkan menjadi satu kesatuan
secara visual.

Edmund Bacon membahas tema ini secara mendalam. Bukunya sudah menjadi standar di dalam
teori perkotaan yang secara khusus memperhatikan lingkage yang visual. Teorinya menjadi terkenal
pada saat ia mengemukakan kasus-kasus yang menunjukkan dampak elemen-elemen visual di dalam
sejarah kota. Artinya, elemen-elemen tersebut sudah lama dikenal dan dapat dipakai baik dalam
skala makro besar maupun makro kecil, yaitu dalam kota secara keseluruhan maupun dalam
kawasan kota, karena sebuah lingkage yang visual mampu menyatukan daerah kota dalam berbagai
skala. Pada dasarnya, ada dua pokok perbedaan linkage visual, yaitu:

- Yang menghubungkan dua daerah secara netral;

- Yang menghubungkan dua daerah dengan mengutamakan satu daerah

Kebanyakan penghubung bersifat kaitan saja dan dapat ditemukan di banyak daerah di kota-kota
seluruh dunia, misalnya kota-kota di Italia atau di kota-kota Amsterdam (Belanda), Washington
(Amerika Serikat), Jaipur (Cina), Yogyakarta (Indonesia), dan banyak kota lain.

Hubungan yang bersifat sebagai fokus lebih sedikit, karena memusatkan sebuah kawasan tertentu.
Walaupun demikian, cara keterkaitan tersebut juga ada di beberapa daerah di kota-kota, khususnya
di dalam pusatnya. Contoh yang baik ada di Versailles (Prancis), atau beberapa daerah pusat di Roma
(Italia), atau daerah Arc de Triumph di Paris (Prancis), serta daerah Monas Jakarta (Indonesia).
Daerah ‘fokus’ tersebut sering memiliki juga fungsi dan arti khusus di dalam kotanya karena bersifat
lebih dominan dan menonjol daripada lingkungannya.

Lima elemen lingkage visual


Selanjutnya akan diperkenalkan lima elemen lingkage visual yang menghasilkan hubungan secara
visual, yakni garis, koridor, sisi, sumbu, dan irama. Setiap elemen memiliki ciri khas atau suasana
tertentu yang akan digambarkan satu per satu. Bahan-bahan dan bentuk-bentuk yang dipakai dalam
sistem penghubungnya dapat berbeda. Namun, perlu ditekankan bahwa dengan merancang lanskap
(yang sering hanya dianggap sebagai dekorasi perkotaan), akan sangat efektif bila menghubungkan
fragmen dan bagian kota dengan cara lingkage visual.

Elemen garis menghubungkan secara langsung dua tempat dengan satu deretan massa. Untuk
massa tersebut bisa dipakai sebuah deretan bangunan ataupun sebuah deretan pohon yang
memiliki rupa assif. Elemen koridor yang dibentuk oleh dua deretan massa (bangunan atau pohon)
membentuk sebuah ruang. Elemen sis sama dengan elemen garis, menghubungkan dua kawasan
dengan satu massa. Walaupun demikian, perbedaanya dibuat secara tidak langsung, sehingga tidak
perlu dirupakan dengan sebuah garis tidak langsung, sehingga tidak perlu dirupakan dengan sebuah
garis yang massanya agak tipis, bahkan hanya merupakan sebuah wajah yang massanya kurang
penting. Elemen tersebut bersifat massif di belakan tampilannya, sedangkan di depan bersifat
spasial. Elemen sumbu mirip dengan elemen koridor yang bersifat spasial. Namun, perbedaan ada
pada dua daerah yang dihubungkan oleh elemen tersebut, yang sering mengutamakan salah satu
daerah tersebut. Elemen irama, menghubungkan dua tempat dengan variasi massa dan ruang.
Elemen tersebut jarang diperhatikan dengan baik, walaupun juga memiliki sifat yang menarik dalam
menghubungkan dua tempat secara visual.

Elemen-elemen tersebut akan digambarkan dengan berbagai contoh yang menegaskan sifat elemen
masing-masing. Perlu ditegaskan di sini bahwa cara pemakaian lanskap di dalam kota akan sangat
mendukung dan memperjelas sistem hubungan yang ada di dalam kota. Sayangnya, potensi
penanaman pohon-pohon jarang dipakai sesuai kebutuhan lingkungan, baik secara visual maupun
fungsiaonal (sudah deketahui bahwa pohon-pohon besar adalah ‘paru-paru kota’ dan mengurangi
kepanasan dan udara kotor di dalam kota!). Pohon-pohon hanya dianggap sebagai penghias
kawasan kota saja. Sudah saatnya bahwa pendekatan terhadap lanskap – dan secara khusus
mengenai pohon-pohon – diganti dengan suatu pendekatan yang lebih berarti di dalam kota, lebih-
lebih di dalam kota tropis.

3.3 Lingkage struktural

Sebuah kota memiliki banyak kawasan. Beberapa kawasan mempunyai bentuk dan ciri khas yang
mirip, tapi ada juga kawasan yang sangat berbeda. Sering pula terjadi perbedaan antara kawasan
yang letaknya saling berdekatan sehingga terlihat agak terpusan dan berdiri sendiri. Hal ini
disebabkan karena kurangnya bentuk jaringan. Dalam kota sering terlihat tidak adanya hubungan
antara satu daerah dan yang lain. Permasalahan tersebut telah dicoba untuk diatas dengan
pendekatan lingkage yang visual. Tetapi solusi visual tersebut sering kurang tepat, sehingga perlu
ditambahkan bahwa masalah kurangnya bentuk jaringan kawasan perkotaan juga penting dibahas
secara struktural. Di dalam realitasnya, kota tidak hanya mementingkan masalah yang bersifat visual
saja, tetapi juga hubungan strukturalnya, yang jarang sekali diperhatikan dengan baik dalam
perancangan perkotaan. Colin Rowe sebagai tokoh perancang kota secara struktural melihat
masalah tersebut sebagai ‘suatu krisis objek-objek perkotaan dengan kondisi struktrur yang sangat
disayangkan’. Ia menggambarkan bahwa kawasan-kawasan yang tidak terhubungkan secara
struktural, atau terhubungkan tapi secara kurang baik, akan menimbulkan suatu kualitas kota yang
diragukan.

Lingkage struktural dengan sistem kolase

Lalu bagaimana perancang kota dapat mengatasi secara arsitektural masalah perbedaan kawasan-
kawasan yang nyata ini? Colin Rowe memakai sebuah sistem perancanaan yang mampu mengatasi
masalah tersebut dengan menyatukan kawasan-kawasan kota melalui bentuk jaringan struktural
yang lebih dikenal sebagai sistem kolase. Istilah ‘kolase’ (dari bahasa inggris; collage) biasanya
dipakai di bidang seni lukis yang bersifat tekstural saja, di mana sebuah gambar ditempel dengan
beberapa bahan tekstur (yang sering berbeda-beda) menjadi satu kesatuan di dalam tatanannya.
Pada tingkat kota, Rowe mengamati bahwa sistem kolase ini juga dapat dipakai secara efektif
sebagai berikut:

Dalam lingkage yang struktural dua atau lebih bentuk struktur kota digabungkan menjadi satu
kesatuan dalam tatanannya.

Sama seperti lingkage yang visual, dalam lingkage yang struktural pada dasarnya dapat diamati dua
perbedaan pokok sebagai berikut:

- Menggabungkan dua darah secara netral;

- Menghubungkan dua darah dengan mengutamakan satu daerah.

Pemakaian kedua cara terseebut juga tergantung pada fungsi kawasan di dalam konteks masing-
masing. Tidak setiap kawasan memiliki arti struktural yang sama di dalam kota, sehingga cara
hubungannya secara hierarkis juga dapat berbeda (menyamakan dua kawasan atau mengutamakan
salah satunya).

Fungsi lingkage struktural di dalam kota

Dalam lingkage struktural yang baik, pola ruang perkotaan dan bangunannya sering berfungsi
sebagai sebuah stabilisator dan koordinator di dalam lingkungannya, karena setiap kolase (atau
dengan kata lain, penghubung fragmen-fragmen) perlu diberikan stabilitas tertentu dan koordinasi
tertentu dalam strukturnya. Tanpa ada daerah-daerah yang polanya tidak dikoordinasikan serta
distabilisasikan tata lingkungannya, maka cenderung akan muncul pola tata kota yang kesannya agak
kacau. Hal itu dapat diatasi dengan memprioritaskan sebuah daerah yang menjelaskan
lingkungannya dengan suat struktur, bentuk, wujud, atau fungsi yang memberikan susunan tertentu
di dalam prioritas penataan kawasan.

Elemen-elemen lingkage struktural

Ada tiga elemen lingkage struktural yang mencapai hubungan secara arsitektural, yaitu: tambahan,
sambungan, serta tembusan. Setiap elemen tersebut memiliki ciri khas dan tujuan tertentu di dalam
sistem hubungan dengan berbagai kawasan perkotaan. Karena tiga elemen struktural ini bersifat
agak abstrak, sering kali elemen-elemen lingkage yang struktural kurang diperhatikan di dalam
perancangan perkotaan.

Secara struktural elemen tambahan melanjutkan pola pembangunan yang sudah dan sebelumnya.
Bentuk-bentuk massa dan ruang yang ditambah dapat berbeda, namun pola kawasannya tetap
dimengarti sebagai bagian atau tambahan pola yang sudah ada di sekitarnya.

Berbeda halnya dengan elemen sambungan karena elemen ini memperkenalkan pola baru pada
lingkungan kawasannya. Dengan pola baru ini, diusahakan menyambung dua atau lebih banyak pola
di sekitarnya, supaya keseluruhannya dapat dimengerti sebagai satu kelompok yang baru memiliki
kebersamaan melalui sambungan itu. Elemen tersebut sering diberi fungsi khusus di dalam
lingkungan kota, karena rupanya agak istimewa.

Lain pula halnya dengan ciri khas elemen tembusan karena elemen ketiga ini tidak memperkenalkan
pola baru yang belum ada. Elemen tembusan sedikit mirip dengan elemen tambahan, namun lebih
rumit polanya karena di dalam elemen tembusan terdapat dua tau lebih pola yang sudah ada di
sekitarnya dan akan disatukan sebagai pola-pola yang sekaligus menembus di dalam satu kawasan.
Dengan cara demikian, sebuah kawasan yang memakai elemen tembusan tidak akan memiliki
keunikan dari dirnya sendiri, melainkan hanya ‘campuran’ dari lingkungannya.

Colin Rowe mengemukakan beberapa kasus di dalam sejarah kota, misalnya di kota Roma, Italia.
Sistem lingkage struktural sudah lama dipaka dalam suatu kualitas menghubungkan berbagai
kawasan. Oleh karena itu, banyak tokoh perancang tertarik menerapkan teori Colin Rowe (mengenai
perhatian kota secara struktural). Misalnya Roger Trancik memakai linkage struktural untuk sebuah
studi pengembangan kawasan kota Goteborg di Sweida. Dalam pernacangan tersebut sistem
lingkage struktural dipakai dalam menggunakan elemennya secara baik.

3.4 Lingkage sebagai bentuk kolektif

Seperti telah dikemukakan terdahulu, kelompok teori lingkage memperhatikan susunan dan
hubungan bagian-bagian kota satu dengan yang lainnya. Roger Trancik membandingkan dinamika itu
seperti suatu komposisi musik dengan suatu sistem datum. Dan Francis Ching memakai istilah yang
sama dengan definisi berikut ini:

Suatu datum diartikan sebagai suatu garis, bidang atau ruang acuan untuk menghubungkan unsur-
unsur lain di dalam suatu komposisi. Datu mengorganisir suatu pola acak unsur-unsru melalui
ketertaturan kontinuitas dan kehadirannya yang konstan. Sebagai contoh, garis-garis lagu berfungsi
sebagai suatu datum yang memberi dasar visual untuk membaca not dan irama nada-nada yang ada
secara relatif.

Garis-garis lagu adalah suatu datum konstan yang menyiapkan suatu bingkai ciptaan pada seorang
komponis. Itu sama halnya dengan lingkungan perkotaan, karena suatu datum (atau kesamaan) yang
bersifat spasial akan berfungsi sebagai landasan tertentu. Contoh datum yang bersifat spasial adalah
sebuah garis lahan-lahan, suatu aliran gerakan yang diarahkan, sebuah sumbu yang bersifat
organisasional atau sebuah sisi kelompok bangunan. Sebetulnya bentuk dan pola datum perkotaan
sudah banya k sekali. Ching mengamati dengan baik, bahwa sebagai pengatur yang efektif, sebuah
garis datum harus memiliki kontinuitas visual untuk menembus atau melintasi semua unsur yang
diorganisir sebagai figure yang dapat merangkum atau mengumpulkan semua unsur-unsur yang
terorganisir di dalam lingkungannya. Jika demikian, garis datum yang spasial itu menunjukan suatu
sistem penghubung yang perlu dipertimbangkan seandainya ada suatu tambahan atau perubahan
massa atau ruang di dalam lingkungannya.

Walaupun demikian, di dalam realitas kota dan perancangannya, faktor penting itu jarang
diperhatikan degnan baik. Sering dilupakan bahwa sebuah kota memiliki arti luas daripada jumlah
gedung dan prasarananya saja. Sebuah kota hanya akan berarti sebagai sejumlah unit-unit.
Kenyataan tersebut telah dibahas dengan memperhatikan unit-unit secara visual dan struktural.
Meskipun demikian, masih perlu ditambah satu cara lagi yang memperhatikan secara langsung
keadaan rupa bentuk yang bersifat kolektif di dalam kawasan kota.

Implikasi keadaan tersebut sering kurang disadari. Masalah itu muncul karena secara nyata di kota
juga ada kawasan yang berbentuk kolektif, tetapi bentuk tersebut sering kurang jelas dalam batasan
maupun ciri khasnya. Kenyataan ini menunjukkan perlu adanya perhatian secara khusus terhadap
analisis mengenai keberadaan bentuk-bentuk kolektif di dalam kota, karena dengan hal tersebut
akan dicapai landasan perancangan untuk memperkuat kualitas kawasan melalui pengelompokan
berbagai objek sebagai bagian dari satu bentuk kolektif. Perhatian perlu diberikan secara khusus
pada ciri khas, organisasi, dan hubungan bentuknya yang bersifat kolektif, baik di suatu derah
maupun dengan daerah yang lain, karena sebuah kota memiliki banyak wilayah yang mempunyai arti
terhadap hubungan dari dalam maupun luar, yaitu dari diri sendiri maupun dari lingkungannya. Oleh
sebab itu, kawasan-kawasan perkotaan yang mempunyai sifat bentuk kolektif merupakan
karakterisktik perkotaan yang penting. Fumihiko Maki menganggap kriteria linkage tersebut sebagai
karakteristik yang sangat penting di dalam lingkungan perkotaan:

Penghubung (lingkage) adalah hakikat utama di dalam kota. Penghubung adalah tindakan yang
menyatukan semua lapisan aktivitas serta hasilnya yang memiliki rupa secara fisik di dalam kota ...
Perancangan kota memperhatikan pertanyaan yang membuat hubungan secara luas antara objek
yang dipisahkan. Sebagai akibatnya, penghubungan memperhatikan upaya memperjelas sebuah
keberadaan yang luas sekali dengan mengartikulasi bagiannya.

Perbedaan dan hubungan terhadap lingkungan

Supaya sebuah bentuk kolektif dapat dilihat, maka syarat yang diperlukan adalah bagaimana fungsi
arsitektural dari bentuk kolektif tersebut. Ada dua syarat, yaitu bentuk kolektif yang berbeda dengan
lingkungannya dan bentuk kolektif yang berhubungan dengan lingkungannya.

Bentuk kolektif yang berbeda dengan lingkungannya

Sebuah bentuk kolektif tidak dapat dilihat tanpa sedikitnya wujud perbedaan terlihat pada
lingkungannya. Hal itu berarti bahwa batasan visual atau struktural diperlukan agar bentuk kolektif
jelas dalam keseluruhannya. Batasan visual atau struktural itu bisa elemen alamiah ataupun buatan.

Bentuk kolektif yang berhubungan dengan lingkungannya


Sebuah bentuk kolektif tidak dapat dilihat tanpa sedikitnya wujud hubungan tampak pada
lingkungannya. Hal itu berarti bahwa suatu hubungan visual atau struktural diperlukan supaya
bentuk kolektif felas dalam keseluruhannya. Hubungan visual atau struktural itu boleh menjadi
elemen alamiah atau buatan.

Elemen-elemen sistem bentuk kolektif

Fumihiko Maki melihat tiga tipe bentuk kolektif, yaitu compositional form, megaform, serta
groupform.

Sebuah compositional form atau ‘bentuk komposisi’ merancang objek-objek seperti komposisi dua
dimensi dan individual yang hubungan antara masing-masing agak abstrak. Dalam tipe ini lingkage
agak sedikit diasumsikan dan tidak langsuang kelihatan. Tipe ini sering dipakai dalam desain
fungsionalisme atau gerakan Modernisme Klasik pada tahun 1930-an sampai sekarang. Namun
demikian, penghubung tersebut sering kurang memperhatikan fungsi ruang terbuka di dalam segala
aktivitas para pelakunya. Oleh sebab itu, ruang terbuka di dalam pembentukan tersebut sering
berkualitas rendah karena tidak terwujud dengan jelas serta tidak dapat dipakai dengan baik secara
fungsional.

Sebuah megaform atau ‘bentuk mega’ menghubungkan struktur-struktur seperti bingkai yang linear
atau sebagai grid. Dalam tipe ini, lingkage dicapai melalui hierarki-hierarki yang bersifat open ended
(masih terbuka untuk berkembang). Secara alami megaform dapat dilihat di dalam skala yang
bermacam-macam. Suatu contoh yang paling tampak dan umum adalah bentuk dan pola pohon.
Banyak eksperimen desain tipe seperti ini dibuat pada tahun 1960-an yang memberikan perhatian
secara khusus pada kota yang bersifat megastruktural. Pada masa kini perhatian pada elemen
megaform sudah berkurang, namun cara perancangannya masih sering dipakai dalam proyek-proyek
besar, khususnya kalau melibatkan banyak prasarana dan sirkulasi di dalam kawasan yang bersifat
makro (misalnya lapangan terbang, stasiun, kampus, industri, daerah metropolitan, dan sebagainya).
Nama elemen tersebut sudah menjelaskan bahwa sebuah megaform kurang tepat dalam skala
mikro saja (yaitu gedung) karena sifat elemen tersebut cenderung makro.

Sebuah groupform muncul dari penambahan akumulasi bentuk dan struktur yang biasanya berdiri di
samping ruang terbuka publik. Dalam tipe ini lingkage dikembangkan secara organis. Kota kuno dan
desa tradisional cenderung mengikuti tipe ini. Tetapi pada saat ini elemen groupform juga sering
dipakai dalam perancangan kawasan baru dengan dibuat suatu akumulasi banguan sebagai satu
kelompok. Kompleks tersebut akan mengekspresikan suatu persamaan bangunan di dalam
kawasannya, yang terwujud melalui pola struktur bangunannya yang saling terikat.

3.5 Kesimpulan

Di dalam bab ini dibahas tiga macam cara penghubungan, yaitu linkage visual, linkage struktural,
serta linkage bentuk kolektif. Semua pembahasaan tersebut menarik perhatian pada sistem
bagaimana kawasan-kawasan kota sebagai sebuah produk arsitektural dihubungkan satu dengan
yang lain.
Penghubung bagian-bagian kota satu dengan yang lain memang kriteria yang penting sehingga
kawasan-kawasan kota bisa dipahami sebagai sebuah hierarki yang lebih besar daripada hierarki
yang ada di dalamnya saja. Cara penghubungannya secara arsitektural dapat dilakukan sesuai
konteksnya, yang masing-masing memiliki kriteria arsitektural tersendiri, yaitu secara visual,
struktural, atau melalui bentuk kolektif. Tingkat penhubungan dapat berbeda pula, baik secara
kuantitas maupun kualitas. Oleh sebab itu, dibutuhkan suat kepekaan yang baik terhadap lingkungan
agar suat intervensi arsitektural di dalamnya dapat meningkatkan kualitas penghubungan dalam
lokasi secara keseluruhan. Peningkatan itu akan juga menguntungkan intervensi terebut bagi diri
sendirinya. Bab berikut secara khusus akan berfokus pada hal tersebut, karena tanpa pembahasaan
sebuat ‘arti’ dari suat produk, maka produk tersebut belum dapat dipahami dengan baik.

4. Teori place

4.1 Makna sebuah tempat

Pada bab ini dibahas makna sebuah kawasan sebagai sebuah tempat perkotaan secara arsitektural.
Manusia memerlukan suatu sistem places (tempat-tempat tertentu) yang berarti dan agak stabil
untuk mengembangkan kehidupan dan budayanya. Kebutuhan itu timbul karena adanya kesadaran
orang terhadap suatu tempat yang lebih luas daripada hanya sekadar masalah fisik saja. Pandangan
umum mengenai sistem places dapat sengat berbeda, misalnya antara sistem places perdesaan dan
sistem places perkotaan. Namun pada setiap tempat, agar dapat dilihat dan dirasakan, orang
memerlukan suatu batasan dengan makna tertentu. Ada dua pengamatan yang menarik dalam hal
tersebut:

Sebuah batas bukan ditentukan karena sifatnya sebagai daerah tempat berhenti, melainkan di mana
sebuah tempat memulai kehadirannya.

Bagian dari keadaan sebuah tempat yang baik adalah perasaan yang kita miliki terhadapnya, yang
terwujud dan dilindungi oleh sebuah medan yang spasial yang dimiliki sendiri dengan
pembatasannya serta kesanggupannya.

Kenyataan itu kurang diperhatikan di dalam kota modern. Misalnya, gerakan arsitektur modern yang
disebut gaya internasional (international style), dengan puncaknya pada pertengahan abad ke-20,
sama sekali tidak memperhatikan aspek tersebut, karena fokus hanya diberikan pada objek-objek
secara fungsional saja. Pada masa kini konsep-konsep perkotaan dari gerakan itu terbukti gagal di
dalam realitasnya: beberapa tokoh arsitek sudah mengusulkan gagasan-gagasan baru, misalnya para
arsitek dari TEAM 10, TAU-Group dari Prancis, Rob dan Leon Krier bersaudara dari Luxemburg,
Hermann Herzberger dari Belanda, atau Hans Hollein dari Jerman, dan lain-lainnya. Namun, sampai
saat ini pemikiran para perancang secara umum masih sangat dipengaruhi oleh gerakan modernisme
yang sudah terbukti gagal tersebut, ditambah lagi dengan gerakan post-modernisme yang sering
dipakai sebagai alat ‘dekorasi’ kawasan perkotaan saja.

Definisi place

Apa yang dimaksud dengan kata place, dan apa perbedaan antara place dan space? Christian
Norberg-Schulz member difinisi umum berikut ini:
Sebuah place adalah sebuah space yang memiliki suat ciri khas tersendiri.

Lebih lanjut secara arsitektural Roger Trancik merumuskan secara lebih spesifik:

Sebua space akan ada kalau dibatasi sebagai sebuah void dan sebua space menjadi sebuah place
kalau mempunyai arti dari lingkungan yang berasal dari budaya daerahnya.

Artinya, sebuah place dibentuk sebagai sebuah space jika memiliki ciri khas dan suasana tertentu
yang berarti bagi lingkungannya. Suasan itu tampak dari benda yang konkret (bahan, rupa, tekstur,
warna) maupun benda yang abstrak, yaitu asosiasi kultural dan regional yang dilakukan oleh
manusia di tempatnya. Aldo van Eyck mengatakan:

Whatever space and time mean, place and occasion mean more.

Aldo van Eyck mengembangkan konsep yang sudah umum, yaiut ‘space-time-conception’ secara
lebih mendalam dengan memperhatikan perilaku manusia di dalam konsep tersebut. Ia mengamati
bahwa istilah abstrak ‘ruang’ (space) di dalam citra manusia akan lebih konkret jika dapat dialami
sebagai ‘tempat’ (place), dan istilah ‘waktu’ (time) menjadi lebih konkret jika dilihat sebagai suatu
‘kejadian’ (occasion). Ia mengamati bahwa selama setengah abad ini kebanyakan arsitek modern
menegaskan suatu perbedaan antara ‘di luar’ (outside) dan ‘di dalam’ (inside), yaitu antara interior
dan eksterior bangunan. Namun menurut Van Eyck, tugas para arsitek sebtulnya adalah selallu
menyiapkan bagi manusia sebua keadaan yang bersifat ‘di dalam’ (inside). Hal ini tersebut juga
berlaku untuk ‘di luar’ (outside), yaitu di antara bangunan, karena selama orang hidup dia selalu
berada di dalam ruang, baik di dalam maupun di luar gedung. Arsitektur dan urbanisme
mengandung usaha penciptaan sebuah interior untuk di dalam (inside) maupun di luar (outside).
Ruang yang berada di luar bangunan lebih baik diperhatikan sebagai sebuah bagian yang penting
bagi manusia yang hidup di dalamnya.

P.H. Chombart de Lauwe sebagai ahlli sosiologi membahas tema tersebut secara mendalam. Ahli
arsitektur-antropologi Amos Rapoport mengembangkan bidan EBR (Environmental Behavior
Relations) yang memperhatikan secara khusus hubungan antara lingkungan yang dibangun (built-
environmental) dan perilaku manusia (human behavior).

Dalam rumusan dan penjelasan ini, penting kiranya untuk menganalisis dan merancang kawasan
perkotaan dari segi konteks, citra, dan artistiknya secara mendalam, karena jelaslah jenis dan rupa
places yang memungkinkan occasions di dalamnya akan mempengaruhi masyarakat di tempatnya.
Itulah bahan yang sebetulnya perlu diperhatikan di dalam kelompok teori perkotaan yang ketiga ini.
Oleh karena akan mengungkap suatu pandangan atau pengalaman terhadap ruang kota sebagai
tanda kehidupan perkotaan melalui pembentukan dan pemakaian place di dalam lingkungan
tempatnya, baik secara konkret maupun abstrak.

4.2 Konteks kota

Sebuah bangunan tidak perlu menjiplak berbagai gaya lingkunganya supaya dapat disebut
kontekstual dan mendukung kesatuan lingkungan. Di dalam pembangunan gedung-gedung baru,
secara kontekstual perlu diterapkan prinsip-prinsip tertentu yang berasal dari lingkungannya. Ada
pengamatan yang menarik dalam hal tersebut:

Di dalam perancangan kontekstual yang benar perlu lebih banyak diperhatikan sejarah kawasan,
kebutuhan masyarakat, tradisi ketukangan dan pemakaian bahan, serta realitas politik dan ekonomi
masyarakatnya, daripada hanya sekadar analisis-analisis yang dangkal.

Perancangan tidaklah lebih dari proses pencarian apa yang diinginkan seseorang atau suatu objek:
bentukan yang dibuat oleh mereka sendiri merupakan bentuk dari hasil proses pencarian itu sendiri.
Tidak diperlukan suatu penemuan baru oleh perancang; yang dibutuhkan ialah mendengarkan baik-
baik saja.

Dengan kata lain, suatu perancangan yang kontekstual merupakan hasil dar suatu proses
mengalihkan arti lingkungan ke dalam sebuah objek baru

Konteks dan kontras

Walaupun demikian, suatu perancangan secar kontekstual tidak boleh mengabaikan kontras, karena
konras dibutuhkan untuk menciptakan sebuah lingkungan yang menarik dan kreatif. Diamati dengan
baik bahwa prinsip ‘kontras’ hanya bersifat sebagai ‘bumbu makanan’ yang perlu dipakai dengan
hati-hati, supaya ‘makanan’ tetap sedap. Dalam kawasan perkotaan, kontras adalah salah satu alat
perancangan yang bagus, dan akan meningkatkan kualitas kawasan jika dipaik dengan cara yang
baik. Namun sebaliknya, tanpa perhatian yang sungguh-sungguh, akan terjadi pemusnahan yang
mengubah sebuah kawasan ke arah kekacauan. Secara nyata pada masa kini di dalam pembangunan
perkotaan, kontras terlalu sering dipakai dan sifatnya sering disalahgunakan. Oleh karena itu, sangat
dibutuhkan suatu pemahaman yang baik menganai kontras dan sifat-sifat dasarnya serta
keterbatasannya, agar suatu kontras menjadi seimbang dengan konteksnya. Ada klasifikasi enam
tingkat perbedaan antara dua bentuk, yaitu bentuk-bentuk yang sama serupa, mirip serupa, variasi,
diferensiasi, kontras, serta kontras radikal.

Makin meningkatnya perbedaan antara dua bentuk makin menghilangkan kesamaannya. Dinamika
tersebut perlu diperhatikan secara khusus di dalam kawasan perkotaan.

Dua elemen perkotaan yang kontekstual

Selanjutnya secara konkret perlu diperhatikan kedua elemen pokok perkotaan yang mendefinisikan
secara mendasar sebuah konteks tertentu, yaitu elemen place yang statis, serta elemen place yang
dinamis.

Secara arsitektural sebuah tempat yang bersifat statis yang berbeda dengan konteks yang bersifat
dinamis. Perbedaan dasarnya secara spasial terletak pada arah dan gerakan di dalam lingkungannya.
Dalam berbagai teori perkotaan sedara kontekstual, kedua elemen ini dikenal dengan bermacam-
macam nama yang agak membingungkan. Misalnya, di dalam bahasa Inggris istilah place (sam
dengan istilah Platz dalam bahasa Jerman) dipaka secara umum, tetapi juga dipakai secara khusus
untukk suatu tempat yang cenderung bersifat statis, yang kadang-kadang juga disebut sebaga square
(skala makro) atau court (skala mikro). Dalam bahasa Indonesia terdapat beberapa istilah yang
masing-masing memiliki makna tertentu. Misalnya, istilah ‘alun-alun’ dipakai untuk sebuah tempat
khusus di pusat kota saja. Istilah ‘lapangan’ biasanya dipakai untuk sebuah tempat yang sudah
memiliki fungsi tertentu (untuk olah raga dan lain-lain), serta istilah ‘halaman’ cenderung bersifat
mikro saja. Istilah ‘ruang kosong’ yang kebanyakan bersifat statis juga dipakai, namun istilah tersebut
memiliki bermacam arti, sama dengan istilah ‘jalan’ yang sifatnya dinamis. Oleh karena itu, di dalam
buku ini kedua elemen kontekstual dibedakan dengan pemakaian kedua istilah dasar, yaitu ruang
statis serta ruang dinamis. Selanjutnya secara teknis hanya dua istilah tersebut yang akan dipakai.

Di sini tidak ada maksud untuk membahas kawasan perkotaan yang kontekstual dari sudut pandang
berbagai bidang ilmu (antropologi dan sebagainya) ataupun dari sudut pandang yang subjektif
(misalnya gaya). Perhatian hanya akan diberikan secara dasar pada pembicaraan formulasi bentuk
dan ruang yang berfokus secara arsitektural pada suatu konteks secara objektif dan umum.

Pada dasarnya, pembentukan dua elemen pokok ini dapat dilihat dalam dua karakteristik dasar yang
bersifat arsitektural, yaitu rupa dan tampak. Dua tokoh teori perancangan kota, yaitu Rob Krier dan
Jim McCluskey, mendefinisikan ruang statis/dinamis dari empat aspek, yaitu dari tipologi, skala,
hubungan, dan identitas. Keempat aspek ini perlu diperhatikan secara mendalam karena hanya
melalui aspek-aspek pokok inilah kedua karakteristik ‘rupa’ dan ‘tampak’ dapat dibahas secara
objektif. Masalah tersebut sering dilupakan, bahkan dicampuradukkan dengan masalah geometri
dan stetika perancangan perkotaan yang sering berpandangan subjektif.

Tipologi

Pada dasarnya, tipologi bentuk sebuah tempat tidak selalu sudah jelas, karena bisa jadi ada
campuran antara sifat yang statis dan dinamis. Demikian pula batas tidak selalu jelas. Selanjutnya,
tipologi kedua elemen tersebut akan dibahas satu demi satu.

Tipologi ruang statis. Sejak awal abad ini, karakter ruang terbuka yang bersifat statis di dalam kota
hanya dianggap sebagai tempat estetik perkotaan, khususnya di Eropa. Oleh sebab itu, karakter
tempat tersebut hanya digolongkan pada geometrinya saja tanpa memperhatikan fungsinya di
dalam kota. Misalnya, teori perancangan kota yang terkenal dari Rob Krier berusaha menggolongkan
semua tempat tersebut sesuai bentuknya dengan pemakaian elemen geometri dasar saja, yaitu
lingkaran, segitiga, bujur sangkar, serta kombinasinya. Banyak pengkritik, khususnya yang
berhubungan dengan ilmu sosial, mempermasalahkan makna teori tersebut sebagai sesuatu yang
lihiriah saja. Walaupun anggapan tersebut betul, jelas bahwa ruang perkotaan yang bersifat statis
juga tidak bisa diklarsifikasikan dari sudut pandang bidang sosial saja melainkan juga memiliki arti
yang diekspresikan melalui bentuknya.

Hans J. Aminde menggabungkan dengan baik kedua pendekatan tersebut secara itegral dengan
memperhatikan karakter ruang perkotaan yang bersifat statis beserta fungsi ruang tersebut, yang
masing-masing bisa dihubungkan sepuluh karakter ruang tersebut, yang masing-masing bisa
dihubungkan dengan bermacam fungsi sesuai konteksnya, misalnya sebagai ruang terbuka untuk
perdagangan, budaya, monumen, permukiman, perdagangan, lalu lintas, parkir, dan lain-lain.
Kedua hal tersebut tidak boleh dipisahkan satu dengan yang lain. Fungsi/aktifitas sebuah tempat
sama pentingnya dengan bentuknya, dan demikian pula sebaliknya. Spiro Kostof membahas hal
tersebut secara mendalam di dalam konteks Eropa. C. Cooper bersama C. Francis memberikan
kontribusi menarik dalam konteks Amerika. Sayangnya, di dalam konteks Asia belum tersedia banyak
literatur mengenai hal tersebut.

Tipologi Ruang Dinamis

sama dengan ruang statis, ruang dinamis (yang sering disebut sebagai street atau jalan) memiliki
tipologi tersendiri. Sama dengan ruang st atis, ruang dinamis juga memiliki kaitan tersendiri
antara bentuk dan fungsinya, sehingga Spiro Kostof dengan tepat mengantakan bahwa ruang
dinamis yang disebut ‘jalan’ sekaligus adalah elemen dan institusi perkotaan. Bentuknya bisa juga
sangat berbeda sesuai lokasi dan fungsinya di dalam kota . oleh sebab itu, sering diberikan padanya
nama yang sesuai dengan keadaanya

Selanjutnya dikemukakan kriteria kedua, yaitu skala, karena perlu juga ditanyakan mengenai sebuah
tempat: Seberapa besar ukurannya? Bagaimana perbandingan secara spasial antara ketinggian
elemen dan lebarnya? Bagaimana hubungan secara spasial antara objek-objek di dalamnya

Walaupun kesan sebuah tempat tergantung pada banyak factor, bisa dikatakan secara umum bahwa
skala, yaitu hubungan antara lebar./panjang dan tinggi ruang dari sebuah tempat, memberikan
sebuah kesan yang bersifat agak umum pada orang yang bergerak didalamnya.

Morfologi

Kemudian kriteria yang ketiga, morfolgi sebuah tempat, juga perlu dianalisis. Ini berarti bahwa
sebuah elemen place tertentu tidak hanya boleh diperhatikan dari tempatnya saja, melainkan juga
dari segi arti hubungan antara tempat dan tempat yang lain. Oleh sebab itu yang perlu ditanyakan
adalah: Bagaimanakah konteks elemen tersebut? Bagaimanakah kombinasi antara elemen-
elemennya? Bagaimanakah pencampuran elemnnya? Aspek-aspek itu sangat penting bagi suasana
didalam suatu konteks tempat tertentu.

Identitas

Akhirnya, kriteria yang keempat, yakni identitas suatu tempat , perlu juga diperhatikan. Apakah cirri
khas tempat tersebut? Apakah yang menyebabkan adanya suatu perasaan terhadap suatu tempat?
Dengan cara manakah? Bahan apakah yang dipakai? Dengan pola manakah? Dengan warna
manakah? Inilah beberapa pertanayaan yang penting terhadap gambaran sebagai suatu identitas
tertentu dalam konteksnya. Misalnya kota kuno dan kota tradisional tidak hanya sekadar kebetulan
terjad, melainkan dicapai melalui hierarki-hierarki tertentu yang beraturan dan berulang-ulang
dalam banyak aspek yang mendukung hierarkinya. Walaupun kebanyakan place di kota tradisional
mempunyai karakteristik geometris yang berbeda, tetapi identitas place secara keseluruhan masih
dapat diamati. Pembentuk place mengikuti suatu regularitas dan repetisi tertentu yang sesuai
dengan dengan hierarki supaya jelas identitasnya. Artinya , setiap bangunan disebuah place boleh
berbeda, namun perbedaan ini seharusnya mengikuti dan memperkuat identitas place tersebut. Di
dalam tugas perancangan kawasan, regularitas dan repetisi yang mengikuti hierarki tertentu adalah
factor penting dalam perancangan sebuah place yang berkualitas tinggi

Dengan demikian, menjadi jelas betapa pentingnya pula memperhatikan elemen-elemen arsitektural
di dalam skala mikro, misalnya rupa bangunan atau bentuk jendela dan elemen-elemen lain serta
cara penyusunan didalam tampilan bangunan.

4.3 Citra Kota

Teori mengenai citra place sering disebut sebagai milestone suatu teori penting dalam perancangan
kota, karena sejak tahun 1960-an teori ‘citra kota’ mengarahkan pandangan perancangan kota
kearah yang memperhatikan pikiran terhadap kota dari orang yang hidup di dalamnya. Teori-teori
berikutnya sangat dipengaruhi oleh teori tokoh ini. Teori ini diformulasikan oleh Kevin Lynch,
seorang tokoh peneliti kota. Risetnya didasarkan pada citra mental sejumlah penduduk dari kota
tersebut. Dalam risetnya, ia menemukan betapa pentingnya citra mental jumlah penduduk dari kota
tersebut. Dalam risetnya, ia menemukan betapa pentingnya citra mental itu karena citra yang jelas
akan memberikan banyak hal yang sangat penting bagi masyarakatnya. Seperti kemampuan untuk
berorientasi dengan mudah dan cepat disertai perasaan nyaman karena tidak merasa tersesat,
identitas yang kuat terhadap suatu tempat, dan keselarasan hubungan dengan tempat-tempat yang
lain.

Definisi dan Prinsip Citra Perkotaan

Citra kota dapat didefinisikan sebagai berikut

Sebuah citra kota adalah gambaran mental dari sebuah kota sesuai dengan rata-rata pandangan
masyarakatnya

Kevin Lynch di dalam risetnya meminta para penduduk untuk menjelaskan kepadanya suatu
gambaran mental terhadap kota mereka: apa yang diingat? Dimana letaknya dalam kawasan?
Bagaimana rupanya? Kemana saya harus pergi dari tempat ini ke tempat yang lain? Lynch
mengamati dengan baik bahwa rata-rata berbagai jawaban yang diberikan orang agak sama , dan
sering jauh berbeda dengan realitas di dalam kawasan. Misalnya, sketsa-sketsa yang dibuat orang
dengan tim peneliti sering jauh berbeda dengan peta kota yang sebenarnya. Ia mengamati bahwa
masalah itu terutama tidak disebabkan oleh ketidakbiasaan orang untuk menggambar sketsa,
melainkan karena kesulitan mereka untuk mengingat keadaan tempatnya. Lynch mengamati bahwa
di beberapa kota dan di berbagai kawasan masalah tersebut lebih sedikit dialami orang. Dalam riset
ini telah diteliti dari mana perbedaan itu berasal dan mengapa di berbagai kota orang memiliki
gambaran mental yang lebih kuat terhadap kawasannya daripada di tempat lain. Berdasarkan
analisis tersebut,Lynch menemukan tiga komponen yang sangat memengaruhi gambaran mental
orang terhadap suatu kawasan yaitu:

· Potensi ‘dibacakan’ >identitas

artinya orang dapat memahammi gambaran perkotaan (identifikasi objek, perbedaan dan lain-
lain)
· Potensi ‘disusun’ >struktur

Artinya orang dapat melihat pola perkotaan (hubungan objek, hubungan subjek)

· Potensi ‘dibayangkan’ >makna

Artinya orang dapat mengalami ruang perkotaaan (arti objek, arti subjek – objek)

Kevin Lynch mengamati bahwa tiga potensi ini lebih mudah ditemukan di beberapa kota
(misalnya boston, amerika serikat), sedangkan sulit di kota-kota lainnya (misalnya new
jersey, amerika serikat). Jika dibandingkan perbedaan masing-masing peta kota tidak terlalu
besar, tetapi nyatanya kebanyakan orang akan memakai kriteria-kriteria lain untuk mengingat
identitas, struktur, dan arti kawasan perkotaan daripada peta kota.

Krieria-kriteria umum yang dipakai oleh masyarakat adalah citra terhadap tempatnya.

Lima Elemen Citra Kota

Elemen-elemen apakah yang dipakai untuk mengungkapan citra perkotaan? Menurut Kevin
Lynch, citra kota dapat dibagi dalam lima elemen yaitu path (jalur), edge (tepian), district (
kawasan), node (simpul), serta landmark. Setiap elemen citra tersebut akan di jelaskan satu
demi satu, serta akan diilustrasikan salah satu contoh keadaannya di dalam satu kota di
Indonesia yaitu Yogyakarta.

Oleh karena istilah dari bahasa inggris untuk lima elemen tersebut sudah begitu umum
dipakai di dalam konteks bahasa Indonesia, maka istilah-istilah itu akan dipakai dalam bahan
ajar.

Path(jalur) adalah elemen yang paling penting dalam citra kota . Kevin Lynch menemukan
dalam risetnya bahwa jika identitas elemen itu tidak jelas, maka kebanyakan orang-
orang meragukan citra kota selara keseluruhan. Path merupakan rute-rute sirkulasi yang
biasanya digunakan orang untuk melakukan pergerakan secara umum, yakni jalan, gang,
jalan transit dll

Edge(tepian) adalah elemen linear yang tidak dipakai/dilihatsebagai path. Edge berada pada
batas antara dua kawasan tertentu dan berfungsi sebagai pemutus linear misalnya pantai,
tembok dll. Edge merupakan penghalang walaupun kadang-kadang ada tempat untuk masuk,
edge merupakan pengakhiran dari sebuah distric atau batasan suatu distric dengan distric
lainnya.

District(kawasan) merupakan kawasan-kawasan kota dalam skala 2 dimensii. Sebuah


kawasan district memiliki cirri khas yang mirip (bentuk, pola, dan wujudnya) dan khas pula
dalam batasanya, dimana orang merasa harus mengakhiri atau memulainya. District dalam
kota dapat dilihat sebagai referensi interior maupun eksterior. District mempunyai identitas
yang lebih baik jika batasanya dibentuk dengan jelas tampilannya dan dapat dilihat homogen,
serta fungsi dan posisinya jelas

Node(simpul) merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis di mana arah atau aktivitas
saling bertemu dan dapat diubah kea rah atau aktivitas lain, misalnya persimpangan, stasiun
ataupun lapangan terbang dalam kota secara keseluruhan dalam skala makro besar, pasar ,
taman , square dan lain-lain

Landmark(tangeran) merupakan titik refrensi seperti elemen node, tetapi orang tidak
masuk kedalamnya karena bisa dilihat dari luar letaknya. Landmark adalah elemen eksternal
dan merupakan bentuk visual yang menonjol dari kota,misalnya gunung, gedung tinggi dan
sebagainya. Landmark adalah elemen paling penting dari bentuk kota karena membantu
orang mengorientasikan diri di dalam kota dan membantu orang mengenali suatu daerah.
Landmark mempunyai identitas yang lebih baik jika bentuknya jelas dan unik dalam
lingkungannya, dan ada sekuens dari berbagai landmark, serta ada perbedaan skala masing-
masing

Formulasi dan Kombinasi elemen citra Kota

Lima elemen citra tersebut hanya merupakan unsure dasar sebuah citra lingkungan
keseluruhan. Pada kenyataanya lima elemen ini dalam kiota tidak dapat terlihat secara
terpisah karena keberadaanya satu dengan yang lain. Kelima elemen akan berfungsi dan
berarti secara bersmaaan dalam satu jaringan (interaksi) besar. Sering terjadi bahwa sebuah
elemen berasal dari satu elemen citra lain yang berbeda. Semua elemen ini berfungsi bersama
dalam lingkunfan yang sama. Dan yang lebih sulit lagi, citra kota dalam keseluruhan dapat
berbeda pula tergantung luas daerahnnya, posisi subjek dalam daerah, waktu dan musim.

Dalam analisi dan perancangan kota kualitas bentuk lima elemen tersebut harus dicari dan
ditingkatkan.

Sepuluh pola karakterisitik diperhatikan dalam proses ini adalah

Ø Ketajaman batas elemen

Ø Kesederhanaan bentuk elemen secara geometris

Ø Kontinuitas elemen
Ø Pengaruh yang terbesar anatara elemen

Ø Tempat hubungan antar elemen

Ø Perbedaan antar elemen

Ø Artikulasi antar elemen

Ø Orientasi atar elemen

Ø Pergerakan antar elemen

Ø Nama dan arti elemen

Ø Teori “citra perkotaan” yang diformulasikan Kevin Lynch ini memperhatikan skala makro
di dalam kota. Namun demikian sesuai pandangan Aldo van Eyck bahwa kota adalah “rumah
yang besar” dan rumah adalah “kota yang kecil” maka prinsip-prinsip yang diungkapkan teori
ini juga berlaku sampai ke skala mikro yaitu gedung.

Seperti yang sudah di tekankan

Prinsip arsitektur bersifat universal, hanya tingakat skalanya (makro/mikro) yang berbeda

Kelima elemen akan berfungsi dan berarti secara bersamaan dalam satu interaksi besar. Sering
terjadi bahwa sebuah elemen berasal dari satu elemen citra lain yang berbeda. Semua elemen ini
berfungsi bersama dalam lingkungan yang yang sama.

Dalam analisis dan perancangan kota, kualitas bentuk lima elemen tersebut harus dicari dan
ditingkatkan.

Sepuluh pola karakteristik diperhatikan dalam proses ini ialah:

- Ketajaman batas elemen

- Kesederhanaan bentuk elemen secara geometris

- Kontinuitas elemen

- Pengaruh yang terbesar antara elemen

- Tempat hubungan antara elemen

- Perbedaan antara elemen

- Artikulasi antara elemen

- Orientasi antara elemen

- Pergerakan antara elemen;


- Nama dan arti elemen

4.4 Estetika kota

Kota dan artistiknya dalam arti place merupakan teori terakhir yang membahas kota sebagai
sebuah produk pembuatan. Mungkin agak mengherankan bahwa estetika di dalam perancangan
kota baru dibahas di sini.

Seni perhubungan

Sebuah kota mempunyai arti lebih luas dibandingkan dengan jumlah penduduknya yang muncul dari
dinamika kebersamaan sebuah sistem hubungan. Dari bidang psikologi persepsi, dikenal fenomena
bahwa ‘keseluruhan bagian-bagian memiliki ciri khas lain daripada jumlah bagiannya.

Gordon Cullen merumuskan seni perhubungan:

Memakai semua elemen yang cocok untuk menciptakan sebuah lingkungan: bangunan, pohon,
sungai, lalu lintas, papan iklan, dan lain-lain.

Secara arsitektural, rumusan di atas berarti bahwa sebuah gedung tidak akan dilihat sebagai sebuah
hasil arsitektur saja, karena terletak di dalam sebuah konteks tertentu.

Tiga faktor estetika dari sebuah place

Orientasi

Ciri khas sebuah kota adalah adanya kawasan-kawasan yang dapat dilihat atau dipahami sebagai seri
visual. Cullen memakai istilah ‘optik’ untuk proses tersebut, yang ia bagi dalam 2 yaitu:

- Pandangan yang ada (existing view) > Fokus pada satu daerah saja

- Pandangan yang timbul (emerging view) >

- Fokus pada kaitan antara satu daerah dan yang lain.

Posisi

Ini adalah faktor kedua yang dibahas Cullen dengan mengilustrasikan bahwa orang selalu
membutuhkan suatu perasaan terhadap posisinya dalam lingkungannya, di mana dia berada, baik
secara sadar maupun tidak sadar.

Isi

Selain posisi di dalam tempat tertentu, masalah ‘isi’ perlu juga diperhatikan. Cullen membahas hal
tersebut secara mendalam. Perasaan mengenai satu tempat juga dipengaruhi oleh apa yang ada.

Tujuh prinsip sebuah place secara estetis


Camillo Sitte, seorang tokoh perancangan dari abad ke 19, mengemukakan antara lain beberapa
prinsip agar kualitas itu dapat dicapai. Melalui studi banding di berbagai tempat, ia mengemukakan
hubungan erat antara kehidupan masyarakat perkotaan dan rupa estetika perkotaan.

Berikut tujuh prinsip Camillo Sitte:

- Keseluruhan sebagai unit

Places di dalam kota seharusnya dilihat sebagai unit. Artinya, sebuah kawasan seharusnya
dilihat dalam batasannya. Tidak semua tempat sama penting di dalam tata kota.

- Bentuk unit

Sebuah place sebagai unit seharusnya memiliki bentuk yang sejelas mungkin dalam hal
tipologi, geometri, ukuran, dan skalanya, baik dalam dua dimensi maupun tiga dimensi.

- Kekosongan pusatnya

Sebuah place yang berfungsi sebaai ruang statis seharusnya memiliki pusat yang kosong.
Artinya, pohon, tugu, monumen dan lain-lain ditempatkan di luar pusat ruang itu.

- Penutupan batasnya

Penutupan batas sebah place perkotaan secara tiga dimensi adalah syarat pokok bagi
kualitasnya. Tanda batas tempat, arti sebuah place tidak jelas

- Perabotan tempat

Sebuah place diisi dengan perbotan perkotaan yang mendukung kualitasnya. Artinya, lampu,
penghijauan, tempat menempel, papan pengumuman, tiang-tiang, tempat dudu, dan lain-lain
tidak merusak tempat melainkan memberi dukungan

- Gambaran visual

Sebuah place seharusnya memiliki suatu citra yang menarik. Artinya, sebuah etmpat yang
berkualitas tinggi mempunyai ciri khas yang berasal dari interaksi antara ruang dan bentuk,
antara yang buatan dan yang alami, antara yang lama dan baru, antara yang formal dan yang
bebas

4.5 Kesimpulan

Bab ini telah dibahas teori-teori perancangan kota yang secara khusus memperhatikan makna
sebuah tempat dari segi konteks, citra, estetika.

Dikemukakan bahwa arti sebuah tempat, secara kaitan antara tempat masing-masing, tidak boleh
terlepas dari pemahaman manusia yang hidup dan bergerak di dalamnya.

Tiga kelompok teori pokok sudah dikemukakan, yaitu teori figure/ground, teori-teori linkage, serta
teori-teori place.
Ketiga kelompok teori pokok yang telah dikemukakan pada tiga bab ini baru membahas kota sebagai
produk. Seperti sudah ditunjukkan lebih dahulu, dimensi kota yang bersifat sosio-spasial juga
tergantung pada aspek-aspek serta kriteria-kriteria yang memperhatikan kota sebagai proses yang
bersifat dinamis. Suatu perancangan kota belum dapat dikatakan bersifat terpadu seluas-luasnya jika
lingkup serta dapmak kedua hal pokok tersebut belum memperhatikan semua aspek pembuatannya.

http://amarmarufzarkawi.blogspot.co.id/2017/10/teori-figureground.html
Teori Roger Trancik

Secara umum para arsitek tertarik mengenai teori – teori yang memandang kota sebagai
produk. Roger Trancik sebagai tokoh perancangan kota mengemukakan bahwa ketiga
pendekatan kelompok teori berikut ini adalah merupakan landasan dalam penelitian
perancangan perkotaan, baik secara historis maupun modern.
Ketiga pendekatan teori tersebut sama – sama memiliki suatu potensi sebagai strategi
perancangan kota yang menekankan produk perkotaan secara terpadu.

• Teori Figure/Ground
Pada teori ini dapat dipahami melalui pola perkotaan dengan hubungan antara bentuk yang
dibangun (building mass) dan ruang terbuka (open space). Analisis figure/ground adalah alat
yang baik untuk:

  Mengidentifikasikan sebuah tekstur dan pola-pola tata ruang perkotaan (urban fabric)

  Mengidentifikasi masalah keteraturan masa atau ruang perkotaan.

Kelemahan analisis figure/ground muncul dari dua segi:

  Perhatiannya hanya mengarah pada gagasan-gagasan ruang perkotaan yang dua dimensi
saja.

  Perhatiannya sering dianggap statis.

(Markus Zahnd, 1999, p.70)

Figure/ground berisi tentang lahan terbangun (urban solid) dan lahan terbuka (urban void).
Pendekatan figure ground adalah suatu bentuk usaha untuk memanipulasi atau mengolah pola
existing figure ground dengan cara penambahan, pengurangan, atau pengubahan pola
geometris dan juga merupakan bentuk analisa hubungan antara massa bangunan dengan
ruang terbuka.
a. Urban solid
Tipe urban solid terdiri dari:
  Massa bangunan, monument.

  Persil lahan blok hunian yang ditonjolkan.

  Edges yang berupa bangunan.

b. Urban void
Tipe urban void terdiri dari:

  Ruang terbuka berupa pekarangan yang bersifat transisi antara publik dan privat.

  Ruang terbuka di dalam atau dikelilingi massa bangunan bersifat semi privat sampai privat.

  Jaringan utama jalan dan lapangan bersifat publik karena mewadahi aktivitas publik
berskala kota.

  Area parkir publik bisa berupa taman parkir sebagai nodes yang berfungsi preservasi
kawasan hijau.

  Sistem ruang terbuka yang berbentuk linier dan curvalinier. Tipe ini berupa daerah aliran
sungai, danau dan semua yang alami dan basah.

• Teori Linkage
Teori pada kelompok kedua ini dapat dipahami dari segi dinamika rupa perkotaan yang
dianggap sebagai pembangkit atau generator kota. Analisa linkage adalah alat yang baik
untuk Memperhatikan dan menegaskan hubungan – hubungan dan gerakan – gerakan sebuah
tata ruang perkotaan (urban fabric).
Kelemahan analisa Linkage muncul dari segi lain adalah Kurangnya perhatian dalam
mendefinisikan ruang perkotaan (urban fabric) secara spatial dan kontekstual.
(Markus Zahnd, 1999, p.70)

Linkage artinya berupa garis semu yang menghubungkan antara elemen yang satu dengan
yang lain, nodes yang satu dengan nodes yang lain, atau distrik yang satu dengan yang lain.
Garis ini bisa berbentuk jaringan jalan, jalur pedestrian, ruang terbuka yang berbentuk segaris
dan sebagainya. Teori linkage melibatkan pengorganisasian garis penghubung yang
menghubungkan bagian-bagian kota dan disain “spatial datum” dari garis bangunan kepada
ruang. Spatial datum dapat berupa: site line, arah pergerakan, aksis, maupun tepian bangunan
(building edge). Yang secara bersama-sama membentuk suatu sistem linkage dalam sebuah
lingkungan spasial. Sebuah linkage perkotaan dapat diamati dengan cara dan pendekatan
yang berbeda, terdapat 3 pendekatan linkage perkotaan:

a. Linkage yang visual.


Dalam linkage yang visual dua atau lebih fragmen kota dihubungkan menjadi satu kesatuan
yang secara visual, mampu menyatukan daerah kota dalam berbagai skala. Pada dasarnya ada
2 pokok perbedaan antara linkage visual, yaitu:

  Yang menghubungkan dua daerah secara netral.

  Yang menghubungkan dua daerah, dengan mengutamakan satu daerah.


Lima elemen linkage visual, merupakan elemen yang memiliki ciri khas dan suasana tertentu
yang mampung menghasilkan hubungan secara visual, terdiri dari:

  Garis: menghubungkan secara langsung dua tempat dengan satu deretan massa
(bangunan atau pohon).

  Koridor: dibentuk oleh dua deretan massa (bangunan atau pohon) yang membentuk
sebuah ruang.

  Sisi: menghubungkan dua kawasan dengan satu massa. Mirip dengan elemen garus namun
sisi bersifat tidak langsung.

  Sumbu: mirip dengan elemen koridor , namun dalam menghubungkan dua daerah lebih
mengutamakan salah satu daerah saja.

  Irama: menghubungkan dua tempat dengan variasi massa dan ruang.

b. Linkage yang struktural.


Menggabungkan dua atau lebih bentuk struktur kota menjadi satu kesatuan
tatanan.Menyatukan kawasan kawasan kota melalui bentuk jaringan struktural yang lebih
dikenal dengan sistem kolase (collage). Tidak setiap kawasan memiliki arti struktural yang
sama dalam kota, sehingga cara menghubungkannya secara hierarkis juga dapat berbeda.

Fungsi linkage struktural di dalam kota adalah sebagai stabilisator dan koordinator di
dalam lingkungannya, karena setiap kolase perlu diberikan stabilitas tertentu serta
distabilisasikan lingkungannya. Hal ini dapat dilakukan dengan memprioritaskan sebuah
daerah yang menjelaskan lingkungannya dengan suatu struktur, bentuk, wujud, atau fungsi
yang memberikan susunan tertentu didalam prioritas penataan kawasan.

Ada tiga elemen linkage struktural yang mencapai hubungan secara arsitektural, yaitu:

– Tambahan: melanjutkan pola pembangunan yang sudah ada sebelumnya.

– Sambungan: memperkenalkan pola baru pada lingkungan kawasan.

– Tembusan: terdapat dua atau lebih pola yang sudah ada di sekitarnya dan akan disatukan
sebagai pola-pola yang sekaligus menembus didalam suatu kawasan.
c. Linkage bentuk yang kolektif.
Teori linkage memperhatikan susunan dari hubungan bagian-bagian kota satu dengan
lainnya. Dalam teori linkage, sirkulasi merupakan penekanan pada hubungan pergerakan
yang merupakan kontribusi yang sangat penting. Linkage memperhatikan dan
mempertegaskan hubungan-hubungan dan pergerakan-pergerakan (dinamika) sebuah tata
ruang perkotaan (urban fabric)
Menurut Fumuhiko Maki, Linkage adalah semacam perekat kota yang sederhana, suatu
bentuk upaya untuk mempersatukan seluruh tingkatan kegiatan yang menghasilkan bentuk
fisik suatu kota. Teori ini terbagi menjadi 3 tipe linkage urban space yaitu:

– Compositional form: bentuk ini tercipta dari bangunan yang berdiri sendiri secara 2
dimensi. Dalam tipe ini hubungan ruang jelas walaupun tidak secara langsung.

– Mega form: susunan-susunan yang dihubungkan ke sebuah kerangka berbentuk


garis lurus dan hirarkis.

– Group form: bentuk ini berupa akumulasi tambahan struktur pada sepanjang ruang
terbuka. Kota-kota tua dan bersejarah serta daerah pedesaan menerapkan pola ini.

 Teori Place

Pada teori ketiga ini, dipahami dari segi seberapa besar kepentingan tempat – tempat
perkotaan yang terbuka terhadap sejarah, budaya, dan sosialisasinya. Analisa place adalah
alat yang baik untuk:

– Memberi perngertian mengenai ruang kota melalui tanda kehidupan perkotaannya.

– Memberi pengertian mengenai ruang kota secara kontekstual.

Kelemahan analisa place muncul dari segi perhatiannya yang hanya difokuskan pada suatu
tempat perkotaan saja.

(Markus Zahnd, 1999, p.70)


Trancik (1986) menjelaskan bahwa sebuah ruang (space) akan ada jika dibatasi dengan
sebuah void dan sebuah space menjadi sebuah tempat (place) kalau mempunyai arti dari
lingkungan yang berasal dari budaya daerahnya. Schulz (1979) menambahkan bahwa sebuah
place adalah sebuah space yang memiliki suatu ciri khas tersendiri. Menurut Zahnd (1999)
sebuah place dibentuk sebagai sebuah space jika memiliki ciri khas dan suasana tertentu yang
berarti bagi lingkungannya. Selanjutnya Zahnd menambahkan suasana itu tampak dari benda
konkret (bahan, rupa, tekstur, warna) maupun benda yang abstrak, yaitu asosiasi kultural dan
regional yang dilakukan oleh manusia di tempatnya. Sebuah tempat (place) akan terbentuk
bila dibatasi dengan sebuah void, serta memiliki ciri khas tersendiri yang mempengaruhi
lingkungan sekitarnya.

Madanipour (1996) memberikan penjelasan bahwa dalam memahami tempat (place) dan
ruang (space) menyebut 2 aspek yang berkaitan:
1. kumpulan dari bangunan dan artefak (a collection of building and artifacts).
2. tempat untuk berhubungan sosial (a site for social relationship).
Selanjutnya menurut Spreiregen (1965), urban space merupakan pusat kegiatan formal suatu
kota, dibentuk oleh façade bangunan (sebagai enclosure) dan lantai kota.
Jadi sudah sangat jelas bahwa sebuah jalan yang bermula sebagai space dapat menjadi place
bila dilingkupi dengan adanya bangunan yang ada di sepanjang jalan, dan atau keberadaan
landscape yang melingkupi jalan tersebut, sebuah place akan menjadi kuat keberadaannya
jika didalamnya memiliki ciri khas dan suasana tertentu yang berarti bagi lingkungannya.

https://arsadvent.wordpress.com/pakuwon-city/teori-roger-trancik/
Teori Figure-Ground
Teori ini berawal dari studi tentang hubungan perbandingan lahan yang ditutupi bangunan sebagai
massa yang padat (figure) dengan ruang-ruang (void-void) terbuka (ground). Secara khusus teori ini
memfokuskan diri pada pemahaman pola, tekstur dan poche (tipologi-tipologi massa bangunan dan
ruang tersebut).

Pola Massa dan Ruang

Secara teoritik ada enam tipologi pola yang dibentuk oleh hubungan massa dan ruang yaitu pola
anguler, aksial, grid, kurva linier, radial konsentris dan organis. Pola angular adalah konfigurasi yang
dibentuk oleh massa dan ruang secara menyiku. Pola aksial adalah konfigurasi massa bangunan dan
ruang di sekitar poros keseimbangan yang tegak lurus terhadap suatu bangunan monumentalis. Pola
grid adalah konfigurasi massa dan ruang yang dibentuk perpotongan jalan-jalan secara tegak lurus.
Pola kurva linier adalah konfigurasi massa bangunan dan ruang secara linier (lurus menerus). Pola
radial konsentris adalah konfigurasi massa dan ruang yang memusat. Sedangkan pola organis
merupakan konfigurasi massa dan ruang yang dibentuk secara tidak beraturan.

Pola konfigurasi massa bangunan (solid) dan ruang terbuka (void).

Sumber : Markus Zahn, 2000.

Tekstur perkotaan
Tekstur merupakan derajat keteraturan dan kepadatan massa dan ruang. Menurut variasi massa dan
ruangnya, secara teoritik ada tiga tipologi tekstur perkotaan yaitu (1) tekstur homogen ; konfigurasi
yang dibentuk oleh massa dan ruangnya yang realtif sama baik dari ukuran, bentuk dan kerapatan,
(2) tekstur heterogen ; konfigurasi yang dibentuk oleh massa dan ruangnya yang ukuran, bentuk dan
kerapatannya berbenda, (3) tektur tidak jelas adalah konfigurasi yang dibentuk oleh massa dan
ruangnya yang ukuran, bentuk dan kerapatannya sangat heterogen sehingga sulit
mendefinisikannya.

Tekstur konfigurasi massa bangunan dan lingkungan.

Sumber : Markus zahn, 2000 : 81.

Kepadatan massa terhadap ruang merupakan bagian penting dalam tekstur perkotaan maka
biasanya para perancang membagi tekstur menjadi tipologi kepadatan yaitu (1) tipologi kepadatan
tinggi (BCR > 70 %), (2) kepadatan sedang (BCR 50-70 %) dan (3) kepadatan rendah (BCR < 50 %)

Tipologi solid (massa) dan void (ruang)

Sistem hubungan di dalam figure/ground mengenal dua kelompok elemen, yaitu solid (massa
bangunan) dan void (ruang). Secara teoritik ada tiga elemen dasar yang bersifat solid serta empat
elemen dasar yang bersifat void. Tiga elemen solid (atau blok) adalah (1) blok tunggal ; terdapat satu
massa bangunan dalam sebuah blok yang dibatasi jalan atau elemen alamiah (2) blok yang
mendefinisi sisi ; konfigurasi massa bangunan yang menjadi pembatas sebuah ruang dan (3) blok
medan ; konfigurasi yang terdiri dari kumpulan massa bangunan secara tersebar secara luas.
Tipologi masa bangunan (Blok).
Sumber : Markus zahn, 2000 : 97.

Elemen void (ruang) sama pentingnya, karena elemen ini mempunyai kecenderungan untuk
berfungsi sebagai sistem yang memiliki hubungan erat tata letak dan gubahan massa bangunan.
Secara teoritik ada empat elemen void yaitu (1) sistem tertutup yang linear ; ruang yang dibatas oleh
massa bangunan yang memanjang dengan kesan terutup, biasanya adalah ruang berada di dalam
atau belakang bangunan dan umumnya bersifat private atau khusus seperti brandgang (2) sistem
tertutup yang memusat ; ruang yang dibatas oleh massa bangunan dengan kesan terutup, (3) sistem
terbuka yang sentral ; ruang yang dibatasi oleh massa dimana kesan ruang bersifat terbuka namun
masih tampak terfokus (misalnya alun-alun, taman kota, dan lain-lain) dan (4) elemen sistem terbuka
yang linear merupakan tipologi ruang yang berkesan terbuka dan linear (misalnya kawasan sungai
dan lain-lain). Dalam literatur arsitektur, elemen terbuka kadang-kadang juga diberikan istilah soft-
space dan ruang dinamis, sedangkan ruang tertutup dinamakan hard-space dan ruang statis.

Tipologi elemen ruang (urban void).


Sumber : Markus zahn, 2000 : 97.

Rob Krier 1991 : 15-62 mengemukakan secara teoritis berbagai tipologi ruang terbuka dan tertutup
berdasarkan geometri dasar segi empat, lingkaran dan segi tiga dengan berbagai variasinya. Tipologi-
tipologi itu dihasilkan dari proses pengubahan siku (angling), membagi (segment), menambahkan
(addition), menggabungkan (merging), menumpukkan (overlapping), menyimpangkan (distortion)
bentuk dasar segi empat, lingkaran dan segi tiga baik secara reguler (lazim sesuai dengan kaidah
merancang) maupun irreguler dalam berbagai skala.
Tipologi ruang terbuka dan tertutup berdasarkan bentuk dasar segi empat, lingkaran dan segi tiga
serta variasinya.

Sumber : Rob Krier, 1991 : 29.

Bentuk Pola Dimensi Unit Perkotaan


Sumber : Buku Perancangan Kota Secara Terpadu, Markus Zahnd

http://zepointstudio.blogspot.co.id/2012/03/teori-figure-ground.html
Analisa Place

Perancangan kawasan Pakuwon City yang memiliki beberapa ruang terbuka di tiap sudut
jalannya, telah menciptakan suatu citra (place) tersendiri dalam kawasan ini. Citra yang
diciptakan ialah suasana akan taman-taman yang hijau serta ragam bangunannya yang
terkesan mewah. Selain itu, letak yang dekat dengan pantai dan juga adanya hilir sungai yang
mengalir, menjadikannya sebuah citra tersendiri terhadap lingkungan dalam kawasan ini.

Tipologi

Dalam kawasan Pakuwon City, memiliki beberapa elemen pokok perkotaan, yaitu elemen
place statis dan elemen place dinamis. Elemen place yang bersifat statis terdapat pada
beberapa nodes yang ada pada beberapa titik jalan kawasan ini, beberapa nodes tersebut
memiliki bentuk ruang terbuka yang melingkar dengan ukuran skala yang besar, dan
dikelilingi oleh unsur street furniture berupa pepohonan serta patung yang difungsikan
sebagai landmark.

Sementara untuk elemen place yang bersifat dinamis terdapat pada sepanjang jalan kawasan
Pakuwon City yang memiliki pola jalan kurvilinear dan pola linear. Kedinamisan akan
elemen place yang dimiliki terdapat pada setiap jalan primer yang berfungsi sebagai jalan
utama/jalan raya dalam kawasan, serta jalan sekunder dan jalan tersier yang berfungsi sebagai
sebuah ‘gang’ menuju perumahan. Setiap jalan tersebut, tercipta sebuah ruang yang memiliki
batas (edges) berupa massa bangunan ataupun pepohonan dan ruang terbuka hijau.
Skala

Secara keseluruhan kawasan ini memiliki tekstur antar ketinggian bangunannya. Pada bagian
depan yang terletak dekat dengan open gate Pakuwon City terdapat bangunan komersial yang
memiliki ketinggian ± 25-30 m. Pada bagian belakang kawasan juga terdapat bangunan
dengan skala tinggi, yaitu bangunan apartement, yang memiliki tinggi bangunan ± 60 m.
Dengan pembagian bangunan skala tinggi, menjadikan kawasan ini memiliki tekstur yang
kontras.

Identitas

Ciri khas yang dapat menjadi suatu identitas dari kawasan Pakuwon City dapat diperhatikan
dari bahan serta bentuk bangunan yang digunakan. Bahan dan bentuk bangunan yang
digunakan sebenarnya bervariasi, karena terdapat bentuk bangunan rumah yang minimalis,
dan juga ada bentuk bangunan rumah klasik romawi. Penggunaan bahan serta materialnya
pun menyesuaikan dari kedua bentuk tersebut. Tetapi meskipun memiliki perbedaan akan
bentuk bangunannya, dapat dilihat karakteristik yang dimiliki kawasan ini. Karakteristik
tersebut adalah perumahan yang memiliki fungsi bangunan yang kompleks, dengan ukuran
serta pewarnaan bangunan yang elegan. Ukuran jalan yang lebar dengan banyaknya ruang
terbuka hijau, serta nodes yang diberi patung sebagai landmark menjadikan salah satu ciri
khas dalam kawasan Pakuwon City. Setiap ciri tersebut tercapai melalui hierarki-hierarki
tertentu yang beraturan dan berulang-ulang dalam beberapa aspek bagian yang mendukung
hierarkinya, sehingga tercipta suatu identitas place yang berkualitas.
https://arsadvent.wordpress.com/category/roger-trancik/
Analisa Linkage

Linkage Visual

Dalam analisa pada kawasan Pakuwon City memiliki jalan primer yang bersifat kaitan saja.
Penghubung dari jalan-jalan tersebut bersifat netral, yaitu saling menghubungkan dan
menjadi satu kesatuan atau saling memiliki keterkaitan satu dengan yang lain secara visual.
Sifat jalan penghubung yang seperti ini dikarenakan tidak adanya suatu titik yang menjadi
fokus dan bersifat lebih dominan dari kawasan tersebut.

Selain menganalisa dari segi sifat yang dimiliki jalan penghubung dalam kawasan, terdapat
pula analisa terhadap lima elemen penghubung secara visual. Dari kelima elemen yang ada,
Pakuwon City termasuk dalam kategori elemen koridor. Landscape dan bangunan-bangunan
sepanjang jalan primer digunakan untuk mendefinisikan hubungan setiap area dalam kawasan
Pakuwon City. Koridor dalam Pakuwon City menghubungkan setiap bangunan yang ada
dalam kawasan, baik bangunan publik maupun bangunan yang bersifat privat, sehingga

memudahkan aktivitas pengunjung maupun penghuninya.

 Linkage Struktural
Teori Linkage struktural ini memiliki 3 elemen yaitu: elemen tambahan, elemen sambungan,
elemen tembusan dan Pakuwon City termasuk dalam elemen tambahan yang artinya
melanjutkan pola pembangunan yang sudah ada sebelumnya dengan penambahan bentuk
massa dan ruang yang dapat berbeda, namun pola kawasannya tetap dimengerti sebagai
bagian atau tambahan pola yang sudah ada disekitarnya. Pakuwon city ini merupakan
struktur tambahan dari Pakuwon City yang berada di daerah Wiyung, dimana tatanan
massanya dan bentuknya kurang lebih sama. Hal ini dimaksudkan agar ciri khasnya
yang mengadopsi bentuk bangunan Eropa, yang telah melekat pada Pakuwon City ini tidak
hilang.

 Linkage sebagai Bentuk Kolektif

Dalam teori Linkage kolektif, Pakuwon City ini memiliki bentuk kolektif yang berbeda
dengan lingkungannya, dimana sebuah bentuk kolektif tidak bisa dilihat tanpa sedikitnya
wujud perbedaan terlihat pada lingkungannya. Dari penjelasan ini mengartikan bahwa
Pakuwon City bentuk dan tatanan massa yang teratur sehingga kawasan ini menjadi kawasan
yang konstan. Meskipun begitu Pakuwon City tidak berhubungan dengan lingkungan
sekitarnya, hal ini dapat dilihat bahwa kawasan ini sangat berbeda dengan sekelilingnya, yang
menjadikan kawasan ini terlihat dominan karena bentuk-bentuknya yang mewah, menjadikan
Pakuwon City sebagai kawasan tersendiri di daerah tersebut.

Linkage yang kolektif memiliki 3 elemen yaitu: compositional form, megaform, groupform.
Pakuwon city termasuk dalam elemen groupform yang memiliki arti muncul dari
penambahan akumulasi bentuk dan struktur yang biasanya berdiri disamping ruang terbuka
publik. Dan pada saat ini elemen groupform juga sering dipakai dalam perancangan kawasan
baru dengan dibuat suatu akumulasi bangunan sebagai satu kelompok. Maksud dari
penjelasan elemen groupform adalah komplek Pakuwon City ini mengekspresikan bentuk dan
tatanan massa menjadi suatu yang saling terkait atau memiliki kesamaan, agar ciri yang ada
pada Pakuwon City ini tetap selalu menjadi sesuatu yang berbeda di lingkungan sekitarnya.
Sehingga menciptakan kota sendiri bagi penghuninya.

https://arsadvent.wordpress.com/pakuwon-city/analisa-linkage/
TEORI PERANCANGAN KOTA

Teori Perancangan Kota / Uban Design Theory

Secara umum para arsitek tertarik mengenai teori – teori yang


memandang kota sebagai produk. Roger Trancik sebagai tokoh perancangan
kota mengemukakan bahwa ketiga pendekatan kelompok teori berikut ini
adalah merupakan landasan dalam penelitian perancangan perkotaan, baik
secara historis maupun modern.

Ketiga pendekatan teori tersebut sama – sama memiliki suatu potensi


sebagai strategi perancangan kota yang menekankan produk perkotaan secara
terpadu.

1) Teori figure/ground

Pada teori ini dapat dipahami melalui pola perkotaan dengan


hubungan antara bentuk yang dibangun (building mass) dan ruang terbuka
(open space). Analisis figure/ground adalah alat yang baik untuk:

▫ Mengidentifikasikan sebuah tekstur dan pola-pola tata ruang perkotaan


(urban fabric)

▫ Mengidentifikasi masalah keteraturan masa atau ruang perkotaan.

Kelemahan analisis figure/ground muncul dari dua segi:

▫ Perhatiannya hanya mengarah pada gagasan-gagasan ruang perkotaan


yang dua dimensi saja.

▫ Perhatiannya sering dianggap statis.

2) Teori linkage

Teori pada kelompok kedua ini dapat dipahami dari segi dinamika
rupa perkotaan yang dianggap sebagai pembangkit atau generator kota.
Analisa linkage adalah alat yang baik untuk Memperhatikan dan
menegaskan hubungan – hubungan dan gerakan – gerakan sebuah tata
ruang perkotaan (urban fabric).
Kelemahan analisa Linkage muncul dari segi lain adalah Kurangnya
perhatian dalam mendefinisikan ruang perkotaan (urban fabric) secara
spatial dan kontekstual.

3) Teori place

Pada teori ketiga ini, dipahami dari segi seberapa besar


kepentingan tempat – tempat perkotaan yang terbuka terhadap sejarah,
budaya, dan sosialisasinya. Analisa place adalah alat yang baik untuk:

▫ Memberi perngertian mengenai ruang kota melalui tanda kehidupan


perkotaannya

▫ Memberi pengertian mengenai ruang kota secara kontekstual.

Kelemahan analisa place muncul dari segi: Perhatiannya yang


hanya difokuskan pada suatu tempat perkotaan saja.

http://arcaban.blogspot.co.id/2011/02/teori-perancangan-kota.html
Teori Elemen Kota menurut Roger Trancik

Figure Ground Theory


Teori-teori figure ground dipahami dari tata kota sebagai hubungan tekstual antara bentuk yang
dibangun (Building Mass) dan ruang tebuka (Open Space). Analisis Figure/Ground adalah alat yang
sangat baik untuk mengidentifikasikan sebuah tekstur dan pola-pola sebuah tata ruang perkotaan
(Urban Fabric), serta mengidentifikasikan masalah keteraturan massa/ruang perkotaan.

a. pola sebuah tempat


Kemampuan untuk menentukan pola-pola dapat membantu menangani masalah mengenai
ketepatan (Constancy) dan perubahan (Change) dalam perancangan kota serta membantu
menentukan pedoman-pedoman dasar untuk menentukan sebuah perancangan lingkungan kota
yang konkret sesuai tekstur konteksnya Markus Zahnd, Perancangan Kota Secara Terpadu (1999 ;
79).

b. Fungsi pengaturan
Untuk memahami lingkungan binaan, seseorang harus pula memahami bagaimanakah pikiran
manusia bekerja karena pikiran manusia menentukan suatu tatanan dunia. Dalam pikiran tradisional,
dunia alam adalah kacau dan tidak tertib (contoh:daerah hutan). Artinya, manusia selalu cenderung
untuk menggolongkan, mengatur, dan menghasilkan bagan-bagan kognitif (berdasarkan
pengalaman, pengetahuan, termasuk kesadaran mengenai hal-hal dan hubungannya). Pemukiman-
pemukiman, bangunann-bangunan, dan pertamanan yang luas adalah hasil dari aktivitas semacam
itu.

c. Sistem pengaturan
Suatu lingkungan binaan tidak dapat dirasakan tanpa adanya satu bagan kognitif yang mendasarinya.
Beberapa pola pengarah (pola lama dan/atau pola baru) harus ada sehingga suatu bentuk dapat
dimunculkan. Bentuk-bentuk tersebut selalu menggambarkan suatu kesesuaian antara organisasi
ruang fisik dan organisasi ruang sosial. Pemakaian analisis Figure/Ground sangat berguna dalam
pembahasan pola-pola tekstural itu.

Pola tekstur sebuah tempat sangat penting didalam perancangan kota, dan secara teknis sering
disebut sebagai landasan pengumpulan informasi untuk analisis selanjutnya. Pola-pola tekstur
perkotaan dapat sangat berbeda, karena perbedaan tekstur pola-pola tersebut mengungkapkan
perbedaan rupa kehidupan dan kegiatan masyarakat perkotaan secara arsitektural. Artinya, dengan
menganalisis pola-pola tekstur perkotaan dan menemukan perbedaan data pada pola tersebut, akan
didapatkan informasi yang menunjukan ciri khas tatanan kawasan itu dan lingkungannya. Namun
dalam kenyataannya, yang sering terjadi

ketika menganalisis suatu kawasan perkotaan adaah kurang jelasnya pola di tempat tersebut. Oleh
karena itu, di dalam kota pola-pola kawasan secara tekstural yang mengekspresikan rupa kehidupan
dan kegiatan perkotaan secara arsitektural dapat diklasifikaskan dalam tiga kelompok sebagai
berikut :

 Susunan kawasan bersifat homogen yang jelas, di mana ada hanya satu pola penataan
 Susunan kawasan yang bersifat heterogen, di mana dua (atau lebih) pola berbenturan
 Susunan kawasan yang bersifat menyebar dengan kecenderungan kacau
Di dalam tingkat kota Figure/Ground dapat dilihat dengan dua skala, yaitu skala makro besar dan
skala makro kecil.

d. Skala makro besar


Dalam skala makro besar, Figure/Ground memperhatikan kota keseluruhannya. Artinya, sebuah
kawasan kota yang kecil dalam skala ini menjadi tidak terlalu penting, karena gambar Figure/Ground
secara makro besar berfokus pada ciri khas tekstur dan masalah tekstur sebuah kota secara
keseluruhannya

Sumber : Perncangan Kota Secara Terpadu, Markus Zahnd


Gambar Figure/Ground di dalam skala makro besar ( Figure/Ground kota secara keseluruhan )

e. Skala makro kecil


Dalam skala makro kecil, biasanya yang diperhatikan adalah sebuah figure/ground kota dengan
fokus pada satu kawasan saja. Artinya, pada skala ini kota secara keseluruhan tidak terlalu penting,
karena gambar figure/ground secara makro kecil berfokus pada ciri khas tekstur dan masalah tekstur
sebuah kawasan secara mendalam

Sumber : Perncangan Kota Secara Terpadu, Markus Zahnd


Gambar Figure/Ground di dalam skala makro kecil ( Figure/Ground kawasan secara mendalam)

f. Dua pandangan pokok terhadap pola Kota


Disebuah wilayah yang besar seperti kota, muncul aktivitas-aktivitas sangat luas dan berbeda. Semua
aktivitas itu secara umum menggambarkan pilihan yang dibuat berdasarkan seluruh kemungkinan
alternatif yang ada. Pilihan yang dibuat cenderung menjadi sah menurut budaya orang-orang yang
bersangkutan. Dengan demikian, kawasan perkotaan tidak hanya mengesankan suatu tatanan
sebagai bagian dari daerah yang lebih luas, tetapi pemukiman itu sendiri terorganisasikan menurut
prioritas-prioritas tertentu. Kedua pandangan pokok tersebut dapat digambarkan sebagai berikut
Markus Zahnd, Perancangan Kota Secara Terpadu (1999 ; 83) :

 Figure yang figuratif Pandangan pertama ini memperhatikan konfigurasi figure atau dengan
kata lain, konfigurasi massa atau blok yang dilihat secara figuratif, artinya perhatian
deberikan pada figure massanya.
 Ground yang figuratif Pandangan kedua ini mengutamakan konfigurasi ground (konfigurasi
ruang atau void). Artinya ruang atau void dilihat sebagai suatu bentuk tersendiri. Konfigurasi
ruang itu dianggap sebagai akibat kepadatan massa bangunan yang meninggalkan beberapa
daerah publik sebagai ground. Ruang publik ini biasanya secara organis sering berkualitas
sebagai bentuk yang mampu meninggalkan identitas kawasannya.

g. Solid dan Void sebagai elemen perkotaan


Seperti telah dikatakan, sistem hubungan di dalam tekstur Figure/Ground mengenal dua keompok
elemen yaitu, solid dan void. Selanjutnya akan dikemukakan elemen-elemen kedua kelompok
tersebut. Ada tiga elemen dasar yang bersifat solid serta empat elemen dasar yang bersifat void
Markus Zahnd, Perancangan Kota Secara Terpadu (1999 ; 98).

Sumber : Perncangan
Kota Secara Terpadu, Markus Zahnd
Gambar tiga elemen dasar yang bersifat Solid

Sumber : Perncangan Kota Secara Terpadu, Markus Zahnd


Gambar empat elemen dasar yang bersifat Void

Tiga elemen solid (atau blok) adalah blok tunggal, blok yang mendefenisi sisi, dan blok medan. Ketiga
elemen itu merupakan elemen konkret karena dibangun secara fisik (dengan bahan massa). Paling
mudah untuk diperhatikan adalah elemen blok tunggal karena bersifat agak individual. Akan tetapi,
elemen ini juga dapat dilihat sebagai bagian dari satu unit yang lebih besar, di mana elemen tersebut
sering memiliki sifat yang penting (misalnya sebagai penentu sudut, hirarki, atau penyambung). Lain
halnya dengan sifat elemen blok yang mendefenisis sisi yang dapat berfungsi sebagai pembatas
secara linear. Pembatas tersebut dapat dibentuk oleh elemen ini dari satu, dua , atau tiga sisi. Lain
lagi dengan sifat elemen blok medan yang memiliki bermacam-macam massa dan bentuk, namun
masing- masing tidak dilihat sebagai individu-individu, melainkan hanya dilihat keseluruhan
massanya secara bersama.

Dalam tekstur Figure/Ground, kecenderungannya adalah memperhatikan elemen konkret yang


massif (bersifat blok) saja. Akan tetapi, empat elemen void (ruang) sama pentingnya, walaupun
keempat elemen berikut ini lebih sulit untuk dilihat karena semua bersifat abstrak atau kosong
(spasial). Tetapi karena keempat eemen ini mempunyai kecenderungan untuk berfungsi sebagai
sistem yang memiliki hubungan erat dengan massa, maka elemen-elemen void ini perlu diperhatikan
dengan baik pula, yakni sistem tertutup yang linear, sistem tertutup yang memusat, sistem terbuka
yang sentral dan sstem terbuka yang linear.

Elemen sistem tertutup linear memperhatikan ruang yang ersifat linear, tetapi kesannya tertutup.
Elemen ini paling sering dijumpai di kota. Elemen sistem tertutup yang memusat sudah lebih sedikit
jumlahnya karena memiliki pola ruang yang berkesan terfokus dan tertutup. Ruang tersebut dapat
diamati pada skala besar (misalnya di pusat kota) maupun di berbagai kawasan (didalam kampung
dan lain-lain). Elemen sistem terbuka sentral ada di kota, di mana kesan ruang bersifat terbuka
namun masih tampak terfokus (misalnya kawasan sungai dan lain-lain) dalam literatur arsitektur,
elemen terbuka kadang-kadang juga diberikan istilah Soft-Space, sedangkan ruang tertutup
dinamakan Hard-Space.

Tidaklah cukup jika hanya memperhatikan tujuh elemen solid dan void saja karenaelemen-elemen di
dalam tekstur perkotaan jarang berdiri sendiri, melainkan dikumpulkandalam satu kelompok. Oleh
karena itu sering dipakai istilah ‘unit perkotaan’. Di dalam kota keberadaan unit adalah penting,
karena unit-unit berfungsi sebagai kelompok bangunan bersama ruang terbuka yang menegaskan
kesatuan massa di kota secara tekstural. Melalui kebersamaan tersebut, penataan kawasan akan
tercapai lebih baik kalau massa dan ruang dihubungkan dan disatukan sebagai suatu kelompok yang
mampu menghasilkan beberapa pola dan dimensi unit perkotaan sebagai berikut :

 Grid
 Angular
 Kurvilinear
 Radial konsentris
 Aksial
 organis
Sumber : Perancangan Kota Secara Terpadu, Markus Zahnd
Gambar pola massa bangunan (solid) dan ruang terbuka (void)

Linkage Theory
Pada teori ini perhatian lebih banyak diberikan pada pola kawasan perkotaan serta bagaimanakah
keteraturan massa dan ruangnya secara tekstural (tata ruang perkotaan). Namun demikian, perlu
dilihat keterbatasan kelompok teori Figure/Ground karena, di samping memiliki kelebihan,
pendekatannya sering mengarah ke gagasan-gagasan ruang perkotaan yang bersifat dua dimensi
saja dan perhatiannya terhadap ruang perkotaan terlalu statis. Artinya, dinamika hubungan secara
arsitektural antara berbagai kawasan kota belum diperhatikan dengan baik.

Oleh sebab itulah, perlu diperhatikan suatu kelompok teori perkotaan lain yang membahas
hubungan sebuah tempat dengan yang lain dari berbagai aspek sebagai suatu generator perkotaan
Markus Zahnd, Perancangan Kota Secara Terpadu (1999 ; 107). Kelompok teori itu disebut dengan
istilah linkage (perubungan), yang memperhatikan dan menegaskan hubungan-hubungan dan
gerakan-gerakan (dinamika) sebuah tata ruang perkotaan (Urban Fabric). Sebuah linkage perkotaan
dapat diamati dengan cara dan pendekatan yang berbeda. Di dalam bab ini linkage perkotaan akan
dikemukakan dalam tiga pendekatan, yaitu:

 Linkage yang visual


 Linkage yang struktural
 Linkage yang kolektif

Kota adalah sesuatu yang kompleks dan rumit, maka perkembangan kota sering mempunyai
kecenderungan membuat orang merasa tersesat dalam gerakan di daerah kota yang belum mereka
kenal. Hal itu sering terjadi di daerah yang tidak mempunyai linkage. Setiap kota memiliki bayak
fragmen kota, yaitu kawasan-kawasan kota yang berfungsi sebagai beberapa bagian tersendiri dalam
kota.
Walaupun identitas serta bentuk massa dan ruang fragmen-fragmen itu bisa tampak sangat jelas,
orang masih sering bingung saat bergerak di dalam satu daerah yang belum cukup meraka kenal.
Kota-kota seperti New York atau Mexico City dan juga kota-kota di Asia telah menggambarkan
masalah tersebut. Hal ini menunjukan bahwa jumlah kuantitas dan kualitas masing-masing bagian
(fragmen) di kota tersebut belum memenuhi kemampuan untuk menjelaskan sebagai bagian dalam
keseluruhan kota. Oleh karena itu, diperlukan elemen-elemen penghubung, yaitu elemen-elemen
linkage dari satu kawasan ke kawasan lain yang membantu orang untuk mengerti fragmen-fragmen
kota sebagai bagian dari suatu keseluruhan yang lebih besar.

Linkage yang visual


Dalam Linkage yang visual dua / lebih fragmen kota dihubungkan menjadi satu kesatuan yang secara
visual, mampu menyatukan daerah kota dalam berbagai skala Markus Zahnd, Perancangan Kota
Secara Terpadu (1999 ; 108). Pada dasarnya ada 2 pokok perbedaan antrara Linkage Visual, yaitu:

 Yang menghubungkan dua daerah secara netral


 Yang menghubungkan dua daerah, dengan mengutamakan satu daerah

Linkage visual memiliki 5 elemen yang mana ke 5 elemen tersebut memiliki ciri khas suasana
tertentu yang mampu menghasilkan hubungan secara visual, terdiri dari :

 Garis : menghubungkan secara langsung dua tempat dengan massa (bangunan atau pohon)
 Koridor : dibentuk oleh dua deretan massa (bangunan atau pohon) yang membentuk ruang
 Sisi : menghubungkan dua kawasan dengan satu massa. Mirip dengan elemen garis namun
sisi bersifat tidak langsung
 Sumbu : mirip dengan elemen koridor, namun dalam menghubungkan dua daerah lebih
mengutamakan salah satu daerah saja.
 Irama : menghubungkan dua tempat dengan variasi massa dan ruang

Sumber :http://arsadvent.wordpress.com/teori‐roger‐tranci
Gambar Ilustrasi Lima Elemen Linkage Visual

Linkage yang struktural


Menggabungkan dua atau lebih bentuk struktur kota menjadi satu kesatuan tatanan. Menyatukan
kawasan-kawasan kota melalui bentuk jaringan struktural yang lebih dikenal dengan sistem kolase
(collage). Tidak setiap kawasan memiliki arti struktural yang sama dalam kota, sehingga cara
menghubungkannya secara hirarkis juga dapat berbeda Markus Zahnd, Perancangan Kota Secara
Terpadu (1999 ; 116).

Fungsi Linkage struktural di dalam kota adalah sebagai stabilisator dan koordinator di dalam
lingkungannya, karena setiap kolase perlu diberikan stabilitas tertentu serta distabilkan
lingkungannya dengan suatu struktur, bentuk, wujud, atau fungsi yang memberikan susunan
tertentu didalam prioritas penataan kawasan.

Ada tiga elemen Linkage struktural yang mencapai hubungan secara arsitektural, yaitu :

 Tambahan : melanjutkan pola pembangunan yang sudah ada sebelumnya


 Sambungan : memperkenalkan pola baru pada lingkungan kawasan
 Tembusan : terdapat dua atau lebih pola yang sudah ada di sekitarnya dan akan disatukan
sebagai pola-pola yang sekaligus menembus didalam suatu kawasan.

Sumber : http://arsadvent.wordpress.com/teori‐roger‐trancik
Gambar Tiga Elemen Linkage yang Struktural dalam Pencapaian Secara Arsitektural

Linkage bentuk yang kolektif


Teori Linkage memperhatikan susunan dari hubungan bagian-bagian kota satu dengan lainnya.
Dalam teori Linkage, sirkulasi merupakan penekanan pada hubungan pergerakan yang merupakan
kontribusi yang sangat penting. Linkage memperhatikan dan mempertegaskan hubungan-hubungan
dan pergerakan-pergerakan (dinamika) sebuah tata ruang perkotaan (urban fabric). Menurut
Fumuhiko Maki, Linkage adalah semacam perekat kota yang sederhana, suatu bentuk upaya untuk
mempersatukan seluruh tingkatan kegiatan yang menghasilkan bentuk fisik suatu kota Markus
Zahnd, Perancangan Kota Secara Terpadu (1999 ; 126). Teori ini menjadi 3 tipe linkage urban space
yaitu :

 Compositional form : bentuk ini tercipta dari bangunan yang berdiri sendiri secara 2 dimensi.
Dalam tipe ini hubungan ruang jelas walaupun tidak secara langsung.
 Mega form : susunan-susunan yang dihubungkan ke sebuah kerangka berbentuk garis lurus
dan hirarkis.
 Group form : bentuk ini berupa akumulasi tambahan struktur pada sepanjang ruang terbuka.
Kota-kota tua dan bersejarah serta daerah pedesaan menerapkan pola ini.
Sumber :
http://arsadvent.wordpress.com/teori‐roger‐trancik
Gambar Tiga Tipe Linkage Urban Space menurut Fumuhiko Maki

place Theory
Dalam teori ini, dipahami dari segi seberapa besar tempat-tempat perkotaan yang terbuka terhadap
sejarah, budaya, dan sosialisasinya serta lebih kepada arti dan makna sebuah tempat. Analisa place
adalah alat yang baik untuk :

 Memberi pengertian mengenai ruang kota melalui tanda kehidupan perkotaannya.


 Memberi pengertian mengenai ruang kota secara kontekstual

Kelemahan analisa place muncul dari segi perhatiannya yang hanya difokuskan pada suatu tempat
perkotaan saja. Trancik menjelaskan bahwa sebuah ruang (space) akan ada jika dibatasi dengan
sebuah void dan sebuah space menjadi sebuah tempat (place) kalau mempunyai arti dari lingkungan
yang berasal dari budaya daerahnya. Schulz (1979) menambahkan bahwa sebuah place adalah
sebuah space yang memiliki suatu ciri khas tersendiri. Menurut Zahnd (1999) sebuah place dibentuk
sebagai sebuah space jika memiliki ciri khas dan suasana tertentu yang berarti bagi lingkungannya.
Selanjutnya Zahnd menambahkan suasana itu tampak dari benda konkret (bahan, rupa, tekstur,
warna) maupun benda yang abstrak, yaitu asosiasi kultural dan regional yang dilakukan oleh
manusia di tempatnya.
Madanipuour (1996) memberikan penjelasan bahwa dalam memahami tempat (place)

dan ruang (space) menyebut 2 aspek yang berkaitan :

 Kumpulan dari bangunan dan artefak ( A Collection of Building and Artifacts).


 Tempat untuk berhubungan sosial ( A Site Social Relationship)

Selanjutnya menurut Spreiregen (1965), urban space merupakan pusat kegiatan formal suatu kota,
dibentuk oleh facade bangunan (sebagai enclosure) dan lantai kota. Jadi sudah sangat jelas bahwa
sebuah jalan yang bermula sebagai space dapat menjadi place bila dilingkupi dengan adanya
bangunan yang ada di sepanjang jalan, dan atau keberadaan landscape yang melingkupi jalan
tersebut, sebuah place akan menjadi kuat keberadaannya jika didalamnya memiliki ciri khas dan
suasana tertentu yang berarti bagi lingkungannya.
http://materiarsitektur.blogspot.co.id/2015/02/teori-elemen-kota.html

Anda mungkin juga menyukai