Anda di halaman 1dari 7

Revolusi Segumpal Darah

Oleh : Anas Mawardi

S atu masa Antonio Gramsci pernah menulis bahwa,

“langkah pertama dalam memerdekakan diri sendiri dari


perbudakan sosial dan politik adalah dengan membebaskan
pikiran. Masalah pendidikan adalah masalah kelas yang
paling utama1. Dalam teks klasiknya yang terkenal, Dari
Mana Kita Mulai? Lenin juga menulis sebagai berikut,
“…titik tolak dari aktivitas kita… yang memungkinkan kita
membangun, memperkuat, dan memperluas organisasi,
adalah membentuk sebuah koran politik yang menjangkau
2
seluruh Rusia...”. Disini, Kita punya dua kata kunci: pendidikan dan koran.

Mengapa ‘pendidikan’ dan ‘membaca koran’ penting bagi gerakan sosial manapun –tak peduli
apapun bentuk organisasi dan gerakannya? Sampai, membentuk koran berarti menyuruh kader
rajin membaca, menulis, dan mendidik rakyat. Ikhwanul Muslimin mungkin bukan organisasi
kiri, tapi mereka tahu betul betapa pentingnya koran. Imam Syahid Hasan Al-Banna
menggerakkan majalah mingguan Al-Ikhwanul Muslimun, yang terbit selama kira-kira 6 tahun.
Menyusul kemudian majalah An-Nadzir dan Ash-Shihab pada tahun 1938. Sampai Al-Banna
meninggal, Ikhwan punya tradisi memaparkan pandangan-pandangannya, dari soal agama dalam
hidup sehari-hari hingga politik. Bahkan hingga sebelum presiden sah konstitusional Muhammad
Mursiy terkonspirasi lalu jatuh di pertengahan tahun 2013, Ikhwan masih menerbitkan koran
kepada kader-kadernya, dan menyampaikan gagasan-gagasan mereka lewat media elektronik dan
cetak.

Namun, hari ini bukan tahun 1930 ketika debat-debat gerakan berlangsung di koran dan media-
media cetak. Hari ini, kita menghadapi banyak sekali praktik-praktik ‘kebodohan’ dan ‘anti-
intelektual’ yang ditradisikan secara massif, banyak di antaranya yang berlangsung di bawah
todongan senjata. Beberapa mungkin perlu disebut –pembakaran buku, pengkondisian khotbah di
mimbar-mimbar masjid, penggrebekan penerbit hanya karena dianggap ‘kiri’ atau
‘radikal/ekstremis’. Praktik lain yang mencuat di Eropa adalah Islamophobia –perilaku ‘rasis’
yang sangat sempit dalam memahami Islam, seakan-akan keduanya adalah dua hal yang berbeda.
Kedua hal tersebut adalah satu dari sisi mata uang, yang bermuara pada minimnya tradisi literasi
di alam modern saat ini.

Bagaimana nalar kritis seorang Muslim yang hidup di abad ke-21 menjawab masalah ini? Di sini,

1
Kutipan lengkapnya berbunyi, “In our opinion, the starting-point of our activities, the first step
towards creating the desired organisation, or, let us say, the main thread which, if followed, would
enable us steadily to develop, deepen, and extend that organisation, should be the founding of an
All-Russian political newspaper…” Lihat V. Ilyich Lenin. “Where to Begin”[1901] in.” Collected
Works 5: 13-24.

2
Christian Fuchs dan Sebastian Sevignani, Mengenal Perbedaan Kerja-teralienasi Digital (Digital
Labour) dan Kerja-Umum Digital (Digital Work). Left-Journal, 2018.
saya ingin memberikan sebuah alternatif landasan gerak dari tradisi literasi dalam Islam, yaitu
Revolusi Al-Alaq –lima ayat pertama Surah Al-Alaq. Saya ingin membangun argumen bahwa
Revolusi Al-Alaq, yang dibangun melalui ‘trilogi’ menulis-membaca- mengajarkan pengetahuan
bersifat fondasional dalam Islam, ‘Hulu’ dari Islam adalah ‘membaca’, yang perlu
dikontekstualisasikan dalam zaman yang kian berkembang dan berubah. Terusannya – Surat Al-
Muddatsir: 1-7, menyerukan untuk bangkit dari ‘selimut’, bergerak, dan melawan kezaliman yang
ada di masyarakat.

Islam di Abad ke-21

Islam di abad ke-21 ditandai oleh perjumpaannya yang begitu kental dengan teknologi. Hal ini
ditandai oleh semakin massifnya teknologi jejaring (internet) yang terintegrasi dengan data dan
informasi. Semakin terhubungnya teknologi komunikasi (telepon genggam) dan teknologi
informasi (internet) mengokohkan tren tersebut. Klaus Schwaab, dedengkot World Economic
Forum, menulis bahwa ‘revolusi digital’ diprediksi akan menjadi semacam ‘revolusi industri
keempat’ dan menuntut manusia untuk siap menghadapinya. Istilah ‘revolusi digital’ mungkin
agak berlebihan, tapi satu hal yang jelas: platform-platform berbasis teknologi dan informasi kini
menjadi moda produksi kapitalisme terbaru, yang memerlukan respons dari segenap gerakan
kapitalisme.

Munculnya moda kapitalisme digital bukan hal baru. Tulisan-tulisan santrigerilya terbaru telah
mengingatkan pada kita bahwa perubahan cara-cara manusia dalam bekerja dan mengolah
sesuatu –dengan kata lain, “teknologi”— telah melahirkan bentuk-bentuk fenomena baru yang
juga harus direspons oleh gerakan progresif yang ingin membangun perubahan sosial.3 Sampai,
Benedict Anderson melihat bahwa pada dasarnya modernisasi yang terjadi di awal abad ke-20
dipicu bukan hanya oleh industrialisasi yang kian pesat dan kemajuan teknologi, tetapi juga
‘kapitalisme cetak’.4 Perkembangan ini tidak mengherankan. Hubungan antara manusia dan
alam untuk bertahan hidup –dalam berbagai bentuknya yang berevolusi secara historis— telah
menghasilkan teknologi yang sedemikian rupa.
Sejak revolusi Industri yang mengakibatkan munculnya ‘kapitalisme’ di Eropa pada tahun 1740-
an, perubahan dunia semakin cepat dan tak terprediksi. Namun, keberadaan teknologi tersebut
tidak hanya terletak pada ‘nilai pakai’ yang ia berikan untuk mencukupi kehidupan manusia,
tetapi juga berkembang menjadi ‘nilai tukar’ bahkan, meminjam istilah filsuf Slovenia Slavoj
Zizek, ‘penikmatan’ (jouissance).5 Pada akhirnya, kita akan melihat bahwa kecanggihan
teknologi saat ini bukanlah semata ‘kemajuan’ peradaban manusia sebagaimana sering diklaim
oleh penganut teori modernisasi, tetapi justru bisa menjadi sesuatu yang lain.

Dengan kemajuan teknologi, kita melihat sesuatu yang agak mengerikan: tergerusnya agama dari
masyarakat. Agama tidaklah hilang dari masyarakat. Ia tetap eksis namun kehilangan ruh
‘kemanusiaan’ dan ‘pembebasan’-nya. Agama, jika melihat perkembangan budaya pop, lebih
banyak menjadi alat untuk ‘menyegarkan jiwa yang kering’ di tengah arus modernisasi. Jadilah
penceramah-penceramah agama yang kemudian muncul bukan dari institusi pendidikan, tetapi

3
Benedict Anderson, Imagined communities: Reflections on the origin and spread of
nationalism. Verso Books, 2006.
4
Slavoj Zizek,First as tragedy, then as farce. Verso, 2009.
5
Azyumardi Azra. Jaringan ulama: Timur Tengah dan kepulauan Nusantara abad XVII dan
XVIII: melacak akar-akar pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Mizan, 1994.
justru dari TV dan media-media sosial.

Dampaknya sebetulnya bisa jadi positif dan negatif. Saat ini, kecanggihan teknologi telah
memungkinkan agama masuk pada ruang-ruang publik dan komunikasi massa. Namun,
perkembangan kapitalisme saat ini telah mengakibatkan agama berubah fungsi menjadi sarana
komersial. Di saluran televisi, kita sering sekali melihat acara bertajuk kegamaan. Kita mungkin
bisa mengambil makna positif dari hal tersebut: semakin diliriknya ‘agama’ oleh masyarakat
dan kian semaraknya syiar Islam dalam media komunikasi dewasa ini. Media sosial yang
semakin berkembang di kalangan umat Islam

Namun, di belakang itu, kita melihat sesuatu yang lain: agama menjadi sebuah ‘komoditas’ yang
bisa diubah menjadi keuntungan, karena dengan rating televisi yang semakin tinggi, keuntungan
yang diperoleh semakin banyak. Kita juga bisa melihat semakin eratnya pertautan agama dengan
budaya populer, yang menyebabkan agama ‘berubah wajah’ menjadi semakin pop, menyesuaikan
selera masyarakat (terutama anak muda), dan spirit yang dibawa menjadi sangat materialistik dan
duniawiyah.

Kondisi semacam ini menunjukkan, peradaban modern sebetulnya memberikan ‘pedang bermata
dua’ terhadap agama. Ia bisa membuat agama berjaya karena agama bisa diterima oleh
masyarakat. Namun, jika tidak disadari, lambat laun agama juga bisa tertikam oleh sistem
masyarakat yang menghendaki pemenuhan hasrat duniawiyah melalui penikmatan-penikmatan
(jouissance) yang akhirnya membuat agama kehilangan ruh emansipasinya. Pada titik inilah,
muncul pertanyaan: apakah agama sedemikian lemahnya hingga harus tergerus oleh kapitalisme
yang mengubah cara hidup manusia? Bagaimana menghidupkan dimensi ‘perlawanan’ agama di
abad ke-21?

Revolusi Al-Alaq

Sampai, wahyu pertama yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad adalah Surah Al-
Alaq: 1-5. Ayat tersebut dimulai dengan satu perintah: Iqra’, yaitu membaca. Hal ini bisa jadi
sudah sering diutarakan oleh banyak penceramah di bulan Ramadhan, tapi perlu direnungkan
kembali di tengah krisi literasi umat, ketika Islam harus berhadapan dengan revolusi digital di
abad ke-21.

Di ayat tersebut, Allah memerintahkan kita untuk setidaknya melakukan dua hal.Pertama, bacaan,
ditegaskan oleh Allah dalam tiga ayat pertama surah tersebut (Iqra’). Kedua, menulis, disebutkan di
ayat keempat (‘allama bil qalam). Ketiga, mengajarkan kepada orang lain tentang apa yang tidak
diketahui oleh mereka (‘allamal insaana maa lam ya’lam). Ketiga elemen ini membentuk pilar
‘tradisi literasi’ dalam Islam. Ketiga hal ini membentuk apa yang akan kemudian saya sebut sebagai
‘Revolusi Al-Alaq’. Mengacu pada surah Al- Alaq, tradisi literasi dalam Islam punya tiga hal yang
sangat penting.

Dimensi Pertama: Membaca

Pertama, “membaca”. Dalam surah al-Alaq, ada tiga ayat yang bicara soal ‘membaca’. Ayat
pertama, Iqra’ bismirabbikalladzii khalaq, “Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang telah
mencipta.” (ayat 1). Buya Hamka menafsirkan ayat ini dengan satu makna penting, bahwa
dengan membaca, telah terbuka kepentingan pertama di dalam perkembangan agama ini
selanjutnya.

Ayat kedua bicara secara lebih spesifik, Khalaqal insaana min ‘alaq, “Menciptakan manusia dari
segumpal darah.” (Ayat 2). Ayat ini bicara tentang hakikat penciptaan manusia dan, yang
terpenting, adalah kelanjutan dari ayat sebelumnya. Artinya, untuk memahami ayat ini, kita perlu
mengaitkannya dengan ayat sebelumnya. Maknanya: ‘membaca’ tidak hanya sekadar membaca
secara tekstual, tetapi juga membaca hakikat penciptaan secara lebih luas.

Ayat ini memberikan sebuah ilustrasi menarik, yaitu tentang hakikat penciptaan tentang
manusia sebagai segumpal darah. Hal ini memberikan satu isyarat: membacalah untuk
mengetahui hakikat kita sebagai seorang manusia. Ini berarti membuka cakrawala kita lebih
luas tentang ‘sains’ dan ‘kemanusiaan’.

Di satu sisi, “membaca” adalah gerbang untuk mengetahui apa yang ada di dunia ini. Ia
memungkinkan adanya sains dan pencarian kebenaran ilmiah. Di sisi lain, Membaca adalah
gerbang untuk membuka keterbatasan-keterbatasan kita sebagai manusia. Dengan membaca, kita
akan mengetahui bahwa hakikat kita sebagai manusia hanya segumpal darah yang eksistensinya
hanya dimungkinkan oleh ruh yang ditiupkan oleh Allah.
Membaca memungkinkan kita untuk memahami materialitas diri kita dan materialitas dunia,
sekaligus juuga memahami batas-batasnya.

Ayat ketiga, Iqra’ wa rabbukal akram. “Membacalah, dan Tuhan engkau itu adalah Maha
Mulia.” (Ayat 3). Ayat ini mengulang perintah di ayat pertama: “membaca”. Namun, ada satu
dimensi yang ditekankan di ayat ini: Kemuliaan Tuhan! Ayat ini memberikan batas bagi
materialitas manusia yang ditekankan di ayat pertama, yaitu manusia yang berada di bawah
kekuasaan Tuhan. Inilah tujuan kita membaca, yaitu tidak hanya memahami dimensi eksistensial
dan material dari manusia, tetapi juga esensi-nya, yaitu sebagai makhluk Tuhan.

Dimensi Kedua: Menulis

Ketiga ayat ini kemudian menjadi sandaran penting untuk memahami ayat keempat, yaitu Alladzi
‘Allama bil Qalam, “Yang Mengajarkan Manusia dengan Pena” (Ayat 4). Dengan memahami
kemuliaan Allah, kita disadarkan untuk tidak hanya sekadar membaca sebagai aktivitas
individual, tetapi juga membaca sebagai aktivitas sosial. Instrumennya satu: pena (Al-Qalam).

Ayat ini, secara tidak langsung, sebetulnya mendorong kita untuk menulis! Jika membaca adalah
gerbang untuk untuk mengetahui apa yang ada di dunia ini, maka menulis adalah kuncinya. Ia
tidak hanya memungkinkan kita untuk menyebarkan pengetahuan, tetapi juga mengolah gagasan.
Tradisi Islam menghargai bentuk-bentuk literasi; dari penerjemahan teks-teks klasik Yunani
yang dilakukan oleh intelektual Baitul Hikmah di abad ke-9 hingga penerbitan kitab-kitab ulama
Nusantara di masa keemasan Jawi.6

Dimensi Ketiga: Mengajarkan Pengetahuan

Ayat kelima membangun tradisi yang melengkapi kedua tradisi di atas, yaitu, ‘Allamal Insaana
Maa Lam Ya’lam “Mengajarkan manusia apa-apa yang tak diketahuinya” (Ayat 5). Ayat ini
berarti mentradisikan ‘pengajaran’, atau dengan kata lain ‘diskusi’ sebagai pelengkap membaca
dan menulis. Membaca penting sebagai fondasi dalam tradisi literasi, yang kemudian
diartikulasikan melalui tulisan. Namun, keduanya takkan lengkap jika ia tak diajarkan kepada
manusia yang lain.

6
Hadits Riwayat Bukhari dari Hajjaj bin Minhal dari Syu’bah dari Alqamah bin Martsad dari
Sa’ad bin Ubaidah dari Abu Abdirrahman As-Sulami dari Utsman bin Affan Radhiyallahu
Anhu.
Seorang Muslim, dengan demikian, punya tanggung jawab keilmuan kepada manusia lainnya dan
harus berupaya keras untuk mempertahankannya dari intervensi kekuasaan. Revolusi Al-Alaq,
dengan demikian, berupaya untuk menyadarkan manusia akan hakikat kemanusiaannya, sebagai
makhluk ciptaan Allah, dengan pengetahuan. Seorang manusia, tak peduli dari manapun ia dan
siapapun ia, punya hak dan kewajiban untuk berpengetahuan, dan menjadi keharusan bagi
siapapun yang berpengetahuan untuk mengajarkannya pada orang lain.

Sebagaimana sebuah hadits, “Sebaik–baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur`an dan
mengajarkannya”.7 Tentu saja, ‘pengajaran’ tak hanya diartikulasikan di ranah-ranah lembaga
pendidikan formal seperti yang saya sebut di atas. Ia bisa jadi dilakukan di mana saja. Namun,
yang terpenting adalah semangatnya: mencerahkan manusia dengan pengetahuan, dan
mengajarkan manusia sesuatu yang tidak diketahui oleh mereka. Inilah
tugas sains. Pengetahuan tidak hanya terbatas pada sesuatu yang sifatnya fisik, tetapi juga sosial
dan kebudayaan.

Inilah sebabnya, membaca dan menulis juga perlu dilembagakan dalam forum-forum
diskusi/pengajaran. Inilah yang, bisa jadi, menjadi fondasi bagi tradisi keilmuan Islam di abad
pertengahan, ketika pengetahuan diproduksi di halaqah-halaqah ulama semacam Imam Syafii,
Imam Ahmad, maupun murid-muridnya. Di Indonesia, kita punya tradisi semacam ini dalam
bentuk pesantren-pesantren, lengkap dengan Santri, Kyai dan perangkat-perangkat
pendidikannya.Ger akan pembaharuan semacam Muhammadiyah kemudian
mengartikulasikannya dalam bentuk pembangunan-pembangunan Universitas. Hal-hal ini
bermuara pada satu hal yang sama: ‘Allamal Insaana Maa Lam Ya’lam!

Dari Pengetahuan ke Gerakan

Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa tradisi literasi dalam Islam ditopang oleh tiga
kata kunci penting: Iqra’ (Membaca), Al-Qalam (Pena), dan ‘Allamal Insaan (Pengajaran). Tiga
hal ini adalah kunci dari pintu gerbang dunia dan fondasi untuk membangun peradaban. Jika tiga
hal ini terjalin dengan rapi, maka terbangunlah satu peradaban yang kokoh –untuk menjadikan
Islam sebagai rahmatan lil ‘alamiin.

Revolusi Al-Alaq menuntut untuk diartikulasikan dalam kehidupan sehari-hari. Al-Alaq adalah
wahyu pertama. Hingga bertahun-tahun setelahnya, turunlah ayat-ayat berikutnya. Dalam surah
Al-Alaq, Allah menyuruh Nabi untuk membaca, agar di kemudian hari bisa menerima wahyu-
wahyu berikutnya. Artinya, kita disuruh membaca karena pengetahuan dan ayat- ayat Allah, pada
dasarnya sangat luas.

Inilah pentingnya membangun tradisi ilmiah sebagai pengejawantahan dari ‘Revolusi Al- Alaq’.
Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip oleh Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, mengatakan
bahwa,

“Tidak didapat kata-kata yang lebih mendalam dan alasan yang lebih sempurna
daripada ayat ini di dalam menyatakan kepentingan membaca dan menulis ilmu
pengetahuan dalam segala cabang dan bahagianya. Dengan itu mula dibuka segala
wahyu yang akan turun di belakang.”

7
Buya Hamka. Tafsir al-Azhar. Pustaka Panjimas, 1988.
Hamka, 1977 8

Islam dituntut untuk punya peran dalam menghadapi gempuran ‘kapitalisme digital’ dan
‘fabrikasi kebohongan’ hari ini. Jalan keluarnya adalah kembali mentradisikan budaya literasi di
antara penganutnya. Revolusi digital yang tampil di tengah masyarakat yang tidak sepenuhnya
mawas dengan modernitas telah melahirkan fitnah, prasangka, dan kebodohan yang massif.
Berita-berita hoax, pemahaman agama yang salah kaprah, prasangka dan isu-isu yang merebak,
kebencian terhadap minoritas, hingga pembakaran buku-buku yang dianggap ‘kiri’ adalah
refleksi dari semakin jauhnya umat Islam dari tradisi literasi yang diperintahkan oleh Allah dalam
Surah Al-Alaq.

Artinya, ‘Revolusi Al-Alaq’ perlu dibumikan dalam kenyataan sehari-hari. Sebagaimana dulu KH
Ahmad Dahlan mentradisikan Revolusi Al-Maun dengan cara membangun Rumah Sakit, Sekolah,
dan Panti Asuhan, kita juga perlu mentradisikan Revolusi Al-Alaq dengan cara mentradisikan
aktivitas membaca, menulis, berpikir kritis, dan mengajarkan bacaan dan tulisan kita di masyarakat
–minimal di tengah keluarga kita sendiri. Literasi adalah kunci.
Pendidikan –formal ataupun non-formal— adalah keharusan bagi umat Islam saat ini.

Saat ini, Revolusi Al-‘Alaq mungkin tidak hanya kita maknai sebagai ‘membaca teks’ Al- Qur’an
hanya sebagai ritus yang diamalkan setiap Ramadhan, tetapi juga sebagai ‘membaca realitas sosial
secara kritis’. Dengan kata lain, Revolusi Al-‘Alaq bisa kita maknai sebagai perintah untuk
membaca setiap realitas sosial yang ada dan mengembalikannya pada asal hakikatnya: diciptakan
oleh Allah dari segumpal darah (Al-Alaq: 2). Iqra’ berarti berpikir kritis terhadap tatanan sosial
yang ada di dunia ini. Berpikir kritis ini hendaknya kita letakkan dalam kacamata agama, yang
pada hakikatnya adalah berserah diri kepada Allah (aslama).

Sebagai kekuatan pencerah, agama mesti kita tempatkan sebagai semangat untuk
membebaskan mereka yang tersingkir oleh sistem masyarakat dan menjadikan mereka sebagai
‘manusia’ yang punya hak dan eksistensi untuk hidup di dunia. Maka, Relevansi agama dalam
kehidupan sehari-hari menjadi jelas, yaitu dengan menjadikan agama sebagai sebuah cara
untuk ‘memanusiakan manusia’.

Namun, membaca realitas secara kritis, sebagai perwujudan dari Iqra’ juga punya implikasi lain:
berpikir kritis tentang realitas yang timpang, yang di dalamnya terjadi pergumulan kekuasaan, dan
dimana kezaliman merajalela. Pada titik inilah kemudian muncul wahyu kedua, yang turun 2 tahun
setelah turunnya Surah Al-Alaq di Gua Hira: Al-Muddatsir.

1). Hai orang yang berselimut), 2). Bangunlah, lalu berilah peringatan! 3). Dan Tuhanmu
agungkanlah! 4. Dan pakaianmu bersihkanlah, 5). Dan perbuatan dosa tinggalkanlah, 6). Dan
janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. 7). Dan
untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah .(QS.Al-Mudatsir-1-7)

Membaca dua surah ini secara beriringan menunjuukkan satu hal penting: bahwa pengetahuan
yang sudah terbangun, harus diartikulasikan dalam gerakan. Mengacu pada Al-‘Alaq di atas, bias
jadi caranya cukup sederhana, namun tak mudah untuk dilakukan secara konsisten: kembali
membangun tradisi pengetahuan Islam dengan dua tradisi literasi, yaitu ‘bacaan’, ‘pengajaran’,
dan kemudian membangun ‘gerakan’ secara kolektif. Membangun ‘bacaan’ berarti

8
Buya Hamka. Tafsir al-Azhar. Pustaka Panjimas, 1988.
menghidupkan kembali tradisi penulisan di kalangan intelektual muslim, sementara membangun
‘pengajaran’ berarti menghidupkan universitas, forum pengkajian, serta pusat penelitian sosial
dan kemasyarakatan.

Dan tentu tidak berhenti di sana: menghidupkan ilmu pengetahuan dalam Islam untuk melawan
kezaliman dan penindasan manusia atas manusia, meninggalkan maksiat, dan berbuat baik pada
sesama. Namun demikian, tentu tantangan masa kini lebih kompleks. Ilmu pengetahuan
berkembang di ranah sains dan teknologi, ilmu sosial, hingga filsafat – bidang-bidang yang
sebetulnya dulu dikembangkan oleh ilmuwan muslim melalui tradisi literasi. Tantangan itulah
yang perlu dijawab secara lebih konkret oleh semua komponen umat Islam.

Tiga hal inilah yang membangun satu kesatuan Revolusi Al-Alaq. Konsekuensi langsung dari
Revolusi Al-Alaq ini adalah tuntutan untuk ‘beragama secara ilmiah’, yakni dengan mentradisikan
pengetahuan dan berpikir kritis di kalangan umat Islam ketika menerima informasi yang ada.
Artinya, setiap informasi perlu disaring dengan kerangka pengetahuan yang utuh. Dengan
demikian, ‘Revolusi Al-Alaq’ menolak bentuk-bentuk hoax, fitnah, atau propaganda yang kerap
dilakukan di media sosial, ironisnya oleh umat Islam sendiri.

Artinya, sudah saatnya kita kembali beragama dengan ‘ilmiah’, mengedepankan tradisi literasi,
dan menghentikan sikap saling tuding-menuding atau mengkafirkan. Kembali pada QS Al-Alaq,
ini mungkin bias dimulai dengan membaca kembali khasanah keilmuan klasik hingga modern,
mengajarkannya, dan mulai membangun nalar kritis. Perwujudan langkah ini, merujuk pada
sejarah turunnya Al-Qur’an, adalah meneladani ayat berikutnya: Al- Muddatsir –perintah untuk
bangkit dari selimut dan bergerak bersama ummat.***

Sekaran, 30 Maret 2018

Versi awal dari tulisan ini dimuat dalam Gading EA dan Mhd Iqbal(eds). Semangat Zaman dan
Intelektualitas Kita: Pikiran-Pikiran tentang Literasi, Pergerakan, dan Peradaban. Surabaya:
Pustaka Saga, 2016

Anda mungkin juga menyukai