Anda di halaman 1dari 13

Perkembangan Ekonomi Desa Badau 1960-an sampai 1980-an

oleh

Fretylia
13/347469/SA/16913

Departemen Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
Desember 2016

BAB I
PENDAHULUAN
Desa badau merupakan desa yang berada di daerah perbatasan antara
Malaysia (serawak) dengan Indonesia (Kalimantan). Secara geografis, disebelah
timur desa Badau berbatasan langsung dengan desa Lobuk Antu (Serawak).
Disebelah utara berbatasan dengan desa Sempadan Kecamatan Nanga Badau.
Disebelah selatan berbatasan dengan desa Raden Suara Kecamatan Nanga Badau dan
sebelah barat berbatasan dengan desa Pulau Majang kecamatan Nanga Badau. 1 Di
desa Badau mayoritas masyarakatnya adalah masyrakat dayak Iban, tetapi terdapat
juga masyarakat non-dayak Iban. Masyarakat non-dayak Iban seperti orang – orang
Melayu, Bugis, dan lain – lain.
Masyarakat desa Badau adalah masyarakat suku pedalaman yang
masyarakatnya tinggal di rumah – rumah panjang. Satu rumah panjang terdiri dari
beberapa kepala keluarga. Rumah panjang ini juga menjadi suatu penanda status
dalam suatu masyarakat. Semakin panjang rumah yang ditinggali, maka semakin
tinggi status yang dimiliki dalam masyarakat. Selain tinggal dirumah panjang,
masyarakat desa Badau juga merupakan suku yang masih kental akan adat –
istiadatnya. Tidak mengherankan apabila semua hal yang dilakukan oleh setiap
anggota masyarakat terdapat hukum – hukum adat yang mengatur. Salah satu
contohnya yaitu hukum adat dalam pemanfaatan hutan. sebagian besar wilayah desa
Badau adalah hutan. Hal ini dapat dilihat dari luas wilayah desa Badau yaitu sekitar
815,846 Ha, dengan pemanfaatan lahan sebagai perkebunan kelapa sawit seluas
350,678 Ha, sebagai ladang atau pertanian seluas 120,456 Ha, daerah hutan seluas
154,334 Ha, dan juga sebagai perumahan warga seluas 190, 367 Ha.2

1
Amin,”Nasionalisme Masyarakat Perbatasan : Studi Kasus di Desa Badau
Kabupaten Kapuas Hulu Propinsi Kalimantan Barat”, Skripsi-S1, Jurusan Sosiologi,
Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Agama Islam Negeri Sunan
Ampel Surabaya. hlm.56
2
Ibid.
Di Desa Badau, Kegiatan ekonomi mereka ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari – hari. Dengan cara pemanfaatan sumber daya alam
disekitarnya, seperti hutan. Hutan dimanfaatkan sebagai perkebunan masyarakat,
ladang berpindah, berburu, mengumpulkan makanan hasil hutan, dan juga jalan
‘ilegal’. Jalan ‘ilegal’ yang dimaksud disini adalah masyarakat desa Badau bebas
keluar masuk Malaysia atau daerah perbatasan antara Malaysia dan Indonesia melalui
jalan yang ada di hutan. Sehingga hutan sangat penting bagi masyarakat desa Badau.
Dari hutan inilah mereka menggantungkan hidup mereka.
Lahan hutan yang luas dan pemanfaatan hutan yang masih terbilang
seadanya atau hanya dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dan letaknya yang
berada diaerah perbatasan, hal ini menarik perusahaan - perusahaan swasta maupun
perusahaan negeri mencoba mencari keuntungan baru. Salah satu perusahaan tersebut
adalah Yayasan Maju Kerja (Yamaker).
Yayasan Maju Kerja (Yamaker) merupakan sebuah yayasan yang berada
dibawah ABRI. Pada tahun 1967 sampai 1999 PT Yamaker diberi hak konsesi HPH
(Hak Penguasaan Hutan) seluas 843.500 hektar di perbatasan Kalimantan Barat-
Serawak dan 260.000 hektar diperbatasan Kalimantan Timur-Serawak.3 Penguasaan
daerah perbatasan ini dimaksudkan sebagai suatu upaya mempertahankan wilayah
perbatasan Negara.
Penguasaan hutan daerah perbatasan oleh PT. Yamaker termasuk
didalamnya merupakan hutan di Desa Badau. Adanya penguasaan HPH (Hak
Penguasaan Hutan) dari PT Yamaker jelas berdampak pada berkurangnya lahan hutan
yang digunakan masyarakat desa Badau untuk pertanian dan juga kegiatan ekonomi
lainnya. Hal ini sangatlah berbeda dengan apa yang terjadi pada masyarakat di
Kabupaten Melawi. Di Kabupaten Melawi, masyarakatnya memilih beralih dari
ladang berpindah menjadi menetap. Perubahan tersebut terjadi sejak masuknya

3
K. Obidzinski, A. Andrianto, C. Wijaya, Penyelundupan kayu di Indonesia
masalah genting ataukah berlebihan ? : Sebuah Pembelajaran Pengaturan Hutan
dari Kalimantan, (Jakarta : Center for International Forestry Research), hlm.7
perusahaan kayu swasta PT. SBK di Kabupaten Melawi.4 Hal ini menjadikan sebuah
pertanyaan besar. Mengapa ini bisa berbeda. Baik masyarakat di Desa Badau maupun
yang ada di Kabupaten Melawi sama – sama merasakan dampak dari perusahaan
yang memiliki hak konsesi hutan, tetapi yang terjadi dalam di Kabupaten Melawi,
mereka merubah sistem pertanian mereka menjadi ladang menetap, tetapi yang terjadi
pada masyarakat di Desa Badau masih tetap menggunakan sistem ladang berpindah
hingga sekarang. Sehingga bagaimana perekonomian masyarakat di Desa Badau
dengan adanya hak konsesi hutan oleh PT. Yamaker. Oleh karena itu, menurut saya
ini merupakan suatu hal yang menarik untuk diteliti.
Pada tahun 1967 perusahaan PT Yamaker memiliki hak konsesi hutan di
Desa Badau. Perusahaan ini berada dibawah ABRI dengan tujuan sebagai upaya
mempertahankan daerah perbatasan. Adanya hak konsesi hutan oleh PT Yamaker ini,
lahan hutan yang digunakan untuk ladang berpindah oleh masyarakat desa Badau
semakin berkurang dan juga berdampak pada perekonomian masyarakat setempat.
Sehingga Bagaimana ekonomi masyarakat desa Badau saat itu dan bagaimana
caranya masyarakat desa Badau beradaptasi. Untuk mengetahui hal tersebut, maka
penelitian ini ada.
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui, antara lain :
1. Apa saja yang dilakukan masyarakat desa Badau dalam mengatasi
perubahan yang terjadi ?
2. Mengapa masyarakat dayak iban di Desa Badau tidak beralih dari
pertanian ladang berpindah menjadi pertanian ladang menetap ?
3. Perubahan apa saja yang terjadi pada masyarakat desa Badau dalam aspek
sosial ?

BAB II

4
http://www.kompasiana.com/alldie/ Mengubah Paradigma Perladangan
Berpindah ke Pertanian, diakses pada tgl 23 Maret 2016, Pukul 16.05 WIB
PERKEMBANGAN EKONOMI DESA BADAU TAHUN 1960-AN SAMPAI
1980-AN

Masyarakat Desa Badau merupakan suku asli dayak yang tinggal di


pedalaman. Kehidupan mereka sangatlah bergantung dengan alam khususnya hutan.
Hutan ini lah yang menjadi tempat mereka melakukan kegiatan ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari. Di hutan mereka dapat melakukan kegiatan
ladang berpindah, mengumpulkan makanan, berburu, berkebun dan mengumpulkan
hasil hutan untuk dimanfaatkan sebagai pemenuhan kebutuhan sehari – hari. Selain
itu, masyarakat Desa Badau merupakan masyarakat yang tinggal berkelompok.
Biasanya mereka tinggal di satu rumah yang disebut rumah panjang. Didalam rumah
panjang ini terdapat beberapa kepala keluarga. Hal ini mempermudah dalam
pembagian tanah untuk berladang berpindah.

Ladang berpindah merupakan kegiatan utama yang dilakukan oleh masyarakat


Desa Badau. Karena berladang merupakan suatu kegiatan yang lebih penting dari
pada kegiatan ekonomi sentral dalam kehidupan masyarakat Desa Badau.
Perladangan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Badau adalah ladang berpindah.
Hal ini dilakukan karena sudah menjadi tradisi nenek moyang Desa Badau yang telah
diturunkan secara turun temurun. Selain merupakan suatu adat istiadat, ladang
berpindah ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan alam yaitu hutan. Karena
untuk melakukan berladang secara berpindah ini, masyarakat Desa Badau harus
membuka hutan untuk dijadikan sebagai lahan berladang. Setiap tahunnya, kira – kira
ada 2 (dua) hektar tanah atau luas hutan yang dibuka untuk berladang.5 Setelah
membukanya, tanah ini akan dibagikan ke setiap kepala keluarga dengan cara adat –
istiadat yang sampapi sekarang masih dilakukan.

5
Michael R. Dove, Sistem Perladangan di Indonesia;Suatu Studi-Kasus dari
Kalimantan Barat, (Yogyakarta : UGM PRESS), hlm. 7
Setelah membuka hutan dan membaginya, tanah tersebut akan ditatanami padi
selama setahun. Dalam setahun, biasanya tanaman padi itu panen sebanyak 2 (dua)
kali dalam setahun. Tanah ini akan ditanami padi terus menerus hingga kurun waktu
10-15 tahun.6 Setelah melewati kurun waktu tersebut, masyarakat Desa Badau akan
membuka hutan untuk lahan baru untuk berladang. Hal ini terus dilakukan dalam
waktu lama, sampai pada akhirnya mereka akan kembali pada lahan pertama yang
mereka buka untuk pertama kali. Hal ini dilakukan untuk menjada ekosistem hutan
atau agar tidak adanya kerusakan hutan. Selain itu, karena tanah di Kalimantan tidak
sesubur tanah yang ada di Jawa, sehingga sangat sulit untuk menanam padi seperti di
Jawa. Sehingga untuk memperoleh hasil yang lebih bagus, sistem berladang
berpindah inilah yang paling tempat untuk bertani di Kalimantan. Sistem ladang
berpindah ini juga sudah diakukan sejak dulu, maka masyarakat Desa Badau tidak
mau berubah menjadi sistem pertanian yang menetap.

Masyarakat Desa Badau merupakan masyarakat yang melakukan kegiatan


ekonomi hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari – hari. Bisa
dikatakan bahwa masyarakat Desa Badau itu tidak terlalu mengenal uang atau
peredaran uang di dalam masyarakat masihlah sedikit. Hal ini didukung dengan
kehidupan mereka yang dapat dipenuhi dari hasil hutan. Dari hutan mereka
mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Seperti, mereka ingin membangun rumah
dan memerlukan kayu, kayu dapat diperoleh dari hutan atau mereka ingin daging,
mereka dapat berburu hutan dan mendapatkan hewan. Semua itu dapat dipenuhi
dengan adanya hutan. Tetapi dalam pandangan kita, dengan membandingkan
masyarakat dayak yang tinggal dipedalaman dengan kita yang tinggal diperkotaan,
mereka sangatlah tertinggal jauh. Mereka sangatlah miskin. Oleh karena itu, melihat
adanya lahan hutan yang luas pemerintah pusat mulai melirik untuk melakukan
pemanfaatan hutan yang lebih baik. Sehingga harapan akhirnnya dapat memajukan
masyarakat dayak yang tinggal dipedalaman.

6
Syarif Ibrahim Alqadrie, Mesianisme dalam Masyarakat Dayak di
Kalimantan Barat.
Pada tahun 1967, PT. Yamaker (Yayasan Maju Kerja) memperoleh hak
konsesi hutan atas hutan yang ada di daerah perbatasan Malaysia dengan Indonesia
(Kalimantan barat dan Kalimantan timur ). Di Kalimantan barat, desa Badau
hutannya termasuk didalam hak konsesi hutan yang diberikan oleh pemerintah pusat
pada PT. Yamaker. Sehingga kegiatan masyarakat Desa Badau terganggu. Khususnya
kegiatan berladang berpindah. Dengan adanya hak konsesi hutan ini mengakibatkan
hutan yang mulanya dimiliki oleh masyarakat setempat dengan penandaan secara
alami menjadi hutan yang dikuasai oleh perusahaan – perusahaan yang berdatangan.
Hal ini mempengaruhi pendapatan masyarakat petani di desa Badau yang menurun
sejak beroperasinya hak konsesi hutan oleh PT. Yamaker sebesar 33,3% dari
penghasilan sebelumnya.

Dari jumlah prosentasi diatas, ternyata 20% penghasilan yang berkurang itu
berasal dari subsektor kehutanan, sedangkan 13,3% sisanya berasal dari subsektor
pertanian ladang dan subsektor perkebunan yang ditanam disekitar hutan.7 Tingginya
prosentase subsektor kehutanan yang mengurangi penghasilan petani Desa Badau
merupakan akibat dari berkurangnya areal hutan dalam jumlah yang cukup luas
sebagai akibat dari larangan untuk memanfaatkan hutan. Hal ini didukung adanya
anggapan bahwa sistem ladang berpindah yang dilakukan oleh masyarakat Desa
Badau itu merupakan perusakan hutan. tetapi yang sebenarnya itu tidaklah benar.
Karena sebenarnya apa yang dilakukan oleh perusahaan – perusahaan kayu swasta
yang berkerjasma dengan PT yang memilik hak konsesi hutan inilah yang melakukan
perusakan hutan. Mereka melakukan penebangan pohon – pohon hutan secara besar.
Walaupun mereka melakukan reboisasi, tetapi pohon tidak cepat tumbuh dalam
waktu yang cepat. Sehingga hal ini tidak berbanding seimbang antara waktu
penebangan pohon dihutan yang besar jumlahnya dengan tumbuhnya kembali pohon
– pohon hutan yang baru ditanam. Sehingga hal ini sangatlah merugikan bagi
masyarakat Desa Badau dan masyarakat indonesia secara keseluruhannya dimasa
mendatang. Memang pada tahun 1970-an ini pengelolaan hutan ini sangat

7
Ibid.
menguntungkan bagi devisa Negara. Pendapatan pemerintah dari sektor kehutanan
berkembang 6 juta us dollar tahun 1966 dan bertambah menjadi 564 juta US dollar
tahun 1974. Tahun 1979, indonesia sebagai penghasilan kayu tropis terbesar, dengan
41% sahamnya dari (2,1 Milliar Us Dollar seluruh pasar global )mewakili ekspor
yang lebih besar daari gabungan Afrika, Amerika latin. Walaupun ini sangat
menguntungkan bagi sumber devisa Negara tetapi bagi masyarakat desa Badau itu
tidak berpengaruh. Mereka merasa semakin tersulitkan. Sehingga sampai sekarang
mereka tidak mengalami perubahan yang lebih baik.

Selain berdampak pada kehidupan ekonomi masyarakat Desa Badau, ini juga
berdampak pada kehidupan sosial masyarakat. Dengan adanya PT. Yamaker di desa
Badau ini mengakibatkan terciptanya suatu lapangan kerja baru yang jelas berbeda
dengan kegiatan sehari – hari masyarakat Desa Badau. Dengan adanya lapangan kerja
baru ini mengkibatkan adanya migrasi yang terjadi dikalimantan. Hal ini juga
didukung oleh pemerintah pusat. Sehingga banyak orang – orang diluar orang dayak
mulai berdatangan di tempat mereka dengan budaya yang berbeda. Dengan
bertemunya dua budaya yang berbeda ini mengakibatkan suatu bentrokkan dalam
masyarakat tersebut. Kedua kebudayaan yang berbeda ini saing tarik menarik.
Sehingga pada waktu selanjutnya kedua budaya ini akan mengakibatkan suatu konflik
dalam masyarakat.

Selain itu, dengan adanya PT. Yamaker ini mengakibatkan masyarakat desa
Badau yang dulunya belum mengenal uang. Sehingga seperti yang kita tahu saat ini,
bahwa peredaraan uang di masyarakat desa Badau dapat kita temukan. Hal ini juga
menjadi salah satu dampak bahwa, dengan adanya PT. Yamaker di Desa Badau
mengakibatkan sistem ladang berpindah terganggu karena kurangnya lahan untuk
berladang. Perkebunan yang mereka miliki yang ada di hutan juga tidak dapat
diperoleh hasilnya. Sehingga mereka harus mencari alternatif lain untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Salah satunya adalah jual beli. Dengan ini masyarakat Desa mulai
mengenal ekonomi sentral.
Dengan adanya perubahan ini tidaklah selamanya salah maupun benar.
Karena disatu sisi, ini merupakan suatu perubahan yang bagus,yang mana masyarakat
Desa Badau tidak selamanya bisa bergantung dengan alam. Tetapi, disisi yang lain ini
menjadi suatu yang cukup menyulitkan bagi masyarakat desa Badau. Karena mereka
harus beradaptasi dengan sistem ekonomi yang baru yaitu ekonomi liberal. Apabila
Masyarakat Desa Badau tidak dapat beradaptasi, maka jalan yang kita sebut sebagai
jalan alternative hanya akan menjadikan masyarakat desa Badau semakin miskin. Hal
ini diperparah dengan keadaan mereka yang berada di daerah perbatasan. Daerah
perbatasan merupakan daerah yang rawan konflik.

Akan tetapi, PT. Yamaker tidak selamanya berdampak buruk. Hal ini bisa
menjadi suatu keuntungan tersendiri bagi masyarakat Desa Badau. Seperti yang kita
tahu, bahwa desa Badau adalah daerah perbatasan. Maka akan sangat mungkin daerah
perbatasan ini menjadi pintu utama kedua Negara sebagai jalur utama perdagangan.
Salah satunya adalah perdagangan kayu illegal. Ini sangatlah merugikan masyarakat
Desa Badau dan juga pemerintahan Indonesia. Untuk mencegah hal itu, PT. Yamaker
sangatlah tetap apabila memiliki hak konsesi hutan yang dapat mengawasi daerah
hutan diperbatasan, penebangan liar, dan juga perdagangan kayu illegal yang
dilakukan lintas perbatasan,

BAB III

KESIMPULAN
Masyarakat Desa Badau merupakan suku dayak pedalaman. Sumber ekonomi
mereka adalah ladang berpindah, berburu, dan mengumpulkan makanan dari hutan.
sehingga hutan sangan penting bagi mereka. Sejak tahun 1967, PT. Yamaker
memiliki hak konsesi hutan terhadap hutan didaerah perbatasan yaitu perbatasan
Malaysia dengan Indonesia ( Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur ). Dengan
adanya hak konsesi ini berakibat pada berkurangnya lahan yang diggunakan
masyarakat dayak iban untuk berladang secara berpindah. Sehingga hal ini berakibat
juga pada penurunannya pendapatan mereka. Selain itu, dengan adanya perusahaan
PT. Yamaker ini berakibat juga adanya migrasi orang – orang yang diluar dayak
untuk berkerja dan menetap. Sehingga ini mengakibatkan suatu berturan budaya di
masyarakat.

Menghadapi perubahan – perubahan tersebut masyarakat Desa Badau


memiliki cara alternatif lainnya, seperti berjualan. Sehingga hal ini berdampak pada
semakin banyaknya peredaran uang didalam masyarakat Desa Badau. Dengan
semakin banyaknya peredaran uang dalam masyarakat desa Badau, maka mulailah
bermunculan bank – bank pengkreditan rakyat di desa Badau. Selain itu, muncul juga
usaha – usaha lainnya yang dilakukan oleh masyarakat desa Badau. Hal ini didukung
dengan letak desa Badau yang bereda di daerah perbatasan, sehingga ekonomi liberal
semakin berkembang pesat. Yang dulunya masyarakat dulunya bergantung dengan
alam sekarang memulai untuk mencoba suatu usaha yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari – hari dan juga dapat melakukan invertasi masa depan.

Walaupun secara ekonomi masyarakat desa Badau mulai adanya perubahan


dari masyarakat yang bergantung pada alam menjadi masyarakat ekonomi liberal ini
tidak selamanya berlangsung baik. Karena ini suatu sistem yang baru, maka banyak
masyarakat merasa gagal dalam proses ini, sehingga banyak Masyarakat Desa Badau
mengalami kemiskinan. Hal ini mengakibatkan mereka untuk tidak hanya bergantung
dengan pemerintaha daerah ( indonesia ) karena tempat yang dituju lebih jauh dari
pada mereka pergi ke serawak (Malaysia). Hal ini dapat juga dilihat bahwa didalam
masyarakat Desa Badau sendiri terdapat banyak peredaran uang ringgit. Ini
menunjukkan bahwa mereka ( masyarakat desa Badau ) juga sangat bergantung pada
pemerintahan Malaysia.

Sehingga dengan adanya hubungan kedua Negara ini melalui masyarakat desa
Badau, pemerintah Indonesia dengan Malaysia sepakat bahwa masyarakat desa badau
tidak perlu perizinan untuk keluar masuk daerah perbatasan. Hal ini juga berlaku
sebaliknya. Dengan adanya kelonggaran tersebut, maka PT. Yamaker ini menjadi
suatu keuntungan sendiri untuk mengawasi proses yang terjadi. Sehingga pada
akhirnya nanti tidak aka nada pihak yang merasa dirugikan oleh satu sama lainnya.

Walaupun sekarang masyarakat desa Badau telah mengenal uang atau


ekonomi liberal, mereka tetap tidak melupakan ladang berpindah mereka. Karena
bagi mereka ladang berpindah tidak hanya sautu kegiatan untuk memenuhi kebutuhan
hidup saja, tetapi ini merupakan suatu adat – istiadat yang telah diturunkan secara
turun temurun oleh nenek moyang mereka sejak dulu. Walaupun mereka sekarang
harus kekurangan lahan untuk berladang, mereka tetap saja mempertahankan sistem
ladang berpindah tersebut sampai sekarang. Selain ladang berpindah merupakan sautu
adat – istiadat, hal ini tetap dipertahakan karena sistem pertanahan di desa Badau
tidak sesubur tanah – tanah yang ada di desa – desa jawa. Sehingga untuk
memperoleh hasil padi yang bagus, mereka tetap harus bertani dengan ladang
berpindah. Tidak bisa dengan bertani ladang menetap. Karena kalau dilakukan itu (
ladang menetap) padi yang dihasilkan tidak banyak dan juga apabila dikonsumsi pada
nantinya rasanya tidak seenak saat bertani dengan ladang berpindah. Untuk itu
masyarakat desa Badau terus mempertahankan sistem bertani ladang berpindah.

DAFTAR PUSTAKA

Amin,”Nasionalisme Masyarakat Perbatasan : Studi Kasus di Desa Badau Kabupaten


Kapuas Hulu Propinsi Kalimantan Barat”, Skripsi-S1, Jurusan Sosiologi,
Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Agama Islam Negeri
Sunan Ampel Surabaya.

Cleary, Mark., and Peter Eaton. BORNEO : Change and Development. London :
Oxford University Press. 1992.

Dove, Michael R., The Banana Tree at The Gate : A History of Marginal Peoples and
Global Market in Borneo. London : Yale University Press. 2011.

Hassanudin. Pontianak Masa Kolonial. Yogyakarta : Ombak. 2014.

Hidayat, Herman. Politik Lingkungan : Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan
Reformasi. Jakarta : Obor. 2009.

Hermansyah. Ilmu Gaib di Kalimantan Barat. Jakarta : Gramedia. 2010.

King, Victor T., Some Aspects of Iban-Maloh Contact in West Kalimantan, dalam
Jurnal Indonesia, No. 21 (Apr., 1976), pp. 85-114

Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah edisi kedua. Yogyakarta : Tiara Wacana. 2003.

Maunati, Yekti. Identitas Dayak : Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta


: LKIS. 2004

Nuraini, Hanna Titis. “Kearifan Lokal Masyarakat Suku Dayak Iban dalam
Pengelolaan Sumber Daya Hutan di Dusun Sungai Utik, Kecamatan Emboloh
Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat”. Skripsi S-1. Jurusan
Kehutanan. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 2015.

Obidzinski, K., A. Andrianto, dan C. Wijaya. Penyelundupan kayu di Indonesia


masalah genting ataukah berlebihan ? : Sebuah Pembelajaran Pengaturan
Hutan dari Kalimanta. Jakarta : Center for International Forestry Research.
2006.

Profil Kependudukan Propinsi Kalimantan Barat. Jakarta : Badan Pusat Statistik.

Sadli, Mohammad. Mencari Bentuk Ekonomi Indonesia : Perkembangan Pemikiran


1965 -1981. Jakarta : Gramedia. 1981.

Samego, Indria. Bila ABRI Berbinis. Bandung : Mizan Pustaka. 1998.

Santoso, dan Herlan Artono. Konflik Etnis di Kalimantan Barat. Jakarta : Institut
Arus Informasi. 1998..
Semedi, Pujo. dan II. Yuwono. “Perubahan Agro-Ekosistem di Kalimantan Barat”.
Laporan Penelitian. Jurusan Antropologi. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta. 1993.

Suan, T.T., dan Kusni Sulang. Budaya Dayak : Permasalahan dan Alternatifnya.
Malang : Bayumedia. 2011.

Wadley, L. Reed, Colfer Piere, et al. Hunting Primates and Managing Forests : The
Case of Iban Forest Farmers in Indonesia Borneo, dalam Journal Human
Ecology, Vol. 25, No. 2 (Jun., 1997), pp. 243-271.

Yasmi, Yursi., Gusti Z. Anshari, Syarief Alqadrie, dkk. Kompleksitas Pengelolaan


Sumberdaya Hutan di Era Otonomi Daerah : Studi Kasus di Kabupaten
Sintang, Kalimantan Barat. Bogor : Center for International Forestry
Research. 2005.

http://www.kompasiana.com/elda.unitri/interaksi-simbolik-suku-dayak-iban-yang
dianggap-suku-penuh-magic pada Sabtu, 19 Maret 2016 Pukul 19.17 WIB

Anda mungkin juga menyukai