Tugas Cedera Kepala
Tugas Cedera Kepala
CEDERA KEPALA
Disusun Oleh :
Eka Nurindah
H1AP11039
Pembimbing :
AKBP Dr. dr. Julian Famil, Sp.B, FICS, FINACS
UNIVERSITAS BENGKULU
2016
0
CEDERA KEPALA
1. Anatomi Kepala
1
2
3
2. CEDERA KEPALA
2.1 DEFINISI
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung
ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan
fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.2
2.2 ETIOLOGI
Sebagian besar penderita cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas,
berupa tabrakan sepeda motor, mobil, sepeda dan penyebrang jalan yang ditabrak.
Sisanya disebabkan oleh jatuh dari ketinggian, tertimpa benda (misalnya ranting pohon,
kayu, dsb), olahraga, korban kekerasan baik benda tumpul maupun tajam (misalnya
golok, parang, batang kayu, palu, dsb), kecelakaan kerja, kecelakaan rumah tangga,
kecelakaan olahraga, trauma tembak, dan lain-lain.3,5
4
Kontak / benturan langsung (contact injury)
Trauma yang langsung mengenai kepala dapat menimbulkan kelainan :
- Lokal, seperti fraktur tulang kepala, perdarahan ekstradura dan coup
kontusio
- Jauh (remote effect), seperti fraktur dasar tengkorak dan fraktur di
luar tempat trauma
- Memar otak contra coup dan memar otak intermediate disebabkan
oleh gelombang kejut (shock wave), dimana gelombang atau getaran
yang ditimbulkan oleh pukulan akan diteruskan di dalam jaringan
otak.3,6
Inersial (Inertial injury)
Karena perbedaan koefisien (massa) antara jaringan otak dengan
tulang, maka akan terjadi perbedaan gerak dari kedua jaringan (akselerasi
dan deselerasi) yang dapat menyebabkan gegar otak, cedera akson difus
(diffuse axonal injury), perdarahan subdural, memar otak yang berbentuk
coup, contra coup, dan intermediate.3,6
2.4 PATOFISIOLOGI
Trauma pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan otak langsung
(primer) yang disebabkan oleh efek mekanik dari luar. Perluasan kerusakan dari
jaringan otak (sekunder) disebabkan oleh berbagai faktor seperti: kerusakan sawar darah
otak, gangguan aliran darah otak, gangguan metabolisme otak, gangguan hormonal,
pengeluaran bahan-bahan neurotransmitter, eritrosit, opioid endogen, reaksi inflamasi
dan radikal bebas.6
5
hingga reda. Pukulan yang lebih kuat akan menyebabkan terjadinya deformitas
tengkorak dengan lekukan yang sesuai dengan arah datangnya benturan dimana
besarnya lekukan sesuai dengan sudut datangnya arah benturan. Bila lekukan melebihi
batas toleransi jaringan tengkorak, tengkorak akan mengalami fraktur. Fraktur
tengkorak dapat berbentuk sebagai garis lurus, impresi / depresi, diastase sutura atau
fraktur multiple disertai fraktur dasar tengkorak.6
Mekanisme kerusakan otak pada cedera otak dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Kerusakan jaringan otak langsung oleh impresi atau depresi tulang tengkorak
sehingga timbul lesi “ coup” (cedera di tempat benturan).3,6
b. Perbedaan massa dari jaringan otak dan dari tulang kepala menyebabkan perbedaan
percepatan getaran berupa akselerasi, deselerasi dan rotasi. Kekuatan gerak ini dapat
menimbulkan cedera otak berupa kompresi, peregangan dan pemotongan. Benturan
dari arah samping akan mengakibatkan terjadinya gerakan atau gesekan antara massa
jaringan otak dengan bagian tulang kepala yang menonjol atau bagian-bagian yang
keras seperti falk dengan tentoriumnya maupun dasar tengkorak dan dapat timbul lesi
baik coup maupun contra coup. Lesi coup berupa kerusakan berseberangan atau jauh
dari tempat benturan misalnya di dasar tengkoran. Benturan pada bagian depan
(frontal), otak akan bergerak dari arah antero-posterior, sebaliknya pada pukulan dari
belakang (occipital), otak bergerak dari arah postero-anterior sedangkan pukulan di
daerah puncak kepala (vertex), otak bergerak secara vertikal. Gerakan-gerakan
tersebut menyebabkan terjadinya coup dan contra coup.3,6
c. Bila terjadi benturan, akan timbul gelombang kejut (shock wave) yang akan
diteruskan melalui massa jaringan otak dan tulang. Gelombang tersebut
menimbulkan tekanan pada jaringan, dan bila tekanan cukup besar akan
menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan otak melalui proses pemotongan dan
robekan. Kerusakan yang ditimbulkan dapat berupa : “Intermediate coup”, contra
coup, cedera akson yang difus disertai perdarahan intraserebral.3,6
d. Perbedaan percepatan akan menimbulkan tekanan positif di tempat benturan dan
tekanan negatif di tempat yang berlawanan pada saat terjadi benturan. Kemudian
disusul dengan proses kebalikannya, yakni terjadi tekanan negatif di tempat benturan
dan tekanan positif di tempat yang berlawanan dengan akibat timbulnya gelembung
6
(kavitasi) yang menimbulkan kerusakan pada jaringan otak (lesi coup dan contra
coup).6
2.5 KLASIFIKASI
2.5.1 Berdasarkan Saat Terjadinya
Lesi (kerusakan) yang dapat timbul pada cedera kepala terdiri atas 2 jenis yaitu
lesi primer dan lesi sekunder.
Lesi Primer
Lesi primer timbul langsung pada saat terjadinya trauma, bisa bersifat lokal
maupun difus.
- Lesi lokal berupa robekan pada kulit kepala, otot-otot dan tendo pada kepala
mengalami kontusio, dapat terjadi perdarahan sub galeal maupun fraktur
tulang tengkorak. Demikian juga dapat terjadi kontusio jaringan otak.
- Lesi difus merupakan cedera aksonal difus dan kerusakan mikrovaskular
difus.1,3
Lesi Sekunder
Lesi sekunder timbul beberapa waktu setelah terjadi trauma, menyusul kerusakan
primer. Umumnya disebabkan oleh keadaan iskemi-hipoksia, edema serebri,
vasodilatasi, perdarahan subdural, perdarahan epidural, perdarahan subaraknoidal,
perdarahan intraserebral, dan infeksi.1,3
7
Hematoma intraserebellar.2
Lesi difusa
Cedera otak ini disebut dengan istilah difus oleh karena secara makroskopis
tidak ditemukan adanya lesi yang dapat menimbulkan gangguan fungsi neurologik,
meskipun pada kenyataannya pasien mengalami amnesia atau penurunan kesadaran
bahkan sampai koma.1
Pada keadaan yang berat proses akselerasi dan deselerasi juga menyebabkan
kerusakan jaringan pembuluh darah, sehingga pada CT-scan sering tampak gambaran
bercak-bercak perdarahan di substansia alba mulai dari subkorteks, korpus kalosum
sampai ke batang otak serta edema di daerah yang mengalami kerusakan. Jadi pada CT-
scan hanya terlihat kerusakan yang seringkali menyertai kerusakan difus pada akson
yang berupa bercak-bercak perdarahan yang lebih dikenal dengan istilah tissue tear
hemorrages. 3
Tergantung dari berat ringannya cedera otak difus ini, manifestasi klinisnya
dapat berupa:
Keadaan ini ditandai dengan adanya koma yang berlangsung lebih dari 6 jam.
Pemeriksaan radiologis tidak menunjukkan adanya lesi fokal baik berupa massa
maupun daerah yang iskemik. Gambaran klinis DAI ditandai dengan koma sejak
8
kejadian, suatu keadaan dimana penderita secara total tidak sadar terhadap dirinya dan
sekelilingnya dan tidak mampu memberi reaksi yang berarti terhadap rangsangan dari
luar. Koma disini disebabkan oleh karena kerusakan langsung dari akson sehingga
dipakai istilah cedera akson difus.3
a. DAI ringan. Di sini koma berlangsung selama 6-24 jam. Bisa disertai defisit
neurologik dan kognitif yang berlangsung cukup lama sampai permanen. Jenis
ini relatif jarang ditemukan.
b. DAI sedang. Koma berlangsung lebih dari 24 jam tanpa disertai gangguan
fungsi batang otak. Jenis inilah yang paling banyak ditemui, terdapat pada 45 %
dari semua kasus DAI. Dengan terapi agresif angka kematiannya adalah 20 %.
c. DAI berat. Koma berlangsung lebih dari 24 jam dan disertai disfungsi batang
otak tanpa adanya proses desak ruang yang berarti. Angka kematiannya
mencapai 57 % dan menyebabkan cacat neurologis yang berat.6
Lesi Fokal
Hematoma ekstradural
Lebih lazim disebut epidural hematoma (EDH), adalah suatu hematom yang
cepat terakumulasi di antara duramater dan tabula interna. Paling sering terletak pada
daerah temporal dan frontal. Biasanya disebabkan oleh pecahnya arteri meningea media.
Jika tidak ditangani dengan cepat akan menyebabkan kematian.1,2,3,9,10
9
Hematoma subdural
Terjadi ketika vena di antara duramater dan arachnoid (bridging vein) robek.
Lesi ini lebih sering ditemukan daripada EDH. Pasien dapat kehilangan kesadaran saat
terjadi cedera.1,3,10
Hematoma subarakhnoid
Paling sering ditemukan pada cedera kepala, umumnya menyertai lesi lain.
Perdarahan terletak di antara arachnoid dan piamater, mengisi ruang subarachnoid.1,3,10
Hematoma intraserebral
Atau lebih dikenal dengan intraserebral hematoma (ICH), diartikan sebagai
hematoma yang terbentuk pada jaringan otak (parenkim) sebagai akibat dari adanya
robekan pembuluh darah. Terutama melibatkan lobus frontal dan temporal (80-90
persen), tetapi dapat juga melibatkan korpus kallosum, batang otak, dan ganglia
basalis.1,2,3
Hematoma intraserebellar
Merupakan perdarahan yang terjadi pada serebelum. Lesi ini jarang terjadi pada
trauma, umumnya merupakan perdarahan spontan. Prinsipnya hampir sama dengan
ICH, tetapi secara anatomis harus diingat bahwa kompartemen infratentorial lebih
sempit dan ada struktur penting di depannya, yaitu batang otak.2,3
10
2. Jika abnormalitas CT Scan berupa perdarahan intrakranial, penderita
dimasukkan klasifikasi trauma kapitis berat2
2.6 DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
a. Trauma kapitis dengan/tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid
b. Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
c. Amnesia traumatika (retrograd/anterograd)
2. Hasil pemeriksaan klinis neurologis
3. Foto kepala polos, posisi AP, lateral, tangensial
4. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
5. CT scan otak: untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi.2
Pemeriksaan Klinis Umum dan Neurologis
1. Penilaian kesadaran berdasarkan GCS
2. Penilaian fungsi vital
3. Otorrhea/rhinorrhea
4. Ekimosis periorbital bilateral/eyes/hematoma kaca mata
5. Ekimosis mastoid bilateral/Battle’s sign
6. Gangguan fokal neurologik
7. Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot
8. Refleks tendon, refleks patologis
9. Pemeriksaan fungsi batang otak
10. Pemeriksaan pupil
11. Refleks kornea
12. Doll’s eye phenomenone
13. Monitor pola pernafasan
14. Gangguan fungsi otonom
15. Funduskopi.2
11
HEMATOMA EPIDURAL
Tanda diagnostik klinik:
1. Lucid interval (+)
2. Kesadaran makin menurun
3. Late hemiparese kontralateral lesi
4. Pupil anisokor
5. Babinsky (+) kontralateral lesi
6. Fraktur di daerah temporal.2,3,5,10
Penunjang diagnostik:
- CT scan otak: gambaran hiperdens (perdarahan) di tulang tengkorak dan
duramater,umumnya daerah temporal, dan tampak bikonveks2,3,5
12
HEMATOMA SUBDURAL
Perdarahan yang terjadi di antara duramater-arakhnoid, akibat robeknya ‘bridging vein´
(vena jembatan). Jenis:
a. Akut : interval lucid 0-5 hari
b. Subakut : interval ucid 5 hari - beberapa minggu
c. Kronik : interval lucid >3 bulan2
Penunjang diagnostik:
CT scan otak: gambaran hiperdens (perdarahan) diantara duramater dan
arakhnoid, umumnya karena robekan dari bridging vein, dan tampak seperti
bulan sabit.1,2,3,5,7,10
HEMATOMA INTRASEREBRAL
Adalah perdarahan parenkim otak, disebabkan karena pecahnya arteri intraserebral
mono- atau multiple.3,6
13
Gambar 8. CT Scan Intracranial hemorrhage (Dikutip dari:
http://www.stritch.luc.edu/lumen/MedEd/Radio/curriculum/Neurology/IC_hemorrhage2.htm)
2. Media
Gejala dan tanda klinis
- Keluarnya cairan likuor melalui telinga/otorrhea2,3,9
3. Posterior
Gejala dan tanda klinis :
- Bilateral mastoid ecchymosis/battle’s sign2,3,5
14
Gambar 10. Bilateral Mastoid Ecchymosis/Battle’s Sign (Dikutip dari:
http://www.aic.cuhk.edu.hk/web8/Battle%27s%20sign.htm)
Penunjang diagnostik:
- Memastikan cairan serebrospinal secara sederahan dengann tes halo
- Scaning otak resolusi tinggi dan irisan 3mm (50% +)(high resolution and thin section)2
15
Diagnostik Pasca Perawatan
1. Minimal (Simple Head Injury)
GCS 15, tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada amnesia pasca trauma (APT),
tidak ada defisit neurologis
Pemeriksaan Radiologi
Foto kepala AP/Lateral, dan foto leher (bila didapatkan fraktur servikal, kerah
leher/ collar neck yang telah terpasang tidak dilepas)
Foto anggota gerak, dada, dan abdomen dibuat atas indikasi
16
Scanning otak untuk menentukan luas dan letak lesi intrakranial (edema,
kontusio, hematoma)7,9,10
Neurobehaviour
Pemeriksaan neuropsikologi dan neuropsikiatri7
2.8 PENATALAKSANAAN
Terapi Kasus ringan
1. Pemeriksaan status umum dan neurologi
2. Perawatan pada luka
3. Pasien dipulangkan dengan pengawasan ketat oleh keluarga selama 48 jam
Bila selama dirumah terdapat hal-hal sebagai berikut :
- Pasien cenderung mengantuk
- Sakit kepala yang semakin berat
- Muntah proyektil
Maka pasien harus segera kembali ke rumah sakit
4. Pasien perlu dirawat apabila ada hal-hal berikut:
- Ada gangguan orientasi (waktu, tempat)
- Sakit kepala dan muntah
- Tidak ada yang mengawasi dirumah
- Letak rumah jauh atau sulit untuk kembali kerumah sakit2
17
Tujuan rawat inap CKR:
Mengatasi gejala (muntah, sakit kepala, vertigo)
Mengevaluasi adanya keluhan (terutama) gangguan fungsi luhur pasca trauma
berkepanjangan yang akan mempengaruhi kualitas hidup
Menilai kemungkinan terjadinya hematoma epidural atau hematoma subdural3,7
18
Terapi Cedera Kepala Sedang dan Berat
Urutan tindakan menurut prioritas
Resusitasi jantung paru, dengan tindakan Airway (A), Breathing (B), dan Circulation
(C)
A: Posisi kepala ekstensi untuk membebaskan jalan nafas dari lidah yang turun ke
bawah
Bila perlu pasang pipa orofaring atau pipa endotrakeal
Bersihkan sisa muntahan, darah, lendir, atau gigi palsu
Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi
B:
- Berikan oksigen dosis tinggi 10-15 liter/menit, intermitten
- Bila perlu pakai ventilator
C: Jika terjadi hipotensi (sistolik < 90 mmHg), cari penyebabnya, oleh faktor
ekstrakranial berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma
dada disertai tamponade jantung atau pneumotorak dan shock septik.
Tindakan tata laksana:
- Menghentikan sumber perdarahan
- Restorasi volume darah dengan cairan isotonik, yaitu NaCl 0,9% atau ringer
laktat per infus
- Mengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah1,7
Setiap hari dievaluasi, setiap perburukan dari salah satu komponen di atas bisa diartikan
timbulnya kerusakan sekunder
19
Pemeriksaan Penunjang CKS/CKB
Lihat pemeriksaan radiologi dan laboratorium1,7
- Hiperventilasi:
Lakukan hiperventilasi dengan ventilasi terkontrol, sasaran pCO2 dipertahankan
antara 30-35 mmHg selama 48 sampai 72 jam, lalu dicoba dilepas dengan
mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi, hiperbentilasi diteruskan 24-48
jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan
lakukan CT Scan ulang1,2,3,7
- Terapi diuretik:
Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cara pemberian:
Bolus 0,5-1 g/kgBB dalam 30 menit, dilanjutkan 0,25-0,5g/kgBB setiap
6jam, selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas serum tidak melebihi 320
mOsm.
Loop diuretik (furosemid)
Pemberian bersama manitol memiliki efek sinergik dan memperpanjang
efek osmotik serum oleh manitol. Dosis: 40mg/hari
Terapi barbiturat
Diberikan jika tidak reseponsif terhadap semua jenis terapi di atas.
Cara pemberian:
Bolus 10 mg/kgBB iv selama ½ jam, dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam
selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg% dengan dosis
sekitar 1mg/kgBB/jam. Setelah TIK terkontrol <20 mmHg selama 24-48
jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.
Posis tidur
20
Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala dan dada dalam
satu bidang.1,7
Nutrisi
Kebutuhan energi rata-rata pada CKB meningkat rata-rata 40%, kebutuhan
protein 1,5-2 g/kgBB/hari, lipid 10-40% dari kebutuhan kalori/hari, dan zinc 12 mg/hari
Selain infus, nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik:
- Hari ke-1: berikan glukosa 10% sebanyak 100ml/2jam
- Hari ke-2: berikan susu dengan dosis seperti glukosa
- Hari ke-3 dan seterusnya: makanan cair 2000-3000 kalori per hari disesuaikan
dengan keseimbangan elektrolit.1,7
21
2. SDH (subdural hematoma)
a. SDH luas (>40cc/>5mm)dengan GCS >6, fungsi batang otak masih baik
b. SDH tipis dengan penurunan kesadran bukan indikasi operasi.
c. SDH dengan edema serebri/kontusio serebri disertai midline shift dengan fungsi batang
otak masih baik
3. ICH (perdarahan intraserebral) pasca trauma
Indikasi operasi ICH pasca trauma:
a. Penurunan kesadaran progresif
b. Hipertensi dan bradikardi dan tanda-tanda gangguan nafas (cushing refleks)
c. Perburukan defisit neurologi fokal
4. Fraktur impresi melebihi 1 diploe
5. Fraktur kranii dengan laserasi serebri
6. Fraktur kranii terbuka (pencegahan infeksi intra-kranial)
7. Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan TIK, dipertimbangkan operasi
dekompensasi.2
2.8 PROGNOSIS
Skor GCS penting untuk menilai tingkat kesadaran dan berat ringannya trauma kapitis.3
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Alfa AY. Penatalaksanaan Medis (Non-Bedah) Cedera Kepala. In: Basuki A, Dian
S.Kegawatdaruratan Neurologi. 2nd Ed. Bandung: Departemen/UPF Ilmu
Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UNPAD. 2009. p61-74.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Trauma Kapitis. In:
Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal.
Jakarta: PERDOSSI Bagian Neurologi FKUI/RSCM. 2006. p1-18.
3. Japardi I. Cedera Kepala: Memahami Aspek-aspek Penting dalam Pengelolaan
Penderita Cedera Kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer. 2004. p1-
154.
4. Wilson LM, Hartwig MS. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. In: Price SA.
Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6th Ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. p1006-1042
5. Ginsberg L. Bedah Saraf: Cedera Kepala dan Tumor Otak. In: Lecture Notes:
Neurologi. 8th Ed. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2007. p114-117
6. Kasan U. Jurnal Cedera Kepala. Available at:
http://images.neurosurg.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SZQ
@KQoKCDUAAGkRGyM1/CEDERA%20KEPALA.DOC?key=neuros
urg:journal:9&nmid=198747111. Accessed on: November 20 2012.
7. RSUP Nasional Dr.Cipto Mangunkusumo. Komosio Cerebri, CKR, CKS, CKB. In:
Panduan Pelayanan Medis Departemen Neurologi. Pusat Penerbitan
Bagian Neurologi FKUI/RSCM. 2007. p51-58
8. Mayo Clinic. Traumatic brain injury. Available at:
http://www.mayoclinic.com/health/traumatic-brain-injury/DS00552.
Accessed on November 21 2012.
9. Lombardo MC. Cedera Sistem Saraf Pusat. In: In: Price SA. Patofisiologi: Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit. 6th Ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2006. p1067-1077
10. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Cedera Kepala. In: Panduan Praktis
Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf. 2009. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2006. p12-18
23