Anda di halaman 1dari 8

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/311300439

MEMBACA NOVEL BUMI MANUSIA KARYA


PRAMOEDYA ANANTA TOER DENGAN
POSKOLONIAL...

Article · December 2016

CITATIONS READS

0 622

1 author:

Nabilah Rosyadah
University of Indonesia
22 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Representasi 1998 dalam Film Di Balik 98, Merry Riana, dan Istirahatlah Kata-Kata View project

All content following this page was uploaded by Nabilah Rosyadah on 02 December 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Nama : Nabilah Rosyadah
Nim : 1606848566
Mata Kuliah : Teori Sastra Kelas B
Dosen : Mina Elfira, M.A., Ph.D.

MEMBACA NOVEL BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA NOER


DENGAN POSKOLONIAL : ORIENTALISME, MARJINALITAS, DAN MIMIKRI.

Orang Eropa menganggap Timur sebagai barang temuan mereka1, memandang Timur
berdasarkan tradisi yang disebut Orientalisme, ​suatu cara untuk memahami dunia Timur yang
didasarkan pada keeksotisannya di mata ​ orang Eropa2 yang berujung pada gaya Barat
mendominasi, menata ulang, dan menetapkan kekuasaan mereka terhadap dunia Timur3​.
Bangsa Barat yang melakukan penjelajahan ke Timur lantas datang dan melakukan
kolonialisme, menjajah Timur. Contohnya adalah bangsa Belanda di Indonesia
(Hindia-Belanda) pada 1800-1942 yang disebut dengan masa kolonial Belanda.
Dalam Orientalisme yang menjadi tonggak lahirnya teori poskolonial, Said memberi
pesan pada pembaca dunia ketiga, negara-negara yang pernah terjajah supaya memiliki
kesadaran dalam melihat keadilan dan kesetaraan, serta mengerti kekuatan wacana budaya
Barat4.
Menggunakan Orientalisme dan konsep Homi Bhabha dalam teori poskolonial, maka
novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Noer yang berlatar kolonial Belanda dan
ditulis dari sudut pandang penulis yang merupakan orang Timur, dari bangsa yang pernah

dijajah Barat (Belanda) ​dibaca.

Ringkasan Cerita Bumi Manusia


Minke adalah seorang pribumi yang bersekolah di H.B.S., berdarah priyayi. Suatu
hari, ia diajak oleh teman sekolahnya, Robert Suurhof ke rumah ​Robert Mellema​, seorang
Indo –anak orang Belanda bernama ​Herman Mellema ​dan gundiknya, ​Nyai Ontosoroh​. Di

1
Said, W. Edward. Orientalisme : Introduction, 1978, hal. 1.
2
Id, hal.2.
3
Id, hal.4.
4
id, hal.37.
1

kediaman Robert Mellema, ​Boerderij Buitenzorg, Minke bertemu ​Annelies Mellema​,
seorang gadis Indo dan Nyai Ontosoroh. Dengan cepat, Minke menjadi bagian dari kisah
hidup Annelies dan Nyai Ontosoroh. Annelies jatuh hati pada Minke, pun sebaliknya. Nyai
Ontosoroh pun mendukung hubungan keduanya. Sayangnya, kematian tuan Herman Mellema
membuat Annelies dan Minke yang menikah berada di ujung tanduk karena pernikahan
pribumi dan Indo tidak dibenarkan di hukum Belanda, Annelies pun dibawa ke Belanda.

Analisis Orientalisme Belanda Terhadap Pribumi


Pada masa kolonial Belanda di Hindia Belanda, tingkat sosial dibagi menjadi tiga
yaitu: orang Eropa, asing (Arab, Cina, dsb) dan yang terendah adalah pribumi. Tingkat sosial
tersebut bisa dilihat dalam novel Bumi Manusia, pada perkataan yang dilontarkan oleh
seorang Belanda, ​Herman Mellema​ kepada ​Minke​, si pribumi.

“Kowe kira, kalo sudah pake pakean Eropa, bersama orang Eropa, bisa sedikit bicara Belanda
lantas jadi Eropa? Tetap monyet!” (hal.64)

Minke yang menemani temannya, Robert Suurhof ke rumah Robert Mellema dan
berkenalan dengan Annelies serta Nyai Ontosoroh, diundang untuk makan malam di
kediaman Mellema. Di tengah menikmati makan malam, Herman Mellema datang dan
dengan sinis mengomentari Minke yang berusaha tampil seperti Eropa sebagai ​monyet,
setara dengan hewan pemakan pisang. Hal ini menyiratkan kalau orang Eropa (Barat)
menganggap dirinya lebih tinggi dan beradab dibanding Pribumi (Timur). Bahkan, anak
keturunan Belanda dan Pribumi pun menganggap pribumi sebagai bawahan. Dalam Bumi
Manusia, tokoh Robert Mellema, anak campuran Belanda dan gundik sangat mengagungkan
Eropa, dia membenci Ibunya yang seorang pribumi.

“.... Bagi dia (Robert Mellema) tak ada yang lebih agung daripada jadi orang Eropa dan
semua Pribumi harus tunduk padanya….” (Nyai Ontosoroh, hal.97)

Di contoh lain yang digambarkan dalam Bumi Manusia adalah anggapan kalau
Pribumi (Timur) identik dengan kasar, tidak beradab, dan tidak sopan apabila dibandingkan
dengan Eropa (Barat) dan peradabannya yang dianggap ‘tinggi’ seperti yang di dialog Dokter

2
Martinet (dokter keluarga Mellema yang tengah mengobati Annelies yang jatuh sakit) dan
Minke.

“Tak boleh ada kata keras, kasar, mengecewakan. [...]...Terutama ini kukatakan karena ​pria
Pribumi belum terbiasa memperlakukan wanita dengan lemah-lembut dan sopan,
ramah dan tulus​. Setidak-tidaknya begitu yang dapat kuketahui, kudengar, juga kubaca.
Tuan telah mempelajari adab Eropa selama ini, tentu Tuan tahu perbedaan antara sikap pria
Eropa dan pria Pribumi terhadap wanita. Kalau Tuan sama dengan pria Jawa pada umumnya,
anak ini takkan berumur panjang.” (Dokter Martinet, hal.301)

Said dalam Orientalisme menyebutkan bahwa Barat dan Timur memiliki sejarah,
pemikiran, kosakata, dan citranya sendiri. Bagi Timur, proses tersebut membuat Timur ‘ada
secara eksotik’ ​di dan ​bagi Barat. Sebaliknya, hal ini menciptakan ‘ada secara dominan’ ​di
dan ​bagi Timur5. Dalam novel Bumi Manusia, anggapan bahwa Barat lebih dominan dan
tinggi derajatnya, ​diakui oleh pribumi (Timur) diperlihatkan dalam adegan ketika Herman
Mellema ditemukan tewas di rumah bordil Babah Ah Tjong dan anggota keluarga Mellema
beserta Minke terlibat dalam pengadilan untuk mengusut kematian Herman 6. Nyai Ontosoroh
skeptis kalau mereka (Pribumi) bisa memenangkan pengadilan dan menyeret Babah Ah
Tjong yang tingkat sosialnya lebih tinggi (Cina) ke meja hijau. Terlebih jika berurusan
dengan orang Eropa (anak dari istri resmi Herman Mellema) dalam urusan harta waris.

“... Bagi mereka Pribumi mesti salah, orang Eropa harus bersih, jadi pribumi pun sudah salah.
Dilahirkan sebagai Pribumi lebih salah lagi.” (Nyai Ontosoroh, hal.413)

Analisis Marjinalitas Akibat Dominasi


Dominasi Barat di Hindia-Belanda tidak hanya menghasilkan tingkat sosial dalam tiga
golongan saja (Eropa-Asing-Pribumi), melainkan di kalangan pribumi (Jawa tradisional) pun
ada tingkat sosial (priyayi, ​wong cilik)7. Disebutkan di beberapa bagian Bumi Manusia

5
Id, hal.6.
6
Noer, Pramoedya Ananta. ​Bumi Manusia, Lentera Dipantara, 2005, hal. 401-418.
7
Suratno, Pardi. ​Masyarakat Jawa & Budaya Barat : Kajian Sastra Jawa Masa Kolonial. 2013, hal​. 5.
3
tentang pandangan masyarakat terhadap gundik/nyai dan orang Jawa yang berpendidikan
Belanda terhadap Jawa.

1. Marjinalitas Perempuan (Nyai)


Tokoh Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai sosok yang cerdas. Tetapi, dalam
masyarakat, istilah Nyai mengacu pada perempuan yang tidak beradab seperti yang
ditunjukkan pada dialog hal.75:

“.... tingkat susila keluarga nyai-nyai rendah, jorok, tanpa kebudayaan, perhatiannya hanya
pada soal-soal berahi semata. Mereka hanya keluarga pelacur, manusia tanpa pribadi,
dikodratkan akan tenggelam dalam ketiadaan tanpa bekas.” (hal.75)

Padahal bukan kehendak Nyai Ontosoroh menjadi Nyai. Dia adalah perempuan yang
dijual oleh orang tuanya kepada Herman Mellema, seseorang yang memiliki istri dan anak
resmi di negeri Belanda. Meski begitu, Nyai Ontosoroh tumbuh dengan didikan Eropa oleh
Herman Mellema dan mampu menjadi perempuan yang menjalankan perusahaan Herman
Mellema8. Dalam marjinalitas Nyai, ketika dirunut ke masa Nyai Ontosoroh ​dijual oleh orang
tuanya ke orang Belanda, hal ini menunjukkan bahwa seorang perempuan bisa dengan mudah
diserahkan demi materi (uang), bahkan oleh orang tua sendiri. Ada kuasa ayah dan anak
perempuan, serta kuasa Belanda- Pribumi.

2. Marjinalitas Jawa/Pribumi
“Apa Mas lebih suka kalau aku bicara Jawa?”
Tidak, aku tak hendak menganiayanya dengan bahasa yang memaksa ia menaruh diri pada
kedudukan sosial dalam tatahidup Jawa yang pelik itu.
“Belanda sajalah,” kataku. (Annelies dan Minke, hal.94)

Sewaktu tokoh Minke dan Annelies -Jawa dan Indo- bertemu dan Minke memutuskan
untuk berbicara dalam bahasa Belanda meskipun lawan bicaranya bisa berbahasa Jawa
menunjukkan bahwa Minke memiliki pemikiran bahwa Jawa ​pelik dan ​tidak diprioritaskan
dibanding Belanda. Pemilihan bahasa Belanda ketika berbicara dengan seorang Indo, ada dua

8
Noer, Op.Cit.,135.
4
kemungkinan yaitu: 1. Minke merasa seorang Indo tidak ​pantas bicara Jawa karena hal itu
bisa merendahkan si Indo yang berkedudukan sosial lebih tinggi. 2. Bahasa Jawa dianggap
lebih rendah dibanding bahasa Belanda dalam pemikiran Minke.
Selain bahasa Jawa, tokoh Minke juga terlihat ​tidak suka atau ​menolak adat Jawa. Dia
merasa kalau adat menyembah seorang raja (bupati), merangkak, atau merendahkan diri
adalah hal yang ​tidak pantas karena berbeda dari ilmu dan cara bergaul yang didapatnya dari
sekolah H.B.S9. Meski begitu, Minke tetap menjalankan adat Jawa yang diwariskan oleh
leluhurnya.

Apa guna belajar ilmu dan pengetahuan Eropa, bergaul dengan orang-orang Eropa, kalau
akhirnya toh harus merangkak, beringsut seperti keong dan menyembah seorang raja kecil
yang barangkali butahuruf pula? (Minke, hal.179)

Analisis Mimikri Budaya Belanda oleh Pribumi

Homi Bhabha berbicara soal mimikri atau peniruan sebagai salah satu dampak
kolonial di teori poskolonial. Mimikri merupakan reproduksi bintik-bintik di lingkungan
kolonial dan subyektivitas Eropa yang ‘tercemar’, tergusur dari asal-usulnya dan
dikonfigurasi ulang dalam kepekaan dan kecemasan kolonialisme10 . Contoh mimikri yang
ditemukan dalam novel Bumi Manusia adalah sebagai berikut:

“Jadi kau berani memuji-muji kecantikan gadis Eropa di hadapan orangnya sendiri?”
“Ya, Mama, guru kami mengajarkan adab Eropa.” (Nyai Ontosoroh dan Minke, hal.39)

Dialog antara Nyai Ontosoroh dan Minke dipicu karena Minke memuji kecantikan
Annelies. Sikap memuji secara langsung merupakan sesuatu yang tidak biasa dalam adat
pribumi pada waktu itu, melainkan merupakan ajaran adab Eropa yang dipraktikkan oleh
Minke (ada peniruan adab Eropa oleh pribumi). Di sisi lain, terdapat adegan peniruan cara

9
​Hogere Burger School (HBS), sekolah lanjutan yang setara dengan sekolah di Belanda.
Suratno,Op.Cit​, 34​.
10
Foulcher, K & Day, Tony. Dissolving into the elsewhere Mimicry and Ambivalence in Marah Roesli’s
‘Sitti Noerbaja’, Leiden, 2002, hal.85.
5
makan dan selera musik oleh Nyai Ontosoroh. Nyai Ontosoroh dididik secara Eropa oleh
suaminya, Tuan Herman Mellema dan hal itu memengaruhi kebiasaannya sehari-hari.

Nyai makan tenang-tenang seperti wanita Eropa tulen lulusan ​boarding school Inggris.
(hal.41)
Kami (Minke, Annelies, dan Nyai Ontosoroh) melewatkan malam itu dengan mendengarkan
waltz Austria dari phonograf. (hal.102)

Suratno (2013) menyebut peniruan budaya Eropa merupakan sebuah keharusan dalam
pembentukan pribadi-pribadi pribumi modern dan dilihat sebagai kehendak atau tuntutan
zaman. Apabila dihubungkan dengan sikap Minke dan budaya Jawa yang ia tentangkan,
maka terlihat kalau ada penilaian dari orang yang mengikuti budaya modern alias Eropa
sebagai kelompok yang telah maju dan modern sementara budaya Jawa itu tradisional dan
tertinggal11 .

Kesimpulan
Hasil dari pembacaan Bumi Manusia dengan teori poskolonial mendapatkan adanya
orientalisme, marjinalitas perempuan dan Jawa, serta ​peniruan (mimikri) terhadap
budaya Barat pada teks. Ketiganya memiliki satu benang merah yaitu adanya pandangan
Barat sebagai superior dan Timur adalah inferior12, bahwa kaum yang terjajah menganggap
tinggi sang penjajah serta sebaliknya. Kolonialisme lantas membawa konsep peradaban
modern yang meninggikan Barat, memandang Timur sebagai ​kurang beradab dan akhirnya
mereka ingin agar Timur berabad dengan salah satu caranya: pendidikan (tokoh Minke).
Minke yang berpendidikan H.B.S. menganggap Eropa lebih baik dibanding budaya Jawa, dia
pun melakukan mimikri dalam cara berpakaian dan bicara, serta memarjinalitaskan Jawa. Hal
tersebut berarti kolonialisme mengubah pola pikir dan tingkah laku masyarakat -terutama
pribumi yang bersinggungan dengan Belanda (dicerminkan lewat Minke dan Nyai
Ontosoroh).

11
Suratno. Op.Cit, hal.222.
12
Said (1996:3) dalam Suratno, Op.Cit, hal.1.
6
View publication stats

Referensi
Foulcher, K & Day, Tony. (2002). Dissolving into the elsewhere Mimicry and Ambivalence in
Marah Roesli’s ‘Sitti Noerbaja’. ​Clearing A Space : Postcolonial Readings of Modern
Indonesian Literature. Leiden : KITLV Press.
​ umi Manusia. Jakarta Timur : Lentera Dipantara.
Noer, Pramoedya Ananta. (2005). B
Said, Edward. (1978). ​Orientalism. London: Routledge.
Suratno, Pardi. (2013). ​Masyarakat Jawa & Budaya Barat : Kajian Sastra Jawa Masa
Kolonial. Yogyakarta : Adi Wacana.

Anda mungkin juga menyukai