Anda di halaman 1dari 51

"Stevadit!!

"

Seorang wanita paruh baya namun masih terlihat cantik berteriak memanggil putranya. Berharap anak
lelaki satu-satunya itu dapat sesegara mungkin untuk keluar dari kamarnya dan sarapan bersama dengan
mereka.

"Agni. Samperin adikmu ke kamarnya. Suruh dia sarapan bersama" Agni, kakak dari pria bernama
Stevadit itu kemudian menuruti perintah ayahnya namun saat ia hendak bangkit dari duduknya, seorang
pria telah berjalan mendekati mereka dengan rambut yang masih basah dan seragam sekolah yang
dimasukkan asal kedalam celananya. Ia kemudian duduk di samping Agni dan langsung saja
menyendokkan nasi goreng ke piringnya.

"Kamu itu sudah kelas sebelas. Dan hari ini hari pertama kamu sekolah. Apa kamu tidak khawatir akan
terlambat?" Gunawan Haliandra, kepala keluarga dirumah itu, memberikan nasehat kepada anak
lelakinya.

"Papa tenang aja. Stev udah besar. Stev tau apa yang harus Stev lakukan" Pria itu bicara sangat santai.
Membuat Gunawan sedikit mengeraskan gerahangnya.

"Stevadit udah selesai" Ia kemudian bangkit dari duduknya lalu menghampiri wanita paruh baya itu "Ma.
Stev berangkat dulu ya. Nanti ada yang marah kalau Stev terlambat" Ujarnya sambil menyalam wanita
itu. Tentu kalimat terakhirnya menyindir seorang pria yang saat ini sedang mengatur emosinya.

"Kak. Gua berangkat deluan. Lo yang bener kuliahnya ya. Biar jangan ada yang ngatain lo anak gak guna"
Setelah mengucapkan kalimat itu. Rio kemudian pergi begitu saja. Tanpa berpamitan dengan pria yang
tengah membuang nafasnya dengan kasar.
Stevadit berjalan santai keluar rumahnya. Menyapa bi mirna yang tengah menyapu halaman "Hallo bi.
Cogan berangkat sekolah dulu ya" Stevadit mengatakan itu seraya tertawa. Bi Mirna, pembantu yang
sudah bekerja lebih dari sepuluh tahun di rumah itu hanya menanggapinya dengan senyuman.

Stevadit kemudian menaiki kawasaki ninja merah miliknya. Berangkat kesekolah dengan tas yang tidak
terisi apapun. Rambut yang masih basah acakan. Tak perduli dengan tampilannya. Karna ia percaya, ia
akan tetap menjadi siswa tertampan di sekolah itu.

Sesampainya di sekolah, Stevaditt kemudian berjalan menuju ke kelasnya. Beberapa murid wanita
berbisik-bisik ketika dia lewat.

"Lihat itu Stevadit!" "Stevadit keren banget" "Lihat rambutnya! Astaga" "Kok bisa ganteng banget sihh"
"Stevvvv"

Begitulah beberapa bisikan yang sedikit banyak Stevadit dengar. Dia sudah terbiasa dengan hal itu.
Walaupun terkenal dengan pria yang dingin. Dia tetap di senangi banyak wanita di sekolahnya. Hal itu
sedikit membuat Stevadit risih sebenarnya. Tapi dia tidak mungkin memarahi seluruh wanita yang
menatapnya dengan penuh kekaguman. Tidak mungkin hal itu ia lakukan.

Sesampainya di kelas Sebelas IPA Tiga. Stevadit kemudian melihat seisi kelasnya. Mencari dua sahabat
yang tidak kalah terkenalnya dengan dia. "Woy!" Teriaknya setelah melihat keberadaan kedua
sahabatnya.

"Gua duduk dimana?" Tanyanya setelah melihat kedua sahabatnya duduk sebangku di barisan paling
belakang dekat dinding.

"Lo duduk di depan kita. Siapa sebangku lo biarlah menjadi takdir. Lo tenang aja, gua sama Andryos udah
taruhan kok" Al, sahabat Stevadit dari kecil memberitahu dimana letak tempat duduk Stevadit.

"Maksud lo taruhan?"
Pria yang berada di samping Al kemudian membuka suaranya "Kita taruhan, yang duduk di bangku lo
cewek atau cowok. Kalau cewek gua yang menang"

"Lo berdua parah bener sih! Sakit hati gua" Stevadit kemudian duduk pada kursi yang telah disediakan
kedua sahabatnya. Mengambil posisi di samping dinding. Agar dapat bersandar fikirnya.

Andryos menepuk bahu Stevadit "Entar kalau gua menang, gua traktir lo. Tenang aja" Ujarnya seperti
memberi semangat untuk Stevadit.

"Gak butuh"

Beberapa siswa masuk kedalam kelas. Ada yang terkejut ketika mengetahui sekelas dengan mereka.
Memang, saat naik kelas. Seluruh murid di acak kembali kelasnya. Di masukkan sesuai dengan
kecerdasan masing-masing. Kebetulan, tiga sejoli itu di tempatkan di kelas yang sama. Mereka tidak akan
khawatir jika di tempatkan di kelas terbawah sekalipun. Asal mereka bersama, semua akan terasa lebih
menyenangkan menurut mereka.

Seorang wanita tiba-tiba saja duduk di samping Stevadit. Tersenyum sekilas kearah Stevadit dan kembali
menyibukkan diri dengan isi di dalam tasnya.

Andryos tersenyum senang. Kemudian ia mencolek bahu wanita itu. Tersenyum manis. Dan mengulurkan
tangannya. Pertanda ingin berkenalan.

Wanita itu membalikkan badannya kearah belakang. Tersenyum melihat uluran tangan Andryos. Ia
kemudian mengulurkan tangannya juga dan menyalam Andryos "Shyla" Ujarnya. Andryos kemudian
memperkenalkan dirinya. Memperkenalkan Al yang sedang kesal dan juga Stevadit yang tengah tertidur
bersandar di dinding.

"Eh. Jangan salah paham sama mereka ya. Mereka aslinya baik kok. Yang di samping gua lagi terkena
musibah. Nah yang di samping lo, gak tidur 3 hari tiga malem. Jaga kompleks rumahnya. Biasalah,
kerjaan sampingannya jadi kamtip" Andryos dengan santai mengarang ceritanya. Seakan kisah yang dia
ucapkan memang benar terjadi adanya.

"Ah iya. Gak papa kok. Oh iya aku boleh duduk disini kan? Maaf ya langsung duduk aja soalnya aku gak
lihat ada yang kosong lagi" Tanya Shyla namun masih tetap dengan senyum yang mengembang di
bibirnya.

Setelah melihat anggukan semangat dari Andryos Ia kemudian membalikkan badannya kearah depan.
Sedikit melirik Stevadit yang masih saja tertidur 'ganteng' batinnya. Dia sedikit bingung gimana caranya
meminta izin dari Stevadit untuk duduk disamping pria itu. Pria yang saat ini hanya tertidur saja namun
sudah mampu menarik perhatiannya.

Bel masuk telah berbunyi. Seluruh siswa yang tadinya berada di luar berlarian memasuki kelasnya
masing-masing. Kelas yang tadinya penuh dengan keributan akhirnya menjadi hening ketika Bapak
Junaidi atau biasa di panggil Jun memasuki kelas mereka. Bapak Junaidi terkenal dengan sebutan 'guru
killer' sangat di takuti oleh murid-murid. Guru disiplin itu tidak menyukai segala hal apapun yang
menyimpang.

"Baik! Hari ini kita perkenalan saja. Biar kalian bisa kenal satu sama lain. Mungkin beberapa dari kalian
sudah mengenal saat di kelas sepuluh. Tapi tidak menutup kemungkinan, beberapa dari kalian juga tidak
saling mengenal" Pria bersuara berat khas bapak-bapak itu menyelesaikan kalimatnya. Menunjuk murid
barisan pertama yang paling ujung untuk memulai perkenalannya.

Perkenalan berlanjut dengan tertib. Sampai pada giliran Shyla semua terpaku. Merasa tidak pernah
melihat wanita itu sekalipun. Atau bahkan hanya sekilas saja mungkin tidak pernah.

"Nama saya Shyla Syafana. Kalian bisa panggil saya Shyla. Saya pindahan dari bogor. Hobi saya membaca.
Kalau cita-cita jujur belum kepikiran. Tapi saya suka dalam bidang fotografi. Mungkin saya akan
mendalami itu nantinya. Terimakasih"

Shyla selesai memperkenalkan dirinya. Suara-suara sumbang terdengar begitu saja. Ada yang
membicarakan tentang Shyla, ada pula yang membicarakan tentang perkenalan selanjutnya yang akan
dilakulan trio nakal yang satu tahun kedepan bakal sekelas dengan mereka.
Stevadit melihat sekitarnya. Dalam hati dia menyumpahi gurunya saat ini. Menurutnya perkenalan
adalah suatu hal yang membosankan dan tidak menarik. Ia menatap Pak Jun yang tengah menampilkan
raut ketegasan di wajahnya. Tidak mau mencari masalah, ia akhirnya berdiri dan membuat seisi kelas
terpaku. Menanti ucapan yang akan keluar dari Stevadit.

"Saya Adit. Stevadit Putra Haliandra. Tidak punya hobi dan tidak punya cita-cita. Terimakasih"

Perkenalan Stevadit membuat ricuh seisi kelas. Ada yang berbisik mengatakan Stevadit sangatlah cool.
Ada juga yang mengatakan Stevadit sangat berani melakukan itu. Memang diluar Stevadit biasa dipanggil
Adit oleh teman-temannya. Stevadit yang notabenenya tidak mau terlalu pusing. Selalu melakukan
sesuatu hal yang menurutnya menyenangkan. Baginya, melihat wajah pak Jun yang tengah menahan
emosi adalah suatu hal yang menyenangkan juga.

"SUDAH! DIAM SEMUA!" Pak Jun berteriak memerintahkan semua murid agar diam. Ia kemudian
menunjuk Al untuk melanjutkan sesi perkenalan.

"Hallo! Gu.. eh maksudnya saya. Saya Malvin Geral Walinza. Biasa dipanggil Al. Hobi apa aja. Yang
penting asik. Cita-cita kepingin jadi presiden amerika serikat. Terimakasih"

Pak Jun heran dengan cita-cita Al. Mengapa ia ingin menjadi presiden di negara orang? Kenapa tidak di
negara sendiri "Kenapa tidak di indonesia?" Tanya Pak Jun yang penasaran.

"Gajinya sedikit pak. Banyakan Presiden Amerika" Jawaban Al membuat seisi kelas tertawa. Jawaban
yang polos tapi benar adanya.

Pak Jun kemudian berdehem. Seketika suasana kelas menjadi hening kembali. Kini giliran Andryos. Ia
yang dari awal telah semangat akibat memenangkan taruhan menjadi sangat bahagia sekarang ini.
Senyum tidak lepas dari bibirnya. Membuat seluruh wanita yang ada di kelas tersenyum melihat
senyumnya.
"Hai teman-teman! Terutama wanita-wanita cantik yang ada disini" Seketika suara ricuh kembali
terdengar. Andryos hanya tertawa kecil mendengar respon mereka "Oke. Saya lanjut ya. Saya Ryos.
Andryos Fernando Dekantar. Pasti kalian sudah pada tau kan?" Semua mengangguk senang menjawab
pertanyaan Andryos "Hobi saya memuji setiap kaum hawa. Dan cita-cita saya menjadi pelindung semua
kaum hawa. Terimakasih".

Kericuan semakin menjadi-jadi. Semua wanita yang ada di kelas itu mengeluh-eluhkan nama Andryos.
Andryos yang sudah terbiasa dengan respon seperti itu hanya tersenyum santai. Al yang masih kesal
dengan kekalahannya langsung saja menjitak kepala Andryos. Sementara Stevadit, tersenyum samar
melihat kelakuan ajaib temannya itu.

"SUDAH SEMUA!! APA-APAAN INI!" Pak Jun sepertinya telah emosi. Ia memanggil Andryos untuk maju
kedepan "MAJU KAMU KEDEPAN!" Perintahnya sembari menunjuk kearah Andryos.

Andryos maju kedepan dengan santai. Tidak ada ketakutan di matanya "KAMU SAYA HUKUM KARENA
KAMU TIDAK MENGHARGAI SAYA! KELUAR KAMU DARI KELAS INI!" Pak Jun berteriak dengan kuat.
Andryos hanya menatap Pak Jun dengan pandangan tak suka.

"Pak! Perkataan saya pada bagian mananya yang tidak menghargai bapak? Kalau masalah Cita-cita dan
hobi itu hak saya. Terserah saya mempunyai cita-cita atau hobi apapun. Saya keluar. Permisi" Setelah
mengatakan hal tersebut. Andryos langsung saja keluar. Terlihat jelas ekspresi wajahnya yang tak suka
melihat Pak Jun.

Stevadit dan Al yang melihat kepergian Andryos langsung saja bangkit dari duduknya. Berjalan santai
menuju keluar kelas. Tanpa meminta izin kepada Pak Jun.

"KALIAN MAU KEMANA!? KALIAN SAMA SAJA DENGAN DIA. TIDAK MENGHARGAI SAYA SEBAGAI GURU
YANG ADA DISINI! PERKENALAN KALIAN JUGA TIDAK SERIUS. MAU MEMPERMAINKAN SAYA HAH!!"

"Saya males di bimbing oleh guru yang tidak profesional seperti anda. Lebih baik saya keluar. Menunggu
pergantian guru selanjutnya" Setelah Stevadit mengatakan hal itu. Ia yang disusul oleh Al di belakangnya
kemudian berjalan santai keluar. Tanpa memperdulikan Pak Jun yang berteriak marah.
Disisi lain Shyla terlihat mengkerutkan dahinya. Bingung dengan kelakuan tiga sekawan itu 'Bagus Shyla.
Hari pertama saja kamu sudah berkenalan dengan tiga pria pembangkang. Bagaimana hari selanjunya?'
Batin Shyla.

"Awal yang menyenangkan?" Tanyanya sendiri sambil menampilkan senyum samar di bibirnya.
"Loh? Kenapa kamu lagi yang datang?" Tanya pria tua berkacamata yang tengah duduk disebuah kursi
putar sambil menampilkan kerutkan dahinya.

"Maaf Pak Iskandar. Orang tua saya sedang sibuk" Jawab seorang wanita yang baru saja memasuki
ruangan pria tua bernama Iskandar tersebut.

Pak iskandar yang menjabat sebagai kepala sekolah itu menghela nafasnya dengan kasar "Saya bingung
bagaimana cara menasihati adik kamu beserta teman-temannya itu" Ujarnya kemudian setelah
mempersilahkan wanita tersebut untuk duduk di sebuah kursi tepat didepannya.

"Kalau saya boleh tau ada masalah apa ya pak?"

"Begini Agni. Saya ingin meminta pendapatmu. Menurut kamu apakah pantas seorang murid bertindak
tidak sopan terhadap guru saat jam pelajaran sedang berlangsung?"

"Maafkan adik saya pak" Ujar wanita bernama Agni tersebut akhirnya.

"Kenapa dia sangat beda sekali denganmu?" Tanya Pak Iskandar sedikit heran dengan perbedaan sifat
keduanya

"Dulu kamu disini dengan segudang prestasi tapi lihat adikmu" Lanjutnya lagi.

"Iya pak sekali lagi saya minta maaf. Saya akan coba untuk memberi nasehat untuknya"

"Saya harap dia mau mendengarkan jika kamu yang berbicara"

Agni mengangguk lalu menghela nafasnya. Ia kemudian meninggalkan ruangan tersebut setelah Pak
iskandar mempersilahkannya untuk keluar.
Ganggang pintu ia raih kemudian ia tekan kebawah. Pintu terbuka. Angin segar menyapa kulit wajahnya.
Ia lihat ke kanan kemudian melipat kedua tangannya di depan dadanya.

"Stevadit kamu gak kasihan sama kakak?" Tanya wanita tersebut. Tidak ada sedikitpun bentakan atau
tekanan nada disana. Nada lembut yang Agni gunakan dapat membuat Stevadit menundukkan kepalanya
merasa bersalah.

Agni menghela nafasnya lagi. Gusar memikirkan adik kesayangannya yang sangat nakal tersebut "Mana
kedua teman nakalmu itu?" Tanya Agni kemudian.

"Dikantin" Jawabnya masih dengan kepala menunduk.

"Orang tua mereka gak dateng?"

"Udah pulang sebelum kakak datang"

"Hei angkat kepalamu. Nanti leher kamu sakit" Ujar Agni sambil menyentuh dagu Stevadit dengan
sebelah tangannya

"Maafin stev kak" Ujar stevadit sambil menatap lurus kearah Agni.

"Gimana kakak mau ninggalin kamu kalau kamu aja masih kaya gini" Ujar Agni dengan pasrah

"Makanya jangan pergi jauh-jauh dari stev"

"Kamu udah besar stev"


"Bahkan sampai umurku 50 tahun keatas aku masih tetap adik kakak"

Agni tersenyum mendengar pernyataan yang dilontarkan oleh adiknya itu. Kalau ditanya seberapa besar
dia sayang dengan adiknya itu maka dia tidak akan pernah bisa menjawabnya. Karna siapapun itu. Dia
tidak akan dapat menghitung besarnya sayang Agni untuk adiknya.

"Ya sudah jangan nakal lagi ya" Ujar Agni sambil mengusap rambut Adiknya dengan asal sehingga
membuat rambut sang adik menjadi semakin berantakan "Pergi sana ke kantin. Kamu pasti belum makan
siangkan? Kamu masih ada uang saku?" Tanya Agni.

Stevadit manganggukkan kepalanya. Kemudian tersenyum lebar sambil merapikan rambut yang
diberatakin oleh kakaknya "Stev udah besar kak. Nanti kegantengan Stev berkurang kalau kakak
berantakin seperti ini" Ujar Stevadit sambil berpura-pura cemberut.

"Bahkan sampai umur kamu 50 tahun keatas kamu masih tetap adik kakak" Ujar Agni membalikkan
kalimat yang Stevadit ucapkan.

Stevadit tertawa konyol. Dia menganggukkan kepalanya dengan semangat. Seolah sangat amat setuju
dengan apa yang kakaknya ucapkan. Agni hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis.
Membiarkan adiknya pergi semakin jauh.

"Dia ke kantin dengan tertawa seperti itu? Bagaimana kalau adikku disangka gila oleh teman-
temannya?" Tanyanya dalam hati

***

Berisik. Satu kalimat yang menggema di dalam kepala Stevadit ketika memasuki area kantin. Berdiri diam
beberapa detik untuk menyapu pandangannya diseluruh sudut kantin. Ngapain lagi kalau bukan mencari
kedua teman nakalnya.
Dia kemudian berjalan kearah teman-temannya. Dia mengkerutkan keningnya. Kenapa diantara sepasang
sendal jepit kusam ada sepatu bemerek fikirnya.

"Lo berdua udah pesenin makanan gua belum?" Tanya Stevadit sambil duduk di sebuah kursi yang telah
tersedia tepat di hadapan kedua temannya.

Matanya sedikit melirik sepatu bermerek yang kini ada disebelahnya. Dia seperti mengingat sesuatu tapi
'apa ya?' Fikirnya.

"Lo kenapa?" Tanya pria bergig gingsul yang sering di sapa Ryos oleh teman sekolahnya.

Stevadit hanya menggaruk kepalanya. Lalu kemudian mengangkat kedua bahunya dan mengambil
smartphone miliknya yang berada di saku celananya.

Wanita yang disebut Stevadit sepatu bermerek itu kemudian melirik Stevadit. Tanpa disadar senyum tipis
kini telah tercipta. Wajah serius Stevadit saat memperhatikan smartphone sunggu menarik perhatiannya.
'Oke. Gue kalah menarik dari smartphone' batinnya.

"Dit" Suara berat Al membuyarkan fokus wanita tersebut dari Stevadit "Kak Agni udah balik? Marah gak
dia?" Sambung Al lagi.

"Kak Agni marah sama Adit? Bisa kacau dunia. Denger ya Al. Kalau sampe Kak Agni marah si Adit gak
bakalan nongkrong disini. Dia pasti ngerayu Kak Agni supaya gak marah" Jawab Ryos. Jangan heran
dengan Ryos. Sifatnya memang seperti itu. Saat yang lain dibubuhi pertanyaan namun dia tau
jawabannya maka dia akan sesegera mungkin menjawabnya. Walau pertanyaan bukan ditujukan
untuknya.

Wanita tersebut hanya memperhatikan pembicaraan ketiga pria yang tengah duduk bersamaanya itu. Ya
walau sedikit bingung dengan arah pembicaraan mereka namun ia mencoba untuk mengerti.
"Shyl"

"Ya?" Panggilan Ryos membuat dia sedikit terkejut. 'Orang melamun dipanggil tiba-tiba ya kaget'
Batinnya.

"Lo kenapa pindah? Gak mungkin karna bermasalahkan?" Tanya Ryos sambil meminum jus miliknya yang
baru saja tiba.

"Papa di pindah tugaskan jadi aku ikut juga pindah" Jawab Shyla dengan senyum manis miliknya.

"Emang bokap lo kerja apa?" Nah untuk kali ini Al yang bertanya.

"Dokter"

"Dokter?" Tanya Al lagi.

"Iya. Rumah sakit tempat papa bekerja dulu ada cabang disini jadi papa dipercaya menjadi kepala dokter
disini" Jalas Shyla.

"Dokter ada kepala-kepalanya juga ya? Ah nyokap bokap gue kenapa pengen banget gue jafi dokter yak.
Pusing kepala gue"

Ketiga temannya hanya mendengar ocehan-ocehan yang keluar dari mulut Al. Bagi Al menuruti perintah
kedua orang tua adalah kewajiban tapi kalau untuk urusan dokter mungkin Al akan melalaikan
kewajibannya. Dia tidak ingin jadi dokter. Terserah jadi apapun asal jangan dokter.
"Udalah ikutin aja. Lagian lo juga pinter. Kalo lo bego bonyok lo gak bakalan ngebet supaya lo jadi dokter"
Ucap Ryos sambil menepuk-nepuk bahu Al seakan sedang memberi sebuah nasehat.

"Ah diem lo. Kaya hidup lo bener aja. Eyang lo minta lo nerusin perusahaan aja lo kabur entah kemana"
Ujar Al sedikit kesal dengan Ryos.

"Eh itu beda lagi. Masa iya gue langkahin bang Viel. Lagian gue kaya gitu supaya eyang itu percaya kalo
perusahaan itu bakal lebih baik di pegang bang Viel. Bukan gue yang sembrawutan ini" Bela Ryos.

"Lo sih pake acara lahir. Kalo engga pasti Viel yang jadi calom eyang" Ujar Stevadit sekenaknya. Seolah
apa yang dia bilang bukan berarti apa-apa.

"Lo sekali ngomong suka bikin sakit hati ya Dit" Cerca Ryos dengan raut muka yang menunjukkan
kekesalannya terhadal Stevadit.

Shyla yang memperhatikan perdebatan ketiga pria itu hanya dapat mengkerutkan kepalanya. Satu karena
dia memang tidak mengerti dan yang kedua karna dia heran dengan kelakuan tiga pria tersebut 'Apa
mereka selalu bertengkar seperti ini? Mereka musuhan atau sahabatan sih? Dasar aneh' Batin shyla.
Part 3

"Agni!!"

"Agnindya Haliandra!!"

Agni menoleh. Mencari seseorang yang telah memanggil namanya. Dia mengira dia hanya salah dengar
tapi ternyata tidak. Diujung sana seorang pria tengah tersenyum manis. Postur tubuhnya kurus dan
menjulang. Dia memakai setelan kemeja putih dengan dasi merah, sangat formal.

Agni berjalan kearah pria tersebut. Pria tampan yang entah mengapa bisa jatuh hati dengannya. Pria
tampan dengan sejuta kesabaran. Pria tampan yang sampai sekarang masih setia menunggu Agni untuk
memberikan hati kepadanya.

"Kamu dari tadi disini?" Tanya Agni setelah sampai tepat dihadapan pria tersebut.

"Tidak. Baru saja. Aku mau menghubungimu tapi aku melihatmu berjalan disana" Jawab pria tersebut
sambil menunjuk arah dengan menggunakan dagunya.

"Kamu gak kerja?"

"Kerja"

"Loh kok disini?"

"Jadi aku tidak boleh datang ke kampus pacarku untuk menemuinya?"


Pria tersebut kini melipat tangannya didada. Tersenyum sangat manis kepada Agni. Setiap wanita yang
melihat senyum itu mungkin akan terpana. Agni hanya menggeleng melihat pria yang berstatus
kekasihnya tersebut.

"Kamu harus kerja Viel. Kamu mau eyang marah sama kamu hem?"

Pria yang dipanggil Viel oleh Agni tersebut melepaskan lipatan tangan didadanya. Lalu kemudian
merengkuh Agni di dalam pelukannya.

"Aku udah mengisi seluruh ruang difikiranku untuk berkas-berkas kantor. Tapi ternyata kamu datang
kefikiranku. Berkasnya berterbangan entah kemana. Sehingga hanya ada kamu difikiranku"

"Kamu yakin aku yang datang kefikiranmu? Bukannya kamu yang mengundang aku datang kefikiranmu?"

"Hem. Mungkin saja iya. Aku tak perduli. Yang aku tau kamu ada difikiran aku. Dan kalau aku tidak
bertemu denganmu maka hariku akan kacau"

"Ehm, tapi Viel. Sebaiknya kamu melepaskan pelukanmu. Semua orang melihat kita sekarang"

Agni yang sedikit risih dengan tatapan berbagai orang disekitar mereka akhirnya memperingati Gavriel
untuk segera melepaskan pelukannya. Agni tau Gavriel hanya khawatir dengannya dan mungkin memang
Gavriel juga merindukannya saat ini.

"Ah. Maaf. Kamu terlalu berharga untuk dijadikan tontonan gratis" Ucap Gavriel sambil melepas
pelukannya dengan refleks.

"Gavriel" Nada halus Agni membuat Gavriel sedikit tersentak ketika ia sedang melihat orang-orang yang
ada disekitar mereka.
"Ya?" Jawabnya

"Jangan terlalu memujiku seperti itu" Ujar Agni dengan nada yang masih sama lembutnya namun
disertai senyuman yang membuat Gavriel semakin mengaguminya.

"Aku tidak memujimu. Aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya" Ujarnya dengan sangat jujur. Tidak
ada terpancar kebohongan dari bola mata indah tersebut. Yang ada hanya ketulusan. Ketulusan yang
membuat Agni semakin merasa bersalah.

"Oh iya bagaimana tadi? Mereka berulah apalagi hah" Sambung Gavriel.

"Katanya sih mereka melawan guru. Aku juga tidak tau pastinya"

"Tadi mama dateng gak? Dasar anak itu. Selalu buat ulah. Bagaimana kalau eyang tau. Pasti eyang
kecewa sekali"

Agni mengusap lengan Gavriel. Berharap dengan demikian Gavriel bisa sedikit lebih tenang.

"Jangan terlalu menekan Ryos. Kasihan dia. Coba kamu inget. Waktu dulu. Sewaktu mereka SMP mereka
juga berbuat ulah. Tapi karena itu kita akhirnya bertemukan?"

Viel tertawa kecil. Ingatannya kembali kemasa lampau. Masa dimana dia kesal dengan Ryos yang selalu
membuat ulah. Tapi untuk kali pertama dia berterimakasih secara langsung dengan Ryos atas kelakuan
nakalnya itu. Ia berterimakasih karena kenakalan Ryos, Stevadit, dan Al akhirnya dia bertemu malaikat
berwujud wanita cantik yang kini menjadi kekasihnya.

Viel tersenyum dan mengusap kepala Agni dengan lembut "Setiap orang punya batas kesabaran sayang"
Ujarnya kemudian.
"Jadi? Hanya karna Ryos dan teman-temannya seperti itu batas kesabaran kamu habis?"

"Engga. Bukan aku. Tapi mama. Aku takut mama bakal aduin Ryos ke eyang"

"Maka dari itu kalau Ryos ada masalah kamu yang dateng. Jangan kerja terus. Ryos pasti kangen
abangnya yang dulu. Yang selalu ada untuk dia"

Viel kembali tersenyum. Dia merasa jadi pria yang paling beruntung karena mendapatkan Agni. Agni
seperti malaikat. Dia tidak berbohong ataupun berlebihan. Dia hanya berfikir sesuai dengan apa yang dia
lihat. Agni punya hati yang sangat tulus. Entah kenapa Viel sangat yakin jika adik Agni yaitu Stevadit
seandainya diberi pilihan antara orang tua mereka dengan Agni pasti Adit akan memilih Agni.

Mungkin kalian akan berfikir Stevadit adalah anak yang sangat kurang ajar, tidak tau diri, pembangkang,
dan hal buruk lainnya. Kalian hanya belum mengenal Stevadit. Kalian belum bisa merasakan apa yang
Stevadit rasakan. Kalian belum sepenuhnya tau Stevadit. Dari Agni dan Stevadit, Viel akkhirnya belajar
sebuah ketulusan. Ketulusan yang belum pernah dia rasa sebelumnya. Ketulusan Agni dan Stevadit
seolah menyebar ke orang-orang sekeliling mereka. Seolah ketulusan tersebut terlalu besar sehingga
berhamburan entah kemana.

"Iya. Lain kali pasti aku yang dateng" Ujar Gavriel dengan senyum manisnya.

"Kamu masih ada jadwal kelas? Oh iya. Bagaimana dengan beasiswa itu? Kamu terima?" Tanya Gavriel.

"Aku mana bisa ninggalin Stevadit dengan kelakuannya yang masih saja seperti itu" Desah Agni.

"Adit biar aku yang urus"

"Kamu?" Tanya Agni seperti tak yakin.


"Iya"

"Luangin waktu buat Ryos saja kamu sulit. Apalagi untuk Stevadit. Stevadit itu butuh perhatian. Kalau
bukan aku yang kasih perhatian lalu siapa lagi?"

"Kan masih ada mama dan papa kamu"

"Viel. Kamu tau kan. Mereka itu terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri. Aku gak mau biarin Stevadit
kesepian"

Viel mengangguk. Membenarkan apa yang Agni ucapkan. Viel selalu merasa bangga tiap Agni berbicara.
Seperti, semua apa yang Agni ucapkan selalu benar. Apa memang benar? Atau semua tersebut menjadi
terasa benar karena dia mencintainya?

***

Jika ditanya bagian mana yang paling disukai anak sekolahan, maka jawabannya ialah pada saat bel
pulang berbunyi. Teriakan dan tertawaan menyatu menjadi satu. Waktu pulang adalah waktu dimana
seluruh murid seakan merasa terbebas dari jeratan yang tak kasat mata.

Saat ini Stevadit, Ryos, dan Al beserta satu pasukan baru yaitu Shyla berjalan berbarengan dari ruang
kelas menuju parkiran. Shyla bukannya tak mendapatkan teman perempuan akan tetapi dia merasa lebih
nyaman bersama tiga pria nakal tersebut. Entah apa dan siapa yang membuat ia nyaman. Ia tidak terlalu
memperdulikannya. Yang ia tau, ia harus bersama mereka karena ia merasa nyaman.

"Shyl! Rumah lo dimana?" Tanya Ryos.

"Perumahan Gahari. Jalan Merpati" Saut Shyla.


"Loh? Al juga disana. Al Blok F3 kalau Lo?" Tanya Ryos yang sedikit tak menyangka ternyata Al dan Shyla
satu lingkungan perumahan. Begitu juga Al yang tengah mengkerutkan dahinya. Dia merasa tidak pernah
berpapasan dengan Shyla. Ah dia ingat. Shyla dan keluarganya baru saja pindah.

"Blok A5"

"Oh. Lo naik apa pulang pergi?" Tanya Ryos lagi. Memang dari antara mereka bertiga, Ryos lah yang
paling aktif berbicara tentang apapun itu.

"Di jemput supir"

"Mending lo sama Al aja pulang perginya" Saut Stevadit namun masih fokus dengan smartphone
ditangannya.

Shyla hanya melihat sekilas Stevadit. Dia heran, apa yang sedari tadi pria tersebut lihat di smartphone
miliknya "Supir lo udah dateng belum?" Suara Al kemudian memecahkan lamunannya tentang Stevadit.

"Kayanya sih belum" Jawab Shyla sambil menaikkan kedua bahunya.

"Yaudah lo hubungi supir lo supaya gak jemput lo. Lo bareng gue aja" Ucap Al.

Shyla hanya memandang Al tanpa melakukan apa yang Al perintahkan. Al yang merasa dipandang
kemudian melihat kearah Shyla. Dia hanya menaikkan kedua alisnya seolah sedang bertanya 'kenapa?'.

"Eh tapi sorry. Gue gak pakai mobil ke sekolah. Gue pakai motor. Kalau lo mau yuk. Kalau enggak yaudah"

"Eh. Jangan salah paham. Gue mau kok. Gue lebih seneng naik motor malah" Sanggah Shyla sebelum Al
menjadi salah paham terhadapnya. Dia sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Yang dia fikirkan
yaitu sikap Al. Ternyata sikap Al tak sedingin Stevadit. Atau karna dia belum mendalami ketiga teman
barunya ini makanya dia tidak terlalu mengerti. Mungkin saja seperti itu, fikirnya.

"Yaudah yuk. Gue parkir motor disana. Bro! Gue deluan" Seru Al terhadap teman-temannya.

Shyla dan Al kemudian berjalan menuju motor Al yang tengah terparkir dibagian ujung parkiran.
Sedangkan Adit memarkir motor miliknya tak jauh-jauh. Dia sangat malas berjalan menyusuri parkiran.
Dan Ryos berbelok kearah parkiran mobil. Ya Ryos sangat jarang pakai motor ke sekolah. Dia lebih
nyaman memakai mobil.

"Sorry ya. Motor gue gak sebagus motor Adit. Maklum, bonyok gue cuman PNS biasa" Seru Al sambil
memakai Helm fullface miliknya.

"Eh gak masalah kok"

"Kalau lo mau berubah fikiran juga gak masalah"

"Ih apaan sih. Kok sensi banget" Saut Shyla sambil mengambil secara paksa helm yang berada di tangan
kanan Al.

"Ya bukan gitu. Gue takut lo gak nyaman karna motor gue yang kaya gini"

"Malah sekarang gue marasa gak nyaman bukan karna motor lo. Tapi karna sikap lo yang kaya gitu" Ujar
Shyla sambil memakai helm milik Al.

"Iya iya sorry. Kok jadi lo yang sensi"

"Bodo!"
"Yaudah buruan naik. Mau jadi penghuni sekolah?"

"Ih!! Lo kok jadi ngeselin gini sih?" Kesal Shyla sambil menghentak kaki kanannya.

"Yaudah tinggal naik aja ribet. Buruan. Gue udah ada janji"

"Iya iya bawel" Gerutu Shyla namun tetap mengikuti perintah Al untuk naik ke atas motor milik Al.

"Jangan kenceng-kenceng. Ingat! Ada wanita cantik dibelakang lo yang pakai rok" Ujar Shyla lagi sambil
menutup roknya dengan tas selempang miliknya.

"Lo cerewet juga ya. Perasaan gue kemarin gonceng kak Agni gak secerewet elo" Ucapan Al hampir saja
tidak terdengar oleh Shyla akibat helm fullface yang Al kenakan.

"Emang waktu itu kak agni pakai rok?" Tanya Shyla sambil mempertajam pendengarannya. Rasanya
wajar saja apa yang dia bilang. Gak ada unsur cerewetnya sama sekali. Mungkin Kak Agni yang setau
Shyla kakaknya Adit sedang tidak memakai rok waktu Al menggoncengnya.

"Iya"

Shyla merasa tak yakin. Dia berfikir apa jangan-jangan kak Agni sama cueknya dengan Adit. Mereka adik
kakak pasti ada kesamaannya. Pasti mereka sama-sama cuek, dingin, dan mungkin kak Agni juga sama
nakalnya dengan Adit. Banyak hal yang membuat ia penasaran dengan Adit dan sepertinya ia akan
penasaran juga dengan Kakaknya Adit. 'Astaga Duo Haliandra itu memang aneh' Batinnya
PART 4

"Stev!! Ayo bangun! Kamu mau telat ya? Jangan buat masalah lagi Stev!"

Suara ketukan pada pintu berbahan dasar kayu itu masih tetap terdengar. Agni masih saja dengan
gigihnya membangunkan adik nakalnya itu. Jika adiknya itu keluar dia telah mempersiapkan berbagai
omelan khas miliknya. Kedua orangtua mereka seperti biasanya sedang tak berada di rumah. Agni sudah
terbiasa dengan situasi seperti ini. Situasi dimana dia merasa menjadi ibu rumah tangga yang harus
menyiapkan berbagai keperluan bayi besarnya.

"Iya Kak!! Stev udah bangun ini" Jawab suara dari dalam kamar itu.

"Jangan hanya bangun saja! Cepat mandi! Kakak tunggu dibawah! 15 menit harus siap!"

Setelah mengeluarkan titah tak terbantah, Agni langsung saja turun kebawah. Berjalan menuju dapur
untuk mempersiapkan sarapan dirinya dan bayi besarnya yang 'nakal'.

Dering telfon membuat aktivitas Agni terhenti. Ia kemudian melihat siapa yang telah menghubunginya.
Kerutan pada dahinya tecetak jelas. Dia kemudian menghembuskan nafasnya dengan kasar. Ia berfirasat
akan menjalani hari ini dengan cukup melelahkan.

"Hallo Pak Novianto" Ujarnya setelah menekan tombol hijau pada layar smartphone miliknya.

"Maaf mbak mengganggu. Saya baru dapat kabar bahwasanya Mr. Conforti akan mengunjungi
perusahaan kita"

"Siapa dia? Dan apa hubungannya denganku?" Tanya Agni heran.


"Mr. Conforti adalah pemilik terbesar saham perusahaan mbak. Dan karena Bapak Haliandra sedang
tugas luar kota jadi saya ingin anda menggantikan beliau"

Agni mendengus kesal. Ia masih terlihat bingung. Ia kemudian memijat pelipisnya. Hari ini dia ada tiga
mata kuliah dan jika dia pergi ke kantor maka dia akan meninggalkan tiga kelas sekaligus.

"Saya tidak bisa. Dan lagian kenapa harus saya? Biasanya Pak Novianto yang selalu menggantikan Papa.
Tapi kenapa sekarang harus saya?"

"Pak Haliandra sendiri yang meminta anda untuk menemui Mr. Conforti"

"Bilang saja Papa masih tidak ikhlas sebagian besar saham perusahaannya jatuh ketangan orang lain. Jika
Papa ingin menjodohkan saya, maka saya akan dengan tegas menolaknya"

"Maaf mbak. Saya tidak tahu menahu tentang masalah itu"

"Tentu Pak Novianto tau. Saya tidak bodoh. Jadwal saya penuh hari ini. Saya tidak akan menemuinya"

Setelah mengucapkan kalimat tersebut Agni langsung saja mematikan sambungan telfonnya.

Kesal.

Itu yang ia rasa. Ingin marah tapi tidak bisa. Dia sadar akan posisinya saat ini. Sebagai anak tertua dia
harus melakukan tanggung jawab besar. Percuma statusnya sebagai wanita. Wanita seusianya diluar sana
pasti dengan bahagianya menghambur-hamburkan uang milik orangtua mereka. Tapi sepertinya hal
tersebut tidak berlaku untuk Agni. Mengurus diri sendiri, kuliah, perusahan, rumah, dan bayi besarnya
cukup menyita waktunya. Dia benar-benar tidak punya waktu untuk bersenang-senang.
"Kak. Kenapa sih? Kelihatannya kesal banget? Sarapannya mana? Kok mejanya masih kosong? Stev laper
kak. Kalau Stev nunggu kakak masak pasti lama. Keburu telat Stev. Katanya lima menit. Stev udah cepat-
cepat eh makanannya belum siap. Ta.." Belum sempat Stevadit melanjutkan ucapannya Agni langsung
memotongnya. Pusing mendengar segala ocehan yang keluar dari mulut adiknya itu.

"Stev tolong diem. Kakak tambah pusing dengerin kamu ngoceh terus" Agni sedikit frustasi dengan
tingkah adiknya itu. Ia hanya dapat mengucapkan kalimat tersebut lalu meletakkan kedua tangannya
disisi pinggangnya dan menatap Stevadit. Berharap Stevadit akan sadar bahwa ia tengah kesal.

"Kakak kenapa?" Tanya Stevadit yang tampak heran melihat kakaknya berdiri mematung dihadapannya.

"Kakak marah"

"Yasudah marah saja. Stev bakal jadi pendengar setia. Kalau sampai telat Stev rasa tidak masalah" Stev
kemudian menduduki kursi yang berada tepat dihadapannya. Menopang dagunya dan menatap Agni
dengan polosnya.

Agni menyerah. Sudah cukup dia menghadapi kelakuan adiknya itu. Ini masih pagi hari dan dia seakan
mau gila.

"Kenapa?" Tanya Stevadit yang melihat kakaknya hanya mendengus.

"Apanya yang kenapa?" Tanya Agni kembali.

"Kenapa tidak jadi marah?"

"Jadi kamu senang lihat kakakmu ini marah?"


"Tidak juga. Hanya saja aku senang mendengar kakak berbicara. Mau bagaimanapun nada dan
tekanannya akan tetap sama bagi Stev" Stevadit tersenyum melihat sang kakak mengernyit tanda
bingung. "Suara kakak instrument favorite Stev" Ujarnya lagi.

Terlihat Agni menghembuskan nafasnya. Lalu tersenyum lembut. Ia tidak akan pernah bisa marah
dengan adiknya itu. Ia kemudian berjalan menuju Stevadit dan memeluknya erat. Agni sangat
menyayangi adiknya. Itu yang ia tau. Tidak ada yang boleh menyakiti perasaannya ataupun menekan
batinnya. Tidak seorangpun termasuk papanya. Dia akan menjadi orang pertama yang melindungi
adiknya.

"Tolong buat kakak bisa memarahimu sekali saja" Permintaan yang konyol. Stevadit terkekeh begitu juga
Agni. Ia kemudian mengacak rambut adiknya. Senang rasanya melihat ia kesal karena rambutnya yang
telah berantakan akibat ulah Agni.

"Kenapa senang sekali membuat rambutku berantakan hah?" Ujar Stevadit seraya merapikan kembali
rambutnya dengan jari-jari tangannya.

"Biasanya rambut kamu juga berantakan. Tapi kenapa saat kakak yg berantakin kamu kesal? Gak adil"
Seru Agni.

"Sekali-sekali rambut Bang Viel tuh berantakin. Jangan Stev mulu"

Agni hanya diam menanggapi ucapan Stevadit. Dia tersenyum senang melihat ekspresi adiknya. Dia
sangat yakin sekali bahwasanya hanya dirinya seoranglah yang dapat melihat ekspresi menggemaskan
itu. Di luar sana Stevadit hanya akan menjadi sosok yang super cuek.

"Kenapa diem?" Tanya Stevadit sambil menaik turunkan alisnya "Gak berani buat gitu sama Bang Viel
ya?" Sambunnya lagi sambil tertawa renyah.

"Mulai deh ngeselinnya"


"Siapa yang ngeselin coba? Emang kenyataannya gitukan? Udah deh kak. Jangan di paksain. Kalau kakak
gak cinta ya udah. Jangan buat urusan cinta itu jadi suatu hal yang ribet" Stevadit mengatakannya
dengan sangat santai namun juga terlihat serius.

Agni hanya menghela nafasnya dengan kasar. Bingung. Itu yang ia rasa. Ia memang tak pernah mencintai
Gavriel tapi bukan berarti ia tak pernah mencoba. Ia telah mencoba semampunya untuk mencintai pria
itu. Tapi. Lagi-lagi gagal. Dan akan selau gagal sepertinya. Entah sudah berapa kali ia menolak Viel secara
langsung maupun tidak langsung tapi Viel masih tetap pada pendiriannya memperjuangkan cintanya.

Sampai pada malam itu Viel mengatakan perasaannya entah untuk keberapa kalinya. Pernyataan
berbalut permohonan. Agni tidak bisa melihat Viel seperti itu. Melihat Viel yang seakan ingin hancur.
Kacau dan berantakan. Viel janji akan membuat Agni mencintainya. Memohan agar Agni mau
memberinya kesempatan. Membiarkan ia mencoba untuk menakhlukkan hati wanita itu.

"Jangan melamun kak"

Suara Stevadit membuat Agni tersentak. Mengembalikan fikirannya yang tadi telah berkelana kemasa
lalu. Masa dimana Agni sulit mengambil keputusan.

"Stev tau kakak udah berusaha semampu kakak. Dan Stev tau juga kakak pasti gagal. Karna kita gak bisa
memilih dengan siapa kita jatuh cinta kak. Munculnya cinta itu bukan terencana. Tidak terjadwal. Kita
tidak bisa membuat planning akan jatuh cinta pada jam keberapa, hari apa, dan pada siapa"

"Viel orang yang baik. Kakak fikir akan sangat mudah jatuh cinta dengannya. Tapi ternyata"

"Kakak salah" Potong Stevadit.

"Iya kakak salah" Setuju Agni seraya menghembutkan nafas beratnya kembali.
"Stev cuman takut. Suatu saat kakak ketemu seseorang yang buat jantung kakak kacau. Berdetak dengan
tempo yang acak kadut. Tapi sayang kakak masih kepunyaannya Bang Viel. Saat kakak dalam keadaan
seperti itu, kakak udah berselingkuh. Berselingkuh hati"

Agni terkesiap. Ia tidak pernah sampai berfikir sejauh itu. Agni takut. Gamang. Resah. Fikirannya kacau.
Jika ia ingin mengakhiri hubungan dengan Gavriel maka itu akan menyakiti hati Gavriel. Dan Agni tidak
ingin melakukan hal itu. Tapi jika Apa yang dikatakan Stev terjadi maka Gavriel akan sama sakitnya juga.

"Stev tau kakak sedang bingung. Tapi.. " Ucapan Stevadit menggantung. Ia melihat Jam yang berada di
pergelangan tangannya lalu menunjukkannya ke Agni "Stev sudah terlambat. Dan agar tidak terjadi
masalah maka kakak harus ikut Stev ke sekolah dan berbicara dengan Guru Kedisiplinan. Buat alasan
yang bagus ya kak" Ucap Stevadit seraya mengedipkan sebelah matanya.

Agni mendengus kesal. Pagi hari yang sangat kacau. Bisa-bisanya dia bercerita panjang lebar dengan
adiknya sampai lupa jika Stevadit itu adalah pelajar yang masih menempuh pendidikan dengan kata lain
harus bersekolah.

"Sial" Batinnya.
PART 5

Jakarta benar-benar menyesakkan. Sangat sulit pergi kemana-mana dengan tenang, nyaman, dan tanpa
menunggu. Jika kamu telat maka kamu akan semakin telat.

Menunggu.

Dijalanan.

Dengan hiruk pikuk.

Yang mengesalkan.

"Akhirnya" Gumaman itu terdengar setelah sekian lama menahan kesal.

"Kamu tunggu disini kakak mau ketemu satpamnya biar dibukain" Ujar Agni seraya turun dari mobilnya
dan berjalan kearah pagar yang tertutup. Cukup lama negosiasi yang terjadi sampai-sampai membuat
Stevadit mendengus kesal "Satpam aja belagu. Kaya dia aja kapala yayasan" Ujar Stevadit jengah.

Terlihat Agni berjalan kearah mobilnya. Kemudian memasuki mobilnya dan langsung menghempaskan
dirinya di kursi pengemudi.

"Kenapa?" Tanya Stevadit

"Kakak rasa satpam kalian sedikit mengesalkan"

"Tolong ganti kata sedikit dengan kata sangat. Stev lebih setuju dengan yang itu"
Agni terkekeh. Pantas Stevadit dan teman-temannya selalu mengeluhkan satpam sekolah mereka. Agni
fikir merekalah yang terlalu berlebihan membenci ternyata tidak.

Setelah menyelesaikan kepentingannya dengan guru kedisiplinan maka Agni segera meluncur ke
rumahnya. Mempersiapkan diri untuk segera ke kampus tercinta. Lagi-lagi dering telfon membuat Agni
menghentikan aktifitasnya. Dengan tak bersemangat dia kemudian mengangkat panggilan tersebut.
Seakan dia tau bahwa panggilan tersebut hanya akan membuat suasana hatinya kacau.

"Hallo" Sapa suara di seberang sana. Terdengar keras dan dingin.

"Ada apa pa?" Tanya Agni langsung tanpa basa-basi.

"Kenapa kamu tidak ingin bertemu Mr. Conforti!? Kamu ingin membuat malu papa hah!?"

Agni mendengus jengah mendengar bentakan dari seberang sana. Tak ada rasa takut, kecewa, ataupun
sedih dan sebagainya.

"Agni tidak ingin di jodohkan" Ucapnya langsung.

"Kamu yang dijodohkan atau adikmu yang dijodohkan!? Cepat pilih!!"

Nada disebrang sana semakin kuat saja. Dari satu oktaf naik ke oktaf satunya lagi. Agni bahkan secara
refleks menjauhkan handphone tersebut dari telinganya.

"Papa udah janji untuk tidak mengatur masa depan Stev. Papa udah janji untuk tidak mebuat Stev
tertekan. Papa udah janji tidak akan membuat Stev terluka lagi. Apa papa lupa?"
Tidak ada sedikitpun keraguan dalam ucapan Agni. Dia seakan ingin membuktikan bahwa apapun yang
terjadi tidak ada yang boleh menyakiti adiknya. Tidak ada. Siapapun itu. Tanpa terkecuali.

"Jangan membuat saya semakin marah. Besok temui Mr. Conforti. Novianto akan mengatur jadwalnya"

Dan setelahnya sambungan terputus. Apa itu sebuah perintah? Yah itu perintah. Apa Agni kesal? Tentu.
Apa Agni tidak akan menurutinya? Agni akan menurutinya. Agni adalah tipe manusia yang tidak ingin
mengambil pusing suatu permasalahan. Jika permasalahannya bisa diselesaikan dengan segera maka ia
akan melakukakannya. Disamping itu ia sadar. Papanya adalah tipe manusia yang sulit diajak kompromi,
keras kepala, dan ambisius. Agni takut jika dia tidak menuruti perintah papanya maka adiknya yang akan
menjadi sasaran empuk sang papa. Dan dia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

Agni segera memasukkan buku-buku yang ia perlukan kedalam tasnya. Mendengar suara deruh mobil
dari arah depan rumahnya ia segera melihat kearah jendela kamarnya. Mobil yang sudah sangat ia hapal
terparkir apik didepan rumahnya. Tak ingin membuat seorang pria menunggu akhirnya agni segera
berlari menuju luar rumah untuk bertemu sang pemilik mobil.

"Hai Viel" Sapanya setelah memasuki mobil tersebut "Kan udah aku bilang gak usah jemput. Kenapa
kamu jemput?" Tanyanya.

Pria itu tersenyum kemudian menghidupkan mesin mobilnya dan menjalankannya secara perlahan.

"Oh iya besok aku gak bisa temenin kamu kerumah eyang. Gak papa kan?" Tanya Agni ragu.

Gavriel hanya mengernyitkan dahinya. Bingung yang ia rasa. Ia tatap Agni seolah melalui mata ia sedang
bertanya 'kenapa' pada Agni.

Agni yang melihat itu menggaruk tengkuk kepalanya yang sudah pasti tidak gatal. Ia bingung harus
menceritakan masalah perjodohan itu atau tidak. Tapi ia merasa Viel berhak tau. Viel saat ini adalah
kekasihnya dan Viel wajib tau masalah ini.
"Kamu jangan marah ya.?" Kalimat yang terlontar dari mulut Agni seperti sebuah perintah namun juga
seperti sebuah pertanyaan. Hal tersebut membuat Viel sedikit curiga.

"Kamu kenapa?" Tanya Gavriel akhirnya.

Agni menghela nafasnya cukup kasar. Kemudia ia menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi mobil
tersebut "Aku besok bertemu Mr. Conforti" Mulainya. Dan Gavriel hanya menjadi pendengar setia saat
ini.

Agni memutar pandangannya kearah gavriel. Menatap Gavriel dengan sedikit khawatir. "Mr. Conforti
pemilik saham terbesar perusahaan papa sekarang" Sambungnya.

"Aku sepertinya tidak asing dengan nama itu" Ujar Gavriel sambil mengingat-ngingat sesuatu.

"Mr. Conforti dan aku ak.." Belum sempat Agni menyelesaikan ucapannya, Gavriel langsung
memotongnya "Ah iya! Aku ingat Sayang" Seru Gavriel.

Agni terlihat bingung. Gavriel yang melihat tatapan Agni langsung tertawa kecil "Aku ingat, dia itu tuan
Giraldo Conforti. Punya beberapa saham juga di perusahaan keluarga kami".

"Serius?" Tanya Agni tak yakin. Hatinya sedikit resah. 'Masa iya papa mau jodohin aku sama pria tua'
Batinnya.

"Iya sayang. Masa iya aku bohong. Emang kenapa? Kok kamu kayak gak yakkin gitu?"

"Umurnya berapa?" Tanya Agni lagi tanpa menghiraukan pertanyaan Gavriel.

"Sekitar 60 tahunan. Emang kenapa?"


"Masa iya! Kamu bohong ya!? Papa gak segila itu juga. Aku gak percaya"

"Hah?" Heran Gavriel yang melihat Pacarnya sedang kesal tanpa sebab.

"Papa mau jodohin aku sama Mr. Conforti"

Decit mobil yang di rem mendadak terdengar tiba-tiba. Jika saja mereka tidak memakai seat belt maka
bisa dipastikan kepala mereka akan membentur dashboard.

Agni yang hendak protes langsung saja menunda niatnya. Bagaimana mungkin dia protes jika sudah
melihat tatapan tajam Gavriel.

"Apa papa kamu benar-benar tidak menganggap aku sebagai pacarmu?" Pertanyaan tersebut keluar
begitu saja. Agni yang mendengarnya hanya dapat menghela nafas.

"Aku minta maaf" Ujar Agni akhirnya.

"Kamu gak salah" Kalimat tersebut mengakhirnya perbincangan yang ada. Mobil kembali dihidupkan.
Berjalan dengan kecepatan yang normal. Agni dan Viel sama-sama bergelut dalam fikiran mereka
masing-masing. Memikirkan tentang akhir dari semuanya.

Ditempat lain. Putra tunggal haliandra yang terkenal nakal ini bahkan tidak sempat mengikuti pelajaran
pertamanya. Baru saja ingin memasuki kelas, bel pertanda istirahat burbunyi cukup kencang. Hal
tersebut tentu saja tidak membuat Stevadit kesal. Dia sangat bahagia karena tidak mengikuti pelajaran
pertama.

"Woi Dit!! Dari mana aja lo?" Teriak Ryos dari arah tempat duduknya. Stevadit yang masih berdiri di
depan pintu kelas kemudian berjalan kearah teman-temannya.
"Biasalah. Gue telat"

"Loh kok bisa masuk?" Tanya Ryos lagi.

"Kak Agni udah minta izin"

"Nasib lo punya kakak yang super baik kayak gitu" Sambung Al. Dan Stevadit hanya menjawab dengan
sekedarnya "yoi".

Perbincangan mereka terus berlanjut tanpa ada satupun dari antara mereka yang berniat pergi ke kantin.
Begitu juga Shyla, yang dengan setianya ikut masuk kedalam pembicaraan mereka.

"Yaelah. Jangan dilihatin aja. Kejar sono" Seru Ryos saat melihat fokus Al yang kini terganti dengan
dengan seorang siswi yang berjalan melewati kelas mereka.

"Dia lagi marah sama gue" Saut Al dengan jengah.

"Makanya kalau punya pacar dikasih perhatian. Jangan sibuk sendiri lo"

"Mulut lo lemes banget ya yos. Males gue"

"Haha.. Sorry bro. Gue gak kepingin aja lihat lo kacau kalau seandainya Fia berpaling hati" Suara tawa
Ryos terdengar cukup keras. Al yang kesal langsung saja memukul kepala Ryos dengan buka yang telah ia
gulung.

"Au!! Sakit bego"


"Makanya kalau ngomong jangan ngasal. Gak ada yang boleh ngambil Fia dari gue" Ujar Al dengan tegas.
Kalimat yang keluar dari mulutnya seolah adalah sebuah perintah yang harus dipatuhi.

Ryos yang melihat itu sedikit bergidik. Cukup dia menggoda Al, sebelum dia berubah menjadi sate guling
"Oke-oke. Gue tau. Lifia hanya milik Al seorang" Ucapnya.

"Oh iya. Semalem Lifia telfon gue. Sebenernya dia mau telfon Ryos tapi gak aktif" Ucap Stevadit yang
sedari tadi hanya melihat pertengkaran antara dua sahabatnya.

Al heran. Kenapa pacarnya malah menelfon Adit. Bahkan telfon darinya sekalipun tidak diangkat.

"Dia nitip pesan sama lo. Kalau memang mau putus langsung bilang aja sama dia. Gak perlu pake acara
selingkuh dulu. Entar nambah dosa. Gitu katanya"

Al semakin heran. Kapan dia berselingkuh? Fikirnya. Bahkan sedetikpun dia tidak ada niatan buat
berselingkuh dari Fia. Ya memang dulu Al terkenal playboy. Sampai-sampai sulit sekali menyakinkan Lifia
kalau dia sudah berubah. Dan sekarang dia memang sudah berubah. Fia sudah cukup untuknya.

"Sekarang gue udah punya dia. Gue gak butuh yang lain. Dia mewakili semua yang gue butuh" Ucap Al
seraya bangkit dari duduknya dan berjalan keluar kelas.

"Woi lo mau kemana!!?" Teriak Ryos "Mau ketemu masa depan" Jawabnya.

"Emang Al udah punya pacar?" Tanya Shyla yang sedari tadi hanya bengong mendengar pembahasan
mereka.

"Udah. Namanya Lifia Desi anak 11 IPA 1" Jawab Ryos.


"Dan mungkin Fia cemburu karna lo" Sahut Stevadit sekenaknya.

"Loh kok gue?" Heran Shyla. Perasaan dia gak pernah tuh berdekatan dengan Al. Dia saja baru masuk
kesekolah ini kurang dari seminggu.

"Kan kemarin lo goncengan sama Al. Kebetulan banget Al lagi marahan sama Fia eh lo nya nongol" Ucap
Ryos dengan santai.

"Yah tapi itukan saran dari kalian. Ah kalau tau gitu gue juga ogah kali" Seru Shyla yang kini merasa
terpojokkan.

"Haha.. santai aja. Gak usah manyun gitu. Jelek tau gak? Fia memang kalau sama Al itu manja banget.
Cemburuan juga" Ujar Ryos yang tengah melihat ekspresi muka Shyla tak tertolong.

"Berarti memang Fia gitu orangnya. Gak salah gue dong"

"Fia gak gitu orangnya. Dia cuman manja dan cemburuan gitu sama Al aja. Sama mantan-mantanya yang
dulu gak kaya gitu"

"Kok lo tau banget?"

"Ya diakan sepupu gue" Ucap Ryos dengan santai.

Hal tersebut membuat Shyla semakin bingung. Apa ketika dia benar-benar masuk di dalam kehidupan
mereka maka kehidupannya akan sama rubetnya dengan mereka? Dia males punya kehidupan yang
super ribet "Ih kehidupan kalian ribet. Udah ah gue mau ke kantin aja" Ujar Shyla akhirnya.

"Eh gue ikut juga. Tungguin gue laper" Teriak Ryos sambil berlari mengehar Shyla.
Sementara Stevadit yang hendak mengikuti Ryos terhenti ketika membaca pesan dari sang kakak.

"Besok kamu harus gantiin kakak ke panti. Kakak ada urusan besok. Tunggu disana sampai teman kakak
dateng. Kakak udah ada janji dengannya"

"Aduh apes banget sih gue. Gagal deh latihan basket besok. Nasib"
PART 6

"Eh dek hati-hati. Aduhh"

"Itu kamu jangan manjat pohon. Kalau jatuh gimana?"

"Dia masih bayi. Astaga. Jaga jarak! Bayi masih sensitif adek"

"Kalian berdua jangan lari keluar pager! Banyak kendaraan"

"Aduh!! Kak Agni!! Gue salah apa!!"

"Seharusnya hari ini gue ngejarin bola. Bukannya anak kecil"

"Kak Agni!!"

Begitulah sedikit banyak kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Stevadit. Dulu dia juga pernah ke panti
menemani Agni tapi kelakuan anak kecil yang selalu mengerjainya membuat ia sedikit tidak menyukai
anak kecil. Ibu panti dan para suster yang sedari tadi duduk di teras panti hanya tertawa melihat tingkah
Stevadit. Menurut mereka hal tersebut sangatlah lucu. Walaupun Stevadit kesal namun ia tidak pernah
sedikitpun berlaku kasar terhadap mereka. Hal tersebut membuat ibu panti semakin bangga dengan
keluarga Haliandra.

Memang, setiap Agni datang memberikan donatur ataupun sumbangan dalam bentuk apapun. Agni
selalu melakukannya atas nama keluarga Haliandra. Bukan atas nama dirinya sendiri. Agni hanya ingin
ada yang selalu mendoakan keluarganya. Terutama kedua orang tuanya. Agni tidak ingin hanya doa
dengan isi yang buruk saja yang menjumpai mereka. Agni ingin segala doa baik menghampiri mereka dan
mengalahkan doa-doa jahat dari pesaing kedua orang tuanya.
Kesibukan Stevadit terhadap anak-anak panti membuat Stevadit tidak menyadari suatu hal. Menyadari
bahwasanya gadis yang tengah duduk di rumah kayu dekat taman bunga ibu panti itu sedang
memperhatikannya dengan senyum yang selalu mengembang tiap detiknya.

Gadis tersebut mengayun-ayunkan kaki jenjang miliknya. Sesekali tawa kecil keluar dari mulut manisnya.
Ia sangat fokus dengan apa yang ia lihat. Seolah pandangannya saat ini hanya terpaku untuk pria itu saja.
Pria aneh yang seketika telah mencuri perhatiannya.

"Dia selalu berteriak memanggil Kak Agni. Apa dia adik Kak Agni?" Gumamnya.

"Ah dia beda dengan kak Agni. Tapi aku suka" Gumaman itu terus saja keluar dari mulut gadis itu.
Sekarang ia yakin. Fikirannya telah disita oleh pria aneh yang notabene adalah adik dari wanita yang
sangat ia kagumi.

Ia kemudian bangkit dari duduknya. Berjalan kearah Stevadit yang masih saja kesusahan mengatur anak-
anak panti. Tinggal beberapa langkah lagi maka ia akan berdiri sejajar dengan Stevadit. Tapi wangi tubuh
Stevadit membuat bibirnya lebih mengembang lagi.

'Mungkin aku akan bertanya merek parfum yang ia gunakan' Batinnya.

"Hai" Sapanya kemudian, setelah ia mensejajarkan diri tepat disebelah kanan Stevadit.

Sapaan itu membuat Stevadit sedikit tersentak. Membagi fokusnya antara anak-anak yang hendak keluar
pagar dengan gadis cantik yang tengah tersenyum manis kepadanya.

Gadis itu mengulurkan tangannya. Membiarkan Stevadit menyalam tangan itu. "Allysa" Ucapnya.
Stevadit tersenyum ramah. Baik. Baru kali ini Stevadit tidak cuek dengan orang baru. Ini pertanda apa?

"Stevadit. Adiknya Kak Agni. Kamu Allysa kenalannya Kak Agni itu kan?" Tanya Stevadit dan dibalas
dengan anggukan semangat oleh Allysa.
"Aku tidak percaya kak Agni menyembunyikan malaikat dariku"

"Hah?" Gumam Allysa yang kurang mendengar secara pasti apa yang Stevadit katakan.

"Ah. Tidak. Bukan apa-apa kok" Sambut Stevadit sambil tertawa kikuk.

Allysa hanya tersenyum menanggapi tawa kaku dari Stevadit. Ia kemudian mengedarkan pandangannya
kearah anak-anak panti yang semakin jauh berpencar.

Ia memandang Stevadit yang kini juga tengah melihat kelakuan anak-anak panti "Jangan khawatir. Aku
kasih tau kamu cara mengatasinya" Ujar Allysa kepada Stevadit.

Allysa kemudian memanggil seorang anak kecil yang sangat lucu "Agas!" Panggilnya. Anak bernama Agas
itu kemudian menoleh kearah Allysa dan tersenyum bahagia. Ia berlari sangat kencang kearah Allysa dan
memeluknya dengan erat.

"Kakak udah lama datang?" Tanya Agas.

"Lumayan. Kamu tadi masih mandi kata ibu panti" Jawab Allysa dengan sangat lembut. Sambil
mengusap-usap rambut Agas.

"Oh iya kakak mau kasih pengumuman penting. Jadi kamu kumpulin teman-teman kamu ya. Jangan
berkeliaran seperti ini. Oke?" Sambung Allysa lagi.

"Siap laksanakan tuan putri" Seru Agas seraya menempatkan tangan kanannya di depan dahinya seperti
sedang memberi penghormatan kepada komando perang.
Agas kemudian berlari kearah teman-temannya. Tidak butuh waktu lama semua anak-anak panti duduk
dengan rapi di depan mereka. Tidak perduli yang mereka duduki itu tanah, bebatuan, atau kayu. Yang
mereka ingin informasi penting dari seoarang wanita yang sudah mereka anggap sebagai kakak mereka
sendiri.

"Hallo semua" Sapa Allysa sambil melambaikan tangannya.

"Hai Kak Allysa" Jawab mereka dengan kompak.

Allysa tersenyum senang kemudian ia melanjutkan lagi ucapannya "Maaf ya. Kakak udah lama banget
gak datang kesini. Tapi kakak udah janji bakal dateng sekarangkan? Dan kakak udah nepati janji kakak"

"Tapi kakak janji bakalan datang dengan kak Agni. Kami juga kangen kak Agni" Seru anak perempuan
dengan baju terusan berwarna merah muda.

"Tapi kak Agni mendatangkan kakak ganteng loh.." Ucap Allysa sambil melirik Stevadit yang sedikit kikuk.

"Apa kakak itu?" Tunjuk Agas langsung kearah Stevadit.

Allysa mengangguk. Kemudian dengan bahasa tubuh ia menyuruh Stevadit untuk memperkenalkan
dirinya. Untung saja saat ini Stevadit dalam kondisi yang peka.

"Hai" Sapa Stevadit sebagai pembuka.

"Hallo" Seru mereka lagi dengan kompak.

"Nama kakak Stevadit. Senang berkenalan dengan kalian" Ucap Stevadit dengan nada yang sungguh
datar. Bukannya dia ingin berlagak sombong atau sebagainya. Hanya saja dia tidak biasa
memperkenalkan diri dengan berbagai tingkah atau nada yang dibuat-buat.
"Aku tidak suka dia. Dia sombong dan kaku. Tidak asik diajak bermain" Ujar Agas.

"Aku setuju. Kami hanya mau dengan kak Agni" Sambung anak kecil yang memiliki lesung pipi
diwajahnya.

Stevadit menghela nafasnya. Dari dulu dia memang merasa sulit untuk bergabung dengan anak-anak
kecil. Allysa yang melihat itu hanya tersenyum. Kemudian ia kembali membuka suaranya "Jangan seperti
itu. Apa kalian tidak sayang dan hormat dengan kak Agni?" Tanya Allysa.

"Tentu kami sayang dan hormat dengan kak Agni. Benarkan teman-teman?" Tanya Agas kepada teman-
temannya dan tentu dijawab dengan antusias oleh mereka. Jawaban yang menandakan bahwa apa yang
Agas ucapkan adalah benar adanya.

"Kalau gitu kalian juga harus berlaku sama dengan Kak Stevadit. Kakak ini sebenarnya baik kok.
Percayalah. Kak Stevadit itu adiknya Kak Agni"

Setelah Allysa menyelesaikan ucapannya, semua anak-anak terdiam. Mencerna apa yang Allysa ucapkan.
Raut tak percaya sangat jelas tercetak diwajah mereka.

"Apa benar?" Tanya Agas akhirnya, namun dengan suara yang cukup kecil. Seolah ia hanya ingin
memastikan itu dengan Allysa saja.

Allysa mengangguk antusias. Senyum lebarnya selalu saja menghiasi wajah tirusnya. Kerlingan mata
Allysa membuat Adit menghelas nafas. Gusar kini yang ia rasa.

Dengan malu-malu ia kemudian berdiri dan menghampiri Stevadit. Mengulurkan tangan kanannya dan
meminta maaf kepada Stevadit "Adit minta maaf kak" Ujarnya.
Stevadit yang melihat itu sangat tak enak hati. Ia merasa bersalah telah membuat seoarang anak kecil
meminta maaf kepadanya. Padahal menurutnya wajar jika seseorang tidak memyukai seseorang lainnya.

"Kakak juga minta maaf ya. Kakak bakal berusaha menjadi teman yang menyenanhkan buat kalian" Ujar
Stevadit sambil menjabat tangan Agas dan mengusap kepala Agas dengan pelan.

Anak-anak yang lain juga ikut berdiri dan secara bergantian menyalami Stevadit. Meminta maaf dan
memperkenalkan diri mereka masing-masing. Baru kali ini Stevadit merasa senang berdekatan dengan
anak kecil. Suasana ramai dengan penuh keikhlasan seperti ini sangat Stevadit dambakan.

'Pantas saja kak Agni suka sekali pergi ke Panti. Ternyata seperti ini rasanya' Batin Stevadit.

"Akan lebih menyenangkan jika kita bertiga bermain dengan anak-anak" Ucap Stevadit kepada Allysa dan
dihadiahi senyuman menis dari Allysa.

'Mungkin aku sebentar lagi bakalan punya diabetes' Ucap Stevadit dalam hati.
PART 7

Suara ketukan high heels terdengar mengalun dengan irama yang tak beraturan. Suara sumbang lainnya
juga ikut meramaikan suasan sore ini disebuah kampus dengan nuansa hijau yang cukup mencolok. Tak
berapa lama, dering telfon juga ikut mengambil andil. Memberikan kepanikan tersendiri kepada si
pemilik telfon.

"Hallo?" Sapa sang pemilik langsung ketika ia telah menekan tombol hijau pada smart phone miliknya.

"Iya sebentar lagi saya akan sampai"

"Oke baik" Ucapnya mengakhiri sambung singkat tersebut. Ia kemudian berjalan dengan cepat kearah
mobil berwarna silver. Hempasan pintu mobil ditutup kemudian terdengar. Lalu disambut dengan
desahan nafas kasar. Sepertinya wanita yang saat ini telah melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh
sedang dalam kondisi yang cukup 'tidak baik'.

Hanya dalam waktu beberapa menit, wanita tersebut telah sampai pada tempat tujuannya. Berjalan
dengan cepat memasuki sebuah restoran yang cukup terkenal. Restoran yang hanya diisi oleh para
pebisnis-pebisnis yang akan membicarakan masalah perusahaan dan sebagainya.

Ia menyapu pandangannya kesetiap sudut ruangan. Mencari seseorang yang sangat ia kenal. Dan
pandangannya jatuh pada meja 07. Meja tempat ia akan melaksanakan meetingnya kali ini.

"Sore Pak Novianto. Maaf saya telat" Ucap wanita tersebut pertama sekali sambil berusaha meraih kursi
disamping Novianto untuk tempatnya duduk.

Ia kemudian memandang pria dihadapannya. Pria muda yang ia akui lumayan tampan. 'Apa dia asisten
Mr. Conforti? Atau Bodyguard? Lalu mana Mr.Conforti? Apa dia berhalangan hadir?' Banyak sekali
pertanyaan yang ia tanyakan didalam fikirannya. Tanpa berani untuk mengutarakannya.
Tanpa diduga pria tersebut mengulurkan tangannya. Tersenyum manis kepada wanita dihadapannya
"Zakka Conforti" Ujarnya.

Wanita itu masih saja bingung. Dia bingung dengan peristiwa yang sedang ia alami saat ini. Dia masih
tidak yakin bahwa pria dihadapannya ini adalah Mr.Conforti yang selalu ia imajinasikan sebagai seorang
pria tua bangka.

"Agnindya Haliandra" Ucap wanita itu akhirnya. Lalu segera menarik tangannya kembali ketika pria
dihadapannya itu tak kunjung punya niatan untuk mengakhiri salaman tersebut.

"Kamu cantik"

Agni tersentak. Merasa aneh dengan pernyataan yang baru saja Zakka ucapkan "Haza min fadhli rabbi"
Ucapnya akhirnya.

"Haha.. aku baru bertemu wanita sepertimu. Untuk pertama kalinya aku merasa ingin melindungi" Ucap
Zakka tanpa beban sedikitpun.

"Maaf. Bagaimana jika langsung saja kita bahas kerjasama antar perusahaan kita?" Ujar Agni yang kini
sedikit kikuk dengan apapun yang Zakka ucapkan.

"Jangan terlalu formal" Ucap Zakka namun tetap memandang Agni dengan tatapan yang entalah. Agni
sendiri tidak tau.

"Fakhrul" Serunya.

"Ya tuan muda" Sambut Pria yang berdiri tepat dibelakang Zakka.

"Kemarilah. Aku ingin mengatakan sebuah rahasia"


Mendengar hal tersebut, Fakhrul segera berdiri disamping Zakka dan membungkukkan diri serta
mendekatkan telinganya kearah Zakka. Sedangkan Agni dan Novianto masih dengan setia melihat
tingkah pria muda dihadapan mereka itu

"Aku rasa aku telah jatuh hati dengannya" Ucap Zakka seolah sedang berbisik dengan Fakhrul namun
tetap saja apa yang ia katakan dapat terdengar dengan jelas oleh Agni dan Novianto. Sepertinya ia
sengaja melakukannya.

Terlihat Fakhrul tersenyum tipis kemudian menegakkan kembali badannya sambil memandang Agni
dengan lekat. Seakan dari pandangan itu Fakhrul sedang mengatakaan sesuatu yang Agni sendiri tidak
mengerti maksudnya.

"Mr. Zakka Conforti saya harap kita bisa dapat melakukan kerjasama yang sewajarnya. Pertemuan kali ini
untuk membahas kerjasama kita. Bukan membahas hal yang lain. Saya harap anda bisa dapat mengerti"
Ujar Agni dengan tegas setelah tidak tahan melihat tingkah mengesalkan Zakka yang telah membuatnya
merasa aneh.

Novianto yang mendengar ucapan Agni langsung saja kaget dan berusaha meminta maaf pada Zakka
"Maaf Mr. Za.." Belum sempat Novianto melanjutkan permintaan maafnya, Zakka langsung
memotongnya dan membuat Novianto semakin heran.

"Oh oke. Tidak masalah. Tenang saja Pak Novianto. Apa yang beliau katakan memang benar. Mari kita
mulai" Ucap Zakka dengan bahasa yang sudah mulai formal seperti biasanya ia bertemu rekan bisnisnya.

Fakhrul yang memperhatikan itu hanya tersenyum aneh. Heran melihat Tuan muda sekaligus sahabatnya
itu begitu berbeda dengan wanita yang baru saja ia kenal. Fakhrul tau sekali bagaimana sifat Zakka. Pria
dingin yang sulit sekali dicairkan. Bahkan saat melihat Zakka terlebih dahulu memperkenalkan dirinya, ia
sudah tau. Zakka tertarik dengan wanita yang saat ini sedang berada dihadapannya.

Mana pernah seorang Zakka memperkenalkan diri terlebih dahulu dengan wanita manapun. Mana
pernah seorang Zakka bersikap informal terhadap rekannya. Mana pernah seorang Zakka merasa akrab
dengan orang baru. Mana pernah seorang Zakka, pewaris tunggal kekayaan keluarga Conforti bertingkah
aneh seperti tadi.

Zakka. Benar-benar. Jatuh hati. Dan Fakhrul senang Zakka menyadari itu. Fakhrul sangat yakin sekali akan
ada banyak pristiwa menarik yang akan menimpa Agni. Zakka akan membuat Agni hanya melihat dirinya.
Bagaimanapun caranya.

Perbincangan antara keduanya berjalan dengan lancar. Banyak perdebatan yang terjadi. Namun selalu
berakhir dengan penyelesaian yang membuat Zakka selalu mengalah. Membiarkan Agni menang dengan
pemikirannya itu. Selama apa yang ingin Agni canangkan tidak dalam kategori yang buruk maka Zakka
akan selalu berakhir dengan menyetujui semua pendapat Agni.

Zakka menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dan mengeluarkan nafas legahnya "Ah. saya rasa
sudah cukup. Bagaimana Mrs. Conforti?" Ucapan Zakka langsung saja mendapkan colekan refleks dari
Fakhrul secara tersembunyi. Zakka yang menyadari itu dengan cepat membenarkan ucapannya. "Ah
maaf. Maksud saya Mrs. Agnindya"

Agni memicingkan matanya. Mempertajam pandangannya untuk melihat Zakka yang hanya terpisahkan
oleh satu meja kecil dengannya. "Oke. Saya juga merasa ini sudah cukup. Senang berdiskusi dengan anda
Mr. Conforti"

"Tolong jangan panggil saya seperti itu. Kebanyak orang diluar sana memanggil ayah saya dengan
panggilan Mr. Conforti. Saya bukan beliau. Dan saya tidak suka dipanggil itu" Tegas Zakka.

"Maaf.." Ucapan Agni menggantung. Ia bingung akan memanggil Zakka dengan panggilan apalagi.
Untung Zakka memahami itu "Zakka. Panggil saja Zakka" Jelas Zakka.

"Tapi saya rasa itu kurang sopan. Bagaimana kalau Bapak Zakka Conforti?" Tawar Agni.

"Saya bukan bapak kamu"


"Hah?" Heran Agni. Bagaimana tidak? Zakka benar-benar pria sukses teraneh yang pernah ia temui. Dia
tidak pernah membayangkan akan berjodoh dengan pria aneh seperti Zakka.

Zakka yang melihat ekspresi Agni tertawa kecil. Ia suka segala ekspresi yang Agni ciptakan. Rasanya dia
sudah gila. Dia tidak pernah mengagumi wanita sehebat ini. Dia merasa perlu ke psikiater sekarang juga
"Kamu tidak perlu memakai embel apapun untuk memanggil saya. Kecuali jika kita sudah resmi menjalin
hubungan, maka kamu bisa memakai embel sayang dan sejenisnya untuk memanggil saya" Ucapnya. Dan
lagi ekspresi Agni membuatnya detik iti juga ingin melahap wanita tersebut.

Agni membuang nafasnya dengan kasar. Kalau seandainya dia bisa melontarkan kalimat-kalimat kasar di
depan pria itu maka ia sudah melakukannya mulai dari pertama sekali pria itu membuka mulut.

"Fakhrul!" Panggil Zakka tiba-tiba.

"Ada apa tuan muda?"

"Apa kau ingin mendengar rahasiaku lagi?" Tanya Zakka, namun dengan segera ia membatalkan
niatannya itu "Ah tapi tidak usah. Kau sudah mendapat satu rahasiaku. Mungkin Nona Agni ingin
mendengar rahasia lain dariku. Bagaimana Nona?"

Agni tentu dengan tegas menolak usulan tak bermanfaat itu. Tapi sepertinya Zakka tidak membutuhkan
persetujuan dari Agni. Nyatanya, ia masih tetap melanjutkan ucapannya yang ia sebut sebagai rahasia
itu.

"Kamu tau? Hanya butuh waktu tujuh detik untuk jatuh hati kepadamu. Enam detik pertama, logika dan
perasaanku tidak sejalan. Baru kali itu mereka tidak sependapat. Tapi pada detik ketujuh mereka telah
bersepakat. Untuk mengakui jatuh hati kepadamu."

Kalimat yang baru saja Zakka ucapkan terdengar sangat tulus. Sangat sederhana. Dan sangat serius. Agni
tidak dapat menyembunyikan perasaan tidak nyamannya saat ini. Tubuhnya dengan refleks
menggerakkan tangan dan matanya kesana kemari. Banyak yang bilang itu disebut dengan 'Salah
tingkah'.

Agni salah tingkah dan itu hal yang wajar. Siapa yang tidak demikian jika disuguhi kalimat yang sangat
membuat mu menjadi wanita beruntung? Tapi apakah wajar jika kini seperti ada desakan kuat di dalam
dadanya. Seperti saat ia selesai lari pagi. Pasti ia merasa jantungnya berdetak dengan kecepatan yang
tidak biasanya.

Agni tidak bodoh. Dia sedang duduk sekarang. Dia tidak sedang berlari. Dia juga tidak sedang melakukan
kegiatan yang menguras tenaga.

"Apa kamu baik-baik saja? Aku tau pernyataan itu terlalu cepat untukmu. Tapi aku bukan tipe pria yang
hanya diam saja ketika merasakan sesuatu. Aku sadar jatuh hati kepadamu dan itu nyata. Bahkan
menurutku tujuh detik waktu yang cukup lama untuk menyadari jatuh hati denganmu. Ini tidak terlalu
cepat Agni. Tuhan menciptakanmu untuk ku. Aku tau itu"

Oke. Perasaan Agni semakin kacau. Dia tau ini gila. Dan dia harus mengakhiri semuanya. Pria
dihadapannya ini sangat aneh dan. Gila. Setelah ini dia berjanji akan menghubungi sang ayah dan dengan
tegas menolak rencana ayah nya itu apapun yang terjadi.

Lamunan Agni seketika buyar ketika Smartphone miliknya berdering dan menampilkan foto seorang pria
tampan dengan nama Gavriel yang tertera disana. Ketika melihat siapa yang telah menghubunginya saat
itu juga ia sadar. Dia sudah memiliki kekasih. Dan itu tambah gila lagi.

'Apa dengan seperti ini aku telah berkhianat?' Tanyanya dalam hati pada dirinya sendiri.

'Tidak. Aku tidak berkhianat. Pria gila didepanku ini yang sedari tadi bertingkah dan berbicara aneh. Itu
tidak menandakan aku berkhianat' Batinnya lagi menjawab pertanyaan yang ia tujukan untuk dirinya
sendiri.
"Pak Novianto. Sepertinya pertemuan kita kali ini sudah cukup" Novianto mengangguk menyetujui
ucapan Agni.

"Terimakasih Tuan Zakka Conforti sudah menyempatkan waktu anda untuk bertemu dengan pihak kami.
Kami sangat senang melakukan kerjasama dengan anda" Ucap Agni sambil mengulurkan tangannya
untuk menyalam Zakka. Zakka hanya memperhatikan Agni. Seperti ada kekecewaan dimatanya. Dan Agni
mencoba untuk tidak memperdulikan itu. Dia kembali menarik tangannya yang tidak kunjung juga
disalam oleh Zakka.

Agni berdiri dari kursinya diikuti oleh Novianto. Kemudian ia membungkukkan badannya setengah
seperti memberi salam ala masyarakat jepang. Novianto juga melakukan hal yang sama. Setelahnya
mereka berjalan menjauh. Meninggalkan tempat yang sudah Zakka tetapkan menjadi tempat favoritnya.
Karana Agni, akhirnya dia menyukai tempat tersebut dan tentunya angka tujuh.
Part 8

Keindahan alam indonesia membuat setiap insan yang menyadarinya akan terhanyut. Terbuay oleh
keindahan dan kesejukan alam yang jarang sekali di dapat di ibu kota.

Pria dengan boomber hitamnya itu berdiri tegak. Sambil membenamkan kedua tangannya di dalam saku
boomber miliknya. Matanya memejam, dadanya terlihat naik turun seakan iya ingin menghabiskan
pasokan udara yang ada disana.

Angin memaksa pepohonan untuk menggoyangkan daunnya. Serangga-serangga kecil melompat kesana-
kemari diantara semak-semak rimbun. Danau didepannya juga menciptakan gelombang kecil ketika sang
angin menyapanya.

"Al"

Sebuah teriakan memaksa pria tersebut menoleh kebelakang. Melihat sang peneriak sekilas lalu kembali
menghadap ke arah danau yang kini mulai tenang.

"Fia masih marah sama lo?" Tanya pria yang baru saja mensejajarkan dirinya dengan pria bernama Al
tersebut.

"Menurut lo?"

"Haha lagian aneh sih. Tumben-tumbennya Lifia cemburu. Biasanya gak pernah tuh"

"Diem deh lo Dit. Berisik tau gak" Seru Al kesal.


Bukan Stevadit namanya jika benar-benar menuruti ucapaan Al untuk diam "Sekarang lo tau kan gimana
rasanya dijauhi sama orang yang kita sayang. Itu yang dulu Fia rasain" Lanjut Stevadit lagi tanpa
memperdulikan tatapan kesal Al.

"Ya mana gue tau bakal jatuh cinta segini hebatnya sama dia. Lo ngungkit itu lagi gue hajar lo. Lo buat
gue teringat sama air matanya Fia tau gak. Gue berasa jadi orang paling brengsek karna udah ciptaan air
mata itu"

Stevadit mengangkat sebelah tangannya lalu menepuk pundak Al beberapa kali. Mencoba memberi
ketenagan pada sahabatnya itu "Tenang bro! Fia gak benar-benar marah sama lo. Mana bisa dia marah
sama lo. Dan gue yakin lo tau itu"

"Woi!!"

Teriakan itu cukup familiar oleh Stevadit dan Al. Mereka terlihat tak memperdulikan siapa sang peneriak.
Terbukti dengan mereka hanya menatap lurus kearah danau tanpa sedikitpun ada niatan untuk melihat
seseorang yang sedang berjalan dibelakang mereka.

"Tumben lo berdua akrab? Pakai rangkulan segala lagi. Jijik gue" Seru sang peneriak lagi. Sedangkan Al
dan Stevadit hanya memutar bola matanya dengan enggan.

Anda mungkin juga menyukai