Disusun Oleh :
0910721004
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
CURRICULUM VITAE
NIM : 0910721004
ANGKATAN : 2009 A
RIWAYAT PENDIDIKAN :
A. KLASIFIKASI
Menurut Price&Wilson Infeksi Traktus Urinarius umumnya dibagi
menjadi 2 subkategori besar yaitu:
1. Lower Urinary Tract Infection / UTI bagian bawah, meliputi
: x Uretritis
x Sistitis
x Prostatitis
2. Upper Urinary Tract Infection / UTI bagian atas, meliputi:
x Pielonefritis
Sedangkan untuk gangguan inflamasi pada traktus urinarius
adalah : Glomerulonefritis Akut , Kronis dan Progresif Cepat (subakut)
B. DEFINISI
1. Lower Urinary Tract
Infection a. Uretritis
Definisi
adalah peradangan yang terjadi pada saluran uretra.
Brunner and Suddart menyatakan bahwa uretritis adalah
inflamasi uretra yang biasanya merupakan infeksi yang menyebar naik.
Price and Wilson menyatakan bahwa uretritis adalah peradangan
uretra oleh berbagai penyebab dan merupakan sindrom yang sering
terjadi pada pria.
Berdasarkan kuman penyebab, uretritis dapat digolongkan
menjadi tipe gonoreal dan nongonoreal Namun demikian kedua kondisi
tersebut dapat terjadi pada satu pasien.
Uretritis Gonoreal
Uretritis gonoreal disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae dan ditularkan
melalui kontak seksual.
Pada pria, infeksi orifisium mental terjadi disertai rasa terbakar ketika
urinasi. Rabas uretral purulen muncul dalam 3 sampai 14 hari (atau lebih
lama) setelah kontak seksual. Meskipun demikian penyakit ini dapat
bersifat asimtomatik.
Pada wanita rabas uretral tidak selalu muncul dan penyakit juga
asimtomatik. Oleh karena itu gonorea pada wanita sering tidak
didiagnosis dan dilaporkan. Pada pria, infeksi melibatkan jaringan di
sekitar uretra, menyebabkan periuretritis, prostatitis, epididimitis, dan
striktur uretra. Sterilitas dapat terjadi akibat obstruksi vasoepididimal.
Uretritis Nongonoreal
Penyebab uretritis nongonoreal bukan N. Gonorrhoeae, melainkan
disebabkan oleh Clamidia trakomatik (30%-50%) dan Ureplasma
urelitykum (25%-35%). Periode inkubasi untuk NGU adalah 1-5 minggu.
Jika pasien adalah pria, dia akan mengeluh adanya disuria tingkat
sedang atau parah dan rabas uretral dengan jumlah sedikit sampai
sedang. Uretritis nongonoreal memerlukan penanganan nonmikrobial
yang tepat menggunakan tetrasiklin atau doksisiklin. Pada pasien yang
tidak berespons atau alergi terhadap tetrasiklin, dapat diganti dengan
eritromisin.
Epidemiologi
Uretritis akut paling banyak ditemukan pada pria dengan gonorea,
walaupun pada beberapa pria dengan gonorea tidak pernah terlihat dan
timbul tanda atau gejala uretritis. Organisme-organisme penyebab Uretritis
paling banyak ditularkan melalui aktivitas seksual (Price Wilson, 2005)
Patofisiologi
Uretritis Gonoreal
Chlamidia trachomatis, Herpes Simplek, HPV, Tricomonas vaginalis,
Neisseria gonorrhea
kontak seksual
Berproliferasi
Uretritis
Uretritis Nongonoreal
Bakteri trauma uretra refluks vesika uretra
Uretritis
Faktor Resiko
Organisme yang paling sering adalah Neisseria gonorrhoeae,
Chlamidia trachomatis, Ureaplasma urealyticum, Trichomonas vaginalis,
virus herpes simpleks (tipe 1 & 2), serta HPV (de jong 2004). Organisme
tersebut kebanyakan ditularkan melalui aktivitas seksual yang sering
mengganti pasangan. Resiko bagi orang yang sering melakukan hubungan
seks bebas, sangatlah rawan untuk bisa terinfeksi penyakit ini .
Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala Uretritis Gonococcal (UG) dan Uretritis Non-
Gonococcal (UNG) pada dasarnya adalah sama, namun berbeda pada
derajat keparahan gejala yang timbul. Kedua uretritis baik gonococcal
maupun non-gonococcal menyebabkan adanya lendir, dysuria, dan gatal
pada uretra. Lendir yang sangat banyak, dan purulen lebih sering pada
gonorrhea, sedangkan pada kondisi UNG, lendir yang dihasilkan lebih
sedikit dan mukoid. Pada UNG, lendir sering hanya muncul pada pagi
hari, atau hanya terlihat seperti krusta yang melekat di meatus atau
terlihat seperti bercak pada pakaian dalam. frekuensi, hematuria, dan
urgensi sering terjadi pada kedua jenis infeksi. Masa inkubasi jauh lebih
pendek pada infeksi gonorrhea, yaitu dalam 2-6 hari, sedangkan pada
UNG, gejala muncul dalam 1-5 minggu setelah infeksi, dengan masa
inkubasi rata-rata 2-3 minggu7.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kreiger yang membandingkan
manifestasi klinis uretritis gonococcal, chlamydial, dan trichomonal. Hanya
55% pria dengan trichomoniasis yang mengalami lendir uretra,
dibandingkan pada infeksi Chlamydia 82%, dan 93% pada gonorrhea.
Lendir yang dihasilkan pada infeksi N. gonorrhea, 82% berjumlah sangat
banyak dan purulen. Berbeda dengan infeksi Chlamydia dan Trichomonal
dengan sedikit lendir berwarna jernih atau mukoid7.
Gejala uretritis adalah discharge purulen dan alguria/disuria.
Kebanyakan uretritis bersifat asimtomatis. Pada yang bersifat
simtomatis, gejala yang terjadi antara lain adalah sebagai berikut :
a. Mukosa memerah dan oedema
b. Terdapat cairan eksudat yang purulen
c. Ada ulserasi pada uretra
d. Ada rasa gatal yang menggelitik
e. Goodmorning sign
f. Ada nanah pada awal miksi
g. Kesulitan dalam memulai miksi
h. Nyeri pada abdomen bagian bawah
i. Inflamasi pada uretra menimbulkan rasa terbakar pada saat urinasi
Tanda pada Pria
Gejala baru mulai timbul biasanya setelah 1-3 minggu kontak seksual dan
umumnya tidak seberat gonore. Gejalanya berupa disuria ringan, perasaan
tidak enak di uretra, sering kencing dan keluarnya duh tubuh seropurulen.
Dibandingkan dengan gonore, perjalanan penyakit lebih lama karena masa
inkubasi yang lebih lama dan ada kecenderungan kambuh kembali. Pada
beberapa keadaan tidak terlihat keluarnya cairan duh tubuh, sehingga
menyulitkan diagnosis. Dalam keadaan demikian sangat diperlukan
pemeriksaan laboratorium. Komplikasi yang dapat terjadi
Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis secara klinis sukar untuk membedakan infeksi karena
gonore atau non-gonore. Menegakkan diagnosis servisitis atau uretritis
oleh klamidia, perlu pemeriksaan khusus untuk menemukan atau
menentukan adanya C. trachomatis. Pemeriksaan laboratorium yang
umum digunakan sejak lama adalah pemeriksaan sediaan sitologi
langsung dan biakan dari inokulum yang diambil dari specimen
urogenital. Baru pada tahun 1980an ditemukan tehnologi pemeriksaan
terhadap antigen dan asam nukleat C. trachomatis2.
Pemeriksaan menyeluruh pada pasien dengan penyakit menular
seksual, termasuk uretritis, sangat penting dalam mengarahkan terapi
yang tepat. Kuantitas discar pada uretritis dapat dikategorikan “banyak”
(mengalir secara spontan dari uretra), “sedikit” (keluar hanya jika uretra
di ekspos), “sedang” (keluar secara spontan, namun hanya sedikit).
Warna dan karakter discharge uretra harus diperhatikan. Lendir
berwarna kekuningan atau hijau disebut sebagai lender purulen. Lendir
berwarna putih yang bercampur cairan jernih dinamakan lender
“mukoid”. Jika hanya lendir bening, dinamakan “jernih”. Adanya inflamasi
pada meatus uretra, edema penis, dan pembesaran kelenjar limfe juga
harus diperhatikan7.
Pemeriksaan sitologi langsung dengan pewarnaan giemsa memiliki
sensitivitas tinggi untuk konjungtivitis (95%), sedangkan untuk infeksi genital
rendah (pria 15%, wanita 41%). Sitologi dengan Papaniculou sensitivitasnya
juga rendah, 62%. Hingga saat ini pemeriksaan biakan masih menjadi baku
emas pemeriksaan klamidia. Spesifitasnya mencapai 100%, tetapi
sensitivitasnya bervariasi bergantung pada laboratorium yang digunakan
(nilai berkisar 75-85%). Prosedur, tehnik dan biaya pemeriksaan biakan ini
tinggi serta perlu waktu 3 hingga 7 hari2.
Jika tidak ada kriteria diatas yang positif, pasien harus di tes untuk
konfirmasi infeksi N. gonorrhea atau C. trachomatis. Jika hasil tes
menunjukkan infeksi N. gonorrhea atau C.trachomatis, pasien harus
diberikan perawatan yang sesuai, pasangan seksual ikut untuk menjalani
tes7.
Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan terapi berdasarkan panduan The Center for
Disease Control and Prevention. Antibiotika yang direkomendasikan
untuk N. gonnorrheae
a. Cefixime 400 mg oral
b. Ceftriaxone 250 mg IM
c. Ciprofloxacine 500 mg oral
d. Ofloxacin 400 mg oral
Keempat antibiotika diatas diberikan dalam dosis tunggal.
Infeksi gonorrheae sering diikuti dengan infeksi chlamydia. Oleh
karena itu perlu ditambahkan antibiotika anti-chlamydial :
a. Azithromycin, 1 gr oral (dosis tunggal)
b. Doxycycline 100 mg oral 2 kali sehari selama 7 hari
c. Erythromycine 500 mg oral 4 kali sehari selama 7 hari
d. Ofloxacin 200 mg oral 2 kali sehati slama 7 hari
Seperti pada penyakit menular seksual lainnya, penatalaksanaan
terhadap pasangan seksual perlu diberikan.
b. Sistitis
Definisi
adalah inflamasi akut pada kandung kemih/buli-buli.
Basuki B Purnomo menyatakan sistitis akut adalah inflamasi akut
pada mukosa buli-buli yang sering disebabkan oleh infeksi oleh bakteria.
Mikroorganisme penyebab infeksi ini terutama adalah E coli, Enteroccoci,
Proteus, dan Stafilokokus aureus yang masuk ke buli-buli melalui uretra.
Brunner and Studdart menyatakan bahwa sistitis adalah inflamasi
kandung kemih yang paling sering disebabkan oleh menyebarnya infeksi
dari uretra. Hal ini dapat disebabkan oleh aliran balik urin dari uretra ke
dalam kandung kemih (refluks uretrovesikal), kontaminasi fekal,
pemakaian kateter atau sistoskop.
Ada pula Sistitis Interstitial yaitu suatu gangguan inflamasi noninfeksius
kandung kemih yang ditandai oleh gejala yang serupa dengan infeksi
traktus urinari bawah.
Infeksi ini berkaitan juga dengan penggunaan kontrasepsi
spermasida-diafragma karena kontrsepsi ini dapat menyebabkan
obstruksi uretra parsial dan mencegah pengosongan sempurna kandung
kemih. Cistitis pada pria merupakan kondisi sekunder akibat bebarapa
faktor misalnya prostat yang terinfeksi, epididimitis, atau batu pada
kandung kemih.
Cystitis dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu;
x Cystitis primer,merupakan radang yang mengenai kandung kemih
radang ini dapat terjadi karena penyakit lainseperti batu pada
kandung kemih, divertikel, hipertropi prostat dan striktura uretra.
x Cystitis sekunder, merukan gejala yang timbul kemudian sebagai
akibat dari penyakit primer misalnya uretritis dan prostatitis
Epidemiologi
Wanita lebih sering mengalami serangan sistitis daripada pria
karena uretra wanita lebih pendek daripada pria. Disamping itu getah
cairan prostat pada pria mempunyai sifat bakterisidal sehingga relative
tahan terhadap infeksi saluran kemih. Diperkirakan bahwa paling sedikit
10%-20% wanita pernah mengalami serangan sistitis dalam hidupnya
dan kurang lebih 5% dalam satu tahun pernah mengalami serangan ini
(Basuki B Purnomo, 2003). Gangguan terutama dialami oleh wanita usia
40-50 tahun namun juga dapat menyerang segala usia, rasa atau seks.
Sistitis interstitial menyerang lebih dari 450.000 orang di Amerika Serikat.
Sebuah penelitian dari Association of Reproductive Health
Professional didapatkan data secara umum diperkirakan rasio
penderita Cystitis antara wanita dan pria adalah 9:1.2 Namun, dalam
studi JPKM hanya disebutkan, rasio tersebut hanya 5:1
P
atofi
siologi
Merupakan ascending infection dari saluran perkemihan. Pada wanita
biasanya berupa sistitis akut karena jarak uretra ke vagina pendek,
kelaian periuretral, rectum (kontaminasi) feses, efek mekanik coitus serta
infeksi kambuhan organism gram negative dari saluran vagina dan
genital eksternal memungkinkan organism masuk vesika perkemihan.
Infeksi ini terjadi mendadak akibat flora (E. Coli) pada tubuh pasien.
Pada laki-laki abnormal, sumbatan menyebabkan striktir dan hiperplasi
prostatic (penyebab paling sering). Infeksi saluran kemih atas
Sistitis merupakan infeksi saluran kemih bagian bawah yang
secara umum disebabkan oleh bakteri gram negatif, yaitu Escherichia
Coli.Peradangan timbul dengan penjalaran secara hematogen ataupun
akibat obstruksi saluran kemih bagian bawah, baik akut maupun kronik
dapat bilateral maupun unilateral. Kemudian bakteri tersebut
berekolonisasi pada suatu tempat misalkan pada vagina atau genetalia
eksterna menyebabkan organisme melekat dan berkolonisasi di suatu
tempat di periutenial dan masuk ke kandung kemih.
Faktor Resiko
Faktor resiko cystitis adalah pasien dengan diabetes mellitus,
pasien yang mempunyai riwayat infeksi saluran kemih sebelumnya atau
trauma local minor seperti pada saat senggama. (Purnomo,2009)
Infeksi ini berkaitan juga dengan penggunaan kontrasepsi
spermasida-diafragma karena kontrsepsi ini dapat menyebabkan
obstruksi uretra parsial dan mencegah pengosongan sempurna kandung
kemih. Cistitis pada pria merupakan kondisi sekunder akibat bebarapa
faktor misalnya prostat yang terinfeksi, epididimitis, atau batu pada
kandung kemih.
Inflamasi pada buli-buli juga disebabkan oleh bahan kimia, seperti
pada detergent yang dicampurkan ke dalam air untuk rendam duduk,
deodorant yang disemprotkan pada vulva atau obat-obatan yang
dimasukkan intravesika untuk terapi kanker buli-buli (siklofosfamid). (
Basuki P Purnomo, 2003)
Faktor risiko lain yang telah diusulkan oleh Association of
Reproductive Health Professional adalah keturunan. Penelitian terbaru
menunjukkan keturunan yang mungkin berperan dalam patogenesis IC /
PBS. Seperti terlihat pada Tabel 1, sebuah studi tahun 2004 menemukan
bahwa prevalensi IC / PBS pada wanita yang memiliki kerabat tingkat
pertama dengan dikonfirmasi IC / PBS 1.431 per 100,000. Sebagai
perbandingan, tingkat prevalensi dalam populasi umum diperkirakan
sekitar 60 per 100,000. Penelitian 2004 juga menemukan bahwa
prevalensi IC / PBS di tingkat pertama saudara perempuan pasien
dengan IC / PBS dikonfirmasi oleh diagnostik kriteria NIDDK adalah 17
kali lebih tinggi daripada s di populasi umum.
Untuk anak – anak yang lebih dewasa, gejala yang ditunjukkan berupa:
1. rasa sakit pada panggul dan punggung bagian
bawah (dengan infeksi pada ginjal)
2. seringnya berkemih
3. ketidakmampuan memprodukasi urin dalam jumlah yang
normal, dengan kata lain, urin berjumlah sedikit (oliguria)
4. tidak dapat mengontrol pengeluaran kandung kemih dan isi perut
5. rasa sakit pada perut dan daerah pelvis
6. rasa sakit pada saat berkemih (dysuria)
7. urin berwarna keruh dan memilki bau menyengat
Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Sukandar (2009) analisis urin rutin, pemeriksaan mikroskop urin
segar tanpa putar, kultur urin, serta jumlah kuman/mL urin merupakan
protokol standar untuk pendekatan diagnosis ISK. Pengambilan dan koleksi
urin, suhu dan teknik transportasi sampel urin harus sesuai dengan protokol
yang dianjurkan.Pada pemeriksaan urinalysis ditemukan lekosit dan
hematuria. Dan kultur urin akan diketahui bakteri penyebabnya.
x Mikroskopis.
Bahan: urin segar (tanpa diputar, tanpa pewarnaan).
Positif jika ditemukan 1 bakteri per lapangan pandang.
x Biakan bakteri.
Untuk memastikan diagnosa infeksi saluran kemih.
3. Pemeriksaan kimia
Tes ini dimaksudkan sebagai penyaring adanya bakteri dalam urin.
Contoh, tes reduksi griess nitrate, untuk mendeteksi bakteri gram
negatif. Batasan: ditemukan lebih 100.000 bakteri. Tingkat
kepekaannya mencapai 90 % dengan spesifisitas 99%.
Penatalaksanaan Medis
Variasi program penanganan telah berhasil menangani infeksi traktus
urinary bawah non komplikasi pada wanita; dari pemberian dosis tunggal,
program medikasi short course (3-4 hari) atau long course ( 7-10 hari).
Upaya dilakukan untuk mempersingkat perjalanan terapi antibiotic
untuk UTI nonkomplikasi sehingga 80% pasien akan sembuh dalam tiga
hari penanganan.
Penggunaan medikasi yang umum mencakup sulfisoxazole
(Gantrisin), trimethoprim/sulfamethoxazole (TMP/SMZ, Bactrim, Septra)
dan nitrofurantoin (Macrodantin). Kadang-kadang, medikasi seperti
ampisilin atau amoxilin digunakan, tetapi Escherichia coli telah resisten
terhadap agen ini. Pyridium, suatu analgesic urinarius, juga dapat
diresepkan untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat infeksi. ( Brunner
Studdart, 2001)
Pada uncomplicated sistitis cukup diberikan terapi dengan
antimikroba dosis tunggal atau jangka pendek (1-3bulan), tetapi jika tidak
dimungkinkan, dipilih antimikroba yang masih cukup sensitive terhadap
kuman E coli, antara lain: nitrofurantoin, trimethoprim-sulfamethoxazole
atau ampisilin. Kadang diperlukan obat-obatan golongan antikolenergik
( propantheline bromide) untuk mencegah hiperiritabilitas buli-buli dan
fenazopiridin hidroklorida sebagai antiseptic pada saluran kemih.
(Basuki B Purnomo, 2003)
c. Prostatitis
Definisi
adalah peradangan kelenjar prostat; dapat bersifat akut maupun
kronis dan penyebabnya dapat bakterial maupun nonbakterial.
Basuki B Purnomo dalam bukunya menyatakan bahwa prostatitis
adalah reaksi inflamasi pada kelenjar prostat yang dapat disebabkan
oleh bakteri maupun non bakteri.
Brunner and Studdart menyatakan bahwa prostatitis adalah
inflamasi kelenjar prostat yang disebabkan oleh agen infeksius
(bakteri,fungi, mikoplasma) atau oleh berbagai masalah lain ( misalnya
strikur uretra, hiperplasia prostatik). Prostatitis diklasifikasikan sebagai
bakterial atau abakterial, bergantung ada tidaknya mikroorganisme
dalam cairan prostat.
Price Wilson mengemukakan dalam bukunya prostatitis adalah
peradangan prostat; dapat bersifat akut maupun kronik dan
penyebabnya dapat berupa bakterial atau nonbakterial. Kebanyakan
infeksi bakteri pada prostat disebabkan oleh organisme gram negatif;
organisme yang paling sering adalah Escherichia coli. Penyebab lainnya
adalah enterococus, stafilokokus, streptokokus, Chlamydia trachomatis,
Ureaplasma urealycum dan Neisseria gonnorhoeae.
Prostatitis menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel-sel
radang (paling sering limfosit) pada stroma prostat didekat asinus
kelenjar prostat (Nickel et al 1999).
Dahulu disebut “prostatitis” saja, sekarang “Prostatitis Syndrome”
karena seringnya etiologi tidak diketahui sehingga kriteria diagnostik
lemah.
Kuman patogen
Kuman yang sering ditemukan adalah E. coli, Klebsiella spp, Proteus
mirabilis, Enterococcus faecalis dan Pseudomonas aeruginosa. Jenis
kuman yang juga dapat ditemukan adalah Staphylococci, Chlamydia
trachomatis, Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma hominis walaupun
masih menimbulkan perdebatan.
Klasifikasi
Darch 1971 mengelompokkan prostatitis menjadi 4 (berdasarkan
pemeriksaan 4 porsi urin berdasarkan Meares dan Stamey):
x Prostatitis bakteri Akut
x Prostatitis bakterial kronik
x Prostatitis nonbakterial
x Prostatodinia
Patofisiologi
Pada prostatitis bakterial, transmisi bakteri secara seksual
merupakan hal yang biasa, tetapi secara hematogen, limfatik, maupun
infeksi langsung dapat dipertimbangkan juga.
Pada inflamasi akut, sel mengalami inflamasi di dalam glandular
epithelium dan lumen prostat, sedangkan pada inflamasi kronis, sel di
dalam jaringan periglandular juga mengalami inflamasi.
Viral dan prostatitis granulomatosa mungkin dihubungkan
dengan infeksi HIV dan dapat menyebabkan hasil kultur negative. Virus
patogen yang sering menginfeksi pasien HIV ialah cytomegalovirus
(CMV). Mycobacteria, seperti Mycobacterium tuberculosis dan fungi
seperti Candida albicans, juga dapat menyebabkan hasil kultur yang
negative (Taslan, 2010)
Faktor Resiko
Taslan (2010) mengungkapkan beberapa faktor resiko prostatitis,
antara lain yaitu :
x Jenis Kelamin: Laki-laki
x Usia: < 35 tahun
x Penderita HIV
x Granulomatosis Wegener
x Infeksi Fungal dengan C albicans dan Coccidioides immits dan
infeksi mycobacterial M.Tuberculosis.
x Benign Prostatic Hiperplasia
x Kanker prostat
x Infeksi saluran kemih bawah
Manifestasi Klinis
Menurut Basuki B Purnomo, manifestasi klinis prostatitis tergantung
pada klasifikasinya. Berikut penjelasannya:
1. NIH kategori I (Prostatitis Bakteri Akut)
Pasien yang menderita prostatitis bakteriel akut tampak sakit, demam,
menggigil, rasa sakit di daerah perineal dan mengeluh adanya
gangguan miksi. Pada pemeriksaan fisis dengan colok dubur, prostat
teraba membengkak, hangat dan nyeri.
Pada keadaan ini tidak diperbolehkan melakukan massage prostat
untuk mengeluarkan getah kelenjar prostat karena dapat menimbulkan
rasa sakit dan akan memacu terjadinya bakteriemia. Jidak jika tidak
ditangani dengan baik keadaan ini dapat mejadi abses prostat atau
menimbulkan urosepsis.
2. NIH kategori II (Prostatitis Bakteri Kronik)
Prostatitis bakterial kronis terjadi karena adanya infeksi saluran kemih
yang sering kambuh. Gejal yang sering dikeluhkan pasien adalah
disuri, urgensi, frekuensi, nyeri perineal dan kadang nyeri saat
ejakulasi atau hematospermi. Pada pemeriksaan colok dubur mungkin
teraba krepitasi yang merupakan tanda dari suatu kalkulosa prostat.
3. NIH kategori III (Chronic Pelvic Pain Syndromes/ (CPPS)
o NIH kategori IIIa (Inflammatory CPPS)
o NIH kategori IIIB (Non inflammatory CPPS)
Terdapat nyeri pada pelvis yang tidak berhubungan dengan
keluhan miksi dan sering terjadi pada usia 20-45 tahun
4. NIH kategori IV (asimtomatik)
Secara klinis pasien tidak menunjukkan adanya keluhan maupun
tanda dari suatu prostatitis
Penatalaksanaan Medis
Epidemiologi
Pielonefritis adalah penyakit yang sangat umum terjadi, dengan
frekuensi 12-13 kasus per tahun pada 10.000 penduduk yang berjenis
kelamin wanita dan 3-4 kasus per 10.000 pada pria. Wanita muda
umumnya yang paling mungkin akan terkena karena secara tradisional
mencerminkan aktivitas seksual dalam kelompok umur. Bayi dan orang
tua juga berisiko tinggi karena mencerminkan perubahan anatomi dan
status hormonal.
Anak perempuan dan perempuan dewasa mempunyai insiden
UTI dan pielonefritis akut yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak
laki-laki dan laki-laki dewasa, karena bentuk uretra yang lebih pendek
dan letaknya berdekatan dengan anus sehingga mudah terkontaminasi
oleh feses.
Studi epidemiologi menunjukkan adanya bakteriuria yang
Patofisiologi
Bakteri dari blader
Obstruksi ureter dan kantung kemih
Pielonefritis
Faktor Resiko
Faktor predisposisi
� Kehamilan terutama dengan riwayat keracunan (toksemi gravidarum)
� Diabetes mellitus
� Hipertensi
� Anemia
� Umur lebih dari 60 tahun
� Hematuri
� Instrumensasi
� Riwayat penyakit ginjal
Manifestasi Klinis
Pielonefritis Akut
Pasien Pielonefritis akut mengalami demam dan menggigil, nyeri
panggul, nyeri tekan pada sudut kostovertebral (CVA), lekositosis dan
adanya bakteri dan sel darah putih dalam urin. Selain itu gejala
saluran urinarius bawah seperti disuria dan sering berkemih umunya
terjadi. Ginjal pasien pielonefritis akut biasanya membesar disertai
infiltrasi interstitial sel-sel inflamasi. Abses dapat dijumpai pada kapsul
ginjal dan pada taut kortikomedularis.
Pielonefritis Kronis
Pasien pielonefritis kronis biasanya tanpa gejala infeksi kecuali terjadi
eksaserbasi. Tanda-tanda utama mencakup keletihan, sakit kepala,
nafsu makan rendah, poliuria, haus yang berlebihan dan kehilangan
berat badan. Infeksi yang menetap atau kambuh dapat menyebabkan
jaringan parut progresif di ginjal, disertai gagal ginjal pada akhirnya.
Pemeriksaan Diagnosa
Pielonefritis Akut
Suatu urogram intravena dan ultrasound dapat dilakukan untuk
mengetahui lokasi obstruksi di traktus urinarius; menghilangkan
obstruksi adalah penting untuk menyelamatkan ginjal dari kehancuran.
Kultur urin dan tes sensitivitas dilakukan untuk menentukan organism
penyebab sehingga agens antimicrobial yang tepat dapat diresepkan.
Pielonefritis Kronis
Luasnya penyakit dikaji melalui urogram intravena dan pengukuran
BUN, kadar kreatinin dan klirens kreatinin. Jika bakteri terdapat dalam
bakteri tersebut harus dimusnahkan.
Epidemiologi
AS insiden abses ginjal berkisar 1 sampai 10 kasus per 10.000
penerimaan rumah sakit. Dengan tingkat kematian 1,5% sampai 15%.
75% kasus terjadi pada laki- laki. Meskipun pada perempuan memiliki
tingkat resiko yang sama tergantung faktor predisposisi.
Etiologi
Abses ginjal bisa disebabkan oleh bakteri yang berasal dari suatu
infeksi yang terbawa ke ginjal melalui aliran darah atau akibat suatu
infeksi saluran kemih yang terbawa ke ginjal dan menyebar ke dalam
jaringan ginjal.
Abses di permukaan ginjal (abses perinefrik) hampir selalu disebabkan
oleh pecahnya suatu abses di dalam ginjal, yang menyebarkan infeksi ke
permukaan dan jaringan di sekitarnya. Faktor Resiko
Tidak terkontrol
Abses Ginjal
Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala mencakup demam, malese, nyeri tumpul di area
ginjal, kelemahan, anoreksia dan kehilangan berat badan serta lekositosis.
Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
1) Lekositosis (shift to the left)
2) Bila belum berhubungan dengan sistem kolekting o piuria (-
), bacteriuria (-)
3) Pada Medullary absces o piuria (+), bakteriuria (+) & kultur
(+) pada urin & darah
4) Glukosuri & hiperglikemi o D.M.
b. Radiologi
1) BNO : bayangan ginjal membesar, perselubungan (+), m.psoas (-
), batu
2) IVP : abses pada kortek o“ space occupying lesion”
3) USG o masa kistik
4) CT Scan
c. Abses Perinefrik
adalah abses renal yang meluas ke dalam jaringan lemak di sekitar
ginjal.
d. Glomerulonefritis
Definisi
adalah suatu penyakit dimana terjadi inflamasi di glomerulus.
Price Wilson dalam bukunya menyampaikan bahwa
Glomerulonefritis adalah penyakit peradangan ginjal bilateral.
Peradangan dimulai dalam glomerulus dan bermanifestasi sebagai
protenuria dan/atau hematuria. Meskipun lesi terutama ditemukan pada
glomerulus, tapi seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami
kerusakan, sehingga terjadi gagal ginjal kronik.
Definisi lainnya disampaikan oleh Willie Japaries,
mengemukakan bahwa Glomerulonefritis adalah peradangan dan
kerusakan pada alat penyaring darah sekaligus kapiler ginjal.
Menurut Barbara Engran, Glomerulonefritis merupakan sindrom
yang ditandai peradangan dari glomerulus diikuti pembentukan beberapa
antigen.
Istilah umum Glomerulonefritis (GN) biasanya dipakai untuk
menyatakan sejumlah penyakit ginjal primer yang terutama menyerang
Glomerulus yang adapat ataupun tidak disebabkan oleh penyakit ginjal
primer.
Epidemiologi
Glomerulonefritis sering ditemukan pada anak berumur antara 3-7
tahun dan lebih sering mengenai anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2
: 1 dan jarang menyerang anak dibawah usia 3 tahun. Hasil penelitian
multisenter di Indonesia pada tahun 1988, melaporkan adanya 170
pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien
terbanyak dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian disusul berturut-turut
di Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%). Pasien
laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1 dan terbanyak pada anak usia
antara 6-8 tahun (40,6%).
Patofisiologi
Dari hasil penyelidikan klinis imunologis dan percobaan pada
binatang menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai
penyebab glomerulonefritis akut. Beberapa ahli mengajukan hipotesis
sebagai berikut :
1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada
membrane basalis glomerulus dan kemudian merusaknya.
2. Proses auto imun kuman streptococcus yang nefritogen dalam
tubuh menimbulkan badan auto-imun yang merusak glomerulus.
3. Streptococcus nefritogen dengan membrane basalis glomerulus
mempunyai komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti
yang langsung merusak membrane basalis ginjal.
1.1 Penyakit Glomerulus
Kapiler glomerulus
Glomerulus
b. Glomerulonefiris Kronis
Glomerulonefritis kronis,awalnya seperti glomerulonefritis akut atau
tampak sebagai tipe reaksi antigen/antibody yang lebih ringan,kadang-
kadang sangat ringan,sehingga terabaikan. Setelah kejadian berulang
infeksi ini,ukuran ginjal sedikit berkurang sekitar seperlima dari ukuran
normal,dan terdiri dari jaringan fibrosa yang luas, korteks mengecil menjadi
lapisan yang tebalnya 1-2 mm atau kurang. Berkas jaringan parut merusak
sistem korteks,menyebabkan permukaan ginjal kasar dan ireguler. Sejumlah
glomeruli dan tubulusnya berubah menjadi jaringan parut,dan cabang-
cabang arteri renal menebal. Akhirnya terjadi perusakan
glomerulonefritis yang parah,menghasilkan penyakit ginjal tahap akhir
(ESRD). (Price Wilson)
Glomerulonefritis kronik awitannya mungkin seperti
glomerulonefritis akut atau tampak sebagai tipe reaksi antigen-antibodi
yang lebih ringan, kadang-kadang sangat ringan sehingga terabaikan.
Setelah kejadian berulangnya infeksi ini, ukuran ginjal sedikit berkurang
sekitar seperlima dari ukuran normal dan terdiri dari jaringan fibrosa yang
luas. Korteks mengecil menjadi lapisan yang tebalnya 1-2 mm atau
kurang. Berkas jaringan parut merusak sisa korteks, menyebabkan
permukaan ginjal kasar dan irregular. Sejumlah glomeruli dan tubulusnya
berubah menjadi jaringan parut, dan cabang-cabang arteri renal
menebal. Akhirnya terjadi kerusakan glomerulus yang parah,
menghasilkan penyakit ginjal tahap akhir ( ESRD) (Brunner Studdart).
Glomerulus akut
glomerulus kronis
2. Glomerulonefritis Kronik
Penyakit cenderung timbul tanpa diketahui asal usulnya dan biasanya
baru ditemukan pada stadium lanjut, ketika timbul gejala-gejala
insufisiensi ginjal. Menurut stadium penyakit, mungkin akan timbul
poliuria atau oliguria, berbagai derajat protenuria, hipertensi, azotemia
progresif dan kematian akibat uremia.
Pada CGN lanjut maka ginjal tampak mengkerut, kadang-kadang
beratnya hanya 50 gram dan permukaan bergranula. Perubahan-
perubahan ini terjadi akibat berkurangnya jumlah nefron karena iskemia
dan hilangnya nefron. Pada pemeriksaan mikroskopik tampak sebagian
besar glomerulus telah mengalami perubahan. Mungkin terdapat
campuran tampak sebagian besar glomerulus telah mengalami
perubahan. Mungkin terdapat campuran antara perubahan membranosa
dan proliferasi dan pembentukan epitel berbentuk bulan sabit . Akhirnya
tubulus mengalami atrofi, fibrosis interstitial dan penebalan didnding
arteria. Bila semua organ strukturnya telah mengalami kerusakan hebat,
organ ini disebut ginjal stadium akhir, dan mungkin sulit menentukan
apakah lesi asalnya terjadi pada glomerulus, interstitial dan disebabkan
oleh pielonefritis kronik dan vascular. ( Price Wilson )
Pemeriksaan Diagnostik
Perangkat diagnostic yang perlu dilakukan adalah :
Hematuria dapat diukur dengan urinealisis
silinder SDm dalam urine
Protenuria lebih dari 3-5 mg perhari
Penurunan GFR seperti terukur dengan klirens kreatinin apabila
keadaan tersebut disebabkan oleh glomerulonefritis pascastrepkokus
akut, maka akan dijumpai enzim-enzim antisterptokokus misalnya
antisterptolisin O dan antistreptokinase. (Corwin : 2009)
Menurut Nursalam pemeriksaan diagnostic yang diperlukan antara
lain:
1. Urinalisis : hematuria (secara mikroskopik), protenuria, endapan sel
darah merah dalam urin, sel darah putih, epitel sel renal, dan
berbagai endapan dalam sedimen.
2. Darah : peningkatan BUN dan kreatinin, albumin rendah. Lipid
meningkat, titer antistreptolisin meningkat ( dari reaksi
organism streptokokus)
3. Biopsi dengan jarum dengan ginjal: sumbatan kapiler glomerulus
dari proliferasi sel endothelia
Penatalaksanaan Medis
- apabila kelainan disebabkan oleh glomerulonefiris
pascastreptokokus akut, maka diperlukan terapi antibiotik
- kerusakan glomerulus akibat proses autoimun dapat diobati dengan
kostikosteroid untuk imunosupresi
- pada Glomerulonefritis Progresif Cepat dapat digunakan antikoagulan
untuk mengurangi pengendapan fibrin dan pembentukan jaringan
parut
- kontrol glukosa yang ketat pada penderita Diabetes terbukti
memperlambat / mengurangi progresi glomerulonefritis.
- Penelitian menunjukkan ACE inhibitor dapat mengurangi kerusakan
glomerulus pada penderita diabetes bahkan jika tidak terbukti adanya
Hipertensi nyata ( Corwin, 2009)