TINJAUAN PUSTAKA
kelas Nematoda yang dapat menginfeksi manusia melalui kontak langsung dengan
telur ataupun larva parasit itu sendiri yang berkembang di tanah yang lembab pada
negara beriklim tropis maupun subtropis (Bethony et al, 2006). Bentuk infektif dari
cacing kelompok ini dapat memasuki badan manusia dengan berbagai cara seperti
masuk secara aktif ataupun tertelan dan bisa hidup bertahun-tahun di sistem
Menurut Bethony et al, (2006) Soil Transmitted Helminths yang paling penting
americanus).
Askariasis merupakan sebutan untuk penyakit yang disebabkan oleh parasit ini.
Parasit ini ditemukan hampir di seluruh provinsi yang ada di Indonesia termasuk di
pada anak-anak yaitu mencapai 60-90% dari jumlah penduduk (Sutanto et al, 2008).
Penyakit ini memiliki prevalensi yang paling besar diantara penyakit cacing lainnya.
11
12
Hal ini diindikasi karena banyaknya terlur disertai daya tahan telur yang mengandung
larva cacing pada keaadaan tanah yang kondusif. Telur dapat bertahan sampai
berbulan-bulan bahkan sampai 2 tahun ditanah akibat adanya lapisan tebal sebagai
pelindung terhadap situasi lingkungan yang tidak sesuai (Widoyono, 2005). Telur
Ascaris lumbricoides berkembang sangat baik pada tanah liat dengan kelembapan
tinggi dan pada suhu 250-300 C. Di tanah telur tumbuh menjadi infektif (mengandung
larva) dalam waktu 2-3 minggu (Onggowaluyo, 2001). Parasit ini dapat hidup dalam
tubuh manusia selama 1-2 tahun. Zat utama yang diserap selama cacing ini hidup
dalam rongga usus halus adalah karbohitdrat dan protein. Seekor cacing akan
mengambil karbohidrat 0.14 gram per hari dan protein 0.035 gram per hari (Siregar,
2006).
Penularan terjadi secara oral yaitu tertelannya telur cacing yang mengandung
larva infektif melalui makanan dan minuman yang tercemar (Zulkoni, 2010). Selian
itu penularan juga bisa terjadi melalui perantara/vektor serangga seperti lalat yang
dapat menularkan telur pada makanan yang tidak disimpan dengan baik (Widoyono,
2005).
kecil penderita menunjukkan gejala klinis. Gejala yang timbul biasanya disebabkan
oleh migrasi larva dari paru-paru ke alveolus kemudian naik ke trakea dan larva
menuju faring. Pada orang yang rentan, migrasi dan rangsangan dari larva ini akan
menyebabkan perdarahan kecil dinding alveolus dan timbul iritasi pada paru sehingga
penderita akan mengalami reaksi alergi yang terdiri dari batuk kering, mengi, dan
demam (39,90-40,00C). Selain itu cacing dewasa juga dapat bermigrasi dan
menimbulkan kelainan yang serius seperti obstruksi usus, masuk ke saluran empedu,
13
pankreas dan organ lainnya. Migrasi juga sering terjadi keluar melalui anus, mulut dan
Karena gejala klinik yang ditunjukkan tidak khas, maka perlu diadakan
pemeriksaan tinja untuk menegakkan diagnosis yang tepat, yaitu dengan menemukan
telur-telur cacing di dalam tinja tersebut. Jumlah telur juga dapat digunakan sebagai
pedoman untuk menentukan berat tidaknya infeksi yang diderita, yaitu dengan cara
424/MENKES/SK/VI/, 2006). Selain itu diagnosis juga dapat ditegakkan bila cacing
dewasa keluar sendiri baik melalui mulut atau hidung karena muntah maupun melalui
Penyakit yang disebabkan oleh parasit ini disebut trikuriasis. Cacing ini lebih
Disebut sebagai cacing cambuk dilihat dari bentuknya yang seperti cambuk dengan
bagian depan (kepala) yang mengecil dan bagian belakang yang membesar. Parasit ini
bersifat kosmopolit atau ditemukan hampir di seluruh dunia terutama di daerah panas
dan lembab seperti Indonesia. Di dunia hampir 500-900 juta orang terserang parasit
ini. Prevalensi di Asia lebih dari 50%, Afrika 25%, dan Amerika Latin 12%. Di
Indonesia sendiri frekuensi penyakit ini masih cukup tinggi, terutama di daerah-daerah
dalam mukosa usus. Selain itu cacing dewasa juga dapat ditemukan di dalam kolon
asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak cacing tersebar diseluruh kolon
dan rektrum. Cacing betina diperkirakan dapat menghasilkan telur sebanyak 3000-
20.000 butir per hari. Telur berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan
14
yang jernih pada kedua kutub. Telur yang dibuahi dikeluarkan bersama tinja. Telur
tersebut menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu di tanah yang kondusif. Tanah yang
sesuai untuk parasit ini adalah tanah yang lembab dan teduh dengan suhu optimum
300C. Telur yang matang ialah telur yang mengandung larva dan merupakan infektif
Infeksi terjadi melalui oral yaitu hospes secara kebetulan menelan telur matang
siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur menjadi cacing dewasa yaitu ± 30-90
hari.
terjadi infeksi berat gejala klinis yang ditumbulkan yaitu nyeri perut, diare yang
diselingi sindrom disentri, anemia, prolapsus rektal, berat badan menurun, dan
diagnosis dilakukan melalui penemuan telur dalam tinja atau menemukan cacing
Nama “cacing tambang” pada kedua parasit ini diberikan karena pada zaman
dahulu cacing ini banyak ditemukan pada pekerja pertambangan di Eropa. Penyakit
yang disebabkan oleh kedua parasit ini disebut nekatoriasis dan ankilostomiasis.
Cacing ini tersebar diseluruh daerah khatulistiwa terutama pada daerah dengan kondisi
di seluruh dunia penyakit ini menyerang 700-900 juta orang, dengan 1 juta liter darah
Indonesia prevalensi kecacingan akibat spesies ini masih cukup tinggi, terutama di
15
daerah pedesaan, khususnya perkebunan sekitar 40%. Penyakit ini menyerang semua
Cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan giginya melekat pada mucosa
dinding usus. Cacing betina mempunyai panjang ± 1 cm, cacing jantan ± 0,8 cm.
Duodenale menyerupai huruf C. Rongga kedua mulut jenis cacing ini besar dan di
424/MENKES/SK/VI/, 2006).
Cacing dewasa bertelur di dalam 1/3 atas usus halus. Cacing betina N.
dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari keluarlah larva rabdritiform.
Setelah 3 hari larva rabditiform tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus
kulit dan mampu hidup selama 7-8 minggu di tanah (Widoyono, 2005). Tanah yang
baik untuk pertumbuhan larva ini ialah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu
Infeksi pada manusia terjadi apabila larva filariform menembus kulit atau
mengalai anemia (kekurangan darah). Secara klinis gejala yang ditimbulkan akibat
infeksi cacing tambang antara lain ruam menonjol dan terasa gatal (ground itch) pada
kulit tempat larva masuk, lesu, nyeri perut bagian atas, demam, batuk, tidak bergairah,
kekurangan zat besi dan rendahnya kadar protein dalam darah (Onggowaluyo, 2001).
Sedangkan dalam tinja lama biasanya ditemukan sudah dalam bentuk larva. Untuk
membedakan kedua spesies ini dapat dilakukan dengan biakkan dengan cara Harada-
epidemiologi atau Trias Penyebab Penyakit yaitu host, agen, environment. Dimana
proses terjadinya penyakit disebabkan oleh adanya interaksi antara agen (penyebab
penyakit), manusia sebagai host (penjamu), dan faktor lingkungan yang mendukung
agen atau penyebab penyakit kontak dengan manusia sebagai penjamu yang rentan
dan didukung oleh keadaan lingkungan. Sehingga untuk mewujudkan status kesehatan
ketiga faktor tersebut harus seimbang (Budiarto et al, 2002). Proses interaksi ini dapat
Host (Penjamu)
2.2.1 Host
Host atau penjamu adalah keadaan manusia yang sedemikian bersifat sangat
kompleks menjadi faktor risiko untuk terjadinya suatu penyakit sesuai karakteristik
yang dimiliki. Faktor host yang dapat menjadi faktor risiko untuk timbulnya penyakit
yaitu, genetik seperti penyakit herediter yaitu hemophilia, umur seperti usia lanjut
lebih rentan untuk terinfeksi penyakit jantung dan karsinoma, jenis kelamin seperti
penyakit diabetes melitus lebih rentan terjadi pada perempuan, budaya yang
membentuk kebiasaan dan perilaku di masyarakat, serta gaya hidup dalam masyarakat
Necator americanus. Faktor host yang dapat menjadi faktor risiko untuk timbulnya
alas kaki, dan perilaku lainnya yang memungkinkan adanya kontak langsung dengan
tanah.
2.2.2 Agent
Agent merupakan faktor penyebab penyakit dapat berupa unsur hidup atau mati
baik dalam jumlah banyak maupun kekurangan. Agent unsur hidup berupa patogen
biologis seperti virus, bakteri, jamur, parasit, protozoa, dan lain-lainnya. Sedangkan
agen unsur mati seperti fisika (sinar radioaktif), kimia (karbon monoksida, pertisida,
Agent dari infeksi Soil Transmitted Helminths yang terpenting bagi manusia
tambang).
2.2.3 Environment
penyakit. Faktor lingkungan dibedakan menjadi tiga komponen yaitu lingkungan fisik
seperti geografis dan keadaan musim, lingkungan biologis yaitu semua makhluk hidup
yang berada disekitar kita yang dapat menularkan penyakit, serta lingkungan sosial
ekonomi dapat berupa pekerjaan, perkembangan ekonomi, dan lain-lainya yang dapat
Helminths adalah faktor lingkungan fisik dan sosial ekonomi. Faktor lingkungan fisik
seperti kondisi iklim yaitu iklim tropis dan subtropis, kelembaban, ketinggian daerah,
Prevalence merupakan frekuensi penyakit lama dan baru yang berjangkit dalam
wilayah tertentu. angka ini diperoleh dengan cara jumlah kejadian kecacingan dibagi
dengan jumlah populasi dikali dengan konstanta (100%). Berdasarkan hasil survei
cacingan di Sekolah Dasar di beberapa provinsi di Indonesia yang tertuang dalam Surat
prevalensi kecacingan untuk semua umur berkisar antara 40%-60%, sedangkan pada
2.3.1 Lingkungan
lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan) menurut HL. Blum yang dapat
Sedangkan apabila salah satu faktor timpang/terganggu, maka status kesehatan akan
Lingkungan yang dapat berkaitan dengan infeksi soil transmitted helmints adalah
sebagai berikut :
20
1. Lingkungan Fisik
Dataran Tinggi
Dataran tinggi atau yang biasa disebut sebagai daerah pegunungan secara
geografis adalah dataran yang terletak pada ketinggian di atas 500 meter dari
permukaan air laut. Daerah dapat digolongkan menjadi dataran tinggi apabila
dataran tersebut memiliki sekumpulan puncak yang sama tinggi yang dipisahkan
membedakannya dengan dataran rendah yaitu kelembaban udara yang jauh lebih
tinggi, tekanan oksigen yang rendah, suhu yang rendah, radiasi matahari yang
tinggi, kecepatan angin yang tinggi, rendahnya nutrisi, dan topografi yang terjal.
Selaian itu karakteristik yang dominan dapat diamati adalah kondisi tanah yang
lebih padat dari daerah dataran rendah (Fauzi, 2015). Dengan kondisi
kelembaban udara yang tinggi serta kondisi tanah yang padat atau tanah liat
sangat memungkin daerah ini menjadi habitat yang sangat baik untuk
gambaran bahwa prevalensi infeksi cacing tularan tanah yaitu cacing cambuk
(Trichuris trichiura) pada siswa SD di dataran tinggi lebih tinggi daripada siswa
trichiura) yaitu sebesar 1%, lebih rendah di dataran tinggi di bandingkan dengan
infeksi cacing tularan tanah lainnya seperti Ascaris lumbricoides yaitu 2%, dan
Dataran Rendah
Dataran rendah adalah daerah yang landai dan terletak di daerah rendah
yaitu kurang dari 100 meter diatas permukaan air laut. Dataran rendah umumnya
memiliki bentuk yang relatif rata atau bergelombang lemah (Subandrio, 2009).
Ciri-ciri daerah dataran rendah adalah daerahnya datar, daerah dimana banyak
pertanian, perikanan, industri dan niaga. Kondisi tanah di daerah dataran rendah
gambaran bahwa prevalensi infeksi cacing tularan tanah yaitu prevalensi infeksi
4,00%, hasil ini lebih tinggi daripada siswa SD di dataran tinggi yang hanya
duodenale dan Necator Americanus) juga menunjukkan hasil yang sama yaitu
Menurut Notoatmodjo (2010) rumah yang sehat adalah rumah dengan jenis
lantai yang tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim
kecacingan dengan nilai p=0,000 dan nilai OR=19,776, dimana rumah dengan
kondisi halaman yang tidak memenuhi syarat kesehatan berpeluang 19,776 kali
menunjukkan hasil yang bertentangan yaitu jenis lantai rumah tidak memiliki
c. Kepemilikan Jamban
juga dapat terjadi secara tidak langsung melalui perantara vektor (lalat, kecoa, dan
nilai p=0,000 dan nilai OR=16,349, dimana rumah dengan jamban yang tidak
Selain tinja, air yang tidak sehat juga memiliki peranan yang sangat besar
dalam penularan penyakit yang biasa disebut dengan water borne diases. Akibat air
yang tidak sehat dapat menimbulkan gangguan kesehatan seperti kolera, diare,
p=0,000 dan nilai OR=4,529, dimana rumah dengan air bersih yang tidak
dibandingkan rumah dengan air bersih yang memenuhi syarat kesehatan. Sedangkan
23
yaitu ketersediaan air bersih tidak memiliki hubungan secara signifikan terhadap
pendidikan maka orang tua tidak dapat memberikan pendidikan perilaku hidup
bersih yang benar kepada anaknya. Sehingga anak cenderung berperilaku hidup
yang kurang sehat dan berisiko terinfeksi kecacingan. Menurut penelitian Sumanto
orang tua (bapak dan ibu) tidak berhubungan secara signifikan dan bukan
merupakan faktor risiko terhadap infeksi kecacingan pada anak. Dimana diperoleh
nilai p=0,657 dan OR =0,7 untuk pendidikan bapak. Sedangkan untuk pendidikan
kecacingan pada anak. Menurut Ginting (2003) di Sumatera Utara, ibu yang
kecacingan pada anak. Peran yang besar pada ibu dalam pengasuhan anak tampak
memberikan peluang cukup besar terjadinya proses penularan dari ibu ke anak.
menunjukkan bahwa pekerjaan orang tua (bapak dan ibu) tidak berhubungan secara
signifikan dan bukan merupakan faktor risiko terhadap infeksi kecacingan pada
24
anak. Dimana diperoleh nilai p=1,000 dan OR=0,9 untuk pekerjaan bapak.
Kondisi ekonomi orang tua serta kondisi sanitasi lingkungan rumah sangat
mungkin menjadi faktor risiko terjadinya infeksi cacing tularan tanah. Menurut
Diperoleh nilai p=0,000 dan OR=3,80, dimana orang tua murid SD berpenghasilan
tua yang tinggi. Sedangkan menurut penelitian Sumanto (2010) di Desa Rejosari,
signifikan dengan kejadian infeksi cacing tambang pada anak sekolah dengan nilai
p=1,000 serta penghasilan keluarga juga bukan merupakan faktor risiko kejadian
infeksi cacing tambang pada anak yang ditunjukkan dari nilai OR=0,9. Penelitian
Sumanto sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ginting (2003) di Sumatra
Barat yang menunjukkan bahwa pendapatan orang tua tidak memiliki hubungan
2.3.2 Perilaku
adalah respons atau reaksi seseorang rangsangan dari luar (stimulus). Sedangkan
perilaku kesehatan (health behavior) adalah semua aktivitas seseorang baik yang dapat
diamati maupun yang tidak dapat diamati yang berkaitan dengan sehat-sakit dalam
Kebiasaan mencuci tangan merupakan salah satu dari delapan indikator penting
dalam PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) yang dicanangkan pemerintah.
mereka kerap kali terinfeksi penyakit berbasis perilaku dan sanitasi seperti kecacingan.
kejadian infeksi kecacingan dengan nilai p=0,002 dan OR=2,958, dimana siswa yang
memiliki kebiasaan cuci tangan yang tidak baik berpeluang 2,9 kali terinfeksi
kecacingan dibandingkan siswa yang memiliki kebiasaan cuci tangan yang baik.
Sedangkan penelitian Widari (2014) di desa Jagapati Bali menunjukkan hasil yang
Perilaku bermain terkait dengan kondisi sanitasi lingkungan merupakan hal yang
penting diperhatikan di tinjau dari segi kesehatan. Pada kondisi lingkungan masyarakat
pedesaan, anak-anak cenderung bermain di halaman rumah atau kebun bersama teman
sebaya. Dalam kaitannya dengan kebiasaan anak bermain di tanah, perlu diwaspadai
kemungkinan anak terpapar oleh cacing tularan tanah yang memang membutuhkan
Xiao et al, (2015) di Cina pada menunjukkan bahwa lingkungan tempat beraktivitas
penelitian Widari (2014) di desa Jagapati Bali menunjukkan hasil bahwa yaitu
c. Kebersihan Kuku
kebiasaan memotong kuku juga memiliki peran yang sangat penting dalam penularan
p=0,005 dengan nilai OR 2,730, dimana siswa yang memiliki kebersihan kuku yang
tidak baik berpeluang 2,7 kali terinfeksi kecacingan dibandingkan siswa yang
tangan secara statistik tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap infeksi
kecacingan dengan nilai p=0,632, namun dilihat dari nilai OR 1,7, diperoleh bahwa
kebersihan kuku merupakan faktor risiko dari infeksi kecacingan, dimana keadaan
kuku kotor berisiko 1,7 kali lebih tinggi menderita kecacingan dibandingkan kuku
bersih.
Pencegahan
Helminths adalah pada tingkat promotif dan preventif. Pada tingkat promotif yaitu
sanitasi lingkungan dan personal higiene, mengingat infeksi ini termasuk jenis infeksi
yang memadai, penyediaan air bersih, serta semenisasi lantai rumah. Dengan adanya
personal terhadap kesehatan, maka secara tidak langsung masyarakat telah menjamin
Pemeriksaan Tinja
Tujuan dari pemeriksaan tinja yaitu untuk menegakkan diagnosis pasti, ada dan
tidaknya infeksi, serta jenis telur cacing yang menginfeksi. Penelitian ini
hanya untuk mendapatkan hasil pemeriksaan tinja positif atau negatif cacingan tanpa
menggunakan kuesioner.
b. Setelah wawancara, pot tinja yang telah diberi kode yang sama dengan kode
c. Jumlah tinja yang dimasukkan ke dalam pot tinja sekitar 100 mg (sebesar
d. Spesimen harus segera diperiksa pada hari yang sama untuk menghindari
rusaknya telur cacing tambang. Apabila tidak memungkinkan tinja harus diberi