Uii-Skripsi-Penggunaan Obat pada-04613173-EVA TRISNAWATI-7078856765-abstract PDF
Uii-Skripsi-Penggunaan Obat pada-04613173-EVA TRISNAWATI-7078856765-abstract PDF
PENDAHULUAN
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui bagaimana pola penggunaan obat pada penderita GGA di rumah sakit
PKU Muhammadiyah.
2. Mengetahui kesesuaian penggunaan obat yang diberikan dengan standar pelayanan
medik (SPM) yang ada di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
3. Mengetahui efektivitas penggunaan obat yang diberikan di rumah sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran kepada praktisi
kesehatan di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta sehingga dapat
meningkatkan pelayanan kesehatan dan pasien mendapatkan terapi yang optimal.
2. Dengan adanya penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pembanding dan pelengkap
untuk penelitian selanjutnya.
BAB ΙΙ
STUDI PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
1. Anatomi dan fisiologi ginjal
Ginjal merupakan sepasang organ berbentuk kacang yang terletak bagian ventral
dinding perut bagian dorsal, di bawah diafragma dan masing-masing terletak pada kedua
sisi kolom tulang belakang. Pada bagian cembungnya mengarah ke lateral, bagian
cekungnya mengarah ke medial. Panjang ginjal 10-12 cm, penampang melintangnya 5-6
cm dan beratnya sekitar 120-160 gram (Ganiswara, 2005).
Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan ginjal yang kiri karena tertekan ke
bawah oleh hati. Katup atasnya terletak setinggi kosta keduabelas sedangkan kutup atas
ginjal kiri terletak setinggi kosta kesebelas (Wilson, 1995).
Tiap tubulus ginjal dan glomerulusnya membentuk satu kesatuan (nefron). Ukuran
ginjal berbagai spesies ditentukan oleh jumlah nefron yang membentuknya. Tiap ginjal
manusia memiliki kira-kira 1,3 juta nefron. Ginjal akan mendapat 1,2-1,3 L darah per menit
pada orang dewasa yang sedang istirahat, atau sedikit lebih kecil daripada 25% curah
jantung (Ganong, 2001).
Kapsula ginjal tipis tapi kuat. Bila ginjal edema, kapsula ini akan membatasi
pembengkakan, dan akibatnya tekanan jaringan (tekanan intersisial) ginjal meningkat. Hal
ini akan menurunkan laju filtrasi glomerulus dan dianggap memperberat dan
memperpanjang keadaan anuria pada GGA (Ganong, 2001).
Ginjal melakukan fungsi vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah
(dan lingkungan dalam tubuh) dengan mengekskresikan solut dan air secara selektif. Fungsi
vital ginjal dilakukan dengan filtrasi plasma darah melalui glomerulus diikuti dengan
reabsorbsi sejumlah solut dan air dalam jumlah yang tepat di sepanjang tubulus ginjal.
Kelebihan solut dan air akan diekskresikan keluar tubuh sebagai kemih melalui sistem
pengumpul (Wilson, 1995).
2. Definisi
Gagal ginjal akut (GGA) merupakan penurunan fungsi ginjal secara mendadak
sehingga ginjal tidak mampu menjalani fungsinya untuk mengekskresikan hasil
metabolisme tubuh (kelebihan nitrogen dan air) dan mempertahankan keseimbangan asam
dan basa (Mueller,2005). GGA adalah penurunan tiba-tiba faal ginjal pada individu dengan
ginjal sehat sebelumnya, dengan atau tanpa oliguria. GGA dapat berakibat azotemia
progesif disertai kenaikkan ureum dan kreatinin darah (Parsoedi and Soewito, 1990).
Penurunan fungsi ginjal yang terjadi dalam waktu singkat menyebabkan penderita
GGA hanya mengalami sedikit gejala. Diagnosis yang dapat diterima meliputi terjadinya
peningkatan 50% dari batas atas nilai normal serum kreatinin, atau sekitar 0,5 mg/dl atau
terjadi penurunan sebesar 50% dari normal laju filtrasi glomerulus (Needham. 2005).
Anuria didefinisikan bila volume urin kurang dari 50ml per hari. Oliguria terjadi jika
volume urin dalam satu hari sekitar 50-450ml, sedangkan kondisi non oliguria terjadi jika
volume urin lebih dari 450ml per hari (Mueller, 2005).
Jika GGA bersifat sedang, efek fisiologis utamanya adalah retensi darah dan cairan
ekstraseluler dari cairan tubuh, produk buangan dari metabolisme dan elektrolit. Hal ini
dapat menyebabkan penumpukkan air dan garam yang berlebihan yang kemudian dapat
mengakibatkan edema dan hipertensi. Namun retensi kalium yang berlebihan sering
menyebabkan ancaman yang lebih serius terhadap pasien gagal ginjal akut karena
peningkatan konsentrasi kalium plasma (hiperkalemia) kira-kira lebih dari 8 mEq/liter
(hanya 2 kali normal) dapat menjadi fatal, karena ginjal juga tidak dapat mengekskresikan
cukup ion hidrogen. Pasien dengan GGA mengalami asidosis metabolik yang dapat
menyebabkan kematian atau dapat memperburuk hiperkalemia itu sendiri (Guyton and
Hall, 1997).
3. Epidemiologi
Acute renal failure (ARF) merupakan sindrom klinis yang sangat lazim terjadi pada
sekitar 5% pasien rawat inap dan sebanyak 30% pasien yang dirawat di unit perawatan
intensif. Sebagian besar pasien GGA biasanya memiliki fungsi ginjal yang sebelumnya
normal, dan keadaan ini umumnya dapat pulih kembali. Selain kenyataan ini, mortalitas
akibat GGA sangat tinggi sekitar 50%, bahkan dengan ketersediaan pengobatan dialisis,
mungkin menunjukkan penyakit kritis yang menyertainya (Wilson, 1995).
Menurut Dr. Suhardjono kasus gagal ginjal di dunia meningkat lebih dari 50%,
sedangkan di Indonesia sudah mencapai 20%. Mortalitas penderita GGA masih cukup
tinggi, 40–50% pada GGA oliguri dan 15–20 % pada gagal ginjal akut non-oliguri. Insiden
GGA di populasi umum kurang dari 1 %, 5–7 % pada penderita yang dirawat di rumah
sakit dan 20–25 % dari penderita di ruang perawatan intensif (Suhardjono, 2007).
4. Etiologi
Penyebab GGA dapat di bagi dalam 3 kategori utama :
1) GGA akibat penurunan suplai darah ke ginjal, keadaan ini sering disebut sebagai
GGA prarenal untuk menggambarkan bahwa kelainan terjadi sebelum ginjal.
Kelainan ini bisa diakibatkan oleh:
a) Gagal jantung dengan penurunan curah jantung dan tekanan darah rendah.
b) Keadaan yang berhubungan dengan penurunan volume darah dan tekanan
darah rendah seperti pada pendarahan hebat.
2) Gagal ginjal intrarenal akibat kelainan di dalam ginjal itu sendiri termasuk
kelainan yang mempengaruhi darah glomerulus atau tubulus.
3) Gagal ginjal pascarenal, berarti ada sumbatan di traktus urinarius di luar ginjal
adalah batu ginjal, akibat presipitasi kalsium, atau sistin (Guyton and Hall,
1997).
Tabel I. Penyebab Kegagalan Ginjal Akut (Woodley and Whelan, 1995)
Klasifikasi GGA Penyebab
Prarenal (iskemik) 1. Pengurangan volume cairan
2. Hipotensi
3. Kegagalan jantung parah
4. Kegagalan hati
Kegagalan ginjal 1. Nekrosis tubulus akut (iskemia berkepanjangan, bahan bahan
intrinsic (renal) nefrotoksik seperti logam berat, aminoglikosida, bahan kontras
radiografi).
2. Perlukaan arteriol seperti hipertensi yang di percepat,
vaskulitis, Mikrolopathia (purpura trombotik
trombositopenia, sindroma hemolitik uremik)
3. Glomerulonefritis
4. Nephritis intestinal akut (karena pengaruh obat)
5. Penimbunan intrarenal (asam urat, myeloma)
Pascarenal 1. Obstruksi ureteral (jendalan, batu, tumor, papillae yang
terkelupas, penekanan dari luar)
2. Obstruksi pada pintu keluar vesica urinaria (neurogenic
bladder, hipertrofi prostat, karsinoma, batu, jendalan,
penyempitan uretra).
Tercapainya kadar terapi optimal mempunyai arti bahwa kadar obat dalam darah
berada dalam kisaran terapi yaitu tidak melampaui kadar toksik minimal (KTM) sehingga
tidak menimbulkan efek toksik dan tidak di bawah kadar efek minimal (KEM) yang
menyebabkan kegagalan terapi (Ganiswara, 2005).
Bagi beberapa jenis obat, apabila dosis penjagaan diturunkan, merupakan hal yang
penting untuk menambahkan suatu dosis muatan. Hal ini disebabkan oleh keadaan di mana
penderita yang diberi dosis lazim obat apapun akan memerlukan lebih dari waktu paruh
untuk mencapai kadar plasma tunak. Oleh karena waktu paruh obat dalam plasma yang
diekskresikan melelui ginjal diperpanjang pada gagal ginjal, maka dipelukan beberapa hari
sebelum dosis obat (yang sudah diturunkan/lebih rendah) tersebut dapat mencapai kadar
terapeutik dalam plasma (Kenward and Tan, 2003).
B. Keterangan Empiris
Penelitian ini dilakukan terkait dengan peningkatan jumlah kasus dan angka
kematian pasien akibat gagal ginjal akut di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta
selama tahun 2003–2005 dan penggolongan pasien dengan kekhususan terutama dalam
hal penggunaan obat, di samping itu lebih rentan terhadap terjadinya Drug related problem.
BAB ІІІ
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode cross sectional dengan
pengumpulan data secara retrospektif.
Kriteria inklusi :
1. Menderita gagal ginjal akut pada tahun 2003-2005.
2. Pasien memiliki kelengkapan catatan rekam medik.
Kriteria eksklusi :
Pasien tidak memiliki kelengkapan data laboratorium seperti BUN dan kreatinin
E. Pengumpulan Data
Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data dari rekam medik di rumah sakit
PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 2003-2005.
Pertama, Proses penelusuran data dimulai dari observasi laporan unit rekam medik
secara retrospektif untuk kasus pasien dengan diagnosa gagal ginjal akut pada tahun 2003-
2005. Laporan dari rekam medik berupa daftar nomor registrasi dari penderita yang
digunakan untuk mengumpulkan kartu status penderita. Kemudian dibuat tabulasi yang
meliputi nomor registrasi, umur, jenis kelamin, diagnosa utama, komplikasi, jenis dan
golongan obat yang digunakan, rute pemberian, dosis, lama pemberian obat, lama
perawatan, kondisi pasien saat pulang, data subyektif seperti : nyeri, pusing, lemah, mual,
muntah serta data obyektif seperti : edema, BUN, kreatinin, elektrolit. Kedua, identifikasi
pola penggunaan obat melalui tabel-tabel yang dibuat.
F. Analisis Hasil
Data pola penggunaan obat pada gagal ginjal akut yang dirawat di rumah sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 2003-2005 dianalisis secara deskriptif untuk
memperoleh informasi tentang :
1) Profil pasien gagal ginjal akut yang dilihat dari
a. Persentase yang dihasilkan berdasar jenis kelamin dibanding banyaknya pasien
laki-laki dan perempuan dibagi jumlah total pasien dikali 100%.
b. Persentase yang dihasilkan berdasar usia pasien sesuai klasifikasi dibagi jumlah
total pasien dikali 100%.
c. Persentase yang dihasilkan berdasar data serum kreatinin pasien sesuai jumlah
serum kreatinin dibagi jumlah total pasien dikali 100%.
d. Persentase yang dihasilkan berdasarkan lama perawatan pasien sesuai klasifikasi
dibagi jumlah total pasien dikali 100%.
e. Persentase yang di hasilkan berdasar keadaan pulang sesuai klasifikasi apakah
sembuh, belum sembuh, membaik ataupun mmeninggal dibagi jumlah total pasien
dikali 100%.
f. Persentase yang dihasilkan berdasar penyakit komplikasi pasien sesuai klasifikasi
dibagi jumlah total pasien dikali 100%.
g. Persentase yang dihasilkan berdasar klasifikasi gagal ginjal dan etiologi pasien
sesuai klasifikasi dibagi jumlah total pasien dikali 100%.
h. Persentase yang dihasilkan berdasarkan jenis dan golongan obat yang diberikan
kepada pasien dihitung dari jumlah kasus yang menerima jenis obat tertentu dibagi
jumlah kasus dikali 100%.
i. Persentase yang dihasilkan berdasarkan penggunaan obat pada pasien terkait dengan
penyakit penyerta pasien sesuai klasifikasi dibagi jumlah total pasien dikali 100%.
2) Kesesuaian penggunaan obat yang dinilai dengan melihat obat yang diberikan pada
pasien apakah sesuai dengan indikasi berdasarkan standar pelayanan medik (SPM)
tahun 2005 di rumah sakit PKU Muhammadiyah.
3) Efektivitas terapi dinilai dengan melihat perkembangan atau perbaikan kondisi pasien
setelah memperoleh terapi obat apakah gejala-gejala sakit berkurang atau hilang sama
sekali dan data obyektif pasien menunjukkan nilai normal atau yang mendekati normal
serta dilihat dari lama perawatan pasien dan bagaimana keadaan pulang pasien apakah
sudah sembuh dan diijinkan pulang, pulang paksa, atau meninggal dunia
BAB ІV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan data dari bagian rekam medik rumah sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta diketahui bahwa selama periode 1 Januari 2003 sampai 31 Desember 2005
terdapat 69 kasus pasien dengan diagnosa GGA. Jumlah pasien GGA pada tahun 2003
sebanyak 27 pasien (39,1%), 26 pasien (37,7%) pada tahun 2004 dan 16 pasien (23,2%) di
tahun 2005. Pasien GGA yang dimasukkan dalam penelitian ini sebanyak 58 pasien dari
total kasus yang ada karena 11 pasien tidak ditemukan berkas rekam mediknya dikarenakan
hilang atau tidak ada. Hal ini disebabkan karena penelitian dilakukan pada pasien yang
mengalami GGA yang waktunya sudah berlangsung lama yaitu pada tahun 2003-2005,
sehingga mungkin beberapa rekam medik telah mengalami inaktivasi dan sulit dilacak
kembali.
A. Karakteristik Pasien
1. Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin
Dilihat dari gambar 1, jumlah kasus GGA yang ada banyak dialami oleh pasien laki-
laki yaitu 37 pasien (64%). Hal ini sesuai dengan penelitian Gibney et al., (2005) yang
menyebutkan bahwa salah satu faktor resiko dasar GGA adalah jenis kelamin laki-laki.
36%
64%
Laki-laki
Perempuan
Gambar 1. Distribusi Pasien GGA di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun
2003-2005 berdasarkan jenis kelamin
Kecenderungan pria lebih banyak menderita GGA kemungkinan disebabkan oleh adanya
hormon testosteron yang mempercepat progresi kerusakan ginjal. Analisis NHANES II
(National Health And Nutrition Examination Survey) juga menyatakan bahwa laki-laki
memiliki kecenderungan lebih besar dibandingkan perempuan untuk mengalami penurunan
fungsi ginjal lebih cepat (Sulistiasih, 2006). Namun demikian, hasil penelitian Habsari
(2008) ditemukan 36% pasien laki-laki dan 64% pasien perempuan kasus GGA di instalasi
rawat inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta selama tahun 2005-2007.
2. Distribusi Berdasarkan Usia
Usia merupakan salah satu faktor resiko penyebab penurunan fungsi ginjal.
Distribusi penderita GGA berdasarkan usia pada penelitian ini digolongkan menjadi 4
kelompok untuk mempermudah melihat gambaran usia pasien yang mengalami GGA di
rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
Tabel IV. Distribusi Pasien GGA di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2003-
2005 Berdasarkan Usia
Kelompok Usia (Tahun) Jumlah Pasien Persentase (%)
<25 1 1,7
25-40 13 22,4
41-65 31 53,5
>65 13 22,4
Total 58 100
.
Data pada tabel IV menunjukkan bahwa rentang usia 41-65 tahun merupakan
kelompok usia yang paling banyak mengalami GGA yaitu sebanyak 31 pasien (53,45%).
Pada penelitian Habsari (2008) diketahui pasien GGA diderita oleh 61 pasien (61%) dengan
usia 45-64 tahun. Penelitian lain menyebutkan 40 pasien (57,9%) mengalami GGA dalam
rentang usia 41-65 tahun (Masruroh, 2006).
Penurunan fungsi ginjal yang ditandai dengan terjadinya penurunan laju filtrasi
glomerulus terjadi seiring dengan meningkatnya usia. Penurunan laju filtrasi glomerulus
sendiri merupakan penyebab terjadinya GGA (Mueller, 2005).
Usia di atas 65 tahun merupakan golongan usia lanjut. Di Indonesia sendiri pada
tahun 2000 jumlah penduduk dengan usia lanjut hanya sekitar 7,28% karena penduduk
pada usia di atas 65 tahun kebanyakan sudah meninggal (Anonim, 2007). Hal ini sesuai
apabila data tersebut dihubungkan dengan hasil penelitian yang didapatkan yaitu pasien
GGA pada usia di atas 65 tahun berjumlah lebih sedikit dibandingkan dengan pasien GGA
pada rentang usia 41-65 tahun.
Ada 1 pasien yang mengalami GGA dengan umur di bawah 25 tahun. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena penyakit hipertensi yang dialami pasien tersebut.
Hipertensi merupakan penyakit komplikasi dari GGA, namun demikian hipertensi juga
dapat mengakibatkan perlukaan arteriol pada ginjal sehingga hipertensi bisa menjadi
penyakit yang menyebabkan GGA (Woodley and Whelan, 1995).
3. Distribusi Berdasarkan Data Serum Kreatinin
Pemeriksaan utama pada pasien GGA di rumah sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta meliputi BUN dan kreatinin. Kreatinin merupakan parameter hasil
laboratorium yang lebih spesifik pada pasien GGA dibandingkan dengan BUN. Pasien
mengalami GGA apabila terjadi peningkatan 50% dari batas atas nilai normal serum
kreatinin, atau sekitar 0,5 mg/dl atau terjadi penurunan sebesar 50% dari normal laju filtrasi
glomerulus (Mueller, 2005).
Kreatinin diekskresikan melalui ginjal terutama dengan proses filtrasi glomerulus,
sedangkan sekresi tubulus minimal. Bila massa otot tetap, maka adanya perubahan pada
kreatinin mencerminkan perubahan pada klirensnya melalui filtrasi. kosentrasi ureum
dipengaruhi oleh diet dan reabsorbsi tubulus Ureum merupakan produk nitrogen terbesar
yang dikeluarkan melalui ginjal. selain mengalami filtrasi glomerulus, ureum juga
mengalami reabsorbsi tubulus (Kenward and Tan, 2003).
Tabel V menyajikan data hasil pemeriksaan serum kreatinin pada awal kedatangan
pasien GGA. Data berupa berat badan pasien tidak tertulis secara lengkap dalam rekam
medik sehingga nilai klirens kreatinin pasien tidak dapat dicantumkan.
Tabel V. Distribusi Pasien GGA di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2003-
2005 Berdasarkan Data Serum Kreatinin Pada Awal Kedatangan
Kasus dengan serum kreatinin yang tidak normal pada awal kedatangan sebanyak
56 pasien (96,6%). Rentang serum kreatinin yang paling banyak adalah 5-10mg/dl dan
termasuk dalam gangguan fungsi ginjal yang bersifat moderat. Terdapat 3 pasien (5,2%)
dengan hasil pemeriksaan serum kreatinin yang normal pada awal kedatangannya, tetapi
setelah pemeriksaan lebih lanjut 1 pasien ternyata mengalami obstruksi AMI (Acute
Myocardial Infarction) dan mengalami peningkatan serum kreatinin pada hari berikutnya
sehingga berada dalam rentang yang tidak normal. Hal ini bisa terjadi karena obstruksi
AMI dapat menyebabkan hipoperfusi aliran darah sehingga menurunkan laju filtrasi
glomerulus (Mueller, 2005). Pasien lainnya mengalami ISK yang kemungkinan dapat
menjadi penyebab GGA.
4. Distribusi Berdasarkan lama perawatan
Lama perawatan pasien digolongkan menjadi 4 kelompok hari rawat berdasarkan
data yang tertulis dalam berkas rekam medik rumah sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta untuk mempermudah melihat gambaran lama perawatan pasien GGA. Data
selengkapnya dapat dilihat pada tabel VI.
Tabel VI. Distribusi Pasien GGA di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2003-
2005 Berdasarkan Lama Perawatan
Lama Perawatan (hari) Jumlah Pasien Persentase (%)
1-7 30 51,7
8-14 21 36,2
15-21 6 10,4
22-28 1 1,7
Total 58 100
Dilihat dari tabel VI ditemukan bahwa presentase terbesar lama perawatan pasien
adalah selama 1-7 hari yakni sebanyak 30 pasien (51,7%). Kejadian ini mungkin
disebabkan karena kerusakan yang ada belum begitu parah. Hal ini dapat dilihat dari data
serum kreatinin pasien yang banyak berada dalam rentang ringan sampai moderat (1,5-
10mg/dl) sehingga penyakit ini dapat segera diatasi. Selain itu, ginjal mempunyai sel-sel
yang dapat melakukan regenerasi sehingga tidak menyebabkan kerusakan lebih lanjut.
Ada 1 pasien (1,7%) GGA yang menjalani perawatan selama 22 hari. Pasien ini
lama menjalani perawatan dikarenakan adanya penyakit penyerta yang dialami yaitu
anemia. Mueller (2005) menyatakan bahwa anemia pada GGA disebabkan penurunan
produksi eritropoetin pada ginjal yang berfungsi merangsang pembentukan eritrosit di sum-
sum tulang belakang. Dengan demikian, lama perawatan tidak hanya ditentukan oleh
penyakit GGA itu sendiri tetapi juga karena adanya komplikasi ataupun penyakit penyerta
yang dialami pasien.
5. Distribusi Berdasarkan Keadaan Pulang
Keadaan pulang pasien GGA di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta
dikategorikan dalam beberapa kondisi yaitu : sembuh, membaik, belum sembuh atau
pulang paksa, dan meninggal.
Tabel VII. Distribusi Pasien GGA di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2003-
2005 Berdasarkan Keadaan Pulang
Keadaan Pulang Jumlah Pasien Persentase (%)
Membaik 17 29,3
Sembuh 8 13,8
Belum Sembuh 4 6,9
Meninggal 8 13,8
Tidak Diketahui 21 36,2
Total 58 100
Tabel VIII. Distribusi Pasien GGA di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun
2003-2005 Berdasarkan Penyakit Penyerta
Penyakit Penyerta Jumlah Pasien Persentase (%)
ISK 15 25,9
DM 13 22,4
Leptospirosis 3 5,2
Hepatitis 2 3,5
Pneumonia 1 1,7
Tanpa Penyakit Penyerta 28 48,3
Total 58 100
Penyakit penyerta di sini merupakan penyakit yang menyertai GGA dan mungkin
juga menjadi penyebab GGA. Dari hasil penelitian terlihat bahwa penyakit penyerta yang
banyak dialami pasien GGA di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2003-
2005 adalah infeksi saluran kemih (ISK) yang berjumlah 15 pasien (25,9%) dari total kasus
yang ada. ISK menyebabkan GGA karena ISK dapat mengakibatkan kerusakan saluran
ureter. Hepatitis dapat memicu hipoperfusi aliran darah dan mengakibatkan GGA prarenal.
Leptospirosis dan diabetes mellitus dapat mengakibatkan gangguan pada bagian intrinsik
ginjal (Mueller, 2005).
6. Distribusi Berdasarkan Penyakit Komplikasi
Berdasarkan hasil penelitian, penyakit komplikasi yang banyak dialami oleh pasien
GGA berupa gastroenteritis dengan jumlah 16 pasien (27,6%). GGA yang tidak tertangani
dapat menimbulkan penyakit komplikasi. Penyakit komplikasi di sini adalah penyakit yang
berkembang akibat GGA.
Tabel IX. Distribusi Pasien GGA di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2003-
2005 Berdasarkan Penyakit Komplikasi
Penyakit Komplikasi Jumlah Pasien Persentase (%)
Gastroenteritis 16 27,6
Gastroenteritis + Hipertensi 8 13,8
Hipertensi 8 13,7
Hipertensi + Arthritis Rheumatoid 1 1,7
Arthritis Rheumatoid 10 17,2
Asidosis Metabolik 3 5,2
Tanpa Penyakit Komplikasi 12 20,7
Total 58 100
Gastroenteritis menempati urutan tertinggi komplikasi GGA dari total pasien yang
ada. Menurut Mueller (2005) karena adanya akumulasi urea dalam darah (uremia) yang
memicu peningkatan sekresi asam lambung sehingga terjadi gangguan gastrointestinal.
Kejadian komplikasi hipertensi yang disebabkan karena adanya peningkatan aldosteron
pada GGA mengakibatkan terjadinya retensi air dan garam sehingga terjadi peningkatan
tekanan darah (Mueller, 2005).
Sejumlah 10 pasien (17,2%) mengalami komplikasi arthritis rheumatoid. Hal ini
karena terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus menyebabkan terjadinya akumulasi asam
urat yang mengakibatkan arthritis rheumatoid. Komplikasi asidosis metabolik yang terjadi
pada 3 pasien (5,2%) disebabkan karena terjadinya gangguan ekskresi ion hidrogen pada
tubulus distal (Mueller, 2005). Selain itu asidosis juga dapat disebabkan oleh produksi asam
yang meningkat secara tiba-tiba dan hilangnya bikarbonat melalui traktus gastrointestinal
seperti pada diare (Tisher dan Wilcox, 1997).
7. Distribusi Berdasarkan Klasifikasi Gagal Ginjal dan Etiologi
Gagal ginjal akut dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu GGA prarenal, GGA
intrinsik, dan GGA pascarenal (Mueller, 2005). Distribusi pasien GGA di rumah sakit
PKU Muhammadiyah Yogyakarta berdasarkan klasifikasi gagal ginjal dan etiologinya
dapat dilihat pada tabel X.
Tabel X. Distribusi Pasien GGA di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2003-
2005 Berdasarkan Klasifikasi GGA
Klasifikasi GGA Etiologi Jumlah Pasien Persentase (%)
Prarenal Pengurangan vol. cairan 5 8,6
Hipotensi 5 8,6
Gagal Jantung 2 3,5
Gagal Hati 3 5,2
Renal Glomerulonefritis 1 1,7
Nephritis interstisial akut 2 3,5
Pascarenal Obstruksi 6 10,3
Tidak Diketahui 34 58,6
Total 58 100
Tabel XI. Golongan dan Jenis Obat Yang Diberikan pada Pasien GGA di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2003-2005
No Golongan Obat Jenis Jumlah Persentase
Pasien (%)
1 Cairan & Elektrolit NaCl 0,9%, Dekstrosa, Asering, RL, 53 91,4
Kaen IB,Kaen MG3
2 Antibiotik Seftriakson, Siprofloksasin, 45 77,6
Amoksisilin, Ampisilin, Levoflosasin
3 Antasida dan Antiulserasi Metoklopramid, Domperidon, 40 68,9
Ranitidin, Simetidin, Omeprazol,
Sukralfat, Antasida, Atalpugit
4 Vitamin & Mineral CaCO3, Vit.B, Vit.K, Kalium Aspartat 31 53,5
5 Diuretik Hidroklortiazid, Furosemid, 27 46,6
Spironolakton
6 Analgesik PCT, Metampiron 20 34,5
7 Antihipertensi Kaptopril, Kandesartan, Amlodipin, 16 27,6
Nifedipin, Klonidin
8 Antigout Alopurinol 11 19,0
9 Dietikum Ketosteril 9 15,5
10 Antianemia Asam Folat, Epoetin 9 15,5
11 Antiseptik Saluran Kemih Fosfomisin 7 12,1
12 Sedatif-Hipnotik Diazepam 6 10,3
13 Glikosida Jantung & inotropik lain Digoksin, Dopamin, Dobutamin 5 8,6
14 Antidiabetik Insulin 4 6,9
15 Antikonvulsi Karbamazepin, Pirasetam 4 6,9
16 Hemostatikum Asam Traneksamat 3 5,2
17 Antiangina Isosorbid dinitrat 3 5,2
18 Suplemen Lesitin, Rhizoma curcuma 3 5,2
19 Antiasma Teofilin, Asefilinapiperazin, Flutikason 3 5,2
Propionat
20 Antihistamin Feniramin Maleat, Seftirizina HCl 3 5,2
Dilihat dari tabel XI diketahui bahwa pemberian obat pada pasien GGA di rumah
sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta paling banyak adalah golongan cairan dan elektrolit
yaitu 53 pasien (91,4%). Beberapa obat yang juga banyak digunakan pasien GGA antara
lain terdapat 45 pasien (77,6%) menggunakan antibiotik, 40 pasien (68,9%) menggunakan
obat saluran cerna, 31 pasien (53,5%) menggunakan vitamin dan mineral, serta 27 pasien
(46,6%) berupa diuretik. Penjelasan selengkapnya akan dibagi menurut golongan obat.
Pada penderita GGA, pengelolaan terapi cairan merupakan hal yang penting (Mueller,
2005). Untuk itu dalam penelitian ini disajikan data tentang pola penggunaan cairan dan
elektrolit seperti terlihat pada tabel XII.
Tabel XII. Pemberian Cairan dan Elektrolit pada Pasien GGA di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2003-2005
No Jenis Cairan & Elektrolit Jumlah Pasien Persentase (%)
1 Asering 9 15,5
2 Kaen IB 7 12,1
3 NaCl 0,9% 7 12,1
4 Kaen MG3 3 5,2
5 Dekstrosa 3 5,2
6 RL 1 1,2
7 Asering, Kaen IB 5 8,6
8 NaCl 0,9%, Kaen IB 5 8,6
9 Asering, NaCl 0,9% 3 5,2
10 Asering, Dekstrosa 2 3,5
11 Asering, RL 2 3,5
12 NaCl 0,9%, Kaen MG3 1 1,7
13 NaCl 0,9%, RL 1 1,7
14 Dekstrosa, Kaen IB 1 1,7
15 Dekstrosa, Kaen MG3 1 1,7
16 Asering, Kaen IB, NaCl 0,9% 1 1,7
17 Asering, Dekstrosa, NaCl 0,9% 1 1,7
18 Tanpa Elektrolit 5 8,6
Total 58 100
Tabel XIII. Pemberian Antibiotik pada Pasien GGA di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta Tahun 2003-2005
Dari hasil penelitian didapatkan pasien GGA yang banyak menggunakan antibiotik
adalah pasien yang terkait dengan penyakit gastroenteritis sebanyak 18 pasien (40%), ISK
dengan jumlah 12 pasien (26,7%), 3 pasien (6,7%) dengan penyakit gastroenteritis dan ISK,
leptospirosis dengan jumlah 3 pasien (6,7%), dan terdapat 9 pasien (20%) menggunakan
antibiotik tanpa indikasi yang jelas.
Antibiotik golongan sefalosporin merupakan antibiotik yang paling banyak
digunakan dalam penanganan GGA terutama sefalosporin generasi ketiga seperti
Seftriakson, Sefoperazon, Seftazidim dan Sefotaksim yang aktif terhadap bakteri gram
negatif terutama enterobacteriaceae. Sefalosporin generasi ketiga terutama Seftriakson
baik digunakan pada pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal bahkan dosis obat
tidak perlu disesuaikan pada gagal ginjal (Ganiswara, 2005).
Sefoperazon diekskresikan terutama melalui saluran empedu, hanya sekitar 25%
yang melalui urin sehingga dosis tidak perlu diubah bila ada gangguan fungsi ginjal.
Penggunaan sefoperazon paling aman pada pasien GGA, tetapi presentase penggunaannya
lebih sedikit. Hal ini dikarenakan sefoperazon memiliki harga yang lebih mahal bila
dibandingkan dengan seftriakson. Sedangkan Seftazidim, Sefotaksim dan Sefadroksil perlu
penyesuaian dosis karena diekskresikan terutama melalui saluran kemih (Ganiswara, 2005).
Terapi antibiotik lebih dari satu golongan juga didapatkan dari hasil penelitian.
Penggunaan antibiotik kombinasi terdapat pada 10 pasien (17,2%) dari 45 pasien yang
menggunakan antibiotik. Penggunaan antibiotik secara kombinasi dapat menyebabkan
beberapa kerugian seperti antagonisme, meningkatkan efek samping, superinfeksi dan
meningkatkan biaya pengobatan.
Lama pemberian antibiotik juga ikut berperan dalam keberhasilan terapi. Lama
pengobatan optimal antibiotik tidak selalu diketahui. Banyak antibiotik diresepkan untuk 5-
7 hari, secara umum terapi dihentikan 3 hari setelah gejala-gejala infeksi hilang (Juwono
and Prayitno, 2003).
Penggunaan antibiotik harus berdasarkan atas data mikrobiologi berupa bakteri
penyebab infeksi namun dalam prakteknya penggunaan antibiotik dilakukan secara
empirik, yaitu penggunaan antibiotik berdasarkan pola kebiasaan bakteri penyebab. Pada
pasien GGA pemberian antibiotik harus mempunyai efek yang tidak memperberat
kerusakan ginjal. Penggunaan beberapa antibiotik seperti golongan aminoglikosida harus
dihindari karena antibiotik ini bersifat nefrotoksik (Thattle, 1996). Dari hasil penelitian
tidak didapatkan penggunaan antibiotik pada pasien GGA dari golongan aminoglikosida.
3. Antasida dan Antiulserasi
Obat saluran cerna digunakan untuk terapi simptomatis pada pasien GGA seperti
mual, muntah dan untuk mengatasi penyakit komplikasi yang dialami pasien pada saluran
gastrointestinal seperti diare, gastritis dan dispepsia. Pada pasien GGA dapat terjadi
peningkatan kadar urea yang dapat menyebabkan terjadinya pengurangan sel mukosa dan
peningkatan sekresi asam. (Marriot and Smith, 2003).
Tabel XIV.Penggunaan Antasida dan Antiulserasi pada Pasien GGA di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2003-2005
Golongan Obat Jenis Jumlah Pasien Persentase(%)
Antiemetik Metoklopramid, Domperidon 14 35,0
PPI Omeprazol, Lansoprazol 6 15
H2 Antagonis Ranitidin 1 2,5
Pelindung Mukosa Sukralfat 1 2,5
Kombinasi Obat Atalpugit, Domperidon, Ranitidin, 18 45,0
Saluran Cerna Antasida, Omeprazol
Total 40 100
Penggunaan obat saluran cerna terdapat pada 40 pasien (68,97%) dari total kasus
pasien GGA. Presentase terbesar terdapat pada pasien yang menggunakan lebih dari satu
obat saluran cerna yaitu 18 pasien (45%).
Omeprazol dan lansoprazol adalah golongan pompa proton inhibitor (PPI) sekarang
ini merupakan obat yang banyak digunakan pada pasien yang mengalami gannguan saluran
cerna. Golongan ini mempunyai efek yang lebih kuat dibandingkan dengan H2 antagonis.
Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat pompa proton sehingga produksi asam
lambungnya praktis terhenti (>90%). Pada pasien GGA obat ini baik digunakan karena
diekskresikan bukan dalam bentuk asal di urin dan sebanyak 20% ditemukan dalam tinja
(Ganiswara, 2005)
Penggunaan jenis obat saluran cerna seperti antasida dan sukralfat perlu
diperhatikan pada pasien GGA. Pada kasus-kasus dalam penelitian ini, antasida yang
digunakan oleh pasien adalah antasida yang bersifat lokal, yaitu alumunium dan
magnesium. Antasida jenis ini lebih aman dibandingkan dengan antasida jenis lain.
Antasida jenis magnesium dan alumunium tidak diperbolehkan untuk penggunaan secara
kronik pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal sebab dapat menimbulkan
hipermagnesemia dan intoksikasi alumunium. Sukralfat merupakan garam alumunium dari
sulfat disakarida yang beraksi lokal pada mukosa gastrointestinal. Pada pasien yang
melakukan terapi dialisis, alumunium dapat terakumulasi secara sistemik dan mengarah
pada toksisitas alumunium (Ganiswara, 2005).
4.Diuretik
Diuretik digunakan pada pasien overload cairan dan pada pasien oliguria (Mueller,
2005). Pemberian diuretik bertujuan untuk mempertinggi aliran urin guna mengatasi
kelebihan garam dan air sebagai akibat berkurangnya kemampuan fungsi ginjal. Retensi
garam dan air yang tidak segera diperbaiki akan mengakibatkan volume aliran darah
meningkat, selanjutnya mengarah pada terjadinya hipertensi, udema, dan gagal jantung
kongestif (Katzung, 2001). Dengan demikian, diuretik memiliki peranan penting dalam
mencegah komplikasi GGA.
Tabel XV. Penggunaan Diuretik pada Pasien GGA di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta Tahun 2003-2005
Golongan Obat Jenis Obat Dosis Jumlah Pasien Persentase(%)
Diuretik kuat Furosemid 1g/12jam 24 41,4
Diuretik Hemat Kalium Spironolakton 100mg/hari 1 1,7
Tiazid Hidroklortiazid 12,5mg/hari 1 1,7
Tanpa Diuretik 32 55,2
Total 58 100
Diuretik digunakan pada 26 pasien (44,8%) dari total kasus pasien. Furosemid
merupakan diuretik kuat yang banyak digunakan pada pasien GGA di rumah sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta yaitu 24 pasien (41,4%).
Furosemid digunakan pada pasien GGA untuk meningkatkan aliran urin sehingga
mencegah terjadinya overload cairan. Furosemid mencegah reabsorbsi natrium sehingga
mengurangi metabolisme sel tubulus, membersihkan endapan silinder sel sehingga mampu
menghilangkan obstruksi. Mueller (2005) menyatakan bahwa furosemid merupakan
diuretik kuat yang paling sering digunakan karena harganya murah, aman, dan bisa
digunakan secara oral maupun parenteral. Furosemid bekerja dengan mengeblok transpor
aktif sodium pada medula dan korteks loop of henle ascending. Furosemid digunakan pada
pasien GGA untuk mengubah keadaan oliguria menjadi non oliguria. Menurut Mueller
(2005) oliguria terjadi jika vulume urin dalam satu hari sekitar 50-450ml, sedangkan
kondisi non oliguria terjadi jika volume urin lebih dari 450ml per hari.
Diuretik hemat kalium dan golongan tiazid memiliki efek diuresis yang lebih
ringan. Pada diuretik hemat kalium seperti Spironolakton dapat menyebabkan retensi
kalium sehingga tidak dapat digunakan pada pasien hiperkalemia, sedangkan pada
golongan tiazid seperti Hidroklortiazid lebih banyak digunakan sebagai obat pilihan
pertama untuk hipertensi ringan sampai sedang (Ganiswara, 2005).
Apabila diuretik diberikan pada pasien GGA maka hal ini dapat mengubah status
GGA dari oliguri menjadi non oliguri. Pengobatan pada pasien non oliguri lebih mudah
daripada pasien oliguri, selain itu pasien non oliguri juga mempunyai komplikasi yang
lebih sedikit serta kebutuhan dialisis yang lebih kecil dibandingkan pasien oliguri
(Suhardjono et al., 2001).
5.Antihipertensi
ACEI dan ARB merupakan First line pada pasien GGA dengan komplikasi
hipertensi. Penggunaan antihipertensi tersebut ada yang dalam bentuk tunggal namun ada
beberapa pasien yang menggunakan kombinasi antihipertensi seperti Angiotensin
Converting Enzym Inhibitor (ACEI) dengan golongan Calcium Channel Blocker (CCB)
yang menghasilkan terapi yang baik karena mempunyai efek sinergistik. Ganiswara (2005)
menyatakan bahwa kombinasi antihipertensi dengan golongan yang berbeda menyebabkan
tekanan darah sasaran dapat dicapai dengan menggunakan dosis yang lebih kecil untuk
masing-masing antihipertensi sehingga mengurangi efek samping yang kejadiannya
bergantung pada dosis.
Dari tabel XVI diketahui bahwa CCB dan ACEI merupakan golongan antihipertensi
yang paling banyak digunakan. Penggunaan CCB pada kasus GGA karena kemampuannya
menghambat hipertrofi glomeruler, menghambat agregasi platelet dan menurunkan
akumulasi garam. Kemungkinan penggunaan CCB juga dimaksudkan untuk meningkatkan
laju filtrasi glomerulus yang menurun pada pasien GGA. Angiotensin II Receptor Blocker
(ARB) dapat memicu vasodilatasi pada arteriol eferen ginjal dan dapat meningkatkan aliran
darah ginjal (Ganiswara, 2005).
Ada beberapa pasien yang mendapat penggantian golongan antihipertensi. Hal ini
terjadi karena kemungkinan golongan antihipertensi yang diberikan pertama tidak
menghasilkan efek terapi sesuai yang diinginkan atau terkait dengan biaya pengobatan.
Penggantian antihipertensi dalam penelitian ini dari golongan ARB ke dalam golongan
ACEI. Hal ini kemungkinan terjadi karena ARB mempunyai harga yang lebih mahal bila
dibandingkan dengan golongan ACEI yang terdapat dalam sediaan generik.
Penggunaan antihipertensi dari golongan ACEI pada pasien GGA dapat
menurunkan laju filtrasi glomerulus dan menyebabkan azotemia (Needham, 2005). Oleh
sebab itu penggunaan antihipertensi dari golongan ACEI pada pasien GGA dikombinasi
dengan golongan CCB yang kemungkinan dapat meningkatkan laju filtrasi glomerulus.
Dalam penelitian ini selain CaCO3, asam folat juga banyak diberikan pada pasien
GGA. Asam folat diindikasikan pada pengobatan anemia defisiensi folat. Asam folat
merupakan obat yang biasanya diberikan bersamaan dengan CaCO3. Selain itu terdapat
juga penggunaan vitamin B, vitamin K dan lain-lain.
Selain penggunaan obat, evaluasi kebutuhan nutrisi pasien juga harus diperhatikan.
Pada pasien GGA selain mendapatkan diet tinggi kalori biasanya juga memperoleh
tambahan dietikum seperti ketosteril yang berisi asam amino esensial. Diet pada GGA
bertujuan untuk mencegah katabolisme protein.
C. Penggunaan Obat pada Pasien GGA dengan Penyakit Penyerta
ISK merupakan salah satu penyakit penyerta pada pasien GGA yang harus segera
ditangani. Hal ini penting untuk mencegah kemungkinan yang lebih buruk karena penyebab
kematian tertinggi pada pasien GGA adalah infeksi.
Tabel XVII. Penggunaan Antibiotik pada GGA Dengan Penyakit Peyerta ISK di Rumah Sakit
PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2003-2005
Golongan Obat Jenis Jumlah Pasien Persentase(%)
Sefalosporin Seftriakson 9 60,0
Penisilin Ampisilin 1 6,7
Sefalosporin dan Quinolon Seftriakson dan Siprofloksain 3 20,0
Sefalosporin dan Karbapenem Seftriakson dan Meropenem 2 13.3
Total 15 100
Dari hasil penelitian diketahui terdapat 15 (25,9%) pasien GGA dengan penyakit
penyerta ISK seperti yang terlihat pada tabel XVII. Antibiotik yang umum digunakan pada
pasien ISK adalah golongan sefalosporin, penisilin dan golongan quinolon. Penisilin dan
sefalosporin merupakan obat pilihan pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
Antibiotik golongan sefalosporin yang paling banyak digunakan adalah generasi ketiga
yaitu Seftriakson yang memiliki spektrum luas terhadap bakteri gram negatif.
Menurut Ganiswara (2005) diet dan pemberian antidiabetik oral merupakan terapi
yang diutamakan pada pasien diabetes mellitus. Namun demikian Pemberian antidiabetik
oral derivat sulfoniurea pada pasien yang sudah mengalami kerusakan sel β pulau
langerhans tidak akan bermanfaat. Jika kurang efektif baru dilakukan pemberian insulin.
Pemberian Insulin ini kemungkinan dapat menurunkan glukosa darah lebih cepat. Insulin
juga digunakan pada penderita diabetes mellitus tipe II. Ginjal merupakan organ penting
untuk eliminasi Insulin sehingga pada gangguan fungsi ginjal penggunaan Insulin perlu
dimonitoring.
3. Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu penyakit komplikasi yang timbul akibat GGA.
Target pemulihan tekanan darah yang harus dicapai pada pasien GGA dengan komplikasi
hipertensi adalah <130/80mmHg. Obat yang banyak digunakan oleh pasien GGA dengan
komplikasi hipertensi di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta yaitu Nifedipin,
Amlodipin, Kaptopril, Lisinopril, Kandesartan Sileksetil dan Klonidin.
Hipertensi pada pasien GGA merupakan efek dari memburuknya kemampuan ginjal
dalam mengatur keseimbangan air dan natrium. Hipertensi pada pasien GGA sedapat
mungkin diatasi untuk mencegah memburuknya fungsi ginjal (Marriot and Smith, 2003).
Pengobatan hipertensi pada GGA terutama menggunakan golongan ACEI dan ARB,
tetapi hal ini tidak sesuai dengan hasil yang didapatkan. Dari 17 pasien, 11 pasien GGA
dengan penyakit penyerta hipertensi menunjukkan bahwa obat yang banyak digunakan
adalah Nifedipin dan Amlodipin dari golongan CCB. Obat ini bekerja dengan cara
menghambat hipertrofi glomeruler, menghambat agregasi platelet dan menurunkan
akumulasi garam.
Golongan obat yang selanjutnya adalah ACEI seperti Kaptopril dan Lisinopril.
ACEI bekerja dengan menghambat pengubahan angiotensin I menjadi angiotensin II
dengan menghambat enzim pengkonversi angiotensin. Golongan obat ini dapat
menurunkan tekanan darah dengan menurunkan resistensi perifer.
Pada pasien dengan kerusakan ginjal, beberapa studi menunjukkan efek yang
menguntungkan dari ACEI pada laju filtrasi glomerulus dan aliran darah ginjal. Walaupun
ACEI bersifat renoproktetif, penggunaan pada pasien dengan stenosis arteri renalis bilateral
harus diwaspadai karena dapat memperburuk fungsi ginjal. Beberapa pasien juga
mendapatkan golongan ARB yaitu Kandesartan Sileksetil. Obat dari golongan ini bekerja
dengan cara menghambat reseptor angiotensin I. Aksinya yang menyekat langsung pada
angiotensin I menyebabkan obat ini memiliki efek penghambatan angiotensin I yang lebih
baik dibandingkan ACEI (Isselbacher et al., 2000).
4.Anemia
Anemia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan penurunan kadar hemoglobin
dan atau angka hitung eritrosit lebih rendah dari angka normal. Anemia pada laki-laki
terjadi jika jumlah Hb < 14g/dl dan Ht < 41% atau Hb < 12g/dl dan Ht < 37% pada wanita
(Mansjoer, 2001). Anemia dapat terjadi pada pasien GGA karena ginjal memiliki sejumlah
fungsi yang penting, salah satunya adalah biosintesis eritopoetin. Penurunan fungsi ginjal
menyebabkan penurunan produksi eritopoetin. Berkurangnya eritrosit akan menyebabkan
terjadinya anemia karena eritopoetin berperan dalam menstimulasi produksi eritrosit di
sum-sum tulang belakang. Namun demikian terdapat pasien yang sudah mengalami anemia
sebelum terjadi GGA. Pada penelitian tedapat 9 pasien (15,5%) GGA yang mengalami
anemia. Pasien yang mengalami anemia setelah terjadinya GGA mendapatkan terapi asam
folat. Asam folat merupakan bahan yang diperlukan dalam eritropoesis yang menentukan
dalam proses pembentukkan dan pematangan eritrosit.
5. Gastroenteritis akut
Gastroenteritis akut merupakan lesi mukosa berupa erosi dan pendarahan akibat
faktor-faktor agresif atau akibat sirkulasi akut mukosa lambung (Mansjoer, 2001).
Penatalaksanaan gangguan saluran cerna ini hanya bersifat simptomatis saja yaitu dengan
menurunkan sekresi asam lambung yang berlebihan dengan menggunakan antagonis H2,
PPI dan antasida, sedangkan golongan antiemetik dan pemberian antidiare digunakan untuk
mengatasi mual, muntah dan diare yang dialami pasien.
Selain penggunaan terapi obat, terdapat beberapa pasien yang menjalani dialisis.
Indikasi untuk dialisis adalah terdapatnya sindroma uremia, dan terdapatnya kegawatan
yang mengancam jiwa yaitu hipervolemia (edema paru), hiperkalemia, atau asidosis berat
yang resisten terhadap pengobatan konservatif. Pada penelitian ini terdapat 22 pasien
(37,9%) yang menjalani dialisis.
Terapi yang diberikan pada pasien GGA yang sesuai dengan SPM (Standar
Pelayanan Medik) di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta adalah penggunaan
cairan dan elektrolit. Terapi berupa asupan cairan ini diberikan untuk memperbaiki aliran
darah ke ginjal, menurunkan vasokontriksi vaskular renal, dan membuang senyawa-
senyawa nefrotoksin yang terjadi akibat gangguan fungsi ginjal. Terapi ini diberikan
terutama pada pasien yang tidak mengalami overload cairan. Penggunaan berbagai
golongan dan jenis obat karena pasien tidak memberikan respon pada terapi suportif atau
adanya penyakit penyerta dan penyakit komplikasi yang dialami pasien GGA.
Penggunaan terapi cairan dan elektrolit sesuai apabila digunakan pada pasien yang
hipovolemi dan tidak mengalami overload cairan. Dalam penelitian ini penilaian hanya
dilakukan secara garis besar karena tidak adanya catatan berupa cairan dan elektrolit yang
masuk maupun yang dikeluarkan oleh pasien.
Penggunaan terapi cairan dan elektrolit terdapat pada 53 pasien (91,4%) di rumah
sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta sedangkan 5 pasien (8,6%) tidak menggunakan
terapi cairan dan elektrolit. Hal ini dapat disimpulkan bahwa pengobatan sudah sesuai
dengan standar pelayanan medik yang ada di rumah sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta karena sebagian besar pasien menerima terapi cairan dan elektrolit.
E. Efektivitas Terapi
Tabel XVIII. Pemeriksaan Akhir Serum Kreatinin pada Pasien GGA di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2003-2005
Jumlah Serum Kreatinin Jumlah Pasien Persentase (%) Kategori
(mg/dl)
<1,5 9 15,5 Normal
1,5-5 23 39,7 Ringan
5-10 20 34,5 Moderat
>10 6 10,3 Parah
Total 58 100
Tabel XIX. Pemeriksaan Akhir Serum BUN pada Pasien GGA di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2003-2005
Dilihat dari tabel XVIII dan tabel XIX dapat disimpulkan bahwa terapi yang
diperoleh pasien belum atau tidak efektif karena dilihat dari hasil laboratorium terakhir
sebagian besar pasien memiliki parameter klinik berupa BUN dan kreatinin yang tidak
normal. Hanya 11 pasien (19,0%) yang memiliki nilai BUN normal sedangkan 47 pasien
(81,0%) tidak normal. Nilai normal kretinin terdapat pada 9 pasien (15,5%), mendekati
normal sebanyak 23 pasien (39,7%) sedangkan 26 pasien (44,8%) tidak normal.
Efektivitas juga dapat dilihat dari keadaan pulang pasien. Pasien yang pulang dalam
kondisi membaik dan sembuh sebanyak 25 pasien (43,1%) dari total kasus yang ada
sehingga pengobatan ini belum dapat dikatakan efektif.
Dilihat dari keadaan pulang pasien GGA dari rumah sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta pasien banyak yang pulang dalam keadaan membaik. Hal ini juga dapat
menunjukkan bahwa pengobatan belum efektif sebab pasien ini kemungkinan hanya
memperlihatkan gejala-gejala maupun keluhan yang sebelumnya dialami pasien GGA
sudah berkurang atau menghilang. Pengobatan dikatakan efektif apabila pasien GGA
pulang dalam keadaan sembuh. Dikatakan sembuh apabila kondisi fisik pasien sudah
membaik, gejala-gejala maupun keluhan pasien yang dialami pasien sebelumnya
menghilang serta nilai hasil laboratorium terakhir pasien menunjukkan nilai yang normal.
Hasil penelitian juga memperlihatkan adanya 4 pasien yang pulang dalam kondisi
belum sembuh. Hal ini mungkin terkait dengan kesulitan biaya pengobatan sehingga
pasien terpaksa harus pulang walaupun penyakitnya belum sembuh. Pasien yang pulang
dalam kondisi meninggal berjumlah 8 orang. Pasien yang meninggal akibat GGA itu
sendiri hanya 1 pasien, sedangkan 7 pasien lainnya meninggal karena adanya penyakit
komplikasi maupun penyakit penyerta yang juga dialami pasien GGA.
Lama perawatan pasien GGA dapat menunjukkan efektivitas dari pengobatan.
Pasien GGA biasanya menjalani perawatan dalam rentang waktu 5-8 hari pada pasien non
oliguri dan apabila tidak terkait dengan penyakit penyerta maupun penyakit komplikasi
yang juga dialami pasien GGA 10-16 pasien oliguri (Tisher and Wilcox, 1997) Dalam
penelitian ini pasien banyak menjalani perawatan dalam rentang 1-7 hari sehingga
pengobatan dapat dikatakan efektif.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa :
1. Terapi penggunaan obat pada pasien GGA yang menjalani perawatan di rumah sakit
PKU Muhammadiyah Yogyakarta adalah penggunaan golongan cairan dan
elektrolit yaitu 53 pasien (91,4%), terdapat 45 pasien (77,6%) menggunakan
antibiotik, 40 pasien (68,9%) menggunakan antasida dan antiulserasi, 31 pasien
(53,5%) menggunakan vitamin dan mineral, serta 27 pasien (46,6%) berupa
diuretik.
2. Ada kesesuaian pengobatan pasien GGA dengan standar pelayanan medik rumah
sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta berupa pemberian cairan dan elektrolit pada
53 pasien (91,4%).
3. Efektivitas pengobatan pada pasien GGA di rumah sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta belum efektif. Pasien yang pulang dalam kondisi
membaik dan sembuh hanya 25 pasien (43,1%) dari total kasus yang ada. Terdapat
11 pasien (19,0%) yang memiliki nilai BUN normal sedangkan 47 pasien (81,0%) tidak
normal. Nilai normal kreatinin terdapat pada 9 pasien (15,5%) sedangkan 49 pasien
(84,5%) tidak normal.
B. Saran
1. Rumah Sakit
Perlu dilakukan penulisan data rekam medik yang lebih lengkap mengenai
pengobatan pasien sehingga pasien mendapatkan terapi yang optimal dan dapat
meningkatkan pelayanan kesehatan rumah sakit.
2. Peneliti Lain
Perlu dilakukan penelitian mengenai penggunaan obat pada pengobatan pasien gagal
ginjal akut dengan menggunakan metode lain sehingga dapat membandingkan hasil
yang diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi LAB/UPF Ilmu Penyakit Dalam, RSUD Dr.
Soetomo, Surabaya.
Anonim, 2003, The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Presure, available at
http://www.nhbi.niv.gov/guidelines/hypertension/jncintro.htm (diakses 8 Januari
2009).
Anonim, 2005, Standar Pelayanan Medis Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta,
Komite Medis Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
Cipolle, R.J., Strand, L.M., Morley, P.C., 1998, Pharmaceutical Care Practice,the 78-83,
Mc Graw Hill Companies.
Ganong, F.W., 2001, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi XX Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 671-675.
Guyton, A.C., Hall, J.E., 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi IX, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 512-514.
Habsari, D.A., 2008, Studi Interaksi Obat Pada Pasien Gagal Ginjal Akut Rawat Inap di
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, Skripsi, Fakultas MIPA Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta.
Isserbacher, K.J., Braunwald, E., Wilson, J.D., Martin, J.B., 2000, Harisson Prinsip-Prinsip
Penyakit Dalam , vol.3, Edisi XIII, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1256-
1272, 1425-1435.
Kenward, R.L., Tan, C.K., 2003, Penggunaan Obat pada Gagal Ginjal, In Aslam, M., Tan,
C.K., Prayitno, A.I., (Eds.), Farmasi Klinis Menuju Pengobatan Rasional dan
Penghargaan Pilihan Pasien, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 173-153.
Masruroh, I., 2006, Evaluasi Penggunaan Obat Pada Pasien Gagal Ginjal Akut di RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2004, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W.L., Setiowulan, W., 2001, Kapita
Selekta Kedokteran, Edisi III, Media Aesculapius FKUI Jakarta.
Mueller. B.A., 2005, Acute Renal Failure dalam Dipiro, J.T, Talbert, RL., Yee, GC., Wells,
BG., Posey, ML., Pharmacotherapy A Pathophysiologic Aprroach, 6th Edition,
781-796, Apleton and lange, Philadelphia.
Nasution, M.Y., Prodjosudjadi, W., 2001, Pemeriksaan Penunjang pada Penyakit Ginjal, In
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi III, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, 299-306.
Parsoedi, I.A., Soewito, Ag., 1990, Gagal Ginjal Akut, In Soeparman, Waspadji, S., Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid II, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 341-
348.
Shargel, L., Yu, A., 1999, Applied Biopharmaceutics and Pharmakokinetics, fourth
Edition, Mc Graw-Hill Companies, 531-532.
Suhardjono, Markum, M., Prodjosudjadi, 2001, Pendekatan Klinis Pasien Dengan Penyakit
Ginjal In Ilmu Penyakit Dalam, Edisi III, Balai Penerbit FKUI Jakarta.
Sukandar, E., 1997, Nefrologi Klinik, Edisi II, Penerbit ITB, Bandung, 284-322.
Sulistiasih, D., 2006, Evaluasi Penggunaan Angiotensin Receptor Blokers Pada Pasien
Gagal Ginjal Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, Skripsi, Fakultas
Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Suwitra, K., 1999, Diagnostik dan Penatalaksanaan Gagal Ginjal Akut, In Bakta, I.M.,
Suastika, K., Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta, 87-98.
Tisher, C.C., Wilcox, S.C., 1997, Nefrologi, Edisi III, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.
Thattle., 1996, Drug Induced Nephrotoxicity : The Crucial Role Of Risk Factors,
http://www.postgramed.com (Diakses 10 Februari 2007).
Woodley, M., Whelan, A., 1995, Pedoman Pengobatan, Yayasan Essentia Medica dan
Andi Offset, Yogyakarta, 333-334.
Wilson, L.M., 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi IV, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 787-893.
Winarni, D., 2006, Pola Penggunaan Obat Pada Pasien Gagal Ginjal Akut di Instalasi
Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.