Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN

A. Apa Itu UUPA 1960

Tanah sangat penting artinya untuk hidup manusia, tanpa tanah manusia tidak akan dapat
hidup dan melaksanakan aktifitasnya. Karena begitu pentingnya tanah untuk hidup, maka tanah
harus dijaga, dirawat dan dilestarikan, disisi lain tanah tidak akan mungkin bertambah sedangkan
manusia setiap hari bertambah. Atas alasan ini maka setiap orang yang mempunyai tanah harus
dilindungi haknya dari penyerobotan pihak lain. Perlindungan yang dapat diperoleh oleh
masyarakat hanya dari pemerintah melalui aturan hukum yang jelas. Program pemerintah di
bidang pertanahan dikenal dengan Catur Tertib Pertanahan yaitu Tertib Hukum Pertanahan,
Tertib Administrasi Pertanahan, Tertib Penggunaan Tanah, Tertib Pemeliharaan Tanah dan
Kelestarian Lingkungan Hidup Dengan keluarnya Undang undang Pokok Agraria ( selanjutnya
disingkat UUPA) yaitu Undang-Undang No 5 Tahun 1960 maka terdapat Unifikasi hokum
dibidang pertanahan di Indonesia. Hukum Pertanahan memasuki babak baru bagi Indonesia
tentang sistem pertanahan guna menjamin kepastian hukum bagi setiap orang tentang
kepemilikan hak atas tanah .
Pasal 1 UUPA tersebut menyebutkan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan
tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Pasal 1 UUPA ini
adalah penjelmaan dari UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi di Indonesia jelasnya diatur
dalam Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi ; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk
mengimplementasikan pernyataan ini lahirlah Undang Undang No 5 Tahun 1960 Tentang
Undang Undang Pokok Agraria. Setelah lahirnya UUPA No.5 Tahun 1960 maka berakhirlah
dualism hukum yang mengatur pertanahan di Indonesia. Perubahan itu bersifat mendasar atau
fundamental pada hukum agraria di Indonesia terutama hukum dibidang pertanahan yang kita
sebut hukum Tanah yang dikalangan pemerintah disebut sebagai Hukum Agraria.
Sebelum berlakunya UUPA No. 5 Tahun 1960 ada bidang bidang tanah yang tunduk pada
hukum perdata barat dan ada yang tunduk pada hukum Adat, setelah berlakunya UUPA No. 5
Tahun 1960 hal ini tidak berarti bahwa hokum adat hilang sama sekali dalam sistem kepemilikan
tanah di wilayah Indonesia justru dalam menyusun Undang Undang pertanahan ini dilandasi oleh
hukum adat sebagai landasan filosofinya undang undang Pokok agraria, oleh karena rakyat
Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, hukum yang baru tersebut akan didasarkan
pula pada ketentuan hukum adat sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan sesuai dengan
kepentingan masyarakat yang modern.

B. Kedudukan Hak Tanah Ulayat Dalam UUPA 1960

Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu
kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat
hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi kebidupan dan penghidupan kelompok tersebut
sepanjang masa.
Disinilah sifat religius hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat
bersama dengan tanah ulayatnya ini. Adapaun tanah ulayat atau tanah bersama yang dalam hal
ini oleh kelompok di bawah pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat, misalnya adalah
hutan, tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar, penggembalaan, tanah bersama, dan
lain-lain yang pada intinya adalah demi keperluan bersama.
Pada dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi
pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-syarat tertentu, yaitu: “eksistensi” dan mengenai
pelaksananya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada.
Maksudnya adalah apabila di daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan
dihidupkan kembali.
Pelaksanaan tentang hak ulayat dalam UUPA diatur di dalam pasal 3 yang berbunyi
sebagai berikut : “Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak
bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sesuai
dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum (Angka H/3) disini ditegaskan pula bahwa
kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih
tinggi dan lebih luas".
Oleh sebab itu, pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, yaitu seakan-akan anggota-
anggota masyarakat iu sendirilah yang berhak atas tanah wilayahnya itu, dan seakan hanya di
peruntukan masyarakat hukum adat itu sendiri. Maka sikap yang demikianlah yang oleh UUPA
dianggap bertentangan, hal ini sesuai dengan asas-asas yang tercantum dalam pasal 1 dan 2.
Dalam UUPA dan hukum tanah nasional, bahwasanya hak ulayat tidak di hapus,
tetapi juga tidak akan mengaturnya, dalam artian adalah mengatur hak ulayat dapat berakibat
melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan
sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

C. Pengaturan Pembatasan Penguasaan dan Kepemilikan Tanah Pribadi

Dalam Pasal 7 UUPA ditentukan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum maka
pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Berdasarkan
ketentuan tersebut maka pemilikan dan penguasaan atas tanah oleh seseorang dibatasi. Perlu
adanya pembatasan pemilikan atau penguasaan atas tanah ini agar tidak terjadi ketimpangan
sosial dan agar tidak timbul tanah terlantar.
Dengan demikian agar tidak timbul tanah terlantar maka pemilik tanah
diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan tanah sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-
cara kekerasan seperti yang telah diatur dalam pasal 10 UUPA yang menentukan bahwa setiap
orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya
diwajibkan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara kekerasan.
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 dan Pasal 10 perlu diadakan penetapan batas maksimum
kepemilikan tanah oleh seseorang atau keluarganya. Ketentuan pokok mengenai penetapan batas
maksimum kepemilikan tanah diatur dalam Pasal 17 ayat dan UUPA. Pasal 17 ayat UUPA.
Mengenai peraturan pembatasan tanah hak milik non pertanian pada awalnya
diatur dalam Surat Keputusan No. 59/DDA/1970 mengenai penyederhanaan peraturan perizinan
pemindahan hak atas tanah, yang merupakan perubahan dari ketentuan Peraturan Menteri
Agraria No.14/1961. Walaupun aturan ini tidak dapat dikatanya sebagai pengaturan pembatasan
tanah hak milik non pertanian secara komperhensif dan utuh. Artinya dalam Surat Keputusan No.
59/DDA/1970 tidak hanya mengatur mengenai tanah hak milik non pertanian saja, tetapi juga
pengatur tanah dengan hak lainnya juga.
Dikatakan bersifat membatasi dikarenakan dalam pasal 2 ayat 2 Surat Keputusan No.
59/DDA/1970 menerangkan bahwa seseorang hanya dapat memiliki 5 bidang tanah dan jika
ingin memiliki bidang keenam dan seterusnya maka harus meminta izin kepada kantor
pertanahan. Terhadap ketentuan 5 bidang yang diatur dalam Surat Keputusan No. 59/DDA/1970
penguasannya berupa macam-macam hak, tidak hanya tanah hak milik saja melainkan seluruh
hak tanah yang dimiliki.

D. Reformasi UUPA 1960

Ketika Indonesia merdeka, karena berbagai keterbatasan, hukum Agraria warisan


Belanda ini kemudian diadopsi penuh sebagai rujukan hukum di bidang pertanahan. Namun,
dengan se-mangat ‘berdiri di atas kaki sendiri’ (Berdikari) yang dicadangkan Presiden Indonesia
waktu itu, Soekarno, pada tahun 1960 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
mengesahkan Un-dang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Kini, 38 tahun setelah diberlakukannya,
apakah UUPA ini masih relevan?
“Lahirnya UUPA pada saat itu dimaksudkan untuk mengeliminir penanaman modal asing
ke Indonesia,” ujar Erman Rajagukguk SH, LL.M, Phd, Wakil Sekretaris Kabinet RI yang juga
pakar hukum pertanahan. Padahal pada saat ini, Indonesia justru sedang membutuhkan aliran
modal asing, dan harus bersaing dengan negara-negara Asia lainnya yang menawarkan kemu-
dahan pengelolaan tanah di negara mereka masing-masing sebagai salah satu daya tarik
investasi. Oleh karena itu, Erman berpendapat, “Sudah saatnya perundangan pertanahan diubah
dan disesuaikan dengan konsentrasi pembangunan saat ini.”
Namun, pakar hukum yang lain berbeda pendapat. “Bukan undang-undangnya yang
salah, sumber daya yang memfungsikannya yang salah,” tegas Prof. Dr. Koesnadi
Hardjasoemantri, pakar hukum dari UGM, Yogyakarta “Peraturannya bunyinya gimana?
Pelaksanaannya bisa lain lagi,” tambahnya. Kurangnya kwalitas SDM pelaksana menjadikan
UUPA bagai badan tanpa kepala. “Aparatnya mesti lebih sadar hukum lagi agar pelaksanaan
Undang-Undang ini menjadi lebih lancar dan bebas hambatan,” tukas Koesnadi lagi.
Selain itu, pelaksanaan UUPA juga dihadang oleh kekuasaan. Undang-undang yang se-
benarnya difungsikan untuk kesejahteraan masyarakat, justru sering dikalahkan oleh keputusan-
keputusan presiden (Keppres), yang secara hukum berada dalam posisi yang lebih rendah. Ini
terlihat dari Keppres proyek pembebasan lahan di Jonggol, Bogor, Jawa Barat, yang sebenarnya
melanggar aturan Undang-undang yang berada di atasnya. Pakar hukum tanah dari UGM,
Yogyakarta, Maria S.W. Soemardjono berpendapat serupa. “Tak ada yang perlu dirubah dari
UUPA, sifatnya sudah cukup populis alias merakyat,” tandas Maria, “Masalahnya ya berkisar di
SDMnya yang sembarangan menerjemahkan peraturan,” tegasnya.
Dalam usianya yang mencapai 38 tahun, ada lima masalah di bidang pertanahan yang
sering mencuat ke permukaan, yaitu fungsi sosial tanah (pasal 6), batas maksimum pemilikan
tanah (pasal 7), pemilikan tanah guntai (pasal 10), monopoli pemilikan tanah (pasal 13), dan
penetapan ganti rugi tanah (pasal 18). Kelima hal ini –baik secara langsung maupun tidak-
memicu mun-culnya berbagai bentuk konflik pertanahan, yang tidak mudah diselesaikan.
Masalah menjadi semakin rumit, karena gencarnya aktivitas pembangunan menyebabkan
terlupakannya unsur keadilan di bidang pertanahan. Penerapan pasal 6 UUPA tentang fungsi
sosial tanah, misalnya, masih sering bias dalam praktek di lapangan.
Menurut butir II.4 penjelasan umum UUPA, fungsi sosial tanah berarti hak atas tanah apa
pun yang ada pada seseorang, tidak dapat dibenarkan tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak
dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu merugi-kan
masyarakat. Sementara itu, penerapan pasal 7 UUPA tentang batas maksimum pemilikan tanah,
dalam kenyataannya juga sering dilanggar. Berbagai kekisruhan yang terjadi selama
inimengindikasi-kan terjadinya penumpukan pemilikan tanah di satu pihak, sedangkan di pihak
lain, pemilikan tanah dikikis. Ketidakseimbangan dalam distribusi pemilikan tanah inilah –baik
untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian– yang menimbulkan ketimpangan baik secara
ekonomi, politis maupun sosiologis. Pada akhirnya, petani lapisan bawah yang memikul beban
terberat akibat ketidakseimbangan distribusi ini.
Di lain pihak niatan pemerintah untuk membagikan tanah pada masyarakat atau
landreform mendapatkan hambatan psikologis yang cukup besar, karena kebijakan ini dikaitkan
dengan dengan Partai Komunis Indonesia, yang pernah menggunakannya sebagai strategi untuk
mere-but hati rakyat. Padahal, dalam sejarahnya, landreform justru pertama kali dipopulerkan
oleh Amerika Seri-kat di Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Ahli tanah dari New York, Wolf
Ladeijensky, dikontrak untuk melancarkan kebijakan pembagian tanah ini guna menangkal
pengaruh komunisme. Na-mun, saat diundang oleh Presiden Soekarno untuk membantu
melakukan program serupa di Indonesia, Ladeijensky berpendapat program landreform ini akan
gagal di Indonesia, karena minimnya dana pemerintah yang dapat digunakan untuk membeli
tanah-tanah luas yang akan dibagikan. Jika konsistensi pemantaua batas pemilikan tanah terus
dijaga –baik batas maksimal maupun minimal– tentu persoalan keadilan di bidang pertanahan
tidak akan merebak.
Masalah lain yang mengganjal adalah berkembangnya nilai komoditas tanah, sehingga
di-perebutkan banyak orang untuk mengejar keuntungan ekonomi. Orientasi kerakyatan yang
menjadi semangat UUPA -paling tidak jika ditilik pada beberapa pasal yang berpihak pada
rakyat, serta ditetapkannya UU No. 2/1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (Tanah Pertanian) dan
UU No. 56 Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian-sedikit demi sedikit terkikis oleh
sifat kapitalistik.
Konflik muncul dari perbedaan kepentingan antara rakyat banyak yang membutuhkan
tanah sebagai sumber pokok kehidupan, dengan pihak-pihak lain yang membutuhkan tanah
tersebut untuk kegiatan ekonomi dalam skala besar. Meski tanah memang langka karena tidak
bisa di-perbaharui (unrenewable resources), silang sengketa antara rakyat dengan pemodal ini
lebih dise-babkan oleh ekspansi modal secara besar-besaran. Dalam konteks ini, para pemodal
diuntungkan oleh kebijakan ekonomi yang lebih condong pada pertumbuhan ketimbang
pemerataan ekonomi. Atas nama pembangunan, tanah-tanah ga-rapan petani atau tanah milik
masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal, yang memanfa-atkan peluang pengalihan hak
atas sumber-sumber agraria yang terdapat pada undang-undang buatan penguasa (negara).
Dengan demikian, muncul sumber konflik baru, yaitu antara para petani kecil
dengan para pemodal besar, yang bukan hanya didukung oleh perangkat hukum, tetapi juga
aparat keamanan. Inilah yang memunculkan gagasan untuk menyelenggarakan Pengadilan
Agraria (PA) yang mandiri, untuk menangani sengketa-sengketa agraria, baik yang bersifat
horisontal maupun ver-tikal. Pengadilan Agraria ini tidak sama dengan Pengadilan Landreform
yang diatur dalam UU No 21/1964 tentang, karena lebih mengacu kepada corak sengketa dan
model penanganannya. Dengan pendirian PA seperti ini, niscaya pemerintah dan masyarakat
akan dapat saling diun-tungkan, karena masalah sengketa pertanahan yang kerap terjadi bukan
melulu masalah aturan dan Undang-Undang tapi juga masalah perangkat keras pendukung dari
Undang-Undang dan sistem ketata negaraan sebuah negara.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

“Air, tanah dan udara adalah milik negara dan dimanfaatkan seluas-luasnya oleh negara
bagi kepentingan rakyat banyak” demikian bunyi pasal 33 dalam Undang-Undang Dasar
1945.Para Bapak Bangsa merumuskan pasal ini untuk menjamin distribusi kekayaan alam yang
adil bagi seluruh masyarakat. Namun, saat ini, 54 tahun setelah pasal tersebut dirumuskan,
apakah cita-cita pemerataan ini sudah tercapai?
DAFTAR PUSTAKA

Sartono, Kartodirjo. 1991. Sejarah Perkebunan Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media

Edi Kusmiadi. Modul 1 Pengertian dan Sejarah Perkembangan Pertanian. Pengantar Ilmu
Pertanian

Pelzer, Karl J. Toen Keboen dan Petani. Jakarta: Sinar Harapan

Anda mungkin juga menyukai