Anda di halaman 1dari 22

SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUS:

Patogenesis Dan Gambaran Klinis

1. Pendahuluan
Sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah kelainan autoimun multisistem
prototipik dengan spektrum manifesteasi klinis yang luas meliputi hampir semua
organ dan jaringan. Heterogenitas yang ekstrim dari penyakit ini telah membuat
beberapa peneliti mengusulkan bahwa SLE merupakan suatu sindrom bukan suatu
penyakit tunggal.

2. Epidemiologi
Tingkat prevalensi lupus diperkirakan sekitar 51 per 100.000 orang di Amerika
Serikat. Insiden lupus hampir tiga kali lipat dalam 40 tahun terakhir, terutama
disebabkan peningkatan diagnosis penyakit yang masih ringan. Perkiraan tingkat
insiden di Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Eropa berkisar 2-8 per 100.000
per tahun. Wanita terkena sembilan kali lebih sering daripada pria dan ras Afro-
Amerika dan Amerika Latin terkena jauh lebih sering daripada Kaukasia, dan
memiliki morbiditas penyakit yang lebih tinggi. Penyakit ini tampaknya lebih
umum di perkotaan daripada daerah pedesaan. Enam puluh lima persen pasien
dengan SLE memiliki onset penyakit antara usia 16 dan 55 tahun, 20% hadir
sebelum usia 16, dan 15% setelah usia 55. Pria dengan lupus cenderung memiliki
lebih sedikit fotosensitivitas, lebih banyak serositis, lebih tua usia saat
didiagnosis, dan kematian 1 tahun yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita.
SLE cenderung lebih ringan pada lansia dengan kejadian ruam malar,
fotosensitivitas, purpura, alopesia, fenomena Raynaud, keterlibatan sistem saraf
pusat dan ginjal yang lebih rendah, tetapi prevalensi yang lebih besar dari
serositis, keterlibatan paru, gejala sicca, dan manifestasi muskuloskeletal.
5. Etiologi dan patogenesis
Etiologi SLE meliputi komponen genetik dan lingkungan dengan jenis kelamin
perempuan sangat mempengaruhi patogenesis. Faktor-faktor ini menyebabkan
gangguan ireversibel dalam toleransi imunologi yang diwujudkan oleh respon
imun terhadap antigen inti endogen.

5.1 Faktor genetik


Saudara dari pasien SLE sekitar 30 kali lebih mungkin untuk mengalami SLE
dibandingkan dengan individu tanpa saudara yang terkena. Tingkat penemuan gen
pada SLE telah meningkat selama beberapa tahun terakhir berkat genome-wide
association studies (GWAS) menggunakan ratusan ribu marker polimorfisme
nukleotid tunggal (SNP) (gambar 2).
GWAS telah menegaskan pentingnya gen yang terkait dengan respon
imun dan inflamasi.

5.2 Efek epigenetik


Risiko untuk SLE dapat dipengaruhi oleh efek epigenetik seperti metilasi DNA
dan modifikasi post-translasi dari histon, yang dapat diwariskan atau dimodifikasi
oleh lingkungan. Epigenetik mengacu pada perubahan yang diwariskan dalam
ekspresi gen yang disebabkan oleh mekanisme lain selain perubahan urutan basa
DNA. Tipe faktor epigenetik saat ini yang paling dipahami adalah metilasi DNA,
yang berperan dalam berbagai proses manusia, seperti inaktivasi kromosom X dan
kanker tertentu. Penelitian sebelumnya juga telah melibatkan pentingnya metilasi
DNA pada SLE. Perbedaan status metilasi gen dapat menjelaskan, setidaknya
sebagian, ketidakcocokan yang diamati di beberapa kembar identik yang tidak
sesuai untuk SLE. Mekanisme epigenetik dapat mewakili bagian yang hilang
(missing link) antara faktor risiko genetik dan lingkungan.

5.3 Faktor-faktor lingkungan


Kandidat faktor lingkungan yang dapat memicu SLE termasuk sinar ultraviolet,
obat demethylating, dan virus infeksius atau endogen atau elemen menyerupai
virus. Sinar matahari adalah faktor lingkungan yang paling jelas yang mungkin
memperburuk SLE. Virus Epstein-Barr (EBV) telah diidentifikasi sebagai faktor
yang mungkin dalam pengembangan lupus. EBV dapat tinggal di dan berinteraksi
dengan sel B dan memicu produksi interferon α (IFNα) oleh sel dendritik
plasmasitoid (pDCs), yang menunjukkan bahwa peningkatan IFNα pada lupus
mungkin-setidaknya sebagian-karena dikendalikan oleh infeksi virus kronis.
Juga diketahui bahwa obat-obatan tertentu dapat memicu autoantibodi
dalam sejumlah besar pasien, yang sebagian besar tidak mengembangkan tanda-
tanda penyakit terkait autoantibodi. Lebih dari 100 obat telah dilaporkan
menyebabkan lupus yang dipicu obat (DIL), termasuk sejumlah agen biologis dan
antivirus baru. Meskipun patogenesis DIL tidak dipahami dengan baik,
kecenderungan genetik mungkin memainkan peran dalam kasus obat-obatan
tertentu, terutama agen yang dimetabolisme oleh asetilasi seperti procainamide
dan hydralazine, dengan penyakit yang lebih mungkin untuk berkembang pada
pasien dengan asetilator lambat. Obat ini dapat mengubah ekspresi gen dalam sel
T CD4+ dengan menghambat metilasi DNA dan menginduksi ekspresi berlebihan
dari antigen LFA-1, sehingga memicu autoreaktivitas.

5.4 Faktor hormonal


Dalam model tikus, penambahan estrogen atau prolaktin dapat menyebabkan
fenotipe autoimun dengan peningkatan sel B matur autoreaktif dengan afinitas
tinggi. Penggunaan kontrasepsi oral dalam Nurses Health Study dikaitkan dengan
sedikit peningkatan risiko untuk pengembangan SLE (risiko relatif 1,9
dibandingkan dengan tidak pernah menggunakan). Hal ini menimbulkan
pertanyaan penting yang berkaitan dengan penggunaan kontrasepsi oral estrogen
maupun sebagai terapi pengganti hormon pada wanita pascamenopause.
Meskipun jelas bahwa hormon dapat mempengaruhi pengembangan autoimun
dalam model tikus, penggunaan kontrasepsi oral tidak meningkatkan flare
penyakit pada wanita dengan penyakit yang stabil (Sanchez-Guerrero et al 2005).
Kehamilan dapat menyebabkan dalam beberapa kasus flare lupus, tapi ini bukan
karena peningkatan estradiol atau progesteron; pada kenyataannya, tingkat
hormon ini rendah pada trimester dua dan tiga untuk pasien SLE dibandingkan
dengan wanita hamil yang sehat.

6. Patogenesis dan patofisiologi


Respon imun terhadap antigen inti endogen merupakan ciri khas dari SLE.
Autoantigen yang dilepaskan oleh sel apoptosis disajikan oleh sel dendritik
kepada sel T untuk memicu aktivasi mereka. Sel T aktif pada saatnya akan
membantu sel B untuk memproduksi antibodi dan konstituennya dengan men-
sekresikan sitokin seperti interleukin 10 (IL10) dan IL 23 dan oleh molekul
permukaan sel seperti CD40L dan CTLA-4. Selain produksi autoantibodi yang
bergantung pada sel T ini, data terbaru mendukung mekanisme independen sel-T
dari stimulasi sel B melalui gabungan reseptor antigen sel B (BCR) dan
pensinyalan TLR. Patogenesis SLE melibatkan banyak sel dan molekul yang
berpartisipasi dalam apoptosis, respon imun bawaan dan adaptif (tabel 1).

6.1 Patogenesis: peristiwa penting


Peningkatan jumlah asam nukleat endogen terkait apoptosis menstimulasi
produksi IFNα dan memicu autoimunitas melalui aktivasi antigen presenting cell
(gambar 3). Setelah dimulai, reaktan imun seperti kompleks imun memperkuat
dan mempertahankan respon inflamasi.

Apoptosis: Suatu sumber autoantigen dan molekul dengan aktivitas inducer


adjuvant/sitokin (interferon α (IFNα)). Bleb sel apoptosis kaya akan autoantigen
lupus. Peningkatan apoptosis spontan, peningkatan apoptosis yang diinduksi
ultraviolet dalam sel-sel kulit, atau gangguan pembersihan sel darah perifer
apoptotik ditemukan pada beberapa pasien lupus.
Asam nukleat (DNA dan RNA): Suatu target yang unik pada lupus yang terkait
dengan apoptosis. Penemuan nukleat pada orang sehat dihalangi oleh berbagai
barrier yang pada lupus terganggu dimana alarmins dikeluarkan oleh dari jaringan
yang mengalami stres (HMGB1), peptida antimikroba, perangkap ekstraseluler
neutrofil (NET), dan kompleks imun memfasilitasi pengenalan asam nukleat dan
transfer ke sensor endosomal (lihat di bawah TLR, NLR).
Imunitas bawaan
 Toll-like Reseptor (TLR): Suatu reseptor sistem imun bawaan yang secara
strategis terletak di membran sel, sitosol dan di kompartemen endosomal
dimana mereka mensurvei ruang ekstraseluler dan intraseluler. TLR yang
mengenali asam nukleat (TLRs-3, -7, -8 dan -9) adalah endosomal. Limfosit B
atau T autoreaktif hidup berdampingan dengan jaringan yang mengekspresikan
antigen yang relevan dapat menjadi patogen setelah berikatan dengan TLRs.
TLRs juga mengaktifkan APC (sel dendritik, MO, B) yang meningkatkan
presentasi autoantigen. Sel B dari pasien lupus aktif meningkatkan ekspresi
TLR9. Dibandingkan dengan antigen lainnya, kromatin yang mengandung
kompleks imun 100 kali lipat lebih kuat dalam merangsang sel lupus B karena
kehadiran asam nukleat dan kombinasi resultan dari stimulasi BCR dan TLR.
 Sel dendritik: Dua jenis: sel dendritik plasmasitoid (pDCs) dan myeloid
(CD11c+) DC (mDCs).
 pDCs: merepresentasikan pabrik 'IFNα' asli. Pada lupus, faktor eksogen/
antigen (yaitu, virus) atau autoantigen yang dikenali oleh reseptor sistem imun
bawaan mengaktifkan DC dan menghasilkan IFNα. mDCs: terlibat dalam
presentasi antigen dengan mDCs konvensional imatur yang memicu toleransi
sementara autoreaktivitas menjadi matur. Pada lupus, beberapa faktor (IFNα,
kompleks imun, TLRs) memicu maturasi MDC dan kemudian autoreaktivitas.
 Interferon α: Suatu sitokin pluripoten yang dihasilkan terutama oleh pDCs
baik melalui mekanisme TLR-dependent dan TLR-independent dengan efek
biologis yang poten pada DC, B dan sel T, sel endotel, sel-sel neuron, sel
residen ginjal, dan jaringan lain. Beberapa gen yang terkait dengan lupus
mengkode protein yang memperantarai atau mengatur sinyal TLR dan
berkaitan dengan peningkatan IFNα plasma pada pasien dengan autoantibodi
spesifik yang dapat memberikan asam nukleat stimulatorik untuk TLR7 atau
TLR9 di kompartemen intraseluler mereka. Aktivasi jalur IFN telah dikaitkan
dengan adanya autoantibodi spesifik untuk protein terkait RNA. Aktivasi TLR
yang diperantarai RNA merupakan mekanisme penting yang berkontribusi
pada produksi IFNα dan sitokin proinflamasi lainnya. Aktivasi jalur IFN
berhubungan dengan penyakit ginjal dan banyak aktivitas penyakit.
 Komplemen: Aktivasi komplemen membentuk respon inflamasi imun tubuh
dan memfasilitasi pembersihan material apoptosis.
 Neutrofil: Pada lupus subset yang berbeda dari neutrofil proinflamasi
(granulosit densitas rendah) menginduksi kerusakan pembuluh darah dan
meng-hasilkan IFNα. Varian patogen dari ITAM meningkatkan ikatan pada
ICAM dan adhesi ke sel endotel yang telah diaktifkan.
 Sel endotel: Pada lupus, gangguan degradasi DNA sebagai akibat dari defek
repair endonuklease (TREX1) meningkatkan akumulasi ssDNA yang berasal
dari retro-elemen endogen dalam sel endotel dan dapat mengaktifkan produksi
IFNα olehnya. IFNα pada gilirannya akan menyebarkan kerusakan endotel dan
menggangu perbaikannya.
Imunitas adaptif
 Sel T dan B: Interaksi antara ko-stimulasi ligan dan reseptor pada sel T dan B,
termasuk CD80 dan CD86 dengan CD28, ligan inducible kostimulator (ICOS)
dengan ICOS, dan ligan CD40 dengan CD40, berkontribusi pada diferensiasi
sel B menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Autoantibodi juga
memfasilitasi penyampaian asam nukleat stimulatorik menjadi TLRs. Sitokin
dan kemokin yang diproduksi oleh T dan sel B juga membentuk respon imun
tubuh dan meningkatkan kerusakan jaringan.
 B lymphocyte stimulator (BLyS): Anggota famili TNF yang larut dari BlyS
adalah sel B survival dan diferensiasi. BLyS meningkat pada serum pasien
lupus; inhibisi BLyS mencegah flare lupus.
 Kompleks imun: Pada individu sehat, kompleks imun dibersihkan oleh FCR
dan reseptor komplemen. Pada lupus, variasi genetik gen FCR dan gen reseptor
C3bi (ITGAM) dapat mengganggu pembukaan kompleks imun yang kemudian
menyetor dan menyebabkan cedera jaringan di lokasi seperti kulit dan ginjal.
6.2 Mekanisme Penyakit dan kerusakan jaringan
Kompleks imun dan jalur aktivasi komplemen memperantarai fungsi efektor dan
cedera jaringan. Pada individu yang sehat, kompleks imun dibersihkan oleh Fc
dan reseptor komplemen; kegagalan untuk membersihkan kompleks imun
menghasilkan deposisi jaringan dan cedera jaringan pada lokasi tersebut. Ke-
rusakan jaringan diperantarai oleh perekrutan sel inflamasi, intermediet oksigen
reaktif, produksi sitokin inflamasi, dan modulasi kaskade koagulasi.
Cedera jaringan yang diperantarai autoantibodi telah berimplikasi dalam
SLE neuropsikiatri (NPSLE), dimana antibodi yang bereaksi dengan reseptor
DNA dan glutamat pada sel saraf dapat memperantarai kematian atau disfungsi
sel neuron eksitotoksik.
Sitokin yang diproduksi secara lokal, seperti IFNα dan tumor necrosis
factor (TNF), berkontribusi terhadap cedera jaringan dan inflamasi. Mediator ini,
bersama dengan sel yang memproduksi mereka (makrofag, leukosit, sel dendritik
dan limfosit), adalah subjek penelitian sebagai target terapi yang potensial pada
lupus. Penelitian terbaru juga menyoroti peran faktor yang diekspresikan secara
lokal untuk perlindungan jaringan yang diserang oleh imun tubuh. Misalnya,
defek pada kallikreins dapat membahayakan kemampuan ginjal lupus untuk
melindungi dirinya dari cedera, ligan PD-1 mengurangi aktivitas limfosit yang
berinfiltrasi, dan gangguan regulasi komplemen memperberat cedera vaskular.
Kerusakan pembuluh darah pada SLE telah mendapat banyak perhatian
karena hubungannya dengan percepatan aterosklerosis. Homosistein dan
proinflamasi sitokin, seperti IFNα, merusak fungsi endotel dan menurunkan
ketersediaan sel prekursor endotel untuk memperbaiki cedera endotel. Lipoprotein
densitas tinggi (HDL) pro-inflamasi dan disfungsi HDL yang diperantarai oleh
antibodi juga telah terlibat dalam perbaikan defek endotelium. Selain itu, varian
patogen dari ITAM (immuno-tyrosine activation motif) mengubah ikatannya
menjadi ICAM 1 (intercellular adhesion molecule 1) dan dapat meningkatkan
adherensi leukosit ke sel endotel yang aktif. Terganggunya degradasi DNA
sebagai akibat dari mutasi dari 3’ repair exonuclease 1 (TREX1), dan peningkatan
akumulasi DNA rantai tunggal yang berasal dari retro-elemen endogen dalam sel
endotel, dapat mengaktifkan respon DNA penstimulasi IFN dan cedera yang
diperantarai imun secara langsung pada pembuluh darah.

7. Kriteria Klasifikasi
Kriteria untuk klasifikasi SLE dikembangkan pada tahun 1971, direvisi pada
tahun 1982, dan direvisi kembali pada tahun 1997 (Tabel 2) (Hochberg 1997).
Kriteria ini membedakan pasien dengan penyakit tersebut dari mereka yang bebas
penyakit. Kriteria klasifikasi American College of Rheumatology (ACR)
dikembangkan untuk studi klinis lupus untuk memastikan bahwa kasus yang
dilaporkan dalam literatur yang pada kenyataannya memang memiliki penyakit.
Selain berbagai manifestasi, SLE juga memiliki perjalanan penyakit yang tak
terduga. Sifat dinamis dari penyakit ini sering membuat penegakan diagnosis
menjadi menantang.
Meskipun kriteria klasifikasi ACR juga dapat digunakan sebagai alat bantu
diagnostik, ada beberapa perhatian bila penggunaannya untuk tujuan diagnostik.
Kriteria ini dikembangkan dan divalidasi untuk klasifikasi pasien dengan penyakit
yang telah ditetapkan sejak lama dan mungkin menyingkirkan pasien dengan
penyakit awal atau penyakit terbatas pada beberapa organ. Dengan demikian,
terlepas dari sensitivitasnya yang sangat baik (>85%) dan spesifisitas (>95%)
untuk pasien dengan penyakit yang telah ditetapkan, sensitivitasnya untuk pasien
pada penyakit tahap awal mungkin secara signifikan lebih rendah. Beberapa
sistem direpresentasikan berlebihan; manifestasi mukokutaneus, misalnya,
diwakili dengan empat kriteria (fotosensitivitas, ruam malar, lesi diskoid, dan
ulkus oral). Semua gambaran yang termasuk dalam kriteria klasifikasi ber-
kontribusi sama tanpa bobot tertentu berdasarkan sensitivitas dan spesifisitas
untuk setiap kriteria individu. Dengan demikian, penelitian telah menunjukkan
dan pengalaman mendukung bahwa kriteria seperti bukti objektif adanya kelainan
ginjal (proteinuria signifikan, sedimen urin aktif atau biopsi ginjal dengan bukti
lupus nefritis), ruam diskoid, dan sitopenia lebih berguna dalam membangun
diagnosis lupus dari kriteria lainnya. Karena SLE merupakan penyakit yang tentu
saja ditandai oleh keterlibatan periodik satu sistem organ, jelas bahwa pasien
harus memiliki penyakit selama bertahun-tahun sebelum mereka memenuhi
kriteria klasifikasi. Di antara pasien yang dirujuk untuk lupus ke pusat-pusat
perawatan tersier, dua pertiga pasien memenuhi kriteria ACR, sekitar 10%
memiliki lupus klinis tetapi tidak memenuhi kriteria, dan 25% memiliki gejala
menyerupai fibromyalgia dan antibodi antinuclear positif (ANA) tetapi tidak
pernah mengembangkan lupus.

10.3 Fitur Ginjal


Keterlibatan ginjal terjadi pada 40-70% dari semua pasien SLE dan merupakan
penyebab utama morbiditas dan perawatan di rumah sakit. Formasi/deposisi
kompleks imun padal ginjal mengakibatkan inflamasi intra-glomerulus dengan
perekrutan leukosit dan aktivasi dan proliferasi sel-sel yang ada di ginjal (gambar
9). Proteinuria dalam berbagai tingkatan adalah fitur dominan dari nephritis lupus
(LN) dan biasanya disertai dengan hematuria glomerulus. Urinalisis adalah
metode yang paling penting dan efektif untuk mendeteksi dan memantau aktivitas
renal dari penyakit ini. Untuk menjamin kualitas, beberapa langkah harus
dilakukan. Hal ini termasuk pemeriksaan cepat dari spesimen urin segar, pagi hari,
midstream, yang dikumpulkan secara bersih, tidak didinginkan; dari pasien yang
beresiko besar mengembangkan LN untuk memastikan pemeriksaan yang detail di
laboratorium sentral. Hematuria (biasanya mikroskopik, jarang makroskopik)
menunjukkan glomerulus yang mengalami inflamasi atau penyakit tubulo-
interstitial. Eritrosit terfragmentasi atau berbentuk cacat (dismorfik). Silinder
granular dan lemak mencerminkan keadaan proteinuria sementara silinder sel
darah merah, sel darah putih, dan campuran mencerminkan keadaan nefritik.
Silinder yang besar dan berminyak mencerminkan gagal ginjal kronis. Pada
penyakit proliferatif yang parah, sedimen urin yang mengandung berbagai macam
sel dan silinder dapat ditemukan (‘sedimen urin teleskopik’) sebagai akibat dari
penyakit glomerulus yang parah dan penyakit tubular yang sedang berlangsung
yang bertumpang tindih dengan kerusakan ginjal kronis. Biopsi ginjal jarang
membantu diagnosis lupus, tetapi merupakan cara terbaik untuk mendokumentasi-
kan patologi ginjal (gambar 10). Dengan tidak adanya kelainan ginjal, biopsi
ginjal tidak ditawarkan dan tidak boleh dilakukan.

10.5 Fitur Kardiovaskular


Perikarditis dapat terjadi pada sekitar 25% dari pasien SLE. Efusi perikardial
mungkin bisa asimtomatik dan biasanya ringan sampai sedang. Tamponade jarang
ditemukan. Keterlibatan miokard jarang ditemui dan biasanya terjadi dengan
adanya aktivitas lupus yang menyeluruh. Pasien mungkin datang dengan demam,
dispneu, takikardia, dan gagal jantung kongestif. Gambaran klinis disfungsi
ventrikel kiri, perubahan gelombang ST-T non-spesifik, kelainan gerakan dinding
segmental, dan penurunan fraksi ejeksi ditemukan pada > 80% pasien. MRI telah
digunakan untuk mendeteksi baik keterlibatan miokard klinis dan subklinis pada
SLE.
Pasien SLE mengalami peningkatan morbiditas dan mortalitas secara
substansial akibat penyakit kardiovaskuler (CVD), diantaranya aterosklerosis
prematur dan penyakit jantung katup. Studi juga menunjukkan peningkatan risiko
untuk infark miokard atau stroke dibandingkan dengan populasi sehat, dan risiko
ini tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh faktor-faktor risiko CVD secara
tradisional. Penyakit jantung katup umum terjadi pada SLE dan telah dikaitkan
dengan adanya antibodi antifosfolipid. Kelainan yang paling umum adalah
penebalan katup mitral dan aorta secara difus diikuti oleh vegetasi, regurgitasi
katup, dan stenosis dalam urutan penurunan frekuensi. Insiden bersamaan dari
stroke, emboli perifer, gagal jantung, endokarditis infektif, dan kebutuhan untuk
penggantian katup sekitar tiga kali lipat lebih tinggi pada pasien dengan penyakit
katup dibandingkan dengan mereka yang tidak. Studi patologis telah
menunjukkan valvulitis yang aktif dan sembuh, serta aktif vegetasi Libman-Sacks
dengan trombus akut, vegetasi yang sembuh dengan atau tanpa trombus yang
terbungkus hyalin, atau baik vegetasi aktif dan sembuh, dalam katup yang sama
atau berbeda.
10.6 Pleura dan paru
Manifestasi pleuropulmoner paling umum dari SLE adalah pleuritis (tabel 7).
Nyeri pleuritik ditemukan pada 45-60% pasien dan dapat terjadi dengan atau
tanpa efusi pleura, dengan efusi pleura yang mencolok secara klinis dilaporkan
hingga 50%. Efusi biasanya bilateral dan merata antara hemithoraks kiri dan
kanan. Efusi adalah tidak selalu bersifat eksudatif dengan glukosa yang lebih
tinggi dan laktat dehidrogenase yang lebih rendah dari yang ditemukan pada
rheumatoid arthritis.
Penyakit paru interstitial yang signifikan secara klinis (ILD) mempersulit
SLE pada 3-13% pasien, tetapi ini kasus yang jarang dan parah. Pneumonitis
lupus akut menampilkan gejala batuk, dispneu, nyeri pleuritik, hipoksemia, dan
demam terjadi pada 1-4% pasien. Radiografi thoraks menampilkan infiltrat
unilateral atau bilateral. Perdarahan pulmoner merupakan komplikasi SLE yang
jarang namun berpotensi membahayakan. Gambaran klinis tidak spesifik kecuali
infiltrat alveolar difus, hipoksemia, dispneu, dan anemia yang merupakan ciri
khas. Perdarahan alveolar biasanya terjadi pada pasien dengan riwayat diketahui
dari SLE, titer antibodi anti-DNA yang tinggi, dan penyakit paru aktif.
Bronkoskopi fibreoptic dengan bronchoalveolar lavage (BAL) dan biopsi paru
transbronkial biasanya diperlukan untuk mendukung diagnosis.
‘Sindrom paru menyusut’ ditandai dengan dispneu progresif dan volume
paru yang kecil pada radiografi thoraks, dan diduga karena sekunder dari
disfungsi diafragma. Kelainan ini sulit dibedakan dari kelemahan otot pernapasan,
penyakit parenkim primer atau etiologi pleural dari volume paru yang rendah
tanpa menggunakan studi invasif. Hipertensi pulmonal (PH) merupakan
komplikasi yang jarang namun berpotensi mengancam nyawa. Dispneu adalah
gejala yang paling umum yang mencapai hingga 58% pasien yang memiliki
fenomena Raynaud.

10.7 Limfadenopati dan splenomegali


Limfadenopati terjadi pada sekitar 40% pasien, biasanya terjadi pada onset
penyakit atau selama flare penyakit. Kelenjar getah bening biasanya lunak, tidak
keras, diskret, dan biasanya terdeteksi pada area servikal, aksila, dan inguinal.
Limfadenopati yang menimbulkan masalah diagnostik yang secara klinis
signifikan jarang ditemui. Pasien dengan limfadenopati lebih cenderung memiliki
gejala konstitusional. Biopsi kelenjar getah bening dapat dibenarkan bila derajat
limfadenopati tidak sesuai dengan aktivitas lupus. Splenomegali terjadi pada 10-
45% pasien, terutama selama penyakit aktif, dan belum tentu terkait dengan
sitopeni. Atrofi lien dan hiposplenisme fungsional juga telah dilaporkan pada SLE
dan mungkin menjadi predisposisi komplikasi septik yang parah.

10.8 Fitur hematologi


Kelainan hematologi umum ditemui dan dapat menjadi tanda atau gejala SLE.
Manifestasi klinis utama misalnya anemia, leukopenia, trombositopenia, dan
sindrom antifosfolipid.
Anemia. Anemia pada SLE adalah hal yang umum dan berkorelasi dengan
aktivitas penyakit. Patogenesisnya meliputi anemia penyakit kronis, hemolisis
(autoimun atau mikroangiopati), kehilangan darah, insufisiensi renal, obat,
infeksi, hipersplenisme, myelodisplasia, mielofibrosis, dan anemia aplastik.
Penyebab yang cukup adalah tersupresinya eritropoiesis akibat dari inflamasi
kronis. Anemia hemolitik autoimun yang jelas telah dilaporkan pada 10% dari
pasien; sebagai catatan, pasien SLE mungkin memiliki tes Coombs positif tanpa
hemolisis yang jelas. Kehilangan darah, baik dari saluran gastrointestinal (GI),
biasanya terjadi sekunder akibat obat (obat anti-inflamasi non-steroid (NSAID)),
atau karena perdarahan menstruasi yang berlebihan, yang dapat menyebabkan
anemia defisiensi besi. Penyebab anemia defisiensi besi yang jarang pada SLE
mungkin perdarahan paru derajat ringan tanpa tanda-tanda hemoptisis.
Suatu anemia hemolitik mikroangiopatik dengan atau tanpa fitur lainnya
(demam, trombositopenia, keterlibatan ginjal, gejala neurologis) dari trombotik
trombositopenia purpura (TTP) telah dijelaskan dalam SLE. Kehadiran skistosit
padai hapusan darah perifer dan peningkatan laktat dehidrogenase (LDH) adalah
ciri khas dari kelainan ini. Ketika ini terjadi dalam kondisi aktivitas lupus
generalisata, kami lebih suka menyebutnya sindrom menyerupai TTP dan
menggunakan terapi imunosupresif. Dengan tidak adanya aktivitas lupus
generalisata kami melihatnya sebagai TTP bonafide. Sindrom serupa juga dapat
terjadi dengan adanya antibodi antifosfolipid. Aplasia eritrosit akibat antibodi
terhadap prognitor eritrosit jarang dilaporkan pada pasien SLE.
Leukopenia. Leukopenia umum terjadi pada SLE; ini dapat menjadi gejala
yang nampak saat datang dan biasanya berhubungan dengan aktivitas penyakit.
Jumlah sel darah putih <4500/mm3 telah dilaporkan pada mencapai 30-40%
kasus, khususnya dengan adanya penyakit aktif. Leukopenia berat (neutrofil
<500/mm3) jarang terjadi. Limfositopenia (limfosit <1500/mm3) terjadi pada
sekitar 20% pasien SLE.
Trombositopenia. Trombositopenia ringan (platelet 100.000-150.000/
mm3) telah dilaporkan pada 25-50% pasien; jumlah <50 000/mm3 terjadi hanya
10%. Penyebab paling umum dari trombositopenia pada SLE adalah peng-
hancuran platelet yang diperantarai sistem imun, tetapi peningkatan konsumsi
trombosit juga dapat terjadi karena anemia hemolitik mikroangiopati atau
hipersplenisme. Gangguan produksi platelet sekunder karena obat adalah faktor
lain yang juga berkontribusi. Trombositopenia purpura idiopatik (ITP) mungkin
merupakan tanda pertama dari SLE, diikuti oleh gejala lain selama bertahun-tahun
kemudian. Dalam kasus tersebut, adanya titer ANA yang tinggi atau extractable
nuclear antigens (ENAs) meningkatkan kemungkinan dari SLE yang mendasari.
Tabel 8 menggambarkan pendekatan kami mengenai trombositopenia pada lupus.

10.9 Fitur hepar dan saluran gastrointestinal


Saluran gastrointerstinal. Manifestasi GI dilaporkan pada 25-40% pasien dengan
SLE, dan mewakili baik keterlibatan lupus GI atau pengaruh pengobatan.
Dispepsia telah dilaporkan pada 11-50%, dan ulkus peptik (biasanya lambung)
pada 4-21%.
Nyeri perut. Nyeri perut disertai mual dan muntah terjadi pada 30% pasien
SLE. Pertimbangan khusus harus diberikan dalam kondisi seperti peritonitis,
vaskulitis mesenterika dengan infark usus, pankreatitis, dan penyakit inflamasi
usus. Faktor risiko untuk pengembangan vaskulitis mesenterika diantaranya
vaskulitis perifer dan lupus SSP. Presentasi klinis biasanya dengan gejala
berbahaya yang mungkin terjadi intermiten selama berbulan-bulan sebelum
pengembangan nyeri perut akut dengan mual, muntah, diare, perdarahan GI, dan
demam. Pasien dengan presentasi akut mungkin juga mengalami trombosis dan
infark mesenterika, sering berhubungan dengan antibodi antifosfolipid. Diagnosis
vaskulitis mesenterika mungkin sulit untuk ditetapkan. Studi radiografi polos
dapat mengungkapkan dilatasi segmental usus, air fluid level, ‘thumb-printing’
atau penyempitan lumen, dan pseudo-obstruksi. Temuan computed tomography
(CT) scan abdomen yang kompatibel dengan vaskulitis mesenterika diantaranya
penonjolan pembuluh mesenterika dengan comb-like appearance yang mensuplai
usus yang terdilatasi, penebalan usus kecil dan ascites. Vaskulitis umumnya
melibatkan arteri kecil, yang dapat menyebabkan arteriogram negatif. Pankreatitis
karena lupus bisa terjadi akibat vaskulitis atau trombosis dan terjadi pada 2-8%
dari pasien. Peningkatan kadar amilase serum telah dijelaskan pada pasien dengan
SLE tanpa pankreatitis dan dengan demikian harus diinterpretasikan dengan
pemeriksaan klinis secara keseluruhan.

11 Diagnosis
11.1 Tes serologi
Antibodi antinuklear. Pemeriksaan ANA adalah tes skrining yang ideal karena
sentivitasnya (95% bila menggunakan sel kultur manusia sebagai substrat) dan
kesederhanaannya. Entitas ‘lupus ANA-negatif’ yang dijelaskan dalam tahun-
tahun sebelumnya biasanya dikaitkan dengan adanya autoantibodi sitoplasmik
lainnya seperti protein anti-Ro (SS-A) dan anti-ribosom P. Spesifitas ANA untuk
SLE tergolong rendah, karena ditemukan dalam banyak kondisi lain seperti
skleroderma, polymyositis, dermatomyositis, rheumatoid arthritis, tiroiditis
autoimun, hepatitis autoimun, infeksi, neoplasma, dan terkait dengan banyak obat.
Juga, beberapa individu sehat memiliki tes positif untuk ANA. Pembentukan
ANA bersifat tergantung usia; diperkirakan 10-35% dari orang berusia lebih dari
65 tahun memiliki ANA. Namun, titer umumnya lebih rendah (<1:40) di-
bandingkan dengan penyakit autoimun sistemik. Berbeda dengan nilai prediksi
positif yang rendah dalam tes ANA, pasien dengan tes negatif memiliki peluang
kurang dari 3% untuk memiliki SLE; dengan demikian, tes ANA negatif berguna
untuk menyingkirkan diagnosis SLE. Namun, dengan adanya fitur khas lupus, tes
ANA negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Hal ini terutama berlaku untuk
laboratorium yang menggunakan immunoassay enzim atau tes otomatis lainnya
yang menampilkan variasi antar-produsen yang bermakna. Dalam kasus tersebut,
sensitivitas terhadap ANA immunofluorescence positif dengan titer 1: 160
dilaporkan berkisar 70-98%.
Antibodi terhadap antigen nuklir yang diekstrak (ENAs). Nukleosom -
kompleks DNA dan histon -adalah yang pertama diidentifikasi lupus autoantigen.
Autoantibodi untuk DNA beruntai tunggal (ssDNA) dan histon individual umum
dijumpai pada SLE serta lupus yang diinduksi obat-obatan. Antibodi terhadap
DNA beruntai ganda (ds) ditemukan pada sampai dengan 70% pasien SLE di
beberapa titik selama perjalanan penyakit mereka, dan 95% spesifik untuk SLE,
sehingga menjadikannya marker penyakit yang berharga. Antibodi anti-Sm
(Smith) yang terdeteksi pada 10-30% dan kehadiran mereka adalah patognomonik
untuk SLE. Antibodi anti-nRNP berhubungan dengan anti-Sm tetapi tidak spesifik
untuk penyakit. Antibodi anti-ribosom spesifik untuk SLE tetapi kurang sensitif
dibandingkan anti-dsDNA atau anti-Sm.

11.2 Marker prognostik dan peran autoantibodi


Analisis kohort besar telah menjelaskan kelompok-kelompok autoantibodi yang
terkait dengan fitur SLE yang berbeda. Serum titer anti-dsDNA telah berkorelasi
dengan LN, perkembangan stadium akhir penyakit ginjal, dan meningkatkan
keparahan penyakit, kerusakan atau kelangsungan hidup yang buruk. Antibodi
antifosfolipid berkaitan erat dengan fitur dari sindrom antifosfolipid (APS)
(trombosis arteri/vena, kematian janin, trombositopenia), keterlibatan SSP
(terutama penyakit serebrovaskular), LN berat, kerusakan akrual, dan kematian.
Antibodi anti-Ro (SS-A) dan anti-La (SS-B) telah dikaitkan dengan lupus
neonatal, dan blok jantung bawaan pada anak dari ibu seropositif. Antibodi
terhadap antigen nuklir yang diekstrak lainnya (anti-Ro/La/Sm/RNP) telah
dikaitkan dengan keterlibatan mukokutan dan nefropati ringan pada sebagian
besar studi.

11.3.1 Kesalahan dan tantangan dalam diagnosis


Penyakit jaringan ikat non-diferensiasi. Pengetahuan bahwa penyakit rheumatik
sistemik memiliki beberapa fitur-fitur umum yang membuat diagnosis spesifik
sulit ditegakkan telah menggiring pada konsep sindrom jaringan ikat non-
diferensiasi. Pasien-pasien ini menyumbang sekitar 10-20% dari pasien yang
dirujuk ke pusat-pusat perawatan tersier. Di antara pasien dengan gejala sugestif
untuk penyakit jaringan ikat, hanya sebagian kecil (10-15%) yang memenuhi
kriteria klasifikasi untuk SLE setelah 5 tahun follow up. Faktor prognostik untuk
SLE adalah usia muda, alopesia, serositis, lupus diskoid, tes Coombs positif, dan
antibodi anti-Sm dan anti-DNA positif. Lupus laten atau inkomplit meng-
gambarkan pasien yang datang dengan konstelasi gejala sugestif untuk SLE, tetapi
tidak memenuhi syarat klasifikasi kriteria klinis untuk SLE klasik. Pasien-pasien
ini biasanya hadir dengan satu atau dua dari kriteria ACR dan fitur lain yang tidak
termasuk dalam kriteria klasifikasi. Sebagian besar pasien tidak mengembangkan
SLE atau ketika mereka mengalami biasanya masih ringan dan jarang melibatkan
organ mayor.
Seri kasus menunjukkan bahwa SLE mungkin terkadang hadir dengan
demam tinggi dan limfadenopati yang menyerupai limfoid atau keganasan
hematologis, kejadian neurologis (chorea, kejadian serebrovaskular, myelitis),
ruam kulit yang tidak biasa (urtikaria kronis, pannikulitis), vaskulitis abdominal,
pneumonitis/ perdarahan paru, hipertensi pulmonal, serositis terisolasi,
miokarditis, anemia aplastik atau sitopenias terisolasi. Anamnesis untuk
manifestasi lupus di masa lalu dan pemeriksaan yang cermat bersama dengan
serologi dapat membantu mengenali penyakit ini

11.4 Diagnosis banding


Diagnosis banding dari penyakit poliartikuler lain yang mempengaruhi wanita
muda, seperti rheumatoid arthritis atau penyakit Still, mungkin tidak mudah
ditemukan pada tahap awal. Penyakit lain yang harus dipertimbangkan termasuk
penyakit jaringan ikat non-diferensiasi, sindrom Sjögren primer, sindrom
antifosfolipid primer, fibromyalgia dengan ANA positif, idiopatik trombo-
sitopenia purpura, lupus yang dipicu obat, dan penyakit tiroid autoimun. Pasien
dengan demam atau splenomegali/limfadenopati harus dibedakan dari penyakit
menular atau limfoma. Pada pasien demam dengan SLE yang telah diketahui,
leukositosis, neutrophilia, menggigil, dan tingkat normal dari antibodi anti-DNA
mendukung infeksi. Lupus dapat hadir dengan limfadenopati lokal atau umum
atau splenomegali, tetapi ukuran kelenjar limfe jarang >2 cm sementara
splenomegali dengan skala ringan sampai sedang. Pasien dengan SLE yang telah
diketahui atau dicurigai, dengan limfadenopati yang menonjol, splenomegali
masif atau ekspansi dari populasi sel B CD19+/CD22+ monoklonal harus
meningkatkan kecurigaan dari limfoma non-Hodgkin. Pada pasien dengan gejala
neurologis, infeksi, kejadian serebrovaskular atau penyakit neurologis yang
diperantarai imunitas seperti multiple sklerosis atau penyakit Guillain-Barré harus
dipertimbangkan. Akhirnya, pada pasien dengan sindrom renopulmoner, penyakit
harus dibedakan dari sindrom Goodpasture, atau antibodi sitoplasmik
antineutrophil (ANCA) yang terkait dengan vaskulitis. Diagnosis glomerulo-
nefritis termasuk glomerulonefritis pasca-infeksi (streptokokus, stafilokokus,
endokarditis bakterial subakut, atau virus hepatitis C), glomerulonefritis
membranoproliferatif, atau vaskulitis ginjal (terkait ANCA atau anti-GBM).

12. SLE dan kehamilan


Ibu. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal fertilitas antara pasien
dengan SLE dan individu sehat. Kehamilan dapat meningkatkan aktivitas lupus
tetapi flare biasanya ringan. Outcome kehamilan biasanya optimal ketika penyakit
mengalami remisi klinis dalam 6-12 bulan dan fungsi ginjal pasien stabil dan
normal atau mendekati normal. Pasien dengan antibodi LN dan antifosfolipid
beresiko mengembangkan preeklampsia dan harus dipantau secara ketat.
Proteinuria mungkin meningkat selama kehamilan pada wanita dengan penyakit
ginjal yang mendasari. Membedakan preeklampsia dari aktivitas lupus pada
ginjal tidak sulit dalam banyak kasus. Komplemen serum yang sangat rendah,
sedimen urin aktif, dan adanya aktivitas lupus generalisata akan mendukung ke
arah lupus. Fitur lain seperti hipertensi, trombositopenia, kenaikan kadar asam
urat serum, dan proteinuria dapat diamati di kedua kondisi. Aktivasi ringan pada
komplemen jalur klasik mungkin disebabkan oleh kehamilan saja. Induksi
ovarium dan fertilisasi dapat berhasil pada pasien SLE, namun tingkat komplikasi
janin dan ibu mungkin lebih tinggi.
Janin. SLE dapat mempengaruhi janin dalam beberapa cara, terutama jika
ibu memiliki riwayat LN, antibodi antifosfolipid, anti-Ro dan/atau anti-La.
Kondisi ini berhubungan dengan peningkatan risiko keguguran, lahir mati,
kelahiran prematur, restriksi pertumbuhan intrauterin, dan blok jantung pada
janin. Lupus neonatal adalah penyakit autoimun yang ditransfer secara pasif yang
terjadi pada beberapa bayi yang lahir dari ibu dengan antibodi anti-SS-A/Ro
dan/atau anti-SS-B/La. Komplikasi yang paling serius pada neonatus adalah blok
jantung komplit, yang terjadi hingga 2% dari kehamilan tersebut. Ruam kulit
terisolasi terjadi dalam persentase yang sama. Setelah seorang wanita melahirkan
bayi dengan blok jantung bawaan, tingkat kekambuhan sekitar 15%.
Tabel 10 merangkum poin kunci yang relevan dengan pengelolaan
kehamilan pada pasien SLE.

13. Lupus di masa anak dan remaja


Sekitar 15-20% dari semua kasus SLE didiagnosis pada masa anak-anak. SLE
anak mungkin berbeda dari SLE dewasa, dalam hal ekspresi penyakit, fisiologi,
perkembangan dan masalah psikososial. Karena kurangnya data mengenai SLE
pediatrik, sedikit yang diketahui tentang epidemiologi, outcome jangka panjang,
dan manajemen yang optimal. Secara umum, prinsip yang sama diterapkan dalam
pengelolaan lupus pediatrik; Namun, kebutuhan khusus dari populasi ini juga
harus dipertimbangkan.
14. Lupus yang dipicu obat (DIL)
Berbagai obat telah diidentifikasi sebagai penyebab yang pasti, probable atau
possible untuk lupus (tabel 11). DIL harus dicurigai pada pasien tanpa diagnosis
atau riwayat SLE, yang mengembangkan ANA positif dan setidaknya satu fitur
klinis lupus setelah durasi tertentu dari penggunaan obat, dan yang gejalanya
mereda setelah penghentian obat. DIL mungkin jarang dilaporkan karena
kebanyakan kasus bersifat ringan dan dapat sembuh sendiri setelah penggunaan
obat dihentikan. Gambaran klinis berupa demam, mialgia, ruam, arthritis, dan
serositis. Kelainan hematologis, penyakit ginjal, dan CNS lupus jarang terjadi.
Antibodi antihiston muncul pada lebih dari 95% kasus, sedangkan hipo-
komplemenemia dan anti-DNA antibodi jarang ditemukan, dengan pengecualian
kemungkinan penyakit yang berhubungan dengan penggunaan terapi IFNα dan
anti-TNF.

15. Kegawatdaruratan dan penyakit kritis


Kunjungan unit gawat darurat (UGD). Pasien SLE mungkin datang ke UGD
karena komplikasi yang berhubungan dengan lupus sendiri atau pengobatannya,
atau karena alasan yang tidak berhubungan dengan itu semua. Pertanyaan kritis
yang dihadapi dokter adalah: (1) apakah kejadian ini terkait dengan lupus; dan (2)
apakah dengan keberadaan lupus pengelolaan harus dibedakan. Secara umum,
kegawatdaruratan terkait lupus sering terjadi ketika penyakit aktif. Misalnya,
sekitar 60% dari peristiwa NPSLE primer terjadi dengan adanya aktivitas lupus
generalisata. Gejala yang biasanya membawa pasien lupus ke UGD adalah
demam, sesak napas, dan nyeri dada. Kepatuhan yang kurang, tingkat pendidikan
yang rendah, tingkat keparahan penyakit yang mendasari, dan skor kerusakan
yang lebih tinggi merupakan faktor risiko untuk rawat inap di rumah sakit.
Lupus di unit perawatan intensif (ICU). Penyakit yang mengancam
nyawa dapat berkembang pada pasien dengan lupus dari salah satu penyebab
berikut: (1) eksaserbasi dari manifestasi yang sudah ada dari SLE; (2)
pengembangan manifestasi baru SLE yang dapat mengancam nyawa; (3) infeksi
akibat imunosupresi; (4) efek samping dari obat yang digunakan untuk mengobati
SLE; (5) keganasan yang dihasilkan dari penggunaan obat sitotoksik jangka
panjang, dan (6) penyakit akut serius yang tidak berhubungan dengan SLE,
namun manifestasi diubah atau diperberat penyakit tersebut. Infeksi adalah bentuk
paling umum dari keterlibatan paru pada pasien dengan SLE.
Infeksi pada pasien SLE dapat dirancukan dengan eksaserbasi penyakit,
dan terapi empiris dengan antibiotik spektrum luas menjanjikan sampai infeksi
dapat dikesampingkan. Dalam kasus paru, diagnosis pneumonitis lupus akut dapat
dibuat setelah mengesampingkan infeksi pada pasien dengan fitur yang
menyerupai pneumonia infeksius. Suatu indeks kecurigaan yang tinggi harus
dipertahankan untuk pasien wanita muda yang memiliki infiltrat paru yang tidak
dapat dijelaskan. Perdarahan alveolar juga merupakan komplikasi yang serius tapi
jarang dari lupus dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Gagal napas dapat
terjadi, dan lebih dari setengah dari pasien yang terkena memerlukan ventilasi
mekanis. Pasien dengan perdarahan alveolar biasanya memiliki lupus nephritis
sebagai kondisi yang telah ada sebelumnya. Kejadian vaskular (serebrovaskular
atau miokard) karena aterosklerosis prematur semakin sering ditemukan di antara
pasien SLE. Meskipun pasien seringkali mengeluhkan vaskulitis, mayoritas
penyakit oklusi koroner pada SLE diakibatkan dari aterosklerosis atau trombosis.
Kasus ruptur dinding bebas ventrikel kiri, regurgitasi mitral akut setelah ruptur
korda tendinae, dan diseksi aorta telah dijelaskan. Kecelakaan serebrovaskular
secara akut menampilkan hemiplegia, afasia, disfungsi otak, bula kortikal atau
defisit lain dari fungsi otak yang dapat disebabkan oleh perdarahan intrakranial
dari ruptur aneurisma, stroke trombotik dari vaskulitis atau vaskulopati sekunder
untuk antibodi antifosfolipid, atau stroke emboli dari emboli jantung. Myelopati
medula spinalis adalah manifestasi SLE yang sangat merugikan. Pasien datang
dengan kelemahan atau kelumpuhan, defisit sensorik bilateral, dan gangguan
kontrol sfingter. Gejala biasanya berkembang dalam hitungan jam atau hari. MRI
medula spinalis bisa menunjukkan kelainan karakteristik edema saraf jika
dilakukan secara dini. Karena prognosisnya yang buruk, diagnosis dini dan terapi
agresif sangatlah penting.
17. Prognosis, morbiditas dan komorbiditas, dan mortalitas
17.1 Prognosis
Meskipun pengobatan terbaru lupus dapat memperbaiki kelangsungan hidup
secara dramatis, remisi sempurna dan berkepanjangan – didefinisikan sebagai 5
tahun tanpa bukti klinis dan laboratorium dari penyakit aktif tanpa pengobatan –
tetap sulit dicapai bagi sebagian besar pasien. Kejadian flare diperkirakan sekitara
0,65 per pasien-tahun pada masa tindak lanjut. Selain itu, sejumlah signifikan
pasien (10-20% di pusat-pusat rujukan tersier) tidak merespon terapi imuno-
supresif secara adekuat.

17.2 Morbiditas, komorbiditas, dan kematian


Pada lupus, morbiditas terkait pengobatan mungkin tidak mudah dipisahkan dari
morbiditas terkait penyakit. Insiden perawatan di rumah sakit untuk pasien dengan
lupus adalah 0.69 perawatan per pasien-tahun. Infeksi, penyakit arteri koroner,
dan manajemen ortopedi osteonekrosis adalah alasan utama untuk rawat inap.
Pola mortalitas bimodal pertama kali dijelaskan pada tahun 1974 menunjukkan
bahwa kematian dini pada SLE dikaitkan dengan aktivitas lupus dan infeksi,
sedangkan angka kematian lambat dikaitkan dengan komplikasi aterosklerosis.
Infeksi. Infeksi menyumbang sekitar 20-55% dari seluruh kematian pada
pasien SLE. Kerentanan terhadap infeksi mungkin karena faktor disregulasi
imunitas dan terapi yang mendasari, terutama glukokortikoid (GC) dosis tinggi
dan obat imunosupresif. Suatu spektrum yang luas dari infeksi telah dilaporkan
pada SLE, termasuk bakteri, mikobakteri, virus, jamur, dan parasit, dengan lokasi
sistem pernafasan, saluran kemih, dan SSP adalah yang paling sering terlibat.
Faktor risiko untuk infeksi antara lain peningkatan aktivitas lupus klinis dan/atau
serologi pada awalnya, keterlibatan organ mayor(terutama ginjal dan paru),
limfopenia, neutropenia persisten (<1000/mm3), hipoalbuminemia (terutama
untuk infeksi SSP berat), GC dosis tinggi (setiap peningkatan 10 mg/hari
prednison dikaitkan dengan 11 kali lipat peningkatan risiko infeksi berat), dan
riwayat penggunaan (dalam 6 bulan terakhir) obat sitotoksik (terutama,
azathioprine, dan siklofosfamid). Evaluasi pasien lupus yang menerima terapi
imunosupresif dan menampilkan dengan gejala atau tanda-tanda sugestif infeksi
memiliki tantangan diagnostik dan therapeutik. Temuan yang mendukung
diagnosis infeksi termasuk adanya menggigil, leukositosis dan/atau neutrofilia
(terutama dengan tidak adanya terapi steroid), meningkatnya jumlah bentuk band
atau metamyelosit pada hapusan darah tepi, dan terapi imunosupresif bersamaan.
Diagnosis demam SLE dicurigai oleh adanya leukopenia (tidak dijelaskan dengan
terapi sitotoksik), C reaktif protein normal atau sedikit meningkat, C3/C4 rendah,
dan peningkatan antibodi anti-DNA. Sambil menunggu hasil mikrobiologi, terapi
antimikroba yang adekuat (termasuk antibiotik spektrum luas pada infeksi
nosokomial yang dicurigai) dianjurkan untuk mengurangi outcome yang tidak
diinginkan.

Anda mungkin juga menyukai