Anda di halaman 1dari 51

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk
metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Ekskresi disini merupakan hasil
dari tiga proses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubulus proksimal, dan
reabsorbsi pasif di tubulus proksimal dan distal. Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada
gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu disesuaikan dengan penurunan dosis atau
perpanjangan interval pemberian (Ganiswara, 2005).
Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu sindroma klinik yang ditandai dengan
adanya gangguan fungsi ginjal secara mendadak dalam beberapa jam sampai beberapa hari
yang menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen dan non-nitrogen, dengan atau tanpa
disertai oliguri (Anonim, 2007). Sindroma ini ditemukan pada kira-kira 5% dari semua
pasien yang dirawat di rumah sakit dan sampai dengan 30% pasien yang dirawat di unit
rawat intensif. Meskipun biasanya bersifat reversibel, GGA merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas di rumah sakit yang disebabkan oleh sifat yang serius dari
penyakit yang mendasarinya dan tingginya komplikasi yang terjadi (Isselbacher et al.,
2000).
Gagal ginjal akut terjadi secara tiba-tiba dan berpotensi kembali lagi ke normal,
sedangkan gagal ginjal kronik sudah terjadi bertahun-tahun dan progresif. Menurut
Parsoedi dan Soewito, angka kematian yang disebabkan berkisar antara 20-52% meskipun
dirawat dengan fasilitas yang sempurna (Parsoedi and Soewito, 1990).
Kasus gagal ginjal di dunia meningkat lebih dari 50% pertahun, sedangkan di
Indonesia sudah mencapai 20%. Mortalitas penderita GGA masih cukup tinggi, 40–50 %
pada GGA oliguri dan 15–20 % pada GGA non-oliguri. Insiden GGA di populasi umum
kurang dari 1 %, sedangkan pada penderita yang dirawat di rumah sakit berkisar 5–7 % dan
20–25 % terjadi pada penderita di ruang perawatan intensif (Suhardjono, 2007).
Obat yang dikeluarkan terutama melalui ekskresi ginjal dapat menyebabkan
toksisitas pada penderita gangguan ginjal (Shargel and Yu, 1999). Keberhasilan terapi
untuk penyakit sangat ditunjang oleh pemilihan kombinasi obat yang tepat sedangkan
kegagalan terapi sering diakibatkan karena adanya Drug Related Problem (DRP). Ketika
outcome yang didapatkan tidak optimal, maka DRP dapat terjadi. Pasien yang paling sering
mengalami resiko tinggi terjadinya jenis DRP ketidak tepatan dosis adalah golongan usia
lanjut, yang dalam proses penuaan akan mengalami proses penurunan fungsi renal (Cipolle
et al., 1998).
Pasien usia lanjut mempunyai resiko yang lebih tinggi terhadap interaksi obat, di
antaranya karena pasien ini akan memperoleh berbagai macam obat karena pasien
kemungkinan juga menderita berbagai jenis penyakit sistemik lain yang menyertai. Selain
itu pemahaman terhadap pengobatan yang buruk, mengakibatkan munculnya banyak
masalah termasuk rendahnya kepatuhan dalam pengobatan (Kenward and Tan, 2003).
Dari penelitian yang dilakukan sebelummnya terdapat penggunaan obat dengan
kontraindikasi pada pasien gagal ginjal sebanyak 13 kasus (40,63% dari total kasus). Selain
itu terjadi interaksi obat pada 9 kasus (28,13% dari total kasus) dan kasus dosis tidak tepat
terjadi pada 10 kasus (31,25% dari total kasus) (Masrruroh, 2006). Menurut Winarni
(2006) terdapat 11 kasus (23%) pasien menggunakan obat nefrotoksik dan 5 kasus (11%)
pasien mengalami interaksi obat dari total kasus yang ada.
Berdasarkan laporan dari unit rekam medik rumah sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta pada tahun 2003-2005 kurang lebih terdapat 70 kasus pasien yang menderita
GGA, dan sekitar 18,5% pasien meninggal dunia setelah menjalani perawatan di rumah
sakit ini. Dari sekian kasus yang terjadi, umur pasien yang menderita penyakit ini rata-rata
di atas 30 tahun.
Dari latar belakang di atas dan adanya kasus pasien yang menderita GGA di rumah
sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta, penelitian terkait dengan pola penggunaan obat
pada pengobatan pasien GGA yang ada di rumah sakit tersebut penting untuk dilakukan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana gambaran penggunaan obat pada pasien GGA di instalasi rawat inap
rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2003-2005 ?
2. Bagaimana kesesuaian pengobatan yang dilakukan dibandingkan dengan standar
pelayanan medik (SPM) tahun 2005 yang ada di rumah sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta ?
3. Bagaimanakah efektivitas penggunaan obat pada pasien GGA di rumah sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta yang dilihat dari lama perawatan, keadaan pulang serta
data obyektif pasien berupa BUN dan kreatinin ?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui bagaimana pola penggunaan obat pada penderita GGA di rumah sakit
PKU Muhammadiyah.
2. Mengetahui kesesuaian penggunaan obat yang diberikan dengan standar pelayanan
medik (SPM) yang ada di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
3. Mengetahui efektivitas penggunaan obat yang diberikan di rumah sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian
1. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran kepada praktisi
kesehatan di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta sehingga dapat
meningkatkan pelayanan kesehatan dan pasien mendapatkan terapi yang optimal.
2. Dengan adanya penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pembanding dan pelengkap
untuk penelitian selanjutnya.

BAB ΙΙ
STUDI PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka
1. Anatomi dan fisiologi ginjal

Ginjal merupakan sepasang organ berbentuk kacang yang terletak bagian ventral
dinding perut bagian dorsal, di bawah diafragma dan masing-masing terletak pada kedua
sisi kolom tulang belakang. Pada bagian cembungnya mengarah ke lateral, bagian
cekungnya mengarah ke medial. Panjang ginjal 10-12 cm, penampang melintangnya 5-6
cm dan beratnya sekitar 120-160 gram (Ganiswara, 2005).

Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan ginjal yang kiri karena tertekan ke
bawah oleh hati. Katup atasnya terletak setinggi kosta keduabelas sedangkan kutup atas
ginjal kiri terletak setinggi kosta kesebelas (Wilson, 1995).

Tiap tubulus ginjal dan glomerulusnya membentuk satu kesatuan (nefron). Ukuran
ginjal berbagai spesies ditentukan oleh jumlah nefron yang membentuknya. Tiap ginjal
manusia memiliki kira-kira 1,3 juta nefron. Ginjal akan mendapat 1,2-1,3 L darah per menit
pada orang dewasa yang sedang istirahat, atau sedikit lebih kecil daripada 25% curah
jantung (Ganong, 2001).

Kapsula ginjal tipis tapi kuat. Bila ginjal edema, kapsula ini akan membatasi
pembengkakan, dan akibatnya tekanan jaringan (tekanan intersisial) ginjal meningkat. Hal
ini akan menurunkan laju filtrasi glomerulus dan dianggap memperberat dan
memperpanjang keadaan anuria pada GGA (Ganong, 2001).

Ginjal melakukan fungsi vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah
(dan lingkungan dalam tubuh) dengan mengekskresikan solut dan air secara selektif. Fungsi
vital ginjal dilakukan dengan filtrasi plasma darah melalui glomerulus diikuti dengan
reabsorbsi sejumlah solut dan air dalam jumlah yang tepat di sepanjang tubulus ginjal.
Kelebihan solut dan air akan diekskresikan keluar tubuh sebagai kemih melalui sistem
pengumpul (Wilson, 1995).

Ginjal memiliki sejumlah fungsi penting :


a. Ekskresi bahan yang tidak diperlukan
Ekskresi produk buangan yang meliputi produk sampingan dari metabolisme
karbohidrat (misal: air, asam) dan metabolisme protein (misal: urea, asam urat,
kreatinin), bersama dengan bahan yang jumlahnya melebihi kebutuhan tubuh
(misal: air).
b. Pengaturan homeostatis
Misal keseimbangan cairan dan elektrolit dan keseimbangan asam-basa. Ginjal
berperan penting dan secara aktif mempertahankan keseimbangan ionik, osmotik,
pH, dan keseimbangan cairan yang paling tepat di seluruh bagian tubuh.
c. Biosintesis dan metabolisme hormon
Meliputi biosintesa (misal : renin, aldosteron, erythopoetin dan 1,25- dihidroksi
vitamin D). Serta metabolisme hormon (misal : insulin, steroid, dan hormon-
hormon tiroid). Oleh karena itu, ginjal terlibat dalam pengaturan tekanan darah,
metabolisme kalsium, dan tulang serta eritopoesis (Kenward and Tan, 2003).

2. Definisi

Gagal ginjal akut (GGA) merupakan penurunan fungsi ginjal secara mendadak
sehingga ginjal tidak mampu menjalani fungsinya untuk mengekskresikan hasil
metabolisme tubuh (kelebihan nitrogen dan air) dan mempertahankan keseimbangan asam
dan basa (Mueller,2005). GGA adalah penurunan tiba-tiba faal ginjal pada individu dengan
ginjal sehat sebelumnya, dengan atau tanpa oliguria. GGA dapat berakibat azotemia
progesif disertai kenaikkan ureum dan kreatinin darah (Parsoedi and Soewito, 1990).

Penurunan fungsi ginjal yang terjadi dalam waktu singkat menyebabkan penderita
GGA hanya mengalami sedikit gejala. Diagnosis yang dapat diterima meliputi terjadinya
peningkatan 50% dari batas atas nilai normal serum kreatinin, atau sekitar 0,5 mg/dl atau
terjadi penurunan sebesar 50% dari normal laju filtrasi glomerulus (Needham. 2005).
Anuria didefinisikan bila volume urin kurang dari 50ml per hari. Oliguria terjadi jika
volume urin dalam satu hari sekitar 50-450ml, sedangkan kondisi non oliguria terjadi jika
volume urin lebih dari 450ml per hari (Mueller, 2005).

Jika GGA bersifat sedang, efek fisiologis utamanya adalah retensi darah dan cairan
ekstraseluler dari cairan tubuh, produk buangan dari metabolisme dan elektrolit. Hal ini
dapat menyebabkan penumpukkan air dan garam yang berlebihan yang kemudian dapat
mengakibatkan edema dan hipertensi. Namun retensi kalium yang berlebihan sering
menyebabkan ancaman yang lebih serius terhadap pasien gagal ginjal akut karena
peningkatan konsentrasi kalium plasma (hiperkalemia) kira-kira lebih dari 8 mEq/liter
(hanya 2 kali normal) dapat menjadi fatal, karena ginjal juga tidak dapat mengekskresikan
cukup ion hidrogen. Pasien dengan GGA mengalami asidosis metabolik yang dapat
menyebabkan kematian atau dapat memperburuk hiperkalemia itu sendiri (Guyton and
Hall, 1997).

3. Epidemiologi

Acute renal failure (ARF) merupakan sindrom klinis yang sangat lazim terjadi pada
sekitar 5% pasien rawat inap dan sebanyak 30% pasien yang dirawat di unit perawatan
intensif. Sebagian besar pasien GGA biasanya memiliki fungsi ginjal yang sebelumnya
normal, dan keadaan ini umumnya dapat pulih kembali. Selain kenyataan ini, mortalitas
akibat GGA sangat tinggi sekitar 50%, bahkan dengan ketersediaan pengobatan dialisis,
mungkin menunjukkan penyakit kritis yang menyertainya (Wilson, 1995).

Menurut Dr. Suhardjono kasus gagal ginjal di dunia meningkat lebih dari 50%,
sedangkan di Indonesia sudah mencapai 20%. Mortalitas penderita GGA masih cukup
tinggi, 40–50% pada GGA oliguri dan 15–20 % pada gagal ginjal akut non-oliguri. Insiden
GGA di populasi umum kurang dari 1 %, 5–7 % pada penderita yang dirawat di rumah
sakit dan 20–25 % dari penderita di ruang perawatan intensif (Suhardjono, 2007).

4. Etiologi
Penyebab GGA dapat di bagi dalam 3 kategori utama :
1) GGA akibat penurunan suplai darah ke ginjal, keadaan ini sering disebut sebagai
GGA prarenal untuk menggambarkan bahwa kelainan terjadi sebelum ginjal.
Kelainan ini bisa diakibatkan oleh:
a) Gagal jantung dengan penurunan curah jantung dan tekanan darah rendah.
b) Keadaan yang berhubungan dengan penurunan volume darah dan tekanan
darah rendah seperti pada pendarahan hebat.
2) Gagal ginjal intrarenal akibat kelainan di dalam ginjal itu sendiri termasuk
kelainan yang mempengaruhi darah glomerulus atau tubulus.
3) Gagal ginjal pascarenal, berarti ada sumbatan di traktus urinarius di luar ginjal
adalah batu ginjal, akibat presipitasi kalsium, atau sistin (Guyton and Hall,
1997).
Tabel I. Penyebab Kegagalan Ginjal Akut (Woodley and Whelan, 1995)
Klasifikasi GGA Penyebab
Prarenal (iskemik) 1. Pengurangan volume cairan
2. Hipotensi
3. Kegagalan jantung parah
4. Kegagalan hati
Kegagalan ginjal 1. Nekrosis tubulus akut (iskemia berkepanjangan, bahan bahan
intrinsic (renal) nefrotoksik seperti logam berat, aminoglikosida, bahan kontras
radiografi).
2. Perlukaan arteriol seperti hipertensi yang di percepat,
vaskulitis, Mikrolopathia (purpura trombotik
trombositopenia, sindroma hemolitik uremik)
3. Glomerulonefritis
4. Nephritis intestinal akut (karena pengaruh obat)
5. Penimbunan intrarenal (asam urat, myeloma)
Pascarenal 1. Obstruksi ureteral (jendalan, batu, tumor, papillae yang
terkelupas, penekanan dari luar)
2. Obstruksi pada pintu keluar vesica urinaria (neurogenic
bladder, hipertrofi prostat, karsinoma, batu, jendalan,
penyempitan uretra).

(1) GGA prarenal azotemia


Prerenal azotemia disebabkan karena hipoperfusi dari parenkim ginjal dengan atau
terjadinya hipotensi arteriol sistemik. Hipoperfusi ginjal dengan hipotensi arteriol sistemik
mungkin disebabkan oleh penurunan volume intravaskular (hemoragi, dehidrasi) atau
penurunan volume darah efektif. Gagal jantung kongestif dan gagal hati merupakan salah
satu contoh penyebab penurunan volume darah efektif tanpa penurunan tekanan
intravaskular. Pada tahap ini, ginjal belum mengalami kerusakan. Urinalisis masih dalam
rentang normal, namun terjadi penurunan fraksi natrium yang menunjukkan terjadinya
peningkatan retensi natrium. Hipoperfusi ginjal tanpa hipotensi sistemik pada umumnya
diakibatkan oleh adanya sumbatan pada arteri ginjal bilateral atau unilateral. Pada keadaan
ini, retensi natrium diaktivasi oleh penurunan perfusi parenkim ginjal, tetapi tekanan darah
arteri sistemik biasanya meningkat sehingga menimbulkan inhibisi pada pelepasan hormon
antidiuretik (Mueller, 2005).
(2) Gagal ginjal renal
GGA renal atau intrinsik di bagi menjadi 4 kategori, yaitu : kelainan tubular,
kelainan vaskular, kelainan glomerulus dan kelainan interstisial. Pada GGA renal terjadi
kerusakan parenkim ginjal. Kerusakan parenkim menyebabkan kerusakan reabsorbsi
natrium yang dapat dilihat dari fraksi ekskresi natrium yang lebih dari 3% dan osmolalitas
urin yang rendah kurang dari 30 mOsm/kg (Agrawal and Swartz, 2000).
(a) Kelainan tubulus (nekrosis tubulus akut)
Kelainan utama terjadi pada sirkulasi renal yaitu terjadinya iskemia. Pada ginjal
terjadi penurunan perfusi ke korteks ginjal tempat adanya glomerulus, mungkin karena
umpan balik glomerulonefritis tubular intranefron sebagai reaksi terhadap peningkatan
konsentrasi natrium ke tubulus proksimal. Pada tahap ini pemberian dopamin dosis rendah
berguna dengan tujuan melebarkan vaskularisasi renal (Alatas et al., 1996).

(b) Kelainan vaskular


Kelainan vaskular sebagai penyebab GGA dapat berupa trombusis atau vaskulitis
GGA ini ditemukan pada pasien sindrom hemolitik uremik (SHU). Pada SHU terjadi
kerusakan sel endotel glomerulus yang mengakibatkan terjadinya deposisi thrombus
trombosit fibrin, selanjutnya terjadi konsumsi trombosit, kerusakan sel darah merah
(eritrosit) yang melalui jaring-jaring fibrin, dan obliterasi kapiler glomerulus. Kelainan ini
di sebut mikroangiopati (Alatas et al., 1996).
(c) Kelainan glomerulus (glomerulonefritis)
Glomerulonefritis ditandai dengan hipotensi, proteinuria , dan hematuuria. Pada
umumnya ada 2 macam glomerulonefritis yang menyebabkan GGA, yaitu
glomerulonefritis progresif cepat dan glomerulonefritis poliferatif akut. Glomerulonefritis
proliferatif akut terjadi pada pasien dengan endokarditis bakteri atau kondisi paska infeksi
lainnya . Pada pasien dengan glomerulonefritis progresif cepat fungsi renal bisa menurun
dengan cepat dan dapat berkembang menjadi gagal ginjal terminal dalam beberapa hari
sampai satu minggu (Agrawal and Swartz, 2000).
(d) Kelainan intersitial
Nefritis intersitial akut biasanya di tandai dengan demam dan eosinofilia.
Nefritis intersitial akut biasanya hasil dari reaksi alergi obat, tetapi bisa juga disebabkan
oleh penyakit autoimun, infeksi atau infiltrasi penyakit lainnya. Banyak obat-obatan yang
dapat menyebabkan nefritis intersitial akut tapi yang lebih umum adalah obat
antiinflamasi non steroid, penisilin, sefalosporin, sulfonamid, diuretik dan allupurinol
(Agrawal and Swartz, 2000).
(3) GGA pascarenal
GGA pascarenal diakibatkan oleh obstruksi pada ginjal, seperti hipertofi prostat,
kateterisasi, tumor atau kristal (Needham, 2005).obstruksi yang mengakibatkan GGA bisa
terjadi pada sistem urinasi dari tubulus ginjal menuju uretra. Untuk menimbulkan GGA,
obstruksi harus menyumbat kedua ginjal atau hanya satu ginjal pada pasien yang ginjalnya
hanya satu yang berfungsi. Obstruksi pada kandung kemih adalah yang paling sering dari
obstruksi uropati (Mueller, 2005).
5. Patofisiologi
a. Perubahan filtrasi glomerulus
filtrasi glomerulus bergantung pada penjumlahan gaya-gaya yang mendorong
filtrasi plasma menembus glomerulus dan gaya-gaya yang mendorong reabsorpsi filtrat
kembali ke dalam glomerulus. Gaya-gaya yang mendorong filtrasi adalah tekanan kapiler
dan tekanan osmotik koloid cairan interstisium (Corwin, 2000).
Tekanan kapiler bergantung pada tekanan arteri rerata. Peningkatan tekanan arteri
rerata meningkatkan tekanan kapiler sehingga cenderung terjadi peningkatan filtrasi
glomerulus. Penurunan tekanan arteri rerata menurunkan tekanan tekanan kapiler dan
cenderung mengurangi filtrasi glomerulus. Tekanan osmotik koloid cairan intertisium
rendah karena hanya sedikit protein plasma atau sel darah merah dapat menembus
glomerulus. Pada cedera glomerulus atau kapiler peritubulus, tekanan osmotik koloid cairan
intertisium dapat meningkat. Apabila meningkat, maka cairan akan tertarik keluar
glomerulus dan kapiler peritubulus sehingga terjadi pembengkakan dan edema di ruang
Bowman dan intertisium yang mengelilingi tubulus. Pembengkakan tersebut dapat
mengganggu filtrasi glomerulus dan reabsorpsi tubulus lebih lanjut dengan meningkatkan
tekanan cairan interstisium (Corwin, 2000).
b. Obstruksi tubulus
Peningkatan tekanan cairan interstisium sering disebabkan oleh obstruksi tubulus.
Obstruksi menyebabkan penimbunan cairan di nefron yang mengalir kembali ke kapsula
dan ruang Bowman. Obstruksi tubulus yang tidak diatasi dapat menyebabkan kolapsnya
nefron dan kapiler sehingga terjadi kerusakan ginjal yang ireversibel terutama di papila
yang merupakan tempat akhir pemekatan urin. Penyebab obstruksi antara lain adalah batu
ginjal dan pembentukkan jaringan parut akibat infeksi ginjal (Corwin, 2000).
c. Iskemia korteks ginjal
Iskemia terjadi karena kerusakan tubulus sel endotel dan adanya sumbatan
intrarenal sehingga laju filtrasi glomerulus menurun. Iskemia umumnya merupakan
kejadian awal yang dapat merusak tubulus atau glomerulus sehingga dapat menurunkan
aliran darah. Nekrosis tubular akut mengakibatkan deskuamasi sel tubulus nekrotik dan
bahan protein lainnya, yang kemudian membentuk silinder-silinder dan menyumbat lumen
tubulus. Pembengkakan seluler akibat iskemia awal, juga ikut menyokong terjadinya
obstruksi dan memperberat iskemia (Wilson, 1995)
6. Tanda dan gejala
Tanda-tanda dan gejala klinis GGA sering tersamar dan tidak spesifik walaupun
hasil pemeriksaan biokimiawi serum selalu menunjukkan ketidaknormalan. Gambaran
klinis dapat meliputi :
a. Perubahan volume urin (oliguria, poliuria)
b. Kelainan neurologis (lemah, letih. gangguan mental)
c. Gangguan pada kulit (gatal-gatal, pigmentasi, pallor)
d. Tanda pada kardiopulmoner (sesak, pericarditis) dan gejala pada saluran cerna
(mual, nafsu makan menurun, muntah) (Kenward and Tan, 2003).
Oliguria (penurunan pengeluaran urin), terutama apabila kegagalan disebabkan oleh
iskemia atau obstruksi. Oliguria dapat terjadi karena penurunan laju filtrasi glomerulus.
Azotemia (peningkatan senyawa-senyawa bernitrogen dalam darah), hiperkalemia
(peningkatan kalium dalam darah) dan asidosis. Perubahan elektrolit dan pH yang dapat
menyebabkan ensefalopati uremik (Corwin, 2000).
7. Pemeriksaan klinis dan Diagnosis
Uji fungsi ginjal hanya menggambarkan penyakit ginjal secara garis besar saja, dan
lebih dari setengah bagian ginjal harus mengalami kerusakan sebelum terlihat nyata adanya
gangguan pada ginjal. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk memperkirakan
fungsi ginjal (Kenward and Tan, 2003).
a. Anamnesis
Riwayat penyakit amat penting untuk mendapatkan faktor penyebab atau yang
memperberat gagal ginjal. Pada GGA perlu diperhatikan betul banyaknya asupan cairan,
kehilangan cairan melalui urin, muntah, diare, keringat yang berlebihan dan lain-lain serta
pencatatan berat badan pasien (Suhardjono et al., 2001).
b. Pemeriksaan fisis
Ada tiga hal penting yang harus didapatkan pada pemeriksaan fisis pasien dengan
GGA : Penentuan status volume sirkulasi, apakah ada tanda-tanda obstruksi saluran kemih,
yang terakhir adakah tanda-tanda penyakit sisitemik yang mungkin menyebabkan GGA
(Suhardjono et al., 2001).
c. Analisis urin
Meliputi berat jenis urin, glukosa pada urin, protein pada urin, sedimen eritrosis,
silinder leukosit, eosinofil dalam urin, kristal urat dan kristal oksalat (Suhardjono et al.,
2001). Osmolalitas (berat jenis spesifik) urin dapat diukur dan harus berada di antara 1.015
dan 1.025. Dehidrasi menyebabkan peningkatan osmolalitas urin karena banyak air yang
direabsorpsi kembali masuk ke kapiler peritubulus. Hidrasi berlebihan menyebabkan
penurunan osmolalitas urin (Corwin, 2000).
d. Penentuan indikator urin
Pemeriksaan beberapa indikator urin seperti albumin, natrium, ureum dan kreatinin
dapat dipakai untuk mengetahui proses yang terjadi dalam ginjal (Suhardjono et al., 2001).
Pemeriksaan laju filtrasi glomerulus dapat menggunakan konsentrasi kreatinin
serum dan Blood Urea Nitrogen (BUN)
1) Blood Urea Nitrogen (BUN)
Urea adalah produk akhir metabolisme protein yang mengandung nitrogen. Pada
penurunan fungsi ginjal, kadar urea darah meningkat. BUN dapat dipengaruhi keadaan-
keadaan yang tidak berkaitan dengan ginjal, misalnya peningkatan atau penurunan asupan
protein dalam makanan atau setiap peningkatan penguraian protein yang tidak lazim seperti
cedera otot. Maka BUN merupakan suatu indikator yang kurang tepat (Corwin, 2000).
Urea merupakan produk nitrogen terbesar yang dikeluarkan melalui ginjal. Nilai
normal konsentrasi ureum plasma ≤ 80 mg/dl. Konsentrasi urea plasma kurang tepat bila
digunakan untuk menentukan laju filtrasi glomerulus karena kosentrasi urea dipengaruhi
oleh diet dan reabsorbsi tubulus (Nasution and Prodjosudjadi, 2001).
2) Kreatinin Serum
Kreatinin serum merupakan produk sampingan dari metabolisme otot rangka
normal. Laju produksinya bersifat tetap dan sebanding dengan jumlah massa otot tubuh.
Kreatinin diekskresi terutama oleh filtrasi glomeruler dengan sejumlah kecil yang
diekskresi atau reabsorpsi oleh tubulus. Bila massa otot tetap, maka adanya perubahan pada
kreatinin mencerminkan perubahan pada klirensnya melalui filtrasi, sehingga dapat
dijadikan indikator fungsi ginjal. Kreatinin serum meningkat pada gagal ginjal. Namun ada
beberapa yang mempengaruhi kadar kretinin serum antara lain : diet, saat pengukuran, usia
penderita, jenis kelamin, berat badan, latihan fisik, keadaan pasien, dan obat (Kenward and
Tan, 2003).
Tabel II. Fungsi Ginjal Berdasarkan Klirens Kreatinin (ClCr) dan Serum Kreatinin (SrCr)
(Walker, 2003)

Gangguan Fungsi Ginjal ClCr (ml/menit) SrCr (mg/dl)


Ringan 20-50 1,5-5
Moderat 10-20 5-10
Parah <10 >10

e. Pemeriksaan penunjang untuk melihat anatomi ginjal. Pada gagal ginjal


pemeriksaan ultrasonography menjadi pilihan utama untuk memperlihatkan anatomi ginjal
(Suhardjono et al., 2001).
f. Pemeriksaan biopsi ginjal dan serologi
Indikasi yang memerlukan biopsi adalah apabila penyebab GGA tak jelas atau
berlangsung lama, atau terdapat tanda glomerulonefrosis atau nefritis intertisial.
Pemeriksaan ini perlu ditunjang oleh pemeriksaan serologi imunologi ginjal (Suhardjono et
al., 2001). Biopsi ginjal merupakan salah satu teknik diagnostik terpenting yang telah
berkembang selama beberapa abad terakhir dan telah menghasilkan kemajuan yang sangat
pesat dalam pengetahuan riwayat penyakit ginjal. Tindakan ini berbahaya, terutama pada
pasien yang tidak bersedia bekerja sama atau yang menderita gangguan proses pembekuan
atau hanya memiliki sebuah ginjal. Komplikasi yang paling sering ditemui adalah
pendarahan intrarenal dan perirenal (Wilson, 1995)
8. Obat-obat nefrotoksik
Ginjal sangat peka terhadap pengaruh toksik dari macam-macam obat karena :
a. Sebagian darah melewati ginjal.
b. Hipertonisitas dari medula ginjal sehingga obat dan metabolitnya mudah
terkonsentrasi dalam ginjal.
c. Obat terkonsentrasi dalam sel-sel tubulus ginjal sebelum diekskresikan ke dalam
urin (Sukandar,1997).
Obat dalam praktek klinis yang paling sering menimbulkan nefrotoksisitas antara
lain agen radiokontras, aminoglikosida, non steroid antiinflamasi drug (NSAID), dan
angiotensin converting enzym (ACE) inhibitor, yang di kenal sebagai internist’ s
nephrotoxic quartener. Obat-obat lain yang potensial nefrotoksik biasanya di resepkan
untuk pasien-pasien dengan kondisi khusus yaitu cisplatin dan methotrexate pada pasien
kanker, siklosporin pada pasien yang menerima transplantasi ginjal dan Asiklovir pasien
AIDS (Thattle,1996).
Obat yang bersifat nefrotoksik sedapat mungkin harus dihindari pada pasien dengan
penyakit ginjal karena efek yang diakibatkan oleh nefrotoksisitasnya akan lebih berbahaya,
jika cadangan ginjal telah menurun. Idealnya, obat yang digunakan untuk penderita
penyakit ginjal memiliki karakteristik berikut :
1) Tidak menghasilkan metabolit aktif.
2) Disposisi obat tidak dipengaruhi oleh perubahan keseimbangan cairan.
3) Disposisi obat tidak dipengaruhi oleh perubahan ikatan protein.
4) Respon obat tidak dipengaruhi oleh perubahan kepekaan jaringan .
5) Mempunyai rentang terapi yang lebar.
6) Tidak bersifat nefrotoksik (Kenward and Tan, 2003).
9. Pencegahan pada GGA
Pencegahan GGA dapat dilakukan dengan menghindari penggunaan agen
nefrotoksik. Terapi non farmakologi tertentu dapat diberikan apabila penggunaan agen
nefrotoksik tidak bisa dihindari. Misalnya pada penggunaan media radiokontras, perlu
diberikan hidrasi yang adekuat dan pemberian natrium. Infus NaCl 0,9% atau dextrosa 5%
dengan NaCl 0,45% diberikan dengan kecepatan 1 ml/kg/jam di mulai pada pagi hari.
Regimen ini hendaknya diberikan pada pasien yang bisa mentoleransi natrium (Mueller,
2005).
Beberapa obat yang dapat diberikan sebagai terapi farmakologi untuk mencegah
terjadinya GGA apabila penggunaan agen nefrotoksik tidak dapat dihindarkan :
a. Fenoldopam
Merupakan agonis selektif reseptor dopamin-1 yang memiliki kemampuan
mencegah nefropati akibat penggunaan agen radiokontras. Sebenarnya obat ini digunakan
sebagai agen hipertensi. Fenoldopam mengurangi tekanan darah sistemik dan memelihara
Renal Blood Flow (RBF).
b. Asetilsistein
Pemberian asetilsistein oral 600mg 2x sehari sebelum pemberian radiokontras telah
banyak dibuktikan dalam beberapa penelitian mampu menurunkan angka munculnya GGA.
mekanismenya masih belum jelas, tetapi kemungkinan karena efek antioksidannya
(Mueller, 2005).
Gagal ginjal berkaitan dengan sejumlah kondisi klinis (misalnya, ketikseimbangan
pH, dan elektrolit) yang perlu diperbaiki dan diobati. Penderita tersebut umumnya
mengeluhkan gatal, kram, peripheral tingling, mual dan muntah, yang mungkin harus
diobati secara simptomatis. Selain itu, penderita juga dapat menderita berbagai jenis
penyakit sistemik lainnya yang mungkin perlu diobati juga. Jadi, pasien dengan gangguan
ginjal seringkali diobati dengan sejumlah obat. Tetapi, penggunaan obat pada penderita
yang mengalami penurunan fungsi ginjal dapat menimbulkan masalah karena beberapa
alasan berikut :
1) Kegagalan untuk mengekskresikan obat atau metabolitnya dapat menimbulkan
toksisitas.
2) Kepekaan terhadap beberapa obat akan meningkat meskipun eliminasinya tidak
terganggu.
3) Banyak efek samping sulit ditoleransi.
4) beberapa obat menjadi tidak efektif jika fungsi ginjal menurun. (Kenward and Tan,
2003).
Beberapa pedoman berikut ini menjadi penting :
a) Gunakan obat hanya jika secara jelas diindikasikan bagi penderita tersebut.
b) Pilih obat dengan efek nefrotoksik minimal dan hindari obat yang berpotensi
nefrotoksik.
c) Waspada terhadap peningkatan kepekaan terhadap efek obat tertentu.
d) Pantau dan lakukan hal yang diperlukan sesuai dengan kadar obat dalam plasma.
e) Cek kesesuaian pengaturan dosis.
f) Hindari pemakaian jangka panjang obat yang memiliki potensi toksik.
g) Pantau kemanfaatan klinis dan keberadaan toksisitas.
h) Banyak masalah dapat dihindari dengan cara menurunkan dosis atau menggunakan
obat lain sebagai pengganti (Kenward and Tan, 2003).
10. Penatalaksanaan GGA
Ada tiga sasaran dalam penatalaksanaan GGA, yaitu mencegah perluasan kerusakan
ginjal, mengatasi perluasan kerusakan ginjal, dan mempercepat pemulihan ginjal. Terapi
non farmakologi yang dapat diberikan pada pasien GGA yaitu terapi suportif berupa
pengelolaan cairan. Curah jantung dan tekanan darah harus dijaga agar tetap memberikan
perfusi jaringan yang adekuat. Cairan harus dihindarkan pada keadaan anuria dan oliguria
sampai pasien mengalami hipervolemia (edema paru). Apabila pemberian cairan tidak
dibatasi, edema seringkali terjadi terutama pada pasien dengan hipoalbumenia. Sebaliknya
vasopresor seperti dopamin dengan dosis >2µg/kg/menit atau norefrineprin digunakan
untuk memelihara perfusi jaringan, tetapi juga bisa menginduksi hipoksia ginjal melalui
pengurangan aliran darah ginjal. Hiperkalemia dan hiperfosfatemia merupakan gangguan
elektrolit yang umum pada pasien GGA (Mueller, 2005)
Pemberian terapi obat pada pasien GGA kadang masih kontroversial. Diuretik
digunakan pada pasien overload cairan dan non oliguria. Obat yang paling efektif
menyebabkan diuresis pada GGA adalah manitol dan diuretik kuat. Manitol hanya bisa
diberikan melalui jalur parenteral. Dosis awal biasanya 2,5-25 gram lewat infus intravena
selama 3-5 menit. Klirens non renal manitol sangat kecil sehingga bila diberikan pada
pasien anuria atau oliguria bisa menimbulkan keadaan hiperosmolar. Manitol juga bisa
menyebabkan GGA sehingga penggunaan pada GGA harus dimonitor dengan hati-hati
dengan melihat output urin, osmolalitas serum, dan elektrolit (Mueller, 2005).
Furosemid, bumetamid, torsemid dan asam etakrinat merupakan jenis diuretik kuat
yang digunakan pada pasien GGA. Furosemid merupakan diuretik kuat yang paling sering
digunakan karena harganya murah, aman dan juga bisa digunakan secara oral atau
parenteral. Asam etakrinat digunakan pada pasien yang alergi terhadap komponen sulfa.
Torsemid dam bumetamid memiliki bioavailabilitas oral yang lebih baik dibandingkan
furosemid (Mueller, 2005).
Penatalaksanaan GGA antara lain sebagai berikut :
a. Individu yang mengalami syok (penurunan tekanan darah) cepat diterapi dengan
penggantian cairan untuk memulihkan tekanan darah
b. Memperbaiki keseimbangan elektrolit.
c. Tindakan pencegahan fase oligurik untuk menghasilkan prognosis yang baik,
antara lain :
1) Ekspansi volume plasma secara agresif
2) Pemberian diuretik untuk meningkatkan pembentukan urin.
3) Vasodilator, terutama dopamin, yang bekerja secara spesifik sebagai
vasodilator ginjal untuk meningkatkan aliran darah ginjal.
d. Pembatasan asupan protein dan kalium. Selain itu, asupan karbohidrat
tinggi akan mencegah metabolisme protein dan mengurangi pembentukan
zat-zat sisa bernitrogen.
e. Terapi antibiotik untuk mencegah atau mengobati infeksi karena tingginya
angka sepsis pada GGA dengan obat non nefrotoksik
f. Memperbaiki keseimbangan asam basa dengan Na-HCO3 po/iv.
g. Dialisis selama stadium oliguria GGA, untuk memberi waktu
pada ginjal untuk memulihkan diri. Dialisis juga mencegah penimbunan
zat-zat bernitrogen, dapat menstabilkan elektrolit, dan mengurangi beban
cairan (Corwin, 2000).
Indikasi yang mutlak untuk dialisis adalah terdapatnya sindroma uremia dan
terdapatnya kegawatan yang mengancam jiwa yaitu hipervolemia (edema paru),
hiperkalemia, atau asidosis berat yang resisten terhadap pengobatan konservatif. Dialisis
ginjal mengacu kepada proses penyesuaian kadar elektrolit dan dalam darah. Hal ini
dilaksanakan dengan dengan melewatkan darah melalui suatu medium artifisial yang
mengandung air dan elektrolit dengan konsentrasi yang telah ditentukan sebelumnya.
Medium artifisial adalah cairan dialisis.
a) Hemodialisis adalah dialisis yang dilakukan di luar tubuh. Pada hemodialisis, darah
dikeluarkan dari tubuh, melalui sebuah kateter, masuk ke dalam sebuah alat besar.
Hemodialisis tampaknya ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel
darah merah rusak dalam proses tersebut. Infeksi juga merupakan faktor resiko.
b) Dialisis peritoneum adalah berlangsung di dalam tubuh. Membran peritoneum
digunakan sebagai sawar permeabel alami. Masalah-masalah yang terjadi pada
dialisis peritoneum adalah infeksi dari kateter atau malfungsi kateter (Corwin,
2000).
c) Hemofiltrasi adalah bentuk terapi primer luar tubuh yang terus menerus yang
digunakan untuk pengobatan GGA dan cara ini berdasarkan pada prinsip konveksi;
darah dapat melalui jalan arteri dan kembali ke vena. (CAVH) atau melalui jalan
vena dan kembali ke vena yang lain (CVVH).
d) Hemodiafiltrasi , juga terutama digunakan untuk mengobati GGA. Cara ini
berdasarkan pada prinsip konveksi dan difusi.(Wilson, 1995).

TABEL III. Komplikasi pada GGA dan penatalaksanaannya


(Mc Nally, 1998)
Komplikasi Penatalaksanaan
Ketidakseimbangan air dan natrium Manitol 20%
Furosemid
Dopamin
Ketidakseimbangan asam basa Natrium bikarbonat
Ketidakseimbangan kalium Hiperkalemia
Kalsium klorida
Natrium bikarbonat
Glukosa dan insulin
Hipokalemia
Garam kalium (KCl)
Abnormalitas kalsium dan fosfat Hiperkalsemia
Antasida
Hipokalsemia
Suplemen kalsium
Anemia Suplemen zat besi
Suplemen asam folat
Komplikasi kardiovaskular Furosemid
Antagonis kalsium
ACE inhibitor
Komplikasi gastrointestinal Antasida
Sukralfat antagonis H2

11. Penyesuaian dosis obat pada gangguan ginjal

Tercapainya kadar terapi optimal mempunyai arti bahwa kadar obat dalam darah
berada dalam kisaran terapi yaitu tidak melampaui kadar toksik minimal (KTM) sehingga
tidak menimbulkan efek toksik dan tidak di bawah kadar efek minimal (KEM) yang
menyebabkan kegagalan terapi (Ganiswara, 2005).

Penerapan farmakokinetika bertujuan untuk meningkatkan efektivitas terapi atau


menurunkan efek samping dan toksisitas pada pasien. Obat yang dikeluarkan terutama
melalui ekskresi ginjal dapat menyebabkan toksisitas pada penderita gangguan ginjal.
Penyesuaian dosis berupa penurunan terhadap total dosis pemeliharaan seringkali
diperlukan. Perubahan dosis yang sering dijumpai adalah penurunan dosis obat atau
perpanjangan interval pemberian obat atau gabungan keduanya (Shargel and Yu,1999).

Bagi beberapa jenis obat, apabila dosis penjagaan diturunkan, merupakan hal yang
penting untuk menambahkan suatu dosis muatan. Hal ini disebabkan oleh keadaan di mana
penderita yang diberi dosis lazim obat apapun akan memerlukan lebih dari waktu paruh
untuk mencapai kadar plasma tunak. Oleh karena waktu paruh obat dalam plasma yang
diekskresikan melelui ginjal diperpanjang pada gagal ginjal, maka dipelukan beberapa hari
sebelum dosis obat (yang sudah diturunkan/lebih rendah) tersebut dapat mencapai kadar
terapeutik dalam plasma (Kenward and Tan, 2003).

B. Keterangan Empiris
Penelitian ini dilakukan terkait dengan peningkatan jumlah kasus dan angka
kematian pasien akibat gagal ginjal akut di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta
selama tahun 2003–2005 dan penggolongan pasien dengan kekhususan terutama dalam
hal penggunaan obat, di samping itu lebih rentan terhadap terjadinya Drug related problem.

BAB ІІІ
METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode cross sectional dengan
pengumpulan data secara retrospektif.

B. Waktu dan Tempat


Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai Agustus 2008 di bagian rekam
medik rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

C. Populasi dan Sampel


Populasi yang diambil adalah seluruh pasien dengan diagnosa utama gagal ginjal
akut, sedangkan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh pasien dengan
diagnosa gagal ginjal akut di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta selama tahun
2003-2005.

Kriteria inklusi :
1. Menderita gagal ginjal akut pada tahun 2003-2005.
2. Pasien memiliki kelengkapan catatan rekam medik.
Kriteria eksklusi :
Pasien tidak memiliki kelengkapan data laboratorium seperti BUN dan kreatinin

D. Batasan Operasional Penelitian


Variable yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
1. Pasien gagal ginjal akut dalam penelitian ini adalah seluruh pasien dengan diagnosa
gagal ginjal akut di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta selama tahun
2003-2005 yang tercatat dalam rekam medik.
2. Pola penggunaan obat adalah gambaran penggunaan obat yang diberikan pada
pasien seperti yang tercantum dalam rekam medik meliputi golongan dan jenis obat
yang digunakan pasien gagal ginjal akut.
3. Kesesuaian penggunaan obat dinilai dengan cara melihat kesesuaian pemilihan obat
dengan indikasi dari pasien yang tercatat di dalam rekam medik berdasarkan standar
pelayanan medik (SPM) tahun 2005 di rumah sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta. Pengobatan dikategorikan sesuai apabila pasien menggunakan cairan
dan elektrolit.
4. Efektivitas dinilai berdasarkan keadaan, lama perawatan, serta data obyektif
berupa BUN dan kreatinin. Lama perawatan adalah lama pasien gagal ginjal akut
berada dalam perawatan di instalasi rawat inap di rumah sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta yang tercatat di rekam medik. Keadaan pulang adalah keadaan status
penyakit pasien saat pulang dari rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
5. Penyakit penyerta merupakan penyakit yang menyertai gagal ginjal akut dan atau
penyakit yang kemungkinan dapat menyebabkan gagal ginjal akut.
6. Penyakit komplikasi merupakan penyakit yang berkembang akibat gagal ginjal akut.

E. Pengumpulan Data
Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data dari rekam medik di rumah sakit
PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 2003-2005.
Pertama, Proses penelusuran data dimulai dari observasi laporan unit rekam medik
secara retrospektif untuk kasus pasien dengan diagnosa gagal ginjal akut pada tahun 2003-
2005. Laporan dari rekam medik berupa daftar nomor registrasi dari penderita yang
digunakan untuk mengumpulkan kartu status penderita. Kemudian dibuat tabulasi yang
meliputi nomor registrasi, umur, jenis kelamin, diagnosa utama, komplikasi, jenis dan
golongan obat yang digunakan, rute pemberian, dosis, lama pemberian obat, lama
perawatan, kondisi pasien saat pulang, data subyektif seperti : nyeri, pusing, lemah, mual,
muntah serta data obyektif seperti : edema, BUN, kreatinin, elektrolit. Kedua, identifikasi
pola penggunaan obat melalui tabel-tabel yang dibuat.
F. Analisis Hasil
Data pola penggunaan obat pada gagal ginjal akut yang dirawat di rumah sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 2003-2005 dianalisis secara deskriptif untuk
memperoleh informasi tentang :
1) Profil pasien gagal ginjal akut yang dilihat dari
a. Persentase yang dihasilkan berdasar jenis kelamin dibanding banyaknya pasien
laki-laki dan perempuan dibagi jumlah total pasien dikali 100%.
b. Persentase yang dihasilkan berdasar usia pasien sesuai klasifikasi dibagi jumlah
total pasien dikali 100%.
c. Persentase yang dihasilkan berdasar data serum kreatinin pasien sesuai jumlah
serum kreatinin dibagi jumlah total pasien dikali 100%.
d. Persentase yang dihasilkan berdasarkan lama perawatan pasien sesuai klasifikasi
dibagi jumlah total pasien dikali 100%.
e. Persentase yang di hasilkan berdasar keadaan pulang sesuai klasifikasi apakah
sembuh, belum sembuh, membaik ataupun mmeninggal dibagi jumlah total pasien
dikali 100%.
f. Persentase yang dihasilkan berdasar penyakit komplikasi pasien sesuai klasifikasi
dibagi jumlah total pasien dikali 100%.
g. Persentase yang dihasilkan berdasar klasifikasi gagal ginjal dan etiologi pasien
sesuai klasifikasi dibagi jumlah total pasien dikali 100%.
h. Persentase yang dihasilkan berdasarkan jenis dan golongan obat yang diberikan
kepada pasien dihitung dari jumlah kasus yang menerima jenis obat tertentu dibagi
jumlah kasus dikali 100%.
i. Persentase yang dihasilkan berdasarkan penggunaan obat pada pasien terkait dengan
penyakit penyerta pasien sesuai klasifikasi dibagi jumlah total pasien dikali 100%.
2) Kesesuaian penggunaan obat yang dinilai dengan melihat obat yang diberikan pada
pasien apakah sesuai dengan indikasi berdasarkan standar pelayanan medik (SPM)
tahun 2005 di rumah sakit PKU Muhammadiyah.
3) Efektivitas terapi dinilai dengan melihat perkembangan atau perbaikan kondisi pasien
setelah memperoleh terapi obat apakah gejala-gejala sakit berkurang atau hilang sama
sekali dan data obyektif pasien menunjukkan nilai normal atau yang mendekati normal
serta dilihat dari lama perawatan pasien dan bagaimana keadaan pulang pasien apakah
sudah sembuh dan diijinkan pulang, pulang paksa, atau meninggal dunia

Data tersebut selanjutnya dianalisis secara deskriptif dengan tujuan untuk


memperoleh gambaran tentang penggunaan obat yang diperoleh pasien gagal ginjal akut
selama menjalani perawatan di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

BAB ІV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan data dari bagian rekam medik rumah sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta diketahui bahwa selama periode 1 Januari 2003 sampai 31 Desember 2005
terdapat 69 kasus pasien dengan diagnosa GGA. Jumlah pasien GGA pada tahun 2003
sebanyak 27 pasien (39,1%), 26 pasien (37,7%) pada tahun 2004 dan 16 pasien (23,2%) di
tahun 2005. Pasien GGA yang dimasukkan dalam penelitian ini sebanyak 58 pasien dari
total kasus yang ada karena 11 pasien tidak ditemukan berkas rekam mediknya dikarenakan
hilang atau tidak ada. Hal ini disebabkan karena penelitian dilakukan pada pasien yang
mengalami GGA yang waktunya sudah berlangsung lama yaitu pada tahun 2003-2005,
sehingga mungkin beberapa rekam medik telah mengalami inaktivasi dan sulit dilacak
kembali.
A. Karakteristik Pasien
1. Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin
Dilihat dari gambar 1, jumlah kasus GGA yang ada banyak dialami oleh pasien laki-
laki yaitu 37 pasien (64%). Hal ini sesuai dengan penelitian Gibney et al., (2005) yang
menyebutkan bahwa salah satu faktor resiko dasar GGA adalah jenis kelamin laki-laki.

36%

64%

Laki-laki
Perempuan

Gambar 1. Distribusi Pasien GGA di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun
2003-2005 berdasarkan jenis kelamin
Kecenderungan pria lebih banyak menderita GGA kemungkinan disebabkan oleh adanya
hormon testosteron yang mempercepat progresi kerusakan ginjal. Analisis NHANES II
(National Health And Nutrition Examination Survey) juga menyatakan bahwa laki-laki
memiliki kecenderungan lebih besar dibandingkan perempuan untuk mengalami penurunan
fungsi ginjal lebih cepat (Sulistiasih, 2006). Namun demikian, hasil penelitian Habsari
(2008) ditemukan 36% pasien laki-laki dan 64% pasien perempuan kasus GGA di instalasi
rawat inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta selama tahun 2005-2007.
2. Distribusi Berdasarkan Usia
Usia merupakan salah satu faktor resiko penyebab penurunan fungsi ginjal.
Distribusi penderita GGA berdasarkan usia pada penelitian ini digolongkan menjadi 4
kelompok untuk mempermudah melihat gambaran usia pasien yang mengalami GGA di
rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
Tabel IV. Distribusi Pasien GGA di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2003-
2005 Berdasarkan Usia
Kelompok Usia (Tahun) Jumlah Pasien Persentase (%)
<25 1 1,7
25-40 13 22,4
41-65 31 53,5
>65 13 22,4
Total 58 100
.
Data pada tabel IV menunjukkan bahwa rentang usia 41-65 tahun merupakan
kelompok usia yang paling banyak mengalami GGA yaitu sebanyak 31 pasien (53,45%).
Pada penelitian Habsari (2008) diketahui pasien GGA diderita oleh 61 pasien (61%) dengan
usia 45-64 tahun. Penelitian lain menyebutkan 40 pasien (57,9%) mengalami GGA dalam
rentang usia 41-65 tahun (Masruroh, 2006).
Penurunan fungsi ginjal yang ditandai dengan terjadinya penurunan laju filtrasi
glomerulus terjadi seiring dengan meningkatnya usia. Penurunan laju filtrasi glomerulus
sendiri merupakan penyebab terjadinya GGA (Mueller, 2005).
Usia di atas 65 tahun merupakan golongan usia lanjut. Di Indonesia sendiri pada
tahun 2000 jumlah penduduk dengan usia lanjut hanya sekitar 7,28% karena penduduk
pada usia di atas 65 tahun kebanyakan sudah meninggal (Anonim, 2007). Hal ini sesuai
apabila data tersebut dihubungkan dengan hasil penelitian yang didapatkan yaitu pasien
GGA pada usia di atas 65 tahun berjumlah lebih sedikit dibandingkan dengan pasien GGA
pada rentang usia 41-65 tahun.
Ada 1 pasien yang mengalami GGA dengan umur di bawah 25 tahun. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena penyakit hipertensi yang dialami pasien tersebut.
Hipertensi merupakan penyakit komplikasi dari GGA, namun demikian hipertensi juga
dapat mengakibatkan perlukaan arteriol pada ginjal sehingga hipertensi bisa menjadi
penyakit yang menyebabkan GGA (Woodley and Whelan, 1995).
3. Distribusi Berdasarkan Data Serum Kreatinin
Pemeriksaan utama pada pasien GGA di rumah sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta meliputi BUN dan kreatinin. Kreatinin merupakan parameter hasil
laboratorium yang lebih spesifik pada pasien GGA dibandingkan dengan BUN. Pasien
mengalami GGA apabila terjadi peningkatan 50% dari batas atas nilai normal serum
kreatinin, atau sekitar 0,5 mg/dl atau terjadi penurunan sebesar 50% dari normal laju filtrasi
glomerulus (Mueller, 2005).
Kreatinin diekskresikan melalui ginjal terutama dengan proses filtrasi glomerulus,
sedangkan sekresi tubulus minimal. Bila massa otot tetap, maka adanya perubahan pada
kreatinin mencerminkan perubahan pada klirensnya melalui filtrasi. kosentrasi ureum
dipengaruhi oleh diet dan reabsorbsi tubulus Ureum merupakan produk nitrogen terbesar
yang dikeluarkan melalui ginjal. selain mengalami filtrasi glomerulus, ureum juga
mengalami reabsorbsi tubulus (Kenward and Tan, 2003).
Tabel V menyajikan data hasil pemeriksaan serum kreatinin pada awal kedatangan
pasien GGA. Data berupa berat badan pasien tidak tertulis secara lengkap dalam rekam
medik sehingga nilai klirens kreatinin pasien tidak dapat dicantumkan.
Tabel V. Distribusi Pasien GGA di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2003-
2005 Berdasarkan Data Serum Kreatinin Pada Awal Kedatangan

Jumlah Serum Kreatinin Jumlah Pasien Persentase (%) Kategori


<1,5 3 5,2 Normal
1,5-5 14 24,1 Ringan
5-10 25 43,1 Moderat
>10 16 27,6 Parah
Total 58 100

Kasus dengan serum kreatinin yang tidak normal pada awal kedatangan sebanyak
56 pasien (96,6%). Rentang serum kreatinin yang paling banyak adalah 5-10mg/dl dan
termasuk dalam gangguan fungsi ginjal yang bersifat moderat. Terdapat 3 pasien (5,2%)
dengan hasil pemeriksaan serum kreatinin yang normal pada awal kedatangannya, tetapi
setelah pemeriksaan lebih lanjut 1 pasien ternyata mengalami obstruksi AMI (Acute
Myocardial Infarction) dan mengalami peningkatan serum kreatinin pada hari berikutnya
sehingga berada dalam rentang yang tidak normal. Hal ini bisa terjadi karena obstruksi
AMI dapat menyebabkan hipoperfusi aliran darah sehingga menurunkan laju filtrasi
glomerulus (Mueller, 2005). Pasien lainnya mengalami ISK yang kemungkinan dapat
menjadi penyebab GGA.
4. Distribusi Berdasarkan lama perawatan
Lama perawatan pasien digolongkan menjadi 4 kelompok hari rawat berdasarkan
data yang tertulis dalam berkas rekam medik rumah sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta untuk mempermudah melihat gambaran lama perawatan pasien GGA. Data
selengkapnya dapat dilihat pada tabel VI.
Tabel VI. Distribusi Pasien GGA di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2003-
2005 Berdasarkan Lama Perawatan
Lama Perawatan (hari) Jumlah Pasien Persentase (%)
1-7 30 51,7
8-14 21 36,2
15-21 6 10,4
22-28 1 1,7
Total 58 100

Dilihat dari tabel VI ditemukan bahwa presentase terbesar lama perawatan pasien
adalah selama 1-7 hari yakni sebanyak 30 pasien (51,7%). Kejadian ini mungkin
disebabkan karena kerusakan yang ada belum begitu parah. Hal ini dapat dilihat dari data
serum kreatinin pasien yang banyak berada dalam rentang ringan sampai moderat (1,5-
10mg/dl) sehingga penyakit ini dapat segera diatasi. Selain itu, ginjal mempunyai sel-sel
yang dapat melakukan regenerasi sehingga tidak menyebabkan kerusakan lebih lanjut.
Ada 1 pasien (1,7%) GGA yang menjalani perawatan selama 22 hari. Pasien ini
lama menjalani perawatan dikarenakan adanya penyakit penyerta yang dialami yaitu
anemia. Mueller (2005) menyatakan bahwa anemia pada GGA disebabkan penurunan
produksi eritropoetin pada ginjal yang berfungsi merangsang pembentukan eritrosit di sum-
sum tulang belakang. Dengan demikian, lama perawatan tidak hanya ditentukan oleh
penyakit GGA itu sendiri tetapi juga karena adanya komplikasi ataupun penyakit penyerta
yang dialami pasien.
5. Distribusi Berdasarkan Keadaan Pulang
Keadaan pulang pasien GGA di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta
dikategorikan dalam beberapa kondisi yaitu : sembuh, membaik, belum sembuh atau
pulang paksa, dan meninggal.
Tabel VII. Distribusi Pasien GGA di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2003-
2005 Berdasarkan Keadaan Pulang
Keadaan Pulang Jumlah Pasien Persentase (%)
Membaik 17 29,3
Sembuh 8 13,8
Belum Sembuh 4 6,9
Meninggal 8 13,8
Tidak Diketahui 21 36,2
Total 58 100

Sebanyak 21 pasien (36,2%) GGA tidak diketahui bagaimana keadaan pulangnya


karena dokter ataupun petugas kesehatan rumah sakit tidak menulisnya dalam berkas rekam
medik. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium terakhir sebelum pulang seperti BUN
dan kreatinin menunjukkan bahwa tidak semua pasien berada dalam rentang nilai yang
normal. Kemungkinan penilaian kondisi dimana pasien diperbolehkan pulang dilakukan
berdasarkan kondisi fisik yang sudah membaik, gejala-gejala yang dialami pasien sudah
berkurang ataupun sudah hilang dan kesulitan terkait dengan biaya pengobatan.
Pasien GGA yang meninggal biasanya tidak disebabkan oleh GGA itu sendiri
melainkan terkait dengan penyakit penyerta dan komplikasi yang dialami oleh pasien. Pada
penelitian ini pasien GGA yang meninggal disebabkan karena adanya infeksi dan edema
paru. Pasien GGA yang meninggal sebanyak 25% berada dalam rentang usia 25-40 tahun
sedangkan 50% berada dalam rentang usia 41-65 tahun dan sejumlah 25% pada usia >65
tahun. Sebanyak 75% pasien yang meninggal, ternyata sebelumnya datang dalam kondisi
kesadaran yang sudah menurun.

Tabel VIII. Distribusi Pasien GGA di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun
2003-2005 Berdasarkan Penyakit Penyerta
Penyakit Penyerta Jumlah Pasien Persentase (%)
ISK 15 25,9
DM 13 22,4
Leptospirosis 3 5,2
Hepatitis 2 3,5
Pneumonia 1 1,7
Tanpa Penyakit Penyerta 28 48,3
Total 58 100

Penyakit penyerta di sini merupakan penyakit yang menyertai GGA dan mungkin
juga menjadi penyebab GGA. Dari hasil penelitian terlihat bahwa penyakit penyerta yang
banyak dialami pasien GGA di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2003-
2005 adalah infeksi saluran kemih (ISK) yang berjumlah 15 pasien (25,9%) dari total kasus
yang ada. ISK menyebabkan GGA karena ISK dapat mengakibatkan kerusakan saluran
ureter. Hepatitis dapat memicu hipoperfusi aliran darah dan mengakibatkan GGA prarenal.
Leptospirosis dan diabetes mellitus dapat mengakibatkan gangguan pada bagian intrinsik
ginjal (Mueller, 2005).
6. Distribusi Berdasarkan Penyakit Komplikasi
Berdasarkan hasil penelitian, penyakit komplikasi yang banyak dialami oleh pasien
GGA berupa gastroenteritis dengan jumlah 16 pasien (27,6%). GGA yang tidak tertangani
dapat menimbulkan penyakit komplikasi. Penyakit komplikasi di sini adalah penyakit yang
berkembang akibat GGA.
Tabel IX. Distribusi Pasien GGA di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2003-
2005 Berdasarkan Penyakit Komplikasi
Penyakit Komplikasi Jumlah Pasien Persentase (%)
Gastroenteritis 16 27,6
Gastroenteritis + Hipertensi 8 13,8
Hipertensi 8 13,7
Hipertensi + Arthritis Rheumatoid 1 1,7
Arthritis Rheumatoid 10 17,2
Asidosis Metabolik 3 5,2
Tanpa Penyakit Komplikasi 12 20,7
Total 58 100

Gastroenteritis menempati urutan tertinggi komplikasi GGA dari total pasien yang
ada. Menurut Mueller (2005) karena adanya akumulasi urea dalam darah (uremia) yang
memicu peningkatan sekresi asam lambung sehingga terjadi gangguan gastrointestinal.
Kejadian komplikasi hipertensi yang disebabkan karena adanya peningkatan aldosteron
pada GGA mengakibatkan terjadinya retensi air dan garam sehingga terjadi peningkatan
tekanan darah (Mueller, 2005).
Sejumlah 10 pasien (17,2%) mengalami komplikasi arthritis rheumatoid. Hal ini
karena terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus menyebabkan terjadinya akumulasi asam
urat yang mengakibatkan arthritis rheumatoid. Komplikasi asidosis metabolik yang terjadi
pada 3 pasien (5,2%) disebabkan karena terjadinya gangguan ekskresi ion hidrogen pada
tubulus distal (Mueller, 2005). Selain itu asidosis juga dapat disebabkan oleh produksi asam
yang meningkat secara tiba-tiba dan hilangnya bikarbonat melalui traktus gastrointestinal
seperti pada diare (Tisher dan Wilcox, 1997).
7. Distribusi Berdasarkan Klasifikasi Gagal Ginjal dan Etiologi
Gagal ginjal akut dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu GGA prarenal, GGA
intrinsik, dan GGA pascarenal (Mueller, 2005). Distribusi pasien GGA di rumah sakit
PKU Muhammadiyah Yogyakarta berdasarkan klasifikasi gagal ginjal dan etiologinya
dapat dilihat pada tabel X.
Tabel X. Distribusi Pasien GGA di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2003-
2005 Berdasarkan Klasifikasi GGA
Klasifikasi GGA Etiologi Jumlah Pasien Persentase (%)
Prarenal Pengurangan vol. cairan 5 8,6
Hipotensi 5 8,6
Gagal Jantung 2 3,5
Gagal Hati 3 5,2
Renal Glomerulonefritis 1 1,7
Nephritis interstisial akut 2 3,5
Pascarenal Obstruksi 6 10,3
Tidak Diketahui 34 58,6
Total 58 100

Berdasarkan tabel X, penyebab GGA terbesar adalah GGA prarenal sebanyak 13


pasien (22,41%). Hal ini tidak sesuai apabila dikaitkan dengan penyakit penyerta yang
dialami pasien. Penyakit penyerta yang banyak dialami pasien GGA berupa ISK yang
merupakan penyebab GGA pascarenal, diabetes mellitus dan leptospirosis yang dapat
mengakibatkan gangguan pada bagian intrinsik ginjal. Kejadian ini dikarenakan banyaknya
penyebab GGA yang tidak tertulis dalam rekam medik.
ISK menjadi penyebab GGA karena dapat mengakibatkan kerusakan pada saluran
ureter. Sepsis, hepatitis, dan gagal jantung dapat memicu hipoperfusi aliran darah dan
mengakibatkan GGA prarenal, sedangkan leptospirosis, kanker serviks dan diabetes
mellitus tipe II dapat mengakibatkan gangguan pada bagian intrinsik ginjal. GGA intinsik
disebabkan oleh kerusakan pada ginjal seperti pada pembuluh darah kecil, glomerulus,
tubulus ginjal dan interstium (Mueller, 2005).
B. Pola Pengobatan Pada Pasien GGA
Terapi pada GGA bertujuan untuk mencegah perluasan kerusakan ginjal, mengatasi
perluasan kerusakan ginjal dan mempercepat pemulihan fungsi ginjal. Ketiga tujuan
tersebut dapat dicapai dengan 2 cara, yaitu pengobatan konservatif dan atau terapi
pengganti dengan dialisis. Pengobatan konservatif terdiri dari tiga strategi, pertama adalah
usaha untuk memperlambat laju penurunan (progresivitas) fungsi ginjal. Kedua adalah
mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut. Ketiga berupa pengelolaan berbagai masalah yang
terdapat pada pasien GGA dan komplikasinya.
Terapi non farmakologi yang dapat diberikan pada pasien GGA adalah terapi
suportif berupa pengelolaan cairan dan elektrolit. Curah jantung dan tekanan darah harus
dijaga agar tetap memberikan perfusi jaringan yang adekuat. Pemberian terapi farmakologi
berupa obat pada pasien GGA kadang masih kontroversial (Mueller, 2005).
Tabel XI akan menyajikan berbagai golongan dan jenis obat yang diberikan kepada
pasien GGA di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta selama tahun 2003-2005.
Golongan dan jenis obat akan disajikan secara berurutan sesuai dengan banyaknya pasien
yang menggunakan obat-obat tersebut.

Tabel XI. Golongan dan Jenis Obat Yang Diberikan pada Pasien GGA di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2003-2005
No Golongan Obat Jenis Jumlah Persentase
Pasien (%)
1 Cairan & Elektrolit NaCl 0,9%, Dekstrosa, Asering, RL, 53 91,4
Kaen IB,Kaen MG3
2 Antibiotik Seftriakson, Siprofloksasin, 45 77,6
Amoksisilin, Ampisilin, Levoflosasin
3 Antasida dan Antiulserasi Metoklopramid, Domperidon, 40 68,9
Ranitidin, Simetidin, Omeprazol,
Sukralfat, Antasida, Atalpugit
4 Vitamin & Mineral CaCO3, Vit.B, Vit.K, Kalium Aspartat 31 53,5
5 Diuretik Hidroklortiazid, Furosemid, 27 46,6
Spironolakton
6 Analgesik PCT, Metampiron 20 34,5
7 Antihipertensi Kaptopril, Kandesartan, Amlodipin, 16 27,6
Nifedipin, Klonidin
8 Antigout Alopurinol 11 19,0
9 Dietikum Ketosteril 9 15,5
10 Antianemia Asam Folat, Epoetin 9 15,5
11 Antiseptik Saluran Kemih Fosfomisin 7 12,1
12 Sedatif-Hipnotik Diazepam 6 10,3
13 Glikosida Jantung & inotropik lain Digoksin, Dopamin, Dobutamin 5 8,6
14 Antidiabetik Insulin 4 6,9
15 Antikonvulsi Karbamazepin, Pirasetam 4 6,9
16 Hemostatikum Asam Traneksamat 3 5,2
17 Antiangina Isosorbid dinitrat 3 5,2
18 Suplemen Lesitin, Rhizoma curcuma 3 5,2
19 Antiasma Teofilin, Asefilinapiperazin, Flutikason 3 5,2
Propionat
20 Antihistamin Feniramin Maleat, Seftirizina HCl 3 5,2

Dilihat dari tabel XI diketahui bahwa pemberian obat pada pasien GGA di rumah
sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta paling banyak adalah golongan cairan dan elektrolit
yaitu 53 pasien (91,4%). Beberapa obat yang juga banyak digunakan pasien GGA antara
lain terdapat 45 pasien (77,6%) menggunakan antibiotik, 40 pasien (68,9%) menggunakan
obat saluran cerna, 31 pasien (53,5%) menggunakan vitamin dan mineral, serta 27 pasien
(46,6%) berupa diuretik. Penjelasan selengkapnya akan dibagi menurut golongan obat.

1. Cairan dan Elektrolit

Pada penderita GGA, pengelolaan terapi cairan merupakan hal yang penting (Mueller,
2005). Untuk itu dalam penelitian ini disajikan data tentang pola penggunaan cairan dan
elektrolit seperti terlihat pada tabel XII.

Tabel XII. Pemberian Cairan dan Elektrolit pada Pasien GGA di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2003-2005
No Jenis Cairan & Elektrolit Jumlah Pasien Persentase (%)
1 Asering 9 15,5
2 Kaen IB 7 12,1
3 NaCl 0,9% 7 12,1
4 Kaen MG3 3 5,2
5 Dekstrosa 3 5,2
6 RL 1 1,2
7 Asering, Kaen IB 5 8,6
8 NaCl 0,9%, Kaen IB 5 8,6
9 Asering, NaCl 0,9% 3 5,2
10 Asering, Dekstrosa 2 3,5
11 Asering, RL 2 3,5
12 NaCl 0,9%, Kaen MG3 1 1,7
13 NaCl 0,9%, RL 1 1,7
14 Dekstrosa, Kaen IB 1 1,7
15 Dekstrosa, Kaen MG3 1 1,7
16 Asering, Kaen IB, NaCl 0,9% 1 1,7
17 Asering, Dekstrosa, NaCl 0,9% 1 1,7
18 Tanpa Elektrolit 5 8,6
Total 58 100

Pemberian terapi cairan dan elektrolit dimaksudkan untuk memperbaiki


keseimbangan cairan dan elektrolit yang terjadi akibat fungsi ginjal yang terganggu.
Pemberian terapi cairan dan elektrolit efektif pada pasien yang tidak mengalami overload
cairan atau dalam keadaan hipovolemi. Dari tabel XII jenis cairan dan elektrolit yang
banyak digunakan adalah asering yang berisi natrium, kalium, kalsium dan asetat. Infus
asering diindikasikan untuk pengobatan asidosis yang berhubungan dengan dehidrasi dan
kehilangan ion alkali tubuh.
Penggunaan terapi cairan dan elektrolit pada pasien GGA terutama berupa NaCl
0,9% yang mempunyai tekanan osmotik yang sama dengan cairan di dalam tubuh. Menurut
Mueller (2005) NaCl berperan dalam menyediakan ion natrium dalam keadaan
hiponatremia akibat menurunnya kemampuan dari ginjal untuk menyeimbangkan
pertukaran ion. Pemberian ini hendaknya pada pasien yang dapat mentoleransi natrium.
Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang didapatkan karena jenis cairan dan
elektrolit yang banyak digunakan berupa asering. Banyak pertimbangan yang mungkin
dilakukan rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Salah satunya karena pasien
tidak dapat mentoleransi ion natrium seperti pada pasien hipertensi. Walaupun di dalam
asering juga terdapat ion natrium tetapi jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan NaCl
0,9%. Selain itu asering cepat dimetabolisme sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit
pada pasien GGA cepat dicapai.
Larutan ringer laktat (RL) diberikan terutama pada pasien dengan asidosis
metabolik dan kekurangan volume cairan. Natrium laktat yang terkandung di dalam larutan
RL akan dimetabolisme oleh tubuh menjadi natrium bikarbonat yang berperan dalam
memperbaiki asidosis. KA-EN IB berisi ion natrium, ion klorida dan glukosa yang
berfungsi untuk menyeimbangkan kebutuhan cairan, elektrolit dan menyediakan kebutuhan
kalori. KA-EN MG3 berfungsi dalam ketidakseimbangan elektolit dan menyediakan
kebutuhan kalori. Dextrose berfungsi untuk rehidrasi dan mensuplai kebutuhan kalori pada
pasien GGA. Pada beberapa pasien mendapatkan penggantian yang tidak hanya dari satu
jenis cairan dan elektrolit.
2. Antibiotik

Penggunaan antibiotik pada pasien GGA di rumah sakit PKU Muhammadiyah


yogyakarta mencapai prosentase yang tinggi, yaitu 45 pasien (77,6%) dari total kasus yang
ada. Berdasarkan tabel XIII antibiotik yang banyak digunakan adalah golongan
Sefalosporin generasi ketiga yaitu pada 28 pasien (48,3%) .
Penggunaan antibiotik diberikan untuk mencegah salah satu komplikasi pada pasien
GGA berupa infeksi. Infeksi merupakan komplikasi yang paling ditakuti yang muncul pada
50-90% pasien GGA dan menyebabkan kematian hingga 75% (Isserbacher et al., 2000).

Tabel XIII. Pemberian Antibiotik pada Pasien GGA di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta Tahun 2003-2005

Golongan Antibiotik Jenis Antibiotik Jumlah Persentase (%)


Pasien
Sefalosporin Seftriakson 22 48,3
Sefoperazon 4
Sefotaksim 1
Seftazidim 1
Penisilin Ampisilin 3 8,6
Amoksisilin 2
Quinolon Siprofloksasin 1 3,4
Levofloksasiin 1
Sefalosporin dan Quinolon Seftriakson dan Siprofloksasin 4 6,9
Sefalosporin dan Karbapenem Seftriakson dan Meropenem 2 3,4
Sefalosporin dan Penisilin Seftriakson dan Amoksisilin 2 3,4
Sefalosporin, Quinolon, Penisilin Seftriakson, Siprofloksasin, Amoksisilin 2 3,4
Tanpa antibiotik 13 22,4
Total 58 100

Dari hasil penelitian didapatkan pasien GGA yang banyak menggunakan antibiotik
adalah pasien yang terkait dengan penyakit gastroenteritis sebanyak 18 pasien (40%), ISK
dengan jumlah 12 pasien (26,7%), 3 pasien (6,7%) dengan penyakit gastroenteritis dan ISK,
leptospirosis dengan jumlah 3 pasien (6,7%), dan terdapat 9 pasien (20%) menggunakan
antibiotik tanpa indikasi yang jelas.
Antibiotik golongan sefalosporin merupakan antibiotik yang paling banyak
digunakan dalam penanganan GGA terutama sefalosporin generasi ketiga seperti
Seftriakson, Sefoperazon, Seftazidim dan Sefotaksim yang aktif terhadap bakteri gram
negatif terutama enterobacteriaceae. Sefalosporin generasi ketiga terutama Seftriakson
baik digunakan pada pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal bahkan dosis obat
tidak perlu disesuaikan pada gagal ginjal (Ganiswara, 2005).
Sefoperazon diekskresikan terutama melalui saluran empedu, hanya sekitar 25%
yang melalui urin sehingga dosis tidak perlu diubah bila ada gangguan fungsi ginjal.
Penggunaan sefoperazon paling aman pada pasien GGA, tetapi presentase penggunaannya
lebih sedikit. Hal ini dikarenakan sefoperazon memiliki harga yang lebih mahal bila
dibandingkan dengan seftriakson. Sedangkan Seftazidim, Sefotaksim dan Sefadroksil perlu
penyesuaian dosis karena diekskresikan terutama melalui saluran kemih (Ganiswara, 2005).
Terapi antibiotik lebih dari satu golongan juga didapatkan dari hasil penelitian.
Penggunaan antibiotik kombinasi terdapat pada 10 pasien (17,2%) dari 45 pasien yang
menggunakan antibiotik. Penggunaan antibiotik secara kombinasi dapat menyebabkan
beberapa kerugian seperti antagonisme, meningkatkan efek samping, superinfeksi dan
meningkatkan biaya pengobatan.
Lama pemberian antibiotik juga ikut berperan dalam keberhasilan terapi. Lama
pengobatan optimal antibiotik tidak selalu diketahui. Banyak antibiotik diresepkan untuk 5-
7 hari, secara umum terapi dihentikan 3 hari setelah gejala-gejala infeksi hilang (Juwono
and Prayitno, 2003).
Penggunaan antibiotik harus berdasarkan atas data mikrobiologi berupa bakteri
penyebab infeksi namun dalam prakteknya penggunaan antibiotik dilakukan secara
empirik, yaitu penggunaan antibiotik berdasarkan pola kebiasaan bakteri penyebab. Pada
pasien GGA pemberian antibiotik harus mempunyai efek yang tidak memperberat
kerusakan ginjal. Penggunaan beberapa antibiotik seperti golongan aminoglikosida harus
dihindari karena antibiotik ini bersifat nefrotoksik (Thattle, 1996). Dari hasil penelitian
tidak didapatkan penggunaan antibiotik pada pasien GGA dari golongan aminoglikosida.
3. Antasida dan Antiulserasi
Obat saluran cerna digunakan untuk terapi simptomatis pada pasien GGA seperti
mual, muntah dan untuk mengatasi penyakit komplikasi yang dialami pasien pada saluran
gastrointestinal seperti diare, gastritis dan dispepsia. Pada pasien GGA dapat terjadi
peningkatan kadar urea yang dapat menyebabkan terjadinya pengurangan sel mukosa dan
peningkatan sekresi asam. (Marriot and Smith, 2003).

Tabel XIV.Penggunaan Antasida dan Antiulserasi pada Pasien GGA di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2003-2005
Golongan Obat Jenis Jumlah Pasien Persentase(%)
Antiemetik Metoklopramid, Domperidon 14 35,0
PPI Omeprazol, Lansoprazol 6 15
H2 Antagonis Ranitidin 1 2,5
Pelindung Mukosa Sukralfat 1 2,5
Kombinasi Obat Atalpugit, Domperidon, Ranitidin, 18 45,0
Saluran Cerna Antasida, Omeprazol
Total 40 100

Penggunaan obat saluran cerna terdapat pada 40 pasien (68,97%) dari total kasus
pasien GGA. Presentase terbesar terdapat pada pasien yang menggunakan lebih dari satu
obat saluran cerna yaitu 18 pasien (45%).
Omeprazol dan lansoprazol adalah golongan pompa proton inhibitor (PPI) sekarang
ini merupakan obat yang banyak digunakan pada pasien yang mengalami gannguan saluran
cerna. Golongan ini mempunyai efek yang lebih kuat dibandingkan dengan H2 antagonis.
Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat pompa proton sehingga produksi asam
lambungnya praktis terhenti (>90%). Pada pasien GGA obat ini baik digunakan karena
diekskresikan bukan dalam bentuk asal di urin dan sebanyak 20% ditemukan dalam tinja
(Ganiswara, 2005)
Penggunaan jenis obat saluran cerna seperti antasida dan sukralfat perlu
diperhatikan pada pasien GGA. Pada kasus-kasus dalam penelitian ini, antasida yang
digunakan oleh pasien adalah antasida yang bersifat lokal, yaitu alumunium dan
magnesium. Antasida jenis ini lebih aman dibandingkan dengan antasida jenis lain.
Antasida jenis magnesium dan alumunium tidak diperbolehkan untuk penggunaan secara
kronik pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal sebab dapat menimbulkan
hipermagnesemia dan intoksikasi alumunium. Sukralfat merupakan garam alumunium dari
sulfat disakarida yang beraksi lokal pada mukosa gastrointestinal. Pada pasien yang
melakukan terapi dialisis, alumunium dapat terakumulasi secara sistemik dan mengarah
pada toksisitas alumunium (Ganiswara, 2005).

4.Diuretik

Diuretik digunakan pada pasien overload cairan dan pada pasien oliguria (Mueller,
2005). Pemberian diuretik bertujuan untuk mempertinggi aliran urin guna mengatasi
kelebihan garam dan air sebagai akibat berkurangnya kemampuan fungsi ginjal. Retensi
garam dan air yang tidak segera diperbaiki akan mengakibatkan volume aliran darah
meningkat, selanjutnya mengarah pada terjadinya hipertensi, udema, dan gagal jantung
kongestif (Katzung, 2001). Dengan demikian, diuretik memiliki peranan penting dalam
mencegah komplikasi GGA.

Tabel XV. Penggunaan Diuretik pada Pasien GGA di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta Tahun 2003-2005
Golongan Obat Jenis Obat Dosis Jumlah Pasien Persentase(%)
Diuretik kuat Furosemid 1g/12jam 24 41,4
Diuretik Hemat Kalium Spironolakton 100mg/hari 1 1,7
Tiazid Hidroklortiazid 12,5mg/hari 1 1,7
Tanpa Diuretik 32 55,2
Total 58 100

Diuretik digunakan pada 26 pasien (44,8%) dari total kasus pasien. Furosemid
merupakan diuretik kuat yang banyak digunakan pada pasien GGA di rumah sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta yaitu 24 pasien (41,4%).
Furosemid digunakan pada pasien GGA untuk meningkatkan aliran urin sehingga
mencegah terjadinya overload cairan. Furosemid mencegah reabsorbsi natrium sehingga
mengurangi metabolisme sel tubulus, membersihkan endapan silinder sel sehingga mampu
menghilangkan obstruksi. Mueller (2005) menyatakan bahwa furosemid merupakan
diuretik kuat yang paling sering digunakan karena harganya murah, aman, dan bisa
digunakan secara oral maupun parenteral. Furosemid bekerja dengan mengeblok transpor
aktif sodium pada medula dan korteks loop of henle ascending. Furosemid digunakan pada
pasien GGA untuk mengubah keadaan oliguria menjadi non oliguria. Menurut Mueller
(2005) oliguria terjadi jika vulume urin dalam satu hari sekitar 50-450ml, sedangkan
kondisi non oliguria terjadi jika volume urin lebih dari 450ml per hari.
Diuretik hemat kalium dan golongan tiazid memiliki efek diuresis yang lebih
ringan. Pada diuretik hemat kalium seperti Spironolakton dapat menyebabkan retensi
kalium sehingga tidak dapat digunakan pada pasien hiperkalemia, sedangkan pada
golongan tiazid seperti Hidroklortiazid lebih banyak digunakan sebagai obat pilihan
pertama untuk hipertensi ringan sampai sedang (Ganiswara, 2005).

Pemberian golongan tiazid harus dilakukan dengan hati-hati pada penderita


gangguan fungsi ginjal karena obat ini dapat memperhebat gangguan fungsi ginjal tersebut
akibat penurunan kecepatan filtrasi glomerulus, terutama bila diberikan secara intravena
(Ganiswara, 2005). Efek ini mungkin disebabkan oleh pengurangan aliran darah ginjal.
Dari hasil penelitian terdapat 1 pasien yang menggunakan diuretik dari golongan tiazid
yaitu hidroklortiazid. Obat ini diberikan secara oral dan dalam frekuensi satu kali sehari
sehingga lebih aman digunakan namun tetap harus dimonitoring.

Apabila diuretik diberikan pada pasien GGA maka hal ini dapat mengubah status
GGA dari oliguri menjadi non oliguri. Pengobatan pada pasien non oliguri lebih mudah
daripada pasien oliguri, selain itu pasien non oliguri juga mempunyai komplikasi yang
lebih sedikit serta kebutuhan dialisis yang lebih kecil dibandingkan pasien oliguri
(Suhardjono et al., 2001).

5.Antihipertensi

Antihipertensi merupakan obat yang banyak digunakan akibat penyakit komplikasi


pada pasien GGA. Pasien yang menggunakan antihipertensi sebanyak 16 kasus (27,6%)
dari total kasus pasien GGA.

ACEI dan ARB merupakan First line pada pasien GGA dengan komplikasi
hipertensi. Penggunaan antihipertensi tersebut ada yang dalam bentuk tunggal namun ada
beberapa pasien yang menggunakan kombinasi antihipertensi seperti Angiotensin
Converting Enzym Inhibitor (ACEI) dengan golongan Calcium Channel Blocker (CCB)
yang menghasilkan terapi yang baik karena mempunyai efek sinergistik. Ganiswara (2005)
menyatakan bahwa kombinasi antihipertensi dengan golongan yang berbeda menyebabkan
tekanan darah sasaran dapat dicapai dengan menggunakan dosis yang lebih kecil untuk
masing-masing antihipertensi sehingga mengurangi efek samping yang kejadiannya
bergantung pada dosis.

Dari tabel XVI diketahui bahwa CCB dan ACEI merupakan golongan antihipertensi
yang paling banyak digunakan. Penggunaan CCB pada kasus GGA karena kemampuannya
menghambat hipertrofi glomeruler, menghambat agregasi platelet dan menurunkan
akumulasi garam. Kemungkinan penggunaan CCB juga dimaksudkan untuk meningkatkan
laju filtrasi glomerulus yang menurun pada pasien GGA. Angiotensin II Receptor Blocker
(ARB) dapat memicu vasodilatasi pada arteriol eferen ginjal dan dapat meningkatkan aliran
darah ginjal (Ganiswara, 2005).

Tabel XVI. Penggunaan Antihipertensi pada Pasien GGA


di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2003-2005
Golongan Obat Jenis Jumlah Pasien Persentase(%)
ACEI dan CCB Kaptopril dan Nifedipin 3 8,6
Kaptopril dan Amlodipin 1
Lisinopril, Amlodipin 1
ARB dan CCB Kandesartan sileksetil dan 3 5,2
Amlodipine
ACEI Lisinopril 2 3,4
ARB Kandesartan sileksetil 2 3,4
CCB Nifedipin 2 3,4
ARB, ACEI, CCB dan α2 Kandesartan sileksetil, 1 1,7
agonis Kaptopril, Amlodipin dan
Klonidin
α2 agonis Klonidin 1 1,7
Tanpa Antihipertensi 42 72,4
Total 58 100

Ada beberapa pasien yang mendapat penggantian golongan antihipertensi. Hal ini
terjadi karena kemungkinan golongan antihipertensi yang diberikan pertama tidak
menghasilkan efek terapi sesuai yang diinginkan atau terkait dengan biaya pengobatan.
Penggantian antihipertensi dalam penelitian ini dari golongan ARB ke dalam golongan
ACEI. Hal ini kemungkinan terjadi karena ARB mempunyai harga yang lebih mahal bila
dibandingkan dengan golongan ACEI yang terdapat dalam sediaan generik.
Penggunaan antihipertensi dari golongan ACEI pada pasien GGA dapat
menurunkan laju filtrasi glomerulus dan menyebabkan azotemia (Needham, 2005). Oleh
sebab itu penggunaan antihipertensi dari golongan ACEI pada pasien GGA dikombinasi
dengan golongan CCB yang kemungkinan dapat meningkatkan laju filtrasi glomerulus.

6.Vitamin dan Mineral


Pemberian suplemen berupa vitamin dan mineral juga penting pada pasien GGA.
Pasien yang yang menerima sebanyak 32 pasien (55,2%) dari total kasus yang ada. Salah
satu suplemen yang banyak diberikan berupa CaCO3 yang berperan dalam meningkatkan
kadar kalsium serum dan mengatur kadar fosfat dalam serum. Pada fungsi ginjal yang
normal, ginjal memiliki kemampuan untuk menghasilkan calsiterol yang merupakan bentuk
dari vitamin D. Calsiterol mengatur penyerapan kalsium dari makanan untuk disimpan
dalam darah dan tulang. Penurunan fungsi ginjal akan menurunkan produksi calsiterol dan
kadar hormon paratiroid. Hal ini mengakibatkan berkurangnya penyerapan kalsium dari
makanan dan kebutuhan kalsium akan diambil dari tulang. Penurunan kadar kalsium dalam
tulang dapat menyebabkan tulang menjadi rapuh. Kerapuhan tulang yang terkait dengan
penurunan fungsi ginjal tersebut di sebut osteodistrofi renal. Tanda laboratorium yang
mengindikasikan osteodistrofi renal adalah meningkatnya kadar fosfat serum
(hiperfosfatemia). Pemberian CaCO3 berperan dalam menormalkan kembali keseimbangan
kalsium dan fosfat. CaCO3 juga berfungsi dalam pencegahan asidosis metabolik (Anonim,
2005).

Dalam penelitian ini selain CaCO3, asam folat juga banyak diberikan pada pasien
GGA. Asam folat diindikasikan pada pengobatan anemia defisiensi folat. Asam folat
merupakan obat yang biasanya diberikan bersamaan dengan CaCO3. Selain itu terdapat
juga penggunaan vitamin B, vitamin K dan lain-lain.

Selain penggunaan obat, evaluasi kebutuhan nutrisi pasien juga harus diperhatikan.
Pada pasien GGA selain mendapatkan diet tinggi kalori biasanya juga memperoleh
tambahan dietikum seperti ketosteril yang berisi asam amino esensial. Diet pada GGA
bertujuan untuk mencegah katabolisme protein.
C. Penggunaan Obat pada Pasien GGA dengan Penyakit Penyerta

Penyakit penyerta di sini merupakan penyakit yang menyertai GGA dan


kemungkinan menjadi penyebab GGA. Beberapa penyakit penyerta yang dialami pasien
GGA di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta yaitu :

1. Infeksi Saluran Kemih (ISK)

ISK merupakan salah satu penyakit penyerta pada pasien GGA yang harus segera
ditangani. Hal ini penting untuk mencegah kemungkinan yang lebih buruk karena penyebab
kematian tertinggi pada pasien GGA adalah infeksi.

Tabel XVII. Penggunaan Antibiotik pada GGA Dengan Penyakit Peyerta ISK di Rumah Sakit
PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2003-2005
Golongan Obat Jenis Jumlah Pasien Persentase(%)
Sefalosporin Seftriakson 9 60,0
Penisilin Ampisilin 1 6,7
Sefalosporin dan Quinolon Seftriakson dan Siprofloksain 3 20,0
Sefalosporin dan Karbapenem Seftriakson dan Meropenem 2 13.3
Total 15 100

Dari hasil penelitian diketahui terdapat 15 (25,9%) pasien GGA dengan penyakit
penyerta ISK seperti yang terlihat pada tabel XVII. Antibiotik yang umum digunakan pada
pasien ISK adalah golongan sefalosporin, penisilin dan golongan quinolon. Penisilin dan
sefalosporin merupakan obat pilihan pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
Antibiotik golongan sefalosporin yang paling banyak digunakan adalah generasi ketiga
yaitu Seftriakson yang memiliki spektrum luas terhadap bakteri gram negatif.

Siprofloksasin yang merupakan antibiotik quinolon efektif untuk infeksi saluran


kemih dengan atau tanpa komplikasi. Walaupun penderita mengalami gangguan fungsi
ginjal, fluoroquinolon masih berguna karena dalam keadaan ini biasanya kadar obat dalam
urin masih cukup untuk mematikan kuman penyebab infeksi. Selain golongan diatas
terdapat beberapa pasien GGA dengan penyakit penyerta ISK yang menggunakan
antiseptik saluran kemih berupa Fosfomisin.

2. Diabetes mellitus (DM)


Diabetes Mellitus (DM) adalah kelompok kelainan metabolisme yang ditandai
dengan hiperglikemia, hal ini berhubungan dengan ketidaknormalan metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein, dan menghasilkan komplikasi kronis termasuk
microvaskular, macrovascular dan kelainan neurophatic (Mueller, 2005). Pada penelitian
ini terdapat GGA 4 pasien (6,9%) yang menggunakan insulin.

Menurut Ganiswara (2005) diet dan pemberian antidiabetik oral merupakan terapi
yang diutamakan pada pasien diabetes mellitus. Namun demikian Pemberian antidiabetik
oral derivat sulfoniurea pada pasien yang sudah mengalami kerusakan sel β pulau
langerhans tidak akan bermanfaat. Jika kurang efektif baru dilakukan pemberian insulin.
Pemberian Insulin ini kemungkinan dapat menurunkan glukosa darah lebih cepat. Insulin
juga digunakan pada penderita diabetes mellitus tipe II. Ginjal merupakan organ penting
untuk eliminasi Insulin sehingga pada gangguan fungsi ginjal penggunaan Insulin perlu
dimonitoring.

3. Hipertensi

Hipertensi merupakan salah satu penyakit komplikasi yang timbul akibat GGA.
Target pemulihan tekanan darah yang harus dicapai pada pasien GGA dengan komplikasi
hipertensi adalah <130/80mmHg. Obat yang banyak digunakan oleh pasien GGA dengan
komplikasi hipertensi di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta yaitu Nifedipin,
Amlodipin, Kaptopril, Lisinopril, Kandesartan Sileksetil dan Klonidin.

Hipertensi pada pasien GGA merupakan efek dari memburuknya kemampuan ginjal
dalam mengatur keseimbangan air dan natrium. Hipertensi pada pasien GGA sedapat
mungkin diatasi untuk mencegah memburuknya fungsi ginjal (Marriot and Smith, 2003).
Pengobatan hipertensi pada GGA terutama menggunakan golongan ACEI dan ARB,
tetapi hal ini tidak sesuai dengan hasil yang didapatkan. Dari 17 pasien, 11 pasien GGA
dengan penyakit penyerta hipertensi menunjukkan bahwa obat yang banyak digunakan
adalah Nifedipin dan Amlodipin dari golongan CCB. Obat ini bekerja dengan cara
menghambat hipertrofi glomeruler, menghambat agregasi platelet dan menurunkan
akumulasi garam.
Golongan obat yang selanjutnya adalah ACEI seperti Kaptopril dan Lisinopril.
ACEI bekerja dengan menghambat pengubahan angiotensin I menjadi angiotensin II
dengan menghambat enzim pengkonversi angiotensin. Golongan obat ini dapat
menurunkan tekanan darah dengan menurunkan resistensi perifer.
Pada pasien dengan kerusakan ginjal, beberapa studi menunjukkan efek yang
menguntungkan dari ACEI pada laju filtrasi glomerulus dan aliran darah ginjal. Walaupun
ACEI bersifat renoproktetif, penggunaan pada pasien dengan stenosis arteri renalis bilateral
harus diwaspadai karena dapat memperburuk fungsi ginjal. Beberapa pasien juga
mendapatkan golongan ARB yaitu Kandesartan Sileksetil. Obat dari golongan ini bekerja
dengan cara menghambat reseptor angiotensin I. Aksinya yang menyekat langsung pada
angiotensin I menyebabkan obat ini memiliki efek penghambatan angiotensin I yang lebih
baik dibandingkan ACEI (Isselbacher et al., 2000).
4.Anemia
Anemia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan penurunan kadar hemoglobin
dan atau angka hitung eritrosit lebih rendah dari angka normal. Anemia pada laki-laki
terjadi jika jumlah Hb < 14g/dl dan Ht < 41% atau Hb < 12g/dl dan Ht < 37% pada wanita
(Mansjoer, 2001). Anemia dapat terjadi pada pasien GGA karena ginjal memiliki sejumlah
fungsi yang penting, salah satunya adalah biosintesis eritopoetin. Penurunan fungsi ginjal
menyebabkan penurunan produksi eritopoetin. Berkurangnya eritrosit akan menyebabkan
terjadinya anemia karena eritopoetin berperan dalam menstimulasi produksi eritrosit di
sum-sum tulang belakang. Namun demikian terdapat pasien yang sudah mengalami anemia
sebelum terjadi GGA. Pada penelitian tedapat 9 pasien (15,5%) GGA yang mengalami
anemia. Pasien yang mengalami anemia setelah terjadinya GGA mendapatkan terapi asam
folat. Asam folat merupakan bahan yang diperlukan dalam eritropoesis yang menentukan
dalam proses pembentukkan dan pematangan eritrosit.
5. Gastroenteritis akut
Gastroenteritis akut merupakan lesi mukosa berupa erosi dan pendarahan akibat
faktor-faktor agresif atau akibat sirkulasi akut mukosa lambung (Mansjoer, 2001).
Penatalaksanaan gangguan saluran cerna ini hanya bersifat simptomatis saja yaitu dengan
menurunkan sekresi asam lambung yang berlebihan dengan menggunakan antagonis H2,
PPI dan antasida, sedangkan golongan antiemetik dan pemberian antidiare digunakan untuk
mengatasi mual, muntah dan diare yang dialami pasien.
Selain penggunaan terapi obat, terdapat beberapa pasien yang menjalani dialisis.
Indikasi untuk dialisis adalah terdapatnya sindroma uremia, dan terdapatnya kegawatan
yang mengancam jiwa yaitu hipervolemia (edema paru), hiperkalemia, atau asidosis berat
yang resisten terhadap pengobatan konservatif. Pada penelitian ini terdapat 22 pasien
(37,9%) yang menjalani dialisis.

D. Kesesuaian Penggunaan Obat dengan Standar Pelayanan Medik (SPM)

Terapi yang diberikan pada pasien GGA yang sesuai dengan SPM (Standar
Pelayanan Medik) di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta adalah penggunaan
cairan dan elektrolit. Terapi berupa asupan cairan ini diberikan untuk memperbaiki aliran
darah ke ginjal, menurunkan vasokontriksi vaskular renal, dan membuang senyawa-
senyawa nefrotoksin yang terjadi akibat gangguan fungsi ginjal. Terapi ini diberikan
terutama pada pasien yang tidak mengalami overload cairan. Penggunaan berbagai
golongan dan jenis obat karena pasien tidak memberikan respon pada terapi suportif atau
adanya penyakit penyerta dan penyakit komplikasi yang dialami pasien GGA.
Penggunaan terapi cairan dan elektrolit sesuai apabila digunakan pada pasien yang
hipovolemi dan tidak mengalami overload cairan. Dalam penelitian ini penilaian hanya
dilakukan secara garis besar karena tidak adanya catatan berupa cairan dan elektrolit yang
masuk maupun yang dikeluarkan oleh pasien.
Penggunaan terapi cairan dan elektrolit terdapat pada 53 pasien (91,4%) di rumah
sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta sedangkan 5 pasien (8,6%) tidak menggunakan
terapi cairan dan elektrolit. Hal ini dapat disimpulkan bahwa pengobatan sudah sesuai
dengan standar pelayanan medik yang ada di rumah sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta karena sebagian besar pasien menerima terapi cairan dan elektrolit.

E. Efektivitas Terapi

Efektivitas terapi dinilai dengan melihat perkembangan atau perbaikan kondisi


pasien setelah memperoleh terapi obat apakah gejala-gejala sakit berkurang atau hilang
sama sekali dan data obyektif pasien menunjukkan nilai normal atau mendekati normal
serta dilihat dari lama perawatan pasien dan bagaimana keadaan pulang pasien apakah
sudah sembuh dan diizinkan pulang, pulang paksa, atau meninggal dunia.

Tabel XVIII. Pemeriksaan Akhir Serum Kreatinin pada Pasien GGA di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2003-2005
Jumlah Serum Kreatinin Jumlah Pasien Persentase (%) Kategori
(mg/dl)
<1,5 9 15,5 Normal
1,5-5 23 39,7 Ringan
5-10 20 34,5 Moderat
>10 6 10,3 Parah
Total 58 100

Tabel XIX. Pemeriksaan Akhir Serum BUN pada Pasien GGA di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2003-2005

Jumlah BUN (mg/dl) Jumlah Pasien Persentase (%) Kategori


≤80 11 19,0 Normal
>80 47 81,0 Tidak Normal
Total 58 100

Dilihat dari tabel XVIII dan tabel XIX dapat disimpulkan bahwa terapi yang
diperoleh pasien belum atau tidak efektif karena dilihat dari hasil laboratorium terakhir
sebagian besar pasien memiliki parameter klinik berupa BUN dan kreatinin yang tidak
normal. Hanya 11 pasien (19,0%) yang memiliki nilai BUN normal sedangkan 47 pasien
(81,0%) tidak normal. Nilai normal kretinin terdapat pada 9 pasien (15,5%), mendekati
normal sebanyak 23 pasien (39,7%) sedangkan 26 pasien (44,8%) tidak normal.
Efektivitas juga dapat dilihat dari keadaan pulang pasien. Pasien yang pulang dalam
kondisi membaik dan sembuh sebanyak 25 pasien (43,1%) dari total kasus yang ada
sehingga pengobatan ini belum dapat dikatakan efektif.
Dilihat dari keadaan pulang pasien GGA dari rumah sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta pasien banyak yang pulang dalam keadaan membaik. Hal ini juga dapat
menunjukkan bahwa pengobatan belum efektif sebab pasien ini kemungkinan hanya
memperlihatkan gejala-gejala maupun keluhan yang sebelumnya dialami pasien GGA
sudah berkurang atau menghilang. Pengobatan dikatakan efektif apabila pasien GGA
pulang dalam keadaan sembuh. Dikatakan sembuh apabila kondisi fisik pasien sudah
membaik, gejala-gejala maupun keluhan pasien yang dialami pasien sebelumnya
menghilang serta nilai hasil laboratorium terakhir pasien menunjukkan nilai yang normal.
Hasil penelitian juga memperlihatkan adanya 4 pasien yang pulang dalam kondisi
belum sembuh. Hal ini mungkin terkait dengan kesulitan biaya pengobatan sehingga
pasien terpaksa harus pulang walaupun penyakitnya belum sembuh. Pasien yang pulang
dalam kondisi meninggal berjumlah 8 orang. Pasien yang meninggal akibat GGA itu
sendiri hanya 1 pasien, sedangkan 7 pasien lainnya meninggal karena adanya penyakit
komplikasi maupun penyakit penyerta yang juga dialami pasien GGA.
Lama perawatan pasien GGA dapat menunjukkan efektivitas dari pengobatan.
Pasien GGA biasanya menjalani perawatan dalam rentang waktu 5-8 hari pada pasien non
oliguri dan apabila tidak terkait dengan penyakit penyerta maupun penyakit komplikasi
yang juga dialami pasien GGA 10-16 pasien oliguri (Tisher and Wilcox, 1997) Dalam
penelitian ini pasien banyak menjalani perawatan dalam rentang 1-7 hari sehingga
pengobatan dapat dikatakan efektif.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa :
1. Terapi penggunaan obat pada pasien GGA yang menjalani perawatan di rumah sakit
PKU Muhammadiyah Yogyakarta adalah penggunaan golongan cairan dan
elektrolit yaitu 53 pasien (91,4%), terdapat 45 pasien (77,6%) menggunakan
antibiotik, 40 pasien (68,9%) menggunakan antasida dan antiulserasi, 31 pasien
(53,5%) menggunakan vitamin dan mineral, serta 27 pasien (46,6%) berupa
diuretik.
2. Ada kesesuaian pengobatan pasien GGA dengan standar pelayanan medik rumah
sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta berupa pemberian cairan dan elektrolit pada
53 pasien (91,4%).
3. Efektivitas pengobatan pada pasien GGA di rumah sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta belum efektif. Pasien yang pulang dalam kondisi
membaik dan sembuh hanya 25 pasien (43,1%) dari total kasus yang ada. Terdapat
11 pasien (19,0%) yang memiliki nilai BUN normal sedangkan 47 pasien (81,0%) tidak
normal. Nilai normal kreatinin terdapat pada 9 pasien (15,5%) sedangkan 49 pasien
(84,5%) tidak normal.

B. Saran
1. Rumah Sakit
Perlu dilakukan penulisan data rekam medik yang lebih lengkap mengenai
pengobatan pasien sehingga pasien mendapatkan terapi yang optimal dan dapat
meningkatkan pelayanan kesehatan rumah sakit.
2. Peneliti Lain
Perlu dilakukan penelitian mengenai penggunaan obat pada pengobatan pasien gagal
ginjal akut dengan menggunakan metode lain sehingga dapat membandingkan hasil
yang diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA

Agrawar, M.M.D., Swartz, R.M.D.J., 2000 Acute Renal Failure, http://www.aafp.com


(diakses 10 Februari 2007).
Alatas, H., Tambunan., T., Trihono, P.P., 1996, Buku Ajar Nefrologi Anak, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 448-451.

Anonim, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi LAB/UPF Ilmu Penyakit Dalam, RSUD Dr.
Soetomo, Surabaya.

Anonim, 2003, The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Presure, available at
http://www.nhbi.niv.gov/guidelines/hypertension/jncintro.htm (diakses 8 Januari
2009).

Anonim, 2005, Geriatri, Ethical Digest, vol.19, September 2005.

Anonoim, 2005, Renal Osteodystrophy, http://www.kidney.niddk.nih.gov (diakses 4


september 2008).

Anonim, 2005, Standar Pelayanan Medis Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta,
Komite Medis Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

Cipolle, R.J., Strand, L.M., Morley, P.C., 1998, Pharmaceutical Care Practice,the 78-83,
Mc Graw Hill Companies.

Ganiswara, S.G., Setiabudy, R., Suyatna, D.F., Purwantyastuti, Nafrialdi, 2005,


Farmakologi dan terapi, Edisi IV, bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.

Ganong, F.W., 2001, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi XX Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 671-675.

Guyton, A.C., Hall, J.E., 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi IX, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 512-514.

Habsari, D.A., 2008, Studi Interaksi Obat Pada Pasien Gagal Ginjal Akut Rawat Inap di
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, Skripsi, Fakultas MIPA Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta.

Isserbacher, K.J., Braunwald, E., Wilson, J.D., Martin, J.B., 2000, Harisson Prinsip-Prinsip
Penyakit Dalam , vol.3, Edisi XIII, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1256-
1272, 1425-1435.
Kenward, R.L., Tan, C.K., 2003, Penggunaan Obat pada Gagal Ginjal, In Aslam, M., Tan,
C.K., Prayitno, A.I., (Eds.), Farmasi Klinis Menuju Pengobatan Rasional dan
Penghargaan Pilihan Pasien, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 173-153.

Masruroh, I., 2006, Evaluasi Penggunaan Obat Pada Pasien Gagal Ginjal Akut di RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2004, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.

Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W.L., Setiowulan, W., 2001, Kapita
Selekta Kedokteran, Edisi III, Media Aesculapius FKUI Jakarta.

Mc Nally, K., 1998, Renal Medicine, In Clinical Pharmacy : A Pratical Approach, Mc


Millian Education Australia, Victoria, 108-122.

Mueller. B.A., 2005, Acute Renal Failure dalam Dipiro, J.T, Talbert, RL., Yee, GC., Wells,
BG., Posey, ML., Pharmacotherapy A Pathophysiologic Aprroach, 6th Edition,
781-796, Apleton and lange, Philadelphia.

Nasution, M.Y., Prodjosudjadi, W., 2001, Pemeriksaan Penunjang pada Penyakit Ginjal, In
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi III, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, 299-306.

Parsoedi, I.A., Soewito, Ag., 1990, Gagal Ginjal Akut, In Soeparman, Waspadji, S., Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid II, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 341-
348.

Shargel, L., Yu, A., 1999, Applied Biopharmaceutics and Pharmakokinetics, fourth
Edition, Mc Graw-Hill Companies, 531-532.

Suhardjono, 2007, Gagal Ginjal Akut, http://www.farmacia.com (diakses 6 April 2007).

Suhardjono, Markum, M., Prodjosudjadi, 2001, Pendekatan Klinis Pasien Dengan Penyakit
Ginjal In Ilmu Penyakit Dalam, Edisi III, Balai Penerbit FKUI Jakarta.

Sukandar, E., 1997, Nefrologi Klinik, Edisi II, Penerbit ITB, Bandung, 284-322.

Sulistiasih, D., 2006, Evaluasi Penggunaan Angiotensin Receptor Blokers Pada Pasien
Gagal Ginjal Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, Skripsi, Fakultas
Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Suwitra, K., 1999, Diagnostik dan Penatalaksanaan Gagal Ginjal Akut, In Bakta, I.M.,
Suastika, K., Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta, 87-98.
Tisher, C.C., Wilcox, S.C., 1997, Nefrologi, Edisi III, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.
Thattle., 1996, Drug Induced Nephrotoxicity : The Crucial Role Of Risk Factors,
http://www.postgramed.com (Diakses 10 Februari 2007).

Woodley, M., Whelan, A., 1995, Pedoman Pengobatan, Yayasan Essentia Medica dan
Andi Offset, Yogyakarta, 333-334.

Wilson, L.M., 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi IV, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 787-893.

Winarni, D., 2006, Pola Penggunaan Obat Pada Pasien Gagal Ginjal Akut di Instalasi
Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai