Kehidupan Sosial
Kehidupan Sosial
oleh
Fretylia
13/347469/SA/16913
Departemen Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Desember 2016
BAB I
PENDAHULUAN
Desa badau merupakan desa yang berada di daerah perbatasan antara
Malaysia (serawak) dengan Indonesia (Kalimantan). Secara geografis, disebelah
timur desa Badau berbatasan langsung dengan desa Lobuk Antu (Serawak).
Disebelah utara berbatasan dengan desa Sempadan Kecamatan Nanga Badau.
Disebelah selatan berbatasan dengan desa Raden Suara Kecamatan Nanga Badau dan
sebelah barat berbatasan dengan desa Pulau Majang kecamatan Nanga Badau. 1 Di
desa Badau mayoritas masyarakatnya adalah masyrakat dayak Iban, tetapi terdapat
juga masyarakat non-dayak Iban. Masyarakat non-dayak Iban seperti orang – orang
Melayu, Bugis, dan lain – lain.
Masyarakat desa Badau adalah masyarakat suku pedalaman yang
masyarakatnya tinggal di rumah – rumah panjang. Satu rumah panjang terdiri dari
beberapa kepala keluarga. Rumah panjang ini juga menjadi suatu penanda status
dalam suatu masyarakat. Semakin panjang rumah yang ditinggali, maka semakin
tinggi status yang dimiliki dalam masyarakat. Selain tinggal dirumah panjang,
masyarakat desa Badau juga merupakan suku yang masih kental akan adat –
istiadatnya. Tidak mengherankan apabila semua hal yang dilakukan oleh setiap
anggota masyarakat terdapat hukum – hukum adat yang mengatur. Salah satu
contohnya yaitu hukum adat dalam pemanfaatan hutan. sebagian besar wilayah desa
Badau adalah hutan. Hal ini dapat dilihat dari luas wilayah desa Badau yaitu sekitar
815,846 Ha, dengan pemanfaatan lahan sebagai perkebunan kelapa sawit seluas
350,678 Ha, sebagai ladang atau pertanian seluas 120,456 Ha, daerah hutan seluas
154,334 Ha, dan juga sebagai perumahan warga seluas 190, 367 Ha.2
1
Amin,”Nasionalisme Masyarakat Perbatasan : Studi Kasus di Desa Badau
Kabupaten Kapuas Hulu Propinsi Kalimantan Barat”, Skripsi-S1, Jurusan Sosiologi,
Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Agama Islam Negeri Sunan
Ampel Surabaya. hlm.56
2
Ibid.
Di Desa Badau, Kegiatan ekonomi mereka ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari – hari. Dengan cara pemanfaatan sumber daya alam
disekitarnya, seperti hutan. Hutan dimanfaatkan sebagai perkebunan masyarakat,
ladang berpindah, berburu, mengumpulkan makanan hasil hutan, dan juga jalan
‘ilegal’. Jalan ‘ilegal’ yang dimaksud disini adalah masyarakat desa Badau bebas
keluar masuk Malaysia atau daerah perbatasan antara Malaysia dan Indonesia melalui
jalan yang ada di hutan. Sehingga hutan sangat penting bagi masyarakat desa Badau.
Dari hutan inilah mereka menggantungkan hidup mereka.
Lahan hutan yang luas dan pemanfaatan hutan yang masih terbilang
seadanya atau hanya dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dan letaknya yang
berada diaerah perbatasan, hal ini menarik perusahaan - perusahaan swasta maupun
perusahaan negeri mencoba mencari keuntungan baru. Salah satu perusahaan tersebut
adalah Yayasan Maju Kerja (Yamaker).
Yayasan Maju Kerja (Yamaker) merupakan sebuah yayasan yang berada
dibawah ABRI. Pada tahun 1967 sampai 1999 PT Yamaker diberi hak konsesi HPH
(Hak Penguasaan Hutan) seluas 843.500 hektar di perbatasan Kalimantan Barat-
Serawak dan 260.000 hektar diperbatasan Kalimantan Timur-Serawak.3 Penguasaan
daerah perbatasan ini dimaksudkan sebagai suatu upaya mempertahankan wilayah
perbatasan Negara.
Penguasaan hutan daerah perbatasan oleh PT. Yamaker termasuk
didalamnya merupakan hutan di Desa Badau. Adanya penguasaan HPH (Hak
Penguasaan Hutan) dari PT Yamaker jelas berdampak pada berkurangnya lahan hutan
yang digunakan masyarakat desa Badau untuk pertanian dan juga kegiatan ekonomi
lainnya. Hal ini sangatlah berbeda dengan apa yang terjadi pada masyarakat di
Kabupaten Melawi. Di Kabupaten Melawi, masyarakatnya memilih beralih dari
ladang berpindah menjadi menetap. Perubahan tersebut terjadi sejak masuknya
3
K. Obidzinski, A. Andrianto, C. Wijaya, Penyelundupan kayu di Indonesia
masalah genting ataukah berlebihan ? : Sebuah Pembelajaran Pengaturan Hutan
dari Kalimantan, (Jakarta : Center for International Forestry Research), hlm.7
perusahaan kayu swasta PT. SBK di Kabupaten Melawi.4 Hal ini menjadikan sebuah
pertanyaan besar. Mengapa ini bisa berbeda. Baik masyarakat di Desa Badau maupun
yang ada di Kabupaten Melawi sama – sama merasakan dampak dari perusahaan
yang memiliki hak konsesi hutan, tetapi yang terjadi dalam di Kabupaten Melawi,
mereka merubah sistem pertanian mereka menjadi ladang menetap, tetapi yang terjadi
pada masyarakat di Desa Badau masih tetap menggunakan sistem ladang berpindah
hingga sekarang. Sehingga bagaimana perekonomian masyarakat di Desa Badau
dengan adanya hak konsesi hutan oleh PT. Yamaker. Oleh karena itu, menurut saya
ini merupakan suatu hal yang menarik untuk diteliti.
Pada tahun 1967 perusahaan PT Yamaker memiliki hak konsesi hutan di
Desa Badau. Perusahaan ini berada dibawah ABRI dengan tujuan sebagai upaya
mempertahankan daerah perbatasan. Adanya hak konsesi hutan oleh PT Yamaker ini,
lahan hutan yang digunakan untuk ladang berpindah oleh masyarakat desa Badau
semakin berkurang dan juga berdampak pada perekonomian masyarakat setempat.
Sehingga Bagaimana ekonomi masyarakat desa Badau saat itu dan bagaimana
caranya masyarakat desa Badau beradaptasi. Untuk mengetahui hal tersebut, maka
penelitian ini ada.
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui, antara lain :
1. Apa saja yang dilakukan masyarakat desa Badau dalam mengatasi
perubahan yang terjadi ?
2. Mengapa masyarakat dayak iban di Desa Badau tidak beralih dari
pertanian ladang berpindah menjadi pertanian ladang menetap ?
3. Perubahan apa saja yang terjadi pada masyarakat desa Badau dalam aspek
sosial ?
BAB II
4
http://www.kompasiana.com/alldie/ Mengubah Paradigma Perladangan
Berpindah ke Pertanian, diakses pada tgl 23 Maret 2016, Pukul 16.05 WIB
PERKEMBANGAN EKONOMI DESA BADAU TAHUN 1960-AN SAMPAI
1980-AN
5
Michael R. Dove, Sistem Perladangan di Indonesia;Suatu Studi-Kasus dari
Kalimantan Barat, (Yogyakarta : UGM PRESS), hlm. 7
Setelah membuka hutan dan membaginya, tanah tersebut akan ditatanami padi
selama setahun. Dalam setahun, biasanya tanaman padi itu panen sebanyak 2 (dua)
kali dalam setahun. Tanah ini akan ditanami padi terus menerus hingga kurun waktu
10-15 tahun.6 Setelah melewati kurun waktu tersebut, masyarakat Desa Badau akan
membuka hutan untuk lahan baru untuk berladang. Hal ini terus dilakukan dalam
waktu lama, sampai pada akhirnya mereka akan kembali pada lahan pertama yang
mereka buka untuk pertama kali. Hal ini dilakukan untuk menjada ekosistem hutan
atau agar tidak adanya kerusakan hutan. Selain itu, karena tanah di Kalimantan tidak
sesubur tanah yang ada di Jawa, sehingga sangat sulit untuk menanam padi seperti di
Jawa. Sehingga untuk memperoleh hasil yang lebih bagus, sistem berladang
berpindah inilah yang paling tempat untuk bertani di Kalimantan. Sistem ladang
berpindah ini juga sudah diakukan sejak dulu, maka masyarakat Desa Badau tidak
mau berubah menjadi sistem pertanian yang menetap.
6
Syarif Ibrahim Alqadrie, Mesianisme dalam Masyarakat Dayak di
Kalimantan Barat.
Pada tahun 1967, PT. Yamaker (Yayasan Maju Kerja) memperoleh hak
konsesi hutan atas hutan yang ada di daerah perbatasan Malaysia dengan Indonesia
(Kalimantan barat dan Kalimantan timur ). Di Kalimantan barat, desa Badau
hutannya termasuk didalam hak konsesi hutan yang diberikan oleh pemerintah pusat
pada PT. Yamaker. Sehingga kegiatan masyarakat Desa Badau terganggu. Khususnya
kegiatan berladang berpindah. Dengan adanya hak konsesi hutan ini mengakibatkan
hutan yang mulanya dimiliki oleh masyarakat setempat dengan penandaan secara
alami menjadi hutan yang dikuasai oleh perusahaan – perusahaan yang berdatangan.
Hal ini mempengaruhi pendapatan masyarakat petani di desa Badau yang menurun
sejak beroperasinya hak konsesi hutan oleh PT. Yamaker sebesar 33,3% dari
penghasilan sebelumnya.
Dari jumlah prosentasi diatas, ternyata 20% penghasilan yang berkurang itu
berasal dari subsektor kehutanan, sedangkan 13,3% sisanya berasal dari subsektor
pertanian ladang dan subsektor perkebunan yang ditanam disekitar hutan.7 Tingginya
prosentase subsektor kehutanan yang mengurangi penghasilan petani Desa Badau
merupakan akibat dari berkurangnya areal hutan dalam jumlah yang cukup luas
sebagai akibat dari larangan untuk memanfaatkan hutan. Hal ini didukung adanya
anggapan bahwa sistem ladang berpindah yang dilakukan oleh masyarakat Desa
Badau itu merupakan perusakan hutan. tetapi yang sebenarnya itu tidaklah benar.
Karena sebenarnya apa yang dilakukan oleh perusahaan – perusahaan kayu swasta
yang berkerjasma dengan PT yang memilik hak konsesi hutan inilah yang melakukan
perusakan hutan. Mereka melakukan penebangan pohon – pohon hutan secara besar.
Walaupun mereka melakukan reboisasi, tetapi pohon tidak cepat tumbuh dalam
waktu yang cepat. Sehingga hal ini tidak berbanding seimbang antara waktu
penebangan pohon dihutan yang besar jumlahnya dengan tumbuhnya kembali pohon
– pohon hutan yang baru ditanam. Sehingga hal ini sangatlah merugikan bagi
masyarakat Desa Badau dan masyarakat indonesia secara keseluruhannya dimasa
mendatang. Memang pada tahun 1970-an ini pengelolaan hutan ini sangat
7
Ibid.
menguntungkan bagi devisa Negara. Pendapatan pemerintah dari sektor kehutanan
berkembang 6 juta us dollar tahun 1966 dan bertambah menjadi 564 juta US dollar
tahun 1974. Tahun 1979, indonesia sebagai penghasilan kayu tropis terbesar, dengan
41% sahamnya dari (2,1 Milliar Us Dollar seluruh pasar global )mewakili ekspor
yang lebih besar daari gabungan Afrika, Amerika latin. Walaupun ini sangat
menguntungkan bagi sumber devisa Negara tetapi bagi masyarakat desa Badau itu
tidak berpengaruh. Mereka merasa semakin tersulitkan. Sehingga sampai sekarang
mereka tidak mengalami perubahan yang lebih baik.
Selain berdampak pada kehidupan ekonomi masyarakat Desa Badau, ini juga
berdampak pada kehidupan sosial masyarakat. Dengan adanya PT. Yamaker di desa
Badau ini mengakibatkan terciptanya suatu lapangan kerja baru yang jelas berbeda
dengan kegiatan sehari – hari masyarakat Desa Badau. Dengan adanya lapangan kerja
baru ini mengkibatkan adanya migrasi yang terjadi dikalimantan. Hal ini juga
didukung oleh pemerintah pusat. Sehingga banyak orang – orang diluar orang dayak
mulai berdatangan di tempat mereka dengan budaya yang berbeda. Dengan
bertemunya dua budaya yang berbeda ini mengakibatkan suatu bentrokkan dalam
masyarakat tersebut. Kedua kebudayaan yang berbeda ini saing tarik menarik.
Sehingga pada waktu selanjutnya kedua budaya ini akan mengakibatkan suatu konflik
dalam masyarakat.
Selain itu, dengan adanya PT. Yamaker ini mengakibatkan masyarakat desa
Badau yang dulunya belum mengenal uang. Sehingga seperti yang kita tahu saat ini,
bahwa peredaraan uang di masyarakat desa Badau dapat kita temukan. Hal ini juga
menjadi salah satu dampak bahwa, dengan adanya PT. Yamaker di Desa Badau
mengakibatkan sistem ladang berpindah terganggu karena kurangnya lahan untuk
berladang. Perkebunan yang mereka miliki yang ada di hutan juga tidak dapat
diperoleh hasilnya. Sehingga mereka harus mencari alternatif lain untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Salah satunya adalah jual beli. Dengan ini masyarakat Desa mulai
mengenal ekonomi sentral.
Dengan adanya perubahan ini tidaklah selamanya salah maupun benar.
Karena disatu sisi, ini merupakan suatu perubahan yang bagus,yang mana masyarakat
Desa Badau tidak selamanya bisa bergantung dengan alam. Tetapi, disisi yang lain ini
menjadi suatu yang cukup menyulitkan bagi masyarakat desa Badau. Karena mereka
harus beradaptasi dengan sistem ekonomi yang baru yaitu ekonomi liberal. Apabila
Masyarakat Desa Badau tidak dapat beradaptasi, maka jalan yang kita sebut sebagai
jalan alternative hanya akan menjadikan masyarakat desa Badau semakin miskin. Hal
ini diperparah dengan keadaan mereka yang berada di daerah perbatasan. Daerah
perbatasan merupakan daerah yang rawan konflik.
Akan tetapi, PT. Yamaker tidak selamanya berdampak buruk. Hal ini bisa
menjadi suatu keuntungan tersendiri bagi masyarakat Desa Badau. Seperti yang kita
tahu, bahwa desa Badau adalah daerah perbatasan. Maka akan sangat mungkin daerah
perbatasan ini menjadi pintu utama kedua Negara sebagai jalur utama perdagangan.
Salah satunya adalah perdagangan kayu illegal. Ini sangatlah merugikan masyarakat
Desa Badau dan juga pemerintahan Indonesia. Untuk mencegah hal itu, PT. Yamaker
sangatlah tetap apabila memiliki hak konsesi hutan yang dapat mengawasi daerah
hutan diperbatasan, penebangan liar, dan juga perdagangan kayu illegal yang
dilakukan lintas perbatasan,
BAB III
KESIMPULAN
Masyarakat Desa Badau merupakan suku dayak pedalaman. Sumber ekonomi
mereka adalah ladang berpindah, berburu, dan mengumpulkan makanan dari hutan.
sehingga hutan sangan penting bagi mereka. Sejak tahun 1967, PT. Yamaker
memiliki hak konsesi hutan terhadap hutan didaerah perbatasan yaitu perbatasan
Malaysia dengan Indonesia ( Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur ). Dengan
adanya hak konsesi ini berakibat pada berkurangnya lahan yang diggunakan
masyarakat dayak iban untuk berladang secara berpindah. Sehingga hal ini berakibat
juga pada penurunannya pendapatan mereka. Selain itu, dengan adanya perusahaan
PT. Yamaker ini berakibat juga adanya migrasi orang – orang yang diluar dayak
untuk berkerja dan menetap. Sehingga ini mengakibatkan suatu berturan budaya di
masyarakat.
Sehingga dengan adanya hubungan kedua Negara ini melalui masyarakat desa
Badau, pemerintah Indonesia dengan Malaysia sepakat bahwa masyarakat desa badau
tidak perlu perizinan untuk keluar masuk daerah perbatasan. Hal ini juga berlaku
sebaliknya. Dengan adanya kelonggaran tersebut, maka PT. Yamaker ini menjadi
suatu keuntungan sendiri untuk mengawasi proses yang terjadi. Sehingga pada
akhirnya nanti tidak aka nada pihak yang merasa dirugikan oleh satu sama lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Cleary, Mark., and Peter Eaton. BORNEO : Change and Development. London :
Oxford University Press. 1992.
Dove, Michael R., The Banana Tree at The Gate : A History of Marginal Peoples and
Global Market in Borneo. London : Yale University Press. 2011.
Hidayat, Herman. Politik Lingkungan : Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan
Reformasi. Jakarta : Obor. 2009.
King, Victor T., Some Aspects of Iban-Maloh Contact in West Kalimantan, dalam
Jurnal Indonesia, No. 21 (Apr., 1976), pp. 85-114
Nuraini, Hanna Titis. “Kearifan Lokal Masyarakat Suku Dayak Iban dalam
Pengelolaan Sumber Daya Hutan di Dusun Sungai Utik, Kecamatan Emboloh
Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat”. Skripsi S-1. Jurusan
Kehutanan. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 2015.
Santoso, dan Herlan Artono. Konflik Etnis di Kalimantan Barat. Jakarta : Institut
Arus Informasi. 1998..
Semedi, Pujo. dan II. Yuwono. “Perubahan Agro-Ekosistem di Kalimantan Barat”.
Laporan Penelitian. Jurusan Antropologi. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta. 1993.
Suan, T.T., dan Kusni Sulang. Budaya Dayak : Permasalahan dan Alternatifnya.
Malang : Bayumedia. 2011.
Wadley, L. Reed, Colfer Piere, et al. Hunting Primates and Managing Forests : The
Case of Iban Forest Farmers in Indonesia Borneo, dalam Journal Human
Ecology, Vol. 25, No. 2 (Jun., 1997), pp. 243-271.
http://www.kompasiana.com/elda.unitri/interaksi-simbolik-suku-dayak-iban-yang
dianggap-suku-penuh-magic pada Sabtu, 19 Maret 2016 Pukul 19.17 WIB