Anda di halaman 1dari 17

TUGAS PSIKOLOGIS KOMUNIKASI KONSELING

OBAT METHYLPREDNISOLONE

DOSEN PEMBIMBING
Sara Surya,M.Farm,Apt

DISUSUN OLEH
Puput Saputra

16160036

UNIVERSITAS DHARMA ANDALAS


FAKULTAS FARMASI
PADANG
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanallahu Wa Ta‟ala, Rabb Penguasa
alam, Rabb yang tiada henti-hentinya memberikan kenikmatan dan karunia kepada semua
makhluk-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan tugas makalah ini. Shalawat serta salam
semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu „alaihi wa sallam, keluarganya,
para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti risalahnya hingga akhir zaman.
Alhamdulillah, dengan izin Allah kami telah menyelesaikan tugas makalah Psikologis
komuniasi dan konseling tentang “Obat METHYLPREDNISOLONE”. Penyusunan makalah
ini dapat terwujud tak lepas dari bimbingan, pengarahan, dan bantuan dari berbagai pihak
yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.
Penyusun menyadari dalam makalah ini masih banyak kekurangan, karena
keterbatasan kemampuan maupun pengalaman kami. Maka dari itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun demi memperbaiki kekurangan ataupun kekeliruan yang
ada. Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa farmasi
Universitas Dharma Andalas untuk menambah wawasan dalam bidang kesehatan.
Penulis mohon ma‟af apabila dalam pembuatan makalah ini masih terdapat kesalahan,
oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan penulis dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.

Padang, 7 Maret 2018

Puput Saputra

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................. i
DAFTAR ISI........................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1
A. Latar Belakang....................................................................................... 1
B. Tujuan Masalah................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................... 3
A. Defenisi dan Morfologi............................................................................ 3
B. farmakokinetik........................................................................................ 3
C. farmakodinamik...................................................................................... 4
D. Indikasi................................................................................................. 5
E. Kontra indikasi........................................................................................ 7
F. efek samping ......................................................................................... 7
G. Interaksi Obat......................................................................................... 9
H. Dosis dan sediaan...................................................................................10
I. Nama Dagang.......................................................................................... 11
J. Peringatan...............................................................................................11
BAB III PENUTUP.................................................................................12
3.1 Kesimpulan...................................................................................... 12
3.2 Saran................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................14

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi klinis yang
sangat luas. Kortikosteroid sering disebut sebagai life saving drug. Manfaat dari preparat ini
cukup besar tetapi karena efek samping yang tidak diharapkan cukup banyak, maka dalam
penggunaannya dibatasi termasuk dalam bidang dermatologi kortikosteroid merupakan
pengobatan yang paling sering diberikan kepada pasien. Kortikosteroid adalah derivat dari
hormon kortikosteroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini dapat
mempengaruhi volume dan tekanan darah, kadar gula darah, otot dan resistensi tubuh.
Kortikosteroid sintetik mulai digunakan sebagai terapi sejak tahun 1950. Tahun 1951
Sulzberger dkk melaporkan keberhasilan terapi kortison sistemik dan adrenokortikotropik
hormon (ACTH) pada pasien peradangan kulit. Satu tahun kemudian, Sulzberger dan Wittern
berhasil mengobati pasien erupsi eksematous dengan hidrokortison topikal. Sejak saat itu,
selama 40 tahun terakhir penelitian dikembangkan untuk mengekplorasi potensi, konsentrasi,
bentuk sediaan, dan bahan aktif kortikosteroid untuk meminimalisasi efek jangka panjang
penggunaan terapi ini.
Kortikosteroid terbagi menjadi dua golongan utama, yaitu glukokortikoid dan
mineralokortikoid. Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya
menyimpan glikogen hepar dan inflamasi, sedangkan golongan mineralokortikoid memiliki
efek utama pada keseimbangan air dan elektrolit. Yang termasuk golongan glukokortikoid
sintetik adalah deksametason, prednison, methylprednisolone, triamsinolon dan betametason.

Methylprednisolone merupakan golongan glukokortikoid sintetik dengan struktur mirip


dengan hormon alami yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Methylprednisolone biasanya
digunakan dalam terapi pengganti insufisiensi adrenal dan sebagai agen anti-inflamasi dan
imunosupresan.
Pembahasan mengenai methylprednisolone akan menjadi topik utama dalam laporan
ini. Melalui pengetahuan tentang farmakokinetik, farmakodinamik, indikasi, kontraindikasi,
dosis, efek samping, keamanan dan interaksi dari methylprednisolone kita dapat mempelajari

4
obat ini lebih detail dan mampu mengaplikasikan penggunaannya dengan tepat.

1.2 Tujuan
Untuk mengetahui dan menambah wawasan mengenai obat methylprednisolone dan
penggunaannya dalam pratek klinik.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi dan Morfologi Obat


Methylprednisolone adalah kortikosteroid. Mekanisme kerja dari methylprednisolone
adalah sebagai Kortikosteroid hormon reseptor agonist . Methylprednisolone adalah
glukokortioid turunan prednisolon yang mempunyai efek kerja dan penggunaan yang sama
seperti senyawa induknya. Methylprednisolone adalah suatu glukokortikoid sintetik dan
diabsorpsi secara cepat melalui saluran pencernaan. Methylprednisolone merupakan
kortikosteroid dengan kerja intermediate yang termasuk kategori adrenokortikoid,
antiinflamasi dan imunosupresan.
Methylprednisolone nama kimianya 21-(acetyloxy)-11, 17-dihydroxy-6-methyl-,
(6(alpha), 11(beta)) pregna-1,4-diene-3, 20-dione. Methylprednisolone merupakan serbuk
kristalin berwarna putih, tidak berbau, meleleh pada 215° dengan sedikit penguraian. Larut
dalam dioksan, sedikit larut dalam aseton, etanol, metanol, kloroform, dan sedikit sekali larut
dalam eter. Methylprednisolone praktis tidak larut dalam air.

Gambar 1. Rumus Struktur Kimia Methylprednisolone

2.2. Farmakokinetik
Methylprednisolone diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian dosis oral.Konsentrasi
puncak setelah pemberian oral di plasma dicapai dalam waktu maksimal sekitar 1,5-2,3 jam.
Bioavabilitas absolut methylprednisolone pada subyek sehat yang normal umumnya tinggi
(82% sampai 89%) setelah pemberian oral. Ini artinya rata-rata konsentrasi puncak yang
dicapai adalah 1,1 – 2,2 jam.
Methylprednisolone secara luas didistribusikan ke seluruh tubuh dan digambarkan
oleh model 2-kompartemen. Volume rata-rata distribusi pada 34 sukarelawan dewasa berkisar
6
41- 61,5 L. Methylprednisolone didistribusikan secara luas kedalam jaringan, melintasi
penghalang darah-otak, penghalang plasenta, dan disekresi dalam ASI. Volume yang tampak
jelas dari distribusi adalah sekitar 1,4 L/kg. Protein plasma mengikat methylprednisolone
pada manusia adalah sekitar 77%. Methylprednisolone di metabolisme inaktif di hati, yang
utama 20α-hydroxymethylprednisolone and 20β-hydroxymethylprednisolone. Metabolisme
di hati terutama melalui enzim P3A4 enzyme. Methylprednisolone, seperti banyak substrat
P3A4, juga dapat menjadi substrat untuk ATP- binding cassette (ABC) protein transport p-
glikoprotein, mempengaruhi distribusi jaringan dan interaksi dengan obat lain.
Waktu paruh eliminasi total methylprednisolone adalah sekitar 1,8- 5,2 jam. Jumlah
pembersihan sekitar 5 sampai 6 mL/ menit/ kg. Setelah pemberian IV dari radiolabelled 6-
methylprednisolone untuk enam pasien kanker, 75% di ekskresikan di urin setelah 96 jam dan
9% di feses selama 5 hari 20% dari dosis total di ekskresikan dalam empedu.

2.3. Farmakodinamik
Methylprednisolone merupakan kortikosteroid dengan lama kerja
sedang/intermediate, yang termasuk kategori adrenokortikoid dan mempunyai efek
antiinflamasi dan imunosupresan.

Adrenokortikoid:

Sebagai adrenokortikoid, methylprednisolone berdifusi melewati membran dan


membentuk komplek dengan reseptor sitoplasmik spesifik. Komplek tersebut kemudian
memasuki inti sel, berikatan dengan DNA, dan menstimulasi rekaman messenger RNA
(mRNA) dan selanjutnya sintesis protein dari berbagai enzim akan bertanggung jawab pada
efek sistemik adrenokortikoid. Bagaimanapun, obat ini dapat menekan perekaman mRNA di
beberapa sel (contohnya: limfosit).

Efek Glukokortikoid:

Anti-inflamasi (steroidal)

Glukokortikoid menurunkan atau mencegah respon jaringan terhadap proses


inflamasi, karena itu menurunkan gejala inflamasi tanpa dipengaruhi penyebabnya.
Glukokortikoid menghambat akumulasi sel inflamasi, termasuk makrofag dan leukosit pada
lokasi inflamasi. Methylprednisolone juga menghambat fagositosis, pelepasan enzim

7
lisosomal, sintesis dan atau pelepasan beberapa mediator kimia inflamasi. Meskipun
mekanisme yang pasti belum diketahui secara lengkap, kemungkinan efeknya melalui
blokade faktor penghambat makrofag (MIF), menghambat lokalisasi makrofag: reduksi atau
dilatasi permeabilitas kapiler yang terinflamasi dan mengurangi lekatan leukosit pada
endotelium kapiler, menghambat pembentukan edema dan migrasi leukosit; dan
meningkatkan sintesis lipomodulin (macrocortin), suatu inhibitor fosfolipase A2-mediasi
pelepasan asam arakhidonat dari membran fosfolipid, dan hambatan selanjutnya terhadap
sintesis asam arakhidonat-mediator inflamasi derivat (prostaglandin, tromboksan dan
leukotrien). Kerja immunosupresan juga dapat mempengaruhi efek antiinflamasi.

Immunosupresan

Mekanisme kerja immunosupresan belum dimengerti secara lengkap tetapi


kemungkinan dengan pencegahan atau penekanan sel mediasi (hipersensitivitas tertunda)
reaksi imun seperti halnya tindakan yang lebih spesifik yang mempengaruhi respon imun,
Glukokortikoid mengurangi konsentrasi limfosit timus (T-limfosit), monosit, dan eosinofil.
Methylprednisolone juga menurunkan ikatan immunoglobulin ke reseptor permukaan sel dan
menghambat sintesis dan atau pelepasan interleukin, sehingga T-limfosit blastogenesis
menurun dan mengurangi perluasan respon immun primer. Glukokortikoid juga dapat
menurunkan lintasan kompleks immun melalui dasar membran, konsentrasi komponen
pelengkap dan immunoglobulin.

2.4 Indikasi
Methylprednisolone dapat digunakaan pada pengobatan kondisi berikut:
1) Gangguan endokrin
Insufisiensi adrenokortikal primer atau sekunder (hidrokortison atau kortison
merupakan obat pilihan meskipun analog sintetiknya dapat digunakan bersamaan
dengan mineralokortikoid pada kondisi yang cocok, suplementasi mineralokortikoid
penting untuk mengobatibayi dengan kondisi ini); hiperplasia adrenal kongenital,
tiroiditis nonsupuratif, dan hiperkalsemia yang berhubungan dengan kanker.

2) Gangguan reumatik
Sebagai terapi tambahan untuk pemberian jangka pendek (membantu pasien
melalui episode akut atau eksaserbasi) pada artritis psoriasis, artritis reumatoid (untuk

8
kasus tertentu memerlukan terapi dengan dosis pemeliharaan rendah); ankylosing
spondylitis; bursitis akut dan subakut,tenosinovitis akut nonspesifik; gout arthritis
akut; posttraumatic osteoarthritis; sinovitis pada osteoartritis; dan epikondilitis.

3) Penyakit kolagen
Digunakan pada saat eksaserbasi atau sebagai terapi pemeliharaan pada kasus
tertentu systemic lupus erythematosus dan reumatik karditis akut.

4) Penyakit dermatologi
Pemfigus, bullous dermatitis herpetiformis, erythema multiforme yang berat
(sindrom Steven-Johnson), dermatitis eksfoliatif, mycosis fungoides dan psoriasis
berat.

5) Keadaan alergi
Untuk mengontrol seasonal atau perennial allergic rhinitis, asma bronkial,
dermatitis kontak, atopik dermatitis, serum sickness, angioedema dan urtikaria berat
(tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari) dan tidak berhasil diatasi dengan
pengobatan konvensional yang adekuat.

6) Penyakit mata
Alergi akut dan kronik yang berat dan proses inflamasi pada mata dan bagian
mata yang lain, seperti konjungtivitis alergi, keratitis, allergic corneal marginal ulcers,
herpes zoster, ophthalmicus, iritis dan iridocyclitis, choriorenitis, inflamasi segmen
anterior, diffuse posterior uveitis dan choroiditis, optic neuritis dan sympathetic
ophthalmia.

7) Penyakit pernafasan
Glukokortikoid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator , tetapi
sebagai anti inflamasi. Obat ini bekerja menghambat produksi sitokin dan kemokin ,
menghambat sintesis eicosanoid, menghambat peningkatan eosinophil, basopohil,
leukosit lain di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas vaskuler.
Methylprednisolone dan golongan kortikostroid yang lain dapat di gunakan dalam
terapi asma bronchial.
Sarkoidosis simtomatik, sindrom Loeffler.s yang tidak dapat ditangani dengan cara
9
lain, beriliosis, tuberkulosis paru fulminan atau meyebar ketika secara bersamaan
dilakukan kemoterapi antituberkulosis, emfisema pulmonari di mana bronkospasme
atau bronchial edema mempunyai peranyang signifikan dan diffuse interstitial
pulmonary fibrosis (sindrom Hamman-Rich).

8) Gangguan hematologi
Idiopatik dan trombositopenia sekunder pada orang dewasa, acquired (auto-
immune) hemolytic anemia,eritroblastopenia (RBC anemia) dan anemia hipoplastik
kongenital (erythroid).

9) Penyakit neoplastik
Untuk penatalaksanaan paliatif leukemia, limfosarkoma dan limfoma pada dewasa
dan leukemia akut pada anak-anak.Keadaan edema untuk merangsang diuresis atau
remisi proteinuria pada sindrom nefrotik (non-uremic, tipe idiopatik atau yang
disebabkan oleh lupus erythematosus) dan digunakan bersama dengan obat-obat
diuretik, untuk merangsang diuresis pada gagal jantung kongestif yang refrakter dan
sirosis hati dengan asites refrakter.

10) Penyakit gastrointestinal


Untuk membantu pasien melalui masa kritis penyakit ulcerative colitis, regional
enteritis dan sariawan (sprue) yang sulit disembuhkan.

11) Lain-lain
Reaksi inflamasi pasca operasi gigi dan meningitis tuberkulosis dengan blok
subarachnoid atau blok yang terjadi jika diberikan bersamaan dengan kemoterapi
antituberkulosis.
2.5 Kontraindikasi
Kontraindikasi pemakaian methylprednisolone adalah penyakit jamur sistemik dan
Hipersensitif terhadap methylprednisolone atau glukokortikoid lainnya.
2.6 Efek Samping
Penyebab timbulnya efek samping dapat dikarenakan penghentian pemberian secara
tiba-tiba atau pemberian terus-menerus terutama dengan dosis besar. Pemberian dalam jangka
lama yang dihentikan tiba-tiba dapat menimbulkan insufisiensi adrenal akut dengan demam,
mialgia, atralgia dan malaise. Insufisiensi terjadi akibat kurang berfungsinya kelenjar adrenal
10
yang telah lama tidak memproduksi kortikosteroid endogen karena rendahnya mekanisme
umpan balik oleh kortikosteroid eksogen dalam hal ini metil prednisolon.
Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama ialah gangguan cairan dan elektrolit,
hiperglikemia dan glikosuria, mudah dan mendapat infeksi terutama tuberkulosis, pasien
tukak peptik mungkin dapat mengalami perdarahan atau perforasi, osteoporosis, fraktur
vetebra, miopati yang karakteristik, psikosis, habitus pasien Cushing (antara lain moon face,
buffalo hump, timbunan lemak supraklavikular, obesitas sentral, ekstremitas kurus, striae,
ekimosis, akne dan hirsutisme)

Methylprednisolone memberikan efek samping sebagai berikut :


 Insufisiensi adrenokortikal :
Dosis tinggi untuk periode lama dapat terjadi penurunan sekresi endogeneous
kortikosteroid dengan menekan pelepasan kortikotropin pituitary insufisiensi
adrenokortikal sekunder.

 Efek muskuloskeletal :
Nyeri atau lemah otot, penyembuhan luka yang tertunda, dan atropi matriks protein
tulang yang menyebabkan osteoporosis, retak tulang belakang karena tekanan,
nekrosis aseptik pangkal humerat atau femorat, atau retak patologi tulang panjang.

 Gangguan cairan dan elektrolit :


Retensi sodium yang menimbulkan edema, kekurangan kalium, hipokalemik
alkalosis, hipertensi, serangan jantung kongestif.

 Efek pada mata :


Katarak subkapsular posterior, peningkatan tekanan intra okular, glaukoma,
eksoftalmus.

 Efek endokrin :
Menstruasi yang tidak teratur, timbulnya keadaan cushingoid, hambatan pertumbuhan
pada anak, toleransi glukosa menurun, hiperglikemia, bahaya diabetes mellitus.

 Efek pada saluran cerna :

11
Mual, muntah, anoreksia yang berakibat turunnya berat badan, peningkatan selera
makan yang berakibat naiknya berat badan, diare atau konstipasi, distensi abdominal,
pankreatitis, iritasi lambung, ulceratif esofagitis.
Juga menimbulkan reaktivasi, perforasi, perdarahan dan penyembuhan peptik ulcer
yang tertunda.

 Efek sistem syaraf :


Sakit kepala, vertigo, insomnia, peningkatan aktivitas motor, iskemik neuropati,
abnormalitas EEG, konvulsi.

 Efek dermatologi :
Atropi kulit, jerawat, peningkatan keringat, hirsutisme, eritema fasial, striae, alergi
dermatitis, urtikaria, angiodema.

 Efek samping lain :


Penghentian pemakaian glukokortikoid secara tiba-tiba akan menimbulkan efek mual,
muntah, kehilangan nafsu makan, letargi, sakit kepala, demam, nyeri sendi,
deskuamasi, mialgia, kehilangan berat badan, dan atau hipotensi.

2.7 Interaksi Obat


Kombinasi kortikosteroid dengan obat anti-inflamasi nonsteroid meningkatkan risiko
terjadinya ulkus peptikum dan perdarahan gastrointestinal.Kortikosteroid dilaporkan
menimbulkan antagonis pada blokade neuromuskular yang disebabkan oleh pancuronium.
Obat-obat yang menginduksi enzim-enzim hepatik, seperti fenobarbital, fenitoin, dan
rifampisin dapat meningkatkan klirens methylprednisolone. Oleh sebab itu jika terapi
methylprednisolone diberikan bersama-sama obat-obat tersebut, maka dosis
methylprednisolone harus ditingkatkan untuk mendapatkan hasil sebagaimana yang
diharapkan. Obat-obat seperti troleandomisin and ketokonazol dapat menghambat
metabolisme methylprednisolone, dan akibatnya akan menurunkan klirens atau ekskresi
methylprednisolone. Oleh sebab itu jika diberikan bersamaan, maka dosis
methylprednisolone harus disesuaikan untuk menghindari toksisitas steroid.
Methylprednisolone dapat meningkatkan klirens aspirin dosis tinggi yang diberikan secara
kronis. Hal ini dapat menurunkan kadar salisilat di dalam serum, dan apabila terapi

12
methylprednisolone dihentikan akan meningkatkan risiko toksisitas salisilat. Aspirin harus
digunakan secara berhati-hati apabila diberikan bersama-sama dengan methylprednisolone
pada pasien yang menderita hipoprotrombinemia. Efek methylprednisolone pada terapi
antikoagulan oral bervariasi. Beberapa laporan menunjukkan adanya peningkatan dan laporan
lainnya menunjukkan adanya penurunan efek antikoagulan apabila diberikan bersama-sama
dengan methylprednisolone. Oleh sebab itu indeks koagulasi harus selalu dimonitor untuk
mempertahankan efek antikoagulan sebagaimana yang diharapkan.

2.8 Dosis dan sediaan


Sediaan oral Methylprednisolone (generik, medrol, meprolone) ; 2,4,8,16, 32 mg tablet.
Sediaan paranteral methylprednisolone asetat (generic, Depo-medrol) ; 20, 40, 80 mg/ mL
IM. Sediaan paranteral methylprednisolone sodium susinat (generik, solu- medrol) ; 40,125,
500, 1000 mg/vial injeksi.

Dewasa
Secara oral
Dosis awal pada dewasa dari methylprednisolone dapat bermacam-macam dari 4 mg –
48 mg per hari, dosis tunggal atau terbagi, tergantung keadaan penyakit diberikan bersamaan
dengan makanan.
Secara intramuskular atau intravena, 10-40 mg , diulangi sesuai keperluan.
 Untuk dosis tinggi (pulse terapi): intravena, 30 mg/ kgbb diberikan sekurang-
kurangnya 30 menit. Dosis dapat diulangi setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan.
 Untuk eksaserbasi akut pada sklerosis ganda: intramuskular atau intravena, 160 mg/
hari selama satu minggu, diikuti dengan 64 mg setiap hari selama satu bulan.
 Untuk pengobatan luka tulang punggung akut: intravena, 30 mg / kgbb diberikan
selama 15 menit, diikuti dengan 45 menit infus, 5,4 mg/ kgbb/ jam, selama 23 jam.
 Untuk pengobatan tambahan pada AIDS yang berhubungan dengan pneumosistis
carinii: intravena, 30 mg dua kali sehari pada hari pertama sampai kelima, 30 mg
sekali sehari pada hari keenam sampai kesepuluh, 15 mg sekali sehari pada hari ke
sebelas sampai dua puluh satu.
Bayi dan anak:
 Insufisiensi adrenokortikal: intramuskular 0,117 mg/ kg berat badan atau 3,33 mg/ m2
permukaan tubuh sehari (dalam dosis terbagi tiga) setiap hari ke tiga. Untuk

13
pengobatan luka tulang punggung akut: intravena, 30 mg/ kgbb diberikan selama 15
menit, diikuti selama 45 menit dengan infus 5,4 mg/ kgbb/ jam, selama 23 jam.
 Indikasi lain: intramuskular, 0,139-0,835 mg/ kgbb.
 Untuk pengobatan tambahan pada AIDS yang berhubungan dengan pneumosistis
carinii: Anak-anak berusia lebih dari 13 tahun: sama dengan dosis dewasa.

2.9 Nama Dagang

- Comedrol - Medixon
- Depomedrol - Medrol
- Flason - Meprilon
- Helixon - Metisol
- Intidrol - Metrison
- Lameson - Phadilon
- Prednicort - Prednox
- Pretilon - Rhemafar
- Sanexon - Solu-Medrol
- Somerol - Sonicor 4/ Sonicor 16
- Stenirol - Tisolon 4
- Tison - Toras
- Methylprednisolone Hexpharm - Urbason
- Methyprednisolone OGB Dexa

2.10 Peringatan
 Tidak dianjurkan untuk wanita hamil dan menyusui, kecuali memang benar-benar
dibutuhkan, dan bayi yang lahir dari ibu yang ketika hamil menerima terapi
kortikosteroid ini harus diperiksa. Kemungkinan adanya gejala hipoadrenalism.
 Pasien yang menerima terapi kortikosteroid ini dianjurkan tidak divaksinasi
terhadap smallpox, juga imunisasi lain terutama yang mendapat dosis tinggi, untuk
mencegah kemungkinan bahaya komplikasi neurologi.
 Penggunaaan jangka panjang pada bayi dan anak-anak harus hati-hati dan perlu
observasi karena dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak.
 Jika kortikosteroid digunakan pada pasien dengan TBC latent atau Tuber Culin
Reactivity perlu dilakukan pengawasan yang teliti sebagai pengaktifan kembali

14
penyakit yang dapat terjadi.
 Ada peningkatan efek kortikosteroid pada pasien dengan hipotiroidi dari cirrhosis.
 Tidak dianjurkan penggunaan pada penderita ocular herpes simplex, karena
kemungkinan terjadi perforasi corneal.
 Pemakaian obat ini dapat menekan gejala-gejala klinis dari suatu penyakit infeksi.
 Pemakaian jangka panjang dapat menurunkan daya tahan tubuh terhadap penyakit
infeksi.

 Kemasan dan Nomor Registrasi:


 METHYLPREDNISOLONE 4 mg : Kotak, 10 blister @ 10 tablet: No. Reg.
GKL0305035210A1
 METHYLPREDNISOLONE 8 mg : Kotak, 10 blister @ 10 tablet: No. Reg.
GKL0305035210B1
 METHYLPREDNISOLONE 16 mg : Kotak, 10 blister @ 10 tablet: No. Reg.
GKL0305035210C1

Cara penyimpanan:
Simpan ditempat kering dan sejuk, terlindung dari cahaya.
Sebelum dan sesudah rekonstitusi, simpan pada suhu antara 15-30oC.
Gunakan larutan sebelum 48 jam setelah direkonstitusi.

HARUS DENGAN RESEP DOKTER

SIMPAN PADA SUHU KAMAR (25-30)oC,


TERLINDUNG DARI CAHAYA

15
BAB III
PENUTUP

Methylprednisolone merupakan golongan glukokortikoid sintetik dengan struktur mirip


dengan hormon alami yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Methylprednisolone diabsorpsi
dengan cepat secara oral, dimetabolisme dihati, dan diekskresi lewat urin.
Methylprednisolone merupakan kortikosteroid dengan lama kerja sedang/intermediate,
yang termasuk kategori adrenokortikoid dan mempunyai efek antiinflamasi dan
imunosupresan. Diindikasikan pada pengobatan kondisi gangguan endokrin, gangguan
reumatik, penyakit kolagen, penyakit dermatologi, keadaan alergi, penyakit mata, penyakit
pernafasan, gangguan hematologi, penyakit neoplastik, dan penyakit gastrointestinal.
Kontraindikasi pada penyakit jamur sistemik dan hipersensitif terhadap methylprednisolone.
Efek samping dapat timbul dikarenakan penghentian pemberian secara tiba-tiba atau
pemberian terus-menerus terutama dengan dosis besar. Pemberian obat ini dapat berinteraksi
dengan obat-obatan yang menginduksi enzim-enzim hepatik. Pemberian methylprednisolone
tidak dianjurkan pada wanita hamil dan menyusui dan hati-hati pemberian pada bayi dan
anak.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Melamud B, Lurie Y, Goldin E, Levi I, Esayag Y. Methylprednisolon- Induced


Liver Injury: A Diagnostic Challenge. IMAJ. 2014;16:180-1.

2. Bell, LN Chalasani N. Epidemiology of Idiosyncratic Drug-Induced Liver Injury.


Semin Liver Dis. 2009;
29:337-47.

3. Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi ke-6. Chaidir Jusup et al,
alih bahasa. Agoes A, editor. Jakarta: EGC; 1998.h.619-21.

4. Topal F, Ozaslan E, Akbulut S, Kucukazman M, Yuksel O, Altıparmak E.


Methylprednisolone Induced Toxic Hepatitis. AnnPharmacother.
2006;40:1868-71.

5. Gutkowski K, Chwist A, Hartleb M. Liver Injury Induced by High-Dose


Methylprednisolone Therapy: A Case Report and Brief Review of Literature.
Hepat Mon.
2011;(11):656-61.

6. Nair AB, Jacob S. A Simple Practice Guide for Dose Conversion Between Animals
and Human. J Basic Clin Pharma. 2016; 7:27-31.

17

Anda mungkin juga menyukai