Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Soil Transmitted Helminths

2.1.1 Definisi Soil Transmitted Helminths

Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan sejumlah spesies cacing parasit

kelas Nematoda yang dapat menginfeksi manusia melalui kontak langsung dengan

telur ataupun larva parasit itu sendiri yang berkembang di tanah yang lembab pada

negara beriklim tropis maupun subtropis (Bethony et al, 2006). Bentuk infektif dari

cacing kelompok ini dapat memasuki badan manusia dengan berbagai cara seperti

masuk secara aktif ataupun tertelan dan bisa hidup bertahun-tahun di sistem

pencernaan manusia (Sutanto et al. 2008).

2.1.2 Jenis Soil Transmitted Helminths

Menurut Bethony et al, (2006) Soil Transmitted Helminths yang paling penting

dan sering menginfeksi manusia adalah cacing gelang/roundworm (Ascaris

lumbricoides), cacing cambuk/whipworm (Trichuris trichiura) dan cacing

tambang/anthropophilic hookworm (Ancylostoma duodenale dan Necator

americanus).

a. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

Askariasis merupakan sebutan untuk penyakit yang disebabkan oleh parasit ini.

Parasit ini ditemukan hampir di seluruh provinsi yang ada di Indonesia termasuk di

dunia (kosmopolit). Prevalensi askariasis di Indonesia masih cukup tinggi terutama

pada anak-anak yaitu mencapai 60-90% dari jumlah penduduk (Sutanto et al, 2008).

Penyakit ini memiliki prevalensi yang paling besar diantara penyakit cacing lainnya.

11
12

Hal ini diindikasi karena banyaknya terlur disertai daya tahan telur yang mengandung

larva cacing pada keaadaan tanah yang kondusif. Telur dapat bertahan sampai

berbulan-bulan bahkan sampai 2 tahun ditanah akibat adanya lapisan tebal sebagai

pelindung terhadap situasi lingkungan yang tidak sesuai (Widoyono, 2005). Telur

Ascaris lumbricoides berkembang sangat baik pada tanah liat dengan kelembapan

tinggi dan pada suhu 250-300 C. Di tanah telur tumbuh menjadi infektif (mengandung

larva) dalam waktu 2-3 minggu (Onggowaluyo, 2001). Parasit ini dapat hidup dalam

tubuh manusia selama 1-2 tahun. Zat utama yang diserap selama cacing ini hidup

dalam rongga usus halus adalah karbohitdrat dan protein. Seekor cacing akan

mengambil karbohidrat 0.14 gram per hari dan protein 0.035 gram per hari (Siregar,

2006).

Penularan terjadi secara oral yaitu tertelannya telur cacing yang mengandung

larva infektif melalui makanan dan minuman yang tercemar (Zulkoni, 2010). Selian

itu penularan juga bisa terjadi melalui perantara/vektor serangga seperti lalat yang

dapat menularkan telur pada makanan yang tidak disimpan dengan baik (Widoyono,

2005).

Gejala yang ditunjukkan sebagian besar adalah asimtomatis. Hanya sebagian

kecil penderita menunjukkan gejala klinis. Gejala yang timbul biasanya disebabkan

oleh migrasi larva dari paru-paru ke alveolus kemudian naik ke trakea dan larva

menuju faring. Pada orang yang rentan, migrasi dan rangsangan dari larva ini akan

menyebabkan perdarahan kecil dinding alveolus dan timbul iritasi pada paru sehingga

penderita akan mengalami reaksi alergi yang terdiri dari batuk kering, mengi, dan

demam (39,90-40,00C). Selain itu cacing dewasa juga dapat bermigrasi dan

menimbulkan kelainan yang serius seperti obstruksi usus, masuk ke saluran empedu,
13

pankreas dan organ lainnya. Migrasi juga sering terjadi keluar melalui anus, mulut dan

hidung (Onggowaluyo, 2001).

Karena gejala klinik yang ditunjukkan tidak khas, maka perlu diadakan

pemeriksaan tinja untuk menegakkan diagnosis yang tepat, yaitu dengan menemukan

telur-telur cacing di dalam tinja tersebut. Jumlah telur juga dapat digunakan sebagai

pedoman untuk menentukan berat tidaknya infeksi yang diderita, yaitu dengan cara

menghitung jumlah telur cacing (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No:

424/MENKES/SK/VI/, 2006). Selain itu diagnosis juga dapat ditegakkan bila cacing

dewasa keluar sendiri baik melalui mulut atau hidung karena muntah maupun melalui

tinja (Sutanto et al, 2008).

b. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)

Penyakit yang disebabkan oleh parasit ini disebut trikuriasis. Cacing ini lebih

sering ditemukan bersama-sama dengan Ascaris lumbricoide (Onggowaluyo, 2001).

Disebut sebagai cacing cambuk dilihat dari bentuknya yang seperti cambuk dengan

bagian depan (kepala) yang mengecil dan bagian belakang yang membesar. Parasit ini

bersifat kosmopolit atau ditemukan hampir di seluruh dunia terutama di daerah panas

dan lembab seperti Indonesia. Di dunia hampir 500-900 juta orang terserang parasit

ini. Prevalensi di Asia lebih dari 50%, Afrika 25%, dan Amerika Latin 12%. Di

Indonesia sendiri frekuensi penyakit ini masih cukup tinggi, terutama di daerah-daerah

pedesaan yaitu antara 30%-90% (Widoyono, 2005).

Cacing dewasa hidup di sekum dengan anteriornya seperti cambuk masuk ke

dalam mukosa usus. Selain itu cacing dewasa juga dapat ditemukan di dalam kolon

asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak cacing tersebar diseluruh kolon

dan rektrum. Cacing betina diperkirakan dapat menghasilkan telur sebanyak 3000-

20.000 butir per hari. Telur berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan
14

yang jernih pada kedua kutub. Telur yang dibuahi dikeluarkan bersama tinja. Telur

tersebut menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu di tanah yang kondusif. Tanah yang

sesuai untuk parasit ini adalah tanah yang lembab dan teduh dengan suhu optimum

300C. Telur yang matang ialah telur yang mengandung larva dan merupakan infektif

(Sutanto et al, 2008) .

Infeksi terjadi melalui oral yaitu hospes secara kebetulan menelan telur matang

yang tercemar dimakanan. Untuk perkembangan larvanya cacing tidak mempunyai

siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur menjadi cacing dewasa yaitu ± 30-90

hari.

Infeksi cacing cambuk biasanya tanpa gejala (asimtomatis). Namun apabila

terjadi infeksi berat gejala klinis yang ditumbulkan yaitu nyeri perut, diare yang

diselingi sindrom disentri, anemia, prolapsus rektal, berat badan menurun, dan

peradangan usus buntu (apenditis) (Zulkoni, 2010). Sedangkan untuk penegakkan

diagnosis dilakukan melalui penemuan telur dalam tinja atau menemukan cacing

dewasa pada penderita prolapsus rekti (pada anak) (Onggowaluyo, 2001).

c. Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)

Nama “cacing tambang” pada kedua parasit ini diberikan karena pada zaman

dahulu cacing ini banyak ditemukan pada pekerja pertambangan di Eropa. Penyakit

yang disebabkan oleh kedua parasit ini disebut nekatoriasis dan ankilostomiasis.

Cacing ini tersebar diseluruh daerah khatulistiwa terutama pada daerah dengan kondisi

lingkungan yang sesuai seperti di daerah pertambangan dan perkebunan. Diperkirakan

di seluruh dunia penyakit ini menyerang 700-900 juta orang, dengan 1 juta liter darah

hilang (1 orang = 1 mL darah terhisap cacing tambang) (Widoyono, 2005). Di

Indonesia prevalensi kecacingan akibat spesies ini masih cukup tinggi, terutama di
15

daerah pedesaan, khususnya perkebunan sekitar 40%. Penyakit ini menyerang semua

umur dengan proporsi terbesar pada anak (Sutanto et al, 2008).

Cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan giginya melekat pada mucosa

dinding usus. Cacing betina mempunyai panjang ± 1 cm, cacing jantan ± 0,8 cm.

Bentuk cacing dewasa N. Americanus biasanya seperti huruf S, sedangkan A.

Duodenale menyerupai huruf C. Rongga kedua mulut jenis cacing ini besar dan di

dalam ada sepasang gigi (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No:

424/MENKES/SK/VI/, 2006).

Cacing dewasa bertelur di dalam 1/3 atas usus halus. Cacing betina N.

americanus mampu mengelurkan telur sebanyak 5000-10.000 butir per hari,

sedangkan A. duodenale sebanyak 10.000-25.000 butir per harinya. Telur dikeluarkan

dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari keluarlah larva rabdritiform.

Setelah 3 hari larva rabditiform tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus

kulit dan mampu hidup selama 7-8 minggu di tanah (Widoyono, 2005). Tanah yang

baik untuk pertumbuhan larva ini ialah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu

optimum untuk N. americanus 280-320C, sedangkan A. duodenale lebih rendah yaitu

230-250C. A. duodenale lebih kuat dibandingkan N. americanus (Sutanto et al, 2008).

Infeksi pada manusia terjadi apabila larva filariform menembus kulit atau

tertelan bersama makanan yang kurang hegienis. Infeksi cacing tambang

menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan sehingga penderita bisa

mengalai anemia (kekurangan darah). Secara klinis gejala yang ditimbulkan akibat

infeksi cacing tambang antara lain ruam menonjol dan terasa gatal (ground itch) pada

kulit tempat larva masuk, lesu, nyeri perut bagian atas, demam, batuk, tidak bergairah,

konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhaadap penyakit, prestasi dan

produktifitas menurun serta anemia (anemia hipokrom micrositer) (Zulkoni, 2010).


16

Anemia terjadi karena adanya perdarahan di usus yang menyebabkan tubuh

kekurangan zat besi dan rendahnya kadar protein dalam darah (Onggowaluyo, 2001).

Penegakkan diagnosis dilakukan dengan menemukan telur dalam tinja segar.

Sedangkan dalam tinja lama biasanya ditemukan sudah dalam bentuk larva. Untuk

membedakan kedua spesies ini dapat dilakukan dengan biakkan dengan cara Harada-

Mori (Sutanto et al, 2008).

Epidemiologi Soil Transmitted Helminths

Epidemiologi Soil Transmitted Helminths berkaitan dengan teori segitiga

epidemiologi atau Trias Penyebab Penyakit yaitu host, agen, environment. Dimana

proses terjadinya penyakit disebabkan oleh adanya interaksi antara agen (penyebab

penyakit), manusia sebagai host (penjamu), dan faktor lingkungan yang mendukung

(enviromental). Ketiga faktor tersebut dalam mempengaruhi kesehatan tidak berdiri

sendiri, namun masing-masing saling mempengaruhi. Interaksi dapat terjadi apabila

agen atau penyebab penyakit kontak dengan manusia sebagai penjamu yang rentan

dan didukung oleh keadaan lingkungan. Sehingga untuk mewujudkan status kesehatan

ketiga faktor tersebut harus seimbang (Budiarto et al, 2002). Proses interaksi ini dapat

digambarkan sebagai berikut :

Host (Penjamu)

Agen (Penyebab Enviromental


Penyakit) (Lingkungan)
Sumber : Budiarto, E., & Anggraeni, D. (2002). Pengantar Epidemiologi edisi 2. Jakarta : EGC.

Gambar 2.1 Segitiga Epidemiologi


17

2.2.1 Host

Host atau penjamu adalah keadaan manusia yang sedemikian bersifat sangat

kompleks menjadi faktor risiko untuk terjadinya suatu penyakit sesuai karakteristik

yang dimiliki. Faktor host yang dapat menjadi faktor risiko untuk timbulnya penyakit

yaitu, genetik seperti penyakit herediter yaitu hemophilia, umur seperti usia lanjut

lebih rentan untuk terinfeksi penyakit jantung dan karsinoma, jenis kelamin seperti

penyakit diabetes melitus lebih rentan terjadi pada perempuan, budaya yang

membentuk kebiasaan dan perilaku di masyarakat, serta gaya hidup dalam masyarakat

untuk berperilaku hidup sehat.

Manusia merupakan hospes definitif dari soil transmitted helmintes terutama

pada spesies Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Ancylostoma duodenale dan

Necator americanus. Faktor host yang dapat menjadi faktor risiko untuk timbulnya

infeksi soil transmitted helmintes adalah perilaku masyarakat seperti kebiasaan

mencuci tangan, kebiasaan BABS, kebiasaan bermain di tanah, kebiasaan pemakaian

alas kaki, dan perilaku lainnya yang memungkinkan adanya kontak langsung dengan

tanah.

2.2.2 Agent

Agent merupakan faktor penyebab penyakit dapat berupa unsur hidup atau mati

baik dalam jumlah banyak maupun kekurangan. Agent unsur hidup berupa patogen

biologis seperti virus, bakteri, jamur, parasit, protozoa, dan lain-lainnya. Sedangkan

agen unsur mati seperti fisika (sinar radioaktif), kimia (karbon monoksida, pertisida,

obat-obatan, arsen), dan fisik (benturan atau tekanan).

Agent dari infeksi Soil Transmitted Helminths yang terpenting bagi manusia

adalah empat spesies berikut, Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Trichuris


18

trichiura (cacing cambuk), Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (cacing

tambang).

2.2.3 Environment

Environmental atau lingkungan merupakan faktor penunjang terjadinya

penyakit. Faktor lingkungan dibedakan menjadi tiga komponen yaitu lingkungan fisik

seperti geografis dan keadaan musim, lingkungan biologis yaitu semua makhluk hidup

yang berada disekitar kita yang dapat menularkan penyakit, serta lingkungan sosial

ekonomi dapat berupa pekerjaan, perkembangan ekonomi, dan lain-lainya yang dapat

memberi pengaruh terhadap perilaku di masyarakat (Notoatmodjo, 2010).

Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap infeksi Soil Transmitted

Helminths adalah faktor lingkungan fisik dan sosial ekonomi. Faktor lingkungan fisik

seperti kondisi iklim yaitu iklim tropis dan subtropis, kelembaban, ketinggian daerah,

kondisi lantai rumah, kepemilikan jamban, dan lain-lainnya. Sedangkan faktor

lingkungan sosial ekonomi dapat berupa pekerjaan, pendidikan, dan pendapatan.

2.3 Prevalensi Kecacingan

Prevalence merupakan frekuensi penyakit lama dan baru yang berjangkit dalam

masyarakat di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu. Sehingga prevalensi

kecacingan adalah angka yang menggambarkan kejadian kasus kecacingan di suatu

wilayah tertentu. angka ini diperoleh dengan cara jumlah kejadian kecacingan dibagi

dengan jumlah populasi dikali dengan konstanta (100%). Berdasarkan hasil survei

cacingan di Sekolah Dasar di beberapa provinsi di Indonesia yang tertuang dalam Surat

Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/VI/2006, menunjukkan bahwa

prevalensi kecacingan untuk semua umur berkisar antara 40%-60%, sedangkan pada

anak usia sekolah (5-14 tahun) mencapai angka 60%-80%.


19

2.3.1 Prevalensi seluruh cacing

Jumlah specimen positif telur minimal 1 jenis cacing


𝑋 100%
Jumlah specimen yang diperiksa

2.3.2 Prevalensi cacing gelang

Jumlah specimen positif telur cacing gelang


𝑋 100%
Jumlah specimen yang diperiksa
2.3.3 Prevalensi cacing cambuk

Jumlah specimen positif telur cacing cambuk


𝑋 100%
Jumlah specimen yang diperiksa
2.3.4 Prevalensi cacing tambang

Jumlah specimen positif telur cacing tambang


𝑋 100%
Jumlah specimen yang diperiksa
Faktor yang Mempengaruhi

2.3.1 Lingkungan

Lingkungan merupakan salah satu faktor dari empat faktor (keturunan,

lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan) menurut HL. Blum yang dapat

mempengaruhi kesehatan. Kesehatan akan tercapai secara optimal, bilamana keempat

faktor tersebut secara bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal pula.

Sedangkan apabila salah satu faktor timpang/terganggu, maka status kesehatan akan

tergeser ke bawah optimal (Notoatmodjo, 2007). Menurut Zulkoni (2010) infeksi

kecacingan merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan. Tingginya angka

infeksi di Indonesia dikarenakan masih rendahnya mutu sanitasi di beberapa daerah.

Lingkungan yang dapat berkaitan dengan infeksi soil transmitted helmints adalah

sebagai berikut :
20

1. Lingkungan Fisik

a. Daerah Tempat Tinggal

 Dataran Tinggi

Dataran tinggi atau yang biasa disebut sebagai daerah pegunungan secara

geografis adalah dataran yang terletak pada ketinggian di atas 500 meter dari

permukaan air laut. Daerah dapat digolongkan menjadi dataran tinggi apabila

dataran tersebut memiliki sekumpulan puncak yang sama tinggi yang dipisahkan

oleh lembah-lembah (Subandrio, 2009). Karakteristik lingkungan yang

membedakannya dengan dataran rendah yaitu kelembaban udara yang jauh lebih

tinggi, tekanan oksigen yang rendah, suhu yang rendah, radiasi matahari yang

tinggi, kecepatan angin yang tinggi, rendahnya nutrisi, dan topografi yang terjal.

Selaian itu karakteristik yang dominan dapat diamati adalah kondisi tanah yang

lebih padat dari daerah dataran rendah (Fauzi, 2015). Dengan kondisi

kelembaban udara yang tinggi serta kondisi tanah yang padat atau tanah liat

sangat memungkin daerah ini menjadi habitat yang sangat baik untuk

perkembangan cacing jenis tularan melalui tanah/soil transmitted helminths.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sinarya (2011) di Cirebon menunjukkan

gambaran bahwa prevalensi infeksi cacing tularan tanah yaitu cacing cambuk

(Trichuris trichiura) pada siswa SD di dataran tinggi lebih tinggi daripada siswa

SD di dataran rendah yaitu sebesar 1,49%. Sedangkan menurut penelitian

Darusin (2004) di Kabupaten Sawahlunto Sijunjung yang merupakan daerah

dataran tinggi menunjukkan prevalensi infeksi cacing cambuk (Trichuris

trichiura) yaitu sebesar 1%, lebih rendah di dataran tinggi di bandingkan dengan

infeksi cacing tularan tanah lainnya seperti Ascaris lumbricoides yaitu 2%, dan

cacing tambang yaitu 30%.


21

 Dataran Rendah

Dataran rendah adalah daerah yang landai dan terletak di daerah rendah

yaitu kurang dari 100 meter diatas permukaan air laut. Dataran rendah umumnya

memiliki bentuk yang relatif rata atau bergelombang lemah (Subandrio, 2009).

Ciri-ciri daerah dataran rendah adalah daerahnya datar, daerah dimana banyak

pemukiman penduduk, aktivitas penduduk terdiri dari berbagai jenis seperti

pertanian, perikanan, industri dan niaga. Kondisi tanah di daerah dataran rendah

adalah tanah humus, berpasir, dan gembur (Kurniawan, 2015). Berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Sinarya (2011) di Cirebon menunjukkan

gambaran bahwa prevalensi infeksi cacing tularan tanah yaitu prevalensi infeksi

cacing gelang (Ascaris lumbricoides) pada siswa SD di dataran rendah sebesar

4,00%, hasil ini lebih tinggi daripada siswa SD di dataran tinggi yang hanya

mencapai 1,49%. Selain itu prevalensi infeksi cacing tambang (Ancylostoma

duodenale dan Necator Americanus) juga menunjukkan hasil yang sama yaitu

lebih tinggi pada daerah dataran rendah sebesar 2,00%.

b. Kondisi Lantai Rumah

Menurut Notoatmodjo (2010) rumah yang sehat adalah rumah dengan jenis

lantai yang tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim

penghujan. Penelitian Fitri et al (2012) di Kecamatan Angkola Timur menunjukkan

bahwa kondisi rumah memberikan pengaruh bermakna terhadap kejadian infeksi

kecacingan dengan nilai p=0,000 dan nilai OR=19,776, dimana rumah dengan

kondisi halaman yang tidak memenuhi syarat kesehatan berpeluang 19,776 kali

terinfeksi kecacingan dibandingkan rumah dengan kondisi rumah yang memenuhi

syarat kesehatan. Sedangkan menurut penelitian Yulianto (2007) di Kota Semarang


22

menunjukkan hasil yang bertentangan yaitu jenis lantai rumah tidak memiliki

hubungan yang signifikan terhadap infeksi kecacingan dengan nilai p=0,094.

c. Kepemilikan Jamban

Tinja memiliki peranan yang sangat besar dalam penyebaran penyakit. Di

samping dapat langsung mengkontaminasi makanan dan minuman, kontaminasi

juga dapat terjadi secara tidak langsung melalui perantara vektor (lalat, kecoa, dan

sebagainya) serta benda-benda yang telah terkontaminasi. Menurut penelitian Fitri

et al (2012) di Kecamatan Angkola Timur menunjukkan bahwa jamban

memberikan pengaruh bermakna terhadap kejadian infeksi kecacingan. Diperoleh

nilai p=0,000 dan nilai OR=16,349, dimana rumah dengan jamban yang tidak

memenuhi syarat kesehatan berpeluang 16,349 kali terinfeksi kecacingan

dibandingkan rumah dengan jamban yang memenuhi syarat kesehatan. Sedangkan

penelitian Widari (2014) di desa Jagapati Bali menunjukkan hasil yang

bertentangan yaitu kepemilikan jamban tidak memiliki hubungan secara signifikan

terhadap infeksi kecacingan dengan nilai p=1,00.

d. Katersedian Air Bersih

Selain tinja, air yang tidak sehat juga memiliki peranan yang sangat besar

dalam penularan penyakit yang biasa disebut dengan water borne diases. Akibat air

yang tidak sehat dapat menimbulkan gangguan kesehatan seperti kolera, diare,

disentri, dan penyakit lainnya termasuk kecacingan. Menurut penelitian Fitri et al

(2012) di Kecamatan Angkola Timur menunjukkan bahwa ketersediaan air bersih

memberikan pengaruh bermakna terhadap kejadian infeksi kecacingan dengan nilai

p=0,000 dan nilai OR=4,529, dimana rumah dengan air bersih yang tidak

memenuhi syarat kesehatan berpeluang 4,529 kali terinfeksi kecacingan

dibandingkan rumah dengan air bersih yang memenuhi syarat kesehatan. Sedangkan
23

penelitian Yulianto (2007) di Kota Semarang menunjukkan hasil yang bertentangan

yaitu ketersediaan air bersih tidak memiliki hubungan secara signifikan terhadap

infeksi kecacingan dengan nilai p=0,094

2. Lingkungan Sosio Ekonomi

a. Pendidikan Orang tua

Pendidikan orang tua mempengaruhi pengetahuan orang tua terhadap

kesehatan khususnya perilaku hidup bersih dan sehat. Dengan rendahnya

pendidikan maka orang tua tidak dapat memberikan pendidikan perilaku hidup

bersih yang benar kepada anaknya. Sehingga anak cenderung berperilaku hidup

yang kurang sehat dan berisiko terinfeksi kecacingan. Menurut penelitian Sumanto

(2010) di Desa Rejosari, Karangawen, Demak menunjukkan bahwa pendidikan

orang tua (bapak dan ibu) tidak berhubungan secara signifikan dan bukan

merupakan faktor risiko terhadap infeksi kecacingan pada anak. Dimana diperoleh

nilai p=0,657 dan OR =0,7 untuk pendidikan bapak. Sedangkan untuk pendidikan

ibu nilai p=0,362 dan nilai OR=0,2.

b. Pekerjaan Orang tua

Jenis pekerjaan orang tua khususnya ibu dapat mempengaruhi kejadian

kecacingan pada anak. Menurut Ginting (2003) di Sumatera Utara, ibu yang

memiliki pekerjaan sebagai petani berhubungan bermakna dengan kejadian

kecacingan pada anak. Peran yang besar pada ibu dalam pengasuhan anak tampak

memberikan peluang cukup besar terjadinya proses penularan dari ibu ke anak.

Menurut penelitian Sumanto (2010) di Desa Rejosari, Karangawen, Demak

menunjukkan bahwa pekerjaan orang tua (bapak dan ibu) tidak berhubungan secara

signifikan dan bukan merupakan faktor risiko terhadap infeksi kecacingan pada
24

anak. Dimana diperoleh nilai p=1,000 dan OR=0,9 untuk pekerjaan bapak.

Sedangkan untuk pekerjaan ibu nilai p=0,055 dan nilai OR=0,5.

c. Pendapatan Orang tua

Kondisi ekonomi orang tua serta kondisi sanitasi lingkungan rumah sangat

mungkin menjadi faktor risiko terjadinya infeksi cacing tularan tanah. Menurut

penelitian Jalaluddin (2009) di Lhokseumawe, penghasilan orang tua secara

statistik menunjukkan ada hubungan yang bermaksa dengan infeksi kecacingan.

Diperoleh nilai p=0,000 dan OR=3,80, dimana orang tua murid SD berpenghasilan

rendah berpeluang 3,8 kali terinfeksi kecacingan dibandingkan penghasilan orang

tua yang tinggi. Sedangkan menurut penelitian Sumanto (2010) di Desa Rejosari,

Karangawen, Demak menunjukkan bahwa pengasilan orang tua tidak berhubungan

signifikan dengan kejadian infeksi cacing tambang pada anak sekolah dengan nilai

p=1,000 serta penghasilan keluarga juga bukan merupakan faktor risiko kejadian

infeksi cacing tambang pada anak yang ditunjukkan dari nilai OR=0,9. Penelitian

Sumanto sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ginting (2003) di Sumatra

Barat yang menunjukkan bahwa pendapatan orang tua tidak memiliki hubungan

yang signifikan terhadap infeksi kecacingan dengan nilai p=0,098.

2.3.2 Perilaku

Menurut Skiner dalam Notoatmodjo (2010), perilaku menurut ilmu psikologi

adalah respons atau reaksi seseorang rangsangan dari luar (stimulus). Sedangkan

perilaku kesehatan (health behavior) adalah semua aktivitas seseorang baik yang dapat

diamati maupun yang tidak dapat diamati yang berkaitan dengan sehat-sakit dalam

pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Perilaku yang dapat berkaitan dengan

infeksi soil transmitted helmints adalah sebagai berikut :


25

a. Kebiasaan Mencuci Tangan

Kebiasaan mencuci tangan merupakan salah satu dari delapan indikator penting

dalam PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) yang dicanangkan pemerintah.

Kebiasaan anak-anak yang jarang memperhatikan hegiene tangannya mengakibatkan

mereka kerap kali terinfeksi penyakit berbasis perilaku dan sanitasi seperti kecacingan.

Menurut Penelitian yang dilakukan oleh Jalaluddin (2009) di Lhokseumawe

menunjukkan bahwa kebiasaan cuci tangan memberikan pengaruh bermakna terhadap

kejadian infeksi kecacingan dengan nilai p=0,002 dan OR=2,958, dimana siswa yang

memiliki kebiasaan cuci tangan yang tidak baik berpeluang 2,9 kali terinfeksi

kecacingan dibandingkan siswa yang memiliki kebiasaan cuci tangan yang baik.

Sedangkan penelitian Widari (2014) di desa Jagapati Bali menunjukkan hasil yang

bertentangan yaitu kebiasaan mencuci tangan tidak memiliki hubungan secara

signifikan terhadap infeksi kecacingan dengan nilai p=1,00.

b. Kebiasaan Bermain di Tanah

Perilaku bermain terkait dengan kondisi sanitasi lingkungan merupakan hal yang

penting diperhatikan di tinjau dari segi kesehatan. Pada kondisi lingkungan masyarakat

pedesaan, anak-anak cenderung bermain di halaman rumah atau kebun bersama teman

sebaya. Dalam kaitannya dengan kebiasaan anak bermain di tanah, perlu diwaspadai

kemungkinan anak terpapar oleh cacing tularan tanah yang memang membutuhkan

media tanah untuk perkembangbiakannya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh

Xiao et al, (2015) di Cina pada menunjukkan bahwa lingkungan tempat beraktivitas

memiliki hubungan bermakna terhadap infeksi kecacingan. Sedangkan menurut

penelitian Widari (2014) di desa Jagapati Bali menunjukkan hasil bahwa yaitu

kebiasaan bermain tidak memiliki hubungan secara signifikan terhadap infeksi

kecacingan dengan nilai p=1,00.


26

c. Kebersihan Kuku

Personal hegiene penting untuk pencegahan. Selain kebiasaan mencuci tangan,

kebiasaan memotong kuku juga memiliki peran yang sangat penting dalam penularan

penyakit berbasis lingkungan. Kuku sebaiknya selalu dipotong pendek untuk

menghindari kontaminasi telur cacing dari tangan ke mulut. Menurut penelitian

Jalaluddin (2009) di Lhokseumawe menunjukkan bahwa kebersihan kuku

memberikan pengaruh bermakna terhadap kejadian infeksi kecacingan. Diperoleh nilai

p=0,005 dengan nilai OR 2,730, dimana siswa yang memiliki kebersihan kuku yang

tidak baik berpeluang 2,7 kali terinfeksi kecacingan dibandingkan siswa yang

memiliki kebersihan kuku yang baik. Sedangkan penelitian Farisdan et al (2013) di

Kota Banjarbaru menunjukkan hasil yang bertentangan yaitu kebiasaan mencuci

tangan secara statistik tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap infeksi

kecacingan dengan nilai p=0,632, namun dilihat dari nilai OR 1,7, diperoleh bahwa

kebersihan kuku merupakan faktor risiko dari infeksi kecacingan, dimana keadaan

kuku kotor berisiko 1,7 kali lebih tinggi menderita kecacingan dibandingkan kuku

bersih.

Pencegahan

Pencegahan yang paling efektif untuk menghindari infeksi Soil Transmitted

Helminths adalah pada tingkat promotif dan preventif. Pada tingkat promotif yaitu

dengan memberikan pendidikan kepada masyarakat berupa kesehatan, khususnya

sanitasi lingkungan dan personal higiene, mengingat infeksi ini termasuk jenis infeksi

berbasis lingkungan. Sedangkan tindakan preventif melalui pengendalian faktor risiko

meliputi personal higiene, sanitasi lingkungan, pembuatan dan penggunaan jamban

yang memadai, penyediaan air bersih, serta semenisasi lantai rumah. Dengan adanya

upaya masyarakat untuk mempelajari pengaruh sanitasi lingkungan dan higiene


27

personal terhadap kesehatan, maka secara tidak langsung masyarakat telah menjamin

pemeliharaan kesehatannya sendiri.

Pemeriksaan Tinja

Tujuan dari pemeriksaan tinja yaitu untuk menegakkan diagnosis pasti, ada dan

tidaknya infeksi, serta jenis telur cacing yang menginfeksi. Penelitian ini

menggunakan metode pemeriksaan tinja Kato-Katz kualitatif, dengan pertimbangan

hanya untuk mendapatkan hasil pemeriksaan tinja positif atau negatif cacingan tanpa

mentukan intensitas atau berat ringannya penyakit. Langkah memperoleh spesimen

tinja menurut pedoman Surat Keputusan Menteri Kesehatan No:

424/MENKES/SK/VI/2006 yaitu sebagai berikut :

a. Sebelum pot tinja dibagi ke responden perlu terlebih dahulu dilakukan

wawancara mengenai pengetahuan kecacingan, kebiasaan hidup sehat dengan

menggunakan kuesioner.

b. Setelah wawancara, pot tinja yang telah diberi kode yang sama dengan kode

kuesioner dibagikan ke responden.

c. Jumlah tinja yang dimasukkan ke dalam pot tinja sekitar 100 mg (sebesar

kelereng atau ibu jari tangan.

d. Spesimen harus segera diperiksa pada hari yang sama untuk menghindari

rusaknya telur cacing tambang. Apabila tidak memungkinkan tinja harus diberi

formalin 10% hingga terendam.

Anda mungkin juga menyukai