1. Pendahuluan
Sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah kelainan autoimun multisistem
prototipik dengan spektrum manifesteasi klinis yang luas meliputi hampir semua
organ dan jaringan. Heterogenitas yang ekstrim dari penyakit ini telah membuat
beberapa peneliti mengusulkan bahwa SLE merupakan suatu sindrom bukan suatu
penyakit tunggal.
2. Epidemiologi
Tingkat prevalensi lupus diperkirakan sekitar 51 per 100.000 orang di Amerika
Serikat. Insiden lupus hampir tiga kali lipat dalam 40 tahun terakhir, terutama
disebabkan peningkatan diagnosis penyakit yang masih ringan. Perkiraan tingkat
insiden di Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Eropa berkisar 2-8 per 100.000
per tahun. Wanita terkena sembilan kali lebih sering daripada pria dan ras Afro-
Amerika dan Amerika Latin terkena jauh lebih sering daripada Kaukasia, dan
memiliki morbiditas penyakit yang lebih tinggi. Penyakit ini tampaknya lebih
umum di perkotaan daripada daerah pedesaan. Enam puluh lima persen pasien
dengan SLE memiliki onset penyakit antara usia 16 dan 55 tahun, 20% hadir
sebelum usia 16, dan 15% setelah usia 55. Pria dengan lupus cenderung memiliki
lebih sedikit fotosensitivitas, lebih banyak serositis, lebih tua usia saat
didiagnosis, dan kematian 1 tahun yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita.
SLE cenderung lebih ringan pada lansia dengan kejadian ruam malar,
fotosensitivitas, purpura, alopesia, fenomena Raynaud, keterlibatan sistem saraf
pusat dan ginjal yang lebih rendah, tetapi prevalensi yang lebih besar dari
serositis, keterlibatan paru, gejala sicca, dan manifestasi muskuloskeletal.
5. Etiologi dan patogenesis
Etiologi SLE meliputi komponen genetik dan lingkungan dengan jenis kelamin
perempuan sangat mempengaruhi patogenesis. Faktor-faktor ini menyebabkan
gangguan ireversibel dalam toleransi imunologi yang diwujudkan oleh respon
imun terhadap antigen inti endogen.
7. Kriteria Klasifikasi
Kriteria untuk klasifikasi SLE dikembangkan pada tahun 1971, direvisi pada
tahun 1982, dan direvisi kembali pada tahun 1997 (Tabel 2) (Hochberg 1997).
Kriteria ini membedakan pasien dengan penyakit tersebut dari mereka yang bebas
penyakit. Kriteria klasifikasi American College of Rheumatology (ACR)
dikembangkan untuk studi klinis lupus untuk memastikan bahwa kasus yang
dilaporkan dalam literatur yang pada kenyataannya memang memiliki penyakit.
Selain berbagai manifestasi, SLE juga memiliki perjalanan penyakit yang tak
terduga. Sifat dinamis dari penyakit ini sering membuat penegakan diagnosis
menjadi menantang.
Meskipun kriteria klasifikasi ACR juga dapat digunakan sebagai alat bantu
diagnostik, ada beberapa perhatian bila penggunaannya untuk tujuan diagnostik.
Kriteria ini dikembangkan dan divalidasi untuk klasifikasi pasien dengan penyakit
yang telah ditetapkan sejak lama dan mungkin menyingkirkan pasien dengan
penyakit awal atau penyakit terbatas pada beberapa organ. Dengan demikian,
terlepas dari sensitivitasnya yang sangat baik (>85%) dan spesifisitas (>95%)
untuk pasien dengan penyakit yang telah ditetapkan, sensitivitasnya untuk pasien
pada penyakit tahap awal mungkin secara signifikan lebih rendah. Beberapa
sistem direpresentasikan berlebihan; manifestasi mukokutaneus, misalnya,
diwakili dengan empat kriteria (fotosensitivitas, ruam malar, lesi diskoid, dan
ulkus oral). Semua gambaran yang termasuk dalam kriteria klasifikasi ber-
kontribusi sama tanpa bobot tertentu berdasarkan sensitivitas dan spesifisitas
untuk setiap kriteria individu. Dengan demikian, penelitian telah menunjukkan
dan pengalaman mendukung bahwa kriteria seperti bukti objektif adanya kelainan
ginjal (proteinuria signifikan, sedimen urin aktif atau biopsi ginjal dengan bukti
lupus nefritis), ruam diskoid, dan sitopenia lebih berguna dalam membangun
diagnosis lupus dari kriteria lainnya. Karena SLE merupakan penyakit yang tentu
saja ditandai oleh keterlibatan periodik satu sistem organ, jelas bahwa pasien
harus memiliki penyakit selama bertahun-tahun sebelum mereka memenuhi
kriteria klasifikasi. Di antara pasien yang dirujuk untuk lupus ke pusat-pusat
perawatan tersier, dua pertiga pasien memenuhi kriteria ACR, sekitar 10%
memiliki lupus klinis tetapi tidak memenuhi kriteria, dan 25% memiliki gejala
menyerupai fibromyalgia dan antibodi antinuclear positif (ANA) tetapi tidak
pernah mengembangkan lupus.
11 Diagnosis
11.1 Tes serologi
Antibodi antinuklear. Pemeriksaan ANA adalah tes skrining yang ideal karena
sentivitasnya (95% bila menggunakan sel kultur manusia sebagai substrat) dan
kesederhanaannya. Entitas ‘lupus ANA-negatif’ yang dijelaskan dalam tahun-
tahun sebelumnya biasanya dikaitkan dengan adanya autoantibodi sitoplasmik
lainnya seperti protein anti-Ro (SS-A) dan anti-ribosom P. Spesifitas ANA untuk
SLE tergolong rendah, karena ditemukan dalam banyak kondisi lain seperti
skleroderma, polymyositis, dermatomyositis, rheumatoid arthritis, tiroiditis
autoimun, hepatitis autoimun, infeksi, neoplasma, dan terkait dengan banyak obat.
Juga, beberapa individu sehat memiliki tes positif untuk ANA. Pembentukan
ANA bersifat tergantung usia; diperkirakan 10-35% dari orang berusia lebih dari
65 tahun memiliki ANA. Namun, titer umumnya lebih rendah (<1:40) di-
bandingkan dengan penyakit autoimun sistemik. Berbeda dengan nilai prediksi
positif yang rendah dalam tes ANA, pasien dengan tes negatif memiliki peluang
kurang dari 3% untuk memiliki SLE; dengan demikian, tes ANA negatif berguna
untuk menyingkirkan diagnosis SLE. Namun, dengan adanya fitur khas lupus, tes
ANA negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Hal ini terutama berlaku untuk
laboratorium yang menggunakan immunoassay enzim atau tes otomatis lainnya
yang menampilkan variasi antar-produsen yang bermakna. Dalam kasus tersebut,
sensitivitas terhadap ANA immunofluorescence positif dengan titer 1: 160
dilaporkan berkisar 70-98%.
Antibodi terhadap antigen nuklir yang diekstrak (ENAs). Nukleosom -
kompleks DNA dan histon -adalah yang pertama diidentifikasi lupus autoantigen.
Autoantibodi untuk DNA beruntai tunggal (ssDNA) dan histon individual umum
dijumpai pada SLE serta lupus yang diinduksi obat-obatan. Antibodi terhadap
DNA beruntai ganda (ds) ditemukan pada sampai dengan 70% pasien SLE di
beberapa titik selama perjalanan penyakit mereka, dan 95% spesifik untuk SLE,
sehingga menjadikannya marker penyakit yang berharga. Antibodi anti-Sm
(Smith) yang terdeteksi pada 10-30% dan kehadiran mereka adalah patognomonik
untuk SLE. Antibodi anti-nRNP berhubungan dengan anti-Sm tetapi tidak spesifik
untuk penyakit. Antibodi anti-ribosom spesifik untuk SLE tetapi kurang sensitif
dibandingkan anti-dsDNA atau anti-Sm.