Anda di halaman 1dari 20

KEGIATAN BERMAIN MIKRO PERAN MIKRO DENGAN KETERAMPILAN

SOSIAL PADA ANAK PRASEKOLAH TK…………..


Pendahuluan
Pendidikan memilki peranan penting dalam membangun suatu bangsa, karenamelalui
pendidikan dapat tercipta generasi yang cerdas, berwawasan, terampildan berkualitas yang
diharapkan dapat menjadi generasi-generasi dalammemberikan perubahan bangsa menuju
kearah yang lebih baik. DalamUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
Bab II Pasal 3tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa:Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentukwatak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskankehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agarmenjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa,berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan bertanggungjawab
(Sisdiknas, 2003:5)
Upaya membawa peserta didik mencapai tujuan pendidikan nasional, makapeserta didik
harus dibina sejak usia dini, karena diusia dinilah semua potensisedang berkembang dengan
pesat, hal ini sebagaimana yang tertuang dalamUndang-undang Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2003 tentang SistemPendidikan Nasional, Bab 1, Pasal 1, Butir 14,
bahwa:Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukankepada
anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melaluipemberian rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan danperkembangan jasmani dan rohani agar
anak memiliki kesiapan dalammemasuki pendidikan lebih lanjut.
Atas dasar hal tersebut maka pendidikan anak usia dini sangatlah penting,mengingat anak
usia dini merupakan usia yang sangat kritis dimana pada usiatersebut merupakan penentu bagi
perkembangan selanjutnya. Oleh sebab itumaka guru, orangtua, dan masyarakat perlu
memahami betapa pentingnyapendidikan anak usia dini dalam mengembangkan seluruh
aspekperkembangan anak, baik aspek moral agama, fisik motorik, kognitif, sosial,emosional
dan bahasa.Seluruh aspek perkembangan anak akan terstimulasi dengan baik jika
melaluikegiatan bermain, karena pada dasarnya anak belajar melalui bermain. Menurut
Freud dalam Nuraini (2007) bahwa:Bermain tidak sama dengan bekerja, tetapi anak-anak
menganggap bermainsebagai sesuatu yang serius, didalam bermain anak menumpahkan
seluruhperasaannya, bahkan mampu mengatur “dunia didalamnya” agar sesuaidengan
“dunia luar. Dalam bermain anak akan berusaha mengatur, menguasai,berpikir, dan berencana.
Mengkaji dari pendapat Freud bahwa bermain sangatlah penting bagi anak,karena bermain
tidak terlepas dari kehidupan anak. Melalui kegiatan bermainrangsangan yang diberikan
kepada anak untuk meningkatkan aspek-aspekperkembangan anak akan dengan mudah
diserap oleh anak, dalam bermainanak bersosialisasi dengan lawan mainnya sehingga
tanpa disadari denganbermain akan membantu anak mengembangkan keterampilan sosial
anak. Rogers dan Ros dalam Nuraini (2007:91) mengartikan keterampilan
sosialsebagai:Kemampuan untuk menilai apa yang sedang terjadi dalam suatu situasi
sosial;keterampilan untuk merasa dan dengan tepat menginterpretasikan tindakandan
kebutuhan dari anak-anak dikelompok bermainnya; kemampuan untuk membayangkan
bermacam-macam tindakan yang memungkinkan danmemilih salah satunya yang paling
sesuai.

Berdasarkan hal tersebut maka keterampilan sosial sangat perlu dikembangkanpada usia dini
seperti belajar berinteraksi dengan teman sebaya untuk salingmemberi, belajar bergaul dengan
anak lain untuk berinteraksi secara harmoni,menunggu giliran, berbagi, menolong dan
membantu teman, menaati peraturan yang berlaku, bersikap kooperatif, menunjukkan rasa
empati,menghargai hak-hak orang lain dan menyelesaikan/mengatasi konflik denganorang lain.
Guna mencapai perkembangan keterampilan sosial sebagaimana yang diharapkan,
diperlukan campur tangan guru dengan memberi kesempatan pada anak untuk melakukan
aktivitas bermain yang sifatnya dapat membantu perkembangan sosialnya. Bermain peran
merupakan salah satu permainan yang bisa menjadi alternatif dalam mengembangkan
keterampilan sosial. Mengingat bahwa dengan bermain peran secara tidak langsung dapat
merangsang anak untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman lainnya.
Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Gowen dalam Mukhtar (2014)bahwa:Bermain peran
sebagai sebuah kekuatan yang menjadi dasar perkembangandaya cipta, tahapan, ingatan,
kerjasama kelompok, penyerapan kosa kata,konsep hubungan kekeluargaan, pengendalian
diri, keterampilan mengambil sudut pandang spasial, afeksi, dan kognisi.
Berdasarkan pendapat diatas maka dapat diartikan bahwa bermain peran dapat
mengembangkan berbagai keterampilan sosial anak. Saat anak berada disekolah anak akan
berinteraksi dengan guru dan teman sebayanya. Perkembangan anak usia prasekolah
khususnya usia 5-6 tahun merupakan masa disaat anak mengalami penyesuaian melalui
interaksi dengan teman sebaya. Anak usia 5-6 tahun sudah mulai menjalin komunikasi
dalam kelompok kecil dan ikut terlibat aktif dengan anak lain pada saat bermain. Aisyah
(2012: 9.40) mengungkapkan bahwa “Anak usia 5-6 tahun ketika anak mulai memasuki
sekolah, anak lebih mudah diajak dalam suatu kelompok ia juga mulai memilih teman
bermainnya entah tetangga atau teman sebaya yang berada diluar rumah.”
Guru kurang memberikan kesempatan pada anakuntuk melakukan kegiatan secara
berkelompok selain itu media yangdigunakan dalam pembelajaran belum mendukung serta
kurang bervariatif.Akibatnya keterampilan sosial anak tidak bisa berkembang secara optimal,
initerlihat masih banyak anak yang belum mau bermain dengan temannya, anak masih suka
menyendiri, tidak mau berkelompok dan melakukan kerja sama dengan anak lain, anak
takut dan menangis jika ditinggal orang yang dikenalnya, masih tidak mau berbagi dengan
teman lainnya, serta masalahmasalah sosial lainnya.
Kecenderugan diatas mungkin disebabkan karena pembelajaran yang diberikan guru tidak
mengakomodasi kepentingan bersama dengan memberikesempatan anak untuk
bersosialisasi dengan temannya, guru hanya melakasanakan tugas rutin dalam kegiatan
pembelajaran tanpa adanya inovasi dan variasi dalam pembelajaran sehingga tidak
menggerakkan anak untuk Melakukan kegiatan belajar.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah yang diangkat adalah keterampilan
sosial anak usia dini belum berkembang secara optimal, sehingga perlu distimulasi secara
tepat melalui kegiatan bermain. Bermain peran merupakan salah satu permainan yang bisa
menjadi Alternatif dalam mengembangkan keterampilan sosial anak. Sehinggaa judul yang
diangkat dalam penelitian ini adalah Hubungan Kegiatan Bermain Peran Mikro dengan
Keterampilan Sosial pada Anak Usia Dini.
Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah yang telah
dikemukakan, maka dapat dirumuskan permasalah penelitian ini yaitu: “ Bagaimana
hubungan antara kegiatan bermain peran mikro dengan keterampilan sosial pada anak usia
dini? Dengan bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kegiatan bermain peran mikro
dengan keterampilan sosial pada anak usia dini.
Manfaat Penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi guru dan calon
guru dalam mengetahui pengembangan potensi anak, khususya mengenai hubungan kegiatan
bermain peran mikro dengan keterampilan sosial anak.
TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Sosial
Perkembangan Sosial Anak Usia Dini Anak usia dini berada pada masa pertumbuhan
dan perkembangan dengan pesat dalam rentang kehidupannya. Setiap anak memiliki tingkat
pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda. Tingkat perkembangan sosial anak tidak
dapat dipisahkan dari konteks sosial . Sebagaimana dinyatakan oleh Susanto (2012)
Perkembangan sosial sebagai pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga
diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok,
moral, dan tradisi, meleburkan diri menjadi suatu kesatuan yang saling berkomunikasi dan
bekerja sama.
Berdasarkan pendapat Susanto bahwa perkembangan sosial anak tercapai dengan baik apabila
anak mampu menyesuaikan dirinya sesuai dengan normanorma yang diharapkan
dilingkungannya. Oleh sebab itu perkembangan social anak perlu distimulasi dengan tepat
sesuai dengan tahap perkembangannya. Tahapan perkembangan anak dimulai pada saat
anak lahir kedunia. Anak belum memiliki kemampuan untuk bergaul dengan orang lain,
kemudian anak mulai mengenal keluarga, orang lain dan teman sebaya dari lingkungannya.
Kemampuan anak dalam berinteraksi akan terus berkembang dan melekat dalam diri anak
hingga dewasa apabila anak memperoleh stimulasi yang tepat dari berbagai pihak yang
terkait. Lingkungan sosial yang memfasilitasi dan memberikan stimulasi perkembangan
anak secara positif, maka anak akan dapat mencapai perkembangan sosialnya secara matang.
Rentang usia 5-6 tahun, anak sudah mulai menjalin komunikasi dalam kelompok kecil
dan ikut terlibat aktif dengan anak lain pada saat bermain.
Aisyah (2012) mengungkapkan bahwa “Anak usia 5-6 tahun ketika anak mulai memasuki
sekolah, anak lebih mudah diajak dalam suatu kelompok ia juga mulai memilih teman
bermainnya entah tetangga atau teman sebaya yang berada diluar rumah”. Hal ini senada
dengan pendapat Ardi (2014:34) yang menyatakan bahwa Usia 5-6 tahun anak menjadi lebih
banyak bermain dan bercakap-cakap dengan anak lainnya, hubungan anak bersama
temannya menjadikan anak memahami dirinya sendiri untuk bersikap kooperatif, toleran,
menyesuaikan diri, dan mematuhi aturan yang berlaku dirumah,disekolah dan lingkungan
masyarakat.
Perkembangan anak usia dini khususnya 5-6 tahun merupakan masa disaat anak mengalami
penyesuaian melalui interaksi dengan teman sebaya maupun lingkungan sekitar. Catherine lee
dalam Aisyah (2012) berpendapat bahwa Anak belajar menyesuaikan diri dengan tuntutan
sosial dan menjadi pribadi yang dapat bermasyarakat bergantung pada empat faktor: 1)
kesempatan yang penuh untuk sosialisasi adalah penting karena anak-anak tidak dapat
belajar hidup bermasyaarakat demgan orang lain jika sebagian waktu mereka dipergunakan
seorang diri, 2) mampu berkomunikasi. Pembicaraan yang bersifat sosial merupakan
penunjang yang penting bagi sosialisasi, tetapi pembicaraan yang egosentris menghalangi
sosialisasi, 3) anak belajar bersosialisasi apabila mereka mempunyai motivasi untuk
melakukannya, 4) metode belajar yang efektif dengan bimbingan perkembangan adalah
penting.
Oleh karena itu, dengan mengetahui faktor-faktor tersebut guru dan orangtua dapat
memberikan stimulasi dengan baik dan tepat sesuai dengan tahap perkembangan anak.
Aspek perkembngan sosial ditunjukkan melalui berbagai keterampilan sosial, oleh karena itu
merupakan hal penting untuk mengembangkan sejumlah keterampilan sosial sejak usia dini.
Perkembangan keterampilan sosial usia dini dapat menentukan keterampilan individu dalam
menjalin relasi sosial dikemudian hari.
Pengertian keterampilan social
Keterampilan sosial anak usia dini perlu dilatih dan dikembangkan, maka pada bagian ini
peneliti akan membahas tentang pengertian keterampilan sosial. Keterampilan sosial
memiliki penafsiran akan arti dan maknanya. Menurut beberapa ahli yang memberikan
pendapatnya tentang keterampilan social antara lain Rogers dan Ros dalam Nuraini (2007)
mendefinisikan keterampilan sosial yaitu: Kemampuan untuk menilai apa yang sedang terjadi
dalam suatu situasi sosial; keterampilan untuk merasa dan dengan tepat mengintepretasikan
tindakan dan kebutuhan dari anak-anak dikelompok bermainnya; kemampuan untuk
membayangkan bermacam-macam tindakan yang memungkinkan dan memilih salah satunya
yang paling sesuai.
Berdasarkan pendapat Roger dan Ros dapat diartikan bahwa keterampilan sosial merupakan
kemampuan untuk dapat menempatkan diri dalam suatu kondisi sosial, melalui perilaku
untuk berinteraksi dengan orang lain dan membuat hubungan baik dengan orang lain.
Lain halnya dengan pendapat Combs dan Slaby dalam Skripsi yang ditulis Lahari (2012)
mendefinisikan keterampilan sosial yaitu The ability to interact with others in a given social
context in specific ways that are socially acceptable or valued and at the same time
personally beneficial, mutually beneficial, or beneficial primariiy to others. Artinya
kemampuan berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial dengan caracara yang khusus
yang dapat diterima secara social maupun nilai-nilai dan disaat yang sama berguna bagi
dirinya dan orang lain. Pengertian lain mengenai keterampilan sosial dapat dilihat juga dari
pendapat Libet dan Lewinsohn dalam skripsi yang ditulis Lahari (2012:34) yang menyatakan
bahwa Keterampilan sosial (Social Skill) adalah “the complex ability both to emit behaviors
that are positively reinforced , and not to emit behaviors that punished or extinguished
by other” artinya kemampuan yang kompleks untuk menunjukkan perilaku yang baik dinilai
secara positif atau negative oleh lingkungan, dan jika perilaku itu tidak baik akan
diberikan punishment oleh lingkungan.
Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa keterampilan social adalah sebuah
kemampuan berinteraksi, berkomunikasi, kemampuan untuk dapat menunjukkan perilaku
yang baik, serta kemampuan menjalin hubungan baik dengan orang lain digunakan seseorang
untuk dapat berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan oleh sosial. Oleh sebab itu
maka keterampilan sosial sangat penting untuk dilatih dan dikembangkan sejak usia dini,
karena keterampilan sosial yang tepat membuat anak mampu menempatkan diri dalam
suatu situasi sosial. Keterampilan sosial yang tepat membuat anak dapat diterima dengan baik
dilingkungan sosialnya.
Jenis Keterampilan Sosial
Anak memilki berbagai keterampilan sosial yang perlu dikembangkan, ada beberapa
jenis keterampilan sosial yang di dinyatakan oleh Janice J Beaty dalam Tesis yang ditulis
Nuryulinda (2010:14) yaitu: Keterampilan sosial mencakup perilaku-perilaku seperti: 1)
empati, dimana anak-anak mengekspresikan kasih sayang dengan menghibur atau
menyenangkan seseorang dalam kesusahan atau dengan mengungkapkan perasaan anak
lainnya yang sedang mengalami konflik; 2) kemurahan hati atau kedermawanan, dimana
anak –anak berbagi dan memberikan suatu barang miliknya pada seseorang; 3) kerjasama,
dimana anak-anak bergiliran secara sukarela tanpa menimbulkan pertengkaran; 4)
kepedulian, dimana anak-anak membantu seseorang untuk melengkapi suatu tugas dan
membantu seseorang yang membutuhkan.
Perilaku sosial yang disebutkan oleh Jenice J Beaty sangat perlu dilatih dalam menjalin
hubungan sosial agar anak dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Usia 5-6 tahun anak
senang bermain, berkelompok, dan membina persahabatan, untuk itu perlu adanya hubungan
timbal balik agar tetap terjalin interaksi sosial yang baik. Interaksi sosial yang baik tersebut
diaplikasikan melalui perilaku keterampilan sosial yang dimiliki anak.
Hurlock dalam Susanto (2012: 139) secara spesifik mengklasifikasikan pola perilaku sosial
pada anak kedalam pola-pola perilaku sebagai berikut:
1. Meniru, yaitu agar sama dengan kelompok, anak meniru sikap dan perilaku orang
yang sangat ia kagumi. Anak mampu meniru perilaku guru yang diperagakan sesuai
dengan tema pembelajaran
2. Persaingan, yaitu keinginan untuk mengungguli dan mengalahkan orang lain,
persaingan ini biasanya sudah tampak pada usia empat tahun. Anak bersaing dengan
teman untuk meraih prestasi seperti berlomba-lomba dalam permainan,
menunjukkan antusiasme dalam mengerjakan sesuatu sendiri.
3. Kerja sama, mulai usia tahun ketiga akhir, anak mulai bermain secara bersama
dan kooperatif, serta kegiatan kelompok mulai berkembang dan meningkat baik
dalam frekuensi maupun lamanya berlangsung, bersamaan dengan meningkatnya
kesempatan untuk bermain dengan anak lain.
4. Simpati, karena simpati membutuhkan pengertian tentang perasaanperasaan dan
emosi orang lain, maka hal ini hanya kadang-kadang timbul sebelum tiga tahun.
Semakin banyak kontak bermain, semakin cepat simpati akan berkembang.
5. Empati, seperti halnya simpati, empati membutuhkan pengertian tentang perasaan
dan emosi orang lain, tetapi disamping itu juga membutuhkan kemampuan untuk
membayangkan diri sendiri ditempat orang lain.
6. Dukungan sosial, menjelang berakhirnya awal masa kanak-kanak dukungan dari
teman-teman menjadi lebih penting daripada persetujuan orang-orang dewasa.
7. Membagi, anak mengetahui bahwa salah satu cara untuk memperoleh persetujuan
sosial ialah membagi miliknya, terutama mainan untuk anakanak lainnya. Pada
momen-momen tertentu, anak juga rela membagi makanan kepada anak lain dalam
rangka mempertebal tali pertemanan mereka dan menunjukkan identitas keakraban
antar mereka.
8. Perilaku akrab, anak memberikan rasa kasih sayang kepada guru dan teman.
Bentuk dari perilaku akrab duperlihatkan dengan canda tawa dan tawa riang diantara
mereka. Kepada guru, mereka memperlakukan sebagai mana layaknya ppada orangtua
mereka sendiri, memeluk, merangkul, digendong, memegang tangan, dan banyak
bertanya.

Berdasarkan pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa jenis keterampilan sosial
merupakan berbagai bentuk perilaku yang ditunjukkan anak ketika berada dilingkungan
sosial, yang kemudian diaplikasikan anak agar dapat diterima dalam kelompok sosialnya.

Bermain Bagi Anak


Bermain merupakan dunia anak. Anak menggali pengetahuannya melalui bermain.
Bermain merupakan kebutuhan esensial bagi anak , dan anak tidak bisa terlepas dari kegiatan
bermain. Berikut ini adalah pendapat para ahli tentang bermain. Karl Buhler dan Sehenk
Danziger dalam Nuraini (2007) berpendapat bahwa Bermain adalah kegiatan yang
menimbulkan kenikmatan dan kenikmatan itulah yang akan menjadi perangsang bagi perilaku
lainnya.
Sedangkan Bruner dalam Jamaris (2006) mengemukakan bahwa Bermain mendorong anak
melakukan berbagai kegiatan dalam memecahkan berbagai masalah melalui penemuan. Hal
senada dikemukakan oleh Parten dalam Nuraini (2010:34) yang memandang bahwa kegiatan
bermain sebagai sarana sosialisasi dimana diharapkan melalui bermain dapat memberi
kesempatan anak bereksplorasi, menemukan, mengekspresikan perasaan, berkreasi dan
belajar secara menyenangkan. Pendapat lain juga dikemukakan oleh Piaget dalam Mutiah
(2012) bahwa saat bermain anak tidak belajar sesuatu yang baru, tetapi mereka belajar
mempraktikkan dan mengonsolidasikan keterampilan yang baru diperoleh.
Berdasarkan pendapat diatas, maka bermain sangatlah penting bagi anak mengingat bermain
adalah dunia anak. Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan anak secara spontan
karena disenangi, dan tanpa tujuan tertentu. Bagi anak, bermain merupakan suatu
kebutuhan yang perlu agar dia dapat berkembang secara wajar dan utuh, menjadi orang
dewasa yang mampu menyelesaikan dan membangun dirinya menjadi pribadi yang matang
dan mandiri. Setelah mengetahui tentang bermain bagi anak, maka perlu juga mengetahui
tentang jenis-jenis bermain agar guru dapat memberikan stimulasi perkembangan anak
melalui kegiatan bermain secara tepat. Bermain merupakan kegiatan yang sangat penting
bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, dalam bermain ada tiga jenis main yang
menjadi perhatian untuk mengembangkan seluruh kecerdasan dan keterampilan hidup anak.
Menurut Mukhtar (2014) ada tiga jenis main anak usia dini yakni: 1) main sensorimotor, 2)
main peran, 3) main pembangunan. Berdasarkan tiga jenis main yang telah dikemukakan oleh
Mukhtar, maka dapat dideskripsikan bahwa kegiatan bermain akan menjadi suatu kegiatan
yang menarik apabila guru mengetahui jenis bermain anak. Salah satu jenis main yang
dapat membantu mengembangkan keterampilan sosial anak adalah main peran. Bermain peran
merupakan salah satu jenis bermain yang dapat mengembangkan keterampilan sosial anak.
Menurut Moeslichatoen (2004) bermain peran adalah bermain yang menggunakan daya khayal
yaitu dengan memakai bahasa atau berpura-pura bertigkah laku seperti benda tertentu, atau
orang tertentu, dan binatang tertentu yang dalam dunia nyata tidak dilakukakan. Sedangkan
Vygotsky dalam Mutiah (2012) mengemukakan bahwa Main peran disebut juga main
simbolis, pura-pura, make-believe, fantasi, imajinasi, atau main drama sangat penting
untuk perkembangan kognisi, sosial, dan emosi anak usia tiga sampai enam tahun.
Bermain peran mulai tampak sejalan dengan mulai tumbuhnya kemampuan anak untuk
berimajinasi. Kemampuan ini akan berkembang bila anak mendapat stimulasi secara tepat.
Kegiatan bermain peran memberikan kesempatan kepada anak untuk merealisasikan ide
atau khayalan yang ada pada dirinya menjadi kenyataan. Selain itu dalam bermain peran
anak tidak bermain sendiri, melainkan berinteraksi dengan anak lain, hal ini sebagaimana
dinyatakan oleh Vygotsky dalam Mukhtar (2014:208) bahwa fungsi mental yang lebih
tinggi berakar pada hubungan sosial dan kerja sama. Melalui main peran, anak dapat
membangun kemampuan untuk berimajinasi dan berinteraksi dengan orang lain dalam
konteks sosial, dengan demikian bermain peran sesungguhnya melibatkan seluruh
kemampuan yang anak miliki, tidak hanya dari segi kemampuan berkomunikasi saja yang
berkembang tetapi diantaranya juga kemampuan dalam berimajinasi, sosialisasi,
konsentrasi, dan tingkat kesabaran anak pada saat bermain peran bersama dengan anak lain.
Smilansky dalam Montolalu (2008) berpendapat bahwa dalam bermain dramatisasi anak-anak
menirukan tidakan-tindakan yang dihubugkan dengan suatu perlengkapan tertentu, belajar
berperan seolah-olah mereka adalah seseorang atau sesuatu yang tidak asing lagi bagi mereka.
Kegiatan bermain peran dalam hal ini setiap anak dapat berpura-pura menjadi aktor, pengamat
dengan melakukan dialog-dialog baik dengan dirinya sendiri atau dengan orang lain,
sehingga memberi informasi, gagasan, atau ide-ide mengenai suatu kegiatan atau cerita yang
akan diperankan.
Menurut Jean Piaget dalam Montolalu (2008) Anak usia 2-7 tahun berada dalam tahap
perkembangan Symbolic Play (bermain simbolis). Bermain simbolis ini merupakan ciri-ciri
tahap praoperasional dan yang terjadi adalah sebagai berikut:
1. Secara bertahap anak mulai berbahasa dengan kata-kata baru, sering bertanya
dan menjawab pertanyaan.
2. Anak-anak ingin sekali belajar dan tidak henti-hentinya
bereksplorasi,memanipulasi benda-benda (memainkan dan menggerakkan)
sertabereksperimen dengan lingkungannya agar dapat mempelajari lebihbanyak
hal lagi.
3. Anak mulai dapat menggunakan berbagai benda sebagai simbol ataubenda-benda
lain dan bermain pura-pura, seperti balk bisa jadi telepon ataujadi ayam goreng ketika
pura-pura memasak.
4. Dalam perkembangannya kegiatan bermain simbolis ini akan semakinbersifat
konstruktif, dalam arti lebih mendekati kenyataan, merupakanlatihan berpikir
dan mengarahkan ana untuk menyesuaikan diri denganlingkungannya.

Melalui bermain peran, anak akan menirukan berbagai bentuk perilaku dari tokoh yang
diperankan dan mempengaruhi kehidupannya secara spontan sesuai dengan pengalaman dan
pengetahuan yang dimiliki oleh anak. Kegiatan bermain peran membantu anak untuk
mempelajari lebih dalam mengenai dirinya sendiri, keluarga, dan masyarakat sekitarnya.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan bermain
peran merupakan suatu kegiatan yang berfokus pada memainkan peranan tertentu seakan-
akan sedang memerankan tokoh atau peran sesungguhnya. Peran yang dimainkan adalah
peran terjadi dalam kehidupan mereka sehari-hari seperti dokter, tukang pos, pedagang,
guru, dan profesi lainnya yang dapat menciptakan situasi khayalan yang dapat memberikan
kesempatan untuk bereksplorasi dengan suatu objek dan melakukan kegiatan yang sesuai
dengan karakter objek tersebut.
Bermain peran menurut Vygotskky dalam Mutiah (2012) terbagi menjadi dua jenis yaitu
bermain peran makro dan bermain peran mikro. Bermain peran makro menurut Vygotsky
dalam Mutiah (2012) adalah anak berperan sesungguhnya dan menjadi seseorang atau
sesuatu. Sedangkan bermain peran mikro menurut Vygotsky dalam Mutiah (2012) adalah
dimana anak menggerak gerakan benda berukuran kecil untuk menyusun adegan, saat anak
bermain peran mikro anak belajar untuk menghubungkan dan mengambil sudut pandang dari
orang lain. Kedua jenis bermain peran tersebut pada dasarnya memiliki fungsi yang sama,
hanya pada saat memainkannya yang berbeda, yakni pada saat bermain peran makro
anak sendiri yang menjadi pemerannya sedangkan pada saat bermain peran mikro anak
yang menjadi dalang untuk memerankan tokoh-tokoh berukuran kecil, namun dalam hal ini
peneliti hanya ingin membahas tentang kegiatan bermain peran mikro.
Bermain Peran Mikro
Bermain peran terbagi menjadi dua jenis yaitu bermain peran makro dan mikro,
maka pada bagian ini peneliti hanya memfokuskan pada bermain peran mikro. Vygotsky
dalam Mutiah (2012) mengemukakan bahwa Peran mikro adalah “kegiatan dimana anak
menggerak-gerakkan benda-benda berukuran kecil untuk menyusun adegan, saat anak bermain
peran mikro anak belajar untuk menghubungkan dan mengambil sudut pandang dari orang
lain.” Senada dengan pendapat Nuraini (2010) yang menyatakan bermain peran mikro adalah
“kegiatan yang berfokus pada kegiatan dramatisasi dengan alatalat permainan berukuran
kecil/mini seperti: boneka-boneka mini, rumahrumahan mini, pesawat-pesawatan mini dan
sebagainya”. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa bermain peran mikro yaitu
anak memainkan peran alat bermain atau benda yang berukuran kecil atau mini (boneka orang
atau binatang,rumah boneka, dll). Bermain peran kecil ini anak bertindak sebagai dalang
yang merupakan otak penggerak yang menghidupkan alat main tersebut untuk memainkan
suatu adegan, peran-peran dalam skenario main peran.
Bermain peran mikro membantu anak-anak belajar untuk menjadi sutradara, mereka
memainkan boneka dan mainan lain berukuran kecil misalnya rumahrumahan, sofa mini,
tempat tidur mini (seperti boneka barbie dan lain-lain). Pembelajaran akan lebih bermakna
bagi anak jika didukung dengan suatu media pembelajaran. Media dalam proses
pembelajaran dapat mempertinggi proses belajar siswa, apalagi dalam bermain peran mikro.
Media pembelajaran sangat penting digunakan pada saat kegiatan bermain peran mikro,
karena bermain peran mikro merupakan kegiatan dramatisasi menggunakan bendabenda
kecil.
Media yang Digunakan dalam Kegiatan Bermain Peran
Mengingat bahwa dalam suatu pembelajaran khususnya pada saat kegiatan bermain
peran perlu adanya media untuk mendukung proses pembelajaran, maka pada bagian ini
peneliti akan membahas tentang media yang digunakan dalam kegiatan bermain peran. Menurut
Mukhtar (2014) jika dikaitan dengan anak usia dini, maka mediapembelajaran memiliki arti
yakni: Segala sesuatu yang dapat dijadikan bahan (software) dan alat (hardware) untuk
bermain yang membuat anak usia dini mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan,
dan menentukan sikap. Media yang digunakan dalam PAUD adalah Alat Permainan Edukatif
(APE). Adapun media atau alat-alat yang peneliti gunakan dalam kegiatan bermain peran
berupa alat atau media yang berukuran mikro. Alat berukuran mikro merupakan alat yang
berukuran kecil yang memungkinkan anak untuk memegang dan menggerakkan benda
tersebut guna menyusun adegan, missal bermain boneka, masak-masakan, rumah-rumahan,
binatang-binatangan dan lain-lain.
Pemilihan alat mikro dalam kegiatan bermain peran harus memperhatikan persyaratan alat
permainan di PAUD. Menurut Montolalu (2000) ada beberapa persyaratan alat permainan
antara lain:
1. Setiap alat permainan hendaknya menonjolkan fungsi pedagogis yang sesuai dengan
taraf perkembangan anak.
2. Ukuran dan bentuknya sesuai dengan usia anak,
3. Aman dan tidak berbahaya bagi anak
4. Menarik baik warna maupun bentuknya.
5. Awet tidak mudah rusak dan mudah pemeliharaannya.
6. Murah dan mudah diperoleh.
7. Jumlahnya hendaknya mencukupi kebutuhan anak
8. Alat permainan harus mendorong anak untuk melakukan penemuanpenemuan baru
dan melakukan berbagai eksperimen
Persyaratan alat permainan untuk anak harus sangat diperhatikan, karena dengan
memperhatikan persyaratan alat permainan diharapkan anak merasa senang dan aman pada
saat bermain khususnya dalam kegiatan bermain peran. Berdasarkan uraian yang telah
dipaparkan diatas, dalam hal ini alat yang digunakan dalam bermain peran adalah alat
berukuran mikro yang memungkinkan anak untuk berperan menjadi seseorang dan
memungkinkan anak untuk memegang dan menggerakkan benda tersebut guna menyusun
adegan.
Langkah Langkah Bermain Peran
Sebelum melakukan kegiatan bermain peran, maka perlu mengetahui langkah-
langkah dalam bermain peran agar pembelajaran dalam bermain peran dapat berjalan
secara efektif dan efesien. Menurut Nuraini (2010) langkah-langkah kegiatan bermain peran
adalah sebagai berikut:
1. Guru mengumpulkan anak-anak untuk diberikan pengarahan dan aturan-aturan
serta tata tertib dalam bermain
2. Guru membicarakan alat-alat yang akan digunakan oleh anak-anakuntuk bermain
3. Guru memberikan pengarahan sebelum bermaindan mengabsenanak-anak serta
menghitung jumlah anak bersama-sama
4. Guru memberikan tugas kepada anak sebelum bermain menurutkelompoknya agar
anak tidak saling berebut dalam bermain. Anakdiberikan penjelasan mengenai
alat-alat bermain yang sudahdisediakan
5. Guru sudah menyiapkan anak-anak permainan yang akan digunakansebelum anak-
anak mulai bemain.
6. Anak bermain sesuai dengan perannya.
7. Guru hanya mengawasi, mendampingi anak dalam bermain apabiladibutuhkan anak
guru membantunya, guru tidak banyak bicara dantidak banyak membantu anak.
8. Setelah waktu bermain hampir habis, guru dapat menyipkan berbagaimacam buku
cerita sementara guru merapikan permainan dengandibantu oleh beberapa anak.

Hal senada juga dikemukakan oleh Djamarah (2005:238) bahwa “terdapat lima langkah dalam
bermain peran yaitu: (1) penentuan topik, (2) penentuan anggota pemeran, (3)
mempersiapkan peranan, (4) latihan singkat dialog, (5) pelaksanaan permainan peran”.
Berdasarkan pendapat diatas, maka langkah-langkah bermain peran perlu diketahui oleh
para pendidik agar pelaksanaan pembelajaran pada saat bermain peran dapat berjalan
secara efektif dan efisien sehingga tujuan pembelajaranpun dapat tercapai sesuai dengan yang
diharapkan.
Manfaat Bermain Peran
Mengingat bahwa bermain peran memiliki banyak manfaat bagi aspek
perkembangan anak, maka pada bagian ini peneliti akan membahas tentang manfaat
bermain peran. Anak memerlukan waktu yang cukupbanyak untuk mengembangkan
dirinya melalui bermain. Montolalu (2008) menyatakan bahwa: Bermain bagi anak-anak
mempunyai arti yang sangat penting karena melalui bermain anak dapat menyalurkan segala
keinginan dan kepuasan,kreativitas, dan imajinasinya. Melalui bermain anak dapat
melakukan kegiatan-kegiatan fisik, belajar bergaul dengan teman sebaya, membina sikap
hidup positif, mengembangkan peran suatu jenis kelamin, menambah perbendaharan kata,
dan menyalurkan perasaan tertekan. Dunia anak adalah dunia bermain, karena dalam kegiatan
bermain semua aspek perkembangan anak dapat berkembang. Bermain peran
memungkinkan untuk menggabungkan bahasa lisan dengan imajinasi untuk meniru,
berpura-pura menjadi seseorang atau suatu hal. Selain itu, melalui bermain peran
memungkinkan anak fleksibel dengan situasi yang baru, dan dapat mentransformasikan apa
yang telah anak perankan dalam kehidupan nyata. Tedjasaputra (2003) mengemukakakan
pendapatnya tentang manfaat bermain peran yakni: Bermain peran membantu penyesuaian
diri anak, dengan memerankan tokoh-tokoh tertentu ia belajar tentang aturan-aturan atau
perilaku apa yang bisa diterima oleh orang lain, baik dalam berperan sebagai ibu, ayah,guru,
murid dan seterusnya. Perkembangan bahasa juga dapat ditingkatkan karena adanya
penggunaan bahasa didalam kegiatan bermain ini mau tidak mau ia akan mendengar informasi
baru dari teman mainnya sehingga perbendaharaan kata makin luas.
Pendapat lain tentang manfaat bermain peran juga dikemukakan oleh Tarigan dalam Skripsi
yang ditulis Yola Indira (2008) bahwa melalui bermain peran yang baik dan terorganisir akan
diperoleh manfaat antara lain: 1) memupuk kerja sama yang baik dalam hubungan sosial;
2) memberi kesempatan pada anak untuk melahirkan daya kreasi masing-masing; 3)
mengembangkan emosi yang sehat bagi anak-anak; 4) menghilangkan sifat malu, gugup, dan
lain-lain; 5) mengembangkan apresiasi dan sikap yang baik, 6) menghargai pikiran dan
pendapat orang lain; 7) menanmkan kepercayaan pada diri sendiri, 8) dapat mengurangi
kejahatan dan kenakalan anak-anak.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa bermain peran merupakan suatu hal
yang sangat penting dan dibutuhkan bagi anak, karena melalui bermain peran, anak dapat
belajar bagaimana berhubungan, berkomunikasi dengan baik agar memperoleh respon
positif dari lawan bicara, dengan demikian terciptalah suatu hubungan yang harmonis, yang
didalamnya anak juga mampu belajar untuk bekerja sama dengan anak lain dan memiliki
rasa empati terhadap lingkungan sosialnya, belajar saling tolong meolong serta mau berbagi
miliknya dengan orang lain.
Hubungan Kegiatan Bermain dengan Keterampilan Sosial
Suatu penelitian perlu didukung oleh teori sebagai dasar rujukan agar dapat terarah
dengan baik, pada bagian ini peneliti akan membahas tentang teori bermain yang
berhubungan dengan keterampilan sosial. Sigmund Freud dalam Mutiah (2012:100) dengan
teori psikoanalisisnya memandang bahwa Bermain pada anak sebagai alat yang penting bagi
pelepasan emosinya. Serta untuk mengembangkan rasa harga diri ketika anak dapat menguasai
tubuhnya, benda-benda serta sejumlah keterampilan sosial. Artinya bahwa keterampilan
sosial dapat dikembangkan melalui kegiatan bermain, karena melalui bermain anak
melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya kemudian dalam bermain anak dapat
belajar bekerja sama dan melakukan kontak sosial dengan orang lain.
Teori diatas senada dengan pendapat Albert Bandura dalam Santrock (1995) seorang
psikologi Amerika dalam teori belajar sosialnya menjelaskan bahwa Lingkungan adalah
faktor penting yang mempengaruhi perilaku, tetapi proses-proses kognitif tidak kalah
pentingnya. Menurut pandangan belajar sosial, manusia memiliki kemampuan untuk
mengendalikan perilakunya sendiri. Berdasarkan pendapat para ahli tentang teori bermain,
dapat disimpulkan bahwa bermain merupakan suatu hal yang sangat penting bagi anak
untuk mengembangkan berbagai keterampilan sosial, melalui bermain anak secara tidak
langsung berinteraksi dengan orang lain dan belajar bekerja sama serta belajar perilaku-perilaku
lainnya dalam konteks sosial.
Bermain bersama merupakan kesempatan yang baik bagi anak untuk belajar menyesuaikan
diri dengan keadaan, karena bermain bersama dengan alat permainan yang digunakan
bersama, anak akan belajar membagi alat-alat dan mainan, belajar menunggu giliran belajar
bekerjasama, saling tolong menolong serta belajar untuk menaati peraturan permainan
yang dimainkan bersama. Menurut Montolalu (2008) bermain bertugas untuk :
1. Menanamkan budi pekerti yang baik
2. Melatih anak untuk dapat membedakan sikap dan perilaku yang baik dan yang tidak baik
3. Melatih sikap ramah, suka kerja sama, menunjukkan kepedulian
4. Menanamkan kebiasaan disiplin dan tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari
5. Melatih anak untuk mencintai lingkungan dan ciptaan Tuhan
6. Melatih anak untuk selalu tertib dan patuh pada peraturan
7. Melatih anak untuk berani dan memiliki rasa ingin tahu yang besar
8. Melatih anak untuk mengerti berbagai konsep moral yang mendasar, seperti benar,
salah, jujur, adil, dan fair Selain teori yang berhubungan dengan keterampilan sosial,
peneliti juga mencantumkan penelitian yang relevan sebagai penguat dalam melakukan
sebuah penelitian. Penelitian relevan yang peneliti ambil yakni: Rahayu, Dewi Triani
(2012). Judul Penelitian: Peningkatan Keterampilan Sosial Melalui Metode Bermain
Peran Di Kelompok Bermain Tunas Harapan Sanggar Kegiatan Belajar Kabupaten
Sleman. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan sosial anak melalui
metode bermain peran.
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan 3 siklus. Masing-
masing siklus dalam tindakan dilaksanakan selama 3 kali pertemuan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bermain peran dapat meningkatkan keterampilan sosial anak.
Berdasarkan penelitian diatas, dapat dianalisis bahwa kegiatan bermain peran mikro dapat
digunakan sebagai cara dalam meningkatkan keterampilan social anak. Penelitian diatas
ingin melihat peningkatan keterampilan sosial anak melalui metode bermain peran
menggunakan penelitian tindakan kelas, sedangkan peneliti disini ingin melihat
hubungan kegiatan bermain peran mikro dengan keterampilan sosial anak menggunakan
metode korelasi.
Nurhamidah (2013). Judul Penelitian: Pengaruh Metode Bercerita Terhadap Keterampilan
Sosial Anak Usia Prasekolah di TK Siaga Tunas Kelapa, Ngalangan, Saedonoharjo,
Ngaglik, Sleman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh metode bercerita
terhadap keterampilan sosial anak usia prasekolah menggunakan desain penelitian one
group pre-test post-test design. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran
dengan metode bercerita dapat meningkatkan keterampilan sosial anak usia prasekolah
(p= 0.0001), yang menunjukkan hipotesis penelitian diterima.
Berdasarkan penelitian diatas dapat dianalisis bahwa keterampilan sosial dapat
ditingkatkan menggunakan metode bercerita, hal ini memberikan gambaran bahwa
keterampilan sosial dapat ditingkatkan menggunakan berbagai cara tidak hanya
menggunakan kegiatan bermain peran saja. Penelitaian diatas ingin mengetahui
pengaruh metode bercerita terhadap keterampilan social dengan mengadakan tes
sebelum pemberian treatment dan tes setelah pemberian treatment sedangkan peneliti
disini ingin mengetahui hubungan kegiatan bermain peran mikro dengan keterampilan
sosial menggunakan metode korelasi.
Kedua penelitian diatas menunjukkan bahwa ada kesamaan dengan penelitian yang
dilakukan, yakni terbentuknya keterampilan sosial anak dipengaruhi oleh kegiatan
bermain, baik bermain peran ataupun bercerita.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang ditujukan untuk mengetahui
hubungan suatu variabel dengan variabel lainnya. Hubungan antara satu dengan variabel
lain dinyatakan dengan besarnya koefisien korelasi dan keberartian secara statistik (Nana
Syaodih, 2007).
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah siswa Taman Kanak-kanak TK……….. Tahun
Pelajaran …………….. Sampel dalam penelitian ini adalah anak usia 5-6 tahun di
kelompok B2 TK………... Pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu dengan
Sampling Purposive. Menurut Sugiyono (2010:124) Sampling Purposive adalah teknik
penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Penelitian ini mengambil sampel pada
anak usia 5-6 tahun di kelompok B2 dengan pertimbangan bahwa peneliti akan melakukan
penelitian tentang keterampilan sosial pada anak usia 5-6 tahun sehingga peneliti
mengambil kelompok B2 sebagai sampel karena anak- anak di kelompok B2 keterampilan
sosialnya belum berkembang secara optimal dan rentang usianya adalah 5-6 tahun.
Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua macam yaitu, variabel bebas
(independen) dan variabel terikat (dependen).
Variabel bebas (independen) dilambangkan dengan simbol X. menurut Sugiyono (2010)
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya
atau timbulnya variabel terikat (dependen). Adapun variabel bebas dalam penelitian ini
adalah kegiatan bermain peran mikro
Variabel terikat (dependen) dilambangkan dengan simbol Y. menurut Sugiyono (2010)
Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya
variabel bebas. Adapun variabel terikat dalam penelitian ini adalah keterampilan sosial.
Definisi Variabel
Definisi Konseptual
Definisi konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Variabel X (Bermain Peran Mikro) merupakan suatu bentuk kegiatan bermain yang
memberikan kesempatan pada anak untuk bereksplorasi tentang peran-peran yang pernah
anak jumpai dalam kehidupan sosialnya dengan menggunakan media berukuran mini atau
kecil yang dimainkan oleh anak untuk mengembangkan keterampilan sosial.
Variabel Y (Keterampilan Sosial) merupakan kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan
orang lain dalam konteks sosial yang meliputi kemampuan anak dalam berinteraksi,bekerja
sama serta memiliki sifat saling tolong menolong.
Definisi Operasinal
Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Variabel X (Bermain Peran Mikro) adalah suatu bentuk kegiatan bermain peran dengan
memerankan kehidupan sosial yang ada dimasyarakat dengan menggunakan media berukuran
mini/kecil. Adapun indikator dalam kegiatan bermain peran mikro ini meliputi dua hal yakni
keterlibatan anak dalam bermain peran dan melakukan percakapan sesuai dengan tokoh
yang diperankan.
Variabel Y (Keterampilan Sosial) merupakan ketercapaian seseorang anak berdasarkan hasil
observasi mengenai keterampilan sosial pada anak usia 5-6 tahun. Ketercapaian ini
menggambarkan tentang indikator-indikator keterampilan sosial meliputi kemampuan
berinteraksi, bekerja sama dengan teman serta memiliki sikap saling tolong menolong.
PEMBAHASAN
Bermain Peran Mikro
Guna menjelaskan kegiatan bermain peran mikro pada anak usia 5-6 tahun (kelompok
B2) dijelaskan menggunakan rumus interval (Hadi, 2006). Berdasarkan besaran jumlah skor
diperoleh menggunakan interval, dikelompokkan kedalam kategori yaitu tinggi (T), sedang
(S), rendah (R), dan kurang (K). Kategori tinggi jika keterlibatan anak dalam bermain
peran mikro melakukan semua indikator yang ditentukan peneliti. Kategori sedang jika
keterlibatan anak dalam bermain peran mikro hanya kadang-kadang tidak melakukan
indikator, artinya tidak melakukan semua indikator yang ditentukan peneliti. Kategori rendah
jika keterlibatan anak dalam bermain peran mikro melakukan sedikit indikator yang ditentukan
peneliti. Kategori kurang jika keterlibatan anak dalam bermain peran mikro tidak mau
melakukan indikator yang ditentukan peneliti.
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa dari hari pertama sampai hari kedelapan mayoritas
anak masuk pada kategori tinggi, yaitu keterlibatan anak dalam bermain peran adalah tinggi
karena anak melakukan semua indikator yang telah ditentukan. Anak memainkan kegiatan
bermain peran mikro pada tahap perkembangan Symbolic Play (bermain simbolis). Hal ini
senada dengan pendapat Piaget dalam Montolalu (2008) yang menyatakan bahwa anak
usia 2-7 tahun berada dalam tahap perkembangan Symbolic Play dimana bermain simbolis ini
merupakan ciri-ciri tahap praoperasional. Berdasarkan pendapat Vygotsky dalam Mutiah
(2012) bahwa Main peran disebut juga main simbolis, pura-pura, make-believe, fantasi,
imajinasi, atau main drama sangat penting untuk perkembangan kognisi, sosial, dan emosi
anak usia tiga sampai enam tahun”. Oleh sebab itu melalui bermain peran mikro anak
dapat mengaplikasikan emosinya dan apa yang dia pikirkan, menirukan berbagai bentuk
perilaku dari tokoh yang diperankan dan mempengaruhi kehidupannya secara spontan sesuai
dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh anak. Kegiatan bermain peran
membantu anak untuk mempelajari lebih dalam mengenai dirinya sendiri, keluarga, dan
masyarakat sekitarnya.
Keterampilan Sosial Anak
Berdasarkan penelitian mengenai keterampilan sosial anak, dapat dijelaskan bahwa
kriteria yang digunakan dalam keterampilan sosial anak menggunakan pedoman tolak
ukur kriteria tingkat kemampuan dalam Dimyati (2013) yang ditafsirkan dalam kategori
berkembang sangat baik (BSB), berkembang sesuai harapan (BSH), mulai berkembang (MB),
dan belum berkembang (BB). Hasil rekapitulasi data mengenai keterampilan sosial dari hari
pertama sampai hari kedelapan terlihat bahwa 17.65 anak memiliki keterampilansosial
berkembang sangat baik dan 70.59 telah berkembang sesuai harapan, dan hanya 11.76 yang
memiliki keterampilan sosial baru mulai berkembang hal ini setelah peneliti telusuri ternyata
memang perkembangan sosial anak sangat rendah. Hal ini diperkuat dari hasil wawancara
dengan guru bahwa anak sering ditunggui orangtuanya serta pembiasaan dari keluarga kurang
memberi kesempatan pada anaknya untuk membaur dengan orang lain, anak terlalu dimanja
dan dibatasi untuk bermain dengan teman sebayanya sehingga berdampak keterampilan sosial
anak menjadi rendah. Keterampilan sosial rendah karena anak tidak dibiasakan untuk
berinteraksi dengan orang lain sehingga anak sulit untuk melakukan kerjasama, anak sulit
dalam berkomunikasi dengan orang lain akibatnya anak senang menyendiri dan tidak mau
membaur dengan temannya. Oleh sebab itu keterampilan sosial anak perlu dilatih dan
dikembangkan mengingat bahwa usia 5-6 tahun seharusnya adalah masa anak menjalin
interaksi dan komunikasi dengan orang lain. Hal ini senada dengan pendapat Aisyah
(2012) yang mengungkapkan bahwa anak usia 5-6 tahun ketika anak mulai memasuki sekolah,
anak lebih mudah diajak dalam suatu kelompok ia juga mulai memilih teman bermainnya entah
tetangga atau teman sebaya yang berada diluar rumah. Pendapat lain yang memperkuat
adalah pendapat Ardi (2014) yang menyatakan bahwa: Usia 5-6 tahun anak menjadi lebih
banyak bermain dan bercakap-cakap dengan anak lainnya, hubungan anak bersama temannya
menjadikan anak memahami dirinya sendiri untuk bersikap kooperatif, toleran,
menyesuaikan diri, dan mematuhi aturan yang berlaku dirumah,disekolahdan lingkungan
masyarakat.
Berdasarkan pendapat Aisyah dan Ardi dapat disimpulkan bahwa anak usia 5-6 tahun
merupakan masa dimana anak mulai menjalin komunikasi dan interaksi sosial dengan
teman sebaya dan lingkungan sosialnya, kemudian mereka aplikasikan dalam berbagai
keterampilan sosial.
Hubungan Kegiatan Bermain Peran Mikro dengan Keterampilan Sosial
Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat dan positif
antara kegiatan bermain peran mikro dengan keterampilan social pada anak usia 5-6 tahun di
TK …………. Hal ini terlihat dari hasil analisis data dengan Korelasi Spearman Rank yang
menunjukkan ada hubungan antara kegiatan bermain peran mikro dengan keterampilan
sosial pada anak usia dini sebesar 0,75 dan kontribusi yang diberikan oleh kegiatan bermain
peran mikro dalam mengembangkan keterampilan social sebesar 56%. Berdasarkan fakta
tersebut maka hal ini menunjukkan bahwa kegiatan bermain peran mikro merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial anak usia 5-6 tahun di TK ………….
Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Freud (Mutiah, 2012) berdasarkan teori
psikoanalisisnya yang memandang bahwa bermain pada anak sebagai alat yang penting bagi
pelepasan emosinya serta untuk mengembangkan rasa harga diri ketika anak dapat
menguasai tubuhnya, benda-benda serta sejumlah keterampilan sosial. Pendapat lain yang
memperkuat adalah pendapat Vygotsky (Mutiah, 2012) yang menyatakan bahwa main peran
disebut juga main simbolis, pura-pura, make-believe, fantasi, imajinasi, atau main drama
sangat penting untuk perkembangan kognisi, sosial, dan emosi anak usia tiga sampai
enam tahun. Pendapat diatas senada dengan pendapat Tedjasaputra (2003) tentang manfaat
bermain peran yakni: Bermain peran membantu penyesuaian diri anak, dengan memerankan
tokohtokoh tertentu ia belajar tentang aturan-aturan atau perilaku apa yang bisa diterima oleh
orang lain, baik berperan sebagai ibu, ayah, guru, murid dan seterusnya. Perkembangan
bahasa juga dapat ditingkatkan karena adanya penggunaan bahasa didalam kegiatan bermain
ini mau tidak mau ia akan mendengar informasi baru dari teman mainnya sehingga
perbendaharaan kata makin luas.
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa melalui kegiatan bermain peran
mikro terbukti dapat mengembangkan keterampilan sosial pada anak usia 5-6 tahun di TK
………….
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan hasil pengujian hipotesis, maka diperoleh
kesimpulan bahwa ada hubungan antara kegiatan bermain peran mikro dengan keterampilan
sosial pada anak usia 5-6 tahun di Taman Kanak Kanak ………………tahun pelajaran……..
Hal ini dibuktikan dari hasil perhitungan korelasi spearman rank sebesar 0,75 yang berarti
bahwa kegiatan bermain peran mikro dengan keterampilan sosial pada anak usia dini memiliki
hubungan yang kuat dan bernilai positif.
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, Siti. (2012). Perkembangan dan Konsep Dasar Pengembangan Anak Usia Dini.
Universitas Terbuka. Tangerang Selatan
Ardy, Novan. (2014). Mengelola & Mengembangkan Kecerdasan Sosial & Emosi Anak Usia
Dini. Ar-Ruzz Media, Jakarta
Dimyati John. (2013). Metodologi Penelitian Pendidikan dan Apliksinya pada Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD). Kencana, Jakarta
Djamarah, Saiful Bahri. (2005). Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Rineka Cipta,
Jakarta
Hadi, Sutrisno. (2006). Metodelogi Penelitian. Andi Offset, Jogjakarta
Indira, Yola. (2008). Pengaruh Kegiatan Bermain Peran Terhadap Kemampuan Interpersonal
Anak Usia 5-6 Tahun. Universitas Negeri Jakarta. Jakarta
Jamaris, Martini. (2006). Perkembangan dan Pengembangan Anak Usia Taman Kanak-Kanak.
PT Grasindo, Jakarta
Lahari, Sanggita. (2012). Pengaruh Penggunaan Media Gambar dalam Bimbingan Kelompok
Terhadap keterampilan Sosial. (Skripsi). Universitas Negeri Jakarta. Jakarta
Mutiah, Diana. (2012). Psikologi Bermain Anak Usia Dini. Kencana Prenada Media Group,
Jakarta
Mukhtar, Latif. (2014). Orientasi Baru Pendidikan Anak Usia Dini. Kencana Prenada Media
Group, Jakarta
Moeslichatoen. (2004). Metode Pengajaran di Taman Kanak Kanak. Rineka Cipta, Jakarta
Montolalu, B.E.F. (2008). Materi Pokok Bermain dan Permainan Anak. Universitas Terbuka,
Jakarta
Nuraini, Yuliani. (2007). Konsep Dasar Perkembangan Anak usia Dini. Universitas Negeri
Jakarta, Jakarta
Nuryulinda. (2010). Pengaruh Lingkungan Sekolah terhadap Keterampilan Sosial Anak. Tesis.
Universitas Lampung. Bandar Lampung
Santrock, John. W. (1995). Life-Span Development (Perkembangan Masa Hidup) Edisi kelima.
Erlangga, Jakarta
Sudjana, Nana. (2006). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Remaja Rosda Karya,
Bandung
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Alfa Beta, Bandung
Sugiyono. (2012). Statistika untuk Penelitian. Alfa Beta, Bandung Susanto, Ahmad. 2012.
Perkembangan Anak Usia Dini. Kencana Prenada Media Group, Jakarta
Syaodih, Nana. (2007). Metode Penelitian Pendidikan. Remaja Rosdakarya, Bandung
Tedjasaputra, Mayke. 2003. Bermain, Main, dan Permainan. Gramedia, Jakarta Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional.
Departemen Pendidikan Nasional, 2003, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai