KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Dahsyat, Buku Laporan Pendahuluan Rencana Induk
Pelabuhan Aceh dapat selesai sesuai jadwal.
Sesuai dengan amanat undang-undang no 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, ps 172 dan
ps 173 bahwa adalah kewenangan dari pemerintahan Aceh untuk mengelola insfrastruktur
ekonomi Aceh termasuk didalamnya adalah pelabuhan laut. Permendagri no 8 tahun 2009
tentang pedoman pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah-urusan wajib bidang
perhubungan. Juga merupakan amanat dari rancangan qanun RTRW Aceh 2012-2032 ps 19 dan ps
20 bagian ketiga dalam sistem jaringan transportasi dan pelabuhan laut yang dikelompokkan
kedalam zona kerja berdasarkan letak geografis dan rencana pengembangan kawasan strategis
Aceh. Maka disusunlah Rencana Induk Pelabuhan Aceh 2013-2033.
Buku Rencana Induk Pelabuhan Aceh akan menjadi pedoman (guide book) dalam
mengembangkan pelabuhan-pelabuhan di Aceh. Hal ini penting untuk mengarahkan
pembangunan sesuai amanat undang-undang dan qanun Aceh, demi kemakmuran rakyat Aceh.
Buku Laporan Pendahuluan Rencana Induk Pelabuhan Aceh ini terdiri atas 5 bab dan 1 lampiran.
Bab 1 berisi pendahuluan, Bab 2 mengenai gambaran wilayah, Bab 3 mengenai metodologi dan
pendekatan, Bab 4 mengenai rencana kerja dan Bab 5 mengenai organisasi pelaksanaan
pekerjaan serta lampiran berisi mengenai form kebutuhan data sekunder dan primer.
Buku Laporan Pendahuluan Rencana Induk Pelabuhan Aceh ini akan mendapat masukan, saran,
rekomendasi dari berbagai pemangku kepentingan di Aceh pada pemaparan rencana kerja
konsultan di Kantor Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telematika Aceh.
i
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
DAFTAR ISI
ii
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
iii
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
iv
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
DAFTAR GAMBAR
v
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
vi
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
DAFTAR TABEL
vii
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
8
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
BAB I PENDAHULUAN
Pengembangan pelabuhan di Aceh dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh berpedoman pada
suatu tatanan kepelabuhanan yang secara hirarkhi dan terorganisasi dalam beberapa zona
pengembangan transportasi. Zona transportasi ini terbagi atas empat wilayah: Zona Pusat, Zona
Utara-Timur, Zona Barat-Selatan dan Zona Tenggara Selatan. Setiap zona diarahkan menjadikan
Pelabuhan sebagai titik simpul jaringan yang akan menjembatani ke simpul transportasi di luar
Aceh (skala regional, nasional dan internasional).
Persoalan lainnya adalah pembangunan sistem jaringan transportasi terpadu. Efektivitas sistem
jaringan transportasi Aceh masih jauh dari hasil yang diharapkan. Keberadaan pelabuhan-
pelabuhan di Aceh saat ini masih terkesan terpisah dengan moda jaringan transportasi lainnya.
Pembangunan yang dilaksanakan masih dijalankan secara terpisah diakibatkan berbagai
persoalan kelembagaan dan kewenangannya, pendanaan dan visi yang berbeda-beda di tiap
daerah.
Mendasari persoalan diatas, Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informasi dan Telamatika Aceh
bermaksud untuk menyiapkan suatu pedoman yang dapat menjadi arah pengembahan
pelabuhan Aceh sampai dengan tahun 2033.
Maksud dari pelaksanaan pekerjaan ini adalah tersusunnya Rencana Induk Pelabuhan Aceh tahun
2013-2033 yang menjadi pedoman perencanaan pembangunan dan pengembangan Pelabuhan
Aceh, sehingga pelaksanaan kegiatan pengembangan transportasi laut dapat dilakukan secara
terstruktur, menyeluruh dan tuntas, dan terpadu dengan moda transportasi lainnnya.
I-1
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Adapun beberapa lingkup pekerjaan penyusunan Rencana Induk Pelabuhan Aceh ini adalah :
a. Melakukan persiapan pelaksanaan pekerjaan;
b. Melakukan peninjauan lapangan;
c. Mengumpulkan data yang diperlukan;
d. Melakukan analisa data dan studi;
e. Mengevaluasi peraturan dan perundang-undangan yang berlaku terkait pelayanan
pelabuhan, pelayaran dan keimigrasian dan peraturan terkait lainnya;
f. Melakukan pengkajian tentang;
1. Kebutuhan akan ruang dan lahan
2. Perkembangan ekonomi daerah hinterland pelabuhan
3. Perkembangan industri yang terkait pada pelabuhan
4. Arus dan komposisi barang yang ada dan diperkirakan
5. Jenis dan ukuran kapal
6. Hubungan dengan transportasi darat dan perairan dengan wilayah hinterland-nya
7. Akses dari dan menuju laut/dermaga
8. Potensi pengembangan fisik
9. Aspek nautis dan hidraulik
10. Keamanan/keselamatan dan dampak lingkungan
11. Analisis ekonomi dan finansial
12. Fasilitas dan struktur yang ada
g. Menetapkan target pengembangan Pelabuhan dan fasilitas pendukung lainnya yang tesusun
secara terpadu; dan
h. Menyusun Buku Rencana Induk Pelabuhan aceh .
Hasil yang diharapkan dari Konsultan adalah tersusunnya Buku/Dokumen Rencana Induk
Pelabuhan Aceh yang sesuai dengan Rencana umum Tata Ruang Aceh (RTRW) Aceh.
Adapun ruang lingkup wilayah yang menjadi batasan perencanaan pekerjaan Rencana Induk
Pelabuhan Aceh ini adalah Provinsi Aceh, yang memiliki 23 Kab/Kota. (Lihat Gambar Wilayah
Administrasi)
Buku Laporan Pendahuluan ini terdiri atas lima (5) bab, yang diawali dengan Bab I Pendahuluan
yang menguraikan tentang latar belakang, maksud, tujuan dan ruang lingkup pekerjaan yang
akan dikerjakan oleh konsultan pelaksana.
Bab II Gambaran Umum Wilayah Studi yang menguraikan tentang 4 hal pokok. Satu (1) mengenai
kondisi fisik dan lingkungan geografi yang menguraikan tentang topografi, geologi dan jenis
I-2
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
tanah, iklim dan hidrologi, kondisi social ekonomi. Kedua (2) mengenai kondisi social ekonomi,
yang menguraikan tentang demografi kependudukan, struktur ekonomi, pertumbuhan ekonomi.
Ketiga (3) Mengenai transportasi, yang menguraikan tentang transportasi darat, jaringan jalan,
terminal angkutan umum, pelabuhan angkutan sungai dan perairan (ASDP), system transportasi
laut yang menguraikan tentang lokasi pelabuhan laut dan rute pelabuhan laut. Sistem
transportasi udara, yang menguraikan tentang lokasi Bandar udara, kelas Bandar udara, rute
penerbangan bandar udara. Keempat (4) mengenai tinjauan kebijakan dan rencana yang ada di
wilayah Aceh, didalamnya akan menguraikan kebijakan yang terkait seperti rencana program
jangka menengah daerah (RPJMD), rencana tata ruang wilayah (RTRW) Aceh, Master Plan
Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), Cetak Biru Pengembangan Sistem
Logistik Nasional, undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan
presiden, keputusan menteri, dan keputusan gubernur Aceh yang terkait dengan penyusunan
Rencana Induk Pelabuhan Aceh ini.
Bab III Metodologi dan Pendekatan yang menguraikan tentang metode dan pendekatan
pekerjaan yang akan dilakukan. (tambahkan setelah melihat tulisan pak Lutfi)
Bab IV Rencana kerja yang menguraikan tentang tahapan pekerjaan, system pelaporan yang akan
dilaksanakan, dan jadwal pelaksanaan pekerjaan.
Bab V Organisasi pelaksana pekerjaan yang menguraikan tentang kebutuhan tenaga ahli, tugas
dan tanggungjawab tenaga ahli, struktur organisasi tim tenaga ahli, jadwal penugasan personil.
Lampiran yang berisi mengenai form survey data sekunder maupun primer. Form data sekunder,
Daftar Pelabuhan Aceh, Form Survei Asal Tujuan penumpang (on-board) FSK-1. Survei
Perhitungan Jumlah Penumpang Kapal Laut (On Board), Survei Asal Tujuan Barang Kapal Laut (On
Board), Form Wawancara Dan Isian Data Untuk Pengelola Pelabuhan - FORM SP-1, Data Lain Yang
Diminta Dari Pengelola Pelabuhan (Copy Data)- Lampiran Form SP-1, Form Survei Wawancara
Pengelola Pelabuhan, Form Wawancara Dan Isian Data Untuk Perusahaan Pelayaran - FORM SP-2,
Data Yang Diminta Dari Perusahaan Pelayaran (Copy Data)-Lampiran Form SP-2, Form Survei
Wawancara Pengelola Pelabuhan.
I-3
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
I-4
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
I-1
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Selaras dengan penetapan dalam UU No. 26 Tahun 2007 dan PP No.26 Tahun 2008, bahwa ruang
adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi
sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan
memelihara kelangsungan hidupnya; maka ruang wilayah Aceh dalam konteks RTRWA (Rencana
Tata Ruang Wilayah Aceh) meliputi: wilayah daratan, wilayah laut, wilayah udara, dan dalam
bumi.
Berdasarkan Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : 50.000, wilayah daratan Aceh secara geografis
terletak pada 020 00’ 00” – 060 00’ 00” LU dan 950 00’ 00” – 980 30’ 00” BT. Dengan batas-
batas wilayah adalah:
Luas wilayah daratan Aceh adalah 56.758,8482 Km2 atau 5.675.840,82 Ha, yang meliputi daratan
utama di Pulau Sumatera, pulau-pulau besar dan pulau-pulau kecil.
Berdasarkan penetapan UU 32/2004 Pasal 18 ayat (4), maka selain wilayah daratan yang akan
menjadi lingkup wilayah perencanaan RTRW Aceh juga tercakup wilayah laut kewenangan
pengelolaan (WLK) Provinsi Aceh sejauh 12 (dua belas) mil-laut dari garis pangkal ke arah laut
lepas. Wilayah laut kewenangan tersebut terdapat atau terletak di Samudera Hindia, Laut
Andaman, dan Selatan Malaka, dengan luas Berdasarkan PP no 37 tahun 2008 yang merupakan
refisi PP no 38 tahun 2002 tentang titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia luas laut
kewenangan Aceh Adalah 74.798,02 km2 atau 7.478.801,59 Ha bila ditambah dengan kawasan
gugusan karang melati seluas 14.249,86 km2 atau 1.424.986,18 Ha, luas laut kewenangan Aceh
menjadi 89.047,88 km2 atau 8.904.787,77 Ha.
Wilayah udara Aceh adalah ruang udara yang yang terletak di atas wilayah darat dan wilayah laut
tersebut, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Wilayah dalam bumi Aceh adalah ruang dalam bumi yang terletak di bawah wilayah darat dan
wilayah laut tersebut, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
II - 1
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
dalam UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pembagian administrasi pemerintahan
kabupaten/kota terdiri berturut-turut atas: kecamatan, mukim, dan gampong.
II - 2
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 3
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Kabupaten/kota pada tahun 2008 dengan jumlah penduduk terbesar adalah Kabupaten Aceh
Utara (541.878 jiwa) dan jumlah penduduk terkecil adalah Kota Sabang (31.355 jiwa). Bila sebaran
penduduk dilihat menurut masing-masing bagian wilayah Aceh, dapat ditunjukkan sebagai
berikut:
di pesisir timur, mulai dari Pidie sampai Aceh Tamiang, jumlah penduduk adalah 2.417.712 jiwa
atau 52.59% dari penduduk Aceh;
di sekitar Banda Aceh, yang meliputi Banda Aceh, Aceh Besar, dan Sabang, jumlah penduduk
adalah 619.381 jiwa atau 13.47% dari penduduk Aceh;
di pesisir barat, mulai dari Aceh Jaya sampai Subulussalam/Aceh Singkil dan Simeulue, jumlah
penduduk adalah 991.103 jiwa atau 21.56% dari jumlah penduduk Aceh;
di bagian tengah (pegunungan/dataran tinggi), yang meliputi Aceh Tengah, Bener Meriah,
Gayo Lues, dan Aceh Tenggara, jumlah penduduk adalah 569.112 jiwa atau 12.38% dari
penduduk Aceh.
II - 4
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 5
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Pada wilayah pesisir utara dan timur dari Banda Aceh sampai Langsa/Aceh Timur dan pesisir barat
dari Aceh Jaya sampai Aceh Barat Daya suku asli yang dominan adalah suku Aceh dengan bahasa
Aceh. Pada wilayah pesisir timur yang berbatasan dengan Sumatera Utara terdapat suku Tamiang
dengan Bahasa Tamiang.
Pada wilayah bagian tengah terdapat suku asli Gayo dengan bahasa Gayo (Aceh Tengah, Bener
Meriah, dan Gayo Lues), dan suku asli Alas dengan bahasa Alas (Aceh Tenggara).
Pada wilayah pesisir barat bagian selatan terdapat suku Singkil dengan bahasa Julu, Aneuk
Jamee, Pak-Pak, Halaban, Nias (Aceh Singkil, Subulussalam), suku Aneuk Jamee dan Kluet dengan
bahasa Aceh, Aneuk Jamee, Kluet (Aceh Selatan). Dan di Pulau Simeulue terdapat suku Simeulue
dengan bahasa Devayan, Aneuk Jamee, Sigulai, Leko.
II - 6
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Selain penduduk asli di atas, penduduk Aceh juga berasal dari pendatang, yang bervariasi: Jawa,
Melayu, Batak, Karo, Mandailing, Minang, Nias, dan Cina, yang tersebar di kabupaten dan kota di
Aceh.
II.2.2 Ketinggian/Elevasi
Di pesisir timur, bagian wilayah dengan ketinggian < 500 meter di atas permukaan laut (dpl)
relatif lebih ”merata” lebarnya dari garis pantai, sementara di pesisir barat menunjukkan kondisi
yang relatif lebih lebar di sekitar Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Singkil, dan Subulussalam;
sementara yang relatif sangat sempit di sekitar Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Selatan, dan Aceh
Barat Daya. Ketinggian di atas 3.000 m dpl terdapat di kompleks Gunung Leuser.
II - 7
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 8
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 9
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Kondisi fisiografi wilayah Aceh di daratan Pulau Sumatera (mainland) dapat dikelompokkan atas
empat kelompok utama, yaitu : dataran rendah, pegunungan bagian utara, pegunungan bagian
tengah, dan pegunungan bagian selatan.
Dataran rendah di bagian barat terdapat terletak sejak dari sekitar muara Sungai Alas/Singkil,
muara Krueng Tripa, sampai muara Krueng Teunom. Dataran ini berhampiran atau diapit oleh
barisan pegunungan berlereng terjal yang merupakan tempat mengalirnya sungai-sungai yang
relatif pendek dan deras ke bagian lembah yang datar di pesisir. Fisiografi yang demikian disertai
dengan curah hujan yang tinggi menyebabkan bagian muara sungai tidak mampu menampung
volume air, sehingga selalu tergenang dan membentuk kawasan berawa-rawa. Dataran rendah di
bagian timur wilayah mempunyai alur yang cukup lebar, mulai dari perbatasan Aceh dan Provinsi
Sumatera Utara yang selanjutnya menyempit di sekitar pesisir Peudada sampai di kaki Gunung
Seulawah. Dataran rendah di bagian utara, merupakan lembah sungai Krueng Aceh yang terletak
di Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh.
Pegunungan bagian utara terletak di Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Jaya, dan Aceh Barat.
Pegunungan bagian utara ini merupakan bukit-bukit yang saling terpisah, yang antara lain terdiri
atas Kompleks Gunung Seulawah (1.762 m), Kompleks Gunung Ulu Masen (2.390 m), dan
Komplek Gunung Peut Sagoe (2.780 m). Selain itu, terdapat patahan turun lembah Krueng Aceh
yang diduga belum sepenuhnya stabil, sehingga sewaktu-waktu potensial terjadi getaran di
permukaan bumi (gempa). Pada bagian wilayah ini terdapat dataran tinggi, yaitu Dataran Tinggi
Tangse (dan Geumpang).
Pegunungan bagian tengah terletak di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Nagan Raya.
Pegunungan bagian tengah ini mempunyai lereng yang sangat curam sehingga sulit dilalui, yang
ditandai oleh keberadaan antara lain Kompleks Gunung Geureudong/Burni Telong (2.556 m) dan
Kompleks Gunung Ucap Malu (3.187 m). Pada pegunungan bagian tengah ini terdapat dataran
tinggi, yaitu Dataran Tinggi Gayo, dan terdapat danau yaitu Danau Laut Tawar.
Pegunungan bagian selatan terletak di Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Barat Daya,
dan Aceh Selatan. Pegunungan bagian selatan ini terdiri dari tiga baris pegunungan sejajar.
Jajaran paling selatan dengan dengan pegunungan paling tinggi adalah Gunung Leuser (3.466 m)
yang merupakan gunung tertinggi di Aceh. Jajaran di tengah relatif lebih rendah, sementara
jajaran di utara kembali naik lebih tinggi. Pada jajaran di tengah tersebut terdapat dataran tinggi,
yang dikenal dengan Dataran Tinggi Alas; dan mengalir Sungai Alas, yang seperti halnya dengan
Krueng Aceh, mengalir di atas patahan turun (slank).
II.2.5 Klimatologi
Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt Fergusson wilayah Aceh termasuk pada tipe iklim
tropis. Berdasarkan pantauan dari 3 stasiun klimatologi yaitu stasiun Blang Bintang (Aceh Besar),
Sabang, dan Meulaboh (Aceh Barat), musim hujan terjadi pada bulan Agustus sampai Januari dan
musim kemarau pada bulan Februari sampai Juli.
II - 10
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Dari ketiga stasiun klimatologi tersebut, gambaran kondisi iklim wilayah Aceh adalah sebagai
berikut :
a. Stasiun Blang Bintang : curah hujan rata-rata 1.250 – 2.000 mm/tahun, dengan hari hujan rata-
rata 13 hari/bulan, suhu udara rata-rata berkisar 25 – 28 oC, kelembaban nisbi rata-rata 69 – 90
%, serta kecepatan angin 2,0 – 4,0 knot.
b. Stasiun Sabang : curah hujan rata-rata 2.000 – 2.500 mm/tahun, dengan hari hujan rata-rata 7
hari/bulan, suhu udara rata-rata berkisar 26 – 27,5 oC, kelembaban nisbi rata-rata 73 – 86 %,
serta kecepatan angin 3,0 – 11,0 knot.
c. Stasiun Meulaboh : curah hujan rata-rata 2.500 – 3.500 mm/tahun, dengan hari hujan rata-rata
17 hari/bulan, suhu udara rata-rata berkisar 21 – 31 oC, kelembaban nisbi rata-rata 69 – 96 %,
serta kecepatan angin 5,0 – 7,0 knot.
Jenis tanah organosol dan glei humus dominan tersebar di pesisir barat, yang relatif luas, yaitu di
Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Selatan bagian selatan, Aceh Singkil, dan Subulussalam; dan di
pesisir timur, yang relatif sempit dan memanjang mengikuti garis pantai, yaitu di Aceh Timur,
Aceh Utara, Bireuen, dan Pidie Jaya.
Jenis tanah aluvial yang terletak di pesisir yaitu di Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara sampai Aceh
Timur dan Aceh Tamiang; sementara di dataran tinggi terdapat pada tepi alur sungai Lawe Alas di
Aceh Tenggara. Selain itu di pulau-pulau terdapat di Simeulue, Kepulauan Banyak, dan Pulau
Breueh. Jenis tanah hidromorf kelabu terdapat memanjang dan setempat di Aceh Utara sampai
Aceh Timur dan Aceh Tamiang. Jenis tanah regosol relatif sangat sedikit, yaitu di pesisir Aceh
Besar yang menerus ke Pidie, dan setempat-setempat di sekitar Gunung Leuser dan di Aceh
Tenggara.
Jenis tanah podsolik merah kuning (PMK) terdapat hampir di semua kabupaten/kota baik di
pesisir maupun di dataran tinggi/pegunungan. Jenis tanah PMK yang terdapat di pesisir
berhadapan langsung dengan garis pantai antara lain terdapat di Aceh Jaya, Aceh Barat Daya
sampai Aceh Selatan; pada lini di belakang pesisir tersebut terdapat di Aceh Barat, Nagan Raya,
Subulussalam, memanjang sejak dari Pidie sampai ke Aceh Tamiang. Sementara di dataran tinggi
terdapat di Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara. Selain itu terdapat
sedikit di Pulau Simeulue bagian barat.
Jenis tanah renzina sangat sedikit dan hampir tidak teridientifikasi pada peta. Jenis tanah andosol
terdapat di sekitar punggungan gunung-gunung utama yaitu di G. Seulawah, G. Peut Sagoe, G.
Geureudong, dan G. Leuser. Jenis tanah litosol berhampiran dengan andosol dan di pegunungan
II - 11
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
lainnya, yang terdapat di sekitar G. Seulawah, G. Ulu Masen, G. Peut Sagoe, G. Geureudong, dan
punggungan pegunungan/perbukitan lainnya di Nagan Raya, Aceh Jaya, dan Pidie.
Komplek PMK dan litosol dengan sebaran sedikit di pegunungan perbatasan Pidie – Aceh Jaya –
Aceh Besar, dan sebaran yang agak dominan di Pulau Simeulue dan Kepulauan Banyak. Komplek
PMK, latosol, litosol, tersebar di dataran tinggi/pegunungan, sejak dari Aceh Besar, Aceh Jaya dan
Pidie teus ke arah selatan/tenggara hingga ke Aceh Tenggara dan Aceh Tamiang. Komplek
podsolik coklat, podsol, dan litosol, juga terdapat di dataran tinggi/pegunungan yaitu sejak dari
Pidie, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara. Komplek renzina dan litosol tersebar pada
lereng pegunungan setempat, terdapat di Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat dan Nagan Raya,
Aceh Selatan, dan memanjang dari Aceh Timur sampai Aceh Tamiang.
Pada bagian wilayah pegunungan tengah ini sangat menonjol sistem lahan BPD (Bukit Pandan)
dengan karakteristik utamanya antara lain peka gerakan tanah/longsor, lereng >60%, sistem
drainase dendritik, dan curah hujan yang tinggi. Sistem lahan BPD ini sangat dominan di dalam
Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), dan juga terdapat di Kawasan Ekosistem Ulu Masen. Selain
sistem lahan BPD tersebut, di bagian wilayah pegunungan tengah ini juga terdapat sistem lahan
lainnya seperti: PDH (Pendreh) dan TWI (Telawi), yang keduanya mempunyai lereng >60%. Selain
itu terdapat juga sistem lahan BYN (Bukit Ayun) dan GGD (Gunung Gedang), seperti pada
pegunungan perbatasan Aceh Besar dan Aceh Jaya.
Pada bagian wilayah pesisir timur ini sangat menonjol sistem lahan KHY (Kahayan), yang terdapat
terutama di lembah Krueng Aceh (Banda Aceh dan sekitarnya), pesisir Kabupaten Pidie, Pidie
Jaya, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang. Selain itu setempat-setempat terdapat
sistem lahan: MPT (Maput), AMI (Alur Menani), dan MBI (Muara Beliti).
Pada bagian wilayah pesisir barat ini, di kawasan yang berupa rawa tedapat sistem lahan MDW
(Mendawai) yaitu di Rawa Singkil, dan sistem lahan BBK (Benjah Bekasik) yaitu di Rawa Tripa.
Selain itu setempat-setempat terdapat sistem lahan PTG (Putting), MPT (Maput), dan TNJ
(Tanjung).
Selain itu, khusus yang terletak di sekitar gunung-gunung utama di Aceh, dengan sistem lahan
yang menonjol adalah sebagai berikut:
Di kompleks Gunung Seulawah, yang menonjol adalah sistem lahan SBB (Sibual-buali) dengan
kawasan di kaki sebelah utaranya adalah sistem lahan BPP (Batang Pelepat) dengan karakter
dominan lereng >60%;
II - 12
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Di kompleks Gunung Peut Sago, yang menonjol adalah sistem lahan BBG (Bukit Balang)
dengan kawasan di sekitarnya dengan sistem lahan PDH (Pendreh) dengan karakter dominan
lereng >60%;
Di kompleks Gunung Geureudong, yang menonjol adalah sistem lahan TGM (Tanggamus)
dengan kawasan sekitarnya dengan sistem lahan TLU (Talamau).
Sejalan dengan itu pada peta hidrogeologi dapat diidentifikasikan jenis litologi batuan
(lithological rock types) serta potensi dan prospek air tanah (groundwater potential and
prospects). Berturut-turut relatif dari kompleks punggungan hingga ke pesisir atau pantai dapat
diidentifikasikan jenis litologi batuan sebagai berikut:
batuan beku atau malihan (igneous or metamorphic rocks) terletak pada kompleks
pegunungan mulai dari puncak atau punggungan; dengan potensi air tanah sangat rendah;
sedimen padu - tak terbedakan (consolidated sediment – undifferentiated) terletak di bagian
bawah/hilir batuan beku di atas namun masih pada kompleks pegunungan hingga ke kaki
pegunungan, dan juga terdapat di Pulau Simeulue; dengan potensi air tanah yang juga sangat
rendah;
batu gamping atau dolomit (limestones or dolomites), yang terletak setempat-setempat,
yaitu di pegunungan di bagian barat laut Aceh Besar (sekitar Peukan Bada dan Lhok Nga), di
Aceh Jaya, di Gayo Lues dan Aceh Timur; dengan potensi air tanah yang juga sangat rendah;
hasil gunung api – lava, lahar, tufa, breksi (volcanic products – lava, lahar, tuff, breccia)
terutama terdapat di sekitar gunung berapi, terutama yang teridentifikasi terdapat di sekitar
G. Geureudong, G. Seulawah, dan G. Peut Sagoe; dengan potensi air tanah rendah;
sedimen lepas atau setengah padu – kerikil, pasir, lanau, lempung (loose or semi-consolidated
sediment (gravel, sand, silt, clay) yang terdapat di bagian paling bawah/hilir yaitu di pesisir,
baik di pesisir timur maupun pesisir barat dan di cekungan Krueng Aceh; dengan potensi air
tanah sedang sampai tinggi.
Pada Gambar tersebut juga ditunjukkan adanya indikasi sesar/patahan yang relatif memanjang
mengikuti pola pegunungan yang ada di wilayah Aceh (relatif berarah barat laut – tenggara).
Terkait dengan aspek hidrogeologi di atas, selanjutnya dikemukakan juga mengenai cekungan air
tanah (CAT) yang ada di wilayah Aceh. Dengan mengacu kepada Atlas Cekungan Air Tanah
Indonesia yang diterbitkan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2009, pada
halaman lembar Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dapat diidentifikasikan ada 14 (empat
belas) Cekungan Air Tanah (CAT) di wilayah Aceh
II - 13
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Pada beberapa muara sungai, endapan sedimen yang terjadi telah menyebabkan hambatan aliran
banjir dan mengganggu lalu-lintas kapal/perahu nelayan, yaitu di muara: Krueng Aceh (Banda
Aceh/Aceh Besar), Krueng Baro dan Krueng Ulim (Pidie), Krueng Peudada (Bireuen), Krueng Idi
(Aceh Timur), Krueng Langsa (Langsa), Krueng Tamiang (Aceh Tamiang), Krueng Teunom (Aceh
II - 14
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Jaya), Krueng Meureubo (Aceh Barat), Krueng Seunagan dan Krueng Tripa (Nagan Raya), Lawe
Alas – Krueng Singkil (Gayo Lues, Aceh Tenggara, Subulussalam, dan Aceh Singkil).
Sebaran keanekaragaman hayati tersebut merupakan salah satu faktor penting dalam penetapan
Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang terletak sebagian terbesar di Aceh dan sebagian lagi di
Provinsi Sumatera Utara. Sehubungan dengan keanekaragaman hayati tersebut juga
diinformasikan tentang sebaran jenis fauna yang merupakan spesies “payung” (umbrella species)
dalam ekosistem tersebut, yaitu gajah, harimau, orangutan, dan badak seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 1.2.14 serta masing-masing untuk habitat gajah pada Gambar 1.2.15 untuk habitat
harimau pada Gambar 1.2.16 habitat orangutan pada Gambar 1.2.17 dan habitat badak pada
Gambar 1.2.18..
II - 15
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Di samping sebaran “spesies payung” tersebut, wilayah Aceh juga memiliki kawasan
keanekaragaman hayati penting lainnya, yaitu: “Ecofloristic” seperti ditunjukkan pada Gambar
1.2.19 Kawasan Penting Burung (Important Bird Areas/IBA) dan Kawasan Kunci Keaneka-ragaman
Hayati (Key Biodiversity Areas/KBA) seperti ditunjukkan pada Gambar 1.2.20 Berdasarkan data
dari For TRUST (Forum Tata Ruang Sumatera), bila dilakukan tumpang tindih (super impose)
seluruh data keanekaragaman hayati tersebut, maka akan diperoleh kawasan keanekaragaman
hayati di Aceh yang perlu dilindungi, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.2.13 di depan.
Sehubungan dengan sebaran keanekaragaman hayati di wilayah Aceh, maka di luar Kawasan
Ekosistem Leuser (KEL) yang telah ditetapkan juga terdapat kawasan ekosistem lainnya yang
telah dikaji yang akan mengakomodasi keanekaragaman hayati ini di bagian wilayah lainnya yaitu
di Kawasan Ekosistem Ulu Masen. Pada Gambar 1.2.21 ditunjukkan Kawasan Ekosistem Leuser dan
Kawasan Ekosistem Ulu Masen di Aceh.
II - 16
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
golongan A dan golongan B (atau di luar bahan galian) seperti pada Tabel I.2.17 yang kemudian
dirincikan lagi pada Tabel I.2.18 dan Tabel I.2.19. Khusus untuk bahan tambang yang merupakan
bahan galian (atau dahulu dikenal dengan golongan C) dirincikan pada Tabel I.2.20.
Selanjutnya secara khusus untuk jenis mineral logam dan mineral bukan logam digambarkan
sebarannya seperti pada Gambar 1.2.22 dan Gambar 1.2.23.
Secara khusus untuk bahan tambang berupa air tanah, potensi dan sebarannya telah dijelaskan
pada pembahasan hidrogeologi khususnya mengenai cekungan air tanah di depan.
Dari pembacaan pada tabel-tabel dan gambar-gambar tersebut, dari sudut pandang tata ruang
dapat diindikasikan bahwa bahan-bahan tambang yang potensial terdapat baik pada atau di
bawah permukaan kawasan budidaya dan kawasan lindung.
II - 17
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 18
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Berdasarkan penetapan UU 32/2004 Pasal 18 ayat (4), maka selain wilayah daratan yang akan
menjadi lingkup wilayah perencanaan RTRW Aceh juga tercakup wilayah laut kewenangan
pengelolaan (WLK) Aceh sejauh 12 (dua belas) mil-laut dari garis pantai terluar ke arah laut lepas.
Dengan demikian maka wilayah laut kewenangan tersebut terdapat atau terletak di Samudera
Hindia, Laut Andaman, dan Selat Malaka. Adalah 74.798,02 km2 atau 7.478.801,59 Ha bila
ditambah dengan kawasan gugusan karang melati seluas 14.249,86 km2 atau 1.424.986,18 Ha,
luas laut kewenangan Aceh menjadi 89.047,88 km2 atau 8.904.787,77 Ha.
Selain daratan utama (mainland) Pulau Sumatera, wilayah Aceh juga mencakup pulau-pulau besar
dan kecil, yaitu sejumlah 119 pulau (sumber: RUTRW Pesisir Prov. NAD, 2007. Data dari
Departemen Dalam Negeri menyebutkan di Aceh terdapat pulau sejumlah 663 pulau, dengan
rincian: 205 pulau telah bernama, dan 458 pulau belum bernama) . Di antara pulau-pulau tersebut,
teridentifikasi paling tidak ada 9 pulau yang berpenghuni atau didiami penduduk, yaitu: Pulau
II - 19
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Simeulue (Kab. Simeulue), Pulau Tuangku, Pulau Ujungbatu, Pulau Balai (di Kepulauan Banyak
Kab. Aceh Singkil), Pulau Weh (Kota Sabang), Pulau Breueh, Pulau Nasi, Pulau Bunta (di Pulo Aceh
Kab. Aceh Besar). Pulau-pulau lainnya relatif merupakan pulau-pulau kecil. Gugus pulau-pulau
kecil dengan jumlah pulau-pulau kecil yang relatif banyak adalah di perairan Kepulauan Banyak
Kabupaten Aceh Singkil, yang terdiri atas 99 pulau.
Untuk memudahkan dalam identifikasi distribusi objek-objek wisata yang ada, maka dibuat
cluster yang berdasarkan pada 4 faktor yang dianggap penting, faktor itu adalah (i) faktor letak
geografis yaitu kedekatan satu wilayah dengan wilayah yang lainnya, (ii) faktor jarak yaitu jarak
dari satu wilayah dengan wilayah yang lainnya, (iii) faktor aksesibilitas yaitu tingkat kemudahan
pencapaian baik jalur transportasi maupun angkutan, dan (iv) faktor pelayanan kota yaitu pelayan
suatu kota terhadap kebutuhan dari pada penduduknya.
ARAHAN
CLUSTER OBJEK WISATA UNGGULAN
PENGEMBANGAN
Cluster Banda Aceh - Mesjid Raya Baiturrahman, bekas- Diarahkan menjadi
Sabang bekas tsunami, Kherkhof, Pantai ODTW Alam dan
Gapang, Taman Laut Pulau Rubiah, Budaya
dan Pantai Iboih
Cluster Aceh Besar - Pidie Pantai Pelabuhan Malahayati, Diarahkan menjadi
Pantai Ujung Batee, dan Pantai ODTW Alam
Mantak Tari, Pantai Lampuuk
Lhoknga.
Cluster Bireuen – Aceh Museum Maslikussaleh, dan Diarahkan menjadi
Utara – Lhokseumawe Makam Malikussaleh ODTW Budaya dan
Minat Khusus
Cluster Aceh Timur – Monumen Islam Pertama Asia Diarahkan menjadi
Langsa – Aceh Tamiang Tenggara (Monisa), dan Pantai ODTW Alam dan
Kuala Langsa Budaya
Cluster Aceh Tengah - Taman Nasional Gunung Leuser, Diarahkan menjadi
Bener Meriah – Gayo Danau Laut Tawar ODTW Alam
Lues – Aceh Tenggara
Cluster Aceh Jaya – Aceh Pantai Putih Cemara Indah, Pantai Diarahkan menjadi
Barat – Nagan Raya – Lhok Geulumpang, dan Pantai ODTW Alam
Aceh Barat Daya Lagana.
Cluster Aceh Singkil – Pantai Pulau Sarok, Desa Wisata Diarahkan menjadi
Aceh Selatan Kuala Baru, dan Taman Laut Pulau ODTW Alam, Budaya
Pelambak Besar dan Minat Khusus.
Cluster Simeulue – Pantai Lasikin, Pulau Bengkaru Diarahkan menjadi
Kepulauan Banyak (tempat penyu hijau, penyu ODTW Alam
belimbing, penyu sisik).
II - 20
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Berdasarkan Tabel 11 berturut-turut dari lapangan usaha yang paling besar persentase porsinya
dapat dikemukakan catatan penting sebagai berikut ini.
1. Pertanian (26.88 %)
Porsi lapangan usaha pertanian ini meningkat dari 26.18 % pada tahun 2009 menjadi 26.88% pada
tahun 2011. Ada pergeseran porsi dari sub lapangan usaha yaitu pada tahun 2009 berturut-turut
adalah pertanian tanaman pangan, peternakan, perkebunan, kehutanan, kemudian perikanan
menjadi pada tahun 2011 berturut-turut adalah pertanian tanaman pangan, perkebunan,
perikanan, peternakan, kemudian kehutanan. Dengan demikian dalam lapangan usaha pertanian
ini ada peningkatan yang lebih pesat pada kegiatan perkebunan dan perikanan.
Porsi lapangan usaha pertambangan & penggalian ini menurun dari 8.68% pada tahun 2009
menjadi 7.51% pada tahun 2011. Dalam lapangan usaha ini kontribusi sangat dominan dari
pertambangan migas, yang memang menurun produksinya.
Porsi lapangan usaha perdagangan, hotel & restoran meningkat dari 19.29% pada tahun 2009
menjadi 20.30% pada tahun 2011. Bila pada tahun 2009 lapangan usaha ini menduduki urutan ke-2
kontribusinya, maka pada tahun 2011 tetap menduduki urutan ke-3. Kontribusi sub lapangan
usaha yang terbesar adalah dari perdagangan besar dan eceran. Dengan demikian untuk total
PDRB ada kecenderungan peningkatan kegiatan perdagangan hotel dan restoran.
4. Industri (10.23 %)
Porsi lapangan usaha industri ini menurun tajam dari 11,78% pada tahun 2009 menjadi 10,23% pada
tahun 2009. Bila pada tahun 2009 lapangan usaha ini menduduki urutan ke-4 kontribusinya, maka
pada tahun 2011 masih menduduki urutan ke-4. Konstribusi sub lapangan usaha yang dominan
adalah industri migas, khususnya gas alam cair.
II - 21
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
5. Jasa-Jasa (18.1 %)
Porsi lapangan usaha jasa-jasa ini meningkat dari 17.9% pada tahun 2009 menjadi 18.1% pada tahun
2011. Konstribusi jasa pemerintahan umum (16.96%) sangat dominan jika dibandingkan dengan
jasa swasta (1.14%).
Porsi lapangan usaha ini meningkat signifikan, yaitu dari 7.08% pada tahun 2009 menjadi 7,55%
pada tahun 2011. Kontribusi pengangkutan (6.25%) sangat dominan jika dibandingkan dengan
komunikasi (1.30%). Pada sub lapangan usaha pengangkutan ini angkutan jalan raya masih sangat
dominan (5.54%) diikuti di bawahnya adalah angkutan udara (0.34%) dan angkutan laut (0,32%).
Dengan semakin membaiknya kondisi ekonomi ke depan lapangan usaha pengangkutan &
komunikasi ini diindikasikan akan semakin besar porsinya.
7. Konstruksi (7,55 %)
Porsi lapangan usaha konstruksi ini meningkat dari 6.92% pada tahun 2009 menjadi 7,55% pada
tahun 2011. Indikasi kenaikan ini membuktikan bahwa gerakan pembangunan di Aceh semakin
baik dan pembangunan sarana dan prasarana di seluruh Aceh semakin baik.
Porsi lapangan usaha ini meningkat dari 1,83% pada tahun 2009 menjadi 1,90% pada tahun 2011.
Sub lapangan usaha real estate (0,58%) dan bank (0,1.17%) adalah yang menonjol dalam lapangan
usaha ini.
Porsi lapangan usaha ini sebesar 0,32 % pada tahun 2009 dan naik menjadi 0.37% pada 2010. Ada
dan meningkat kembali pada tahun 2011 sebesar 0.38%.
II - 22
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Tabel 10 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2009 - 2011 (Juta Rupiah)
No. Lapangan Usaha 2009 2010 2011
1 Pertanian 8433957.9 8857389.65 9348967.32
a. Tanaman Bahan Makanan 3353314.86 3618517.57 3869060.79
b. Tanaman Perkebunan 1696447.75 1748506.75 1828590.83
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya 1447049 1499048.84 1579118.65
d. Kehutanan 518234.38 518110.47 546695.57
e. Perikanan 1418911.92 1473206.03 1525501.47
2 PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 2797970.49 2609892.25 2612904.74
a. Minyak dan Gas Bumi 2389320.15 2176996.88 2155037.41
b. Pertambangan Bukan Migas 0 0 0
c. Penggalian 408650.34 432895.38 457867.33
3 INDUSTRI PENGOLAHAN 3794880.67 3491324.15 3557636.65
a. Industri Migas 2254971.28 1851822.45 1822988.86
- Pengilangan Minyak Bumi 0 0 0
- Gas Alam Cair 2254971.28 1851822.45 1822988.86
b. Industri Bukan Migas 1539909.39 1639501.71 1734647.79
- Makanan, Minuman dan Tembakau 502491.81 546422 603079.27
- Tekstil, Barang Kulit dan Alas Kaki 5746.56 6137.1 6523.11
- Barang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya 537.61 536.6 538.77
- Kertas dan Barang Cetakan 14176.94 15011.47 15991.61
- Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet 946860.26 997051.37 1030555.56
- Semen dan Barang Galian bukan Logam 45977.79 48576.57 50929.21
- Logam Dasar Besi dan Baja 9992.81 10866.25 11444.38
- Alat Angkutan, Mesin dan Peralatannya 8475.7 9024.62 9405.77
- Barang lainnya 5649.92 5875.72 6180.1
4 LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 104092.03 121754.53 132193.09
a. Listrik 99615.81 116717.97 126854.29
b. Gas Kota 0 0 0
c. Air Bersih 4476.22 5036.56 5338.8
5 KONSTRUKSI 2229792.49 2343693.95 2489441.95
6 PERDAGANGAN, HOTEL & RESTORAN 6213658.59 6609054.88 7059809.11
a. Perdagangan Besar dan Eceran 5991618.42 6373943.98 6806626.46
b. Hotel 19705.57 20578.06 22093.69
c. Restoran 202334.6 214532.84 231088.97
7 PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 2280601.82 2430513.05 2624174.17
a. Pengangkutan 1881181.69 2010426.28 2172995.05
- Angkutan Rel 0 0 0
- Angkutan Jalan Raya 1648670.07 1774120.58 1926772.72
- Angkutan Laut 105355.38 107825.7 112345.57
- Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan 2088.04 2229.66 2364.77
- Angkutan Udara 112336.14 112785.8 116930.97
- Jasa Penunjang Angkutan 12732.07 13464.54 14581.03
b. Komunikasi 399420.13 420086.77 451179.12
- Pos dan Telekomunikasi 393824.09 414125.64 444739.93
- Jasa Penunjang Komunikasi 5596.04 5961.13 6439.19
8 KEUANGAN, REAL ESTAT, & JASA PERUSH. 588136.87 620705.18 660994.03
a. Bank 343882.26 375442.64 405466.23
b. Lembaga Keuangan bukan Bank 36049.21 36658.2 38013.15
c. Jasa Penunjang Keuangan 0 0 0
d. Real Estat 195124.04 195120.57 203397.09
e. Jasa Perusahaan 13081.36 13483.77 14117.56
9 JASA-JASA 5775995.45 6033842.89 6293581.67
a. Pemerintahan Umum 5443093.43 5674215.03 5898233.08
- Administrasi Pemerintahan dan Pertahanan 3590697.66 3757339.46 3938012.29
- Jasa Pemerintah Lainnya 1852395.77 1916875.57 1960220.8
b. Swasta 332902.03 359627.86 395348.58
- Sosial Kemasyarakatan 187041.87 200361.21 222525.42
- Hiburan dan Rekreasi 46032.66 50287.39 54644.53
- Perorangan dan Rumah Tangga 99827.49 108979.26 118178.64
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO 32219086.32 33118170.55 34779702.73
PDRB TANPA MIGAS 27574794.89 29089351.22 30801676.45
Sumber : BPS Pemerintah Aceh, 2011
II - 23
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Tabel 11 Distribusi Porsi PDRB Menurut Lapangan Usaha (2009-2011) dengan MIGAS (%)
Tabel 12 Distribusi Porsi PDRB Menurut Lapangan Usaha (2009-2011) Tanpa MIGAS
Laju pertumbuhan ekonomi (LPE) Aceh, yang ditunjukkan oleh laju pertumbuhan PDRB dari
tahun 2009 sampai 2011 adalah sebesar 5,69 % per tahun, yang ditandai oleh LPE yang rendah
pada selang waktu 2003-2004 dan 2004-2005 yaitu masing-masing hanya 1,76 % dan 1,22 % per
tahun, dan LPE yang cukup tinggi pada selang waktu 2005-2006 dan 2006-2007 yaitu masing-
masing 7,70 % dan 7,46 %. Sedangkan selang waktu 2009-2010 dan 2010-2011 masing cenderung
turun dan kembali dinamis 5.49% dan 5.89%. hal ini ditandai dengan sudah berakhirnya masa
pembangunan dan rehabilitasi NAD Nias
Berdasarkan Tabel dibawah dapat dilihat fluktuasi pertumbuhan masing-masing lapangan usaha,
bahkan ada yang mempunyai laju pertumbuhan negatif, yang secara umum berkenaan dengan
terjadinya bencana alam di Aceh pada akhir 2004. Secara umum lapangan usaha yang termasuk
sektor primer dan sektor sekunder cenderung mengalami laju pertumbuhan yang kecil,
sementara sektor tersier cenderung mengalami pertumbuhan yang besar. Berturut-turut dari
II - 24
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
lapangan usaha yang paling besar laju pertumbuhannya dapat dikemukakan catatan penting
sebagai berikut ini.
Lapangan usaha konstruksi mengalami pertumbuhan negatif (-16,14%) pada 2004-2005, namun
pada 2005-2006 mempunyai pertumbuhan tertinggi di antara lapangan usaha lainnya yaitu
48,41%, dan pada 2006-2007 sebesar 13,93%. Tingginya pertumbuhan pada 2 tahun terakhir
tersebut terkait dengan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh. Berdasarkan analisis dan
olahan data 2009-2011 mengalami pertumbuhan yang dinamis dan cenderung ada pergerakan
yakni sebesar 5.66%.
Analisis pada tahun 2004-2007, lapangan usaha pengangkutan & komunikasi relatif konsisten
terus bertumbuh. Sub lapangan usaha pengangkutan (14,03%) mempunyai laju pertumbuhan
relatif jauh lebih besar daripada komunikasi (3,74%). Pertumbuhan angkutan yang besar tersebut
adalah kegiatan angkutan udara, angkutan jalan raya, dan jasa penunjang angkutan. Sedangkan
data analisis pada tahun 2009-2011 mengalami peningkatan dari 6.57% menjadi 7.97 pertahunnya.
Analisis pada tahun 2004-2007, Sub lapangan usaha Listrik mempunyai laju pertumbuhan (12,44%)
yang jauh lebih besar daripada Air Bersih (-8,64%) yang malahan negatif. Dengan upaya
rehabilitasi & rekonstruksi dan pengembangan jaringan air bersih diharapkan sub lapangan usaha
ini akan menyumbangkan pertumbuhan yang signifikan di masa datang. Sedangkan pada tahun
2009-2011 laju pertumbuhan listrik turun dan semakin dinamis menjadi 12.85%. dan air bersih
sudah membaik menjadi 9.21%.
Walaupun masa BRR NAD Nias sector ini sangat mempengaruhi, namun pada tahun rentang
waktu 2009-2011 lapangan usaha tetap ada cenderung dinamis berfluktuasi, lapangan usaha jasa-
jasa ini konsisten tumbuh, terutama pada jasa pemerintahan umum.
Kendati berfluktuasi, lapangan usaha perdagangan, hotel & restoran ini relatif konsisten tumbuh
dan cenderung dinamis positif mengalami pertumbuhan.
Analisis data pada tahun 2004-2009, lapangan usaha ini mengalami pertumbuhan negatif (-9,53%)
pada 2004-2005, kemudian positif kembali sesudahnya. Dan pada analisis pada tahun 2009-2011
mengalami pertumbuhan positif dan membaik.
Analisis data dalam selang waktu 2004-2007, pertumbuhan sub lapangan usaha dari yang
terbesar berturut-turut adalah tanaman perkebunan (4,81%), tanaman bahan makanan (1,97%),
II - 25
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
dan perikanan (0,97%); sementara pertumbuhan negatif untuk peternakan (-5,16%) dan
kehutanan (-2,95%). Namun bila dilihat pada selang waktu 2006-2007 ternyata pertumbuhan
tanaman perkebunan (9,14%), tanaman bahan makanan (8,50%), dan perikanan (6,10%), yang
menunjukkan pertumbuhan yang relatif besar, sehingga mengindikasikan prospek pertumbuhan
yang tinggi ke depan.
Sedangkan analisis pada tahun 2009-2011, cenderung mengalami pertumbuhan dan dapat
menjadi factor kunci dalam pembangunan di Aceh. Selang waktu 2009-2010 sebesar 5.02%, dan
selang waktu 2010-2011 sebesar 5.55%
Analisis data tahun 2004-2006, dalam lapangan usaha industri pengolahan ini laju pertumbuhan
sub lapangan usaha industri migas mengalami penurunan secara konsisten dan besar (yaitu -
20,21%); sementara industri bukan migas sebesar 1,36%, bahkan pada selang waktu 2006-2007
mengalami pertumbuhan yang besar yaitu 8,57%.
Sedangkan analisis data 2009-2011, cenderung mengalami pertumbuhan kecil dan negative.
Dengan demikian industri bukan migas mengindikasikan akan terus bertumbuh ke depan.
Analisis data pada rentang waktu 2004-2006, dalam lapangan usaha pertambangan & penggalian
ini laju pertumbuhan sub lapangan usaha minyak & gas bumi mengalami penurunan secara
konsisten dan besar (-17,05%); sementara penggalian mengalami pertumbuhan yang tinggi
(22,51%) dan malahan pada 2005-2006 mengalami pertumbuhan sebesar 78,77%. Pertumbuhan
sub lapangan usaha penggalian ini terutama terkait dengan adanya kegiatan pada rehabilitasi dan
rekonstruksi pasca tsunami di Aceh, yang membutuhkan material untuk pembangunan fisik.
Sedangkan analisis data 2009-2011 masih mengalami pertumbuhan yang negative, hal ini
menandai dengan mulai berangsur selesainya pembangunan finalisasi program-program
pembangunan infrastruktur dan sarana di Aceh.
II - 26
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Tabel 13 PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2009 - 2011 (Juta Rupiah)
No. Lapangan Usaha 2009 2010 2011
1 Pertanian 8433957.9 8857389.65 9348967.32
a. Tanaman Bahan Makanan 3353314.86 3618517.57 3869060.79
b. Tanaman Perkebunan 1696447.75 1748506.75 1828590.83
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya 1447049 1499048.84 1579118.65
d. Kehutanan 518234.38 518110.47 546695.57
e. Perikanan 1418911.92 1473206.03 1525501.47
2 PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 2797970.49 2609892.25 2612904.74
a. Minyak dan Gas Bumi 2389320.15 2176996.88 2155037.41
b. Pertambangan Bukan Migas 0 0 0
c. Penggalian 408650.34 432895.38 457867.33
3 INDUSTRI PENGOLAHAN 3794880.67 3491324.15 3557636.65
a. Industri Migas 2254971.28 1851822.45 1822988.86
- Pengilangan Minyak Bumi 0 0 0
- Gas Alam Cair 2254971.28 1851822.45 1822988.86
b. Industri Bukan Migas 1539909.39 1639501.71 1734647.79
- Makanan, Minuman dan Tembakau 502491.81 546422 603079.27
- Tekstil, Barang Kulit dan Alas Kaki 5746.56 6137.1 6523.11
- Barang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya 537.61 536.6 538.77
- Kertas dan Barang Cetakan 14176.94 15011.47 15991.61
- Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet 946860.26 997051.37 1030555.56
- Semen dan Barang Galian bukan Logam 45977.79 48576.57 50929.21
- Logam Dasar Besi dan Baja 9992.81 10866.25 11444.38
- Alat Angkutan, Mesin dan Peralatannya 8475.7 9024.62 9405.77
- Barang lainnya 5649.92 5875.72 6180.1
4 LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 104092.03 121754.53 132193.09
a. Listrik 99615.81 116717.97 126854.29
b. Gas Kota 0 0 0
c. Air Bersih 4476.22 5036.56 5338.8
5 KONSTRUKSI 2229792.49 2343693.95 2489441.95
6 PERDAGANGAN, HOTEL & RESTORAN 6213658.59 6609054.88 7059809.11
a. Perdagangan Besar dan Eceran 5991618.42 6373943.98 6806626.46
b. Hotel 19705.57 20578.06 22093.69
c. Restoran 202334.6 214532.84 231088.97
7 PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 2280601.82 2430513.05 2624174.17
a. Pengangkutan 1881181.69 2010426.28 2172995.05
- Angkutan Rel 0 0 0
- Angkutan Jalan Raya 1648670.07 1774120.58 1926772.72
- Angkutan Laut 105355.38 107825.7 112345.57
- Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan 2088.04 2229.66 2364.77
- Angkutan Udara 112336.14 112785.8 116930.97
- Jasa Penunjang Angkutan 12732.07 13464.54 14581.03
b. Komunikasi 399420.13 420086.77 451179.12
- Pos dan Telekomunikasi 393824.09 414125.64 444739.93
- Jasa Penunjang Komunikasi 5596.04 5961.13 6439.19
8 KEUANGAN, REAL ESTAT, & JASA PERUSH. 588136.87 620705.18 660994.03
a. Bank 343882.26 375442.64 405466.23
b. Lembaga Keuangan bukan Bank 36049.21 36658.2 38013.15
c. Jasa Penunjang Keuangan 0 0 0
d. Real Estat 195124.04 195120.57 203397.09
e. Jasa Perusahaan 13081.36 13483.77 14117.56
9 JASA-JASA 5775995.45 6033842.89 6293581.67
a. Pemerintahan Umum 5443093.43 5674215.03 5898233.08
- Administrasi Pemerintahan dan Pertahanan 3590697.66 3757339.46 3938012.29
- Jasa Pemerintah Lainnya 1852395.77 1916875.57 1960220.8
b. Swasta 332902.03 359627.86 395348.58
- Sosial Kemasyarakatan 187041.87 200361.21 222525.42
- Hiburan dan Rekreasi 46032.66 50287.39 54644.53
- Perorangan dan Rumah Tangga 99827.49 108979.26 118178.64
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO 32219086.32 33118170.55 34779702.73
PDRB TANPA MIGAS 27574794.89 29089351.22 30801676.45
Sumber : BPS Pemerintah Aceh, 2012
II - 27
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Tabel 14 Laju Pertumbuhan (%) PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2009 - 2011 (Juta
Rupiah)
No. Lapangan Usaha 2009-2010 2010-2011 2009-2011
1 Pertanian 5.02 5.55 5.28
a. Tanaman Bahan Makanan 7.91 6.92 7.42
b. Tanaman Perkebunan 3.07 4.58 3.82
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya 3.59 5.34 4.46
d. Kehutanan -0.02 5.52 2.71
e. Perikanan 3.83 3.55 3.69
2 PERTAMBANGAN & PENGGALIAN -6.72 0.12 -3.36
a. Minyak dan Gas Bumi -8.89 -1.01 -5.03
b. Pertambangan Bukan Migas
c. Penggalian 5.93 5.77 5.85
3 INDUSTRI PENGOLAHAN -8.00 1.90 -3.18
a. Industri Migas -17.88 -1.56 -10.09
- Pengilangan Minyak Bumi
- Gas Alam Cair -17.88 -1.56 -10.09
b. Industri Bukan Migas 6.47 5.80 6.13
- Makanan, Minuman dan Tembakau 8.74 10.37 9.55
- Tekstil, Barang Kulit dan Alas Kaki 6.80 6.29 6.54
- Barang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya -0.19 0.40 0.11
- Kertas dan Barang Cetakan 5.89 6.53 6.21
- Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet 5.30 3.36 4.33
- Semen dan Barang Galian bukan Logam 5.65 4.84 5.25
- Logam Dasar Besi dan Baja 8.74 5.32 7.02
- Alat Angkutan, Mesin dan Peralatannya 6.48 4.22 5.34
- Barang lainnya 4.00 5.18 4.59
4 LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 16.97 8.57 12.69
a. Listrik 17.17 8.68 12.85
b. Gas Kota
c. Air Bersih 12.52 6.00 9.21
5 KONSTRUKSI 5.11 6.22 5.66
6 PERDAGANGAN, HOTEL & RESTORAN 6.36 6.82 6.59
a. Perdagangan Besar dan Eceran 6.38 6.79 6.58
b. Hotel 4.43 7.37 5.89
c. Restoran 6.03 7.72 6.87
7 PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 6.57 7.97 7.27
a. Pengangkutan 6.87 8.09 7.48
- Angkutan Rel
- Angkutan Jalan Raya 7.61 8.60 8.11
- Angkutan Laut 2.34 4.19 3.26
- Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan 6.78 6.06 6.42
- Angkutan Udara 0.40 3.68 2.02
- Jasa Penunjang Angkutan 5.75 8.29 7.01
b. Komunikasi 5.17 7.40 6.28
- Pos dan Telekomunikasi 5.15 7.39 6.27
- Jasa Penunjang Komunikasi 6.52 8.02 7.27
8 KEUANGAN, REAL ESTAT, & JASA PERUSH. 5.54 6.49 6.01
a. Bank 9.18 8.00 8.59
b. Lembaga Keuangan bukan Bank 1.69 3.70 2.69
c. Jasa Penunjang Keuangan
d. Real Estat 0.00 4.24 2.10
e. Jasa Perusahaan 3.08 4.70 3.89
9 JASA-JASA 4.46 4.30 4.38
a. Pemerintahan Umum 4.25 3.95 4.10
- Administrasi Pemerintahan dan Pertahanan 4.64 4.81 4.72
- Jasa Pemerintah Lainnya 3.48 2.26 2.87
b. Swasta 8.03 9.93 8.98
- Sosial Kemasyarakatan 7.12 11.06 9.07
- Hiburan dan Rekreasi 9.24 8.66 8.95
- Perorangan dan Rumah Tangga 9.17 8.44 8.80
PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO 2.79 5.02 3.90
PDRB TANPA MIGAS 5.49 5.89 5.69
Sumber : BPS Pemerintah Aceh, 2012 dan Hasil Olahan Konsultan
II - 28
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
“ mewujudkan tata ruang wilayah Aceh yang Islami dan maju, produktif, adil dan merata, serta
berkelanjutan ”.
Islami: dimaksudkan bahwa penataan ruang berdasarkan pada pandangan hidup masyarakat
Aceh yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat.
Maju: dimaksudkan bahwa penataan ruang akan ikut mewujudkan kesejahteraan rakyat yang
terus meningkat.
Produktif: dimaksudkan bahwa penataan ruang mewujudkan pemanfaatan segenap sumber daya
yang mencakup sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan, sehingga
mempunyai nilai atau manfaat ekonomi dan sosial.
Adil dan merata: dimaksudkan bahwa penataan ruang mewujudkan manfaat ekonomi dan sosial
secara adil dan merata kepada masyarakat.
Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah Aceh meliputi pengembangan struktur ruang
wilayah Aceh dan pengembangan pola ruang wilayah Aceh.
II - 29
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 30
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 31
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 32
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Rencana Struktur Ruang Wilayah Aceh meliputi rencana sistem perkotaan dan sistem jaringan
prasarana wilayah di dalam wilayah Aceh.
Sistem perkotaan secara nasional terdiri atas PKN (Pusat Kegiatan Nasional), PKW (Pusat
Kegiatan Wilayah), dan PKL (Pusat Kegiatan Lokal). Penetapan PKN dan PKW merupakan
kewenangan pemerintah, dan telah ditetapkan dalam RTRWN (Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional). Selain ketiga pusat tersebut, dalam sistem perkotaan nasional dikembangkan dan
ditetapkan pula PKSN (Pusat Kegiatan Strategis Nasional). Sementara PKL ditetapkan dalam
RTRW Provinsi, sesuai dengan ketentuan pada Pasal 11 ayat (3) Peraturan Pemerintah (PP)
No.26/2008 tentang RTRWN.
• PKN atau Pusat Kegiatan Nasional adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk
melayani kegiatan skala internasional, nasional, atau beberapa provinsi;
• PKW atau Pusat Kegiatan Wilayah adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk
melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota;
• PKL atau Pusat Kegiatan Lokal adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani
kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan;
• PKSN atau Pusat Kegiatan Strategis Nasional adalah kawasan perkotaan yang ditetapkan
untuk mendorong pengembangan kawasan perbatasan negara.
Dalam PP No.26/2008 tentang RTRWN, yaitu pada Lampiran II, telah ditetapkan sistem perkotaan
nasional yang terletak di Aceh, yaitu masing-masing adalah:
II - 33
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
• PKN: Lhokseumawe;
• PKSN: Sabang.
Dalam kajian atau analisis mengenai sistem pusat pelayanan di wilayah Aceh dihasilkan
kesimpulan yang akan menjadi acuan dalam perumusan rencana struktur ruang, yaitu: pusat
pelayanan di bawah hierarki PKL, dan prediksi atau harapan terhadap pusat pelayanan pada
tingkat PKN, PKW, dan PKL.
Pusat pelayanan di Aceh di bawah hierarki PKL (yang umumnya adalah ibukota kabupaten) terdiri
atas pusat pelayanan tingkat kecamatan dan selanjutnya pusat pelayanan tingkat mukim. Pusat
pelayanan tingkat kecamatan akan melayani masing-masing wilayah kecamatan yang
dibawahinya, dan bila dihubungkan dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan RTRW Kabupaten, pusat pelayaanan tingkat
kecamatan tersebut dapat disebut sebagai PPK (Pusat Pelayanan Kawasan) yang berfungsi
melayani kegiatan skala kecamatan. Pentingnya penetapan pusat pelayanan tingkat mukim
didasarkan pada latar belakang historis dan memori keruangan masyarakat Aceh di satu pihak,
dan adanya penetapan dalam UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh mengenai fungsi
pemerintahah dan adat pada tingkat Mukim yang akan membawahi Gampong (tingkat desa).
Selaras dengan Pedoman Penyusunan RTRW Kabupaten di atas, pusat pelayanan tingkat mukim
ini dapat disebut sebagai PPL (Pusat Pelayanan Lingkungan) yang berfungsi melayani kegiatan
skala mukim atau antar gampong (antar desa). Penetapan PPK dan PPL tersebut dalam rencana
tata ruang wilayah adalah merupakan kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota yaitu dalam
RTRW Kabupaten/Kota.
Sebagai perwujudan dari tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang di depan, maka terhadap
pusat yang telah ditetapkan dalam RTRWN (yaitu PKW) dan indikasi kuat PKL dalam kajian sistem
perkotaan atau pusat pelayanan wilayah Aceh, maka adalah usulan berupa rekomendasi promosi
atau peningkatan hierarki pusat-pusat tersebut berupa: PKNp (PKN Promosi), dan PKWp (PKW
Promosi).
PKNp adalah pusat kegiatan yang dipromosikan untuk di kemudian hari dapat ditetapkan menjadi
PKN sebagai peningkatan dari status PKW. Di wilayah Aceh, PKNp yang diusulkan adalah Banda
Aceh (PKNp Banda Aceh) yang merupakan peningkatan status dari PKW Banda Aceh yang telah
ditetapkan dalam RTRWN.
PKWp adalah pusat kegiatan yang dipromosikan untuk di kemudian hari dapat ditetapkan
menjadi PKW sebagai peningkatan dari PKL atau yang memenuhi syarat sebagai PKL. Di wilayah
Aceh, PKWp tersebut diharapkan dapat mendorong perkembangan wilayah yang dilayaninya,
yaitu: PKWp Subulussalam, dan PKWp Blangpidie.
Penetapan rencana sistem perkotaan/pusat pelayanan wilayah Aceh dikemukakan pada Tabel
III.1.1, yang meliputi PKN (Pusat Kegiatan Nasional), PKNp (Pusat Kegiatan Nasional Promosi),
PKSN (Pusat Kegiatan Strategis Nasional), PKW (Pusat Kegiatan Wilayah), PKWp (Pusat Kegiatan
II - 34
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Wilayah Promosi), dan PKL (Pusat Kegiatan Lokal). Sebaran pusat-pusat kegiatan tersebut dalam
ruang wilayah Aceh ditunjukkan pada Gambar (Rencana Struktur Ruang Wilayah Aceh).
Selanjutnya terhadap masing-masing pusat kegiatan yang ditetapkan tersebut dapat diberikan
penjelasan sebagai berikut ini.
II - 35
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 36
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
1. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama kegiatan ekspor-
impor atau pintu gerbang menuju kawasan internasional;
2. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa
skala nasional atau yang melayani beberapa provinsi; dan/atau
3. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama transportasi skala
nasional atau melayani beberapa provinsi.
PKN yang ditetapkan di wilayah Aceh hanya satu yaitu PKN Lhokseumawe. Kawasan perkotaan
yang membentuk PKN Lhokseumawe ini akan terdiri atas Kota Lhokseumawe dan kawasan
perkotaan di sekitarnya yang terletak di Kabupaten Aceh Utara, yaitu Kecamatan Dewantara dan
Kecamatan Muara Batu. Dalam prediksi rencana, klasifikasi ukuran kawasan perkotaan
Lhokseumawe yang membentuk PKN Lhokseumawe adalah kawasan perkotaan sedang.
Pengembangan PKN Lhoksemawe ini akan didukung pula oleh penetapan Kawasan Strategis
Nasional dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi berupa pengembangan/peningkatan
Kawasan Industri Lhokseumawe.
Dengan konfigurasi struktur kawasan perkotaan yang berkarakter lintas kabupaten atau kota
disertai pembagian fungsi-fungsi primer (industri, pelabuhan, bandar udara, perguruan tinggi,
dan pusat perdagangan dan jasa) di antara Kota Lhokseumawe dan kecamatan-kecamatan di
Kabupaten Aceh Utara tersebut, namun masih termasuk klasifikasi kawasan perkotaan sedang,
maka Kawasan Perkotaan yang membentuk PKN Lhokseumawe ini merupakan “embrio
metropolitan”.
PKNp adalah pusat kegiatan yang dipromosikan untuk di kemudian hari dapat ditetapkan sebagai
PKN sebagaimana kriteria dalam Pasal 14 ayat (1) PP No.26/2008 di atas.
PKNp yang ditetapkan di wilayah Aceh adalah PKNp Banda Aceh, yang dalam RTRWN ditetapkan
sebagai PKW Banda Aceh. Promosi terhadap PKW Banda Aceh ini terutama didasari pada
pertimbangan memanfaatkan peluang perkembangan ekonomi secara nasional dan
internasional, di mana Banda Aceh merupakan lokasi atau posisi yang strategis untuk menjadi
pusat kegiatan ataupun pintu gerbang di bagian barat wilayah nasional. Selain itu, beberapa
prasarana dan sarana serta kegiatan mengindikasikan bahwa Banda Aceh merupakan pusat
kegiatan yang potensial untuk menjadi pusat utama di wilayah Aceh, yaitu: ibukota Aceh, Bandara
Internasional Sultan Iskandar Muda, Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar-Raniry, dan juga adalah
pusat budaya Aceh yang diwarnai dengan syariat Islam.
Kawasan perkotaan yang membentuk PKNp Banda Aceh mencakup Kota Banda Aceh dan
kawasan perkotaan sekitarnya yang terletak di Kabupaten Aceh Besar, yaitu kecamatan-
kecamatan: Lhok Nga, Peukan Bada, Darul Imarah, Darul Kamal, Ingin Jaya, Krueng Barona Jaya,
II - 37
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Blang Bintang, Kuta Baro, Darussalam, Baitussalam, Mesjid Raya. Klasifikasi ukuran kawasan
perkotaan yang membentuk PKNp Banda Aceh ini dalam prediksi rencana adalah kawasan
perkotaan besar.
Dengan konfigurasi struktur kawasan perkotaan yang berkarakter lintas kabupaten/kota disertai
pembagian fungsi-fungsi primer (industri, pelabuhan, bandar udara, perguruan tinggi, dan pusat
perdagangan dan jasa) di antara Kota Banda Aceh dan kecamatan-kecamatan di Kabupaten Aceh
Besar tersebut, serta dengan klasifikasi kawasan perkotaan besar, maka Kawasan Perkotaan
yang membentuk PKNp Banda Aceh ini merupakan “embrio metropolitan”. Dengan karakter
perkembangan jumlah penduduk dan perkembangan kegiatan ekonomi di PKNp Banda Aceh ini,
maka embrio metropolitan ini diantisipasi akan lebih cepat lagi menjadi Kawasan Metropolitan.
1. pusat perkotaan yang berpotensi sebagai pos pemeriksaan lintas batas dengan negara
tetangga;
4. pusat perkotaan yang merupakan pusat pertumbuhan ekonomi yang dapat mendorong
perkembangan kawasan di sekitarnya.
PKSN yang ditetapkan adalah PKSN Sabang, yaitu Kota Sabang. Klasifikasi ukuran kawasan
perkotaan Sabang yang membentuk PKSN Sabang dalam prediksi rencana adalah kawasan
perkotaan sedang.
Catatan penting tentang pengembangan PKSN Sabang yang diprediksi menjadi kawasan
perkotaan sedang adalah pengembangan dengan berbagai kebijakan rencana yang akan saling
memperkuat untuk itu, yaitu:
1. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul kedua kegiatan
ekspor-impor yang mendukung PKN;
II - 38
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
2. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan
jasa yang melayani skala provinsi atau beberapa kabupaten; dan/atau
3. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama transportasi
yang melayani skala provinsi atau beberapa kabupaten.
1. PKW Sabang. PKW Sabang ini juga berfungsi sebagai PKSN Sabang seperti dikemukakan di
atas. Kawasan perkotaan yang membentuk PKW Sabang (dan sekaligus PKSN Sabang)
terletak di Kota Sabang. Klasifikasi ukuran kawasan perkotaan PKW Sabang dalam prediksi
rencana adalah kawasan perkotaan sedang. Dengan berbagai kebijakan
pengembangan/peningkatan yang diimplementasikan pada PKW Sabang ini (PKSN, Kawasan
Strategis Nasional berupa Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang),
sangat potensial menjadikannya sebagai kawasan perkotaan sedang.
2. PKW Langsa. Kawasan perkotaan yang membentuk PKW Langsa adalah Kota Langsa.
Klasifikasi ukuran kawasan perkotaan PKW Langsa dalam prediksi rencana adalah kawasan
perkotaan sedang.
3. PKW Takengon. Kawasan perkotaan yang membentuk PKW Takengon adalah kawasan
perkotaan ibukota Kabupaten Aceh Tengah. Klasifikasi kawasan perkotaan PKW Takengon
dalam prediksi rencana adalah kawasan perkotaan kecil.
4. PKW Meulaboh. Kawasan perkotaan yang membentuk PKW Meulaboh adalah kawasan
perkotaan ibukota Kabupaten Aceh Barat. Kawasan perkotaan ini direkonstruksi sehubungan
dengan bencana gempa dan tsunami tahun 2004. Klasifikasi kawasan perkotaan PKW
Meulaboh dalam prediksi rencana adalah kawasan perkotaan sedang.
PKWp adalah pusat kegiatan yang dipromosikan untuk di kemudian hari dapat ditetapkan sebagai
PKW sebagaimana kriteria dalam Pasal 14 ayat (2) PP No.26/2008 di atas.
PKWp yang ditetapkan di wilayah Aceh dalam RTRW Aceh diharapkan dapat mendorong
perkembangan wilayah pelayanannya. Penetapan PKWp tersebut yaitu:
II - 39
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
2. PKWp Blangpidie. Kawasan perkotaan yang membentuk PKWp Blangpidie adalah kawasan
perkotaan yang merupakan ibukota Kabupaten Aceh Barat Daya. Penetapan PKWp
Blangpidie didasari pada pertimbangan upaya untuk mempercepat pertumbuhan di pesisir
barat Aceh yang relatif tertinggal. Klasifikasi kawasan perkotaan PKWp Blangpidie dalam
prediksi rencana adalah kawasan perkotaan kecil.
1. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa
yang melayani skala kabupaten atau beberapa kecamatan; dan/atau
2. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul transportasi yang
melayani skala kabupaten atau beberapa kecamatan.
A. PKL Jantho. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Jantho adalah kawasan perkotaan
ibukota Kabupaten Aceh Besar. Klasifikasi kawasan perkotaan PKL Jantho dalam prediksi
rencana adalah kawasan perkotaan kecil.
B. PKL Sigli. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Sigli adalah kawasan perkotaan ibukota
Kabupaten Pidie. Klasifikasi kawasan perkotaan PKL Sigli dalam prediksi rencana adalah
kawasan perkotaan sedang. PKL Sigli diharapkan dapat meningkatkan kinerja pelayanannya
di pesisir timur Aceh, yang merupakan wilayah yang pesat perkembangannya.
C. PKL Meureudu. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Meureudu adalah kawasan
perkotaan ibukota Kabupaten Pidie Jaya, yang merupakan kawasan perkotaan yang baru
dikembangkan sehubungan dengan terbentuknya Kabupaten Pidie Jaya. Klasifikasi kawasan
perkotaan PKL Meureudu dalam prediksi rencana adalah kawasan perkotaan kecil.
D. PKL Bireuen. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Bireuen adalah kawasan perkotaan
ibukota Kabupaten Bireuen. Klasifikasi kawasan perkotaan PKL Bireuen dalam prediksi
rencana adalah kawasan perkotaan sedang. PKL Bireuen diharapkan dapat meningkatkan
kinerja pelayanannya di pesisir timur Aceh, yang merupakan wilayah yang pesat
perkembangannya.
E. PKL Lhok Sukon. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Lhok Sukon adalah kawasan
perkotaan ibukota Kabupaten Aceh Utara, yang merupakan kawasan perkotaan yang baru
dikembangkan sehubungan dengan penetapannya sebagai ibukota Kabupaten Aceh Utara
(yang harus pindah dari Kota Lhokseumawe yang merupakan pemekaran dari Kabupaten
Aceh Utara). Klasifikasi kawasan perkotaan PKL Lhok Sukon dalam prediksi rencana adalah
kawasan perkotaan kecil.
F. PKL Idi Rayeuk. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Idi Rayeuk adalah kawasan
perkotaan ibukota Kabupaten Aceh Timur, yang merupakan kawasan perkotaan yang baru
dikembangkan sehubungan dengan penetapannya sebagai ibukota Kabupaten Aceh Timur
(yang harus pindah dari Kota Langsa yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh
II - 40
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Timur). Klasifikasi kawasan perkotaan PKL Idi Rayeuk dalam prediksi rencana adalah kawasan
perkotaan kecil.
G. PKL Kuala Simpang-Karang Baru. Kawasan perkotaan Kuala Simpang merupakan pusat
kegiatan yang paling menonjol di Kabupaten Aceh Tamiang. Sementara ibukota kabupaten
terletak di Karang Baru yang bertetangga dengan Kuala Simpang. Untuk itu akan diprediksi
terjadinya kawasan perkotaan yang menerus (contiguous) antara keduanya, sehingga
membentuk kawasan perkotaan Kuala Simpang-Karang Baru. Klasifikasi kawasan perkotaan
PKL Kuala Simpang-Karang Baru dalam prediksi rencana adalah kawasan perkotaan sedang.
H. PKL Simpang Tiga Redelong. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Simpang Tiga
Redelong adalah kawasan perkotaan ibukota Kabupaten Bener Meriah, yang relatif
merupakan kawasan perkotaan baru dikembangkan sehubungan dengan pembentukan
Kabupaten Bener Meriah. Klasifikasi kawasan perkotaan PKL Simpang Tiga Redelong dalam
prediksi rencana adalah kawasan perkotaan kecil.
I. PKL Blangkejeren. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Blangkejeren adalah kawasan
perkotaan ibukota Kabupaten Gayo Lues, yang relatif merupakan kawasan perkotaan baru
dikembangkan sehubungan dengan pembentukan Kabupaten Gayo Lues. Klasifikasi kawasan
perkotaan PKL Blangkejeren dalam prediksi rencana adalah kawasan perkotaan kecil.
J. PKL Kutacane. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Kutacane adalah kawasan
perkotaan ibukota Kabupaten Aceh Tenggara. Klasifikasi kawasan perkotaan PKL Kutacane
dalam prediksi rencana adalah kawasan perkotaan kecil.
K. PKL Calang. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Calang adalah kawasan perkotaan
ibukota Kabupaten Aceh Jaya, yang merupakan kawasan perkotaan baru dikembangkan
sehubungan dengan pembentukan Kabupaten Aceh Jaya, dan sekaligus direkonstruksi akibat
bencana gempa dan tsunami tahun 2004. Klasifikasi kawasan perkotaan PKL Calang dalam
prediksi rencana adalah kawasan perkotan kecil.
L. PKL Jeuram-Suka Makmue. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Jeuram-Suka Makmue
adalah kawasan perkotaan ibukota Kabupaten Nagan Raya, yang merupakan kawasan
perkotaan yang relatif baru dikembangkan sehubungan dengan pembentukan Kabupaten
Nagan Raya. Klasifikasi kawasan perkotaan PKL Jeuram-Suka Makmue dalam prediksi rencana
adalah kawasan perkotaan kecil.
M. PKL Tapaktuan. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Tapaktuan adalah kawasan
perkotaan ibukota Kabupaten Aceh Selatan. Klasifikasi kawasan perkotaan PKL Tapaktuan
dalam prediksi rencana adalah kawasan perkotaan kecil, yang dalam transisi mengarah
menjadi kawasan perkotaan sedang. PKL Tapaktuan diharapkan ikut mendorong
perkembangan wilayah pesisir barat Aceh yang relatif tertinggal
N. PKL Singkil. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Singkil adalah kawasan perkotaan
ibukota Kabupaten Aeh Singkil. Klasifikasi kawasan perkotaan PKL Singkil dalam prediksi
rencana adalah kawasan perkotaan kecil.
II - 41
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
O. PKL Sinabang. Kawasan perkotaan yang membentuk PKL Sinabang adalah kawasan
perkotaan ibukota Kabupaten Simeulue. Klasifikasi kawasan perkotaan PKL Sinabang dalam
prediksi rencana adalah kawasan perkotaan kecil.
Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) dengan skala pelayanan kecamatan dan Pusat Pelayanan
Lingkungan dengan skala pelayanan mukim atau antar gampong (desa), tidak ditetapkan dalam
RTRW Aceh, dan akan ditetapkan dalam RTRW Kabupaten/Kota.
Kriteria PPK adalah pusat pelayanan yang berfungsi dalam pelayanan pemerintahan,
perdagangan dan jasa, industri pengolahan, serta transportasi, dengan skala pelayanan
kecamatan.
Kriteria PPL adalah pusat pelayanan yang berfungsi dalam pelayanan pemerintahan,
perdagangan dan jasa, industri pengolahan, serta transportasi, dengan skala pelayanan tingkat
mukim atau beberapa gampong/desa.
Selanjutnya fungsi pelayanan berupa sarana dan prasarana yang ditetapkan untuk masing-masing
pusat menurut fungsi dan hierarkinya ditunjukkan pada Tabel III.1.2.
Dihubungkan dengan pola pelayanan dan jangkauan pusat-pusat kegiatan yang ditetapkan di atas
dapat ditetapkan wilayah pengembangan yang merupakan kesatuan bagian wilayah Aceh untuk
operasionalisasi atau mendukung implementasi rencana tata ruang menurut kewenangan tingkat
provinsi yaitu yang bersifat lintas kabupaten/kota.
Penetapan WP (Wilayah Pengembangan) ini juga akan berkaitan dengan penetapan kawasan
andalan menurut masing-masing WP, yang disebut sebagai Kawasan Andalan Aceh (KAA-WP),
yaitu untuk penetapan kegiatan unggulan sehubungan dengan rencana pola ruang kawasan
budidaya.
II - 42
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 43
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 44
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 45
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Jaringan prasarana jalan raya merupakan jaringan prasarana yang paling penting dan sangat
terkait dengan penetapan sistem perkotaan: PKN, PKW, dan PKL. Rencana sistem jaringan jalan
dalam struktur ruang wilayah Aceh adalah sistem primer (wilayah/antar-wilayah) seperti
dijelaskan pada tabel 18, yang terdiri atas Jalan Arteri Primer (JAP), Jalan Kolektor Primer (JKP),
dan Jalan Lokal Primer (JLP). Khusus untuk Jalan Lokal Primer yang ditetapkan dalam RTRW Aceh
ini adalah yang memiliki nilai strategis pada tingkat provinsi. Dalam RTRW Kabupaten/Kota
terbuka kemungkinan menetapkan Jalan Lokal Primer lainnya, sesuai dengan kebijakan daerah
yang bersangkutan.
II - 46
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Penetapan dalam RTRWN, penetapan dalam Keputusan Menteri PU tentang Jalan Nasional,
dan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Jalan Provinsi; dan
Kajian terhadap sistem jaringan jalan dan penyimpulan mengenai jaringan jalan yang strategis
untuk ditetapkan dalam RTRW Aceh ini.
Selanjutnya penjelasan atau uraian terhadap sistem jaringan jalan yang ditetapkan di depan dapat
dikemukakan sebagai berikut ini.
1. Jalan Bebas Hambatan (Highway), yang merupakan Jalan Arteri Primer khusus, yang dewasa
ini masih dalam tahap perencanaan teknis (perancangan). Jalan bebas hambatan ini selaras
dengan penetapan dalam Rencana Struktur Ruang Wilayah Nasional pada RTRWN, yaitu
menghubungkan Banda Aceh sampai Medan di Provinsi Sumatera Utara. Jalan bebas
hambatan tersebut merupakan ”komplementer” terhadap Jalan Lintas Timur yang ada
sekarang. Sehubungan dengan karakternya sebagai Jalan Bebas Hambatan, maka
dikembangkan ”interchange” untuk menghubungkannya dengan pusat-pusat penting lainnya
di Aceh. Dengan demikian jaringan jalan bebas hambatan ini akan menghubungkan: PKNp
Banda Aceh – PKN Lhokseumawe – PKW Langsa – dan PKN Medan.
2. Jalan Lintas Timur, yaitu bagian dari Jalan Lintas Timur Pulau Sumatera, yang
menghubungkan Banda Aceh – Medan – dan seterusnya sampai ke Provinsi Lampung di ujung
selatan Pulau Sumatera. Jalan Lintas Timur ini merupakan sumbu wilayah yang paling tinggi
intensitas/volume lalu-lintas pergerakannya, yang menghubungkan PKNp Banda Aceh –
Seulimum – PKL Sigli – PKL Meureudu – PKL Bireuen – PKN Lhokseumawe – PKL Lhok Sukon
– PKL Idi Rayeuk – PKW Langsa – PKL Kuala Simpang/Karang Baru – dan terus ke Provinsi
Sumatera Utara.
3. Jalan Lintas Barat, yaitu bagian dari Jalan Lintas Barat Pulau Sumatera, yang menghubungkan
Banda Aceh – Sibolga – dan seterusnya sampai ke Provinsi Lampung. Pusat-pusat di Aceh
yang dilalui Jalan Lintas Barat ini adalah PKNp Banda Aceh – Lamno – PKL Calang – PKW
Meulaboh – PKL Blangpidie – PKL Tapaktuan – PKWp Subulussalam – dan terus ke Sibolga di
Provinsi Sumatera Utara. Sehubungan dengan bencana gempa dan tsunami akhir 2004 lalu,
sebagian ruas Jalan Lintas Barat ini masih direkonstruksi.
4. Jalan Lintas Tengah, yaitu bagian dari Jalan Lintas Tengah Pulau Sumatera. Di wilayah Aceh,
Jalan Lintas Tengah ini menghubungkan Seulimum (di Jalan Lintas Timur) – PKL Jantho –
Keumala – Tangse – Geumpang – Pameu – PKW Takengon – PKL Blangkejeren – PKL
Kutacane – dan terus ke Provinsi Sumatera Utara. Jalan Arteri Primer Lintas Tengah, dewasa
ini belum efektif memberikan pelayanan bagi pergerakan, sebagian ruas masih perlu
dikembangkan dan ditingkatkan. Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam
pengembangan Jalan Lintas Tengah ini adalah keberadaannya dalam kawasan yang sarat
dengan fungsi lindung dan konservasi, terutama pada Kawasan Ekosistem Leuser dan
Kawasan Ekosistem Ulu Masen. Sehubungan dengan itu perlu dibentuk tim verifikasi dan
evaluasi dalam pembangunan jalan ini, yang akan menilai kelayakan pembangunan dengan
ikut mempertimbangkan kawasan lindung dan konservasi tersebut.
II - 47
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Semua Jalan Arteri Primer yang dijelaskan di atas mempunyai status sebagai jalan nasional,
kecuali ruas Ulee Kareng – Balang Bintang yang merupakan jalan provinsi.
Jalan Kolektor Primer di wilayah Aceh tediri atas ruans-ruas jalan sebagai berikut:
1. Bireuen – Takengon, yang berfungsi menghubungkan PKW Takengon pada JAP Lintas Tengah
– PKL Bireuen dan terus ke PKN Lhokseumawe pada JAP Lintas Timur.
2. Simpang Peut – Jeuram – Genting Gerbang, yang berfungsi menghubungkan PKW Meulaboh
pada JAP Lintas Barat – PKL Suka Makmue – PKW Takengon pada JAP Lintas Tengah.
3. Singkil – Lipat Kajang, yang berfungsi menghubungkan PKL Singkil - PKWp Subulussalam
pada JAP Lintas Barat.
4. Peureulak – Lokop – Blangkejeren, yang berfungsi menghubungkan dari PKW Langsa dan
Peureulak pada JAP Lintas Timur – PKL Blangkejeren pada JAP Lintas Tengah. Pengembangan
ruas jalan ini perlu mempertimbangkan fungsi lindung kawasan yang dilaluinya, oleh karena
itu perlu dibentuk tim verifikasi dan evaluasi dalam pembangunan jalan ini, yang akan menilai
kelayakan pembangunan dengan ikut mempertimbangkan kawasan lindung tersebut.
5. Beureunuen – Keumala, yang berfungsi menghubungkan PKL Sigli dan Beureunuen pada JAP
Lintas Timur – Keumala pada JAP Lintas Tengah, yang selanjutnya didukung ruas Meulaboh-
Tutut-Geumpang akan menghubungkan pula ke PKW Meulaboh.
6. Meulaboh – Tutut – Geumpang, yang berfungsi menghubungkan PKW Meulaboh pada JAP
Lintas Barat – Geumpang pada JAP Lintas Tengah, yang selanjutnya didukung ruas Beureunun
– Keumala akan menghubungkan pula ke PKL Sigli.
7. Jantho – Lamno, yang berfungsi menghubungkan PKL Jantho pada JAP Lintas Tengah –
Lamno pada JAP Lintas Barat yang selanjutnya akan menghubungkan ke PKW Meulaboh dan
PKL Calang. Pengembangan ruas jalan ini perlu mempertimbangkan fungsi lindung kawasan
yang dilaluinya, oleh karena itu perlu dibentuk tim verifikasi dan evaluasi dalam
pembangunan jalan ini, yang akan menilai kelayakan pembangunan dengan ikut
mempertimbangkan kawasan lindung dan konservasi tersebut.
II - 48
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
8. Takengon – Bintang – Kebayakan, yang berfungsi sebagai pendukung JAP Lintas Tengah dan
sekaligus merupakan jalan lingkar keliling Danau Laut Tawar.
9. Krueng Geukueh – Simpang Kebayakan, yang berfungsi menghubungkan PKN Lhokseumawe
dan Krueng Geukueh pada JAP Lintas Timur – PKL Simpang Tiga Redelong dan selanjutnya ke
PKW Takengon. Jalan ini dikenal juga dahulu sebagai jalan angkut kayu untuk PT.KKA (Kertas
Kraft Aceh).
10. Gelombang – Sp.Lawe Deski, yang berfungsi menghubungkan PKWp Subulussalam pada JAP
Lintas Barat – PKL Kutacane pada JAP Lintas Tengah. Pengembangan ruas jalan ini perlu
mempertimbangkan fungsi lindung kawasan yang dilaluinya, oleh karena itu perlu dibentuk
tim verifikasi dan evaluasi dalam pembangunan jalan ini, yang akan menilai kelayakan
pembangunan dengan ikut mempertimbangkan kawasan lindung dan konservasi tersebut.
11. Keliling Pulau Weh Sabang, yang berfungsi menghubungkan pusat Kota Sabang dengan
Pelabuhan Sabang, Bandar Udara Maimun Saleh, Pelabuhan Peyeberangan Balohan, dan
objek-objek lainnya di Pulau Weh.
12. Sinabang – Lasikin, yang berfungsi menghubungkan PKL Sinabang dengan Bandara Lasikin.
Semua Jalan Kolektor Primer tersebut di atas berstatus sebagai Jalan Provinsi.
Jalan Lokal Primer di wilayah Aceh yang ditetapkan dalam RTRW Aceh tediri atas ruas-ruas jalan
sebagai berikut:
1. Blang Bintang – Krueng Raya, yang berfungsi menghubungkan Bandar Udara Sultan Iskandar
Muda dan Pelabuhan Laut Malahayati.
2. Krueng Raya – Laweung – Tibang, yang berfungsi menghubungkan Krueng Raya dengan JAP
Lintas Timur melalui pesisir utara Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Pidie.
3. Ulee Lheue – Simpang Rima, yang berfungsi menghubungkan Pelabuhan Penyeberangan
dengan Simpang Rima di JAP Lintas Barat.
4. Banda Aceh (Sp.Tiga) – Mata Ie, yang berfungsi menghubungkan Kota Banda Aceh dengan
Mata Ie di Kabupaten Aceh Besar.
5. Jantho – Alue Glong, yang berfungsi sebagai jalan alternatif dari Jantho ke JAP Lintas Timur.
6. Sp. Teritit – Samarkilang – Peunaron, yang berfungsi sebagai akses alternatif dan mendorong
perkembangan kawasan yang dilaluinya, yang menghubungkan antara PKL Simpang Tiga
Redelong ke arah PKW Langsa dan PKL Blangkejeren (JKP Peureulak – Lokop –
Blangkejeren).
7. Geudong – Makam Malikussaleh – Mancang, yang berfungsi sebagai akses ke kawasan cagar
budaya peninggalan Kerajaan Samudera Pasai dari JAP Lintas Timur.
8. Lhok Sukon – Cot Girek, yang berfungsi sebagai akses dari JAP Lintas Timur dan mendukung
pengembangan kegiatan di Cot Girek dan sekitarnya.
9. Bintang – Simpang Kraft, sebagai akses alternatif dari jalan lingkar keliling Danau Laut Tawar
ke JAP Lintas Tengah.
10. Isaq – Jagongjeget – Glelungi, sebagai akses mendukung perkembangan kegiatan di
Jagongjeget, Bukit Lintang dan sekitarnya.
11. Blangkejeren – Babah Rot, yang berfungsi menghubungkan PKL Blangkejeren pada JAP
Lintas Tengah – PKL Blangpidie pada JAP Lintas Barat.
II - 49
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
12. Kuala Tuha – Lamie, yang berfungsi menghubungkan Kuala Tuha – Lami yang keduanya pada
JAP Lintas Barat, yang mendorong perkembangan kegiatan di pesisir Kabupaten Nagan Raya.
13. G.Kapur – Trumon – Pulo Paya, yang menghubungkan G.Kapur dan Pulo Paya di JAP Lintas
Barat dengan Trumon, yang mendorong perkembangan kegiatan di Trumon dan sekitarnya.
14. Subulussalam – Rundeng – Kr. Luas, yang menghubungkan PKWp Subulussalam dan Kr. Luas
pada JAP Lintas Barat dengan Rundeng, yang mendorong perkembangan kegiatan di
Rundeng dan sekitarnya.
15. Sinabang – Sibigo, yang menghubugkan PKL Sinabang dengan Sibigo dan pusat-pusat lainnya
di Pulau Simeulue bagian utara/timur.
16. Lasikin – Inor – Nasreuhe, yang menghubungkan pusat-pusat di bagian selatan/barat Pulau
Simeulue, mulai dari Lasikin/Bandara hingga Nasreuhe.
17. Sibigo – Nasreuhe, yang menghubungkan Sibigo dan Nasreuhe, sehingga melengkapi
terbentuknya jalan lingkar Pulau Simeulue.
Semua Jalan Lokal Primer di atas adalah berstatus sebagai Jalan Provinsi. Selain Jalan Lokal
Primer di atas, dalam RTRW Kabupaten/Kota masih mungkin ditetapkan Jalan Lokal Primer sesuai
dengan kebutuhan dan kebijakan Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Rencana pengembangan jaringan jalur kereta api di wilayah Aceh mengacu kepada RTRWN, yang
menetapkan untuk wilayah Aceh ada 2 jaringan yang masing-masing terletak di pesisir timur dan
pesisir barat, yaitu:
1. Revitalisasi jaringan jalur kereta api di pesisir timur, yang menghubungkan Banda Aceh ke
Besitang di Provinsi Sumatera Utara, yaitu dengan menghidupkan kembali jaringan jalur
kereta api yang pernah ada pada pesisir timur tersebut.
2. Pengembangan jaringan jalur kereta api baru di pesisir barat, yang menghubungkan Banda
Aceh ke Sibolga di Provinsi Sumatera Utara.
Berdasarkan UU No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan PP No.61 Tahun 2009 tentang
Kepelabuhanan, prasarana angkutan di perairan yaitu pelabuhan, yang akan melayani jenis
angkutan yang terdiri atas: (1) angkutan laut, (2) angkutan penyeberangan, dan (3) angkutan
sungai dan danau.
Hierarki pelabuhan, yang terdiri atas: pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul, dan
pelabuhan pengumpan;
Pelayanan menurut: angkutan laut dan/atau angkutan penyeberangan;
Jangkauan pelayanan menurut: luar negeri (internasional), dalam negeri antarprovinsi, dalam
negeri dalam provinsi, pelayaran rakyat, dan khusus;
II - 50
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Untuk masing-masing pelabuhan yang ditetapkan tersebut diberikan penjelasan sebagai berikut
ini.
1. Pelabuhan Sabang ditetapkan dalam rencana dengan fungsi sebagai pelabuhan utama, yang
melayani angkutan laut luar negeri (internasional), sehingga dikenal juga sebagai Pelabuhan
Internasional. Pengembangan pelabuhan utama Sabang ini sangat terkait dengan rencana
pengembangan pelabuhan bebas Sabang dan kawasan perdagangan bebas Sabang. Dalam
RTRWN dan RTRWA Sabang ditetapkan dengan hierarki sebagai PKSN/PKW Sabang, dengan
demikian maka Pelabuhan Sabang ini merupakan prasarana pendukung terkait dengan fungsi
PKSN/PKW Sabang. Bila dihubungkan dengan kondisi dan kapasitas pelabuhan Sabang yang
ada dewasa ini, maka rencana untuk Pelabuhan Sabang sebagai Pelabuhan Utama dengan
pelayanan luar negeri (internasional) merupakan pengembangan yang sangat signifikan yang
disertai dengan ”investasi” yang besar sebagai peningkatan dari pelayanan yang ada dewasa
ini..
2. Pelabuhan Balohan di Kota Sabang ditetapkan dalam rencana dengan fungsi sebagai
pelabuhan utama, yang melayani angkutan penyeberangan luar negeri (internasional) dan
dalam negeri dalam provinsi. Angkutan penyeberangan internasional direncanakan untuk
rute atau lintasan penyeberangan Balohan – Phuket (Thailand), baik untuk pelayanan umum
maupun mendukung kegiatan pariwisata. Angkutan penyeberangan dalam negeri dalam
provinsi adalah pada rute atau lintasan Balohan – Ulee Lheue (Banda Aceh) yang merupakan
lintasan strategis nasional dan dikenal dengan lintasan Sabuk Utara Nasional. Lintasan ini
akan menghubungkan PKW/PKSN Sabang dengan PKNp Banda Aceh secara langsung.
II - 51
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Rencana pengembangan untuk pelabuhan Balohan ini adalah pemantapan dan peningkatan dari
kegiatan pelabuhan yang ada dewasa ini.
3. Pelabuhan Ulee Lheue di Kota Banda Aceh ditetapkan dalam rencana dengan fungsi sebagai
pelabuhan utama, yang melayani angkutan penyeberangan luar negeri (internasional) dan
dalam negeri dalam provinsi. Angkutan penyeberangan internasional direncanakan untuk
rute atau lintasan penyeberangan Ulee Lheue – Penang/Langkawi (Malaysia), baik untuk
pelayanan umum maupun mendukung kegiatan pariwisata. Angkutan penyeberangan dalam
negeri dalam provinsi adalah pada rute atau lintasan Ulee Lheue - Balohan (Sabang) yang
merupakan lintasan strategis nasional dan dikenal dengan lintasan Sabuk Utara Nasional.
Lintasan ini akan menghubungkan PKNp Banda Aceh dengan PKW/PKSN Sabang secara
langsung.
II - 52
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Selaras dengan pengembangan lintas penyeberangan untuk Balohan di atas, maka di Ulee
Lheue juga dengan pelayanan angkutan penyeberangan dalam negeri dalam provinsi untuk
rute atau lintasan Ulee Lheue – Lampuyang – Lamteng – terus ke Balohan.
Rencana pengembangan untuk pelabuhan Ulee Lheue ini adalah pemantapan dan
peningkatan dari kegiatan pelabuhan yang ada dewasa ini.
4. Pelabuhan Krueng Geukueh di Kabupaten Aceh Utara. Pelabuhan Krueng Geukueh ini dikenal
juga dengan Pelabuhan Lhokseumawe, yang mendukung PKN Lhokseumawe. Pelabuhan
Krueng Geukueh ditetapkan dengan fungsi sebagai pelabuhan utama, yang melayani
angkutan laut luar negeri (internasional) dan angkutan penyeberangan luar negeri
(internasional) dengan rute atau lintasan Lhokseumawe – Penang/Langkawi (Malaysia)..
Rencana pengembangan untuk pelabuhan ini adalah pemantapan dan peningkatan untuk
pelayanan angkutan laut luar negeri (internasional), dan pengembangan untuk pelayanan
angkutan penyeberangan penyeberangan luar negeri (internasional).
5. Pelabuhan Khusus Lhokseumawe di Kota Lhokseumawe, yang merupakan pelabuhan untuk
pengapalan LNG (ekspor LNG), dan dikelola oleh perusahaan. Bila dilihat dari pelayanannya
maka pelabuhan ini merupakan pelabuhan utama dengan pelayanan angkutan luar negeri
(internasional) dengan bentuk kegiatan pelayanan khusus, yaitu ekspor LNG. Pelabuhan ini
mendukung PKN Lhokseumawe.
6. Pelabuhan Meulaboh di Kabupaten Aceh Barat. Pelabuhan Meulaboh ini mendukung PKW
Meulaboh, dengan fungsi sebagai pelabuhan pengumpul, yang melayani angkutan laut dalam
negeri antarprovinsi dan pelayaran rakyat, serta angkutan penyeberangan dalam negeri
dalam provinsi dengan rute atau lintasan Meulaboh – Sinabang dan Meulaboh – Sibigo.
Pelabuhan Meulaboh ini mengalami kerusakan berat dalam bencana tsunami tahun 2004.
Dengan demikian rencana pengembangan untuk pelabuhan Meulaboh ini adalah revitalisasi
dan peningkatan untuk melayani angkutan laut dan pengembangan untuk pelayanan
angkutan penyeberangan.
7. Pelabuhan Malahayati di Kabupaten Aceh Besar. Pelabuhan Malahayati ini mendukung PKNp
Banda Aceh, dengan fungsi sebagai pelabuhan pengumpul, yang melayani angkutan laut
dalam negeri antarprovinsi dan pelayaran rakyat. Rencana pengembangan untuk pelabuhan
ini adalah pemantapan dan peningkatan dari kegiatan pelabuhan yang ada dewasa ini.
8. Pelabuhan Kuala Langsa di Kota Langsa. Pelabuhan Kuala Langsa ini mendukung PKW
Langsa, dengan fungsi sebagai pelabuhan pengumpan, yang melayani angkutan laut dalam
negeri antarprovinsi dan pelayaran rakyat. Rencana untuk pelabuhan Kuala Langsa ini adalah
pemantapan dan peningkatan dari pelayanan angkutan laut yang ada dewasa ini.
9. Pelabuhan Sinabang di Kabupaten Simeulue. Pelabuhan Sinabang ini mendukung PKL
Sinabang, dengan fungsi sebagai pelabuhan pengumpan, yang melayani angkutan laut dan
angkutan penyeberangan. Untuk angkutan laut pelayanannya adalah dalam negeri
antarprovinsi. Untuk angkutan penyeberangan pelayanannya adalah dalam negeri dalam
provinsi, dengan lintasan/rute: Sinabang – Meulaboh, Sinabang – Labuhanhaji, dan Sinabang –
Kep. Banyak – Singkil. Rencana untuk pelabuhan Sinabang adalah pemantapan dan
peningkatan dari pelayanan yang ada dewasa ini, baik untuk angkutan laut dan angkutan
penyeberangan.
10. Pelabuhan Sibigo di Kabupaten Simeulue. Pelabuhan Sibigo dengan fungsi sebagai pelabuhan
pengumpan, yang melayani angkutan laut pelayaran rakyat, dan angkutan penyeberangan
II - 53
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
dalam negeri dalam provinsi, dengan lintasan/rute: Sibigo – Meulaboh. Rencana untuk
pelabuhan Sibigo adalah pengembangan, baik untuk angkutan alut maupun angkutan
penyeberangan..
11. Pelabuhan Susoh di Kabupaten Aceh Barat Daya. Pelabuhan Susoh ini mendukung PKWp
Blangpidie, dengan fungsi sebagai pelabuhan pengumpan, yang melayani angkutan laut
dalam negeri dalam provinsi dan pelayaran rakyat. Rencana untuk pelabuhan Susoh adalah
peningkatan dari pelayanan yang ada dewasa ini.
12. Pelabuhan Tapaktuan di Kabupaten Aceh Selatan. Pelabuhan Tapaktuan mendukung PKL
Tapaktuan, dengan fungsi sebagai pelabuhan pengumpan, yang melayani angkutan laut
dalam negeri dalam provinsi dan pelayaran rakyat. Rencana untuk pelabuhan Tapaktuan ini
adalah peningkatan dari pelayanan yang ada dewasa ini.
13. Pelabuhan Labuhanhaji di Kabupaten Aceh Selatan. Pelabuhan Labuhanhaji dengan fungsi
sebagai pelabuhan pengumpan, yang melayani angkutan laut dalam negeri pelayaran rakyat,
dan angkutan penyeberangan dalam negeri dalam provinsi, dengan lintasan/rute:
Labuhanhaji – Sinabang. Rencana untuk pelabuhan Labuhanhaji adalah pemantapan dan
peningkatan dari pelayanan yang ada dewasa ini.
14. Pelabuhan Sibadeh di Kabupaten Aceh Selatan. Pelabuhan Sibadeh berfungsi sebagai
pelabuhan pengumpan, yang melayani angkutan laut dalam negeri dalam provinsi dan
pelayaran rakyat. Rencana untuk pelabuhan Sibadeh adalah peningkatan dari pelayanan yang
ada dewasa ini.
15. Pelabuhan Singkil di Kabupaten Aceh Singkil. Pelabuhan Singkil mendukung PKL Singkil, dan
juga PKWp Subulussalam, dengan fungsi sebagai pelabuhan pengumpan, yang melayani
angkutan laut dan angkutan penyeberangan. Untuk angkutan laut pelayanannya adalah
dalam negeri antarprovinsi dan pelayaran rakyat. Untuk angkutan penyeberangan dalam
negeri antarprovinsi dan dalam provinsi. Rute/lintasan angkutan penyeberangan dalam
negeri antarprovinsi adalah Singkil – Sibolga/Nias di Provinsi Sumatera Utara; dan dalam
provinsi adalah Singkil – Kepulauan Banyak – Sinabang. Rencana untuk pelabuhan Singkil ini
adalah peningkatan dan pengembangan baik untuk pelayanan angkutan laut maupun untuk
pelayanan angkutan penyeberangan.
16. Pelabuhan Kepulauan Banyak di Kabupaten Aceh Singkil. Pelabuhan Kepulauan Banyak ini
berfungsi sebagai pelabuhan pengumpan, yang melayani angkutan laut dalam negeri
pelayaran rakyat, dan angkutan penyeberangan dalam negeri antarprovinsi dan dalam
provinsi. Angkutan penyeberangan dalam negeri antarprovinsi adalah pada rute/lintasan
Kepulauan Banyak – Sibolga/Nias Provinsi Sumatera Utara, terutama dalam rangka
mendukung kegiatan pariwisata. Angkutan penyeberangan dalam negeri dalam provinsi
adalah pada rute/lintasan Kep. Banyak – Singkil, dan Kep. Banyak – Sinabang. Rencana untuk
pelabuhan Kep. Banyak adalah pemantapan dan peningkatan dari pelayanan yang ada
dewasa ini.
17. Pelabuhan Calang di Kabupaten Aceh Jaya. Pelabuhan Calang mendukung PKL Calang,
dengan fungsi sebagai pelabuhan pengumpan, yang melayani angkutan laut dalam negeri
dalam provinsi dan pelayaran rakyat. Rencana untuk pelabuhan Calang adalah peningkatan
dari pelayanan yang ada dewasa ini.
18. Pelabuhan Idi di Kabupaten Aceh Timur. Pelabuhan Idi mendukung PKL Idi Rayeuk, dengan
fungsi sebagai pelabuhan pengumpan, yang melayani angkutan laut dalam negeri
antarprovinsi dan pelayaran rakyat. Pelabuhan Calang ini juga dimanfaatkan sebagai
II - 54
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
pelabuhan untuk kegiatan perikanan. Rencana untuk pelabuhan Idi adalah pemantapan dan
peningkatan dari pelayanan yang ada dewasa ini.
19. Pelabuhan Lampuyang di Kabupaten Aceh Besar, yang terletak di Pulau Breuh Kecamatan
Pulo Aceh. Pelabuhan Lampuyang berfungsi sebagai pelabuhan pengumpan, yang melayani
angkutan penyeberangan dalam negeri dalam provinsi, dengan rute/lintasan: Lampuyang –
Lamteng – Ulee Lheue, dan Lampuyang – Balohan, atau merupakan jalur/lintasan: Ulee Lheue
– Lamteng – Lampuyang – Balohan. Rencana untuk pelabuhan Lampuyang adalah
pengembangan.
20. Pelabuhan Lamteng di Kabupaten Aceh Besar, yang terletak di Pulau Nasi Kecamatan Pulo
Aceh. Pelabuhan Lamteng berfungsi sebagai pelabuhan pengumpan, yang melayani angkutan
penyeberangan dalam negeri dalam provinsi, dengan lintasan/rute: Lamteng – Ulee Lheue,
dan Lamteng – Lampuyang – Balohan, atau merupakan jalur/lintasan: Ulee Lheue – Lamteng –
Lampuyang – Balohan. Rencana untuk pelabuhan Lamteng adalah pengembangan.
Dalam RTRWN di wilayah Aceh ditetapkan hanya satu Bandar Udara (Bandara), yaitu Bandara
Sultan Iskandar Muda (SIM) sebagai Pusat Penyebaran Tersier. Dengan mengacu kepada UU No.1
Tahun 2009 tentang Penerbangan, maka rencana pengembangan dan penetapan bandar udara di
wilayah Aceh akan dibedakan menurut:
Secara khusus untuk RTRWP perlu dikemukakan pusat yang didukung oleh bandara yang
bersangkutan (PKN, PKNp, PKSN, PKW, PKWp atau PKL).
Pada tabel 20 dikemukakan rencana pengembangan bandar udara dalam wilayah Aceh.
II - 55
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Selanjutnya terhadap masing-masing bandar udara dapat dijelaskan sebagai berikut ini.
1. Bandara Sultan Iskandar Muda, mendukung PKNp Banda Aceh, yang akan melayani
penerbangan internasional, dan merupakan bandara pengumpul dari beberapa bandara
lainnya di Aceh dan provinsi lainnya. Bandara Sultan Iskandar Muda ini terletak di Kabupaten
Aceh Besar (Kecamatan Blang Bintang). Pengembangan bandara ini sejalan dengan rencana
mengembangkan core region “Banda Aceh-Sabang-Aceh Besar” sebagai pintu gerbang
Indonesia di bagian barat. Secara khusus bandara Sultan Iskandar Muda ini merupakan
bandara embarkasi haji Indonesia yang terletak paling barat dan paling dekat ke arah Jeddah
dan Madinah di Kerajaan Arab Saudi. Selain itu Bandara Sultan Iskandar Muda ini juga
berperan sebagai Pangkalan Udara. Rencana untuk Bandara Sultan Iskandar Muda adalah
pemantapan dan peningkatan dari pelayanan yang ada dewasa ini, sebagai pendukung PKNp
Banda Aceh..
2. Bandara Malikussaleh, mendukung PKN Lhokseumawe, yang akan melayani penerbangan
domestik, dan merupakan bandara pengumpan. Bandara Malikussaleh ini terletak di
Kabupaten Aceh Utara (Kecamatan Muara Batu). Rencana untuk Bandara Malikussaleh
adalah pemantapan dan peningkatan dari pelayanan yang ada dewasa ini, sehubungan
dengan perannya sebagai pendukung PKN Lhokseumawe.
3. Bandara Cut Nyak Dhien, mendukung PKW Meulaboh, yang akan melayani penerbangan
domestik, dan merupakan bandara pengumpan. Bandara Cut Nyak Dhien ini terletak di
Kabupaten Nagan Raya, sehingga mendukung juga PKL Jeuram-Suka Makmue. Rencana
untuk Bandara Cut Nyak Djieh adalah peningkatan dari pelayanan yang ada dewasa ini,
sehubungan dengan perannya sebagai pendukung PKW Meulaboh.
4. Bandara Maimun Saleh, mendukung PKW dan PKSN Sabang, yang akan melayani
penerbangan domestik, dan merupakan bandara pengumpan. Bandara Maimun Saleh jiga
berperan sebagai Pangkalan Udara, yang terutama terkait dengan penetapannya sebagai
PKSN. Rencana untuk Bandara Maimun Saleh adalah pemantapan dan peningkatan
pelayanan dari pelayanan yang ada dewasa ini, sehubungan dengan peranya sebagai
pendukung PKW dan PKSN Sabang.
5. Bandara Rembele, mendukung PKW Takengon, yang akan melayani penerbangan domestik,
dan merupakan bandara pengumpan. Bandara Rembele ini terletak di Kabupaten Bener
Meriah, sehingga mendukung juga PKL Simpang Tiga Redelong. Rencana untuk Bandara
Rembele adalah pemantapan dan peningkatan pelayanan yang ada dewasa ini, sehubungan
dengan perannya sebagai pendukung PKW Takengon.
6. Bandara Lasikin, mendukung PKL Sinabang, yang akan melayani penerbangan domestik, dan
merupakan bandara pengumpan. Bandara Lasikin ini mempunyai arti penting dalam konteks
keterkaitan antar bagian wilayah di Aceh (bersama-sama dengan pelabuhan penyeberangan)
sehubungan dengan terpisahnya daratan Pulau Simeulue dengan daratan utama (mainland)
Pulau Sumatera. Rencana untuk Bandara Lasikin adalah pemantapan dari pelayanan yang ada
dewasa ini.
7. Bandara Teuku Cut Ali, mendukung PKL Tapaktuan, yang akan melayani penerbangan
domestik, dan merupakan bandara pengumpan. Rencana untuk Bandara Teuku Cut Ali adalah
pemantapan dari pelayanan yang ada dewasa ini.
8. Bandara Kuala Batu, mendukung PKWp Blangpidie, yang akan melayani penerbangan
domestik, dan merupakan bandara pengumpan. Rencana untuk Bandara Kuala Batu ini
II - 56
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
adalah peningkatan dari pelayanan yang ada dewasa ini, sehubungan dengan perannya
sebagai pendukung PKWp Blangpidie.
9. Bandara Alas Leuser, mendukung PKL Kutacane, yang akan melayani penerbangan domestik,
dan merupakan bandara pengumpan. Rencana untuk Bandara Alas Leuser adalah
pemantapan dari pelayanan yang ada dewasa ini.
10. Bandara Hamzah Fansyuri, mendukung PKL Singkil, yang akan melayani penerbangan
domestik, dan merupakan bandara pengumpan. Bandara Hamzah Fansyuri ini juga akan
mendukung pelayanan PKWp Subulussalam. Rencana untuk Bandara Hamzah Fansyusi adalah
peningkatan dari pelayanan yang ada dewasa ini, sehubungan dengan perannya sebagai
pendukung PKL Singkil dan terutama PKWp Subulussalam.
11. Bandara “Point A”, yang merupakan bandara khusus untuk perusahaan penambangan migas,
yang berdekatan dengan PKL Lhok Sukon, yang akan melayani kepentingan perusahaan yang
bersangkutan, dengan pelayanan domestik dan merupakan bandara pengumpan.
Dalam konteks sistem interkoneksi tersebut di Aceh dikembangkan pembangkit tenaga listrik
yang meliputi:
1. PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap), yang potensial dikembangkan di pesisir barat;
2. PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas), yang potensial dikembangkan di pesisir timur dan
Banda Aceh dan sekitarnya;
3. PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi), yang potensial dikembangkan di Sabang
dan Aceh Besar; dan
4. PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air), yang potensial dikembangkan di DAS Peusangan,
Bendungan Jambo Aye di Aceh Utara, dan Waduk Tampur di Aceh Tamiang.
Sementara untuk sistem setempat dikembangkan dengan PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga
Diesel), dan PLTM (Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro).
Dalam konteks sistem jaringan interkoneksi tersebut di atas, dikembangkan jaringan SUTT
(Saluran Udara Tegangan Tinggi) dan penempatan GI (Gardu Induk). Rencana pengembangan
jaringan SUTT tersebut meliputi:
II - 57
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Sementara pengembangan Gardu Induk, yang meliputi peningkatan dari kapasistas yang ada
dewasa ini (Up Rating) dan GI Baru, yaitu:
(Up Rating):
(GI Baru):
1. Blangpidie, 20MVA,
2. Tapaktuan, 20 MVA,
3. Takengon, 20 MVA,
4. Meulaboh, 40 MVA,
5. Kutacane, 20 MVA,
6. Subulussalam, 20 MVA,
7. Jantho, 20 MVA,
8. Panton Labu, 30 MVA.
Sumber daya air meliputi air permukaan dan air bawah tanah. Oleh karena itu sumber daya air
yang terdapat dalam suatu wilayah adalah pada setiap wilayah sungai dan cekungan air tanah.
Wilayah Sungai (WS) telah ditetapkan secara nasional berdasarkan Peraturan Menteri PU No.
11A/PRT/M/2006, sementara cekungan air tanah masih perlu diidentifikasi melalui kajian yang
seksama.
Konservasi sumber daya air menyangkut upaya untuk menjaga kuantitas dan kualitas air, yang
sangat terkait dengan upaya pelestarian lingkungan berupa menjaga dan/atau meningkatkan
kualitas kawasan lindung dan mengendalikan/membatasi kegiatan di kawasan budidaya yang
dapat menurunkan kuantitas dan kualitas air.
II - 58
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
dan berbagai kegiatan lainnya seperti industri dalam wilayah, kebutuhan khusus lainnya seperti
pembangkit tenaga listrik, penggelontoran saluran pada kawasan perkotaan, air tawar untuk
tambak, dan sebagainya. Sementara pengendalian daya rusak air terkait dengan upaya
mengantisipasi bencana yang disebabkan oleh air, terutama berbentuk banjir.
Dengan demikian pengembangan prasarana sumber daya air akan meliputi: konservasi sumber
daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air; yang perlu dilakukan
dengan penelitian dan perencanaan secara lebih teknis.
Pada tabel 21 dikemukakan Wilayah Sungai (WS) di Aceh, yang menjelaskan penetapan yang telah
ditetapkan dalam RTRWN, yaitu yang dikelola oleh Pemerintah Pusat; yang akan ditetapkan
dalam RTRWP NAD, yaitu yang dikelola Pemerintah Aceh, dan juga yang dikelola Pemerintah
Kabupaten Simeulue.
B. Pengembangan Irigasi
Salah satu bentuk pemanfaatan sumber daya air yang paling signifikan bagi pengembangan
wilayah Aceh adalah pengembangan irigasi atau pengairan, yang akan mendukung
pengembangan lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Daerah Irigasi (DI) yang ditetapkan dalam RTRW Aceh ini adalah DI pada tingkat kewenangan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh. Pada tabel 22ditunjukkan penetapan DI dalam RTRW
Aceh sejumlah 56 DI, yang 12 DI di antaranya merupakan kewenangan Pemerintah Pusat dan 44
DI kewenangan Pemerintah Aceh (Pemerintah Aceh). Penetapan DI dalam RTRW Aceh ini
mengacu kepada Keputusan Menteri PU No.390/KPTS/M/2007.
II - 59
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
1. pemantapan: dalam arti dominan bersifat mempertahankan dan memelihara agar kualitas
dan kuantitas yang terkandung di dalamnya tetap efektif memberikan pelayanan;
2. pengembangan: dalam arti dominan bersifat pengembangan atau perluasan dari yang sudah
ada, revitalisasi yang sudah ada namun mengalami penurunan kualitas dan/atau kuantitas
pelayanan, dan/atau pengembangan baru.
II - 60
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 61
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
C. Pengembangan Waduk
Sejalan dengan pengembangan secara nasional, maka pengembangan sistem jaringan kabel
telekomunikasi/telepon mencapai minimal ibukota kabupaten/kota dan sebagian besar ibukota
kecamatan. Sementara pengembangan prasarana telekomunikasi adalah melalui pengembangan
jaringan telepon seluler, dengan pengembangan menara BTS (Base Transciever Station), yang
selain akan melayani kawasan perkotan juga akan menjangkau kawasan perdesaan.
II - 62
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Untuk mewujudkan pengembangan Aceh Cyber Province dibangun sistem telekomunikasi tanpa
kabel (wireless) yang akan saling menghubungkan dengan 23 kabupaten/kota di Aceh.
Pengembangan tersebut meliputi pengembangan:
Perkembangan kawasan perkotaan yang akan berkarakter lintas kabupaten/kota tersebut adalah:
- PKNp Banda Aceh (lintas Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar); dan
- PKN Lhokseumawe (lintas Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara).
Prasarana permukiman perkotaan yang dimaksud dalam hal ini adalah meliputi:
Prasarana jaringan air bersih perpipaan ini meliputi sejak dari sumber air baku, transmisi ke
pengolahan, pengolahan (Instalasi Pengolahan Air Bersih/IPAB), dan distribusi hingga ke
konsumen air bersih. Jaringan prasarana demikian ini pada kedua kawasan perkotaan di atas akan
berkarakter lintas kabupaten/kota.
Begitu juga dengan prasarana pengolahan sampah (TPA Sampah), yang diharapkan berada pada
jarak yang memadai terhadap kawasan permukiman perkotaan yang ada, sehingga sangat besar
kemungkinannya untuk terletak di wilayah kabupaten yang mempunyai lokasi demikian.
Rencana Pola Ruang Wilayah Aceh meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya yang
memiliki nilai strategis pada tingkat wilayah Aceh.
II - 63
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Dalam identifikasi penetapan kawasan lindung menurut aspek deskriptif pada prinsipnya
ditetapkan untuk semua jenis kawasan lindung secara umum atau normatif. Sementara
penetapan menurut aspek delineasi pada wilayah Aceh (pada Peta Rencana), diidentifikasikan
dengan istilah: Ditetapkan, untuk penetapan yang ada dalam RTRW Aceh; dan Belum Ditetapkan,
untuk penetapan yang belum atau tidak ada pada wilayah Aceh dan/atau pada tingkat RTRW
Aceh. Selanjutnya untuk delineasi yang Belum Ditetapkan tersebut akan diidentifikasikan dalam
rencana rinci/detail kawasan (pada tingkat provinsi ini adalah Rencana Tata Ruang Kawasan
Strategis Aceh), dan RTRW Kabupaten/Kota di Aceh, dengan skala peta yang lebih besar.
Penetapan deskripsi dan delineasi seperti yang dijelaskan tersebut (Ditetapkan dan Belum
Ditetapkan) berkenaan dengan kawasan lindung yang bernilai strategis pada tingkat wilayah
Aceh (Provinsi) serta skala peta rencana yang dapat menggambarkan kawasan lindung tersebut.
Kelompok utama kawasan lindung sesuai dengan penetapan pada RTRWN (PP No.26/2008)
meliputi:
II - 64
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
3. Kaw.Sekitar Danau atau Waduk - - Sekitar Danau Laut Tawar, Aceh Tengah;
- Sekitar Danau Anak Laut, Sabang.
4. Cagar Alam dan Cagar Alam - Cagar Alam Serbajadi (Raflesia), luas: 311,00 Ha, ter- - -
Laut letak di Aceh Timur.
- Cagar Alam Pinus Jantho, luas: 16.462,84 Ha,
terletak di Aceh Besar
6. Taman Nasional dan Taman Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), luas: - -
Nasional Laut 624.998,13 Ha, terletak di: Aceh Tenggara, Gayo Lues,
Aceh Selatan, Subulussalam, Aceh Barat Daya, dan Aceh
Tamiang.
7. Taman Hutan Raya (Tahura) - Tahura Pocut Meurah Intan, luas: 5,725,87 Ha, terle- - -
tak di Aceh Besar dan Pidie.
- Tahura Tepah Selatan, luas: 821,00 Ha, terletak di
Simeulue.
8. Taman Wisata Alam dan Taman - TWA Iboih Sabang, luas: 1.314,49 Ha, di Sabang. - -
Wisata Alam Laut (TWA/TWAL) - TWAL Pulau Weh Sabang, luas: 5.355,35 Ha, di Sabang.
- TWA Pulau Banyak, luas: 27.888,35 Ha, di Aceh Singkil.
- TWAL Kepulauan Banyak, luas: 204.379,60 Ha, di Aceh
Singkil.
- TWA Anak Laut Singkil, luas: 1.259,00 Ha, di Aceh
Singkil.
II - 65
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
9. Kawasan Cagar Budaya dan - Peninggalan Kesultanan Aceh berupa bangunan dan/ - -
Ilmu Pengetahuan atau situs, di Banda Aceh dan Aceh Besar.
- Peninggalan Kerajaan Islam Samudera Pasai beru-
pa bangunan dan/atau situs dan Monumen Samude-
ra Pasai, di Aceh Utara.
5. Kawasan Rawan Angin Badai - Aceh Timur, Aceh Utara, dan Aceh Barat. -
6. Kaw. Rawan Kebakaran Hutan - Hutan di sepanjang pinggir jalan, hutan pinus, dan -
lahan gambut.
b. Kaw. Rawan Gempa Bumi - Kawasan yang dilalui oleh sesar aktif di wilayah -
bagian tengah / pegunungan wilayah Aceh.
c. Kaw. Rawan Gerakan Tanah - Kawasan yang dilalui oleh sesar aktif di wilayah -
(longsor dan amblas) bagian tengah / pegunungan wilayah Aceh.
d. Kaw. Yang Terletak Pada Zona - Kawasan yang dilalui oleh sesar aktif di wilayah -
Patahan Aktif bagian tengah / pegunungan wilayah Aceh.
f. Kaw. Rawan Abrasi - Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Aceh Barat, -
Aceh Jaya, Aceh Besar, Banda Aceh, Pidie,
Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara, Lhokseumawe,
Aceh Timur, Aceh Tamiang.
g. Kawasan Rawan Bahaya Gas - Pada kawasan rawan letusan gunung berapi di -
Beracun Bener Meriah, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Besar,
Sabang.
II - 66
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
3. Taman Buru (TB) Taman Buru Lingga Isaq, luas: 84.962,53 Ha, terletak - -
di Aceh Tengah.
4. Kawasan Perlindungan Plasma - KPN Leupung, luas: 1.300,00 Ha, terletak dalam Hutan - -
Nutfah (KPPN) Produksi di Aceh Besar.
- KPN Kapur, luas: 1.821,00 Ha, terletak dalam Areal Peng-
gunaan Lain (APL) di Subulussalam.
5. Kaw. Pengungsian Satwa - Pusat Konservasi Gajah Cot Girek, luas: 793,00 Ha, - -
terletak dalam Hutan Produksi di Aceh Utara.
7. Kaw. Koridor Bagi Jenis Satwa - Koridor Singkil - Bengkung, luas: 2.307 Ha, -
atau Biota Laut yang Dilindungi di Aceh Selatan (sebagai koridor satwa yang
dilindungi)
II - 67
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 68
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Bila dihubungkan dengan jenis kawasan lindung sebagaimana ditetapkan dalam RTRWN, maka
dalam penetapan kawasan lindung pada tingkat RTRW Aceh ini akan terdapat 3 kelompok
kawasan lindung, yaitu:
a. Jenis dan sebaran kawasan lindung yang ditetapkan, yang ditunjukkan dengan
penggambaran delineasinya dalam rencana pola ruang wilayah Aceh;
b. Jenis kawasan lindung yang diindikasikan sebarannya, yang belum didelineasikan dalam
rencana pola ruang wilayah Aceh;
c. Jenis kawasan lindung yang belum ditetapkan/diindikasikan; dengan catatan terbuka peluang
di kemudian hari untuk penetapannya.
Untuk jenis kawasan lindung yang belum ditetapkan delineasinya dalam pola ruang wilayah pada
tingkatan RTRW Aceh ini, akan ditetapkan dan didelineasikan dalam rencana rinci pada Rencana
Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional, Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Aceh, serta pada
RTRW Kabupaten/Kota, yang masing-masing sesuai dengan tingkat ketelitian peta yang
ditetapkan.
Khusus untuk kawasan lindung yang merupakan hutan, yaitu hutan konservasi dan hutan lindung,
penetapannya disesuaikan dengan penetapan fungsi kawasan hutan oleh Kementerian
Kehutanan dan Dinas Kehutanan & Perkebunan Aceh.
Selanjutnya untuk kelompok jenis dan sebaran kawasan lindung yang ditetapkan dalam pola
ruang wilayah pada RTRW Aceh (yaitu kelompok a. di atas) dijelaskan sebagai berikut ini.
Sebaran kawasan hutan lindung tersebut terletak di kabupaten/kota di Aceh kecuali Kota Banda
Aceh dan Kota Lhokseumawe, dengan rincian: Sabang (5.060,00 Ha), Aceh Besar (118.700,00 Ha),
Pidie (207.300,00 Ha), Pidie Jaya (60.270,00 Ha), Bireuen (74.870,00 Ha), Aceh Utara (55.990,00
Ha), Aceh Timur (318.600,00 Ha), Langsa (3.360,00 Ha), Aceh Tamiang (84.290,00 Ha), Aceh Jaya
(290.700,00 Ha), Aceh Barat (146.900,00 Ha), Nagan Raya (263.800,00 Ha), Aceh Barat Daya
(94.380,00 Ha), Aceh Selatan (211.300,00 Ha), Aceh Singkil (38.840,00 Ha), Subulussalam
(54.410,00 Ha), Aceh Tenggara (99.060,00 Ha), Gayo Lues (274.100,00 Ha), Aceh Tengah
(227.700,00 Ha), Bener Meriah (121.600,00 Ha), dan Simeulue (121.400,00 Ha).
2. Kawasan Bergambut (Gambut), luas: 50.000,00 Ha, yaitu Kawasan Rawa Gambut Tripa, yang
terletak di Kabupaten Aceh Barat Daya dan Kabupaten Nagan Raya. Dalam penetapan pada
PP No.26/2008 tentang RTRWN dan Keppres No.32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung, kawasan bergambut ini dimasukkan dalam klasifikasi kawasan yang memberikan
perlindungan kawasan bawahannya.
II - 69
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 70
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
3. Kawasan Pengungsian Satwa, yaitu Pusat Konservasi Gajah (PKG) dengan luas: 793,00 Ha, di
Kecamatan Cot Girek Kabupaten Aceh Utara, yang dewasa ini masih terletak dalam kawasan
Hutan Produksi. Pusat Konservasi Gajah ini dimaksudkan sebagai pengganti dari Pusat
Latihan Gajah (PLG) seluas 112,00 Ha yang terletak di Lhok Asan Kabupaten Aceh Utara.
4. Terumbu Karang, yang tercakup dalam penetapan TWAL (Taman Wisata Alam Laut) (lihat
huruf B angka 6 di atas).
5. Koridor Satwa Yang Dilindungi, , yaitu Koridor Singkil – Bengkung, yang terletak di Kabupaten
Aceh Selatan dengan perkiraan luas: 2.307,00 Ha. Koridor tersebut merupakan bagian dari
Taman Nasional Gunung Leuser yang menyambung dengan Suaka Margasatwa Rawa Singkil.
Koridor Singkil – Bengkung ini merupakan jalur migrasi satwa: gajah, harimau, beruang, dan
satwa lainnya di antara kedua kawasan tersebut.
6. Kawasan Hutan Pendidikan STIK (hutan dengan tujuan khusus), luas: 80,00 Ha, yaitu Hutan
Pendidikan STIK di Kabupaten Aceh Besar, yang dewasa ini masih terletak di dalam kawasan
Hutan Produksi.
Dalam identifikasi penetapan kawasan budidaya menurut aspek deskriptif pada prinsipnya
ditetapkan untuk semua jenis kawasan budidaya secara umum atau normatif. Sementara
penetapan menurut aspek delineasi pada wilayah Aceh (pada Peta Rencana), diidentifikasikan
dengan istilah: Ditetapkan, untuk penetapan yang ada dalam RTRW Aceh; dan Belum Ditetapkan,
untuk penetapan yang belum atau tidak ada pada wilayah Aceh dan/atau pada tingkat RTRW
Aceh. Selanjutnya untuk delineasi yang Belum Ditetapkan tersebut akan diidentifikasikan dalam
rencana rinci/detail kawasan (Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Aceh), dan RTRW
Kabupaten/Kota di Aceh, dengan skala peta yang lebih besar.
Kawasan budidaya yang ditetapkan delineasinya atau yang diidentifikasikan dengan Ditetapkan
dalam RTRW Aceh ini dimaksudkan sebagai ”kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis
provinsi di Aceh”, sebagaimana yang dimaksudkan dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang Pasal 23 ayat (1) huruf c.
Kawasan budidaya lainnya yang belum ada delineasinya (diidentifikasikan dengan: Belum
Ditetapkan) pada tingkatan RTRW Aceh ini ditetapkan sebagai kegiatan unggulan yang lokasi
pengembangannya ditetapkan menurut Kawasan Andalan Aceh berdasarkan Wilayah
Pengembangan (WP), sehingga disingkat KAA-WP.
Jenis kawasan budidaya ini sesuai dengan penetapan pada RTRWN (PP No.26/2008) meliputi:
II - 71
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
1. Kawasan peruntukan hutan produksi (dengan deskripsi tambahan mengenai Hutan Tanaman
Rakyat/HTR dalam Kawasan Hutan Produksi);
2. Kawasan peruntukan hutan rakyat;
3. Kawasan peruntukan pertanian; (dengan pendetailan menurut pertanian tanaman pangan
lahan basah, pertanian tanaman pangan lahan kering, hortikultura, perkebunan, dan
peternakan);
4. Kawasan peruntukan perikanan;
5. Kawasan peruntukan pertambangan;
6. Kawasan peruntukan industri;
7. Kawasan peruntukan pariwisata;
8. Kawasan peruntukan permukiman (dengan pendetailan menurut permukiman perkotaan dan
permukiman perdesaan);
9. Kawasan peruntukan lainnya (yang tidak atau belum diidentifikasikan dalam RTRW Aceh ini).
II.4.1.4.2.2 Rencana Penetapan Kawasan Budidaya Yang Memiliki Nilai Strategis Provinsi
Berdasarkan kajian atau analisis mengenai pola ruang kawasan budidaya, kawasan budidaya yang
memiliki nilai strategis provinsi di Aceh, yang didelineasikan dalam Peta Rencana Pola Ruang
Wilayah Aceh meliputi:
kawasan hutan produksi, yang terdiri atas hutan produksi terbatas (HPT) dan hutan
produksi tetap (HP);
kawasan pertanian pangan lahan basah (sawah).
Penetapan kawasan hutan produksi sebagai kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis
provinsi di wilayah Aceh didasarkan pada pertimbangan bahwa dari letak dan sebaran kawasan
hutan produksi tersebut dapat dapat berperan:
sebagai penyangga atau buffer antara kawasan lindung dengan kawasan budidaya
lainnya;
ikut memberikan sumbangan dalam fungsi perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
sehingga selaras dengan spirit Aceh Hijau dalam tujuan penataan ruang wilayah Aceh.
Penetapan kawasan hutan produksi di wilayah Aceh akan disesuaikan dengan penetapan fungsi
kawasan hutan di wilayah Aceh, khususnya untuk hutan produksi, oleh Kementerian Kehutanan
dan Dinas Kehutanan & Perkebunan Aceh.
Sementara penetapan kawasan pertanian pangan lahan basah (sawah) sebagai kawasan yang
memiliki nilai strategis provinsi di Aceh didasarkan pada pertimbangan:
Penetapan kawasan pertanian pangan lahan basah (sawah) di wilayah Aceh disesuaikan dengan
penetapan Daerah Irigasi (DI) dalam wilayah Aceh yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Aceh. Catatan: Untuk Daerah Irigasi (DI) yang merupakan kewenangan
II - 72
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Pada tabel 29 ditunjukkan rencana penetapan kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis
pada tingkat RTRW Aceh yang meliputi: kawasan budidaya hutan produksi, kawasan pertanian
pangan lahan basah (sawah). Penggambaran Pola Ruang Wilayah Aceh yang menunjukkan
sebaran kawasan budidaya dimaksud dapat dilihat pada Gambar 9.
TABEL IV.2.2
PENETAPAN KAWASAN
Tabel 29 Penetapan Kawasan Budidaya YangBUDIDAYA
Memiliki Nilai Strategis Provinsi
YANG MEMILIKI NILAI STRATEGIS PROVINSI DI ACEH
Hutan Produksi Pertanian Pangan Lahan Basah Kaw. Budi-
KABUPATEN/KOTA HPT HP HPK Total DI Pusat DI Aceh Total daya Strat.
(Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) (Ha)
1. Sabang - - - - - - - -
2. Kota Banda Aceh - - - - - - - -
3. Aceh Besar - 29.852,61 5.107,40 34.960,01 15.961,00 - 15.961,00 50.921,01
4. Aceh Jaya - 995,69 1.045,21 2.040,90 - 12.707,00 12.707,00 14.747,90
5. Aceh Barat - 201,67 323,51 525,18 - - - 525,18
6. Nagan Raya 68,66 187,81 3.892,97 4.149,43 12.446,00 - 12.446,00 16.595,43
7. Aceh Tengah - 31.681,92 7.575,26 39.257,18 - 2.000,00 2.000,00 41.257,18
8. Benar Meriah - 9.514,61 5.782,82 15.297,43 3.200,00 - 3.200,00 18.497,43
9. Pidie - 18.967,64 8.104,94 27.072,58 19.118,00 1.100,00 20.218,00 47.290,58
10. Pidie Jaya - 139,98 - 139,98 - 3.944,00 3.944,00 4.083,98
11. Bireuen 24,23 1.079,60 327,47 1.431,29 9.683,00 5.862,00 15.545,00 16.976,29
12. Kota Lhokseumawe - - - - - - - -
13. Aceh Utara - 3.308,96 - 3.308,96 28.815,00 3.226,00 32.041,00 35.349,96
14. Kota Langsa - 2.908,25 16,19 2.924,44 - 1.300,00 1.300,00 4.224,44
15. Aceh Timur - 4.652,68 - 4.652,68 3.480,00 8.875,00 12.355,00 17.007,68
16. Aceh Tamiang - 4.898,94 2,85 4.901,79 - 5.800,00 5.800,00 10.701,79
17. Aceh Selatan 91,55 - 137,81 229,37 - 9.740,00 9.740,00 9.969,37
18. Aceh Singkil - 5.332,59 503,44 5.836,04 - - - 5.836,04
18. Subulussalam - 2.032,44 - 2.032,44 - - - 2.032,44
20. Aceh Tenggara - - - - 5.425,00 8.199,00 13.624,00 13.624,00
21. Gayo Lues 12.864,23 10,53 4.484,27 17.359,04 - 4.675,00 4.675,00 22.034,04
22. Aceh Barat Daya - - - - 5.793,00 6.134,00 11.927,00 11.927,00
23. Simeulue 283,10 6.976,97 - 7.260,07 - 3.085,00 3.085,00 10.345,07
Secara khusus, sehubungan dengan spirit Aceh Hijau, fungsi hutan secara keseluruhan menjadi
penting, yang akan meliputi hutan pada kawasan lindung dan hutan pada kawasan budidaya. Bila
luas hutan pada kawasan lindung (sebesar 3.690.244,13 Ha) ditambah dengan luas kawasan
hutan produksi (173.376,89 Ha), maka luas total hutan di Aceh adalah 3.688.872,37 Ha, atau
sebesar 68,62 % dari luas wilayah Aceh.
Mengingat penetapan kawasan lindung yang didelineasikan, atau yang memiliki nilai strategis
provinsi, belum mencakup sejumlah kawasan lindung lainnya, maka dalam kawasan budidaya
yang ditetapkan ini masih terdapat unsur kawasan lindung, terutama yang berkenaan dengan
kawasan perlindungan setempat (sempadan pantai, sempadan sungai, sekitar danau/waduk),
II - 73
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
cagar budaya, kawasan lindung geologi (termasuk terumbu karang di ruang laut), dan kawasan
lindung lainnya.
Sehubungan dengan penetapan kawasan lindung dan kawasan budidaya yang memiliki nilai
strategis provinsi di Aceh, pada Tabel IV.2.3 ditunjukkan mengani jenis dan sebaran kawasan
lindung dan kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis provinsi tersebut menurut masing-
masing kabupaten/kota.
Kawasan budidaya lainnya akan diindikasikan dengan penetapan kegiatan budidaya unggulan
menurut Kawasan Andalan Aceh yang ditetapkan sesuai dengan Wilayah Pengembangan (WP)
yang telah ditetapkan di depan, sehingga disingkat KAA-WP.
Dengan ditetapkannya 10 WP di wilayah Aceh, maka Kawasan Andalan Aceh juga adalah 10 KAA,
yang kemudian disebut sebagai KAA-WP.
Pada tabel 30 ditetapkan kegiatan budidaya pada kawasan andalan darat di wilayah Aceh, dengan
kegiatan yang meliputi gabungan dari beberapa kegiatan:
Permukiman perkotaan, yaitu permukiman yang terdapat dalam kawasan perkotaan atau
kawasan dengan kegiatan utama bukan pertanian;
Permukiman perdesaan, yaitu permukiman yang terdapat dalam kawasan perdesaan atau
kawasan dengan kegiatan utama pertanian;
Pertanian, yang mencakup pertanian pangan lahan basah, pertanian pangan lahan kering,
hortikultura, kebun campuran di sekitar permukiman, dan kegiatan peternakan yang
merupakan bagian dari kegiatan pertanian campuran oleh masyarakat di kawasan
perdesaan;
Perkebunan, yang mencakup perkebunan rakyat dan perkebunan besar, dengan karakter
tanaman monokultur sebagai tanaman utama;
Perikanan, yang berupa kegiatan perikanan budidaya, baik berupa tambak maupun
perikanan budidaya air tawar (sungai, danau, kolam, dan sebagainya);
Industri, yang dapat mencakup kawasan industri, zona industri, maupun sentra industri,
baik industri besar, industri menengah, maupun industri kecil/rumah tangga;
Pariwisata, yang meliputi pariwisata dengan objek wisata alam, objek wisata budaya,
maupun gabungan kedua macam objek tersebut;
Pertambangan, yang meliputi: pertambangan mineral dan batubara, minyak dan gas
bumi, panas bumi, dan air tanah.
Selain penetapan Kawasan Andalan Aceh di darat, terdapat pula Kawasan Andalan Laut Aceh,
yang meliputi:
1. Kawasan Andalan Laut Aceh di Selat Malaka, yang berhadapan dengan pesisir timur wilayah
Aceh;
2. Kawasan Andalan Laut Aceh di Laut Andaman, yang berhadapan dengan Banda Aceh –
Sabang;
II - 74
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
3. Kawasan Andalan Laut Aceh di Samudera Hindia, yang berhadapan dengan pesisir barat
wilayah Aceh.
Kegiatan yang diindikasikan pada masing-masing Kawasan Andalan Laut Aceh tersebut
dikemukakan pada tabel 30.
1. Kawasan Andalan Aceh - Kota Banda Aceh 308.087,75 159.129,80 50.921,01 98.036,94 - Permukiman Perkotaan
WP Basajan Kota Sabang - Permumiman Perdesaan
(Banda Aceh-Sabang-Jantho) Kab. Aceh Besar - Pertanian
- Pariwisata
- Industri
- Perikanan
2. Kawasan Andalan Aceh - Kota Langsa 775.022,60 432.458,04 31.933,92 310.630,64 - Permukiman Perkotaan
WP Timur 1 Kab. Aceh Tamiang - Permumiman Perdesaan
(Langsa-Kuala Simpang-Idi Kab. Aceh Timur - Perkebunan
Rayeuk) - Pertanian
- Industri
- Perikanan
- Pertambangan
3. Kawasan Andalan Aceh - Kota Lhokseumawe 464.440,37 137.758,65 52.326,25 274.355,47 - Permukiman Perkotaan
WP Timur 2 Kab. Aceh Utara - Permumiman Perdesaan
(Lhokseumawe-Bireuen-Lhok Kab. Bireuen - Pertanian
Sukon) - Perkebunan
- Industri
- Perikanan
- Pertambangan
4. Kawasan Andalan Aceh - Kab. Pidie 411.718,18 267.620,42 51.374,56 92.723,20 - Permukiman Perkotaan
WP Timur 3 Kab. Pidie Jaya - Permumiman Perdesaan
(Sigli-Meureudu) - Pertanian
- Perkebunan
- Industri
- Perikanan
- Pertambangan
5. Kawasan Andalan Aceh - Kab. Aceh Tengah 635.804,69 459.768,78 59.754,61 116.281,30 - Permukiman Perkotaan
WP Tengah 1 Kab. Bener Meriah - Permumiman Perdesaan
(Takengon-SpTRedelong) - Perkebunan
- Pariwisata
- Perikanan
6. Kawasan Andalan Provinsi - Kab. Aceh Tenggara 971.953,52 889.459,14 35.658,04 46.836,34 - Permukiman Perkotaan
WP Tengah 2 Kab. Gayo Lues - Permumiman Perdesaan
(Kutacane-Blangkejeren) - Perkebunan
- Pariwisata
- Pertanian
7. Kawasan Andalan Aceh - Kab. Aceh Barat 1.018.069,37 702.456,67 31.868,51 283.744,19 - Permukiman Perkotaan
WP Barat 1 Kab. Aceh Jaya - Permumiman Perdesaan
(Meulaboh-Calang-Suka Mak- Kab. Nagan Raya - Perkebunan
mue) - Pertanian
- Perikanan
- Pariwisata
- Pertambangan
8. Kawasan Andalan Aceh - Kab. Aceh Selatan 605.863,89 545.493,28 21.896,37 38.474,24 - Permukiman Perkotaan
WP Barat 2 Kab. Aceh Barat Daya - Permumiman Perdesaan
(Tapaktuan-Blangpidie) - Perkebunan
- Pertanian
- Perikanan
- Pariwisata
9. Kawasan Andalan Aceh - Kota Subulussalam 302.158,52 178.917,18 7.868,48 115.372,85 - Permukiman Perkotaan
WP Barat 3 Kab. Aceh Singkil - Permumiman Perdesaan
(Subulussalam-Singkil) - Perkebunan
- Perikanan
- Pariwisata
10. Kawasan Andalan Aceh - Kab. Simeulue 182.721,93 121.696,72 10.345,07 50.680,13 - Permukiman Perkotaan
WP Barat 4 (Sinabang) - Permumiman Perdesaan
- Perkebunan
- Perikanan
- Pariwisata
Sumber: Rencana Pola Ruang Wilayah Aceh.
II - 75
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Penggambaran di atas peta rencana secara khusus untuk masing-masing Kawasan Andalan Aceh
– Wilayah Pengembangan (KAA-WP) dan Kawasan Andalan Laut Aceh (KALA) dapat dilihat pada
Gambar dibawah ini.
Penetapan KAA-WP untuk darat dan KALA akan menjadi acuan dalam penyusunan rencana
rinci/detail kawasan strategis nasional dan kawasan strategis Aceh, serta RTRW Kabupaten/Kota
yang berkenaan dengan KAA-WP dan/atau KALA tersebut.
Selain itu, sesuai dengan penetapan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, penetapan KALA (dan pada beberapa bagian juga KAA-WP) akan saling
mengacu dengan Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, khususnya RZWP-3-
K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil) yang harus serasi, selaras, dan seimbang
dengan RTRW Aceh dan/atau RTRW Kabupaten/Kota. Pada Gambar 4.2.2 dikemukan tentang
tingkatan/tahapan rencana untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan UU No. 27
Tahun 2007 di atas dan keterkaitannya dengan RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah) dan RTRW Aceh / Kabupaten/Kota. Berkenaan dengan penjelasan tersebut maka
direkomendasikan penyusunan RZWP-3-K Aceh yang akan bersinergi dengan RTRW Aceh.
II - 76
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 77
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Secara umum kawasan strategis adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan
berdasarkan beberapa pertimbangan. Dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Pasal 1 angka 28, 29, dan 30 dikemukakan bahwa:
Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan nagara, pertahanan
dan keamanan Negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang
telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya,
dan/atau lingkungan.
Perbedaan yang tegas antara kawasan strategis nasional (KSN) dengan kawasan strategis
provinsi (KSP) berkaitan dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Provinsi.
II - 78
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 79
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Kriteria KSA ini adalah memiliki sektor unggulan yang dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi wilayah Aceh, namun pertumbuhan ekonomi yang pesat tersebut selayaknya
dikendalikan agar tidak menurunkan kinerja kawasan.
Arahan penanganan KSA Koridor Banda Aceh – Lhokseumawe – Langsa – Kuala Simpang ini
meliputi:
Wilayah ini memiliki sektor unggulan berupa kegiatan ekonomi berbasis sumber daya
alam di daratan dan perairan laut yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi
(perkebunan, pertanian, perikanan, pariwisata, dan pertambangan).
II - 80
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Kriteria KSA ini adalah memiliki sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan
ekonomi, sehingga dapat mempercepat pertumbuhan kawasan ini sebagai kawasan yang relatif
tertinggal.
Arahan penanganan KSA Koridor Banda Aceh – Meulaboh – Subulussalam ini meliputi:
II - 81
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
o Pemanfaatan sumber daya air untuk energi (PLTA), irigasi, dan sir bersih bagi
permukiman di pesisir timur Aceh.
o Konservasi sumber daya air DAS Peusangan untuk menjaga kuantitas dan kualitas air,
dengan menjaga kelestarian alam/lingkungan pada DAS Peusangan tersebut.
4. Sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.
1. Kawasan Ekosistem Ulu Masen. Kawasan Ekosistem Ulu Masen ini menyambung dengan
Kawasan Ekosistem Leuser, yang dominan terletak di bagian wilayah pegunungan tengah,
dengan luas sekitar 750.000 Ha. Mengacu kepada rencana pola ruang wilayah Aceh, Kawasan
Ekosistem Ulu Masen ini mencakup fungsi yang bervariasi yaitu kawasan lindung (cagar alam,
hutan lindung) dan kawasan budidaya (hutan produksi, dan APL/Areal Penggunaan Lainnya),
dan terletak atau berkenaan dengan wilayah 6 kabupaten, yaitu: Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya,
Aceh Jaya, Aceh Barat, dan Aceh Tengah. Kriteria KSA ini adalah perlindungan ekosistem,
keanekaragaman hayati (biodiversity), dan wilayah hulu (upstream) tata air.
Arahan penanganan KSA kawasan hutan lindung pesisir (hutan bakau) pesisir timur ini
meliputi:
II - 82
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Arahan penanganan KSA kawasan hutan lindung pesisir (hutan bakau) pesisir barat ini
meliputi:
Arahan penanganan KSA TWA/TWAL Kepulauan Banyak Aceh Singkil ini meliputi:
II - 83
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 84
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Sedangkan Isu strategis Aceh hingga tahun 2017, diprediksi akan terdapat beberapa isu yang
menguat hingga 2017 sebagai berikut;
II.4.2.2 Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Pembangunan Aceh hingga 2017
Visi Pembangunan Aceh hingga tahun 2017 adalah Aceh Yang Bermartabat, Sejahtera,
Berkeadilan, Dan Mandiri Berlandaskan Undang-Undang Pemerintahan Aceh Sebagai Wujud
Mou Helsinki”.
Misi pembangunan Aceh hingga tahun 2017, terdiri atas beberapa hal diantaranya;
II - 85
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
1. Memperbaiki tata kelola Pemerintahan Aceh yang amanah melalui Implementasi dan
penyelesaian peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh (UUPA) untuk menjaga perdamaian yang abadi.
2. Menerapkan nilai-nilai budaya Aceh dan Nilai-Nilai Dinul Islam di semua sector kehidupan
masyarakat.
3. Memperkuat struktur ekonomi dan kualitas sumber daya manusia.
4. Melaksanakan pembangunan Aceh yang proporsional, terintegrasi dan berkelanjutan.
5. Mewujudkan peningkatan nilai tambah produksi masyarakat dan optimalisasi pemanfaatan
SDA.
Tujuan Pembangunan Aceh hingga tahun 2017 dan sasaran pembangunan yang akan
dilalui/dicapai adalah sebagai berikut;
II - 86
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 87
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 88
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 89
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 90
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 91
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 92
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Telematika Aceh. Sub Sektor Kepelabuhanan ini akan menjadi sub infrastruktur pembangunan di
Aceh. Berikut gambaran posisi Rencana Induk Pelabuhan Aceh 2033 dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Aceh 2017.
10 PROGRAM PRIORITAS
MISI GUBERNUR ACEH
STRATEGI PEMBANGNAN
SASARAN PEMBANGNAN
VISI GUBERNUR ACEH
TUJUAN PEMBANGNAN
ARAH KEBIJAKAN
PEMBANGNAN
1,2,3, Rencana
Visi 4 1 4,5,6, 1,2,3 1,2 8 Induk Pelabuhan
7 Aceh
II.4.3 MP3EI
Selaras dengan visi pembangunan nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 17
tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025, maka visi
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia adalah “Mewujudkan Masyarakat
Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur”.
Melalui langkah MP3EI, percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi akan menempatkan
Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan per kapita yang berkisar
antara USD 14.250 – USD 15.500 dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USD 4,0 –
4,5 Triliun. Untuk mewujudkannya diperlukan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4 – 7,5 persen
pada periode 2011 – 2014, dan sekitar 8,0 – 9,0 persen pada periode 2015 – 2025. Pertumbuhan
ekonomi tersebut akan dibarengi oleh penurunan inflasi dari sebesar 6,5 persen pada periode
2011 – 2014 menjadi 3,0 persen pada 2025. Kombinasi pertumbuhan dan inflasi seperti itu
mencerminkan karakteristik negara maju.
II - 93
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Visi 2025 tersebut diwujudkan melalui 3 (tiga) misi yang menjadi focus utamanya, yaitu :
1. Peningkatan nilai tambah dan perluasan rantai nilai proses produksi serta distribusi dari
pengelolaan asset dan akses SDA, geografis wilayah dan SDM melalui penciptaan
kegiatan ekonomi yang terintegrasi dan sinergis di dalam maupun antar-kawasan pusat-
pusat pertumbuhan ekonomi.
2. Mendorong terwujudnya peningkatan efisiensi produksi dan pemasaran serta integrasi
pasar domestic dalam rangka penguatan daya saing dan daya tahan perekonomian
nasional
3. Mendorong penguatan sistem inovasi nasional di sisi produksi, proses, maupun
pemasaran untuk penguatan daya saing global yang berkelanjutan, menuju innovation-
driven economy.
II - 94
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Perubahan pola pikir paling mendasar adalah pemahaman bahwa pembangunan ekonomi
membutuhkan kolaborasi bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD
dan Swasta (dalam semangat Indonesia Incorporated). Perlu dipahami juga kemampuan
pemerintah melalui ABPN dan APBD dalam pembiayaan pembangunan sangat terbatas. Di sisi
lain, semakin maju perekonomian suatu negara, maka semakin kecil pula proporsi anggaran
pemerintah dalam pembangunan ekonomi. Dinamika ekonomi suatu Negara pada akhirnya akan
tergantung pada dunia usaha yang mencakup BUMN, BUMD dan swasta domestik asing.
Semangat not business as usual juga harus terrefleksi dalam elemen penting pembangunan,
terutama penyediaan infrastruktur. Pola pikir masa lalu mengatakan bahwa infrastruktur harus
dibangun menggunakan anggaran Pemerintah. Akibat anggaran Pemerintah yang terbatas, pola
pikir tersebut berujung pada kesulitan memenuhi kebutuhan infrastruktur yang memadai bagi
perekonomian yang berkembang pesat. Saat ini telah didorong pola pikir yang lebih maju dalam
penyediaan infrastruktur melalui model kerjasama pemerintah dan swasta atau Public-private
partnership (PPP).
Namun demikian, untuk mempercepat implementasi MP3EI, perlu juga dikembangkan metode
pembangunan infrastruktur sepenuhnya oleh dunia usaha yang dikaitkan dengan kegiatan
produksi. Peran Pemerintah adalah menyediakan perangkat aturan dan regulasi yang memberi
insentif bagi dunia usaha untuk membangun kegiatan produksi dan infrastruktur tersebut secara
paripurna. Insentif tersebut dapat berupa kebijakan (system maupun tariff) pajak, bea masuk,
aturan ketenagakerjaan perijinan, pertanahan, dan lainnya sesuai kesepakatan dengan dunia
usaha. Perlakuan khusus diberikan agar dunia usaha memiliki perspektif jangka panjang dalam
pembangunan pusat pertumbuhan ekonomi baru. Selanjutnya, Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah harus membangun linkage semaksimal mungkin untuk mendorong pembangunan daerah
sekitar pusat pertumbuhan ekonomi.
II - 95
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 96
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 97
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 98
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Pembangunan koridor ekonomi inijuga dapat diartikan seabgai pengembangan wilayah untuk
menciptakan dan memberdayakan basis ekonomi terpadu dan komptetitif serta berkelanjutan.
Percepatan dan perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia melalui pembangunan Koridor
Ekonomi Indonesia memberikan penekanan baru bagi pembangunan ekonomi wilayah sebagai
berikut:
Konektivitas Nasional menyangkut kapasitas dan kapabilitas suatu bangsa dalam mengelola
mobilitas yang mencakup 5 (lima) unsur sebagai berikut:
1. Personel/penumpang, yang menyangkut pengelolaan lalu lintas manusia di, dari dan ke
wilayah.
2. Material/barang abiotik (physical and chemical materials) yang menyangkut mobilitas
komoditi industri dan hasil industri.
3. Material/unsur biotik/species, yang mencakup lalu lintas unsur mahluk hidup di luar
manusia seperti ternak, Bio Toxins, Veral, Serum, Verum, Seeds, Bio-Plasma, BioGen,
Bioweapon.
II - 99
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
4. Jasa dan Keuangan, yang menyangkut mobilitas teknologi, sumber daya manusia dan
modal pembangunan bagi wilayah.
5. Informasi, yang menyangkut mobilitas informasi untuk kepentingan pembangunan
wilayah yang saat ini sangat terkait dengan penguasaan teknologi informasi dan
komunikasi.
Peningkatan pengelolaan mobilitas terhadap lima unsur tersebut diatas akan meningkatkan
kemampuan nasional dalam mempercepat dan memperluas pembangunan dan mewujudkan
pertumbuhan yang berkualitas sesuai amanat UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025.
Total panjang garis pantai Indonesia seluas 54.716 kilometer yang terbentang sepanjang
Samudera India, Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, Laut Sulawesi, Laut Maluku,
Samudera Pasifik, Laut Arafura, Laut Timor, dan di wilayah kecil lainnya. Melekat dengan
Kepulauan Indonesia terdapat beberapa alur laut yang berbobot strategis ekonomi dan militer
global, yaitu Selat Malaka (yang merupakan SLoC), Selat Sunda (ALKI 1), Selat Lombok dan Selat
Makassar (ALKI 2), dan Selat Ombai Wetar (ALKI 3). Sebagian besar pelayaran utama dunia
melewati dan memanfaatkan alur-alur tersebut sebagi jalur pelayarannya.
MP3EI mengedepankan upaya memaksimalkan pemanfaatan SLoC maupun ALKI (Alur Laut
Kepulauan Indonesia) tersebut di atas. Indonesia bisa meraih banyak keuntungan dari modalitas
maritim ini untuk mengakselerasi pertumbuhan di berbagai kawasan di Indonesia (khususnya
Kawasan Timur Indonesia), membangun daya saing maritim, serta meningkatkan ketahanan dan
kedaulatan ekonomi nasional. Untuk memperoleh manfaat dari posisi strategis nasional, upaya
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia perlu memanfaatkan keberadaan
SLoC dan ALKI sebagai jalur laut bagi pelayaran internasional.
Dalam rangka penguatan konektivitas nasional yang memperhatikan posisi geo-strategis regional
dan global, perlu ditetapkan pintu gerbang konektivitas global yang memanfaatkan secara
optimal keberadaan SLoC dan ALKI tersebut di atas sebagai modalitas utama percepatan dan
perluasan pembangunan ekonomi Indonesia. Konsepsi tersebut akan menjadi tulang-punggung
yang membentuk postur konektivitas nasional dan sekaligus diharapkan berfungsi menjadi
instrumen pendorong dan penarik keseimbangan ekonomi wilayah, yang tidak hanya dapat
mendorong kegiatan ekonomi yang lebih merata ke seluruh wilayah Indonesia, tetapi dapat juga
menciptakan membangun kemandirian dan daya saing ekonomi nasional yang solid.
II - 100
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Gambar 19 Konsep Gerbang Pelabuhan dan Bandar Udara Internasional di Masa Depan
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu diintegrasikan beberapa komponen konektivitas yang
saling berhubungan kedalam satu perencanaan terpadu. Beberapa komponen dimaksud
merupakan pembentuk postur konektivitas secara nasional (Gambar 2.3), yang meliputi: (a)
Sistem Logistik Nasional (SISLOGNAS); (b) Sistem Transportasi Nasional (SISTRANAS); (c)
Pengembangan Wilayah (RPJMN dan RTRWN); (d) Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK/ICT).
Rencana dari masing-masing komponen tersebut telah selesai disusun, namun dilakukan secara
terpisah. Oleh karena itu, Penguatan Konektivitas Nasional berupaya untuk mengintegrasikan
keempat komponen tersebut.
II - 101
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 102
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
barang, jasa, dan informasi secara efektif dan efisien dalam wilayah NKRI. Oleh karena itu,
diperlukan integrasi simpul dan jaringan transportasi, pelayanan inter-moda tansportasi,
komunikasi dan informasi serta logistik. Simpul-simpul transportasi (pelabuhan, terminal, stasiun,
depo, pusat distribusi dan kawasan pergudangan serta bandara) perlu diintegrasikan dengan
jaringan transportasi dan pelayanan sarana inter-moda transportasi yang terhubung secara
efisien dan efektif. Jaringan komunikasi dan informasi juga perlu diintegrasikan untuk
mendukung kelancaran arus informasi terutama untuk kegiatan perdagangan, keuangan dan
kegiatan perekonomian lainnya berbasis elektronik.
Selain itu, sistem tata kelola arus barang, arus informasi dan arus keuangan harus dapat dilakukan
secara efektif dan efisien, tepat waktu, serta dapat dipantau melalui jaringan informasi dan
komunikasi (virtual) mulai dari proses pengadaan, penyimpanan/ pergudangan, transportasi,
distribusi, dan penghantaran barang sesuai dengan jenis, kualitas, jumlah, waktu dan tempat
yang dikehendaki produsen dan konsumen, mulai dari titik asal (origin) sampai dengan titik
tujuan (destination).
Visi ini mencerminkan bahwa penguatan konektivitas nasional dapat menyatukan seluruh wilayah
Indonesia dan mendorong pertumbuhan ekonomi secara inklusif dan berkeadilan serta dapat
mendorong pemerataan antar daerah.
Sedangkan yang dimaksud globally connected adalah sistem konektivitas nasional yang efektif
dan efisien yang terhubung dan memiliki peran kompetitif dengan sistem konektivitas global
melalui jaringan pintu internasional pada pelabuhan dan bandara (international
gateway/exchange) termasuk fasilitas custom dan trade/industry facilitation.
Efektivitas dan efisiensi sistem konektivitas nasional dan keterhubungannya dengan konektivitas
global akan menjadi tujuan utama untuk mencapai visi tersebut.
Untuk mewujudkan visi tersebut diperlukan penguatan konektivitas secara terintegrasi antara
pusat-pusat pertumbuhan dalam koridor ekonomi dan juga antar koridor ekonomi, serta
keterhubungan secarainternasional terutama untuk memperlancar perdagangan internasional
maupun sebagai pintu masuk bagi para wisatawan mancanegara.
Dalam pelaksanaannya, perlu diperhatikan beberapa prinsip utama sebagai berikut: (1)
meningkatkan kelancaran arus barang, jasa dan informasi, (2) menurunkan biaya logistik, (3)
mengurangi ekonomi biaya tinggi, (4) mewujudkan akses yang merata di seluruh wilayah, dan (5)
mewujudkan sinergi antar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi.
II - 103
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 104
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
• Memperlancar arus pengiriman barang dan jasa secara efisien dan efektif antar-koridor ekonomi untuk daya
saing regional dan global
• Menurunkan biaya logistik dan ekonomi biaya tinggi pengiriman barang dan jasa antar koridor ekonomi
• Penetapan dan peningkatan kapasitas beberapa pelabuhan dan bandara utama sebagai pusat koleksi dan
KONEKTIVITAS distribusi dengan menerapkan manajemen logistik yang terintegrasi (integrated logistic port management).
• Pengembangan interkoneksi antara pelabuhan utama (pusat koleksi dan distribusi) dengan pelabuhan lokal
ANTRA-KORIDOR dan pelabuhan ‘hub’ internasional
EKONOMI • Pengintegrasian multi moda backbone (serat optik, satelit, microwave)
• Penguatan infrastruktur backbone serat optik: pembangunan di Koridor Ekonomi Kalimantan, Koridor
• Ekonomi Sulawesi dan Koridor Ekonomi Papua – Kepulauan Maluku, dan pengintegrasian dengan pelayanan
di koridor ekonomi wilayah barat
• Penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk memfasilitasi perdagangan dan pengembangan
sistem inaportnet pada pelabuhan regional
• Menyiapkan dan menetapkan pelabuhan dan bandara sebagai ‘hub’ internasional di Kawasan Barat dan
Timur Indonesia
• Optimalisasi pengoperasian sistem National Single Window (NSW) di pelabuhan dan bandara yang
berfungsi sebagai ‘hub’ internasional melalui peningkatan pelayanan Teknologi Informasi dan Komunikasi
dalam rangka penerapan Customs Advance Trade System (CATS) dan NSW serta terkoneksinya sistem
KONEKTIVITAS jaringan logistik nasional (national supply chain) dengan sistem jaringan logistik ASEAN (ASEAN supply
chain) dan sistem jaringan logistik global (global supply chain) pada pelabuhan dan bandara internasional.
INTERNASIONAL • Peningkatan efisiensi dan produktivitas operasional pelabuhan dan bandara internasional dengan
menerapkan sistem manajemen logistik yang terintegrasi (integrated logistic port management system).
• Membuka link/international gateway baru ke luar negeri sebagai alternatif link yang ada
• Pembangunan international exchange di pusat-pusat pertumbuhan
• Mempersiapkan diri dalam peningkatan pelayanan sarana dan prasarana konektivitas regional dan global
untuk mencapai target integrasi logistik ASEAN pada 2013, integrasi pasar ASEAN pada 2015, dan integrasi
pasar global pada 2020.
Pada tataran regional dan global terdapat perkembangan kerjasama lintas batas yang perlu
diperhatikan terutama adalah komitmen kerjasama pembangunan di tingkat ASEAN dan APEC.
Indonesia perlu mempersiapkan diri mencapai target integrasi bidang logistik ASEAN pada tahun
2013 dan integrasi pasar tunggal ASEAN tahun 2015, sedangkan dalam konteks global WTO perlu
mempersiapkan diri menghadapi integrasi pasar bebas global tahun 2020. Mencermati
ketertinggalan Indonesia saat ini, perkuatan konektivitas nasional akan memastikan
terintegrasinya Sistem Logistik Nasional secara domestik, terhubungnya dengan pusat-pusat
perekonomian regional, ASEAN dan dunia (global) dalam rangka meningkatkan daya saing
II - 105
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
nasional. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memaksimalkan keuntungan dari keterhubungan
regional dan global (regionally and globally connected).
Salah satu dari upaya tersebut, perkuatan konektivitas nasional perlu diintegrasikan dengan
perkembangan kerjasama pembangunan ditingkat ASEAN yang memiliki tujuan:
Upaya di atas dilakukan melalui penguatan jaringan infrastruktur, komunikasi, dan pergerakan
komoditas (barang, jasa, dan informasi) secara efektif dan efisien. Hal ini merupakan bagian dari
konektivitas internasional.
Pelaksanaan integrasi konektivitas nasional dengan konektivitas ASEAN perlu dilakukan dengan
semangat kerjasama pembangunan yang mengedepankan prinsip saling menguntungkan antar
negara-negara ASEAN.
Tema Pembangunan: Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional
Pusat Ekonomi:
Pangkal Pinang
Padang
Bandar
Lampung
Bengkulu
II - 106
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Serang
Banda Aceh
Medan
Pekanbaru
Jambi
Palembang
Tanjungpinang
Kelapa Sawit
Karet
Batu Bara
Perkapalan
Besi Baja
Kawasan Strategis Nasional (KSN) Selat Sunda
II - 107
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Koridor Ekonomi Sumatera mempunyai tema Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan
Lumbung Energi Nasional. Secara geostrategis, Sumatera diharapkan menjadi “Gerbang ekonomi
nasional ke Pasar Eropa, Afrika, Asia Selatan, Asia Timur, serta Australia”.
Secara umum, Koridor Ekonomi Sumatera berkembang dengan baik di bidang ekonomi dan sosial
dengan kegiatan ekonomi utama seperti perkebunan kelapa sawit, karet serta batubara. Namun
demikian, Koridor Ekonomi Sumatera juga memiliki beberapa hal yang harus dibenahi, antara lain:
Adanya perbedaan pendapatan yang signifikan di dalam koridor, baik antar perkotaan dan
perdesaan ataupun antar provinsi-provinsi yang ada di dalam koridor;
Pertumbuhan kegiatan ekonomi utama minyak dan gas bumi (share 20 persen dari PDRB
koridor) yang sangat rendah dengan cadangan yang semakin menipis;
Investasi yang menurun dalam beberapa tahun terakhir;
Infrastruktur dasar yang kurang memadai untuk pengembangan industri, antara lain jalan yang
sempit dan rusak, rel kereta api yang sudah rusak dan tua, pelabuhan laut yang kurang efisien
serta kurangnya tenaga listrik yang dapat mendukung industri.
Di dalam strategi pembangunan ekonominya, Koridor Ekonomi Sumatera berfokus pada tiga
kegiatan ekonomi utama, yaitu kelapa sawit, karet, serta batubara yang memiliki potensi yang
sangat besar untuk menjadi mesin pertumbuhan ekonomi koridor ini. Selain itu, kegiatan ekonomi
utama pengolahan besi baja yang terkonsentrasi di Banten juga diharapkan menjadi salah satu
lokomotif pertumbuhan koridor ini, terutama setelah adanya upaya pembangunan Jembatan Selat
Sunda.
II.4.3.8.1 Sawit
Kegiatan ekonomi utama kelapa sawit di Sumatera memegang peranan penting bagi suplai
kelapa sawit di Indonesia dan dunia. Indonesia adalah produsen minyak kelapa sawit terbesar di
dunia sejak 2007, menyusul Malaysia yang sebelumnya adalah produsen minyak kelapa sawit
terbesar di dunia.
Kelapa sawit adalah sumber minyak nabati terbesar yang dibutuhkan oleh banyak industri di
dunia. Di samping itu, permintaan kelapa sawit dunia terus mengalami pertumbuhan sebesar 5
persen per tahun. Pemenuhan permintaan kelapa sawit dunia didominasi oleh produksi
Indonesia. Indonesia memproduksi sekitar 43 persen dari total produksi minyak mentah sawit
(Crude Palm Oil/CPO) di dunia. Pertumbuhan produksi kelapa sawit di Indonesia yang sebesar 7,8
persen per tahun juga lebih baik dibanding Malaysia yang sebesar 4,2 persen per tahun.
Di Sumatera, kegiatan ekonomi utama kelapa sawit memberikan kontribusi ekonomi yang besar.
Dimana 70 persen lahan penghasil kelapa sawit di Indonesia berada di Sumatera dan membuka
lapangan pekerjaan yang luas. Sekitar 42 persen lahan kelapa sawit dimiliki oleh petani kecil.
Perkebunan: Di tahun 2009, Sumatera memiliki sekitar lima juta hektar perkebunan kelapa sawit,
di mana 75 persen merupakan perkebunan yang sudah dewasa, sedangkan sisanya merupakan
perkebunan yang masih muda. Namun demikian, di luar pertumbuhan alami dari kelapa sawit ini,
II - 108
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
peluang peningkatan produksi sawit melalui peningkatan luas perkebunan kelapa sawit akan
sangat terbatas karena masalah lingkungan.
Di samping peningkatan area penanaman, hal lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
pertumbuhan produksi kelapa sawit adalah dengan meningkatkan produktivitas CPO dari
perkebunan. Indonesia saat ini memiliki produktivitas 3,8 Ton/Ha, yang masih jauh di bawah
produktivitas Malaysia 4,6 Ton/Ha dan masih sangat jauh dibandingkan dengan potensi
produktivitas yang dapat dihasilkan (7 Ton/Ha).
Rendahnya produktivitas yang terjadi pada pengusaha kecil kelapa sawit disebabkan oleh tiga
hal:
Penggunaan bibit berkualitas rendah. Riset menunjukkan bahwa penggunaan bibit kualitas
tinggi dapat meningkatkan hasil sampai 47 persen dari keadaan saat ini;
Penggunaan pupuk yang sedikit karena mahalnya harga pupuk;
Waktu antar Tandan Buah Segar (TBS) ke penggilingan yang lama (di atas 48 jam) membuat
menurunnya produktivitas CPO yang dihasilkan.
Penggilingan: Hal yang perlu diperbaiki dari rantai nilai ini adalah akses yang kurang memadai dari
perkebunan kelapa sawit ke tempat penggilingan. Kurang memadainya akses ini menjadikan
biaya transportasi yang tinggi, waktu tempuh yang lama, dan produktivitas yang rendah.
Pembangunan akses ke area penggilingan ini merupakan salah satu hal utama untuk peningkatan
produksi minyak kelapa sawit. Selain itu, kurangnya kapasitas pelabuhan laut disertai tidak
adanya fasilitas tangki penimbunan mengakibatkan waktu tunggu yang lama dan berakibat pada
biaya transportasi yang tinggi.
Penyulingan: Penyulingan akan mengubah CPO dari penggilingan menjadi produk akhir. Pada
tahun 2008, Indonesia diestimasikan memiliki kapasitas penyulingan sebesar 18-22 juta ton CPO.
Kapasitas ini mencukupi untuk mengolah seluruh CPO yang diproduksi.
Dengan berlebihnya kapasitas yang ada saat ini (50 persen utilisasi), rantai nilai penyulingan
mempunyai margin yang rendah (USD 10/ton) jika dibandingkan dengan rantai nilai perkebunan
(sekitar USD 350/ton). Hal ini yang membuat kurang menariknya pembangunan rantai nilai ini
bagi investor.
Hilir kelapa sawit: Industri hilir utama dalam mata rantai industri kelapa sawit antara lain oleo
kimia, dan biodiesel. Seperti halnya rantai nilai penyulingan, bagian hilir kelapa sawit ini juga
mempunyai kapasitas yang kurang memadai. Hal ini membuat rendahnya margin dari rantai nilai
tersebut. Namun demikian, pengembangan industri hilir sangat dibutuhkan untuk
mempertahankan posisi strategis sebagai penghasil hulu sampai hilir, sehingga dapat menjual
produk yang bernilai tambah tinggi dengan harga bersaing.
Meskipun bagian hilir dari rantai nilai kegiatan ekonomi utama ini kurang menarik karena margin
yang rendah, bagian hilir tetap menjadi penting dan perlu menjadi perhatian karena dapat
menyerap banyak produk hulu yang ber-margin tinggi, seperti misalnya dengan diversifikasi
produk hilir kelapa sawit.
II - 109
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Regulasi dan Kebijakan Untuk melaksanakan strategi pengembangan kelapa sawit tersebut, ada
beberapa hal terkait regulasi yang harus dilakukan, antara lain:
Peningkatan kepastian tata ruang untuk pengembangan kegiatan hulu kelapa sawit
(perkebunan dan penggilingan/pabrik kelapa sawit (PKS));
Perbaikan regulasi, insentif, serta disinsentif untuk pengembangan pasar hilir industri kelapa
sawit.
Peningkatan kualitas jalan (lebar jalan dan kekuatan tekanan jalan) sepanjang perkebunan
menuju penggilingan kelapa sawit dan kemudian ke kawasan industri maupun pelabuhan
yang perlu disesuaikan dengan beban lalu lintas angkutan barang. Tingkat produktivitas CPO
sangat bergantung pada waktu tempuh dari perkebunan ke penggilingan, sebab kualitas TBS
(Fresh Fruit Brunch-FFB) akan menurun dalam 48 jam setelah pemetikan;
Peningkatan kapasitas dan kualitas rel kereta api di beberapa lokasi untuk mengangkut CPO
dari penggilingan sampai ke pelabuhan;
Peningkatan kapasitas dan kualitas pelayanan pelabuhan untuk mengangkut produksi CPO.
Saat ini terjadi kepadatan di pelabuhan sehingga menyebabkan waktu tunggu yang lama (3 -
4 hari).
SDM dan IPTEK Selain kebutuhan perbaikan regulasi dan dukungan infrastruktur, pengembangan
kegiatan ekonomi utama kelapa sawit juga perlu dukungan terkait pengembangan SDM dan
Iptek , yaitu:
Peningkatan riset untuk memproduksi bibit sawit kualitas unggul dalam rangka peningkatan
produktivitas kelapa sawit;
Penyediaan bantuan keuangan, pendidikan dan pelatihan, terutama untuk pengusaha kecil;
Pembentukan pusat penelitian dan pengendalian sistem pengelolaan sawit nasional.
II.4.3.8.2 Karet
Indonesia merupakan negara kedua penghasil karet alami di dunia (sekitar 28 persen dari
produksi karet dunia di tahun 2010), sedikit di belakang Thailand (sekitar 30 persen). Di masa
depan, permintaan akan karet alami dan karet sintetik masih cukup signifikan, karena didorong
oleh pertumbuhan industri otomotif yang tentunya memerlukan ban yang berbahan baku karet
sintetik dan karet alami. Harga karet sintetik yang terbuat dari minyak bumi akan sangat
berfluktuasi terhadap perubahan harga minyak dunia. Demikian pula dengan harga karet alami
yang akan tergantung pada harga minyak dunia oleh karena karet alami dan karet sintetik adalah
barang yang saling melengkapi (complementary goods). Terlebih dengan penggunaan minyak
bumi sebagai sumber energi untuk pengolahan kedua jenis karet tersebut, maka tentunya harga
karet alami dan karet sintetik sangat tergantung dengan kondisi harga minyak dunia.
Dengan semakin meningkatnya industri otomotif di kawasan Asia, dan kawasan lain di dunia
diharapkan hal ini juga meningkatkan permintaan akan karet alami. Dalam produksi karet mentah
dari perkebunan, Sumatera adalah produsen terbesar di Indonesia dan masih memiliki peluang
II - 110
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Perkebunan: Karet alam berasal dari tanaman Hevea brasiliensis yang ditanam di wilayah tropis
dan subtropics dengan curah hujan sedang sampai tinggi. Sebagian besar produksi karet
dihasilkan oleh pengusaha kecil (sekitar 80 persen dari total produksi nasional). Perusahaan
swasta dan pemerintah masing-masing menghasilkan produksi sekitar 10 persen dari total
produksi nasional. Sebagian besar produsen yang merupakan pengusaha kecil rata-rata memiliki
lahan yang kecil dan masih menggunakan cara berkebun secara tradisional.
Hal ini menyebabkan rendahnya produktivitas kebun yang diolah oleh pengusaha kecil. Seperti
yang terlihat pada gambar, bahwa perkebunan milik pengusaha kecil memiliki produktivitas 30
persen lebih rendah dari perkebunan swasta besar/BUMN. Hal ini mempunyai dampak pada
profitabilitas dari rantai nilai perkebunan secara keseluruhan.
Indonesia memiliki produktivitas karet yang lebih rendah yaitu sekitar 50 persen dari
produktivitas karet India. Bahkan jika kita membandingkan dengan negara-negara di Asia
Tenggara, Indonesia memiliki produktivitas lebih rendah sekitar 30-40 persen dibandingkan
Thailand, Vietnam, atau Malaysia. Di samping itu, peran pengusaha kecil di negara-negara lain
lebih besar daripada Indonesia.
Produktivitas perkebunan karet yang rendah di Indonesia disebabkan oleh kualitas bibit yang
rendah, pemanfaatan lahan perkebunan yang tidak optimal, dan pemeliharaan tanaman yang
buruk. Kualitas bibit yang rendah menjadi masalah utama untuk perkebunan di Koridor Ekonomi
Sumatera, ditunjukkan dengan rentang produktif tanaman karet yang kurang dari 30 tahun. Maka
perbaikan utama yang dapat dilakukan adalah penanaman kembali dengan bibit unggul
berproduktivitas lebih tinggi. Di samping itu, pada saat penanaman kembali dilakukan pengaturan
jarak tanam yang optimal. Biasanya para petani atau pengusaha perkebunan perlu menunggu
selama 6 - 7 tahun hingga tanaman bisa berproduksi. Namun kini perkebunan besar sudah
menggunakan bibit unggul yang siap produksi setelah berusia 3,5 tahun. Di samping itu, untuk
petani rakyat, pada 2 tahun pertama dapat dilakukan tumpang sari dengan tanaman pangan
sehingga dapat menambah pendapatannya. Diharapkan hal ini dapat meningkatkan daya tarik
untuk berinvestasi di perkebunan karet.
Pengolahan: Perkebunan besar (14 persen dari total luas kebun karet di Indonesia) mengolah
(menggumpalkan, membersihkan dan mengeringkan) getah dan bekuan menjadi karet olahan
(kering), serta lateks menjadi lateks pekat.
Rantai nilai pengolahan merupakan bagian yang penting untuk kegiatan ekonomi utama karet ini.
Masalah di rantai nilai ini adalah adanya pihak-pihak perantara yang mengumpulkan hasil-hasil
dari pengusaha kecil perkebunan karet. Adanya perantara ini membuat harga yang diterima
petani karet menjadi rendah. Di Indonesia, petani karet hanya mendapatkan sekitar 50 - 60
persen dari harga jual keseluruhan, sedangkan di Thailand dan Malaysia mencapai sekitar 90
persen. Sebagai kompensasinya, pengusaha kecil berusaha meningkatkan keuntungan dengan
mencampurkannya karet murni dengan bahan lain untuk meningkatkan beratnya meskipun hal ini
akan menurunkan kualitas karet olahan tersebut. Disamping itu, pembenahan proses
pengumpulan karet yang tersebar di Koridor Ekonomi Sumatera, juga harus dilakukan untuk
II - 111
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
meningkatkan kualitas dan produktivitas karet sehingga akan meningkatkan daya tarik investasi
dalam rantai industri hilir karet.
Industri Hilir: Saat ini, hanya 15 persen dari produksi hulu dikonsumsi oleh industri hilir di
Indonesia dan sisanya 85 persen dari karet alami merupakan komoditi ekspor. Karet alam dan
karet sintetik digunakan sebagai bahan baku ban dengan tingkat kandungan karetnya antara 40-
60 persen, dan ditambah berbagai bahan lain. Hasil industry hilir karet antara lain sol sepatu,
vulkanisir ban, barang karet untuk industri. Sedangkan lateks pekat dapat dijadikan sebagai
bahan baku sarung tangan, kondom, benang karet, balon, busa bantal dan kasur, dan lain-lain.
Penggunaan karet alami di Indonesia didominasi oleh industri ban dengan 61 persen dari
penggunaan karet di industri hilir dan sisanya dipakai oleh industri sarung tangan dan sepatu. Hal
ini selaras dengan penggunaan karet alami di industri hilir dunia. Potensi industri ban masih
sangat signifikan, hal ini ditunjukan dengan ekspor ban yang tumbuh rata-rata 22 persen setiap
tahunnya dan cukupnya suplai bahan mentah, sehingga industri ban Indonesia mempunyai
keuntungan kompetitif.
Regulasi dan Kebijakan Berdasarkan berbagai analisis di atas, terdapat fokus utama terkait
regulasi dan kebijakan dalam pengembangan kegiatan ekonomi utama karet, yaitu:
Melakukan peninjauan kebijakan pemerintah tentang jenis bahan olah dan produk yang tidak
boleh diekspor (selama ini diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 1 Tahun 2007);
Meningkatkan efisiensi rantai nilai pengolahan dan pemasaran dengan melaksanakan secara
efektif Undang-undang No. 18 Tahun 2008 tentang Perkebunan dan aturan pelaksanaannya
(Peraturan Menteri Pertanian No. 38 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengolahan dan
Pemasaran Bahan Olah Karet dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 53 Tahun 2009
tentang Pengawasan Mutu Bahan Olah Komoditi Ekspor Standar Indonesian Rubber yang
Diperdagangkan);
Meningkatkan produktivitas hulu (perkebunan) perkebunan karet rakyat dengan melakukan
penanaman kembali peremajaan tanaman karet rakyat secara besar-besaran dan bertahap
serta terprogram, penyediaan bantuan subsidi bunga kredit bank, penyediaan kualitas bibit
yang unggul disertai pemberian insentif yang mendukung penanaman kembali, penyuluhan
budidaya dan teknologi pasca panen karet (penyadapan, penggunaan mengkok sadap, pisau
sadap, pelindung hujan, bahan penggumpal dan wadah penggumpalan) yang memadai; serta
bantuan Badan Pertanahan Nasional (BPN) melakukan pendataan kepemilikan lahan dan
pemberian sertifikat lahan.
Menyusun strategi hilirisasi industri karet dengan memperhatikan incentive-disincentive,
Domestic Market Obligation (DMO), jenis industri dan ketersediaan bahan baku dan bahan
bantu/penolong yang dapat memperkuat daya saing industri hilir karet;
Menyediakan kemudahan bagi investor untuk melakukan investasi di sektor industri hilir
karet dengan penyediaan informasi disertai proses dan prosedur investasi yang jelas dan
terukur.
II - 112
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Pengembangan kapasitas pelabuhan untuk mendukung industri karet, baik hulu maupun hilir
dengan membuat waktu tunggu di pelabuhan yang lebih efisien. Hasil produksi karet
membutuhkan pelabuhan sebagai pintu gerbang ekspor maupun konsumsi dalam negeri;
Penambahan kapasitas listrik yang saat ini masih dirasakan kurang memadai untuk
mendukung industry karet di Sumatera;
Pengembangan jaringan logistik darat antara lokasi perkebunan, sentra pengolahan dan
akses ke pelabuhan.
SDM dan IPTEK Pengembangan kegiatan ekonomi utama karet memerlukan dukungan kebijakan
terkait
Membentuk badan karet yang dapat berguna sebagai pusat riset dan dapat dimanfaatkan
untuk meningkatkan kualitas produk bahan olah karet sehingga terjadi efisiensi pengolahan
karet selanjutnya dari para pedagang dan perantara;
Peningkatan SDM melalui pendidikan terkait penelitian pengembangan karet.
II.4.3.8.3 Batubara
Secara umum, batubara merupakan kegiatan ekonomi utama yang sangat menarik di Indonesia
karena kuatnya permintaan dari Asia Pasifik serta permintaan dalam negeri yang bertumbuh
pesat.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan batubara dan pengekspor batubara termal terbesar
di dunia (sekitar 26 persen dari ekspor dunia) disusul oleh Australia dengan 19 persen dari ekspor
dunia. Dari total cadangan sumber daya batubara (104,8 miliar ton) di Indonesia, sebesar 52,4
miliar ton berada di Sumatera, dan sekitar 90 persen dari cadangan di Sumatera tersebut berada
di Sumatera Selatan. Dengan produksi batubara sekitar 200 juta ton/tahun, Indonesia memiliki
cadangan batubara untuk jangka waktu panjang.
Meskipun Sumatera memiliki cadangan batubara yang sangat besar, namun produksi batubara di
Sumatera masih sangat rendah yaitu sekitar 20 juta ton per tahun atau sekitar 10 persen dari total
produksi batubara di Indonesia. Hal ini disebabkan salah satunya oleh karena dari sepuluh
perusahaan produsen batubara terbesar di Indonesia, hanya satu perusahaan yang mempunyai
lahan olahan yang besar di Sumatera.
Namun demikian, kegiatan ekonomi utama batubara di Koridor Ekonomi Sumatera ini memiliki
beberapa tantangan yang membuat produksi di Koridor Ekonomi Sumatera rendah:
1. Sebagian besar pertambangan batubara berada di tengah pulau, jauh dari pelabuhan laut dan
garis pantai. Hal ini membuat transportasi ke pelabuhan menjadi tidak efisien mengingat
kondisi infrastruktur transportasi darat saat ini yang tidak cukup baik. Sehingga hal ini
mengakibatkan biaya transportasi untuk tambang-tambang di tengah pulau semakin tinggi;
2. Rata-rata cadangan batubara di Sumatera memiliki kualitas yang lebih rendah (Calorie Value-
CV rendah) dibandingkan dengan batubara Kalimantan. Jumlah cadangan batubara CV
rendah di Sumatera mencapai 47 persen, sementara di Kalimantan hanya memiliki 5 persen;
II - 113
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Regulasi dan Kebijakan Untuk menjamin pengembangan produksi batubara lebih optimal,
diperlukan dukungan regulasi ataupun kebijakan, seperti:
Pengaturan kebijakan batubara sebagai bahan bakar utama untuk tenaga listrik di Sumatera.
Diestimasi sekitar 52 persen bahan bakar untuk pembangkit listrik di Sumatera akan
menggunakan batubara pada tahun 2020. Hal ini akan membuat ketertarikan para investor
untuk melakukan kegiatan penambangan batubara;
Peningkatan utilisasi dari batubara. Batubara yang digali di Sumatera sebaiknya tidak
langsung diekspor sebagai komoditas mentah, tetapi diolah menjadi produk bernilai tambah
lebih tinggi, seperti konversi listrik (PLTU mulut tambang), upgraded coal, atau produk
petrokimia. PLTU mulut tambang patut dipertimbangkan karena lebih efisien dan tidak ada
biaya pengangkutan;
Penerbitan regulasi mengenai kebijakan yang lebih operasional dalam pemanfaatan batubara
CV rendah untuk pengadaan listrik nasional dan jika dimungkinkan dilakukan penerapan
metoda penunjukan langsung bagi perusahaan batubara yang mampu memasok batubara
untuk PLTU mulut tambang selama minimal 30 tahun dan berminat memanfaatkannya untuk
pembangkit tenaga listrik;
Percepatan penetapan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk dapat menentukan Harga
Patokan Batubara (HPB) secara berkala sesuai lokasi dan nilai kalorinya;
Standardisasi metoda pengukuran dan pelaporan besaran produksi (hasil tambang), alokasi
ekspor dan DMO untuk penambangan batubara yang mendapatkan Izin Usaha Penambangan
(IUP) dari Kementerian ESDM maupun pemerintah daerah;
Penguatan regulasi dan kebijakan pertanahan untuk menyelesaikan persoalan kompensasi
tanah;
Penertiban penambangan ilegal tanpa izin (PETI -Illegal Mining).
II - 114
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
SDM dan IPTEK Selain hal tersebut, pengembangan kegiatan ekonomi utama di Sumatera
memerlukan enabler, antara lain:
Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan. Kurangnya
tenaga kerja terlatih merupakan salah satu hambatan dalam pertambangan batubara.
Pendidikan dan pelatihan perlu ditingkatkan. Untuk mencapai produksi batubara sebesar 10
juta ton/tahun, diperlukan sekitar 2.500 pekerja dan 10-15 persen diantaranya merupakan
tenaga manajerial;
Peningkatan tata kelola usaha agar investasi di pertambangan batubara menjadi lebih
menarik;
II.4.3.8.4 Perkapalan
Permintaan akan galangan kapal sebagai industri pembuatan perkapalan maupun sebagai
bengkel reparasi atau tempat perbaikan kapal ditentukan oleh permintaan kapal baru dan
besarnya intensitas lalu lintas pelayaran di Indonesia.
Penerapan asas cabotage berhasil meningkatkan jumlah unit kapal, namun belum meningkatkan
pembuatan kapal dalam negeri secara signifikan karena perusahaan pelayaran lebih senang
membeli kapal bekas, di samping kapasitas pembuatan kapal dengan tonase besar dan
pengangkutan peralatan pemboran minyak lepas pantai memang belum mampu dikuasai oleh
kebanyakan industri galangan kapal di Indonesia.
Secara rinci, kesenjangan yang terjadi pada kapasitas yang dimiliki oleh galangan kapal di
Indonesia dapat dilihat pada gambar berikut. Baik untuk bangunan baru maupun untuk bangunan
reparasi (perbaikan dari galangan kapal lama), jumlah galangan kapal terbanyak adalah galangan
kapal dengan kapasitas kurang dari 500 DWT atau kurang dari 20.000 GT. Jumlahnya lebih dari 90
unit untuk bangunan baru dan sekitar 120 unit untuk bangunan reparasi. Untuk galangan kapal
dengan kapasitasnya di atas 10.000 DWT atau diatas 180.000 GT, jumlahnya masih sangat
terbatas yaitu kurang dari 10 unit untuk bangunan baru dan kurang dari 20 unit untuk bangunan
reparasi. Kondisi ini mengindikasikan bahwa industri perkapalan di Indonesia sangat memerlukan
investasi untuk pembangunan galangan kapal dengan kapasitas di atas 10.000 DWT atau diatas
180.000 GT.
Di sisi lain, Pantai Timur Sumatera yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka (Sea Lane of
Communications - SloC) adalah lintasan pelayaran yang ramai. Tidak kurang dari 300 kapal per
hari melintasinya, sekitar 50 diantaranya kapal tanker termasuk VLCC (Very Large Crude Cruiser)
yang membawa minyak ke Asia Timur dari Teluk Persia. Di samping itu, salah satu Alur Laut
Kepulauan Indonesia adalah Selat Sunda, walaupun lintasan ini kurang diminati oleh kapal besar,
namun posisinya tetap strategis. Sehingga sepanjang pantai timur dan selatan Sumatera, berikut
Kepulauan Riau sebagai kelanjutan Selat Malaka/SloC, serta pantai barat Banten adalah lokasi
yang baik untuk membangun galangan kapal. Namun demikian jumlah dan besaran tonase serta
sebaran lokasinya perlu disesuaikan.
II - 115
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Di Koridor Ekonomi Sumatera sudah diindikasikan investasi galangan kapal yang memanfaatkan
SLoC dan Selat Sunda sebagai ALKI-1. Dalam jangka panjang pengembangan galangan kapal
khususnya untuk reparasi akan dikembangkan mendekati pelabuhan besar seperti di Kepulauan
Karimun – Provinsi Kepulauan Riau (mendekati Singapura), Pelabuhan Belawan, dan Kuala
Tanjung yang akan dikembangkan menjadi Alternatif Pelabuhan Hub Internasional di gerbang
barat Indonesia. Sedangkan galangan untuk pembuatan kapal baru akan dilakukan di Dumai –
Riau. Pengembangan industri galangan kapal di Koridor Ekonomi Sumatera diharapkan dapat
menggantikan peran Koridor Ekonomi Jawa yang lebih membatasi pengembangan industri-
industri berat dan “kotor”.
Regulasi dan Kebijakan Untuk dapat mendukung strategi umum tersebut, beberapa langkah
terkait regulasi dan kebijakan perlu dilakukan:
Meningkatkan jumlah dan kemampuan industri galangan kapal nasional dalam pembangunan
kapal sampai dengan kapasitas 50.000 DWT (Dead Weight Tonnage);
Membangun galangan kapal nasional yang memiliki fasilitas produksi berupa building
berth/graving dock yang mampu membangun/ mereparasi kapal sampai dengan kapasitas
300.000 DWT;
Memberikan prioritas bagi pembuatan dan perbaikan di dalam negeri untuk kapal-kapal di
bawah 50.000 DWT;
Memprioritaskan pembuatan kapal penunjang eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas yang
sudah mampu dibuat di dalam negeri, kecuali untuk jenis kapal tipe C;
Menghapus Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari hulu hingga hilir di industri perkapalan dalam
rangka memangkas ongkos produksi sekitar 10 persen;
Menetapkan tingkat suku bunga dan kolateral yang wajar untuk pinjaman dari bank komersial
serta pemberian pinjaman lunak dari ODA (Official Development Assitance) /JBIC (Japan Bank
for International Cooperation) dengan skema penerusan pinjaman (Two Step Loan) melalui
Public Ship Financing Program (PSFP) yang difasilitasi oleh pemerintah;
Menata ulang kebijakan penetapan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BM DPT) bagi
industri perkapalan, dimana BM DPT hanya ditujukan bagi komponen perkapalan yang belum
diproduksi di Indonesia, atau secara QCD (Quality, Cost, dan Delivery) belum memenuhi
Peraturan Menteri Keuangan No. 261/PMK.011/2010.
SDM dan IPTEK Disamping regulasi dan kebijakan, hal lain terkait pengembangan SDM dan IPTEK
juga perlu dilakukan, yaitu:
II - 116
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Meningkatkan fasilitas yang dimiliki oleh laboratorium uji perkapalan agar sesuai dengan
standar International Maritime Organization (IMO).
Ditinjau dari potensi pasar, baja nasional mempunyai peluang yang besar mengingat konsumsi
baja per kapita Indonesia masih sangat rendah, pada tahun 2005 sebesar 29 kg/kapita dibanding
rata-rata konsumsi dunia sebesar 170 kg/kapita.
Kegiatan ekonomi besi baja yang dibangun oleh 45 kegiatan ekonomi terdiri dari 4 jenis
pertambangan bijih besi, dan 41 jenis manufaktur berbasis besi baja yang menjadi kegiatan
hilirnya. Indonesia sudah memiliki 4 jenis pertambangan bijih besi, namun belum ada industri
pengolah bijih besi hasil tambang maupun pasir besi menjadi konsentrat bijih besi yang
diperlukan sebagai bahan baku industri besi baja yang lebih hilir. Di sisi lain, biasanya bijih besi
hasil tambang membawa juga mineral lainnya yang memiliki nilai ekonomis, sehingga ekspor
langsung hasil tambang bijih besi (dan mineral bawaan lainnya) sebenarnya merupakan peluang
untuk mendapatkan pertambahan nilai bagi industri besi baja.
Untuk melindungi cadangan bahan baku bagi industri hilir besi baja, upaya penerapan bea keluar
atas hasil tambang bijih besi belum bisa dilakukan karena belum adanya industri pengolahan bijih
besi menjadi konsentrat bijih besi di Indonesia.
Permasalahan lain dalam penambangan bijih besi adalah pengawasan dalam produksi dan
kegiatan ekspor tidak bias mengandalkan aparat pemerintah pusat, mengingat pemerintah
daerah juga menerbitkan izin usaha penambangan.
Di sisi lain, perizinan yang memperkenankan penambangan pada deposit kecil hanya 2 juta ton
berpotensi merusak lingkungan sementara upaya untuk memulihkan kembali kepada kondisi
lingkungan yang baik sangat sulit dilakukan.
Berdasarkan pohon industri besi baja yang terdiri dari 41 jenis industri perusahaan besi baja sudah
mengisi 27 jenis industri atau 66 persen dari total jenis manufaktur besi baja, dimana 11 industri
merupakan industri hilir dengan kegiatan aplikasi seperti industri alat rumah tangga, otomotif,
elektronik dan infrastruktur. Namun demikian, pada industri hilir tersebut, Indonesia masih belum
bisa menghasilkan besi/baja berupa heavy profile-rail, serta stainless steel rod dan shaft bar,
elektronik dan infrastruktur. Namun demikian, pada industri hilir tersebut, Indonesia masih belum
bisa menghasilkan besi/baja berupa heavy profile-rail, serta stainless steel rod dan shaft bar.
Jumlah perusahaan industri berbasis besi baja mengalami kenaikan pada periode yang sama
sebesar 2,6 persen, walaupun terlihat pertumbuhan negatif 1,47 persen pada tahun 2005.
II - 117
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Sebaran deposit bijih besi di Indonesia didapat di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Maluku dan
Papua. Sumatera menyimpan 8 persen cadangan bijih besi laterit Indonesia yang berada di
Bengkulu, Sumatera Barat dan Kepulauan Riau.
Dalam jangka panjang, untuk mencapai konsumsi baja 100 kg/kapita/tahun pada 2025 atau 43
kg/kapita/tahun pada 2015, diperlukan pengembangan industri baja di berbagai tempat seperti
Cilegon dengan kapasitas capaian lebih dari 4,5 juta ton per tahun, Kalimantan dengan kapasitas
15 juta ton, Lampung dengan kapasitas 5 juta ton dan sisanya 5 juta ton tersebar di lokasi lainnya
di Sulawesi, Sumatera, Maluku. Khusus di Sumatera, pembangunan kawasan industri dapat
dipertimbangkan di lokasi dekat kaki Jembatan Selat Sunda di Provinsi Lampung.
Mengingat industri baja terkait dengan industri strategis nasional, maka lokasi industri besi baja
ini perlu tersebar di pulau-pulau (besar) Indonesia. Sehingga terjadi penyebaran lokasi yang
membuat pasokan produksi besi baja bisa terus berlangsung, apabila dibandingkan bila
dipusatkan dan terjadi pemogokan atau hal yang lebih buruk bisa mengganggu rantai produksi
hilirnya yang terkait dengan industri strategis nasional.
Regulasi dan Kebijakan Strategi pengembangan kegiatan ekonomi utama besi baja memerlukan
dukungan regulasi dan kebjiakan berikut:
Peningkatan produksi konsentrat bijih besi nasional melalui kebijakan yang memberi
persyaratan pengoperasian tambang bijih besi dengan membangun manufaktur proses
pembuatan konsentrat bijih besi di dekat lokasi penambangan;
Peningkatan kapasitas produksi industri besi baja melalui penyediaan bahan baku, khususnya
bijih besi melalui DMO yang penyelenggaraannya terintegrasi antara perizinan, pemantauan
dan pelaporan yang diterbitkan pemerintah pusat dengan pengaturan di lingkup pemerintah
daerah;
Peningkatan daya saing produk besi baja nasional melalui pembangunan jenis industri yang
belum ada di Indonesia melengkapi rantai industri besi baja, meningkatkan kapasitas
produksinya, serta membangun kemitraan industri hulu dan hilir nasional;
Mengembangkan iklim usaha rantai industri besi baja yang kondusif melalui peningkatan
kemitraan, pemberian insentif dan disinsentif fiskal, penerapan regulasi Tingkat Kandungan
Dalam Negeri (TKDN) besi baja pada produk aplikasi besi baja, dan fasilitas dukungan
produksi dan pemasaran industri baja nasional;
Kebijakan pengembangan klaster industri hilir besi baja diupayakan dibangun pada kawasan
industry untuk penghematan biaya operasional dan pemeliharaan infrastruktur pendukung
atau mengintegrasikan industri peleburan baja stainless steel (pabrik slab, Hot Roll Coil (HRC)
dan Cold Roll Coil (CRC)).
Penyediaan infrastruktur pendukung (energi listrik, jaringan jalan, jalur kereta api, pelabuhan)
di kawasan industri besi baja sesuai pertumbuhan kawasan industri di maksud;
Meningkatkan infrastruktur pendukung di lokasi kawasan industri besi baja maupun antar
lokus kegiatan terkait (jalan, jalur kereta api, limbah).
II - 118
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
SDM dan IPTEK Pengembangan kegiatan ekonomi utama besi baja di Sumatera memerlukan
dukungan pengembangan SDM dan IPTEK sebagai berikut:
Menurut sensus BPS (2010), 57 persen penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa (luasnya hanya
7 persen dari Nusantara) dan 21 persen lainnya tinggal di Sumatera yang luasnya sekitar 21 persen
dari Nusantara. Dengan demikian kedua pulau ini mempunyai potensi yang sangat besar untuk
”membangkitkan” pergerakan barang dan manusia, maupun kegiatan ekonomi lainnya.
1. Sarana yang efisien untuk pengangkutan barang dan jasa Pulau Sumatera dan Pulau Jawa,
serta relatif bebas hambatan cuaca dan gelombang. Penyeberangan kapal feri pada Selat
Sunda yang semula 2 - 3 jam, belum ditambah dengan waktu tunggu menyeberang, dapat
dipersingkat menjadi sekitar 30 menit dengan jalan bebas hambatan sepanjang 28 km. Belum
lagi penumpang diberi pilihan bisa menggunakan kereta api, karena Jembatan Selat Sunda
akan dilengkapi dengan jalur rel kereta api. Saat ini, akibat keterbatasan kapal ferry
penyeberangan dan hambatan cuaca sudah menimbulkan kerugian besar bagi pengusaha.
2. Jembatan Selat Sunda juga dapat dimanfaatkan sebagai prasarana untuk pemasangan pipa
bahan cair dan gas, jaringan kabel dan serat optik, serta Pusat Pembangkit Tenaga Listrik
Pasang-Surut Gelombang Laut.
Jembatan Selat Sunda terletak pada bagian dari Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) maka lebar
dan tinggi kolom jembatan juga perlu mempertimbangkan jenis dan ukuran kapal terbesar di
dunia, untuk peti kemas, penumpang maupun kapal induk sekelas Nimitz Class dan SS Enterprise.
Persyaratan geometri dan kriteria desain khusus perlu memperhatikan rencana pembangunan rel
kereta api diatasnya. Aspek teknis yang turut dipertimbangkan dalam pemilihan rute dan
konfigurasi jembatan adalah aspek geologi, sesar, kontur dasar laut, kegempaan, vulkanologi dan
tsunami. Selain itu, kondisi lingkungan laut dan cuaca, tata guna lahan dan dampak lingkungan,
tinggi ruang bebas dan bentang tengah jembatan, lebar dan tinggi dek jembatan, serta
aerodinamika dan aerolastik jembatan.
Jangkauan Logistik Beberapa dampak jangkauan logistik akibat dari lintasan Pembangunan
Jembatan Selat Sunda terhadap Wilayah di sekitarnya, antara lain:
II - 119
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
2. Membuat lahan pertanian di Sumatera yang lokasinya lebih jauh dari Jakarta dapat
dikembangkan sebagai pemasok hasil tani untuk Pulau Jawa.
3. Mempermudah berkembangnya kegiatan ekonomi utama pada masing-masing kaki
jembatan, seperti: resor pariwisata Tanjung Lesung (1.500 ha), kawasan sekitar Peti Kemas
Bojonegara (500 ha) dan kawasan industri di Cilegon, serta kawasan industri dan
pergudangan di Lampung.
4. Dengan adanya akses Jembatan Selat Sunda (JSS), pengaruh kedua pulau ini pada
geoekonomi dunia akan sangat signifikan. Terutama terhadap sektor industri jasa pariwisata
dan transportasi lintas ASEAN bahkan ASIA–Australia, termasuk akses ekonomi dengan
Semenanjung Asia Tenggara (Thailand, Malaysia, Singapura). Peta geoekonomi industri
pariwisata yang difokuskan pada 12 Destinasi Pariwisata Nasional akan berubah dengan
dihubungkannya kawasan telah berkembang Pulau Sumatera dan kawasan sangat
berkembang Pulau Jawa-Bali.
Untuk persiapan dan percepatan pembangunan Jembatan Selat Sunda, perlu diperhatikan:
1. Percepatan Peraturan Presiden atau Perpres yang baru1 mengenai JSS untuk menjadi payung
hokum yang mengatur pembangunan Jembatan Selat Sunda, dan mengamankan
kepentingan publik dan nasional Indonesia, termasuk peluang menggunakan skema Public
Private Partnership yang melibatkan pemerintah provinsi terkait, BUMN, BUMD, dan mitra
strategis.
2. Penyiapan prosedur untuk badan atau tim yang melakukan Feasibility Study (FS) secara
komprehensif dalam menetapkan harga, besar dan batas konsesi yang dinegosiasikan
termasuk, besaran dan jangka waktu berlakunya konsesi. Termasuk kelayakan ekonomis atas
pertambahan nilai Jembatan Selat Sunda dibandingkan menggunakan angkutan ferry yang
optimal dan didukung pelabuhan yang lebih baik.
3. Melengkapi Jembatan Selat Sunda dengan infrastruktur pendukung kawasan seperti:
pembangunan Jalan Tol Panimbang – Serang, Bandara Banten Selatan, penyelesaian
Pelabuhan Petikemas Bojonegara (500 ha), dan Pembangunan Jalan Tol Cilegon – Bojonegara
(14 km).
4. Mengantisipasi pengaruh pada pola pemanfaatan ruang dan struktur ruang kegiatan di pulau
Jawa dan pulau Sumatera terutama pada kawasan yang terpengaruh secara langsung oleh
Jembatan Selat Sunda. Pengaruh pada pola pemanfaatan ruang dan struktur ruang tersebut
harus mempertimbangkan kawasankawasan lindung pada RTRWN (PP No. 26 Tahun 20082).
II - 120
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Dengan demikian peran pokok Cetak Biru Sistem Logistik Nasional adalah memberikan arahan
dan pedoman bagi pemerintah dan dunia usaha untuk membangun Sistem Logistik Nasional yang
efektif dan efisien. Bagi pemerintah, Cetak Biru Sistem Logistik Nasional diharapkan dapat
membantu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam menyusun rencana
pembangunan di bidang logistik, serta meningkatkan transparansi dan koordinasi lintas
kementerian dan lembaga di tingkat pusat maupun daerah. Bagi dunia usaha, Cetak Biru Sistem
Logistik Nasional diharapkan dapat membantu pelaku usaha untuk meningkatkan daya saingnya
melalui penciptaan nilai tambah yang lebih tinggi dengan biaya yang kompetitif, meningkatkan
peluang investasi bagi usaha menengah, kecil dan mikro, serta membuka peluang bagi pelaku
dan penyedia jasa logistik nasional untuk menggalang kerjasama dalam skala global.
II - 121
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Sebagai panduan dan pedoman dalam pengembangan Sistem Logistik Nasional bagi para pihak
terkait (pemangku kepentingan), baik pemerintah maupun swasta, dalam:
1) menentukan arah kebijakan logistik nasional dalam rangka peningkatan kemampuan dan
daya saing usaha agar berhasil dalam persaingan global;
2) mengembangkan kegiatan yang lebih rinci, baik pada pemerintah pusat, pemerintah daerah,
pelaku usaha, dan pemangku kepentingan lainnya;
3) mengkoordinasikan, mensinkronkan dan mengintegrasikan para pihak terkait dalam
melaksanakan kebijakan logistik nasional;
4) mengkoordinasikan dan memberdayakan secara optimal sumber daya yang dibutuhkan,
dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi nasional, pertahanan keamanan negara, dan
kesejahteraan rakyat.
5) Sebagai alat untuk mengkomunikasikan Visi, Misi, Tujuan, Arah Kebijakan, dan Strategi, serta
Rencana Aksi pengembangan Sistem Logistik Nasional.
1) Konsumen, merupakan pengguna logistik yang membutuhkan barang baik untuk proses
produksi maupun untuk konsumsi. Konsumen inilah yang menentukan jenis dan jumlah
barang yang akan dibeli, dari siapa dan dimana barang tersebut dibeli dan kemana barang itu
diantarkan.
2) Pelaku Logistik (PL), merupakan pemilik dan penyedia barang yang dibutuhkan konsumen,
yang terdiri atas:
a) Produsen yang bertindak sebagai penghasil (sumber) barang baik melalui budidaya
(pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan, kehutanan), pertambangan, maupun
proses pengolahan produksi;
b) Penyalur (intermediare) yang bertindak sebagai perantara perpindahan kepemilikan
barang dari produsen sampai ke konsumen melalui saluran distribusi (pedagang
besar/wholesaler, grosir, distributor, agen, pasar, pengecer, warung, dan sebagainya)
dalam suatu mekanisme tata niaga.
3) Penyedia Jasa Logistik (Logistics Service Provider), merupakan institusi penyedia jasa
pengiriman barang (transporter, freight forwarder, shipping liner, EMKL, dsb) dari tempat
asal barang (shipper) ke tempat tujuannya (consignee), dan jasa penyimpanan barang
(pergudangan, fumigasi, dan sebagainya). Asal barang bisa berasal dari produsen, pemasok,
atau penyalur, sedangkan tempat tujuan bisa konsumen, penyalur, atau produsen.
4) Pendukung Logistik, merupakan institusi yang memberikan dukungan terhadap efektivitas
dan efisiensi kegiatan logistik, dan memberikan kontribusi untuk menyelesaikan
permasalahan logistik. Yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah asosiasi,
konsultan, institusi pendidikan dan pelatihan serta lembaga penelitian.
5) Pemerintah, merupakan (a) regulator yang menyiapkan peraturan perundangan dan
kebijakan, (b) fasilitator yang meyediakan dan membangun infrastruktur logistik yang
diperlukan untuk terlaksananya proses logistik, dan (c) integrator yang mengkoordinasikan
II - 122
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
dan mensinkronkan aktivitas logistik sesuai dengan visi yang ingin dicapai, dan pemberdayaan
baik kepada pelaku logistik, penyedia jasa logistik maupun pendukung logistik.
Untuk melakukan aktivitas logistik diperlukan infrastuktur logistik yang terdiri atas simpul logistik
(logistics node) dan mata rantai logistik (logistics link) yang berfungsi menggerakkan barang dari
titik asal (point of origin) ke titik tujuan (point of destination). Simpul logistik dapat berupa
pelaku logistik, maupun konsumen, sedangkan link logistik meliputi jaringan distribusi, jaringan
transportasi, jaringan informasi, dan jaringan keuangan, dimana komponennya sebagaimana
disajikan pada Gambar dibawah ini, dengan penjelasan sbb:
1. Infrastruktur dan jaringan distribusi merupakan mata rantai keterkaitan antara penyedia
(produsen, eksportir, dan importir), penyalur (pedagang besar, distributor, grosir, agen,
pengecer), dan konsumen melalui prasarana dan sarana distribusi (Pusat Distribusi, Terminal
Agri, Pasar Induk, Pasar Tradisional, Kios, Warung, Hypermarket, Supermarket, dan Mini
Market). Fungsi Infrastruktur dan jaringan distribusi adalah memperlancar transaksi
perpindahan kepemilikan diantara konsumen, pelaku logistik dan penyedia jasa logistik.
2. Infrastruktur dan jaringan transportasi merupakan mata rantai keterkaitan antara simpul
transportasi (transportation node) dan konektivitas antar simpul (transportation link) yang
berupa prasarana dan sarana transportasi. Simpul transportasi dapat berupa pelabuhan laut,
pelabuhan udara, stasiun, terminal, depot, dan pergudangan, sementara “transportation
link” adalah jalan darat, jalan tol, jalur kereta api, jalur sungai, jalur pelayaran, jalur
penerbangan, dan pipa. Simpul-simpul transportasi perlu diintegrasikan dengan jaringan
transportasi dan pelayanan sarana intermoda transportasi yang terhubung secara efisien dan
efektif.
3. Infrastruktur dan jaringan informasi terdiri atas jaringan fisik informasi (jaringan
telekomunikasi), sarana transportasi data (messaging hub), aplikasi (keamanan, saluran
pengiriman, maupun aplikasi khusus), dan data (dokumen). Dilihat dari keterhubungannya
infrastruktur dan jaringan informasi terdiri atas Jaringan Informasi Nasional yang terhubung
melalui National Gateway dan Jaringan Informasi Global melalui “International Gateways”
yang merupakan satu kesatuan dalam satu tatanan sistem e-Logistik Nasional yang berfungsi
untuk memperlancar transaksi informasi diantara pemangku kepentingan logistik secara
aman, terjamin dan handal.
4. Infrastruktur dan jaringan keuangan terdiri atas pelaku jasa keuangan (Bank, Asuransi, dan
LKBB), dan sarana jasa keuangan (ATM, i/net/sms banking, T/T, loket tunai, langsung tunai).
Jenis jasa keuangan logistik meliputi jasa kepabeanan, perpajakan, perbankan, dan asuransi
fungsi infrastruktur dan jaringan keuangan untuk memperlancar transaksi keuangan diantara
pemangku kepentingan logistik.
II - 123
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Sistem Logistik Nasional tidak hanya berkaitan dengan aspek mikro sebagaimana diuraikan di
atas, tetapi juga berkaitan dengan aspek lebih luas (makro) yang diwadahi dalam suatu tatanan
nasional dalam bingkai kebijakan dan regulasi, serta berperan sebagai landasan hukum dan acuan
dalam melakukan kegiatan logistik diantara para pemangku kepentingan sektor logistik nasional.
Formatnya dapat berbentuk perundangan, aturan, ketentuan, kebijakan, dan mekanisme
interaksi aktivitas logistik diantara pemangku kepentingan, yang mengakomodasi perspektif
makro dan mikro dalam penanganan persoalan logistik nasional. Secara skematis Sistem Logistik
Nasional disajikan pada Gambar berikut.
II - 124
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Selanjutnya ruang lingkup komoditas yang dijadikan obyek dan aktivitas logistik dalam Cetak Biru
Sistem Logistik Nasional ini adalah:
1. Logistik barang bukan penumpang dan tidak termasuk pos (antaran), karena pos sudah
ditangani dan diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang
Pos.
2. Difokuskan pada logistik komoditas strategis dan komoditas ekspor, sehingga logistik
bencana dan logistik militer (pertahanan keamanan) akan diatur secara terpisah.
3. Aktivitas logistik meliputi transportasi, pergudangan, dan distribusi tidak termasuk aktivitas
pengadaan khususnya barang pemerintah, karena diatur dan ditangani oleh Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, dan kegiatan produksi yang ditangani
oleh Kementerian atau Lembaga lain yang terkait.
a) Komoditas penggerak utama (key commodity factor) sebagai penggerak aktivitas logistik
belum terkoordinasi secara efektif, belum adanya fokus komoditas yang ditetapkan sebagai
komitmen nasional, dan belum optimalnya volume perdagangan ekspor dan impor;
b) Infrastruktur transportasi belum memadai baik dari segi kuantitas maupun kualitas yang
antara lain karena belum adanya pelabuhan hub, belum dikelola secara terintegrasi, efektif
II - 125
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
dan efisien, serta belum efektifnya intermodal transportasi dan interkoneksi antara
infrastruktur pelabuhan, pergudangan, transportasi dan wilayah hinterland,
c) Pelaku dan penyedia jasa logistik masih berdaya saing rendah karena terbatasnya jaringan
bisnis pelaku dan penyedia jasa logistik lokal sehingga pelaku multinasional lebih dominan
dan terbatasnya kualitas dan kemampuan pelaku dan penyedia jasa logistik nasional;
d) Teknologi informasi dan komunikasi belum didukung oleh ketersediaan infrastruktur dan
jaringan yang handal, masih terbatasnya jangkauan jaringan pelayanan non seluler, dan masih
terbiasanya menggunakan sistem manual (paper based system) dalam transaksi logistik;
e) Sdm logistik masih memiliki kompetensi rendah yang disertai oleh belum memadainya
lembaga pendidikan dan pelatihan bidang logistik;
f) Regulasi dan kebijakan masih bersifat parsial dan sektoral, yang disertai oleh masih
rendahnya penegakan hukum, belum efektifnya koordinasi lintas sektoral, dan belum adanya
lembaga yang menjadi integrator kegiatan logistik nasional.
Kondisi umum di atas menjadi penyebab dari belum optimalnya kinerja sektor logistik nasional
yang tercermin dari tingginya biaya logistik dan pelayanan yang belum optimal, sehingga hal ini
mempengaruhi daya saing dunia usaha di pasar global. Berdasarkan survei yang dilakukan World
Bank pada tahun 2010 yang kemudian dituangkan dalam Logistics Performance Index (LPI), posisi
LPI Indonesia secara menyeluruh berada pada peringkat 75 (tujuh puluh lima) dari 155 (seratus
lima puluh lima) negara. Berikut ini adalah gambaran umum perkembangan Sistem Logistik
Nasional yang lebih rinci yang terkait dengan pergerakan barang, infrastuktur logistik yang
mendukung, pelaku dan penyedia jasa logistik, sumber daya manusia, kinerja dan permasalahan
yang dihadapi.
Gambar 27 Pola Spasial Pemenuhan Permintaan Antara Lokal, Antar Provinsi dan Impor
II - 126
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 127
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
a) Pelabuhan
Permasalahan utama pelabuhan menyangkut 3 (tiga) hal pokok, yaitu belum tersedianya
pelabuhan hub internasional, rendahnya produktivitas dan kapasitas pelabuhan, dan belum
terintegrasinya manajemen kepelabuhanan.
Salah satu faktor penting bagi pengembangan logistik suatu negara adalah adanya pelabuhan
hub Internasional baik laut maupun udara sebagai pusat pengendalian arus barang nasional,
maupun internasional. Pelabuhan hub internasional adalah sebuah pelabuhan internasional yang
berfungsi sebagai pelabuhan pengumpul di mana kapal induk (mother vessel) yang dioperasikan
oleh main line operator (MLO) melakukan kunjungan langsung (direct call) guna
menaikkan/menurunkan barang, untuk selanjutnya diteruskan ke pelabuhan pengumpan oleh
feeder operator. Sementara itu walaupun saat ini Indonesia memiliki beberapa pelabuhan utama
namun belum memiliki pelabuhan hub internasional sedangkan untuk beberapa Negara di Asia
sudah ada kunjungan langsung, kecuali Eropa, Amerika, Afrika dan beberapa Negara di Asia. Di
sisi lain, potensi peningkatan volume perdagangan global ke depan harus diantisipasi dengan
baik. Hingga tahun 2012 diperkirakan kapal dengan kapasitas angkut lebih dari 10.000 (sepuluh
ribu) kontainer akan melintasi alur pelayaran dunia untuk rute Asia dan Eropa. Hal ini menuntut
kesiapan pelabuhan dan infrastruktur penunjangnya untuk dapat melayani kapal yang lebih
besar.
Produktivitas dan kapasitas pelabuhan nasional semakin tidak mampu mengimbangi peningkatan
arus barang, baik arus domestik maupun internasional. Beberapa pelabuhan utama, seperti
Tanjung Priok, Tanjung Perak, Belawan, dan Makassar sudah sangat membutuhkan
pengembangan kawasan pelabuhan untuk mengantisipasi penanganan arus barang yang
semakin meningkat.
Pengurusan pergerakan barang dan dokumen saat ini masih dilakukan berbasis transaksi. Hal ini
karena belum adanya pelayanan jasa logistik yang terpadu antara badan pengatur pelabuhan,
pengusahaan pelabuhan, pengguna jasa pelabuhan, karantina, dan kepabeanan serta stake
holders lain yang terkait yang berorientasi kepada kelancaran arus barang dan kepuasan
pelanggan. Selain itu belum ada sistem atau mekanisme kerjasama antara otoritas pengelola
pelabuhan dengan kawasan industri yang berorientasi kelancaran arus barang ekspor dan impor
untuk keperluan industri.
II - 128
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
b) Prasarana Jalan
Terbatasnya kapasitas jalan pada beberapa lintas ekonomi seperti Trans Jawa dan Sumatera telah
berdampak pada bertambahnya waktu tempuh perjalanan, sehingga pada ruas-ruas tersebut
memerlukan peningkatan kapasitas dan pengembangan jaringan baru secara bertahap. Hal
tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa menurunnya tingkat pelayanan jalan pada jalur-jalur
utama perekonomian terutama di Jawa dan Sumatera menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan
mengurangi daya saing produk-produk domestik. Selain itu juga kurangnya disiplin pengguna
jalan seperti membawa muatan melebihi kapasitas jalan telah menyebabkan jalan cepat rusak.
Kondisi kerusakan jalan ini juga terjadi di daerah dan kepulauan lainnya, seperti Kalimantan,
Sulawesi dan Papua.
Perkeretaapian nasional masih menghadapi berbagai permasalahan, seperti jalur Kereta Api yang
masih menggunakan single track, banyaknya kondisi rel yang sudah tua dan teknologi yang sudah
usang, dan gerbong yang perlu segera diganti. Konsep bisnis yang diterapkan untuk Kereta Api
barang khususnya pengangkutan kargo kontainer masih menerapkan sistem bisnis
pengangkutan atau transporter, belum menggunakan perspektif konsep bisnis logistik. Selain
yang tersebut diatas, beberapa permasalahan lain adalah: (a) Jalur Angkutan Petikemas TPKB
Gedebage ke Pelabuhan Laut Tanjung Priok terhenti di Pasoso yang jaraknya sekitar 1 (satu) km
dari posisi Terminal Kontainer JICT/Koja, hal ini menimbulkan tambahan handling, waktu dan
biaya, (b) pemeliharaan, baik sarana
(gerbong dan lokomotif) maupun prasarana perkeretaapian, yang belum memadai; dan (c)
Jadwal kereta api yang belum sejalan dengan jadwal pengiriman barang ekspor/impor.
Negara Indonesia yang berupa kepulauan membutuhkan sarana dan prasarana transportasi laut
yang memadai. Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan pelayanan dan tingkat keselamatan
angkutan laut (terutama: ferry) yang memadai, yang perlu didukung dengan industri penunjang
galangan kapal dan rancang-bangun kapal ferry nasional yang memadai.
Saat ini angkutan sungai dan penyeberangan memiliki paradigma baru yaitu bahwa angkutan ini
berorientasi pada dinamika lingkungan daerah dan bisnis, harga dinamis, kompetisi layanan
(customer focus), dan entitas infrastruktur – bisnis (mixed). Kedepannya, potret masa depan
industry ferry Indonesia akan menuju Pola tarif ferry berbasis pasar (pro-market mechanism).
Sehingga menuntut peremajaan armada kapal angkutan penyeberangan/ferry (excelent ferry
ship), dan peningkatan citra layanan angkutan penyeberangan/ferry (superior services at the
highest safety standard.
e) Transportasi Multimoda
Saat ini, Indonesia belum memiliki konsep multimoda di sektor angkutan barang dan belum
memiliki regulasi yang mengatur prosedur transportasi bagi barang berpindah moda. Selain itu,
akses transportasi multimoda belum memadai, seperti ketika barang dibongkar di Pelabuhan
Tanjung Priok dan satu-satunya akses transportasi pengangkutan barang hanya melalui
II - 129
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
transportasi darat. Padahal, infrastruktur jalan yang sangat terbatas menyebabkan lalu lintas di
Pelabuhan Tanjung Priok mengalami kemacetan. Akses jalan kereta api yang ada saat ini tidak
difungsikan lagi, sehingga tidak terdapat alternatif bagi para pelaku industri untuk dapat
mengelola distribusi barangnya secara efektif dan efisien.
1) Infrastruktur yang belum menunjang, seperti akses jalan Kereta Api dari Tanjung Priok belum
bisa langsung ke container yard dan dari Gede Bage masih memerlukan dua kali customs
handling.
2) Gudang transit yang belum memadai, baik dipelabuhan udara maupun di pelabuhan laut.
Visi, Misi, dan Tujuan pengembangan Sistem Logistik Nasional sampai tahun 2025 adalah
“Terwujudnya Sistem Logistik yang terintegrasi secara lokal, terhubung secara global untuk
meningkatkan daya saing nasional dan kesejahteraan rakyat (locally integrated, globally
connected for national competitiveness and social welfare)”
Terintegrasi Secara Lokal (Locally Integrated), diartikan bahwa pada tahun 2025 seluruh aktivitas
logistik di Indonesia mulai dari tingkat pedesaan, perkotaan, sampai dengan antar wilayah dan
antar pulau beroperasi secara efektif dan efisien dan menjadi satu kesatuan yang terintegrasi
secara nasional dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang akan membawa
kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat Indonesia. Dengan visi terintegrasi secara lokal
ini akan mendorong terwujudnya ketahanan dan kedaulatan ekonomi nasional yang ditandai
dengan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, dan pemerataan antar daerah yang berkeadilan
sehingga akan tercapai peningkatan kesejahteraan masyarakat dan akan menyatukan seluruh
wilayah Indonesia sebagai negara maritim.
Internasional (termasuk fasilitasi kepabeanan dan fasilitasi perdagangan) dan jaringan informasi
“International Gateways”, dan jaringan keuangan agar pelaku dan penyedia jasa logistik nasional
dapat bersaing di pasar global.
Integrasi secara lokal dan keterhubungan secara global sebagaimana disajikan secara skematis
pada Gambar 3.1 dilakukan melalui integrasi dan efisiensi jaringan logistik yang terdiri atas
jaringan distribusi, jaringan transportasi, jaringan informasi, dan jaringan keuangan yang
didukung oleh pelaku dan penyedia jasa logistik. Dengan demikian jaringan sistem logistik dalam
negeri dan keterhubungannya dengan jaringan logistik global akan menjadi kunci kesuksesan di
era persaingan rantai pasok global (global supply chain), karena persaingan tidak hanya antar
produk, antar perusahaan, namun juga antar jaringan logistik dan rantai pasok bahkan antar
negara. Selain itu, integrasi logistik secara lokal dan keterhubungan secara global akan dapat
meningkatkan ketahanan dan kedaulatan ekonomi, kesejahteraan masyarakat dan perwujudan
NKRI sebagai negara maritim.
II - 130
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Terhubung Secara Global (Globally Connected) diartikan bahwa pada tahun 2025, Sistem Logistik
Nasional akan terhubung dengan sistem logistik regional (ASEAN) dan global melalui Pelabuhan
Hub Internasional (termasuk fasilitasi kepabeanan dan fasilitasi perdagangan) dan jaringan
informasi “International Gateways”, dan jaringan keuangan agar pelaku dan penyedia jasa
logistik nasional dapat bersaing di pasar global.
Integrasi secara lokal dan keterhubungan secara global sebagaimana disajikan secara skematis
pada Gambar dibawah ini dilakukan melalui integrasi dan efisiensi jaringan logistik yang terdiri
atas jaringan distribusi, jaringan transportasi, jaringan informasi, dan jaringan keuangan yang
didukung oleh pelaku dan penyedia jasa logistik. Dengan demikian jaringan sistem logistik dalam
negeri dan keterhubungannya dengan jaringan logistik global akan menjadi kunci kesuksesan di
era persaingan rantai pasok global (global supply chain), karena persaingan tidak hanya antar
produk, antar perusahaan, namun juga antar jaringan logistik dan rantai pasok bahkan antar
negara. Selain itu, integrasi logistik secara lokal dan keterhubungan secara global akan dapat
meningkatkan ketahanan dan kedaulatan ekonomi, kesejahteraan masyarakat dan perwujudan
NKRI sebagai negara maritim.
II - 131
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
B. Misi
a) Memperlancar arus barang secara efektif dan efisien untuk menjamin pemenuhan kebutuhan
dasar masyarakat dan peningkatan daya saing produk nasional di pasar domestik, regional,
dan global.
b) Membangun simpul-simpul logistik nasional dan konektivitasnya mulai dari pedesaan,
perkotaan, antar wilayah dan antar pulau sampai dengan hub pelabuhan internasional melalui
kolaborasi antar pemangku kepentingan.
C. Tujuan
Sesuai dengan visi dan misi di atas secara umum tujuan yang ingin dicapai dalam membangun dan
mengembangkan Sistem Logistik Nasional adalah mewujudkan sistem logistik yang terintegrasi,
efektif dan efisien untuk meningkatkan daya saing nasional di pasar regional dan global, dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Secara lebih spesifik tujuan tersebut adalah:
a) Menurunkan biaya logistik, memperlancar arus barang, dan meningkatkan pelayanan logistik
sehingga meningkatkan daya saing produk nasional di pasar global dan pasar domestik;
II - 132
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
b) Menjamin ketersediaan komoditas pokok dan strategis di seluruh wilayah Indonesia dengan
harga yang terjangkau sehingga mendorong pencapaian masyarakat adil dan makmur, dan
memperkokoh kedaulatan dan keutuhan NKRI;
c) Mempersiapkan diri untuk menghadapi integrasi jasa logistik ASEAN pada tahun 2013 sebagai
bagian dari pasar tunggal ASEAN tahun 2015 dan integrasi pasar global pada tahun 2020.
Berdasarkan visi, misi dan tujuan sebagaimana diuraikan diatas, pengembangan Sistem Logistik
Nasional bertumpu pada 6 (enam) faktor penggerak utama yang saling terkait (Gambar 3.2),
yaitu:
Berdasarkan 6 (enam) faktor penggerak utama (six key-driver) sistem logistik nasional yang
diwadahi oleh tatanan kelembagaan, maka arah kebijakan yang akan ditempuh adalah:
1. Penetapan Komoditas Penggerak Utama dalam suatu tatanan jaringan logistik dan rantai
pasok, tata kelola, dan tata niaga yang efektif dan efisien.
2. Pengintegrasian simpul-simpul infrastruktur Logistik, baik simpul logistik (logistics node)
maupun keterkaitan antar simpul logistik (logistics link) yang berfungsi untuk mengalirkan
barang dari titik asal ke titik tujuan. Simpul logistik meliputi pelaku logistik dan konsumen;
sedangkan keterkaitan antar simpul meliputi jaringan distribusi, jaringan transportasi,
jaringan informasi, dan jaringan keuangan, yang menghubungkan masyarakat pedesaan,
perkotaan, pusat pertumbuhan ekonomi, antar pulau maupun lintas negara. Integrasi simpul
logistik dan keterkaitan antar simpul ini menjadi landasan utama dalam mewujudkan
konektivitas lokal, nasional dan global untuk menuju kedaulatan dan ketahanan ekonomi
II - 133
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
nasional (national economic authority and security) dan terwujudnya Indonesia sebagai
Negara Maritim.
3. Pengembangan dan penerapan Sistem Informasi dan Komunikasi yang handal, dan aman;
4. Pengembangan Pelaku dan Penyedia Jasa Logistik lokal yang berkelas dunia;
5. Pengembangan Sumber Daya Manusia Logistik yang profesional;
6. Penataan peraturan/perundangan di bidang logistik untuk menjamin kepastian hukum dan
berusaha, serta sinkronisasi antar pelaku dan penyedia lgistik baik ditingkat Pusat maupun
Daerah untuk mendukung aktivitas logistik yang efisien dan menciptakan iklim usaha yang
kondusif.
7. Penyelenggaraan tata kelola kelembagaan sistem logistik nasional yang efektif.
Sesuai dengan visi, misi, tujuan dan arah kebijakan, maka kondisi Sistem Logistik Nasional yang
diharapkan secara skematis disajikan pada Gambar dan dirinci sesuai dengan komponen
penggeraknya.
1. Aspek Komoditas
Kondisi logistik yang ingin dicapai adalah terwujudnya sistem logistik komoditas penggerak
utama (key commodities) yang mampu meningkatkan daya saing produk nasional baik di pasar
domestik, pasar regional maupun di pasar global. Selain itu, sistem logistik komoditas penggerak
utama ini ditujukan untuk menjamin ketersediaan barang, kemudahan mendapatkan barang
dengan harga yang terjangkau dan stabil, serta mempersempit disparitas harga antar wilayah di
Indonesia. Oleh karena itu, penetapan komoditas penggerak utama (key commodities) menjadi
faktor penting dalam penetapan kebijakan logistik nasional. Sesuai dengan paradigma “ship
follows the trade” maka komoditas merupakan penghela (driver) dari seluruh kegiatan logistik.
Oleh sebab itu perlu ditetapkan jenis komoditas yang dikategorikan sebagai komoditas
penggerak utama, dianalisa pola jaringan logistik dan rantai pasok, pola tata niaga, dan pola tata
II - 134
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
kelolanya. Komoditas penggerak utama dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (i) komoditas
pokok dan strategis (ii) komoditas unggulan ekspor dan (iii) komoditas bebas.
Komoditas pokok adalah barang yang menguasai hajat hidup orang banyak, rawan gejolak,
penyumbang dominan inflasi, dan menentukan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan komoditas
strategis adalah barang yang berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan
nasional. Oleh sebab itu, kelompok barang ini merupakan komoditas khusus dimana pemerintah
dapat melakukan intervensi pasar untuk menjamin ketersediaan stok, menstabilkan harga agar
terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, dan menurunkan disparitas harga antar daerah di
Indonesia.
Komoditas unggulan ekspor adalah komoditas ekspor yang pertumbuhan ekspornya cukup tinggi
dan memiliki nilai tambah tinggi sehingga mampu menghela pertumbuhan ekonomi nasional.
Walaupun sebagai komoditas umum yang pasokan dan penyalurannya mengikuti mekanisme
pasar, namun pemerintah perlu memberikan fasilitasi dan dan bantuan promosi untuk
pengembangan komoditas unggulan ekspor ini agar dapat dipacu peningkatan volume dan nilai
ekspornya, serta didorong pertumbuhan industri hilirnya, dan dijamin kelancaran arus barang
secara efektif dan efisien. Ke depan profil jaringan logistik dan rantai pasok komoditas unggulan
ekspor akan menjangkau pusat pusat produksi dan pusat pusat pertumbuhan untuk menjamin
kelancaran arus barang dari daerah asal barang ke pelabuhan Hub Internasional secara efektif
dan efisien.
c) Komoditas Bebas/Umum
Untuk memperlancar logistik komoditas pokok dan strategis akan dibangun Pusat Distribusi
Regional yang berfungsi sebagai cadangan penyangga nasional dan Pusat Distribusi Propinsi pada
setiap Propinsi yang dapat digunakan sebagai penyangga pada setiap propinsi sebagaimana
disajikan pada Gambar 3.4. Selanjutnya, Pusat Distribusi Propinsi akan menjadi penyangga bagi
jaringan Distribusi Kabupaten/Kota. Untuk efisiensi, Pusat Distribusi Regional akan ditempatkan
dan dikelola oleh Pusat Distribusi Propinsi yang ditugaskan sebagai Pusat Distribusi Regional.
Adapun kriteria penempatan Pusat Distribusi Regional adalah jumlah penduduk, aksesibilitas,
daerah konsumen (bukan penghasil dan bukan daerah produsen), dapat berfungsi sebagai
II - 135
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
kolektor (pusat konsolidasi) dan distributor, berada pada wilayah dekat Pelabuhan Utama, dan
berpotensi untuk dikembangkan menjadi pusat perdagangan antar pulau. Berdasarkan pada
kriteria tersebut di atas maka alternatif lokasi Pusat Distribusi Regional adalah sebagai berikut:
untuk Sumatra di Kuala Tanjung Padang, dan Palembang, Jawa di Jakarta, Semarang, dan
Surabaya, Kalimantan di Banjarmasin, Sulawesi di Makassar dan Bitung, Nusa Tenggara di
Larantuka, dan Papua di Sorong dan Jayapura.
Kondisi yang diinginkan adalah terwujudnya Pelaku Logistik (PL) dan Penyedia Jasa Logistik (PJL)
yang terpercaya dan profesional, yang tidak hanya mampu bersaing dan menguasai sektor
logistik dalam tataran lokal dan nasional, tetapi juga mampu bersaing di tataran global sehingga
terwujud “pemain lokal kelas dunia” (world class local players). Khusus untuk Komoditas Pokok
dan Strategis, PL dan PJL Nasional berperan baik disisi hulu (pasokan) maupun hilir (penyaluran),
dan PL dan PJL Internasional dimungkinkan berperan pada kegiatan ekspor dan impor. Selain itu
Pengusaha UKM dan Koperasi memiliki kesempatan seluas untuk berperan sebagai PL dan PJL
pada Jaringan Logistik Lokal dan Nasional.
Peran dan fungsi infrastruktur transportasi adalah memperlancar pergerakan arus barang secara
efektif dan efisien serta dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim, yang
mempunyai kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional (national economic security and
souverignty), dan sebagai wahana pemersatu bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) Ketersediaan jaringan infrastruktur transportasi yang memadai merupakan
faktor penting untuk mewujudkan konektivitas lokal (local connectivity), konektivitas nasional
(national connectivity), dan konektivitas global (global connectivity).
Wilayah kepulauan Indonesia yang terbentang sepanjang 3.977 (tiga ribu sembilan ratus tujuh
puluh tujuh) mil atau 6.363 (enam ribu tiga ratus enam puluh tiga) km, antara Samudra Hindia
dan Samudra Pasifik, merupakan tantangan besar bagi sektor logistik karena sulitnya
II - 136
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
memberikan jasa layanan logistik ke semua wilayah di berbagai pulau. Untuk itu, perlu diterapkan
Konsep Logistik Maritim Indonesia yang berlandaskan kepada cara pandang wilayah NKRI
sebagai sebuah negara yang terdiri dari ribuan pulau yang disatukan oleh laut, dan bukan
dipisahkan oleh laut. Oleh sebab itu, pengembangan sistem logistik nasional akan berlandaskan
kepada konsep Wilayah Depan dan Wilayah Dalam yang berada dalam bingkai wilayah kesatuan
NKRI seperti dapat dilihat pada Gambar 3.5.
Konsep Wilayah Depan dan Wilayah Dalam bukanlah konsep baru, karena merupakan
perwujudan dari Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia; Undang Undang
No. 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea
(Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Hukum Laut); Undang- Undang Nomor 17 tahun
2008 tentang Pelayaran; Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2002
Tentang Hak Dan Kewajiban Kapal Dan Pesawat Udara Asing Dalam Melaksanakan Hak Lintas
Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan Yang Ditetapkan; dan Peraturan Pemerintah
Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan. Konsep ini akan semakin penting terutama
sejak deklarasi Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia pada 21 Maret 1980, dimana batas wilayah
perairan Indonesia adalah 12 (dua belas) mil laut dari wilayah daratan terluar dan ditambah
dengan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sejauh 200 (dua ratus) mil. Dengan berdasarkan ZEE ini
maka wilayah NKRI dapat dibedakan atas wilayah depan dan wilayah dalam.
Wilayah depan adalah wilayah yang langsung berbatasan dengan negara lain atau wilayah yang
berbatasan dengan perairan internasional, sedangkan wilayah dalam adalah wilayah yang berupa
daratan dan lautan yang dikelilingi oleh wilayah depan. Wilayah dalam menjadi kedaulatan penuh
NKRI, walaupun demikian di Wilayah Dalam, kapal berbendera asing masih diperbolehkan untuk
melintasi perairan Indonesia sepanjang lintasan ALKI sampai sejauh 25 (dua puluh lima) mil di
sebelah kiri dan kanan garis ALKI dan memenuhi ketentuan Internasional (innocent passage),
namun tidak diperbolehkan untuk melakukan kegiatan ekonomi dan perikanan.
Selain pertimbangan aspek geografis, pengembangan konektivitas lokal dan konektivitas global
perlu mempertimbangkan kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional. Selama ini, persaingan
antara produk lokal dan impor pada proses distribusi di pasar domestik berlangsung secara
kurang adil, karena produk impor dapat langsung masuk ke Indonesia melalui “pintu masuk”
pelabuhan yang lokasinya berdekatan dengan wilayah konsumen utama yang padat
penduduknya, seperti: Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan. Dengan demikian, biaya logistik produk impor
menjadi relatif lebih rendah dibandingkan dengan produk domestik.
Konsep wilayah depan dan wilayah dalam merupakan lompatan strategis di sektor logistik agar
daya saing produk lokal di pasar domestik dapat meningkat. Selain itu, konsep ini diharapkan juga
dapat menjadi dorongan transformasi pelabuhan Hub International menjadi Logistics Port, yaitu:
sebagai fasilitas untuk memperlancar arus barang menggantikan pelabuhan sebagai tempat
bongkar muat. Secara mikro, konsep ini juga mempercepat paling tidak 2 (dua) hal yaitu: (a)
Pengembangan pelabuhan Short Sea Shipping (SSS) di wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua sebagai alternatif pengembangan infrastruktur jalan raya
yang semakin sangat mahal, dan sering terkendala masalah pembebasan lahan, dan (b)
II - 137
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Pengembangan Logistics Support di wilayah laut dalam untuk menunjang aktivitas eksploitasi
kekayaan laut Indonesia di wilayah ZEE.
Infrastruktur dan jaringan transportasi lokal merupakan bagian dari konektivitas domestik yang
diharapkan mampu menghubungkan masyarakat pedesaan, perkotaan (kota, kabupaten, dan
propinsi), pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di dalam satu pulau atau di dalam satu koridor
ekonomi. Pada tahun 2025, secara Nasional diharapkan jaringan infrastruktur transportasi massal
baik darat (kereta api) maupun air (short sea shipping) yang menjadi tulang punggung harus
sudah terbangun sehingga akan mengikat kuat interkoneksi antara kawasan-kawasan industri,
perkotaan, dan pedesaan. Titik simpul logistik yang penting untuk dikembangkan adalah
pelabuhan laut, bandar udara, terminal, pusat distribusi, pusat produksi, dan kawasan
pergudangan yang harus terintegrasi dengan jaringan jalan raya, jalan tol, jalur kereta api, jalur
sungai, jalur pelayaran dan jalur penerbangan. Dengan kondisi ini diharapkan daya saing produk
nasional meningkat, serta kebutuhan bahan pokok dan strategis masyarakat dapat dipenuhi
dengan jumlah yang sesuai dan harga terjangkau.
Infrastruktur dan jaringan transportasi antar pulau merupakan bagian dari konektivitas domestik
yang diharapkan mampu menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baik dalam (intra)
koridor ekonomi dan wilayah dalamnya (hinterland), termasuk daerah tertinggal, terpencil dan
terdepan (perbatasan) maupun antar koridor ekonomi, dan antar pulau (inter island). Pada tahun
2025, secara Nasional diharapkan jaringan infrastruktur transportasi harus sudah dibangun yang
menghubungkan antara kawasan-kawasan industri, perkotaan, dan antar pulau. Titik simpul
transportasi penting antar pulau adalah pelabuhan laut dan bandar udara yang harus terkoneksi
dengan jalur pelayaran dan jalur penerbangan yang memadai dan efisien.
Transportasi antar pulau (pelayaran dalam negeri) memegang peranan yang sangat strategis dan
menjadi tulang punggung transportasi nasional karena sangat menentukan kelancaran arus
barang dan biaya logistik. Oleh sebab itu, pelabuhan laut sebagai salah satu komponen sistem
transpotasi laut perlu ditata sesuai dengan Undang-Undang No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran,
khususnya yang terkait dengan penataan Pelabuhan Utama, Pelabuhan Pengumpul, dan
Pelabuhan Pengumpan. Pada setiap Propinsi diharapkan memiliki minimal satu pelabuhan
pengumpul, sedangkan pelabuhan pengumpan berada pada Kabupaten/Kota untuk menunjang
kelancaran arus lalu lintas komoditas unggulan ekspor, komoditas pokok, dan serta barang
strategis. Oleh karena besarnya investasi yang diperlukan, dan faktor efektivitas dan efisiensi
operasinya, maka pelabuhan utama tidak perlu dikembangkan di setiap Propinsi, sehingga hanya
di beberapa Propinsi yang pelabuhan pengumpannya memenuhi kriteria sebagai Pelabuhan
Utama.
Selain memenuhi aspek teknis, Pelabuhan Utama juga harus memenuhi kriteria lain seperti:
mampu melaksanakan volume bongkar/muat barang minimal 6.000.000 (enam juta) ton/tahun
atau 5.000.000 (lima juta) TEUs/tahun, mendukung hinterland yang luas dan memiliki pusat
pertumbuhan ekonomi, memperkuat kedaulatan dan ketahanan nasional (ekonomi, politik,
hankam, sosial, budaya, perdagangan, industri), meningkatkan efektifitas implementasi azas
II - 138
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
cabotage, mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim (Maritim State), meningkatkan daya
saing produk domestik, berpotensi dapat dikembangkan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi
yang baru, menghela “Unusual Business Growth”, memiliki kecukupan lahan untuk
pengembangan, tidak menimbulkan “social cost” yang besar, dan mempermudah pemerataan
pembangunan ekonomi secara inklusif. Selain itu juga lokasi Pelabuhan Utama ini diharapkan
terhubung dengan Hub Ekonomi (kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, dan sebagainya),
Hub Logistik, dan Hub Pelabuhan Internasional. Alternatif pelabuhan utama yang perlu dikaji
lebih lanjut berdasarkan atas kriteria tersebut adalah Sabang, Belawan, Kuala Tanjung, Batam,
Jakarta, Surabaya, Banjarmasin, Balikpapan, Makasar, Bitung, Kupang, Sorong, dan Biak.
Selanjutnya untuk menghubungkan wilayah kepulauan baik pada pulau itu sendiri maupun antar
pulau maka harus dijalankan azas cabotage secara penuh melalui jalur pelayaran utama yang
menghubungkan antar pelabuhan utama, melalui jalur pelayaran yang menghubungkan antar
pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpan, serta melalui penggunaan Short Sea Shipping
(SSS) sebagaimana disajikan pada Gambar berikut.
Guna mendukung konsep SSS nasional maka perlu dikaji lebih lanjut tentang rute pelayaran, dan
hal-hal yang terkait dengan penyediaan armada kapal niaga yang memiliki karakteristik teknis
diantaranya sebagai berikut:
1. Kebutuhan jenis kapal SSS (short sea shipping) seperti: Pelayaran Rakyat (Pelra) atau
Pelayaran Nusantara, General Cargo Ship, Large Ro-Ro, Small Ro-Ro, Containers on Barge, Ro-
Ro Barge, dan Container Ship, kapal curah cair dan curah padat
2. Kapasitas kapal niaga untuk masing-masing jenis kapal adalah sebagai berikut: Kapal General
Cargo berkisar 1,000–5,000 (seribu hingga lima ribu) ton DWT, Kapal Ro-Ro 1,000 – 5,000
(seribu hingga lima ribu) GT, Kapal Curah Kering 10,000– 50,000 (sepuluh ribu hingga lima
puluh ribu) ton DWT (Handy Size), Kapal Curah Cair 10,000–30,000 (sepuluh ribu hingga tiga
II - 139
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
puluh ribu) ton DWT (General Purpose dan Medium Range), dan Kapal Kontainer 1,000–3,000
(seribu hingga tiga ribu)TEUs (Small dan Feeder max type).
3. Kecepatan kapal niaga yang paling sesuai dengan kebutuhan SSS Indonesia: 10–15 (sepuluh
hingga lima belas) knots, dan 15–20 (lima belas hingga dua puluh) knots.
4. Jarak jangkau kapal, dapat diklasifikasikan kurang dari 400 (empat ratus) mil laut, antara 400
– 600 (empat ratus hingga enam ratus) mil laut, atau lebih besar dari 600 (enam ratus) mil
laut.
5. Analisa komoditi yang cocok diangkut oleh pelayaran SSS.
Infrastruktur dan Jaringan Transportasi Global merupakan bagian dari konektivitas global (global
connectivity) yang diharapkan mampu menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
utama (national gate way) ke pelabuhan hub internasional baik di wilayah barat Indonesia
maupun wilayah timur Indonesia, serta antara Pelabuhan Hub Internasional di Indonesia dengan
Pelabuhan hub internasional di berbagai negara yang tersebar pada lima benua. Pada tahun 2025
diharapkan Sistem Logistik Nasional akan terhubung dengan sistem logistik global, melalui
jaringan infrastruktur multimoda sebagaimana disajikan pada Gambar 3.7.
Selain memenuhi persyaratan aspek teknis pelabuhan internasional, lokasi Pelabuhan Hub
Internasional dipilih dengan kriteria diantaranya berada di wilayah depan atau dilalui ALKI,
memperkuat kedaulatan dan ketahanan nasional (ekonomi, politik, hankam, sosial, budaya,
perdagangan, industri), meningkatkan efektifitas azas cabotage, mewujudkan Indonesia sebagai
Negara Maritim, meningkatkan daya tahan dan daya saing produk domestik, filtering barang
impor yang mengancam produsen produk domestik, berpotensi dapat dikembangkan menjadi
pusat pertumbuhan ekonomi yang baru, menghela “unusual business growth”, memiliki
kecukupan lahan untuk pengembangan, tidak menimbulkan “social cost” yang besar,
mempermudah pemerataan pembangunan ekonomi secara inklusif.
II - 140
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Berdasarkan konsep wilayah depan dan wilayah dalam di atas, maka diharapkan pintu-pintu
masuk (pelabuhan) untuk barang-barang impor, terutama komoditas pokok dan strategis dan
barang impor yang berpotensi merugikan industri domestik, hanya akan diperboleh untuk masuk
Indonesia melalui wilayah depan Negara Indonesia. Pintu wilayah depan ini memiliki peranan
sebagai sarana untuk menyaring barang masuk, yang dilaksanakan melalui proses clearance
pabean, karantina, dan pemenuhan terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku di Indonesia
dengan tidak melanggar azas kesepakatan (agreement) baik ASEAN 2015 maupun WTO 2020.
Selain itu juga lokasi pintu-pintu masuk ini diharapkan menjadi Hub Ekonomi dan Hub Logistik
yang menjadi fasilitator kerjasama Indonesia dengan negara-negara tetangga dalam kerangka
kerjasama segitiga IMT (Indonesia, Malaysia dan Thailand), IMS (Indonesia, Malaysia dan
Singapura), BIMP (Brunei, Indonesia, Malaysia dan Philipina) dan AIDA (Australia dan Indonesia).
Sesuai dengan MP3EI untuk Wilayah Barat Indonesia adalah Kuala Tanjung, sedangkan untuk
Wilayah Timur Indonesia yang menjadi Hub Internasional berdasarkan atas kriteria tersebut
adalah Bitung.
Adapun pergerakan barang dari pintu-pintu masuk ke wilayah dalam Indonesia akan diperlakukan
sebagai pergerakan barang-barang dalam negeri. Dengan demikian tujuan strategis yang ingin
dicapai adalah agar kelancaran barang ekspor bisa dijamin dan distribusi produk nasional dapat
menjangkau seluruh pelosok secara efektif dengan biaya logistik yang rendah dan menjamin
keberlangsungan pasokan.
d) Transportasi Multimoda
Transportasi multi moda adalah transportasi barang dengan menggunakan paling sedikit dua
moda transportasi yang berbeda, atas dasar satu kontrak yang menggunakan dokumen
transportasi multimoda dari sesuatu tempat barang diterima oleh operator transportasi
multimoda ke satu tempat yang ditentukan untuk penyerahan barang tersebut. Diharapkan pada
akhir tahun 2025 telah terwujud sistem transportasi multimoda sebagaimana secara skematis
disajikan pada Gambar 3.8. Gambar 3.8 mengilustrasikan paradigma dan perspektif
pembangunan transportasi multimoda yang mempertimbangkan jenis dan karakteristik sistem
transportasi yang digunakan, dan mempertimbangkan sisi efisiensi, efektivitas dan kemudahan
sistem operasinya, sehingga mampu melahirkan sistem transportasi yang berdaya saing tinggi.
II - 141
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
e) Pelabuhan Khusus
Pelabuhan khusus diperuntukkan bagi kelancaran operasi ekspor dan impor dalam rangka
mendukung pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus, industri pertambangan dan migas (batu
bara, nikel, tembaga, LNG, minyak dan sebagainya), serta industri perikanan. Mengingat sifat
komoditasnya yang berbasis pada sumber daya alam, maka lokasi dan penyelenggaraannya akan
diatur secara tersendiri.
II - 142
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
2008 tentang Pelayaran. Sampai dengan saat ini, industri perkapalan masih dianggap sebagai
industri yang “terpisah” dengan industri pelayaran dalam mendukung sistem logistik nasional.
Industri ini masih dianggap berdiri sendiri bersama dengan sektor industri alat angkut lainnya,
misalnya: industri mobil. Pembangunan industri perkapalan untuk ke depan adalah revitalisasi
dan pendirian galangan baru yang terletak di sekitar jalur pelayaran domestik maupun ALKI guna
mendukung kehandalan dan keselamatan pelayaran. Lokasi galangan kapal nasional yang perlu
direvitalisasi atau dibangun baru adalah daerah sekitar pelabuhan: Belawan, Kuala Tanjung,
Batam, Jakarta, Surabaya, Banjarmasin/ Balikpapan, Makasar, Bitung, Sorong, Kupang, dan Biak.
Pasokan bahan baku dan bahan antara untuk industri perkapalan di lokasi tersebut juga harus
dibangun sesuai dengan Pusat Distribusi Logistik Provinsi.
Kondisi yang ingin dicapai adalah tersedianya e-Logistik Nasional yang menyediakan layanan satu
atap sistem pengiriman data, dokumen logistik perdagangan, dan informasi secara aman dan
handal untuk melayani transaksi G2G, G2B, dan B2B baik untuk perdagangan domestik maupun
internasional, dan terkoneksi dengan jejaringan logistik ASEAN dan jejaring logistik global secara
on line (One-Stop World Wide Connection and communication of trade messages delivery
system) yang didukung oleh infrastuktur dan jaringan Teknologi Informasi dan Komunikasi yang
handal dan beroperasi secara efisien, sebagaimana disajikan pada Gambar.
E-Logistik Nasional yang akan dibangun merupakan pengembangan dan integrasi dari NSW,
Customs Advance Trade System (CATS) dan National Integrated Logistics and Intermodal
Transportation System (NILITS), namun tidak hanya untuk mempercepat penanganan dokumen
kepabeanan dan perijinan ekspor-impor, dan kegiatan perdagangan global lainnya, tapi juga
untuk keperluan perdagangan domestik, dengan tujuan agar pergerakan barang/kargo menjadi
terdeteksi, tepat waktu (timely), murah (not costly), dan aman (secure).
Dalam memberikan pelayanan, e-Logistics Nasional harus mampu beradaptasi dengan aktivitas
logistik yang telah ada di dalam negeri maupun di berbagai negara lainnya. E-Logistik Nasional
harus kompatibel dan terintegrasi dengan INSW sehingga akan memperlancar dan mendukung
terlaksananya konektivitas perdagangan baik di tingkat regional maupun internasional. Dengan
demikian, pelaku bisnis dapat mempergunakan e-Logistics Nasional untuk berkomunikasi dan
mengurus aktivitas bisnisnya langsung dengan mitranya di dalam negeri dan mancanegara baik
pelayanan yang bersifat umum maupun pelayanan individu. Gambar 3.10 adalah kerangka e-
Logistik Nasional yang perlu dikembangkan, dimana pengguna layanan e-Logistik Nasional dapat
mengakses portal web dengan menggunakan web browser yang didukung oleh protokol HTTPS
dan modus-modus secure connection.
II - 143
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Secara umum sasaran yang ingin dicapai adalah tersedianya SDM logistik profesional baik pada
tingkat operasional dan manajerial yang sesuai dengan kebutuhan nasional. Untuk keperluan
tersebut, ke depan perlu dilakukan klasifikasi dan penjejangan profesi logistik, serta pendirian
lembaga pendidikan logistik baik melalui jalur akademik, jalur vokasi, maupun jalur profesi.
Terkait dengan pendidikan profesi logistik, asosiasi terkait dengan logistik (seperti: ALI, ALFI, dan
lain-lain) perlu bekerjasama dengan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dan lembaga
II - 144
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
pendidikan lainnya untuk membentuk badan akreditasi profesi logistik dan lembaga assesor yang
mendidik dan mengeluarkan sertifikat profesi.
Dalam rangka melindungi kepentingan Negara dan kepentingan berbagai pihak lainnya di sektor
logistik, menjamin kepastian hukum, dan menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi kegiatan
logistik nasional, kondisi yang ingin dicapai ke depan adalah tersedianya landasan hukum,
penegakan hukum (law enforcement), serta implementasi peraturan perundangan yang terkait
dengan logistik. Selain itu, penyelarasan dan sinkronisasi antara peraturan perundangan logistik
baik antar kementerian/lembaga maupun antar Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan hal
yang sangat penting untuk dilakukan, agar terjadi keselarasan peraturan-perundangan yang
dikeluarkan.
7. Aspek Kelembagaan
Kondisi yang diinginkan adalah terbentuknya Kelembagaan Logistik Nasional yang berfungsi
membantu Presiden dalam menyusun kebijakan, mengkoordinasikan, mensinkronkan
pelaksanaan pengembangan Sistem Logistik Nasional. Kelembagaan Nasional Logistik juga
bertugas untuk memastikan agar seluruh rencana aksi Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik
Nasional dapat dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga dan pemangku kepentingan lainnya
secara efektif, efisien, dan berkelanjutan. Disamping itu juga bertugas memantau dan
mengevaluasi pelaksanaan kebijakan di bidang logistik nasional, termasuk penanganan berbagai
permasalahan yang bersifat lintas sektor.
II - 145
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Berikut merupakan Big Win yang yang ingin dicapai dalam rencana aksi Pengembangan Sistem
Logistik Nasional yang harus ditangani secara seksama dan komprehensif oleh berbagai pihak
terkait.
II - 146
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 147
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II.4.5 Tatanan Kepelabuhan Nasional (TKN) dan Rencana Induk Pelabuhan Nasional (RIPN)
Didalam undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran dan peraturan pemerintah
nomor 61 tahun 2009 tentang kepelabuhanan. Jelaskan bahwa yang dimaksud dengan Tatanan
Kepelabuhanan nasional adalah suatu system kepelabuhanan yang memuat peran, fungsi, jenis,
hierarki pelabuhan, Rencana Induk Pelabuhan Nasional, dan lokasi pelabuhan serta keterpaduan
intra-dan antar moda serta keterpaduan dengan sektor lainnya. Sedangkan yang dimaksud
dengan Rencana Induk Pelabuhan Nasional adalah pengaturan ruang pelabuhan berupa
peruntukan rencana tata guna tanah dan perairan di Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah
Lingkungan Kepentingan pelabuhan. Berikut ini gambar skema kebijakan tatanan kepelabuhanan
sesuai dengan UU nomor 61 tahun 2009.
II - 148
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 149
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 150
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 151
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 152
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 153
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 154
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 155
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 156
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Konteks kekinian dari Provinsi tidak terlepas dari dua peristiwa besar yaitu konflik dan bencana
gempa bumi dan tsunami, kedua peristiwa ini mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat
Aceh. Berbagai indikator pembangunan menunjukkan kecenderungan memburuk akibat dari
kedua peristiwa tersebut. Aceh menjadi satusatunya Provinsi di Indonesia yang terus-menerus
mengalami tingkat pertumbuhan yang rendah atau negatif. Bencana alam melengkapi
penderitaan dengan banyaknya korban nyawa selain kerusakan infrastruktur fisik, ekonomi dan
sosial pada skala masif.
Aceh memasuki masa transisi ekonomi dimana kegiatan ekonomi sekunder mulai mengalami
peningkatan. Proses transisi ini memberikan dampak pada alih fungsi lahan dari lahan pertanian
menjadi lahan permukiman, perkantoran, pertokoan dan pusat-pusat komersial lainnya. Demikian
juga halnya dengan fungsi lahan hutan yang mengalami perubahan menjadi lahan perkebunan
dan penggunaan lainnya yang tidak sesuai dengan RTRW Aceh.
Berdasarkan angka rata-rata nasional, penduduk miskin Aceh masih tergolong tinggi. Demikian
juga halnya dengan ketimpangan antarwilayah masih tergolong tinggi dan daerah tertinggal di
II - 157
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Aceh masih banyak, termasuk di dalamnya daerah-daerah perbatasan dengan provinsi dan
negara tetangga. Usia harapan hidup masyarakat Aceh berada di bawah rata-rata nasional.
Sesuai dengan RTRW Nasional dan RTRW Aceh, beberapa kabupaten/kota telah ditetapkan
sebagai wilayah pengembangan strategis. Namun pengembangan wilayah ini masih belum
terlaksana seperti yang diharapkan. Sehingga masih terlihat ketimpangan pembangunan
antarwilayah kabupaten/kota. Demikian juga dengan posisi strategis Aceh yang berbatasan
langsung dengan beberapa negara tetangga dan didukung dengan UU Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh dan Aturan Pelaksanaannya dengan Peraturan Presiden Nomor 11
Tahun 2010 tentang Kerjasama Pemerintah Aceh dengan Lembaga/Badan di Luar Negeri pada
hakikatnya menjadi peluang untuk melakukan kerjasama dalam berbagai bidang yang
mendukung pembangunan Aceh. Namun peluang ini masih belum dapat dimanfaatkan dengan
optimal.
Pembiayaan pembangunan Aceh juga masih tertumpu pada pendanaan yang bersumber dari
Pemerintah sehingga kebutuhan pendanaan pembangunan dalam jumlah besar seperti
infrastruktur tidak dapat dilaksanakan dengan maksimal. Dalam konteks ini, peran dunia usaha
untuk mendukung pendanaan pembangunan masih belum memungkinkan karena belum adanya
regulasi yang mengatur peran dunia usaha dalam pendanaan pembangunan Aceh.
Ketersediaan infrastruktur yang berkualitas merupakan salah satu faktor penentu daya tarik
kawasan/wilayah, di samping faktor kualitas lingkungan hidup, image dan masyarakat (budaya).
Sementara itu, kinerja infrastruktur merupakan faktor kunci dalam menentukan daya saing
global, selain kinerja ekonomi makro, efisiensi pemerintah, dan efisiensi usaha. Dengan demikian,
tantangan pembangunan infrastruktur ke depan adalah bagaimana untuk terus meningkatkan
ketersediaan infrastruktur yang berkualitas dan kinerjanya semakin dapat diandalkan agar daya
tarik dan daya saing infrastruktur dalam konteks global dapat membaik.
Kondisi saat ini produksi migas Aceh semakin menurun dan diperkirakan akan berakhir pada
tahun 2014 sehingga mempengaruhi sumber pendanaan pembangunan dari sector migas.
Permasalahan ini akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Aceh. Seiring dengan
menurunnya cadangan migas Aceh, maka sektor pertanian menjadi andalan yang memberikan
kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Aceh dan penyerapan tenaga kerja. Namun sektor
pertanian ini belum didukung dengan peningkatan nilai tambah komoditi andalan masing-masing
wilayah melalui perbaikan mutu dan pengolahan komoditas untuk mendorong peningkatan nilai
tambah daerah. Demikian juga halnya terhadap sektor kelautan dan perikanan masih belum
mampu untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan karena sebagian besar nelayan Aceh
merupakan nelayan tradisional.
II - 158
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Kesepakatan kerja sama IMT-GT ditandatangani pada tahun 1993 dan kerjasama China-AFTA
(ASEAN Free Trade Area) akan dimulai oleh masyarakat ekonomi ASEAN dengan China pada
tahun 2011. Hal ini menuntut perlunya kerjasama yang semakin efektif di tingkat regional sebagai
basis penting dalam mendukung peningkatan ketahanan nasional. Selain itu juga menjadi
peluang pasar bagi produk unggulan daerah untuk mempercepat peningkatan pertumbuhan
pembangunan ekonomi regional.
Untuk mendukung ekspor/impor Indonesia wilayah barat, Sabang ditetapkan sebagai pelabuhan
bebas, namun sampai saat ini Pelabuhan Bebas Sabang belum berkembang secara optimal.
Pemanasan global dan tingkat pencemaran lingkungan masih merupakan permasalahan yang
harus dihadapi karena berdampak pada lingkungan dan kehidupan masyarakat. Belum adanya
upaya-upaya pencegahan dan adaptasi yang dilakukan secara optimal sehingga menyebabkan
semakin menurunnya kualitas lingkungan yang berdampak terhadap berbagai sendi kehidupan.
Kondisi Aceh yang baru lepas dari bencana tsunami dan konflik memberikan sebuah peluang
sekaligus tantangan yang sangat besar bagi pembangunan Aceh.
Kerusakan infrastruktur yang cukup banyak terkait dengan bencana alam yang sering melanda
wilayah Aceh. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi melalui komitmen pendanaan yang sangat
besar dari Pemerintah Indonesia dan Lembaga Donor Internasional diharapkan dapat
membangun kembali Aceh secara lebih baik. Kucuran dana dan kebutuhan rehabilitasi dan
rekonstruksi dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan pergerakan ekonomi yang lebih baik.
Namun kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dibatasi oleh pendanaan dan waktu yang terbatas
(2005-2009) sehingga proses pasca rehabilitasi dan rekonstruksi perlu dituntaskan dan
memfungsionalkan hasil-hasil yang telah dicapai.
Sumber pendanaan untuk pembangunan Aceh yang berasal dari Pendapatan Asli Aceh (PAA dan
PAK), Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus yang sesuai dengan UU PA, dan lain-lain
pendapatan yang sah selama ini belum terintegrasi secara strategis dan optimal.
Alih fungsi lahan yang dapat menyebabkan kecenderungan perubahan fungsi suatu lahan yang
tidak sesuai dengan peruntukannya semakin meluas di wilayah Aceh. Oleh karena itu, perlu
adanya revitalisasi kebijakan, sosialisasi, pengawasan dan penegakan hukum terhadap
pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
4. Pemekaran Wilayah
Sebagai buah dari kebijakan otonomi daerah, maka kecenderungan pemekaran wilayah memiliki
dampak yang cukup penting untuk diperhatikan. Ditinjau dari penyenggaraan prasarana jalan,
II - 159
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
adanya pemekaran wilayah memiliki beberapa implikasi. Implikasi pertama adalah terhadap
tanggung jawab dan kewajiban
pengelolaan. Dengan pemekaran wilayah, maka pasti ada beberapa ruas jalan yang akan
berpindah kewenangan pembinaannya, dari Pemerintah Provinsi asal ke Pemerintah Provinsi
pemekarannya, atau dari Pemerintah Kabupaten asal ke Pemerintah Kabupaten pemekarannya.
Persoalannya adalah apakahperpindahan kewenangan ini disertai dengan kemampuan dari
Pemerintah daerah pemekaran yang baru, mengingat sumber daya yang dimilikinya biasanya
masih sangat terbatas. Implikasi kedua adalah timbulnya kebutuhan akan prasarana jalan yang
baru pada wilayah pemekaran. Karena dengan adanya pemekaran, maka pada wilayah baru
tersebut akan memerlukan prasarana yang baru untuk menunjang pemerintahan yang baru,
apakah prasarana perkantoran, pemukiman, ataupun prasarana penunjang lainnya, termasuk
prasarana jalan. Persoalannya adalah siapa yang akan bertanggung jawab terhadap kebutuhan
pembangunan prasarana jalan yang baru ini. Apakah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Daerah pemekaran. Tentunya hal ini akan membutuhkan
koordinasi yang cukup kompleks, baik dari aspek finansial, aspek keterkaitan jaringan ataupun
aspek lainnya seperti lingkungan dan lain-lain.
Pemanasan global dan tingkat pencemaran lingkungan berdampak terhadap aktivitas dan
kehidupan manusia. Perubahan pola hujan, sirkulasi angin, kenaikan muka air laut, rusaknya
terumbu karang merupakan wujud daripada perubahan iklim. Demikian juga dengan tingkat
pencemaran lingkungan yang harus diwaspadai. Karena itu perlu dilakukan upaya-upaya
pencegahan dan adaptasi dari pemanasan global dan tingkat pencemaran lingkungan ini
sehingga kualitas lingkungan hidup tetap terpelihara.
Pembangunan yang memanfaatkan sumber daya alam secara tidak terkendali dapat menurunkan
kualitas lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari eksploitasi sumber daya alam seperti hutan secara
besar-besaran tanpa diimbangi dengan kegiatan rehabilitasi atau pemulihan fungsi hutan secara
proporsional dan kegiatan penambangan yang tidak terkendali sehingga berdampak pada
penurunan kualitas lingkungan yang dapat menimbulkan bencana. Oleh karena itu, pemanfaatan
sumber daya alam harus dilakukan secara terkendali dan meningkatkan nilai tambah produk
sumberdaya alam. Di samping itu, pemanfaatan sumber daya alam harus berorientasi kepada
pemanfaatan sumber daya alam terbaharukan dan jasa lingkungan seperti wisata lingkungan,
perdagangan karbon dan pemanfaatan sumber daya hutan non kayu.Aceh terletak pada lintasan
pertemuan lempeng Indo-Australia dan Euro Asia serta dipengaruhi oleh iklim tropis. Kenyataan
ini membuat bencana menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana menjadi hal yang sangat penting dalam rangka
menghindari kerugian yang lebih besar.
Kontribusi sektor pertanian terhadap ekonomi Aceh menempati urutan pertama dari segi
Pendapatan Domestik Bruto Regional (PDRB non migas). Sektor ini juga menyerap hampir
II - 160
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
setengah dari tenaga kerja. Hal ini menunjukkan pentingnya sektor pertanian dalam
pembangunan ekonomi Aceh. Namun sektor ini belum memberikan dampak yang signifikan
terhadap kesejahteraan petani dan nelayan. Hal ini diindikasikan dengan masih rendahnya Nilai
Tukar Petani (NTP) gabungan rata-rata yaitu sebesar 98,68 persen yang disebabkan oleh
rendahnya produktivitas komoditi, jumlah dan kualitas SDM di bidang pertanian masih terbatas,
kurang sarana dan prasarana pendukung lainnya serta masih lemahnya jaringan pasar.
Tingkat pertambahan nilai dari komoditas pertanian sebagai produksi utama Aceh masih rendah
karena belum tersedia sarana dan prasarana pendukung dan SDM yang memadai. Sebagian besar
ekspor yang dilakukan berupa bahan mentah sehingga pengolahan komoditas pertanian menjadi
penting untuk memberi nilai tambah, membuka peluang tenaga kerja dan memperluas serapan
pasar terhadap komoditas. Karena itu, perubahan paradigm pembangunan sektor pertanian
mutlak diperlukan dengan prioritas peningkatan nilai manfaat dari produk-produk pertanian
Aceh.
Secara geografis, Aceh memiliki peluang untuk berkembang karena berbatasan langsung dengan
Selat Malaka dan Lautan Hindia. Demikian juga dengan telah ditetapkannya Sabang sebagai PKSN
dalam Tata Ruang Nasional, UU Nomor 37 Tahun 2000 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
pengganti UU Nomor 2 Tahun 2000 Tentang Kawasan Sabang sebagai Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Sabang Sebagai Pelabuhan Bebas demikian juga dalam UU Nomor 11 Tahun
2006 Tentang Pemerintahan Aceh menetapkan Pelabuhan Sabang sebagai hub port yang
berfungsi sebagai Pelabuhan Ekspor/Impor Internasional dan Pelabuhan Transit yang berpeluang
untuk dikembangkan. Namun, pertumbuhan kawasan tersebut masih belum berkembang seperti
yang diharapkan karana sarana dan prasarana belum memadai. Di samping itu, pengembangan
wilayah kabupaten/kota yang belum seimbang dan terintegrasi antara wilayah barat, tengah dan
wilayah timur.
10. Kemiskinan
Persentase penduduk miskin di Aceh masih tergolong tinggi (21,80%) yang melebihi angka rata-
rata nasional (14,20%) bahkan pada tahun 2009 tingkat kemiskinan Aceh berada pada urutan ke
tujuh tertinggi di Indonesia. Penduduk miskin umumnya berada di perdesaan pada 17 kabupaten
dari 23 kabupaten/kota di Aceh. Hal ini mengindikasikan permasalahan kemiskinan di Aceh
merupakan hal mendasar yang harus ditangani secara menyeluruh dan berkesinambungan.
Demikian juga dengan indeks ketimpangan wilayah Aceh masih tergolong tinggi jika
dibandingkan dengan nilai indeks ketimpangan rata-rata Indonesia. Oleh karena itu, pemerataan
pembangunan antarwilayah di Aceh perlu ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan dan potensi
wilayah. Penyediaan infrastruktur untuk mendukung aksesibilitas kegiatan di bidang industri
untuk memicu perluasan lapangan kerja.
Demikian juga dengan indeks ketimpangan wilayah Aceh masih tergolong tinggi jika
dibandingkan dengan nilai indeks ketimpangan rata-rata Indonesia. Oleh karena itu, pemerataan
II - 161
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
pembangunan antarwilayah di Aceh perlu ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan dan potensi
wilayah. Pengembangan jaringan jalan di seluruh wilayah Aceh dan pembangunan highway untuk
peningkatan pelayanan publik perlu dipercepat.
Aceh sebagai wilayah garda terdepan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
memerlukan perhatian yang sangat khusus. Transportasi sebagai sarana mempertinggi integritas
bangsa, akan menciptakan dan meningkatkan standar kehidupan masyarakat secara menyeluruh,
mempertinggi ketahanan Nasional bangsa Indonesia (Hankamnas) dan dan menciptakan
pembangunan nasional.
Dalam menyusun pengembangan jaringan transportasi, baik untuk jangka menengah maupun
jangka panjang perlu mempertimbangkan beberapa faktor antara lain:
Sistem jaringan transportasi dimasa yang akan datang diharapkan mampu mendukung
pengembangan tata ruang nasional sehingga akan tercapai keterpaduan pengembangan sektor
transportasi dengan sektor ekonomi lainnya dan/dengan pembangunan daerah.
Dalam rangka pengembangan jaringan transportasiwilayahAceh perlu disusun pola yang memuat
indikasi tatanan jaringan transportasi di seluruh wilayah kabupaten yang akan diwujudkan dalam
jangka panjang, yang merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh. Salah satu
kriteria yang digunakan dalam menyusun rancangan pengembangan wilayah jangka menengah
dan panjang adalah kriteria pencapaian dan tingkat kemudahan jasa distribusi serta jasa
pelayanan Pusat Satuan Wilayah Pembangunan Utama (Pusat Jenjang Utama), Pusat Jenjang
Kesatu dan Pusat Jenjang Kedua. Distribusi barang memerlukan jaringan dengan hirarki
fungsional sesuai dengan simpul-simpul pelayanan yang berwujud kota. Oleh karena itu kota
merupakan factor yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan hirarki simpul pada
penyusunan jaringan transportasi di masa mendatang.
a) Zona Pusat, terdiri atas Kota Sabang, Kab. Aceh Besar, Kabupaten Pidie serta Kota Banda
Aceh;
b) Zona Utara - Timur, terdiri atas Kab. Pidie Jaya, Kab. Bireun, Kota Lhoksumawe, Kab. Aceh
Tengah, Kab. Bener Meriah, Kab. Aceh Timur, Kota Langsa serta Kab. Aceh Tamiang;
c) Zona Barat, terdiri atas Kab. Aceh Barat, Kab. Nagan Raya serta Kab. Aceh Jaya;dan
II - 162
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
d) Zona Tenggara-Selatan, terdiri atas Kab. Aceh Selatan, Kab. Aceh Barat Daya, Kab. Simerlue,
Kab. Gayo Lues, Kab. Aceh Tenggara, Kota Subullussalam serta Kab. Singkil.
Sebagian besar pergerakan tentunya dilakukan dengan menggunakan moda darat, beberapa
pasangan lintasan daratan ke pulau dilayani oleh angkutan penyeberangan. Khusus untuk
angkutan barang, sebagian kecil pergerakan dilakukan dengan menggunakan angkutan laut dan
udara. Oleh karena itu jaringan jalan harus memberikan aksesibilitas terhadap jaringan prasarana
laut, penyeberangan dan udara. Jaringan jalan nasional harus mendukung prasarana laut,
penyeberangan dan udara pada hirarki nasional. Selain itu jaringan jalan provinsi harus
menghubungkan beberapa simpul pelabuhan dan udara yang penting bagi provinsi. Hingga
tercapai keterpaduan antarmoda transportasi.Pola jaringan prasarana jalan regional yang
dikembangkan adalah:
Jaringan arteri primer yang berperan melayani dan menghubungkan kota antar PKN, PKN
dengan PKW dan antar kota-kota yang melayani kawasan skala besar;
II - 163
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Jaringan kolektor primer berperan menghubungkan PKW dengan PKL dan/atau kawasan-
kawasan skala kecil dan/atau pintu keluar kedua dan ketiga;
Jaringan lokal primer berperan menghubungkan PKL dengan PKL dan/atau kawasan-
kawasan skala kecil dan/atau pintu keluar kedua dan ketiga.
Karakteristik pergerakan tentunya tidak lepas pula dari keadaan sosial, politik dan ekonomi yang
ada di provinsi ini. Dan telah diketahui bahwa kondisi sosial dan ekonomi provinsi ini termasuk
pada provinsi yang berkembang dengan cukup pesat, sehingga dapat disimpulkan bahwa salah
satu tujuan peningkatan sistem jaringan jalan yang ada adalah untuk menjangkau daerah yang
belum baik tingkat aksesnya di setiap daerahnya sehingga tidak terjadi ketimpangan sosial dan
ekonomi antardaerah.
Pemekaran wilayah juga merupakan salah satu hal yang amat berpengaruh pada pengembangan
jaringan jalan yang ada karena status jalan akan berpengaruh pada kewajiban setiap unsur
pemerintahan, baik itu pemerintah pusat melalui Departemen Pekerjaan Umum, Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, untuk melakukan pemeliharaan, pengelolaan dan
peningkatan prasarana jalan tersebut sesuai dengan fungsinya. Dan diperlukan penataan kembali
terhadap status dan fungsi jalan.
II - 164
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Cunda Lhokseumawe
Batas Kota Banda Aceh - Ketapang Dua - Lamteumen Banda Aceh
Lambaro - Batas Kota Banda Aceh jalan Elak Banda Aceh
Tgk. Daud Beureueh
T. Nyak Arief
Soekarno Hatta
Elak II Banda Aceh
Keliling P. Weh Sabang
Am. Ibrahim Sigli
Iskandar Muda Sigli
Sinabang – Sibigo
Lasikin - Inor – Nasreheu
Nasreheu – Sibigo
(Semua Jalan Arteri Primer yang dijelaskan di atas mempunyai status sebagai jalan nasional,
kecuali ruas Ulee Kareng – Balang Bintang yang merupakan jalan provinsi)
II - 165
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
(Semua jalan lokal primer di atas adalah berstatus sebagai jalan provinsi. Selain jalan lokal primer
di atas, dalam RTRW Kabupaten/Kota masih mungkin ditetapkan jalan lokal primer sesuai dengan
kebutuhan dan kebijakan kabupaten/kota yang bersangkutan)
II - 166
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 167
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Arah pengembangan jembatan timbang pada wilayah Aceh berdasarkan zona transportasi
meliputi:
1. Zona Utara-Timur
Sementara itu arah pengembangan jaringan pelayanan Angkutan Umum Dalam Provinsi(AKDP),
yaitu pada rute/trayek Sabang - Banda Aceh, Saree - Banda Aceh, Saree – Sigli, Saree – Calang,
Saree – Meulaboh, Saree – Takengon, Banda Aceh – Sigli, Banda Aceh – Calang, Banda Aceh –
Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh –Pelabuhan Malahayati, Sigli –Pelabuhan Malahayati, Sigli –
Meureudu, Meurudu – Bireun, Bireun – Lhoksumawe, Bireun – Takengon, Lhoksumawe –
Lhoksukon, Takengon –Ujung Fatihah, Takengon - Pdk Baru, Takengon – Blangkeujeren, Pdk Baru
– Peureulak, Pdk Baru - Ujung Deh, Lhoksukon – Peureulak, Lhoksukon - Ujung Deh, Peureulak -
Ujung Deh, Peureulak – Langsa, Langsa - Kuala Simpang, Meulaboh –Blang Pidie, Meulaboh –
Calang, Ujung, Fatihah - Blang Pidie, Calang - Ulee Lheue, Tapak Tuan - Blang Pidie, Tapak Tuan –
Subullussalam, Blang Pidie – Meulaboh, Ujung Deh - Blang Pidie, Blangkeujeren – Kutacane,
Kutacane – Subullussalam dan Subullussalam –Pulo Sarok.
II - 168
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
1. Zona Pusat
Pelabuhan Balohan, Kota Sabang sebagai pelabuhan yang melayani penyeberangan luar
negeri dan sebagai pertahanan dan keamanan Negara sebagai pulau terluar.
Pelabuhan Ulee Lheue, Kota Banda Aceh sebagai pelabuhan yang melayani penyeberangan
luar negeri dan antarkabupaten.
Pelabuhan Lamteng, Kab. Aceh Besar sebagai pelabuhan yang melayani penyeberangan
antarkabupaten.
2. Zona Utara-Timur
Pelabuhan Kuala Langsa, Kota Langsa sebagai pelabuhan yang melayani penyeberangan luar
negeri.
3. Zona Barat
Pelabuhan Kuala Bubon, Kab. Aceh Barat sebagai pelabuhan yang melayani penyeberangan
antarkabupaten.
4. Zona Selatan-Tenggara
II - 169
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Untuk itu dikembangkan 10 (sepuluh) koridor jaringan prasarana kereta api termasuk yang
sedang dalam proses pembangunan yaitu rute Uleeulee - Banda Aceh - Besitang, Besitang -
II - 170
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Rantau Prapat, Rantau Prapat - Duri - Dumai, Jambi - Betung, Betung - Simpang, Duri - Pakanbaru -
Muaro, Teluk Kuantan -Muarabungo - Jambi, Simpang - Tanjung Api-api, Kertapati - Simpang -
Km3 -Tarahan dan Km 3 - Bakauheni.
Jaringan transportasi kereta api di pulau Sumatera dikembangkan secara bertahap untuk dapat
mewujudkan keterpaduan sistem transportasi kereta api lintas sumatera (Trans Sumatera) yang
meliputi jaringan kereta api di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan
Bandar Lampung.
Untuk itu diperlukan pembangunan jalur baru pada wilayah - wilayah potensial (Lintas Timur
Palembang - kayuagung - Tarahan - Bandar lampung), serta jalur baru yang menghubungkan
jaringan KA dengan pelabuhan laut yang potensial (Dumai, Tanjung antarmoda transportasi.
Arahpengembangan pembangunan jaringan jalan rel kereta api pada wilayah Aceh, yaitu:
1. Jaringan jalur kereta api di pesisir timur, yang menghubungkan Banda Aceh ke Besitang di
Provinsi Sumatera Utara;
2. Jaringan jalur kereta api di pesisir barat, yang menghubungkan Banda Aceh ke Provinsi
Sumatera Utara.
Arah pengembangan pembangunan stasiun kereta api pada wilayah Aceh, yaitu:
1. Banda Aceh
2. Lhokseumawe
3. Sigli
4. Langsa
5. Bireuen
1. Banda Aceh - Sigli - Bireun - Lhoksumawe - Langsa - Besitang Provinsi Sumatera Utara (Lintas
Timur);
2. Banda Aceh – Meulaboh–Tapak Tuan - Subullussalam - Provinsi Sumatera Utara (Lintas Barat).
II - 171
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Adanya pelabuhan laut yang berfungsi sebagai pelabuhan hub internasional sangat penting
keberadaannya mengingat Kota Sabang merupakan pulau yang menjadi batas wilayah NKRI
dengan negara lain. Keberadaan pelabuhan hub internasional ini penting karena diharapkan di
masa mendatang Kota Sabang sebagai pintu masuk Indonesia wilayah barat.
Adapun berbagai arah pengembangan jaringan prasarana transportasi laut wilayah Aceh
berdasarkan zona pengembangan, seperti:
1. Zona Pusat
Pelabuhan Sabang, Kota Sabang sebagai pelabuhan utama hub internasional sebagai
prasarana pendukung terkait dengan fungsi PKSN Sabang. Pelabuhan Sabang juga sebagai
pintu masuk kegiatan ekspor/impor dan angkutan dalam negeri dari/ke zona pusat serta
melayani kegiatan alih muat muatan General Cargo & Peti Kemas dalam jumlah besar, dan
sebagai tempat asal tujuan barang yang terintegerasi dengan Pel. Malahayati (KAPET Bandar
Aceh Darusallam) serta berfungsi sebagai pertahanan dan keamanan Nasional.
Pelabuhan Malahayati, Kab. Aceh Besar sebagai pelabuhan yang mendukung PKNp Banda
Aceh, dengan fungsi sebagai pelabuhan utama, yang melayani kegiatan ekspor/impor dan
angkutan dalam negeri dari/ke zona pusat serta melayani kegiatan alih muat muatan Curah
Kering selain General Cargo & Peti Kemas dalam jumlah besar, dan sebagai tempat asal tujuan
barang yang terintegerasi dengan Pel. Sabang (KAPET Bandar Aceh Darussalam).
2. Zona Utara-Timur
Pelabuhan Krueng Geukeuh, Kab. Aceh Utara sebagai pelabuhan yang mendukung PKN
Lhokseumawe. Pelabuhan Krueng Geukueh ditetapkan dengan fungsi sebagai pelabuhan
utama yang melayani kegiatan ekspor/impor dan angkutan dalam negeri dari/ke zona barat
serta melayani kegiatan alih muat muatan Peti Kemas, General Cargo, Curah Kering & Curah
Cair (CPO) dalam jumlah besar, dan sebagai tempat asal tujuan barang dalam rangka
mendukung program MP3EI.
Pelabuhan Kuala Langsa, Kota Langsa sebagai pelabuhan yang mendukung PKW Langsa,
dengan fungsi sebagai pelabuhan pengumpul, yang melayani kegiatan angkutan laut dalam
negeri/antarprovinsi, alih muat angkutan General Cargo & Curah Cair dalam jumlah
menengah, dan sebagai tempat asal tujuan barang.
Pelabuhan Idi, Kab. Aceh Timur sebagai pelabuhan yang mendukung PKL I di Rayeuk, dengan
fungsi sebagai pelabuhan pengumpan,yang melayani kegiatan angkutan laut dalam provinsi,
alih muat angkutan General Cargo dalam jumlah terbatas dan pengumpan bagi pelabuhan
utama dan pelabuhan pengumpul.
II - 172
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
3. Zona Barat
Pelabuhan Meulaboh, Kab. Aceh Barat sebagai pelabuhan yang mendukung PKW Meulaboh,
dengan fungsi sebagai pelabuhan utama, yang melayani kegiatan ekspor/impor dan angkutan
dalam negeri dari/ke zona barat serta melayani kegiatan alih muat muatan General Cargo,
Curah Kering & Curah Cair (CPO) dalam jumlah besar, dan sebagai tempat asal tujuan barang.
Pelabuhan Calang, Kota Aceh Jaya sebagai pelabuhan yang mendukung PKL Calang, dengan
fungsi sebagai pelabuhan pengumpul, yang melayani kegiatan angkutan laut dalam
negeri/antarprovinsi, alih muat angkutan dalam jumlah menengah, dan sebagai tempat asal
tujuan barang.
4. Zona Selatan-Tenggara
Pelabuhan Singkil, Kab. Singkil sebagai pelabuhan yangmendukung PKL Singkil, dan juga
PKWp Subulussalam, dengan fungsi sebagai pelabuhan utama,yang melayani kegiatan
ekspor/impor dan angkutan dalam negeri dari/ke zona selatan tenggara serta melayani
kegiatan alih muat muatan General Cargo & Curah Cair (CPO) dalam jumlah besar, dan
sebagai tempat asal tujuan barang. Pelabuhan P. Banyak, P. Serok & Gosong Telaga sebagai
Pelabuhan Pengumpan Lokal.
Pelabuhan Tapak Tuan, Kab. Aceh Selatan sebagai pelabuhan yang mendukung PKL
Tapaktuan, dengan fungsi sebagai pelabuhan pengumpul,yang melayani kegiatan angkutan
laut dalam negeri/antarprovinsi, alih muat angkutan General Cargo & Curah Kering dalam
jumlah menengah, dan sebagai tempat asal tujuan barang. Pelabuhan Sibade dijadikan
sebagai Pelabuhan Pengumpan Lokal.
Pelabuhan Susoh, Kab. Aceh Barat Daya sebagai pelabuhan yang mendukung PKWp
Blangpidie, dengan fungsi sebagai pelabuhan pengumpan regional,yang melayani kegiatan
angkutan laut dalam provinsi, alih muat angkutan General Cargo dalam jumlah terbatas dan
pengumpan bagi pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul.
Pelabuhan Sinabang, Kab. Simeulue Daya sebagai pelabuhan yang mendukung PKL Sinabang,
dengan fungsi sebagai pelabuhan pengumpan regional, yang melayani kegiatan angkutan
laut dalam provinsi, alih muat angkutan General Cargo dalam jumlah terbatas dan
pengumpan bagi pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul serta membuka wilayah yang
terisolasi.
1. Pengembangan dan pemantapan jaringan pelayanan angkutan laut internasional, yaitu pada
rute:
Sabang - luar negeri
Malahayati - luar negeri
II - 173
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Liberalisasi moda udara merupakan kebijakan yang berhasil dan menguntungkan pengguna
dan/atau masyarakat dengan penurunan tarif dan peningkatan aksesibilitas di seluruh wilayah
Indonesia.
Adapun berbagai arah pengembangan prasarana transportasi udara wilayah Aceh berdasarkan
zona pengembangan, seperti:
1. Zona Pusat
Bandara Sultan Iskandar Muda sebagai bandara yang mendukung PKNp Banda Aceh, yang
akan melayani penerbangan internasional, dan merupakan bandara pengumpul skala tersier.
Bandara Sultan Iskandar Muda ini terletak di Kabupaten Aceh Besar (Kecamatan Blang
II - 174
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Bintang). Pengembangan bandara ini sejalan dengan rencana mengembangkan core region
“Banda Aceh-Sabang-Aceh Besar” sebagai pintu gerbang Indonesia di bagian barat. Secara
khusus bandara Sultan Iskandar Muda ini merupakan bandara embarkasi haji Indonesia yang
terletak paling barat dan paling dekat ke arah Jeddah dan Madinah di Kerajaan Arab Saudi.
Selain itu Bandara Sultan Iskandar Muda ini juga berperan sebagai Pangkalan Udara. Rencana
untuk Bandara Sultan Iskandar Muda adalah pemantapan dan peningkatan dari pelayanan
yang ada dewasa ini, sebagai pendukung PKNp Banda Aceh.
Bandara Maimun Saleh, Kota Sabang, sebagai bandara yang mendukung PKW dan PKSN
Sabang, yang akan melayani penerbangan internasional regional, dan merupakan bandara
pengumpan. Bandara Maimun Saleh juga berperan sebagai Pangkalan Udara, yang terutama
terkait dengan penetapannya sebagai PKSN. Rencana untuk Bandara Maimun Saleh adalah
pemantapan dan peningkatan pelayanan dari pelayanan yang ada dewasa ini, sehubungan
dengan peranya sebagai pendukung PKW dan PKSN Sabang.
2. Zona Utara-Timur
Bandara Malikussaleh sebagai bandara yang mendukung PKN Lhokseumawe, yang akan
melayani penerbangan internasional regional, dan merupakan bandara pengumpan. Bandara
Malikussaleh ini terletak di Kabupaten Aceh Utara (Kecamatan Muara Batu). Rencana untuk
Bandara Malikussaleh adalah pemantapan dan peningkatan dari pelayanan sehubungan
dengan perannya sebagai pendukung PKN Lhokseumawe.
Bandara Rambelle, sebagai bandara yang mendukung PKW Takengon, yang akan melayani
penerbangan domestik, dan merupakan bandara pengumpan. Bandara Rembele ini terletak
di Kabupaten Bener Meriah, sehingga mendukung juga PKL Simpang Tiga Redelong. Rencana
untuk Bandara Rembele adalah pemantapan dan peningkatan pelayanan sehubungan dengan
perannya sebagai pendukung PKW Takengon.
Bandara Point A, sebagai bandara yang merupakan bandara khusus untuk perusahaan
penambangan migas, yang berdekatan dengan PKL Lhok Sukon, yang akan melayani
kepentingan perusahaan yang bersangkutan, dengan pelayanan domestik dan merupakan
bandara pengumpan.
3. Zona Barat
Bandara Cut Nyak Dien, sebagai bandara yang mendukung PKW Meulaboh, yang akan
melayani penerbangan domestik, dan merupakan bandara pengumpan. Bandara Cut Nyak
Dien ini terletak di Kabupaten Nagan Raya, sehingga mendukung juga PKL Jeuram-Suka
Makmue. Rencana untuk Bandara Cut Nyak Dien adalah peningkatan dari pelayanan
sehubungan dengan perannya sebagai pendukung PKW Meulaboh.
4. Zona Selatan-Tenggara
Bandara Teuku Cut Ali, Kab. Aceh Selatan, sebagai bandara yang mendukung PKL Tapaktuan,
yang akan melayani penerbangan domestik, dan merupakan bandara pengumpan. Rencana
untuk Bandara Teuku Cut Ali adalah pemantapan dari pelayanan yang ada.
II - 175
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Bandara Kuala Batu, Kab. Abdya, sebagai bandara yang mendukung PKWp Blangpidie, yang
akan melayani penerbangan domestik, dan merupakan bandara pengumpan. Rencana untuk
Bandara Kuala Batu ini adalah peningkatan dari pelayanan yang ada dewasa ini, sehubungan
dengan perannya sebagai pendukung PKWp Blangpidie.
Bandara Lasikin, Kab. Simeulue, sebagai bandara yang mendukung PKL Sinabang, yang akan
melayani penerbangan domestik, dan merupakan bandara pengumpan. Bandara Lasikin ini
mempunyai arti penting dalam konteks keterkaitan antarbagian wilayah di Aceh (bersama-
sama dengan pelabuhan penyeberangan) sehubungan dengan terpisahnya daratan Pulau
Simeulue dengan daratan utama (mainland) Pulau Sumatera. Rencana untuk Bandara Lasikin
adalah pemantapan dari pelayanan dari pulau-pulau terluar.
Bandara Gayo Lues, Kab. Gayo Lues, sebagai bandara yang mendukung PKL Blangkejeren,
yang akan melayani penerbangan domestik, dan merupakan bandara pengumpan.
Bandara Alas Leuser, Kab. Aceh Tenggara, sebagai bandara yang mendukung PKL Kutacane,
yang akan melayani penerbangan domestik, dan merupakan bandara pengumpan. Rencana
untuk Bandara Alas Leuser adalah pemantapan dari pelayanan yang ada.
Bandara Hamzah Fansyuri, Kab. Singkil, sebagai bandara yang mendukung PKL Singkil, yang
akan melayani penerbangan domestik, dan merupakan bandara pengumpan. Bandara
Hamzah Fansyuri ini juga akan mendukung pelayanan PKWp Subulussalam. Rencana untuk
Bandara Hamzah Fansyuri adalah peningkatan dari pelayanan sehubungan dengan perannya
sebagai pendukung PKL Singkil dan terutama PKWp Subulussalam.
II - 176
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Rambele - Medan
3. Pengembangan dan pemantapan jaringan pelayanan angkutan udara antar kabupaten dan
membuka daerah-daerah terisolasi, yaitu pada rute:
Sabang - St. Iskandar Muda
St. Iskandar Muda – Malikussaleh
St. Iskandar Muda - Cut Nyak Dien
St. Iskandar Muda - Gayo Lues
St. Iskandar Muda - Kuala Batee
St. Iskandar Muda - Alas Lauser
Rambele - Alas Leuser
Cut Nyak Dien – Lasikin
Kuala Batee - T. Cut Ali
T. Cut Ali - H. Fansyuri
Transportasi multimoda adalah transportasi barang dengan menggunakan paling sedikit dua
moda transportasi yang berbeda, atas dasar satu kontrak yang menggunakan dokumen
transportasi multimoda dari suatu tempat barang diterima oleh operator transportasi multimoda
ke suatu tempat yang ditentukan untuk barang tersebut. Transportasi multimoda lebih
menekankan aspek pelayanan pengangkutan barang dan penumpang.Namun dari sisi
penggunaan alat angkut untuk kelancaran arus barang dan mobilitas orang, transportasi
antarmoda dan multimoda membutuhkan keterpaduan lebih dari dua moda, baik dalam wujud
jaringan pelayanan maupun jaringan prasarana.
1. Zona Pusat
II - 177
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
2. Zona Utara-Timur
3. Zona Barat
4. Zona Selatan-Tenggara
II - 178
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
1. Zona Pusat
2. Zona Utara-Timur
Pengembangan trayek dari dan ke Terminal Pondok Baru, Terminal Meuruedu, Terminal
Lhoksukon, Terminal Peureulak dan Terminal Kuala Simpang
Pengembangan Lintas Kereta Api Banda Bireun - Lhokseumawe - Langsa- Sumut
Pengembangan rute angkutan udara Domestik dari dan ke Bandara Rambele dan Point A
3. Zona Barat
Pengembangan trayek dari dan ke Terminal Ujung Fatihah, dan Terminal Calang
Pengembangan Lintasan Penyeberangan Dalam Negeri Dalam Provinsi dari dan ke
Penyeberangan Kuala Bubon
Pengembangan rute angkutan udara Domestik dari dan ke Bandara Cut Nyak Dien
4. Zona Selatan-Tenggara
Pengembangan trayek dari dan ke Terminal Blang Pidie, Terminal Sinabang, Terminal
Blangkeukejeren, Terminal Subulussalam dan Terminal Pulo Sarok
Pengembangan Lintasan Penyeberangan Dalam Negeri Dalam Provinsi dari dan ke Sinabang,
Singkil dan Pulau Banyak
Pengembangan rute angkutan udara Domestik dari dan ke Bandara T. Cut Ali, Kuala Batee,
Lasikin, Gayo Lues, Alas Leuser, dan Hazah Fansyuri
II - 179
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 180
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
II - 1
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
III.1 Umum
Bab ini menjelaskan seluruh pendekatan yang digunakan, berikut rincian usulan metodologi
pekerjaan dalam menangani pekerjaan ini. Secara umum pendekatan dan metodologi ini
dimaksudkan sebagai acuan dalam menyelesaikan seluruh rangkaian kegiatan pekerjaan. Dengan
adanya acuan ini diharapkan seluruh aspek pekerjaan dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya
secara lebih efisien dan efektif.
Pada dasarnya terdapat 2 (dua) dua pola pendekatan yang digunakan konsultan untuk
pelaksanaan pekerjaan ini yaitu :
Tahap-3 Identifikasi Kondisi Fisik dan Sosial Ekonomi Provinsi Aceh Saat Ini
Tahap-4 Analisa Pemetaan Permasalahan Sistem Transportasi Laut Provinsi Aceh Saat Ini
Dari tiap tahapan di atas, akan dibagi lagi dalam beberapa kegiatan dan sub-sub kegiatan yang
diperlukan guna menyelesaikan dan mencapai tujuan dan sasaran pekerjaan sebagai berikut :
III - 1
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Tahap - 3 : Identifikasi Kondisi Fisik dan Sosial Ekonomi Wilayah Provinsi Aceh Saat Ini,
meliputi:
Tahap - 4 : Analisa Pemetaan Permasalahan Sistem Transportasi Laut Provinsi Aceh Saat Ini,
meliputi:
Kegiatan D1 – Identifikasi Kondisi dan Permasalahan Umum Sistem Transportasi Provinsi Aceh
Saat Ini
Kegiatan D2 – Analisa Pemetaan Permasalahan Sistem Transportasi Laut Provinsi Aceh Saat Ini
Kegiatan E1 – Identifikasi Kebijakan dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Aceh
Kegiatan E3 – Analisa Prediksi Perkembangan Sistem Kegiatan dan Sistem Transportasi di Masa
Mendatang.
III - 2
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
III - 3
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Dalam kegiatan ini akan dilakukan pengumpulan seluruh data, informasi, literatur dan studi
terkait, tentang perencanaan transportasi baik dalam lingkup wilayah provinsi Aceh (NAD),
maupun dalam lingkup wilayah yang lebih luas (Regional dan Nasional), antara lain meliputi :
Sebagai langkah awal dalam pelaksanaan pekerjaan ini, dilakukan studi literatur, mencakup:
referensi dan buku-buku pedoman, laporan hasll studi terdahulu terkait, serta pengumpulan data
sekunder di tingkat Pusat, antara lain meiputi:
A. Referensi:
III - 4
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
14. Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
(RTRWN)
15. Rencana Induk Pelabuhan Nasional Tahun 2030,
16. Rencana Tata Ruang Pulau Sumatera,
17. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Aceh (NAD),
18. Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Program Jangka Menengah (RPJM) Provinsi Aceh
(NAD), termasuk sektor transportasi,
19. Referensi lainnya yang akan diidentifikasi oleh Konsultan atau merupakan masukan dari Pihak
Pemberi Tugas.
B. Data Sekunder:
20. Data Asal Tujuan Nasional Tahun 1996, 2001, dan 2006, Kementerian Perhubungan,
21. Buku Statistik Indonesia, periode 5 tahun terakhir,
22. Buku Statistik Prov. Aceh, periode 5 tahun terakhir,
23. Buku Statistik Perhubungan Prov. Aceh, periode 5 tahun terakhir,
24. Data Prasarana dan Sarana Transportasi Provinsi Aceh, tahun terakhir, mencakup:
transportasi jalan raya (peta jaringan jalan, data panjang, lebar, dan kondisi jalan berdasarkan
status dan fungsi jalan, data lalu-lintas harian, jumlah, lokasi dan tipe terminal angkutan
umum, trayek dan jumlah armada angkutan umum), transportasi ASDP (jumlah, lokasi, dan
tipe dermaga, jumlah dan jenis armada kapal, rute penyeberangan, jadwal, tarif angkutan,
waktu tempuh, volume lalu-lintas penumpang dan barang, dll.) transportasi laut (jumlah,
lokasi, dan tipe pelabuhan laut, jumlah dan jenis armada kapal, rute pelayaran, jadwal, tarif
angkutan, waktu tempuh, volume lalu-lintas penumpang dan barang, peta bathymetri, dll.),
serta transportasi udara (jumlah, lokasi, dan tipe bandar udara, jumlah dan jenis armada
pesawat, rute penerbangan, jadwal, tarif angkutan, waktu tempuh, volume lalu-lintas
penumpang dan barang, dll.).
25. Data Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Aceh, periode 5 tahun terakhir (termasuk
volume Eskport-Import),
26. Studi-studi perencanaan pelabuhan dan pengembangan transportasi laut, yang ada di
provinsi Aceh.
27. “Study on the Development of Domestic Sea Transportation and Maritime Industry in the
Republic of Indonesia (STRAMINDO)”.
Seluruh referensi dan data di atas akan dikumpulkan melalui kunjungan ke instansi sebagai
berikut:
III - 5
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Dalam kegiatan ini konsultan akan melakukan konfirmasi kepada pihak Pemberi Tugas tentang
isu-isu pokok pekerjaan ini, menyangkut : materi, tujuan, sasaran, lingkup kegiatan, serta filosofi
dan kerangka kerja (framework) dari studi ini.
Berdasarkan hasil studi literatus, dan konfirmasi isu pokok studi, selanjutnya dalam kegiatan ini
akan disusun metode dan rencana kerja secara lebih rinci yang akan dibahas bersama Pihak
Pemberi Tugas, untuk disepakati bersama, dan untuk selanjutnya metode dan rencana kerja
tersebut akan digunakan sebagai acuan (gudelines) dalam pelaksanaan seluruh rangkaian
kegiatan dalam pekerjaan ini.
Dalam kegiatan ini, metode dan rencana kerja yang telah disepakati sebelumnya, akan dijabarkan
lebih lanjut, sehingga dapat diidentifikasi kebutuhan secara lengkap tentang seluruh data dan
informasi yang diperlukan dalam pekerjaan ini, mencakup nama, jenis, skala, lingkup, dan periode
data. Disamping itu dalam kegiatan ini juga dirumuskan tentang metode pengumpulan data dan
sumber-sumber data, teknik survei, jadwal terinci pelaksanaan survei, serta penyiapan formulir-
formulir survei.
Dengan mengacu pada hasil kegiatan sebelumnya, dalam kegiatan ini akan dilakukan
pengumpulan data sekunder di tiap kabupaten/kota yang ada di provinsi Aceh (NAD), meliputi :
1. Data Kebijakan dan Rencana Pengembangan Wilayah Tiap Kabupaten/Kota, antara lain :
Rencana Tata Ruang Wilayah, RENSTRA, RPJM, dan rencana-rencana tentang pengembangan
prasarana dan sarana transportasi, serta program dan proyek sektor perhubungan laut yang
definitif.
2. Data Kondisi Sosial Ekonomi Wilayah Tiap Kabupaten/Kota, antara lain meliputi : data
kependudukan, tenaga kerja, lapangan kerja, tingkat pendapatan, kegiatan ekonomi utama,
PDRB, data perindustrian dan perdagangan, dll.
III - 6
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
3. Data Kondisi Fisik dan Lingkungan Kota Tiap Kabupaten/Kota, antara lain mencakup data dan
peta : topografi, kondisi tanah, penggunaan lahan (land use) dan struktur ruang wilayah,
fasilitas, utilitas, kawasan terbangun, dan kawasan konservasi.
4. Data Kondisi Sistem Transportasi Tiap Kabupaten/Kota, terdiri dari :
a. Data Permintaan Perjalanan (Asal Tujuan) Penumpang dan Barang, menurut jenis moda
transportasi yang ada.
b. Data Sistem Prasarana dan Sarana Transportasi Jalan Raya, meliputi :
Data Prasarana Jaringan Jalan, antara lain mencakup : peta jaringan jalan, klasifikasi
fungsi jalan, panjang, lebar, jenis perkerasan, dan kondisi jalan
Data Prasarana dan Sarana Angkutan Umum Penumpang, antara lain meliputi : jumlah
armada angkutan umum yang ada menurut jenisnya, rute/trayek angkutan umum,
frekuensi keberangkatan, lokasi, luas dan tipe terminal, dll.
Data Prasarana dan Sarana Angkutan Barang, antara lain meliputi : jumlah dan jenis
angkutan barang yang ada, terminal "cargo", jumlah dan jenis barang yang diangkut,
dll.
Data Lalu-lintas, mencakup data volume LHR menurut jenis kendaraan, dan variasi
lalu-lintas harian.
c. Data Sistem Prasarana dan Sarana Angkutan Sungai dan Penyeberangan (ASDP), meliputi
:
Data Prasarana dan Sarana ASDP, antara lain meliputi : jumlah armada ASDP yang ada
menurut jenisnya, rute/trayek ASDP, frekuensi keberangkatan, tarif angkut, lokasi,
luas dan tipe pelabuhan/dermaga ASDP, dll.
Data Arus Lalu-lintas Penumpang dan Barang ASDP, mencakup : rata-rata jumlah
penumpang dan barang yang diangkut ASDP tiap hari, rata-rata "load factor, dll.
d. Data Sistem Prasarana dan Sarana Angkutan Laut, meliputi :
Data Prasarana dan Sarana Angkutan Laut, antara lain meliputi : jumlah armada
angkutan laut yang ada menurut jenisnya, rute pelayaran, frekuensi keberangkatan,
tarif angkut, lokasi, luas dan tipe Pelabuhan Laut, peta bathymetri, dll.
Data Arus Lalu-lintas Penumpang dan Barang Angkutan Laut, mencakup : rata-rata
jumlah penumpang dan bongkar-muat barang tiap hari, rata-rata "load factor, dll.
e. Data Sistem Prasarana dan Sarana Angkutan Udara, meliputi :
Data Prasarana dan Sarana Angkutan Udara, antara lain meliputi : jumlah armada
angkutan udara yang ada menurut jenisnya, rute penerbangan, frekuensi
keberangkatan, tarif angkut, lokasi, luas dan tipe Bandar Udara, dll.
Data Arus Lalu-lintas Penumpang dan Barang Angkutan Udara, mencakup : rata-rata
jumlah penumpang dan barang yang diangkut tiap hari, rata-rata "load factor, dll.
5. Studi-studi perencanaan pelabuhan dan pengembangan transportasi laut, yang ada di
Kabupaten/Kota.
Seluruh data di atas akan dikumpulkan melalui kunjungan kepada instansi-instansi terkait di tiap
Kabupaten/Kota, antara lain meliputi :
BAPPEDA Kabupaten/Kota
Dinas Perhubungan Kabupaten/Kota
Dinas PU Kabupaten/Kota
III - 7
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Survei ini dilakukan melalui kunjungan lapangan ke 20 pelabuhan laut yang ada di provinsi Aceh
(NAD). Perlu dicatat bahwa pelabuhan laut di sini tidak termasuk pelabuhan pelabuhan
perikanan, karena pelabuhan Ferry (Ro-ro) termasuk lingkup transportasi darat. Adapun survei
yang dilakukan di sini terdiri dari:
Survei ini dilakukan dengan cara surveyor turut serta masuk dalam kapal mengikuti pelayaran
hingga pelabuhan tujuan (on-board survey). Tujuan survei ini adalah untuk mengetahui asal,
tujuan, penumpang dan barang, jumlah, berat, dan jenis muatan barang, jumlah penumpang,
serta aspirasi penumpang, pihak pengelola barang, dan nakhoda dalam rangka peningkatan
kinerja pelayanan angkutan laut. Survei ini terdiri dari:
a. Survei Asal Tujuan Penumpang, dilakukan untuk mengetahui asal dan tujuan perjalanan
penumpang, frekuensi perjalanan, jenis/ moda angkutan yang digunakan sebelum (dari lokasi
asal perjalanan) dan sesudah menggunakan kapal laut yang disurvei (untuk menuju lokasi
tujuan perjalanan), maksud perjalanan, biaya perjalanan, waktu tempuh perjalanan, persepsi
penumpang terhadap pelayanan angkutan laut, berikut aspirasi/ usulan dalam rangka
meningkatkan kinerja pelayanan angkutan laut. (lihat Form Survei kode FSK-1, terlampir).
Survei ini dilakukan terhadap sejumlah sampel penumpang yang diambil secara acak
(random) pada setiap kelas yang ada pada kapal yang disurvei. Jumlah sampel disesuaikan
dengan jumlah penumpang yang ada di tiap kelas, dengan prosentase sampel minimal 20%.
b. Survei Perhitungan Jumlah Penumpang, dilakukan untuk mengetahui jumlah penumpang
yang ada di tiap kelas (tidak termasuk awak kapal), serta untuk memperkirakan jumlah
III - 8
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
sampel penumpang yang perlu diwawancarai di tiap kelas, disamping nantinya digunakan
untuk perhitungan faktor ekspansi dalam analisa pengolahan data (lihat Form Survei kode
FSK-2, terlampir).
c. Survei Asal Tujuan Barang, dilakukan terhadap pihak pengelola barang untuk mengetahui asal
dan tujuan perjalanan barang, pelabuhan asal dan tujuan, jenis komiditi, jenis kemasan, dan
berat komoditi, persepsi pengelola barang terhadap layanan angkutan laut, berikut aspirasi/
usulan dalam rangka meningkatkan kinerja pelayanan angkutan laut. (lihat Form Survei kode
FSK-3, terlampir).
d. Survei Wawancara Nakhoda, dilakukan untuk mengetahui berbagai permasalahan dalam
pengelolaan kapal, berikut aspirasi/ usulan dalam rangka meningkatkan kinerja pelayanan
angkutan laut. (lihat Form Survei kode FSK-4, terlampir).
Dalah hal kapal yang disurvei adalah kapal angkutan barang, maka tidak ada survei asal tujuan
penumpang, demikian juga bila kapal yang disurvei adalal kapal penumpang (kapal cepat), maka
tidak ada survei asal tujuan barang.
Survei ini ditujukan untuk mengetahui kondisi lapangan dari calon lokasi pelabuhan baru
berdasarkan studi perencanaan terdahulu atau masukan dari pihak Pemberi Tugas. Survei
dilakukan melalui metode pengamatan visual serta pengambilan foto terhadap kondisi jalan
akses pelabuhan, ketersediaan jaringan utilitas (listrik dan telepon), penggunaan lahan sekitar,
gelombang, dll.
III.3.3 Tahap-3 : Identifikasi Kondisi Fisik dan Sosial Ekonomi Provinsi Aceh Saat Ini
Berdasarkan hasil pengumpulan data sebelumya, pada tahap ini akan dianalisis tentang
kondisi fisik dan sosial ekonomi provinsi Aceh saat ini, yang dibagi dalam 3 (tiga) kegiatan
sebagai berikut :
Dalam kegiatan ini akan diidentifikasi tentang kondisi fisik dan lingkungan Provinsi Aceh saat ini,
meliputi :
a. Topografi,
III - 9
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Konsultan akan mengidentifikasi kendala lingkungan untuk pengembangan lokasi pelabuhan laut
di provinsi Aceh (NAD), mencakup :
Konsultan akan mengidentifikasi kondisi kelautan dengan melihat peta bathymetri guna mengkaji
kesesuaian lokasi pelabuhan dan alur pelayaran.
Dalam kegiatan ini akan diidentifikasi tentang kondisi penggunaan lahan dan struktur ruang
provinsi Aceh (NAD), serta kedudukannya dalam struktur ruang wilayah regional. Adapun aspek
yang dikaji di sini antara lain meliputi:
a. Sistem pusat-pusat kegiatan di provinsi Aceh (NAD) dan wilayah regional, berikut skala
pelayanannya.
b. Jenis-jenis dan luas pemanfaatan lahan ,
c. Besaran kawasan terbangun dan belum terbangun,
Mencakup tinjauan terhadap potensi sosial ekonomi wilayah provinsi Aceh (NAD), dan wilayah
regional (provinsi di sekitarnya). Adapun aspek yang dikaji di sini antara lain meliputi :
a. Besaran, sebaran, kepadatan, dan tingkat perkembangan penduduk, tenaga kerja, dan
lapangan kerja.
b. Kegiatan ekonomi utama, beserta besaran, dan tingkat perkembangannya.
c. Potensi sumber daya alam, dan sumber daya manusia baik yang sudah termanfaatkan
maupun belum termanfaatkan
III - 10
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
III.3.4 Tahap- 4 : Analisa Pemetaan Permasalahan Sistem Transportasi Laut di Provinsi Aceh Saat
Ini
Kegiatan D1 – Identifikasi Kondisi dan Permasalahan Umum Sistem Transportasi di Provinsi Aceh
Saat Ini
Dalam kegiatan ini akan dikaji tentang kondisi dan permasalahan umum sistem transportasi di
provinsi Aceh (NAD) secara keseluruhan (transportasi darat, laut, dan udara). Sebagai referensi
kajian digunakan data sekunder yang telah dikumpulkan sebelumnya baik dari tingkat Provinsi
maupun Kabupaten/Kota, termasuk dari RTRW Provinsi, RTRW Kabupaten/Kota dan studi-studi
transportasi yang pernah dilakukan sebelumnya. Dalam kajian ini akan dimunculkan isu strategis
permasalahan transportasi di provinsi Aceh (NAD) untuk setiap jenis moda transportasi.
Kegiatan D2 – Analisa Pemetaan Permasalahan Sistem Transportasi Laut di Provinsi Aceh Saat
Ini
Dalam kegiatan ini akan ditelaah secara mendetail isu strategis sistem transportasi laut yang telah
dimunculkan dalam kegiatan sebelumnya, dikaitkan dengan berbagai aspek permasalahan di
seputar transportasi laut yang diperoleh berdasarkan hasil survei wawancara kepada pihak
pengelola pelabuhan, perusahaan pelayaran, penumpang, pengelola angkutan barang, dan
nakhoda. Berbagai permasalahan ini akan dipetakan keterkaitan antara permasalahan yang satu
dengan lainnya, dan diidentifikasi faktor penyebab utamanya.
Untuk mempertajam kajian permasalahan ini, konsultan juga akan melakukan analisis pemodelan
transportasi tahun dasar (lihat Gambar 3.2). Analisis ini dilakukan untuk mengetahui besar
permintaan (demand) dan distribusi perjalanan orang dan barang, variabel sosial ekonomi yang
mempengaruhi permintaan perjalanan, serta komposisi pemilihan moda angkutan (termasuk
transportasi laut). Analisis pemodelan di sini akan meliputi 3 (tiga) sub kegiatan sebagai berikut :
Sistem zona (zoning system) perlu ditetapkan sebagai basis data asal tujuan perjalanan. Sistem
zona sangat terkait dengan kondisi tata guna lahan dan dengan mempertimbangkan batas
administrasi yang merupakan basis agregasi ketersediaan data. Menurut pertimbangan ideal,
pembagian zona didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain adalah :
III - 11
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Untuk pemodelan transportasi provinsi Aceh (NAD), konsultan mengusulkan penggunaan sistem
zone berbatas wilayah administratif kecamatan atau pulau.
Pada dasarnya model ini dikembangkan untuk memperkirakan bangkitan perjalanan (orang dan
barang) yang dihasilkan oleh suatu zone (ruang kegiatan) yang telah ditetapkan. Trip generation,
III - 12
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
yaitu jumlah perjalanan yang dihasilkan (trip production) dan ditarik (trip atraction) oleh suatu
zone. Jumlah perjalanan orang dan barang akan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti
pertumbuhan penduduk, tenaga kerja, PDRB, lapangan kerja, ketersediaan fasilitas umum,
produksi sektor industri, pertanian, dll, yang dinyatakan dalam model matematis sebagai berikut :
Trip Production :
Trip Attraction :
Keterangan :
Catatan:
Bangkitan perjalanan dapat dihitung menurut jenis moda transportasi, sehingga model ini akan
merupakan gabungan dari model Trip Generation dan Moda Split. Dengan asumsi bahwa
pemilihan “user” terhadap moda transportasi laut saat ini sudah cukup proporsional dibanding
dengan pemilihan moda transportasi lainnya (dimana moda angkutan laut lebih difokuskan pada
pelayanan angkutan barang), maka pemodelan trip generation dalam studi ini juga merupakan
gabungan dari model Trip Generation dan Moda Split. kedua komponen bangkitan dan tarikan
perjalanan dari model ini, selanjutnya dikalibrasi pada data tahun dasar, dan hubungan ini
diasumsikan tetap sepanjang tahun pemodelan.
Adalah model untuk memperkirakan distribusi perjalanan dari suatu zone ke zone lainnya yang
telah diperkirakan pada Trip Generation. Output dari model ini adalah perkiraan Matriks Asal
Tujuan (MAT) perjalanan orang dan barang atau garis permintaan perjalanan (desire line).
Secara umum distribusi perjalanan dilakukan untuk 2 (dua) karakteristik perjalanan yang ada,
yaitu :
Perjalanan Internal, yaitu perjalanan yang dilakukan antar zone dalam wilayah studi (provinsi
Aceh), yang pada umumnya pola perjalanan ini merupakan cerminan dari pola perjalanan
untuk kegiatan rutin penduduk.
Perjalanan External, mencakup perjalanan dari dalam ke luar wilayah studi atau sebaliknya,
serta perjalanan dari luar ke luar wilayah studi atau provinsi Aceh sebagai jalur lintasan.
III - 13
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Model yang digunakan untuk distribusi perjalanan internal adalah “gravity model” (GR) dengan
formulasi sebagai berikut :
Tij = Oi.Dd.Ai.Bd.f(Cid)
Keterangan:
Dalam penerapannya, untuk melakukan validasi terhadap model digunakan distribusi frekuensi
perjalanan terhadap jarak/ waktu perjalanan yang diperoleh dari data Matriks Asal Tujuan (MAT)
hasil survei dan data sekunder.
Selanjutnya hasil prakiraan bangkitan perjalanan (Produksi dan tarikan perjalanan) tiap zona
didistribusikan ke setiap zona tujuan, dengan “triple impedance” jarak /waktu tempuh antar zona
serta fungsi yang diperoleh dari distribusi frekuensi diatas. Dari seluruh rangkaian proses ini dapat
dihasilkan model distribusi perjalanan dan perkiraan Matriks Asal Tujuan (MAT) orang dan barang
tahun dasar untuk moda transportasi laut.
Dalam pemodelan transportasi di atas, konsultan akan menggunakan alat bantu (tools) analisis
berupa software program perencanaan transportasi “TRANPLAN” Melalui software program ini,
seluruh pemodelan di atas akan dibuat secara terpadu dan interaktif, sehingga menjadikan
perkiraan besaran bangkitan perjalanan (trip generation), akan terkait dengan perkiraan model
trip distribution, dan moda split.
Pada intinya, dari hasil keseluruhan proses pemodelan transportasi tahun dasar di atas, dapat
dimodelkan hubungan antara perkembangan sosial ekonomi wilayah terhadap pertumbuhan
permintaan (demand) arus lalu-lintas orang dan barang untuk moda transportasi laut, dari
pelabuhan ke pelabuhan. Formulasi model pada tahun dasar, selanjutnya digunakan untuk
memperkirakan permintaan lalu-lintas orang dan barang pada moda transportasi laut di masa
mendatang, berbasiskan data proyeksi perkembangan parameter-parameter sosial-ekonomi
wilayah. Disamping itu, dari proses ini juga dapat diperoleh gambaran kinerja sertiap rute
pelayaran yang ada, dengan melihat perbandingan antara besar permintaan (demand) lalu-lintas
(orang dan barang), terhadap kapasitas armada angkutan laut yang ada (supply), sehingga dapat
diketahui rute pelayaran mana yang memerlukan penambahan armada.
III - 14
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Dalam kegiatan ini akan ditinjau berbagai arahan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Provinsi Aceh (NAD), antara lain meliputi :
Pada dasarnya berbagai arahan di atas akan digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk
memperkirakan skenario perkembangan provinsi Aceh (NAD) di masa mendatang, yang pada
gilirannya akan digunakan juga untuk memperkirakan bangkitan dan distribusi perjalanan (trip
generation and distribution) orang dan barang di provinsi Aceh pada masa mendatang.
Dalam kegiatan ini akan ditinjau berbagai rencana dan program pengembangan sistem
transportasi yang ada provinsi Aceh (NAD) dan sekitanya, berdasarkan : hasil kajian dari studi
terdahulu, Rencana Tata Ruang yang ada, RENSTRA, RPJM, daftar program/ proyek yang sudah
definitif, maupun yang sifatnya masih berupa usulan dari Pemda. Berbagai rencana dan program
ini akan menjadi dasar pertimbangan dalam memperkirakan skenario perkembangan sistem
jaringan transportasi di masa mendatang di wilayah Provinsi Aceh, yang pada gilirannya akan
digunakan sebagai masukan dalam analisis pemodelan jaringan (network) transportasi di masa
mendatang.
Kegiatan E3 – Analisa Prediksi Perkembangan Sistem Kegiatan dan Sistem Transportasi di Masa
Mendatang
Dalam kegiatan ini akan diprediksi perkembangan sistem kegiatan Provinsi Aceh (NAD) di masa
mendatang, antara lain mencakup :
III - 15
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Merupakan skenario peramalan/ forecasting dengan asumsi dasar pesimistis/ sangat diharapkan
tidak terjadi, atau kondisi batas maksimal yang akan terjadi. Skenario ini mempunyai karakteristik
sebagai berikut:
Merupakan skenario peramalan / forecasting dengan asumsi dasar optimalisasi atau kondisi yang
paling menguntungkan. Skenario ini mempunyai karakteristik sebagai berikut:
Merupakan skenario peramalan/ forecasting dengan asumsi dasar optimistis/ sangat diharapkan
terjadi atau kondisi minimal yang akan terjadi. Skenario ini mempunyai karakteristik sebagai
berikut:
Pemilihan skenario di atas, akan ditentukan berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi pola
perkembangan wilayah yang mencakup:
Sebagai bahan pertimbangan, dalam analisis ini juga ditinjau pengaruh global yang secara umum
mempengaruhi perkembangan ekonomi makro di Indonesia dewasa ini.
Dalam kegiatan ini, hasil identifikasi skenario perkembangan sistem kegiatan di masa mendatang
digunakan sebagai variabel-variabel model “trip generation”, dan “trip distribution” (tahun
dasar), yang telah dikembangkan sebelumnya, sehingga dapat diperkirakan permintaan
perjalanan atau MAT orang dan barang moda transportasi laut, dan digambarkan dalam bentuk
garis permintaan perjalanan (desire line) orang dan barang. Dalam proses analisa ini juga akan
III - 16
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
digunakan alat bantu (tools) program komputer TRANPLAN, sehingga proses pemodelan akan
dilakukan secara terintegrasi dan saling terkait erat.
Untuk mempertajam kajian, khusus untuk prediksi MAT barang akan dilakukan juga analisa pola
ruang permintaan (demand) dan produksi (supply) komoditas utama. Hal ini dilakukan melalui
pendekatan model ekonomi Surplus-Defisit, dengan teori bahwa pola aliran komoditas
(commodity flows) memperlihatkan adanya hubungan keterkaitan antar wilayah yang terjadi
karena adanya saling melengkapi kebutuhan. Di satu daerah ada yang kelebihan produksi
(surplus) suatu komoditas, sedangkan daerah lainnya kekurangan (defisit) produksi komoditas
tersebut.
Analisa ini dilakukan melalu pembebanan MAT orang dan barang (hasil prediksi) moda
transportasi laut, terhadap jaringan rute pelayaran yang telah diberi atribut data kapasitas angkut
penumpang dan barang. Dalam penerapannya, jaringan rute pelayaran akan dimodelkan
menggunakan software program TRANPLAN, sehingga dari hasil proses pembebanan MAT (trip
assignment) akan langsung dapat diketahui jalur rute rute pelayaran mana yang “over capacity”,
sehingga perlu ditingkatkan kapasitas angkutnya. Dalam rangka peningkatan kapasitas angkut
akan dipertimbangkan beberapa alternatif pengembangan, sebagai berikut:
Alternatif pengembangan yang optimal ditetapkan berdasarkan hasil penilaian aspek teknis,
operasional dan ekonomis dari setiap alternatif di atas.
Dalam analisa ini juga akan dikaji berbagai masukan dari hasil survei wawancara terhadap “user”,
tentang berbagai permasalahan yang ada berikut saran perbaikan untuk peningkatan kinerja
pelayanan armada kapal laut. Permasalahan yang banyak dikeluhkan “user” serta saran
perbaikan yang banyak diusulkan “user” akan menjadi bahan pertimbangan dalam perumusan
program peningkatan kinerja pelayanan armada angkutan laut.
Dalam pemodelan jaringan rute pelayaran (sea route network) yang telah dijelaskan sebelumnya,
pelabuhan akan direpresentasikan sebagai simpul (node) yang juga dapat diberi atribut kapasitas
terhadap lalu-lintas penumpang, barang, dan kapal. Arus lalu-lintas kapal diperkirakan dari MAT
orang dan barang yang dikonversikan kepada jumlah kapal dengan mempertimbangkan kapasitas
angkut kapal dan rencana pengembangan yang diusulkan. Dengan demikian, dari hasil proses
III - 17
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
pembebanan MAT terhadap model jaringan rute pelayaran (sea route network) dapat diketahui
juga Pelabuhan mana yang sudah “over capacity”, dilihat dari aspek:
Dalam rangka peningkatan kapasitas dari berbagai fasilitas Pelabuhan di atas akan
dipertimbangkan beberapa alternatif solusi pengembangan pelabuhan, dan dilihat juga Rencana
Induk Pelabuhan yang telah ada. Bila diperlukan kajian lebih detail akan diusulkan adanya
studi/kajian lanjutan.
Disamping itu, dalam analisa ini juga akan diidentifikasi kebutuhan pengembangan pelabuhan
baru sebagai masukan dari hasil analisa pengembangan rute pelayaran baru (lihat analisa butir 3),
atau dapat juga sebagai langkah penjabaran dari RTRW Provinsi Aceh (NAD).
Dalam analisa ini juga akan dikaji berbagai masukan dari hasil survei wawancara terhadap “user”,
tentang berbagai permasalahan yang ada berikut saran perbaikan untuk peningkatan kinerja
pelabuhan laut yang ada. Permasalahan yang banyak dikeluhkan “user” serta saran perbaikan
yang banyak diusulkan “user” akan menjadi bahan pertimbangan dalam perumusan program
pengembangan pelabuhan laut.
Pada dasarnya, pengembangan rute pelayaran dilakukan dengan mengkaji garis permintaan
perjalanan (desire line) orang dan barang antar zona yang telah diprediksi dalam kegiatan
sebelumnya. Perlu dicatat, bahwa hasil prediksi “desire line” di sini sudah mempertimbangkan
potensi-potensi permintaan perjalanan orang dan barang terkait dengan potensi produksi
berbagai komoditas utama, potensi sumber daya alam, dan potensi perekonomian lainnya yang
ada di provinsi Aceh (NAD).
Penambahan rute pelayaran baru diusulkan, bila teridentifikasi adanya garis permintaan
perjalanan antar zona yang cukup besar, namun belum ada rute pelayaran di situ. Disamping itu,
rute pelayaran langsung antar zona juga dapat diusulkan di sini, bila rute pelayaran yang ada
merupakan rute memutar (melalui zona lain terlebih dulu).
Sebagai kriteria dalam pengembangan rute-rute pelayaran baru, akan dievaluasi dua aspek, yaitu
aspek jarak tempuh (setelah mempertimbangkan aspek teknis kedalaman alur), dan besaran
permintaan (demand) perjalanan. Dua aspek ini akan menjadi masukan dalam perhitungan
kelayakan ekonomi dan finansial terhadap pengoperasian rute pelayaran baru. Disamping itu,
arahan dalam RTRW Provinsi Aceh (NAD) juga akan menjadi bahan pertimbangan utama dalam
pengembangan rute pelayaran baru.
Dalam analisa ini juga akan dikaji berbagai masukan dari hasil survei wawancara terhadap “user”,
tentang berbagai permasalahan yang ada berikut saran perbaikan terkait layanan rute pelayaran.
III - 18
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Permasalahan yang banyak dikeluhkan “user” serta saran perbaikan yang banyak diusulkan
“user” akan menjadi bahan pertimbangan dalam perumusan program pengembangan rute
pelayaran.
Hasil analisa pada bagian ini juga akan menjadi masukan untuk pengembangan Pelabuhan baru,
bila ternyata rute pelayaran baru yang diusulkan menghubungkan antar zona yang masih belum
memiliki pelabuhan.
Berdasarkan hasil analisis sebelumnya, dalam kegiatan ini akan dirumuskan konsep dasar
rencana, antara lain meliputi :
1. Kebijakan Dasar Rencana, berisi arah kebijakan dasar rencana. Hal yang penting digariskan di
sini adalah seyogyanya program pengembangan pelabuhan laut di provinsi Aceh (NAD) lebih
mengutamakan aspek pelayanan kepada masyarakat, bukan untuk mengejar PAD. Bila
diperlukan, subsidi diberikan terutama dalam rangka pengembangan rute-rute pelayaran
baru atau perintis. Melalui pengembangan rute pelayaran baru ini diharapkan akan membuka
daerah potensial dan menarik minat masyarakat dan investor untuk membuka usahanya di
daerah tersebut, yang pada gilirannya akan memicu pertumbuhan permintaan (demand)
transportasi laut. Dengan berkembangnya daerah potensial tersebut, dan bertambahnya
permintaan transportasi laut, maka dengan sendirinya PAD akan meningkat.
2. Strategi Dasar Pengembangan, mencakup arahan-arahan antara lain:
bentuk, jenis, dan kriteria prioritas penanganan,
strategi dalam penyediaan prasarana jaringan transportasi.
strategi dalam mengoptimalkan pemanfaatan prasarana dan sarana transportasi laut
yang tersedia.
pola manajemen dalam pelaksanaan pembangunan, pengoperasian, dan pemeliharaan,
dll.
3. Tujuan dan Sasaran Rencana/Program Pengembangan, antara lain mencakup tujuan umum,
dan sasaran berupa: target tingkat pelayanan transportasi yang akan diberikan, besaran
(volume) kegiatan penanganan secara umum, daerah yang prioritas ditangani, dll.
Dengan mengacu pada konsep dasar dan strategi pengembangan, serta hasil analisis
sebelumnya, dalam kegiatan ini akan dilakukan penyusunan Rencana Induk Pelabuhan Provinsi
Aceh. Masterplan ini akan mencakup :
III - 19
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Dalam penerapannya, proses penyusunan rencana induk di atas akan dibuat dalam kesatuan yang
tak terpisahkan, sehingga gabungan dari rencana induk di atas akan menghasilkan Rencana Induk
Pelabuhan Laut yang menyeluruh, andal, dan terpadu dalam melayani tuntutan permintaan
transportasi laut di Provinsi Aceh (NAD) di masa mendatang.
Pada dasarnya indikasi program dilakukan untuk mewujudkan Rencana Induk Pelabuhan Provinsi
Aceh yang telah dirumuskan sebelumnya. Dalam kegiatan ini disusun indikasi program
pembangunan sub sektor Perhubungan Laut, mencakup: Program Jangka Panjang, Jangka
Menengah (Lima Tahunan) dan Program Jangka Pendek (Program Tahunan). Adapun materi dari
rumusan Program ini antara lain meliputi :
III - 20
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Dalam konteks pelaksanaan pekerjaan ini, konsepsi pendekatan wilayah akan diterapkan dalam
perumusan alternatif rencana/program pengembangan pelabuhan laut, dimana setiap alternatif
rencana/program yang diusulkan akan diselaraskan terhadap kebijaksanaan dan rencana
pembangunan wilayah yang ada (antara lain : Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Aceh (NAD),
RTRW Kabupaten/Kota, RENSTRA, RPJM, Rencana/Program-program transportasi yang definitif),
serta Kebijaksanaan dan Rencana Pembangunan Wilayah Makro (Regional dan Nasional).
III - 21
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
atau proyek dinilai prioritasnya, dimana yang memberikan manfaat ekonomi ganda merupakan
prioritas yang paling tinggi.
Dengan demikian, suatu program yang dipilih tidak hanya memberikan manfaat hanya sesaat
dengan jangkauan lokal saja, tetapi diharapkan dapat memberi manfaat yang berkelanjutan
dengan jangkauan luas, sehingga akan terus bergulir bagaikan bola salju (snow bowling) yang
semakin lama manfaatnya akan semakin membesar.
Pemilihan program sangat menentukan seberapa jauh efek ekonomi ganda itu akan terjadi.
Berdasarkan pendekatan ini, maka setiap usulan program akan dipilih berdasarkan kriteria
prioritas manfaat ekonomi ganda. Artinya, dalam penetapan indikasi program pembangunan
akan diidentifikasi urutan prioritas dari semua usulan kegiatan, program atau proyek.
Melalui pendekatan partisipasi (participation approach), Pemda dan masyarakat setempat akan
terlibat sejak saat perencanaannya hingga pengoperasian dan pemeliharaan. Perasaan untuk ikut
memiliki, bahkan kalaupun harus berkorban siap dilakukan, karena melalui pendekatan partisipasi
ini dibangkitkan rasa ikut memiliki (sence of belonging). Pendekatan partisipasi dalam pekejaan
ini dilakukan mulai dari pengumpulan data primer, melalui survei wawancara langsung terhadap
“stakeholder” pengguna dan pengelola prasarana dan sarana transportasi laut.
III.3.5 Pendekatan Manajemen Interaksi Sebagai Dasar Mekanisme Perumusan Rencana Induk
Pelabuhan
Dalam mekanisme perumusan Rencana Induk Pelabuhan provinsi Aceh, prosesnya perlu
menyentuh seluruh pelaku yang terkait sesuai dengan tugas dan peran yang dibawanya. Untuk
itu, proses perumusan Rencana Induk Pelabuhan provinsi Aceh akan dilakukan melalui
pendekatan yang integratif (Integrative System) dilihat dari cakupan substantifnya, dan
partisipatif (Participative Process) dilihat dari mekanisme pelaksanaannya. Yang perlu dicatat
adalah bahwa proses kegiatan penyusunan Rencana Induk ini “menerima masukan” dari 2 (dua)
sumber utama, yakni :
1. Hasil analisis konsultan terhadap kebutuhan pengembangan pelabuhan laut di provinsi Aceh,
2. Usulan Program Pengembangan yang berasal dari Aspirasi Daerah (Pemda), dan masyarakat.
Masukan inilah yang kemudian diolah, untuk dicarikan optimasinya melalui kaidah-kaidah
integrasi kebijaksanaan perencanaan dan sinkronisasi kelayakan program.
III - 22
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
III - 1
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Tahap - 4 : Analisa Pemetaan Permasalahan Sistem Transportasi Laut Provinsi Aceh Saat Ini,
meliputi:
1. Kegiatan D1 –Identifikasi Kondisi dan Permasalahan Umum Sistem Transportasi Provinsi Aceh
Saat Ini
2. Kegiatan D2 –Analisa Pemetaan Permasalahan Sistem Transportasi Laut Provinsi Aceh Saat Ini
1. Kegiatan E1 –Identifikasi Kebijakan dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Aceh
2. Kegiatan E2 –Identifikasi Kebijakan dan Rencana Pengembangan Sistem Transportasi Laut
Provinsi Aceh
3. Kegiatan E3 –Analisa Prediksi Perkembangan Sistem Kegiatan dan Sistem Transportasi di
Masa Mendatang.
IV - 1
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Adapun uraian kegiatan dari masing-masing tahapan telah diuraikan cukup rinci dalam bab
metodologi dan pendekatan.
Laporan ini merupakan laporan yang diserahkan pada akhir bulan pertama dan dibuat sebanyak 3
(tiga) eksemplar. Laporan ini antara lain berisikan tentang penjelasan rinci yang memuat :
Diskusi dari laporan ini dilakukan secara internal dengan Tim Teknis dari proyek dan diharapkan
dapat diperolah satu kesepakatan mengenai sasaran serta pola kerja yang akan dituju. Hasil
diskusi dituangkan dalam bentuk satu berita acara dan dijadikan pedoman dalam penyusunan
laporan berikutnya.
Laporan ini merupakan laporan yang diserahkan pada akhir bulan ke-empat dan dibuat sebanyak
3 (tiga) eksemplar. Laporan ini antara lain berisikan tentang penjelasan rinci yang memuat :
a. Hasil kompilasi semua data yang diperoleh dari pengumpulan data dan survei lapangan,
b. Hasil analisa data dan analisa awal pengembangan pelabuhan laut Provinsi Aceh, sesuai
dengan tujuan dan sasaran perencanaan
c. Foto dan Video Dokumentasi,
Diskusi dari laporan ini dilakukan secara internal dengan Tim Teknis dari proyek dan diharapkan
dapat diperoleh satu kesepakatan mengenai hasil kompilasi dan analisis data. Hasil diskusi
dituangkan dalam bentuk satu berita acara dan dijadikan pedoman dalam penyusunan laporan
berikutnya.
Laporan ini merupakan laporan yang diserahkan pada akhir masa pelaksanaan pekerjaan dan
dibuat sebanyak 3 (tiga) eksemplar. Laporan ini berisi hasil dari seluruh rangkaian kegiatan
pelaksanaan pekerjaan, yang antara lain memuat :
IV - 2
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Diskusi laporan ini dilakukan secara eksternal dengan mengundang beberapa pihak terkait untuk
memproleh masukan lain mengenai hasil akhir dari studi ini sehingga dalam penyusunan laporan
berikutnya dapat diperoleh satu kesimpulan yang mampu menampung banyak kepentingan. Hasil
diskusi ini dituangkan dalam satu berita acara dan dijadikan pedoman dalam penyususunan
laporan berikutnya.
Laporan ini adalah bentuk akhir dari keseluruhan rangkaian pelaksanaan pekerjaan studi dan
merupakan penyempurnaan dari laporan akhir sementara sesuai dengan catatan dalam berita
acara pembahasan. Laporan ini diserahkan sebanyak 3 (tiga) exemplar pada akhir masa
pelaksanaan pekerjaan.
Laporan ini merupakan ringkasan laporan akhir yang dibuat dalam format komunikatif dan
menarik. Laporan ini diserahkan pada akhir masa pelaksanaan pekerjaan dan dibuat sebanyak 3
(tiga) eksemplar.
6. Buku Masterplan
Laporan ini berisi Rencana Induk Pelabuhan Aceh yang disajikan secara ringkas dan ditampilkan
secara menarik, diserahkan pada akhir masa pelaksanaan pekerjaan dan dibuat sebanyak 3 (tiga)
eksemplar.
Adapun jadwal pelaksanaan pekerjaan dan pelaporan yang akan dikemukakan di sini, disusun
dengan mengacu pada jangka waktu pelaksanaan, metode penanganan pekerjaan, serta
pentahapan kegiatan seperti yang telah dijelaskan pada sub bab 4.1. Untuk lebih jelasnya, Jadwal
Pelaksanaan dari masing-masing tahap kegiatan tersebut, dapat dilihat pada Tabel 4-1.
IV - 3
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
IV - 4
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
IV - 5
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
IV - 1
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Jumlah
No Ahli Kualifikasi
Orang
1 Ketua Tim/Perencana Transportasi Master (S2) dibidang Pelabuhan 1
Pelabuhan Laut dan Perencanaan Wilayah
2 Ahli Lingkungan Master (S2) dibidang lingkungan 1
3 Ahli Hidrologi Master (s2) dibidang Hidrologi 1
4 Ahli Hidrologi Master (s2) dibidang Hidrologi 1
5 Ahli Perencana Pelabuhan Master (S2) dibidang 1
perencanaan pelabuhan laut
6 Ahli Struktur Master (S2) dibidang struktur 1
pelabuhan/bangunan
7 Ahli Ekonomi Transportasi Sarjana dibidang ekonomi 1
transporasi
8 Ahli Hukum Doktor/Master dibidang hokum 1
transportasi
9 Ahli GIS Sarjana informatika dibidang GIS 1
10 Ahli Estimasi Sarjana sipil dibidang estimasi 1
biaya
Jumlah
No Tenaga Pendukung Kualifikasi
Orang
1 Juru Gambar SMK/DIII 2
2 Surveyor SMK/D III 5
3 Tenaga Lokal SMK/DIII 5
V-1
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
V-2
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
V-3
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
Bulan Ke Orang
No Nama Personil Ahli
I II III IV V VI /Bulan
1 Cut Rahmawati, ST, MT Ketua Tim 6
2 Ismunazar, ST, MT Lingkungan 6
3 Ichsan Saputra, ST, MT Hidrologi 6
4 La Ode Jailani, ST, MT Hidrologi 6
5 Hanafiah, ST, MT Perencana Pelabuhan 6
6 Chairil Anwar, ST Struktur 6
7 Ridhwan Ibrahim, SE Ekonomi Transportasi 6
8 DR. Edy Purnama, SH, MH Ahli Hukum 5
9 Zulfan, ST GIS 5
10 Widia Yulianti, ST Estimasi 5
No Nama Personil Staf Ahli
1 Afufudin Draftman 5
2 Nazaruddin Draftman 5
3 To be name Surveyor 8
4 To be name Surveyor 16
V-4
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
V-1
Buku Laporan Pendahuluan - Rencana Induk Pelabuhan Aceh
V-1