Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Letak lintang adalah keadaan dimana sumbu panjang anak tegak lurus atau hampir tegak lurus
pada sumbu panjang ibu. Pertolongan persalinan letak lintang pada multipara bergantung pada
beberapa faktor. Apabila riwayat obstetric wanita yang bersangkutan baik, tidak didapatkan
kesempitan panggul, dan janin tidak seberapa besar, dapat ditunggu dan diawasi sampai
pembukaan serviks lengkap untuk kemudian melakukan versi ekstraksi. Selama menunggu harus
diusahakan supaya ketuban tetap utuh dan melarang wanita tersebut bangun dan mengejan.
Apabila ketuban pecah sebelum pembukaan lengkap dan terdapat prolapse funikuli, atau terjadi
penumbungan tangan harus segera dilakukan section cesarean.
Seksio sesarea merupakan pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding
perut dan dinding uterus. Sebelum dilakukan seksio cesarea maka dilakukan anastesia yaitu
regional anastesi (sub arachnoid block). Blok spinal menghasilkan blokade sistem saraf simpatis,
anelgesia dan anestesia sensorik dan blokade motorik yang bergantung pada dosis, konsentrasi dan
volum anestetika lokal setelah pemberian melalui jarum ke plana neuroaksial.
Anestesia spinal membutuhkan jumlah obat yang lebih sedikit dengan efek blok yang lebih nyata
dalam jangka waktu singkat dibandingkan dengan epidural yang membutuh sejumlah besar
anestetika lokal dengan efek blok saraf yang lebih lemah tetapi dengan durasi lebih lama.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Anestesi Regional
Blok spinal dan epidural menghasilkan blokade sistem saraf simpatis, anelgesia dan
anestesia sensorik dan blokade motorik yang bergantung pada dosis, konsentrasi dan volum
anestetika lokal setelah pemberian melalui jarum ke plana neuroaksial. Anestesia spinal
membutuhkan jumlah obat yang lebih sedikit dengan efek blok yang lebih nyata dalam jangka
waktu singkat dibandingkan dengan epidural yang membutuh sejumlah besar anestetika lokal
dengan efek blok saraf yang lebih lemah tetapi dengan durasi lebih lama. Potensi toksisitas
juga lebih lebih besar pada anestesia epidural dibandingkan spinal karena jumlah yang lebih
besar itu.
2.1.1 Teknik Anestesi Spinal/ Epidural
1. Persiapan
Sebelum anestesia spinal/epidural dimulai, pasien harus siapkan seperti persiapan
bila akan melakukan anestesi umum. Hal ini bertujuan sebagai antisipasi perubahan
mendadak tekanan darah, laju nadi, atau masalah oksigenasi. Harus ada akses
intravena yang adekuat dan perlengkapan monitor pasien. Monitoring suhu badan
sebaiknya disiapkan, karena pasien dapat terserang hipotermia selama spinal atau
epidural, terutama pada operasi yang lama. Mesin anestesi sungkup muka, sumber
O2, dan suction harus tersedia dan siap pakai. Obat-obatan sedasi, induksi, emergensi,
dan pelumpuh otot harus tetap tersedia meskipun tidak langsung di dalam spuit. Alat-
alat manajemen jalan nafas seperti pipa endotrakea, laringoskop, dan pipa
orofaringeal harus juga tersedia.
2. Posisi Pasien
Ada tiga posisi utama yang biasa digunakan pada teknik penyuntikan obat anestetik
lokal pada anestesia spinal/epidural ini yaitu: lateral decubitus, duduk dan tengkurap.
Pemilihan masing-masing posisi ini tergantung dari situasi dan kebutuhan dari

2
pasien. Pengaturan posisi pasien ini cukup penting untuk menjamin keberhasilan
tindakan anestesai spinal ini.

 Posisi Lateral Dekubitus


Kebanyakan ahli anestesi sering memilih posisi ini. Penderita tidur miring di atas
meja operasi dengan membelakangi ahli anestesiologi. Pinggul dan lutut
difleksikan mendekat ke arah lutut. Posisi ini digunakan untuk kasus-kasus cedera
atau fraktur pada pinggul dan kaki dimana penderita tidak dapat bangun untuk
duduk.
 Posisi Duduk
Anatomi tulang belakang kadang-kadang lebih mudah dipalpasi bila dilakukan
dengan posisi ini dibandingkan dengan posisi lateral dekubitus. Posisi ini baik
dilakukan pada pasien obesitas dan sering diindikasikan untuk operasi lumbal
bawah dan sakral. Pada anestesia spinal, pasien-pasien tersebut sebaiknya
dibiarkan dalam posisi duduk dulu sesudah penyuntikan selama kurang lebih 5
menit. Namun bila posisi ini dipilih atas alasan obesitas atau skoliosis sementara
kita menginginkan level blok tinggi, maka setelah penyuntikan pasien harus
segera kita telentangkan (supine position).
Hal ini tidak berlaku pada anestesika epidural karena efek gravitasi akan dilawan
oleh tekanan masuknya anestetika lokal melalui kateter. Penderita dengan bantuan
seorang asisten dan memeluk bantal, diposisikan duduk dengan punggung
belakang difleksikan maksimal dan kedua kaki menggantung di atas lantai atau di
atas bangku.
 Posisi Telungkup (prone position)
Pada teknik anestesia spinal, posisi ini dapat dilakukan untuk prosedur
pembedahan pada bagian anorektal. Pasien diposisikan dalam posisi “jack-knife”,
dan selanjutnya lumbal pungsi dapat dilakukan. Teknik ini menggunakan larutan
anestetika lokal yang bersifat hipobarik, dan keuntungannya penderita setelah
tindakan lumbal pungsi tidak perlu diubah lagi posisinya. Ini akan menghasilkan
anestesia daerah sakral.

3
2.1.2 Anestesia Spinal
a. Teknik Anastesia Spinal
Anastesia spinal dihasilkan dengan menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam
ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.
Indikasi : untuk pembedahan, daerah tubuh yang dipersarafi cabang
T4 ke bawah (daerah papilla mammae kebawah).
Indikasi anestesi spinal antara lain:
 Bedah ekstremitas bawah.
 Bedah panggul
 Tindakan sekitar rectum-perineum
 Bedah obstetric-ginekologi
 Bedah urologi
 Bedah abdomen bawah
Kontra indikasi anesthesia spinal ada dua macam yakni: relative dan absolute.
Kontra indikasi absolute Kontra indikasi relative
1. Pasien menolak 1. Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
2. Infeksi pada tempat suntikan 2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Hipovolemia berat 3. Kelainan neurologis
4. Koagulopati atau mendapat terapi 4. Kelainan psikis
antikoagulan 5. Bedah lama
5. Tekanan intracranial meninggi 6. Penyakit jantung
6. Fasilitas resusitasi minim 7. Hipovolemia ringan
7. Kurang pengalaman atau/ tanpa 8. Nyeri punggung kronis
didampingi konsultan anesthesia

Teknik :
 Inspeksi : garis yang menghubungkan 2 titik tertinggi krista iliaka kanan –kiri
akan memotong garis tengah punggung setinggi L4 ata L4-L5
 Palpasi : untuk mengenal ruang antara dua vertebra lumbalis

4
Pungsi lumbal hanya antara L2-3, L3-4, L4-5 atau L5-S1
 Posisi pasien : duduk atau berbaring lateral dengan punggung fleksi maksimal
 Setelah tindakan antisepsis kulit daerah punggung pasien dan memakai sarung
tangan steril pungsi lumbal dilakukan dengan penyuntikan jarum lumbal nomor
22 (atau lebih halus nomor 23, 25, 26, 27, atau 29), pada bidang median dengan
arah 10-30 derajat terhadap bidang horisontal ke arah kranial pada ruang antar
vertebra lumbalis yang sudah dipilih. Jarum lumbal akan menembus berturut-turut
beberapa ligamen, yang terakhir ditembus adalah duramater-subarachnoid.
Setelah stilet dicabut cairan likuor serebrospinalis akan menetes keluar,
selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid
tersebut.
b. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ketinggian Blok Analgesia Spinal
Ada banyak faktor yang memengaruhi distribusi anestesia lokal di dalam cairan
serebrospinal. Faktor-faktor yang memengaruhi penyebaran obat anestesia lokal
dalam cairan serebrospinal:
1. Volume obat analgetik lokal : makin besar, makin tinggi daerah analgesi
2. Konsentrasi obat : makin pekat, makin tinggi batas daerah analgetik
3. Kecepatan : penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi.
Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan 3 detik untuk 1 ml larutan
4. Manuver valsava : mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinalis dengan
akibat batas analgesia bertambah tinggi
5. Tempat pungsi : pengaruhnya besar, pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul ke kaudal (saddle block), pungsi L2-3 atau L3-4 obat lebih mudah
menyebar ke kranial.
6. Berat jenis larutan : hiperbarik, isobarik, atau hipobarik
7. Tekanan abdominal yang tinggi : dengan dosis yang sama didapatkan batas
analgesia yang lebih tinggi.
8. Tinggi pasien : makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis, makin besar
dosis yang diperlukan

5
9. Waktu : setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan anestetik
sudah menetap (tidak berubah) sehingga batas anelgesia tidak dapat diubah lagi
dengan mengubah posisi pasien.
c. Komplikasi Analgesia Spinal
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi
yang terjadi kemudian (“delayed”). Komplikasi dini berupa gangguan pada sirkulasi,
respirasi dan gastrointestinal.
- Komplikasi sirkulasi
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi blok
makin berat hipotensi. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan
infus cairan kristaloid (NaCl, Ringer Laktat) secara cepat sebanyak 10-15
ml/kgBB dalam 10 menit segera setelah penyuntikan analgesia spinal.
Bila dengan cairan infus cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati
dengan vasopresor seperti efedrin intravena sebanyak 10 mg diulang tiap 3-4
menit sampai tekanan darah yang dikehendaki (sebaiknya tidak penurunannya
tidak lebih dari 10-15 mmHg dari tekanan darah awal). Bradikardi dapat terjadi
karena aliran darah balik berkurang, atau karena blok simpatis T1-4; dapat diatasi
dengan pemberian sulfat atropin 1/8-1/4 mg intravena.
- Komplikasi respirasi
1. Apnea, dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla
2. Kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas, merupakan tanda-
tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan
oksigen dan nafas buatan.
- Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah, karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis berlebihan,
pemakaian obat narkotik refleks karena traksi pada traktus gastrointestinal serta
komplikasi kemudian (“delayed”).
d. Terapi Cairan
Pada pemberian cairan selama pembedahan, harus diperhatikan mengenai
kekurangan cairan pra bedah, kebutuhan untuk pemeliharaan, bertambahnya

6
insensible loss karena suhu kamar yang tinggi, terjadinya translokasi cairan pada
daerah operasi, dan terjadinya perdarahan. Terapi cairan parenteral diperlukan untuk
mengganti defisit cairan saat puasa sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti
kebutuhan rutin saat pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi dan mengganti
cairan pindah ke ruang ketiga (ke rongga peritoneum, ke luar tubuh).
Pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke ruang
peritoneum, ke luar tubuh. Banyaknya air yang hilang karena translokasi selama
pembedahan, tergantung dari jenis operasinya:
1) Operasi dengan bedah minimal, kebutuhan pemeliharaan ± 4cc/kgBB/jam
2) Operasi dengan bedah sedang, kebutuhan pemeliharaan ± 6cc/kgBB/jam
3) Operasi dengan bedah besar, kebutuhan pemeliharaan ± 8cc/kgBB/jam
Pada prinsipnya kecepatan pemberian cairan selama pembedahan adalah dapat
menjamin tekanan darah stabil tanpa menggunakan obat vasokontriktor, dengan
produksi urin mencapai 0,5-1cc/kgBB/jam. Perdarahan bila kurang dari 10% dari
jumlah darah, cukup diganti dengan cairan kristaloid saja, tapi bila lebih dari 10%
dipertimbangkan untuk diganti dengan darah atau cairan koloid.

2. 2 Persalinan dengan letak lintang


2.2.1. Pengertian
Letak lintang adalah keadaan dimana sumbu panjang anak tegak lurus atau hampir tegak
lurus pada sumbu panjang ibu, jadi pengertian etak lintang adalah suatu keadaan dimana janin
melintang didalam uterus dengan sumbu panjang anak tegak lurus atau hampir tegak lurus
pada sumbu panjang ibu.
2.2.2. Klasifikasi
Klasifikasi letak lintang dapat dibagi menjadi 2 macam, yang dibagi berdasarkan:
1. Letak kepala
a. Kepala anak bisa disebelah kiri ibu
b. Kepala anak bida disebelah kanan ibu
2. Letak punggung
a. Jika punggung terletak disebelah depan ibu: dorsoanterior
b. Jika punggung terletak di sebelah belakang ibu: dorsoposterior

7
c. Jika punggung terletak di sebelah atas ibu; dorsosuperior
d. Jika punggung terletak di sebelah bawah ibu: dorso inferior

2.2.3. Etiologi
Penyebab terjadinya letak lintang;
 Multiparitas disertai dinding uterus dan perut yang lembek
 Fiksasi kepala tidak ada indikasi CPD
 Hidrosefalus
 Pertumbuhan janin terhambat atau janin mati
 Kehamilan premature
 Kehamilan kembar
 Panggul sempit
 Tumor di daerah panggul
 Kelainan bentuk rahim
 Plasenta previa
2.2.4. Patofisiologi
Relaksasi dinding abdomen pada perut yang menggantung menyebabkan uterus
beralih ke depan, sehingga menimbulkan defleksi sumbu memanjang bayi menjauhi
sumbu jalan lahir, maka menyebabkan posisi obliq atau melintang.
2.2.5. Diagnosa
Untuk menentukan diagnosis maka hal yang harus diperhatikan adalah dengan
melakukan pemeriksaan inspeksi, palpasi, auskultasi, pemeriksaan dalam.
 Inspeksi;
Pada saat melakukan pemeriksaan inspeksi, fundus tampak lebih melebar dan
fundus uteri lebih rendah tidak sesuai dengan umur kehamilannya.
 Palpasi:
Pada saat dilakukan pemeriksaan palpasi hasilnya adalah fundus uteri kosong,
bagian yang bulat, keras, dan melenting berada di samping dan di atas simfisis juga
kosong. Kecuali jika bahu sudah turun ke dalam panggul atau sudah mesuk ke
dalam pintu atas panggul (PAP), kepala teraba di kanan atau di kiri.
 Auskultasi

8
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan auskultasi adalh denyut jantung janin
ditemukan disekitar umbilicus atau setinggi pusat.

 Pemeriksaan dalam
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan dalam adalah akan teraba tulang iga,
scapula, dan kalau tangan menumbung teraba tangan, teraba bahu dan ketiak yang
bisa menutup ke kanan dan ke kiri, bila kepala di kiri ketiak menutup di kiri, letak
punggung ditentukan dengan adanya scapula, letak dada, klavikula. Pemeriksaan
dalam agak sukar dilakukan bila pembukaan kecil dan ketuban intak, namun pada
letak lintang biasanya ketuban cepat pecah.
Sering kali salah satu lengan menumbung. Untuk menentukan sisi lengan yang
menumbung maka kita coba berjabatan tangan; bila dapat berjabatan (dengan
tangan kanan), tangan yang menumbung adlah tangan kanan.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
ultrasonografi (USG) atau foto rontgen dengan diperoleh hasil kepala janin berada
di samping.
2.2.6. Mekanime persalinan
Mekanisme persalinan pada letak lintang dengan ukuran panggul normal
dan janin cukup bulan, tidak dapat terjadi persalinan spontan. Disebut dengan
persalinan dengan kelainan letak lintang karena janin tidak dapat turun lebih lanjut
dan terjepit dalam usaha untuk mengeluarkan janin, segmen atas uterus terus
berkontraksi dan beretraksi sedangkan segmen bawah uterus melebar serta menipis,
sehingga batas antara dua bagian itu makin lama makin tinggi dan terjadi lingkaran
retraksi patologik.
Persalinan dengan letak lintang dapat menyebabkan terjadinya janin
meninggal. Apabila tidak segera dilakukan pertolongan akan terjadi rupture uteri,
sehingga janin yang meninggal sebagian atau seluruhnya keluar dari uterus dan
masuk dalam rongga perut. Janin hanya dapat lahir spontan bila kecil (premature),
sudah mati dan menjadi lembek, atau bila panggul luas.

9
2.2.7. Komplikasi
Oleh karena bagian terendah tidak menutup PAP ketuban cenderung pecah dan
dapat disertai menumbungnya tangan janin atau tali pusat. Keduanya merupakan
komplikasi gawat dan memerlukan tindakan segera.

2.2.8. Prognosa
Menurut Mochtar Rustam prognosa letak lintang bagi ibu dan bayi sebagai berikut:
 Bagi ibu: rupture uteri, partus lama, ketuban pecah dini, dan infeksi intrapartum.
 Bagi janin: angka kematian tinggi 25-40% disebabkan karena: prolapses funiculi,
trauma partus, hipoksia karena kontraksi uterus terus-menerus,dan ketuban pecah
dini
2.2.9. Penanganan
Pertolongan persalinan letak lintang pada multipara bergantung pada beberapa factor.
Apabila riwayat obstetric wanita yang bersangkutan baik, tidak didapatkan kesempitan
panggul, dan janin tidak seberapa besar, dapat ditunggu dan diawasi samapai
pembukaan serviks lengkap untuk kemudian melakukan versi ekstraksi. Selama
menunggu harus diusahakan supaya ketuban tetap utuhd an melarang wanita tersebut
bangun dan mengejan.
Apabila ketuban pecah sebelum pembukaan lengkap dan terdapat prolapse funikuli
harus segera dilakukan section cesarean.

2.3. SEKSIO SESAREA.


2.3.1. Pengertian Seksio Sesarea
Seksio sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut
dan dinding uterus. Terdapat beberapa cara seksio sesarea yang dikenal saat ini, yaitu.
 Seksio sesarea transperitonealis profunda
 Seksio sesarea klasik / corporal
 Seksio sesarea ekstraperitoneal

10
 Seksio sesarea dengan teknik histerektomi
Teknik yang saat ini lebih sering digunakan adalah teknik seksio sesarea
transperitoneal profunda dengan insisi di segmen bawah uterus. Keunggulan teknik seksio
sesarea transperitonealis profunda antara lain.
 Perdarahan akibat luka insisi tidak begitu banyak
 Bahaya peritonitis tidak terlalu besar
 Parut pada uterus umumnya kuat, sehingga bahaya ruptura uteri di masa mendatang
tidak besar karena dalam masa nifas segmen bawah uterus tidak mengalami kontraksi
yang kuat seperti korpus uteri. Hal ini menyebabkan luka dapat sembuh lebih
sempurna.
2.3.2 Indikasi Seksio Sesarea.
Para ahli kandungan atau para penyaji perawatan yang lain menganjurkan sectio
caesarea apabila kelahiran melalui vagina mungkin membawa resiko pada ibu dan janin.
Indikasi untuk sectsio caesarea antara lain meliputi:
a. Indikasi Medis.
Ada 3 faktor penentu dalam proses persalinan yaitu :
 Power Yang memungkinkan dilakukan operasi caesar, misalnya daya mengejan
lemah, ibu berpenyakit jantung atau penyakit menahun lain yang mempengaruhi
tenaga.
 Passanger Diantaranya, anak terlalu besar, anak “mahal” dengan kelainan letak
lintang, primi gravida diatas 35 tahun dengan letak sungsang, anak tertekan terlalu
lama pada pintu atas panggul, dan anak menderita fetal distress syndrome (denyut
jantung janin kacau dan melemah).
 Passage Kelainan ini merupakan panggul sempit, trauma persalinan serius pada
jalan lahir atau pada anak, adanya infeksi pada jalan lahir yang diduga bisa menular
ke anak, umpamanya herpes kelamin (herpes genitalis), condyloma lota
(kondiloma sifilitik yang lebar dan pipih), condyloma acuminata (penyakit infeksi
yang menimbulkan massa mirip kembang kol di kulit luar kelamin wanita),
hepatitis B dan hepatitis C dan HIV/AIDS.

11
b. Indikasi ibu.
Indikasi Ibu
 Usia
Ibu yang melahirkan untuk pertama kali pada usia sekitar 35 tahun, memiliki resiko
melahirkan dengan operasi. Apalagi pada wanita dengan usia 40 tahun ke atas.
Pada usia ini, biasanya seseorang memiliki penyakit yang beresiko, misalnya
tekanan darah tinggi, penyakit jantung, kencing manis, dan preeklamsia.
Eklampsia (keracunan kehamilan) dapat menyebabkan ibu kejang sehingga dokter
memutuskan persalinan dengan sectio caesarea.
 Tulang Panggul
Cephalopelvic diproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai
dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak melahirkan
secara alami. Tulang panggul sangat menentukan mulus tidaknya proses
persalinan.
 Persalinan Sebelumnya dengan sectio caesarea
Sebenarnya, persalinan melalui bedah caesar tidak mempengaruhi persalinan
selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau tidak. Apabila memang ada
indikasi yang mengharuskan dilakukanya tindakan pembedahan, seperti bayi
terlalu besar, panggul terlalu sempit, atau jalan lahir yang tidak mau membuka,
operasi bisa saja dilakukan.
 Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang kaku sehingga tidak
memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan
lahir, tali pusat pendek, dan ibu sulit bernafas.
 Kelainan Kontraksi Rahim
Jika kontraksi rahim lemah dan tidak terkoordinasi (inkordinate uterine action)
atau tidak elastisnya leher rahim sehingga tidak dapat melebar pada proses
persalinan, menyebabkan kepala bayi tidak terdorong, tidak dapat melewati jalan
lahir dengan lancar.
 Ketuban Pecah Dini

12
Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat menyebabkan bayi harus
segera dilahirkan. Kondisi ini membuat air ketuban merembes ke luar sehingga
tinggal sedikit atau habis. Air ketuban (amnion) adalah cairan yang mengelilingi
janin dalam rahim.
 Rasa Takut Kesakitan
Umumnya, seorang wanita yang melahirkan secara alami akan mengalami proses
rasa sakit, yaitu berupa rasa mulas disertai rasa sakit di pinggang dan pangkal paha
yang semakin kuat dan “menggigit”. Kondisi tersebut karena keadaan yang pernah
atau baru melahirkan merasa ketakutan, khawatir, dan cemas menjalaninya. Hal ini
bisa karena alasan secara psikologis tidak tahan melahirkan dengan sakit.
Kecemasan yang berlebihan juga akan mengambat proses persalinan alami yang
berlangsung.
c. Indikasi janin.
 Ancaman Gawat Janin (fetal distress). Detak jantung janin melambat, normalnya
detak jantung janin berkisar 120- 160. Namun dengan CTG (cardiotography) detak
jantung janin melemah, lakukan segera section caesarea segara untuk
menyelematkan janin.
 Bayi Besar (makrosemia)
 Letak lintang; keadaan ini terjadi apabila sumbu panjang janin tegak lurus dengan
sumbu panjang tubuh ibu.
 Letak Sungsang; Letak yang demikian dapat menyebabkan poros janin tidak sesuai
dengan arah jalan lahir. Pada keadaan ini, letak kepala pada posisi yang satu dan
bokong pada posisi yang lain.
d. Faktor Plasenta.
 Plasenta previa. Posisi plasenta terletak dibawah rahim dan menutupi sebagian
atau selruh jalan lahir.
 Plasenta lepas (Solution placenta). Kondisi ini merupakan keadaan plasenta yang
lepas lebih cepat dari dinding rahim sebelum waktunya. Persalinan dengan operasi
dilakukan untuk menolong janin segera lahir sebelum ia mengalami kekurangan
oksigen atau keracunan air ketuban.

13
 Plasenta accrete. Merupakan keadaan menempelnya plasenta di otot rahim. Pada
umumnya dialami ibu yang mengalami persalinan yang berulang kali, ibu berusia
rawan untuk hamil (di atas 35 tahun), dan ibu yang pernah operasi (operasinya
meninggalkan bekas yang menyebabkan menempelnya plasenta.
e. Kelainan Tali Pusat.6
 prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung)
Keadaan penyembulan sebagian atau seluruh tali pusat. Pada keadaan ini, tali pusat
berada di depan atau di samping atau tali pusat sudah berada di jalan lahir sebelum
bayi.
 Terlilit tali pusat
tali pusat ke tubuh janin tidak selalu berbahaya. Selama tali pusat tidak terjepit atau
terpelintir maka aliran oksigen dan nutrisi dari plasenta ke tubuh janin tetap aman
f. Indikasi waktu / profilaksis.6
 Partus lama
 Partus macet / tidak maju
g. Kontra indikasi
 Infeksi intra uterin
 Janin mati
 Syok / anemia berat yang belum diatasi
 Kelainan kongenital berat
2.3.3 Komplikasi Seksio Sesarea.
Walaupun saat ini seksio sesarea sudah jauh lebih aman daripada dahulu, namun perlu
diperhatikan bahwa terdapat beberapa risiko komplikasi seksio sesarea yang dapat terjadi
pada ibu dan janin. Faktor-faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas
pembedahan antara lain kelainan atau gangguan yang menjadi indikasi untuk melakukan
pembedahan, dan lamanya persalinan berlangsung. Beberapa komplikasi yang dapat
timbul antara lain sebagai berikut :
a. Infeksi puerperal
Infeksi puerperal yang terjadi bisa bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama
beberapa hari dalam masa nifas. Komplikasi yang terjadi juga bisa bersifat berat, seperti
peritonitis, sepsis, dan sebagainya. Infeksi pasca operatif terjadi apabila sebelum

14
pembedahan sudah terdapat gejala–gejala infeksi intrapartum, atau ada faktor–faktor
yang merupakan predisposisi terhadap kelainan tersebut. Bahaya infeksi dapat
diperkecil dengan pemberian antibiotika, namun tidak dapat dihilangkan sama sekali.
b. Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang cabang arteria
uterina ikut terbuka, atau karena terjadinya atonia uteri.
c. Komplikasi–komplikasi lain.
Komplikasi lain yang dapat terjadi antara lain adalah luka kandung kencing dan
terjadinya embolisme paru.
d. Suatu komplikasi yang baru tampak pada kemudian hari
Komplikasi jenis ini yaitu kemungkinan terjadinya ruputra uteri pada masa kehamilan
yang selanjutnya. Hal ini disebabkan oleh kurang kuatnya parut pada dinding uterus.
Komplikasi ini lebih sering ditemukan setelah dilakukan metode seksio sesarea klasik.
e. Komplikasi pada anak
Nasib anak yang dilahirkan dengan seksio sesarea banyak tergantung dari keadaan yang
menjadi alasan untuk melakukan seksio sesarea. Menurut statistik di negara-negara
dengan pengawasan antenatal dan intra natal yang baik, kematian perinatal pasca seksio
sesarea berkisar antara 4% dan 7%.

15
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas pasien


Nama : Ny. PP
Umur : 36 Tahun
Berat Badan : 65 Kg
Tinggi Badan : 157 cm
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku bangsa : Papua
Tanggal masuk RS: 24 maret 2017

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama: Mules-mules Sejak 6 jam SMRS

Riwayat penyakit sekarang.


Pasien datang dengan keluhan mules-mules sejak 6 jam SMRS. Pasien mengaku Hamil 37
minggu, pasien juga mengeluh sakit pada perut. Pada vulva terlihat adanya penumbungan
tangan. Pusing (-), batuk (-), pilek (-), mual (-), muntah (-).

Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat Hipertensi, DM, Asma dan jantung disangkal.
Riwayat Alergi Obat : Tidak ada
Riwayat Operasi : BSC 2X
Kebiasaan : Merokok (-), alkoholik (-), obat-obatan (-)

16
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum: Baik
Kesadaran: Compos Mentis
Tinggi Badan: 157 cm
Berat Badan: 65 Kg
TD: 110/60 mmHg.
N: 60 x/menit.
R: 20x/menit.
SB: 36,7°C
SpO2: 100%
Kepala: Mata : Konjungtiva: anemis (-/-)
Sklera : ikterik (-/-)
Pupil : isokor
Hidung : sekret (-/-)
Mulut : oral trash (-)
Telinga : sekret (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks : Jantung : BJ I-II regular, gallop (-), mur-mur (-)
Paru : Rhonki (+/+), Whezzing (-/-)
Abdomen : Hati : Tidak teraba
Limpa : Tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-/-)
Reflex : Dalam batas normal
Lain-lain : Dalam batas normal

Status Obstetri
TFU : 30 cm atas sympisis pubis
LP : 110 cm
LA : Kepala-kepala, punggung kiri dan punggung kanan, 2/5
BJA : 148 x/menit

17
His : 1x/10’ (30”/kuat)
Pemeriksaan Dalam
v/v : penumbungan tangan
P : Lunak
Ø : 3 cm
Ket : (+)

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Darah Lengkap pada tanggal 24-Maret-2017
Hb : 13,7 gr%
HCT : 38,0 gr%
Leokosit : 14.3/mm3
Trombosit : 273.000/mm.3
CT :-
BT :-
3.5 Diagnosis.
G5P4A0 Hamil Aterm Kala II lama letak lintang kasip + penumbungan tangan

3.6 Laporan Anestesi


Status Anastesi
 Informed consent, surat ijin operasi (SIO)
Penatalaksanaan Anestesi
PS. ASA : II
Hari/Tanggal : 24 Maret 2017
Ahli Anestesiologi : dr. F,N Sp.An
Ahli Bedah : dr. E, SpOG
Diagnosa Pra Bedah : G5P4A0 Hamil Aterm, Kala II lama letak lintang kasip
+ penumbungan tangan
Diagnosa Pasca Bedah : P5A0 Postterm letak lintang kasip penumbungan tangan
Keadaan Pra Bedah
KU : Tampak sakit sedang

18
Makan terakhir : 12.00 WIT
BB : 65 kg
TTV : TD : 110/60 mmHg, N : 60x/m, SB : 36,7 C SpO2; 100%
B1 : Airway Bebas, gerak leher bebas, simetris +/+, suara napas
vesikuler (+/+), ronkhi -/-, wheezing -/-, RR: 20x/m
B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilary Refill Time < 2 detik,
BJ : I-II murni regular
B3 : Compos mentis, GCS: E4V5M6 (15), , riwayat pingsan (-), riwayat
kejang (-), Pupil Bulat isokor ⱷ 3 mm, dan Reflek Cahaya
(+/+).
B4 : Terpasang DC: 100 cc
B5 : Abdomen cembung sesuai usia kehamilan, nyeri (+)
B6 : Akral hangat (+), edema (-), fraktur (-), motorik normal.
Metabolik : hipertensi disangkal, Diabetes Melitus disangkal, dan asma
disangkal,
Hati : Riwayat ikterus (-)
Medikasi Pra Bedah
Jenis Pembedahan : Sectio Sesarea
Lama Operasi : 02.40 menit (13.50 – 16.30 WIT)
Jenis Anestesi : Regional Anestesi (SAB)
Lama Anestesi : 02.50 menit (13.40 – 16.30 WIT)
Anestesi Dengan : Bupivakain 0,5% (12,5 mg)
Relaksasi Dengan : -
Teknik Anestesi:
 Inspeksi: garis yang menghubungkan 2 titik tertinggi krista iliaka kanan –kiri akan
memotong garis tengah punggung setinggi L4 ata L4-L5
 Palpasi: untuk mengenal ruang antara dua vertebra lumbalis
 Pungsi lumbal hanya antara L2-3, L3-4, L4-5 atau L5-S1
 Posisi pasien : duduk atau berbaring lateral dengan punggung fleksi maksimal
 Setelah tindakan antisepsis kulit daerah punggung pasien dan memakai sarung
tangan steril pungsi lumbal dilakukan dengan penyuntikan jarum lumbal nomor

19
22 (atau lebih halus nomor 23, 25, 26, 27, atau 29), pada bidang median dengan
arah 10-30 derajat terhadap bidang horisontal ke arah kranial pada ruang antar
vertebra lumbalis yang sudah dipilih. Jarum lumbal akan menembus berturut-turut
beberapa ligamen, yang terakhir ditembus adalah duramater-subarachnoid.
Setelah stilet dicabut cairan likuor serebrospinalis akan menetes keluar,
selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid
tersebut.
Teknik Khusus : (-)
Pernafasan : Spontan (oksigen nasal 2 lpm)
Posisi : Terlentang/supine
Infus : Tangan kiri, abocath 18 G, cairan RL
Penyulit pembedahan : (-)
Akhir pembedahan : perfusi; hangat, kering, merah. TD: 120/60 mmHg, N: 70x/m,
SB: 37,5 C,
Penyulit Pasca Bedah : (-)
Hipersensitivitas : (-)
Premedikasi : (-)
Medikasi : Ephedrin 15 mg
Pethidin 2 mg

20
3.7. Balance Cairan
Pasien perempuan 36 tahun dengan Berat Badan 65 kg dan Tinggi Badan 157 cm
Cairan yang dibutuhkan:
Pre operasi:
1. Maintenance= BB x kebutuhan cairan/24 jam
=10x100cc=1000
=10x50cc= 500
=45x 20cc=900
= 2.400cc/jam
Kebutuhan cairan/jam
=2.400/24
=100cc/jam
2. Pengganti puasa 1 jam kebutuhan cairan
3. Perdarahan= 500cc
Aktual;
Input: RL: 1500 cc
NaCL 0,9%: 500 cc
Output: urine: 200 cc

21
Durante operasi
Kebutuhan cairan selama operasi 2 jam 40 menit
1. Maintenance operasi (O)
Jenis operasi sedang:
4cc/kgBB/jam
=4 ccx65 kg
=260cc

Maintenance pada jam pertama:


M+O+1/2P
=100+260+50
= 410cc

Maintenance pada jam kedua


M+O+1/4P
= 100+260+25
= 385cc

Maintenance pada jam ketiga


M+O+1/4P
= 100+260+25
= 385cc
2. Replacement
Perdarahan: 500 cc
EBV: 65x BB
= 65x65 kg
= 4225 cc

22
EBL: 10%x EBV= 422 cc
20%x EBV= 845 cc
30%x EBV= 1267 cc
Aktual cairan yang diberikan: RL: 1500 + Nacl 0,9%; 500
Input: RL: 1500 + Nacl 0,9%; 500
Output: urine: 200 cc
Perdarahan: 500 cc

Post Operasi
Kebutuhan cairan
Maintenance:
- Cairan: 40-50 cc/kgBB/hari= 2600-3250 cc/hari
- Natrium: 2-4 meq/kgBB/hari=130-520 meq/hari
- Kalium; 1-3 meq/kgBB/hari= 65-195 meq/hari
- Kalori= 25 mg/kgBB/hari= 1625 kkal/hari

INPUT OUTPUT
Pre Op RL : 100 cc Pre Op Urine : 100 cc
Durante RL : 1500 cc Durante Urine : 200
Op NaCl : 500 cc Op Darah : 500 cc

Total : 2100 cc Total 800 cc


Balance + 1300 Cc

23
20
40
60
80

0
100
120
13.40 PM 140
13.50 PM
14.00 PM
14.10 PM
14.20 PM
14.30 PM
14.40 PM
14.45 PM
14.55 PM
15.05 PM
15.15 PM
15.25 PM

24
15.35 PM
3.8 Diagram Observasi Tekanan Darah dan Nadi

15.45 PM
15.55 PM
16.05 PM
16.15 PM
16.25 PM
Nadi
Sistole
Diastole
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien seorang perempuan, inisial Ny. P.P umur 36 tahun dengan diagnosis G5P4A0 Hamil
Aterm Kala II lama letak lintang kasip + penumbungan tangan. Pada kasus ini akan dilakukan
tindakan Sectio cesarea dengan general anestesi atau anestesi umum sub arachnoid block (SAB).
Pada persiapan anestesi diketahui bahwa pasien tidak mempunyai riwayat penyakit asma, alergi,
riwayat infeksi pernapasan maupun gangguan metabolik. Persiapan prabedah yang kurang
memadai merupakan faktor terjadinya kecelakaan anestesi. Identitas setiap pasien harus lengkap,
pasien ditanya lagi mengenai hari dan jenis bagian tubuh yang akan dioperasi, selanjutnya
dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang atau laboratorium.
Pada pasien ini sebelum operasi seharusnya dipuasakan selama 6-8 jam, sesuai dengan teori
yang menyatakan bahwa pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam hal ini dikarenakan refleks
laring mengalami penurunan selama anestesi sehingga regurgitasi isi lambung dan kotoran yang
terdapat dalam jalan napas merupakan resiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesi,
untuk meminimalkan resiko tersebut semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan
anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi
anestesi. Namun pada pasien ini dilakukan operasi emergency sehingga tidak dipuasakan, maka
tidak sesuai dengan teori.

Pemeriksaan fisik pada pasien ini tampak sakit sedang. Tekanan darah pasien pra bedah,
yaitu 110/60 mmHg, frekuensi nadi 60 x/m, respirasinya 20x/m, dan suhu badannya 36,70C,
sedangkan pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil terjadi peningkatan leukosit. Dari
hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan laboratorium, dapat ditentukan status
fisik pasien serta menilai resiko pasien terhadap anestesi.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, pasien diklasifikasikan


sebagai PS ASA II E yaitu pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang. Hal ini
dikarenakan pada pasien ditemukan adanya gangguan letak janin yakni letak lintang dengan

25
adanya penumbungan tangan maka pasien di golongkan dalam PS ASA II E, karena dilakukan
section cesaria secara emergency..

Kemudian pasien ini dilakukan operasi sectio cesarea menggunakan anastesi regional (sub
arachnoid blok) dengan menggunakan Bupivakain 0,5%. Kandungan dari bupivakain 0,5% tanpa
adrenalin yang berlangsung efek dari analgesiknya hingga 8 jam, bekerja berikatan dengan
intraseluler. Durasi kerja pada ruang epidural kira-kira 2-3 jam. Selain itu pasien juga diberikan
obat anastesi petidin yang bersifat seperti atropin sehingga dapat menyebabkan kekeringan mulut,
kekaburan pandangan, dan takikardia. Dosis yang besar menimbulkan depresi napas dan hipotensi.
Sebagai analgetik, obat ini bekerja pada talamus dan substansia gelatinosa medula spinalis. Pasien
ini juga diberikan ephedrine yang merupakan alkaloid yang terdapat dalam tumbuhan yang disebut
efedra. Efedrin mempunyai efek tekanan sistolik menjadi meningkat sehingga meningkatkan
kontraksi otot jantung, aliran darah ke ginjal dan visceral menjadi berkurang. Efek bronkorelaksasi
lebih lemah tetapi berlangsung lebih lama.

Terapi post operasi di ruangan yaitu Ringer Laktat/D5 1:1 28 tpm makro, injeksi ceftriaxon
1 x 2gr, injeksi ranitidin 2 x 50 mg, dan juga diberikan metronidazole 3x 500 mg. Ceftriaxone
diberikan pada pasien ini karena mempunyai efek merupakan sefalosporin spectrum luas
semisintetik yang diberikan secara intravena atau intramuscular. Ceftriaxone diberikan untuk
mencegah terjadinya infeksi karena ceftriaxone mempunyai efek bakterisida dihasilkan akibat
adanya penghambatan siotesis dinding kuman.

Terapi cairan pada pasien ini adalah sebagai berikut:

Pre operasi:

4. Maintenance= BB x kebutuhan cairan/24 jam


=10x100cc=1000
=10x50cc= 500
=45x 20cc=900
= 2.400cc/jam
Kebutuhan cairan/jam
=2.400/24

26
=100cc/jam
5. Pengganti puasa 1 jam kebutuhan cairan
6. Perdarahan= 500cc
Aktual;
Input: RL: 1500 cc
NaCL 0,9%: 500 cc
Output: urine: 200 cc

Durante operasi
Kebutuhan cairan selama operasi 2 jam 40 menit
3. Maintenance operasi (O)
Jenis operasi sedang:
4cc/kgBB/jam
=4 ccx65 kg
=260cc

Maintenance pada jam pertama:


M+O+1/2P
=100+260+50
= 410cc

Maintenance pada jam kedua


M+O+1/4P
= 100+260+25
= 385cc

Maintenance pada jam ketiga


M+O+1/4P
= 100+260+25
= 385cc
4. Replacement

27
Perdarahan: 500 cc
EBV: 65x BB
= 65x65 kg
= 4225 cc
EBL: 10%x EBV= 422 cc
20%x EBV= 845 cc
30%x EBV= 1267 cc
Aktual cairan yang diberikan: RL: 1500 + Nacl 0,9%; 500
Input: RL: 1500 + Nacl 0,9%; 500
Output: urine: 200 cc
Perdarahan: 500 cc

Post Operasi
Kebutuhan cairan
Maintenance:
- Cairan: 40-50 cc/kgBB/hari= 2600-3250 cc/hari
- Natrium: 2-4 meq/kgBB/hari=130-520 meq/hari
- Kalium; 1-3 meq/kgBB/hari= 65-195 meq/hari
- Kalori= 25 mg/kgBB/hari= 1625 kkal/hari

28
BAB V
KESIMPULAN

• Pasien ini di diagnosa G P A Hamil Aterm Kala II lama letak lintang kasip +
5 4 0

penumbungan tangan.

• Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, pasien


diklasifikasikan sebagai PS ASA II E yaitu pasien dengan penyakit sistemik ringan
atau sedang. Hal ini dikarenakan pasien ditemukan adanya gangguan letak janin
yakni letak lintang dengan adanya penumbungan tangan maka pasien di golongkan
dalam PS ASA II E, karena dilakukan section cesaria secara emergency.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Martaadisoebrata Djamhoer, dkk. Obstetri Patologi. 2013. Edisi ke-3. Jakarta:EGC

2. Hardiato IT. Pengaruh Anestesi Spinal Terhadap Hemodinamik Pada Penderita Dengan

Seksio Sesarea. [serial online] 2011 [Diakses tanggal 08 maret 2017] Tersedia dari: URL:

http://eprints.undip.ac.id/file/usmar.pdf

3. Anonim. Secsio Sesarea. [serial online] 2011 [Diakses tanggal 08 april 2017] Tersedia dari:

URL: http://repository.usu.ac.id/bitstream/file/.pdf

4. Karjadi Wirjoatmodjo, Anastesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk Pendidikan S1

Kedokteran.2000.Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen pendidikan

Nasional.

5. Gunawan dan Sulisstia.Farmakologi Dan Terapi. 2012. Edisi 5.Jakarta:FKUI

6. Bisri Tatang, dkk. Anastesi Obstetri. 2013.Bandung: Komisi Pendidikan Sp.Ankao. kolegium

Anastesiologi dan Terapi Intensif Indonesia

30

Anda mungkin juga menyukai