Anda di halaman 1dari 6

"DETIK DETIK WAFATNYA NABI MUHAMMAD SAW "

QS.Al-Ahzab :21

Yang artinya "Sungguh telah ada pada diri Rasulullah SAW itu suri teladan yang baik bagi
orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah, kedatangan hari Kiamat dan banyak
mengingat Allah".

Ketika merasa bahwa ajalnya sudah dekat, Rasulullah SAW mengumpulkan para sahabat di
kediaman isteri tercintanya, Sayyidah Aisyah RA. Setelah semua berkumpul, beliau
memandang mereka dengan tatapan mata yang sendu. Air mata beliau menetes tiada henti.

Di tengah tangisnya beliau bersabda, “Marhaban bikum, semoga Allah SWT melimpahkan
rahmat-Nya kepada kalian. Aku berwasiat kepada kalian, bertaqwalah kepada Allah SWT.
Telah dekat perpisahan dan telah hampir waktu pulang kepada Allah Ta'ala. Hendaklah Ali
memandikanku, sedangkan Fadlal bin Abbas dan Usamah bin Zaid yang menuangkan air.
Kemudian kafanilah aku dengan kainku jika kamu menghendaki, atau dengan kain putih
buatan Yaman. Jika kamu selesai memandikanku, letakkan jenazahku di tempat tidur di
rumahku ini, diatas pinggir lubang kuburku. Kemudian bawalah aku keluar sesaat. Maka
yang pertama kali berselawat kepadaku adalah Allah Azza wa Jalla, lalu Jibril, Mikail, Israfil,
Izrail bersama pasukannya, kemudian segenap malaikat. Sesudah itu barulah kamu masuk
rombongan demi rombongan, dan shalatkanlah aku.”

Begitu mendengar wasiat Nabi, para sahabat tidak kuasa menahan tangis. Mereka
menjerit…..”Ya Rasulullah, Tuan adalah rasul kami, penghimpun dan pembina kekuatan
kami, serta penguasa segala urusan kami. Jika Tuan pergi, kepada siapakah kami kembali?”

Rasulullah SAW bersabda, “Aku tinggalkan kamu di jalan yang terang. Aku tinggalkan untuk
kamu dua juru nasihat yang berbicara dan yang diam. Penasehat yang berbicara ialah Al-
Quran, penasihat yang diam ialah maut. Jika kamu menghadapi persoalan yang musykil,
kembalilah kepada Al-Quran dan sunnah; dan jika hati kalian kusut, tuntunlah dengan
mengambil i'tibar tentang peristiwa maut.”

Sejak itu, akhir bulan Shafar, Rasulullah SAW jatuh sakit. Semakin lama penyakitnya
semakin berat. Suatu saat, ketika para sahabat berkumpul di kediaman Sayyidah Aisyah RA
untuk menjaga Rasulullah SAW secara bergantian, Rasulullah SAW bangun dari tempat
tidurnya dengan mengenakan ikat kepala, pertanda sakitnya masih berat.

Didepan para sahabat, beliau bersabda, “Wahai para sahabatku….. Sungguh, demi Allah, saat
ini telah kulihat Telaga Haudh di hadapanku. Demi Allah, aku tidak takut syirik akan
menimpa kalian setelah aku wafat. Tetapi yang kutakutkan, kalian saling berebut dunia,
saling hantam memperebutkan kekayaan. Itu yang aku takutkan.” Haudh adalah salah satu
telaga di syurga.

Dari hari ke hari, kesehatan Nabi semakin memburuk, dan para sahabat mulai cemas. Suatu
hari, senin Subuh, sahabat Bilal mengumandangkan adzan di Masjid Nabawi. Tapi hingga
beberapa waktu Nabi belum juga hadir. Ia lalu menyusul ke rumah beliau. Didepan pintu
rumah, ia mengucapkan salam, “Assalamu’alaika, ya Rasulullah.”

Nabi tidak menjawab, tapi Sayyidah Fatimah RA keluar sambil menjawab salam,
“Wa'alaikassalam….. Kalau ada perlu lain kali saja. Rasulullah sedang demam.”

Mendengar jawaban itu, Bilal tidak faham. Ia lalu kembali ke masjid, menunggu kedatangan
Nabi sampai langit disebelah timur mulai menguning. Karena waktu subuh hampir habis,
Bilal kembali kerumah Rasulullah SAW.

“Assalamu’alaika, ya Rasulullah…. para makmum sudah menunggu dan langit sudah pula
menguning,” katanya.

Saat itu, Nabi agak sadar. Dengan tersendat-sendat beliau membalas salam Bilal, lantas
bersabda, “Ya Bilal, aku tahu fajar telah mulai tiba. Beri tahu Abu Bakar supaya menjadi
imam shalat Subuh. Aku sedang sakit, tidak mampu bangun.”

Mendengar jawaban itu Bilal menangis. Dengan langkah terburu-buru tetapi lunglai, ia
bergegas kembali ke masjid. Disampaikannya pesan rasulullah SAW kepada Abu Bakar.
Begitu melihat mihrab kosong, Abu Bakar menangis. Di mihrab itulah Rasulullah SAW
selalu memimpin shalat, mengumandangkan ayat-ayat Al-Quran dengan suara yang nyaring
dan fasih. Pribadinya agung, parasnya berwibawa. Kini mihrab itu kosong. Abu Bakar
menangis juga seluruh sahabat, sehingga suasana subuh itu menjadi murung.

Sampai siang, para sahabat berkumpul di masjid menanti berita dari kediaman Rasulullah
SAW. Ternyata, Rasululah SAW minta dipapah untuk menuju masjid. Dengan langkah
terseok-seok, Nabi keluar rumah dipapah kedua sahabat itu.

Tiba di masjid, Nabi shalat sunnah dua rakaat lalu menuju mimbar. Kakinya terasa berat
ketika mendaki tangga. Tubuhnya tampak lemah, tangannya bertelekan. Tak lama kemudian
beliau menyampaikan khutbah singkat, namun isinya meresap dan menggetarkan hati. Para
sahabat bercucuran air mata…..

“Wahai kaum muslimin, kita hidup di bawah kekuasaan Allah dan kasih sayang-Nya. Maka
bertaqwalah kepada-Nya dan taatilah perintah-perintah-Nya”. Dalam riwayat lain, Rasulullah
SAW berwasiat, “Wahai segenap umat manusia, api neraka sudah dinyalakan, fitnah-fitnah
telah datang seperti datangnya malam yang gelap. Demi Allah, kamu tidak akan berpegang
kepadaku dengan suatu apa pun. Sesungguhnya aku tidak pernah menghalalkan sesuatu
melainkan apa yang dihalalkan oleh Al-Quran, dan tidak pula mengharamkan sesuatu
melainkan apa yang diharamkan oleh Al-Quran”.

Abu Bakar tersedu sedan sementara Umar bin Khattab menahan napas dan tangis hingga
dadanya naik turun. Sedangkan Utsman bin Affan menghela napas panjang, dan Ali bin Abi
Thalib menundukkan kepala dalam-dalam. Dalam hati semua sahabat berkata, “Rasulullah
akan meninggalkan kita.”
Lelaki agung itu hampir selesai menunaikan tugasnya. Tanda-tanda itu semakin nyata,
sehingga dengan tangkas Ali dan Fadhal segera tampil membantu Rasulullah turun dari
mimbar. Sangat pelan kerana lemah.

Segera setelah itu beliau dipapah untuk kembali pulang ke rumah kediaman. Sejak itu beliau
tidak mampu lagi bangkit dari tempat tidur. Keadaan beliau semakin gawat, sampai-sampai
kain pengikat beliau pun terasa panas. Panas yang sangat tinggi menyebabkan beliau sering
tak sadarkan diri.

Melihat keadaan ayahandanya, Sayyidah Fatimah RA terus menangis, “Ya Allah, alangkah
berat penderitaan ayahku. Alangkah beratnya, ya Allah….”

Mendengar tangis putri kesayangannya itu, Rasulullah SAW sempat bersabda, “Bersabarlah
anakku sayang. Tidak ada lagi penderitaan ayahmu sesudah hari ini…” Nabi SAW berusaha
menghibur putrinya agar tidak bersedih hati. Namun sabda Beliau itu juga merupakan
pertanda bahwa tinggal pada hari itu beliau merasakan penderitaan. Dan setelah itu,
meninggalkan keluarga dan segenap kaum muslimin.

Tepat pada waktu dhuha, datanglah Malaikat Izrail yang diutus oleh Allah Ta'ala untuk
menjemput Rasul SAW. Perintah Allah Ta'ala kepada Izrail, “Masuklah kalau diizinkan
olehnya. Kalau tidak, kembalilah engkau kemari. Berangkatlah dan muncullah di hadapannya
dalam wujud seorang lelaki yang sopan dan rapi. “Maka muncullah Malaikat Izrail sebagai
seorang lelaki berpakaian putih-putih dengan aroma yang harum mewangi.

“Assalamualaikum, wahai penghuni rumah kenabian….”

“Wa’alaikumussalam. Maaf Rasulullah sedang payah. Datanglah lain kali,” jawab Sayyidah
Fatimah RA.

“Assalamu'alaika, ya Rasulullah. Salam sejahtera untukmu selamanya. Bolehkah saya


masuk?” ujar Izrail lagi.

Mendengar salam khusus itu, Nabi membuka mata beliau lalu bertanya kepada Fatimah,
“Anakku, ada tamu ya? Siapa yang berada di pintu, hai Fatimah?”

“Seorang laki-laki yang bersih sopan, rapi, dan wangi. Ia memanggil-manggil ayah dan minta
izin untuk masuk. Saya bilang, Ayah sedang payah. Saya minta dia untuk kembali lain kali.”

Tiba-tiba Nabi SAW memandangi putri tercintanya itu dengan tatapan yang menembus jauh,
dengan cahaya pekat yang mengabut.

Sayyidah Fatimah RA menggigil karena hatinya tergetar

“Izinkan tamu itu masuk, Fatimah. Tahukah engkau siapa dia, anakku?” sabda Rasulullah
SAW.

“Tidak”
“Dialah penjemput kenikmatan, pemutus nafsu syahwat, dan pemisah pertemuan. Dia adalah
malakul maut.”

Sayyidah Fatimah RA terkejut, “Ayahanda, jadi mulai hari ini aku tidak akan lagi mendengar
suaramu dan memandangi wajah jernihmu?” Sayyidah Fatimah menangis.

Jangan bersedih dan menangis, jantung hatiku. Engkau adalah keluargaku yang mula-mula
akan bersamaku di hari kiamat,” sabda Rasul SAW

Mendengar itu, barulah Sayyidah Fatimah RA lega.

“Engkau datang untuk menjenguk atau untuk mencabut nyawaku?” Tanya Nabi.

“Aku datang untuk menjenguk, juga menjemput Tuan jika Tuan mengizinkan. Tetapi kalau
tidak aku akan kembali.”

“Engkau datang sendirian? Dimana engkau tinggalkan Jibril?” Tanya Nabi sambil tersenyum.

“Aku tinggalkan dia di langit kedua bersama para malaikat lainnya.”

“Panggil dia kemari.”

Jibril tergagap. Maka Malaikat JIbril pun turun ke bumi, menuju rumah kediaman Rasul, lalu
duduk disebelah kepala Rasulullah SAW.

Beberapa saat Nabi memandangi Jibril, lalu dengan sayu beliau bersabda, “Jibril, mengapa
berlambat-lambat? Tidakkah engkau tahu saat yang dijanjikan itu hampir tiba?”

“Beri tahu aku bagaimana hakku di hadapan Allah nanti.” sabda Nabi lagi.

“Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat berbaris berlapis-lapis menunggu kehadiran
ruh kekasih Allah, seluruh gerbang syurga terbuka sebagai persemayaman Tuan.”

Namun wajah Nabi tetap suram dan gelisah. Lalu sabdanya lagi, “Jibril, bukan berita itu yang
kuinginkan. Beritahu aku, bagaimana umatku besok di hari kiamat.”

Maka dengan tenang Jibril menjawab, “Ya Rasulullah, Allah Ta'ala berfirman, Aku
haramkan syurga dimasuki oleh para nabi sampai engkau, Muhammad, masuk terlebih
dahulu. Dan aku haramkan umat para nabi masuk ke dalamnya sampai umatmu, Muhammad,
masuk terlebih dahulu?.”

Mendengar jawaban itu, barulah wajah Nabi berseri-seri. “Alhamdulillah. Kalau begitu
hatiku tenang, wahai Jibril.” Beliau merasa tenteram, karena kaum muslimin mendapat hak
dan tempat istimewa di hadapan Allah SWT. Bibir beliau yang sudah memucat itu
menyunggingkan senyum. Senyum istimewa itu juga beliau tujukan kepada Malaikat Izrail
ketika beliau mempersilakan sang Pencabut Nyawa itu melaksanakan tugasnya.

Pada waktu yang bersamaan suasana gundah gulana menggantung berat di ruangan sempit
itu. Angin kota Madinah yang meniupkan hawa dingin tapi kering tambah dalam menusuk
tulang. Sejengkal demi sejengkal matahari pun semakin meninggi ketika Malaikat Izrail
berancang-ancang untuk mencabut nyawa Rasulullah SAW.

Penderitaan Nabi SAW semakin menghebat ketika nyawa beliau, yang dicabut oleh Izrail
dengan sangat pelan dan lembut, sampai di pusat. Dahi dan sekujur wajah beliau bersimbah
peluh. Urat-urat di wajah beliau menegang dari detik ke detik. Sambil menggigit bibir, Nabi
SAW berpaling ke arah malaikat Jibril. Mata Rasulullah SAW pun basah, cahayanya pun
semakin meredup. “Ya Jibril, betapa sakitnya! Oh, alangkah dahsyatnya derita sakaratul maut
ini.”

Sayyidah Fatimah RA memejamkan mata, sementara Ali bin Abi Thalib, yang berada
disamping Rasulullah SAW, menundukkan kepala, sedangkan Malaikat Jibril memalingkan
muka. “Ya Jibril, mengapa engkau berpaling? Apakah engkau benci melihat wajahku?” tanya
Rasul SAW. “Sama sekali tidak, ya Rasulullah. Siapakah yang tega menyaksikan Kekasih
Allah dalam kedaaan seperti ini? Siapakah yang sampai hati melihat Tuan kesakitan?” jawab
Jibril tersendat-sendat.

Rasa sakit itu kian memuncak. Sekujur tubuh Nabi menggigil. Wajah beliau semakin
memucat, urat-uratnya menegang. Dalam keadaan sakit tak tertahankan itu beliau berdoa,
“Ya Allah, alangkah sakitnya! Ya Allah, timpakanlah sakitnya maut ini hanya kepadaku,
jangan kepada umatku.”

Mendengar sabda Rasul itu, Jibril tersentak. Betapa agung peribadi Rasulullah SAW. Dalam
detik-detik paling gawat dan menyiksa, bukan kepentingan sendiri yang dimohonkan,
melainkan kepentingan umatnya. Andai beliau mohon agar rasa sakit itu dicabut, pasti Allah
SWT mengabulkannya. Namun beliau lebih memilih sebagai tumbal agar derita itu tidak
menimpa umatnya.

Ketika Jibril menyadari keadaan di sekelilingnya, Izrail sudah dengan sangat santun menarik
nyawa Nabi SAW sampai di dada. Maka napas beliau pun mulai menyesak. Rasa sakit
semakin menghebat. Ketika itulah, lelaki agung itu menengok ke arah sahabat-sahabatnya,
lalu bersabda dengan suara lirih dan pandangan sayu, “Ushikum bisholati wa ma malakat
aimanakum (Aku wasiatkan kepada kamu untuk mendirikan shalat, dan aku wasiatkan
kepada kamu orang-orang yang menjadi tanggungan kamu).”

Sejenak kemudian, keadaan Rasulullah SAW bertambah kritis. Para sahabat saling
berpelukan lantaran tak kuat menahan pilu. Dan ketika itulah tubuh Nabi SAW mulai dingin.
Hampir seluruh bagian tubuh beliau tidak bergerak-gerak lagi. Mata beliau pun berkaca-kaca
dan menatap lurus ke langit-langit hanya sedikit terbuka.

Menjelang akhir hayat beliau, Ali bin Abi Thalib melihat Nabi SAW dua kali menggerak-
gerakkan bibir beliau yang sudah membiru. Maka Ali pun cepat-cepat mendekatkan
telinganya ke bibir Nabi. Ia mendengar Nabi SAW memanggil-manggil, “Ummati,
ummati…. (Umatku, umatku…).” Dengan memanggil-manggil umatnya inilah, Rasul Akhir
Zaman itu wafat di pangkuan isteri tercinta, Sayyidah Aisyah RA, pada hari Isnin, 12 Rabi’ul
Awwal 11 Hijrah, bertepatan dengan tarikh 3 Juni 632 Masehi, dalam usia 63 tahun.
Maka meledaklah tangis para sahabat. Sang kekasih Allah telah wafat, membawa cinta yang
agung, cinta kepada umat, hingga akhir hayat. Bahkan dibawanya sampai Padang Mahsyar.
Ketika nyawa sudah sampai tenggorokan. Pemimpin Besar dan Pencipta Peradaban itu bukan
mengkhawatirkan keluarganya, melainkan memprihatinkan umatnya. “Ummati, ummati….”

Sesaat sebelum wafat, sebagaimana tercatat dalam Shahih Bukhari, Rasulullah SAW masih
sempat berwasiat dan menghibur umatnya. Beliau bersabda, “Wahai umatku, kamu akan.
melihat hari yang tidak kamu sukai, iaitu perpecahan dan fitnah dari berbagai musibah yang
akan datang. Akan tetapi hendaklah kamu bersabar sampai berjumpa denganku di Telaga
Haudh kelak…”

Ya… Rasulullah SAW, dan syariatnya, tetap akan selalu semerbak mewangi.

Anda mungkin juga menyukai