Anda di halaman 1dari 27

Proses Industri Petro dan Oleokimia - Deterjen

DETERJEN

David Kangnata 1607166819


Dewi 1607166810
Dhamala Shobita C 1607166813
Fernando Susilo 1607166809
Hendriadi Siregar 1607166887

Proses Industri Petro dan Oleokimia - Deterjen


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS RIAU
1/1/2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga makalah yang berjudul, “ DETERJEN ” telah dapat diselesaikan.
Dalam penulisan makalah ini, kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk menghasilkan
hasil yang terbaik. Namun kami mengharapkan kritik dan saran guna penyempurnaan tulisan
makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan
semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan Rahmat dan Karunia-nya kepada
kita semua, Amin.
Pekanbaru, Maret 2017

Penulis

1|P r o s e s I n d u s t r i P e t r o d a n O l e o k i m ia – D e t e r j e n ( 2017)
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ 1


DAFTAR ISI .............................................................................................................................. 2
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................................. 3
DAFTAR TABEL....................................................................................................................... 4
BAB 1. PENDAHULUAN ......................................................................................................... 5
1.1. LATAR BELAKANG .................................................................................................... 5
1.2. TUJUAN PENULISAN.................................................................................................. 6
BAB 2. ISI.................................................................................................................................. 7
2.1. PENGERTIAN DETERJEN ........................................................................................... 7
2.2. KEGUNAAN DETERJEN ............................................................................................. 7
2.3. MEKANISME KERJA DETERGEN ............................................................................. 7
2.4. DAMPAK DETERJEN TERHADAP LINGKUNGAN ................................................ 8
2.5. KOMPOSISI DETERJEN............................................................................................... 9
2.6. KLASIFIKASI DETERJEN ........................................................................................... 12
2.6.1. BERDASARKAN BENTUK FISIK ...................................................................... 12
2.6.2. BERDASARKAN KANDUNGAN SENYAWA ORGANIK ............................... 14
2.6.3. BERDASARKAN KEGUNAAN ........................................................................... 16
2.7. METODE PEMBUATAN DETERJEN.......................................................................... 16
2.7.1. SPRAY DRYING ...................................................................................................... 17
2.7.2. AGLOMERASI ....................................................................................................... 21
2.7.3. DRY MIXING .......................................................................................................... 23
BAB 3. KESIMPULAN ............................................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................. 26

2|P r o s e s I n d u s t r i P e t r o d a n O l e o k i m ia – D e t e r j e n ( 2017)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Mekanisme Kerja Deterjen ........................................................................................... 8
Gambar 2. Struktur Kimia Surfaktan Rantai Lurus ........................................................................ 8
Gambar 3. Struktur Kimia Surfaktan Rantai Bercabang ................................................................ 8
Gambar 4. Deterjen Kationik ........................................................................................................ 14
Gambar 5. Deterjen Anionik ......................................................................................................... 15
Gambar 6. Deterjen Non-Ionik ..................................................................................................... 15
Gambar 7. Skema Metode Spray Drying ...................................................................................... 17
Gambar 8. Skema Penanganan Bahan Baku Padat ....................................................................... 18
Gambar 9. Proses Spray Drying.................................................................................................... 21
Gambar 10. Skema Proses Aglomerasi......................................................................................... 22
Gambar 11. Dry Mixing: Plow Mixer with Chopper.................................................................... 24

3|P r o s e s I n d u s t r i P e t r o d a n O l e o k i m ia – D e t e r j e n ( 2017)
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Bahan Aditif pada Deterjen ............................................................................................ 11


Tabel 2. Formula Proses Metode DMG ........................................................................................ 24

4|P r o s e s I n d u s t r i P e t r o d a n O l e o k i m ia – D e t e r j e n ( 2017)
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Deterjen sintetik yang pertama dikembangkan oleh Jerman pada waktu Perang Dunia II
dengan tujuan agar lemak dan minyak dapat digunakan untuk keperluan lainnya. Pada saat
ini ada lebih 1000 macam deterjen sintetik yang ada di pasaran. Fritz Gunther, ilmuwan
Jerman, biasa disebut sebagai penemu surfaktan sintetis dalam deterjen tahun 1916. Namun,
baru tahun 1933 deterjen untuk rumah tangga diluncurkan pertama kali di AS. Kelebihan
deterjen, mampu lebih efektif membersihkan kotoran meski dalam air yang mengandung
mineral.
Sepanjang sejarah banyak usaha dilakukan untuk membantu kita mengerjakan pekerjaan
mencuci. Pencucian dengan air saja, bahkan dengan penggosokan atau putaran mesin
sekeras apapun, akan menghilangkan sebagian saja bercak, kotoran dan partikel-partikel
tanah. Air saja tidak dapat menghilangkan debu yang tak larut dalam air. Air juga tak
mampu menahan debu yang telah lepas dari kain agar tetap tersuspensi (tetap berada di air,
jadi tidak kembali menempel ke kain). Sehingga diperlukan bahan yang dapat membantu
mengangkat kotoran dari air dan kemudian menahan agar kotoran yang telah terangkat tadi,
tetap tersuspensi. Sejak ratusan tahun lalu telah dikenal sabun,yakni persenyawaan antara
minyak atau lemak dan basa. Awalnya orang-orang Arab secara tak sengaja menemukan
bahwa campuran abu dan lemak hewan dapat membantu proses pencucian.
Walaupun berbagai usaha perbaikan pada kualitas dan proses pembuatan sabun telah
dilakukan, semua sabun hingga kini mempunyai satu kekurangan utama yakni akan
bergabung dengan mineral- mineral yang terlarut dalam air membentuk senyawa yang sering
disebut lime soap (sabun kapur), membentuk bercak kekuningan di kain atau mesin pencuci.
Akibatnya kini orang mulai meninggalkan sabun untuk mencuci seiring dengan
meningkatnya popularitas deterjen.
Deterjen pertama yang dihasilkan yaitu natrium lauril sulfat (NSL) yang berasal dari
lemak trilausil yang kemudian direduksi dengan hidrogen dibantu dengan katalis. Setelah
itu, direaksikan dengan asam sulfat lalu dinetralisasi. Karena proses produksinya yang

5|P r o s e s I n d u s t r i P e t r o d a n O l e o k i m ia – D e t e r j e n ( 2017)
mahal, maka penggunaan NSL ini tidak dilanjutkan. Industri deterjen selanjutnya
dikembangkan dengan menggunakan alkil benzena sulfonat (ABS). Akan tetapi, ABS ini
memiliki dampak negatif terhadap lingkungan karena molekul ABS ini tidak dapat
dipecahkan oleh mikroorganisme sehingga berbahaya bagi persediaan suplai air tanah.
Selain itu, busa dari ABS ini menutupi permukaan air sungai sehingga sinar matahari tidak
bisa masuk pada dasar sungai yang dapat menyebabkan biota sungai menjadi mati dan
sungai menjadi tercemar. Perkembangan selanjutnya ABS diganti dengan linear alkil
sulfonat (LAS). Deterjen ini memiliki rantai karbon yang panjang dan dapat dipecahkan oleh
mikroorganisme sehingga tidak menimbulkan busa pada air sungai. Akan tetapi, LAS juga
memiliki kekurangan yaitu dapat membentuk fenol, suatu bahan kimia beracun.
Oleh karena itu, penulis menuliskan makalah mengenai proses pembuatan deterjen
sebagai salah satu bahan kajian pada mata kuliah Teknologi Petro dan Oleokimia di
Universitas Riau.

1.2 TUJUAN PENULISAN


Adapun tujuan penulisan makalah adalah sebagai salah satu media pembelajaran
terhadap salah satu industri petro dan oleokimia pada mata kuliah Proses Industri Petro dan
Oleokimia di jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Riau

6|P r o s e s I n d u s t r i P e t r o d a n O l e o k i m ia – D e t e r j e n ( 2017)
BAB 2
ISI

2.1. PENGERTIAN DETERJEN


Deterjen adalah campuran berbagai bahan, yang digunakan untuk membantu
pembersihan dan terbuat dari bahan-bahan turunan minyak bumi. Dibanding dengan sabun,
deterjen mempunyai keunggulan antara lain mempunyai daya cuci yang lebih baik serta
tidak terpengaruh oleh kesadahan air.

2.2. KEGUNAAN DETERJEN


Deterjen sebagai cleaning agent memiliki molekul yang mampu beragregasi dalam air.
Adapun kegunaan deterjen adalah sebagai berikut.
a. Berperan sebagai agen pembersih primer
b. Agen pembersih yang tidak terpengaruh oleh kesadahan air
c. Memiliki busa yang dapat membasahi kotoran pada benda yang akan dicuci juga
melakukan pencucian lebih efektif dengan mereduksi tegangan permukaan
d. Menghilangkan kotoran dari permukaan
e. Menjaga kotoran berada pada solusi atau suspensi yang stabil (detergency)

2.3. MEKANISME KERJA DETERJEN


Kinerja deterjen, khususnya kandungan surfaktan di dalamnya, memiliki kemampuan
yang unik untuk mengangkat kotoran, baik yang larut dalam air maupun yang tak larut
dalam air. Salah satu ujung dari molekul surfaktan bersifat lebih suka minyak atau tidak
suka air, akibatnya bagian ini mempenetrasi kotoran yang berminyak. Ujung molekul
surfaktan satunya lebih suka air, bagian inilah yang berperan mengendorkan kotoran dari
kain dan mendispersikan kotoran, sehingga tidak kembali menempel ke kain. Akibatnya
warna kain akan dapat dipertahankan.
Jika kotoran berupa minyak atau lemak maka akan membentuk emulsi minyak–air dan
deterjen sebagai emulgator (zat pembentuk emulsi). Sedangkan apabila kotoran yang berupa
tanah akan diadsorpsi oleh deterjen kemudian mambentuk suspensi butiran tanah-air,
dimana deterjen sebagai suspensi agent (zat pembentuk suspensi).

7|P r o s e s I n d u s t r i P e t r o d a n O l e o k i m ia – D e t e r j e n ( 2017)
Gambar 1. Mekanisme Kerja Deterjen

2.4. DAMPAK DETERJEN TERHADAP LINGKUNGAN


Masalah yang ditimbulkan akibat pemakaian deterjen terletak pada pemakaian jenis
surfaktan dan gugus pembentuk. Akibat surfaktan di dalam air, sisa deterjen harus mampu
mengalami degradasi (penguraian) oleh bakteri-bakteri yang umumnya terdapat di alam.
Lambatnya proses degradasi ini mengakibatkan timbulnya busa di atas permukaan air, dalam
jumlah yang makin lama makin banyak. Hal ini disebabkan oleh bentuk struktur surfaktan
yang dipakai. Jika struktur kimia berupa rantai lurus, gugus surfaktan ini mudah diuraikan.
Sedangkan jika struktur berupa rantai bercabang, maka surfaktan ini sulit dipecahkan.

Gambar 2. Struktur Kimia Surfaktan Rantai Lurus

Gambar 3. Struktur Kimia Surfaktan Rantai Bercabang

Akibat dari gugus pembentukan. Masalah yang ditimbulkan oleh gugus pembentuk
yaitu gugus ini akan mengalami hidrolisis yang menghasilkan ion ortofosfat.
P3 O10 5- + 2H2 O → 2HPO 4 2- + H2 PO4 -
Kedua gugus ini sangat berpengaruh dalam proses eutrofikasi, yang bisa mengakibatkan
tanaman alga dan tanaman air tumbuh secara liar.

8|P r o s e s I n d u s t r i P e t r o d a n O l e o k i m ia – D e t e r j e n ( 2017)
2.5. KOMPOSISI DETERJEN
Adapun zat-zat yang terdapat dalam deterjen yaitu:
a. Surfaktan
Komponen penting deterjen adalah surfaktan. Surfaktan (surface active agent)
merupakan zat aktif permukaan yang mempunyai ujung berbeda yaitu hidrofil (suka air)
dan hidrofob (suka lemak). Bahan aktif ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan
air sehingga dapat melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan bahan.
Surfaktan yang biasa digunakan dalam deterjen adalah linear alkilbenzene sulfonat,
etoksisulfat, alkil sulfat, etoksilat, senyawa amonium kuarterner, imidazolin dan betain.
Linear alkilbenzene sulfonat, etoksisulfat, alkil sulfat bila dilarutkan dalam air akan
berubah menjadi partikel bermuatan negatif, memiliki daya bersih yang sangat baik, dan
biasanya berbusa banyak (biasanya digunakan untuk pencuci kain dan pencuci piring).
Etoksilat, tidak berubah menjadi partikel yang bermuatan, busa yang dihasilkan sedikit,
tapi dapat bekerja di air sadah (air yang kandungan mineralnya tinggi), dan dapat
mencuci dengan baik hampir semua jenis kotoran.
Senyawa-senyawa amonium kuarterner, berubah menjadi partikel positif ketika
terlarut dalam air, surfaktan ini biasanya digunakan pada pelembut (softener). Imidazolin
dan betain dapat berubah menjadi partikel positif, netral atau negatif bergantung pH air
yang digunakan. Kedua surfaktan ini cukup kestabilan dan jumlah buih yang
dihasilkannnya, sehingga sering digunakan untuk pencuci alat-alat rumah tangga.

b. Bahan Aktif (Active Ingredient)


Bahan aktif merupakan bahan inti dari deterjen sehingga bahan ini harus ada dalam
proses pembuatan deterjen. Secara kimia bahan ini dapat berupa sodium lauryl sulfonate
(SLS). Beberapa nama dagang dari bahan aktif ini diantaranya Luthensol, Emal, dan
Neopelex (NP). Di pasar beredar beberapa jenis Emal dan NP, yaitu Emal-10, Emal-20,
Emal-30, NP-10, NP-20, dan NP- 30. Secara fungsional bahan aktif ini mempunyai andil
dalam meningkatkan daya bersih. Ciri dari bahan aktif adalah busanya sangat banyak.

c. Builder (Penguat)
Builder dapat meningkatkan efisiensi surfaktan. Builder digunakan untuk
melunakkan air sadah dengan cara mengikat mineral- mineral yang terlarut, sehingga

9|P r o s e s I n d u s t r i P e t r o d a n O l e o k i m ia – D e t e r j e n ( 2017)
surfaktan dapat berkonsentrasi pada fungsinya. Selain itu, builder juga membantu
menciptakan kondisi keasaman yang tepat agar proses pembersihan dapat berlangsung
lebih baik serta membantu mendispersikan dan mensuspensikan kotoran yang telah lepas.
Yang sering digunakan sebagai builder adalah:
 Fosfat : Sodium Tri Poly Phosphate (STPP)
 Asetat :
- Nitril Tri Acetate (NTA)
- Ethylene Diamine Tetra Acetate (EDTA)
 Silikat : Zeolit
 Sitrat : Asam Sitrat
Pertimbangan banyak busa adalah pertimbangan salah kaprah tapi selalu dianut oleh
banyak konsumen. Banyaknya busa tidak berkaitan secara signifikan dengan daya bersih
deterjen, kecuali deterjen yang digunakan untuk proses pencucian dengan air yang
jumlahnya sedikit (misalnya pada pencucian karpet). Untuk kebanyakan kegunaan di
rumah tangga, misalnya pencucian dengan jumlah air yang berlimpah, busa tidak
memiliki peran yang penting. Dalam pencucian dalam jumlah air yang sedikit, busa
sangat penting karena dalam pencucian dengan sedikit air, busa akan berperan untuk
tetap "memegang" partikel yang telah dilepas dari kain yang dicuci, dengan demikian
mencegah mengendapnya kembali kotoran tersebut.

d. Filler
Filler adalah bahan tambahan deterjen yang tidak mempunyai kemampuan
meningkatkan daya cuci, tetapi menambah kuantitas. Contoh: natrium sulfat (Na 2 SO4 ).
Bahan ini berfungsi sebagai pengisi dari seluruh campuran bahan baku. Pemberian bahan
ini berguna untuk memperbanyak atau memperbesar volume. Keberadaan bahan ini
dalam campuran bahan baku deterjen semata- mata ditinjau dari aspek ekonomis. Pada
umumnya, sebagai bahan pengisi deterjen digunakan natrium sulfat. Bahan lain yang
sering digunakan sebagai bahan pengisi, yaitu tetra natrium pyrophosphate dan natrium
sitrat. Bahan pengisi ini berwarna putih, berbentuk bubuk, dan mudah larut dalam air.

10 | P r o s e s I n d u s t r i P e t r o d a n O l e o k i m i a – D e t e r j e n ( 2 0 1 7 )
e. Bahan Aditif
Bahan aditif sebenarnya tidak harus ada dalam proses pembuatan deterjen bubuk.
Namun demikian, beberapa produsen justru selalu mencari hal- hal baru akan bahan ini
karena justru bahan ini dapat memberi kekhususan dan nilai lebih pada produk deterjen
tersebut. Aditif adalah bahan tambahan untuk membuat produk lebih menarik dan tidak
berhubungan langsung dengan daya cuci deterjen, misalnya pewangi, pelarut, pemutih,
pewarna, dst. Contoh-contoh bahan aditif bisa dilihat pada Tabel 2.1.
Dengan demikian, keberadaan bahan aditif dapat mengangkat nilai jual produk
deterjen bubuk tersebut. Salah satu contoh dari bahan aditif adalah carboxyl methyl
cellulose (CMC). Bahan ini berbentuk serbuk putih dan berfungsi untuk mencegah
kembalinya kotoran ke pakaian sehingga disebut “anti-redeposisi”.

Komposisi Fungsi Utama Contoh


Quaternary ammonium
Fabric Softening agents Memberi kelembutan pada kain
compounds
Flourescent Whitening Membuat kain terlihat lebih cermerlang dan Colorless Flourescing
Agents putih ketika terkena sinar Compounds
Menutupi bau, memberikan bau yang sedap
Fragrances Fragrance Blends
pada pakaian dan ruangan
Colorant Mempertahankan Warna Pigments or dyes
Dalam beberapa produk, dapat ditambahkan
Natrium Perborat, Natrium
Oxygen Bleach dalam activator pemutih untuk hasil yang lebih
Perkarbonat.
baik pada temperatur air yang rendah
Cairan antifoam digunakan khusus untuk
pembuatan deterjen bubuk untuk mesin cuci.
Bahan tersebut berfungsi untuk merendam
Antifoam
timbulnya busa. Persentase keberadaan
senyawa ini dalam formula sangat sedikit,
yaitu berkisar antara 0,04-0,06% .
Parfum untuk deterjen berbentuk cairan
berwarna kekuning-kuningan. Parfum umum
Bahan Pewangi (Parfum) bouquet, deep water, alpine, dan
mempunyai aroma yang sudah dikenal umum
spring flower.
di masyarakat, seperti aroma mawar dan
aroma kenanga.
Tabel 1. Bahan Aditif pada Deterjen

11 | P r o s e s I n d u s t r i P e t r o d a n O l e o k i m i a – D e t e r j e n ( 2 0 1 7 )
f. Bahan Penunjang
Salah satu contoh bahan penunjang adalah soda ash atau sering disebut soda abu
yang berbentuk bubuk putih. Bahan penunjang ini berfungsi meningkatkan daya bersih.
Keberadaan bahan ini dalam campuran tidak boleh terlalu banyak karena menimbulkan
efek samping, yaitu dapat mengakibatkan rasa panas di tangan pada saat mencuci
pakaian. Bahan penunjang lain adalah STTP (Natrium Tripolifosfat) yang mempunyai
efek samping yang positif, yaitu dapat menyuburkan tanaman. Dalam kenyataannya, ada
beberapa konsumen yang menyiramkan air bekas cucian produk deterjen tertentu ke
tanaman dan hasilnya lebih subur. Hal ini disebabkan oleh kandungan fosfat yang
merupakan salah satu unsur dalam jenis pupuk tertentu.

2.6. KLASIFIKASI DETERJEN


2.6.1. BERDASARKAN BENTUK FISIK
a. Deterjen Cair
Secara umum, deterjen cair hampir sama dengan deterjen bubuk. Hal yang
membedakan hanyalah bentuknya: bubuk dan cair. Produk ini banyak digunakan di
laundry modern menggunakan mesin cuci kapasitas besar dengan teknologi yang
canggih.

b. Deterjen Krim
Deterjen krim bentuknya hampir sama dengan sabun colek, tetapi kandungan
formula keduanya berbeda.

c. Deterjen Bubuk
Berdasarkan keadaan butirannya, deterjen bubuk dapat dibedakan menjadi 2, yaitu
deterjen bubuk berongga dan deterjen bubuk padat/masif. Perbedaan bentuk butiran
kedua kelompok deterjen tersebut disebabkan oleh perbedaan dalam proses
pembuatannya. Ditinjau dari efektivitasnya untuk mencuci, kedua bentuk deterjen
tersebut dapat dikatakan sama.

12 | P r o s e s I n d u s t r i P e t r o d a n O l e o k i m i a – D e t e r j e n ( 2 0 1 7 )
i. Deterjen Bubuk Berongga
Deterjen bubuk berongga mempunyai ciri butirannya mempunyai rongga.
Butiran deterjen yang berongga dapat dianalogikan dengan bentuk bola sepak yang
didalamnya rongga. Ini berarti butiran deterjen jenis ini mempunyai volume per
satuan berat yang besar karena adanya rongga tersebut. Butiran deterjen jenis
berongga dihasilkan oleh proses spray drying. Kelebihan deterjen bubuk berongga
dibandingkan dengan deterjen bubuk padat adalah volumenya lebih besar. Dengan
berat yang sama, deterjen bubuk dengan butiran berongga tampak lebih banyak
dibandingkan dengan deterjen padat.
Selain kelebihan yang dipunyainya, deterjen berongga mempunyai kelemahan.
Untuk membuat deterjen berongga diperlukan investasi yang besar karena harga
mesin yang digunakan (spray dryer) sangat mahal, yaitu mencapai nilai miliaran
rupiah. Dengan kondisi ini, pembuatan deterjen berongga tidak dapat diaplikasikan
untuk skala dan home industry (industri rumah tangga), baik skala kecil maupun
menengah. Sebagian besar deterjen bubuk yang dipasarkan ke kondumen termasuk
dalam golongan deterjen bubuk berongga.

ii. Deterjen bubuk padat/masif


Bentuk butiran deterjen bubuk padat/masif dapat dianalogikan degan bola tolak
peluru, yaitu semua bagian butirannya terisi oleh padatan sehingga tidak berongga.
Butiran deterjen yang padat merupakan hasil olahan proses pencampuran kering
(dry mixing). Proses dry mixing dapat dibagi menjadi dua, yaitu dry mixing
granulation (DMG process) dan simple dry mixing (metode campur kering
sederhana = CKS). Metode CKS termasuk cara pembuatan deterjen bubuk yang
mudah dipraktekkan.
Kelebihan deterjen bubuk padat, yaitu untuk membuatnya tidak diperlukan
modal besar karena alatnya termasuk sederhana dan berharga murah.
Kekurangannya adalah karena bentuknya padat maka volumenya tidak besar
sehingga jumlahnya terlihat sedikit.

13 | P r o s e s I n d u s t r i P e t r o d a n O l e o k i m i a – D e t e r j e n ( 2 0 1 7 )
2.6.2. BERDASARKAN KANDUNGAN SENYAWA ORGANIK
a. Deterjen Kationik
Merupakan deterjen yang mengandung surfaktan kationik. Deterjen ini akan
berubah menjadi partikel bermuatan positif ketika terlarut dalam air, biasanya
digunakan pada pelembut (softener). Selama proses pembuatannya tidak ada
netralisasi tetapi bahan-bahan yang mengganggu dihilangkan dengan asam kuat untuk
netralisasi. Agen aktif permukaan kationik mengandung kation rantai panjang yang
memiliki sifat aktif pada permukaannya. Kelompok utama dari deterjen kationik
adalah :
 Amina asetat (RNH3)OOCCH3 (R=8 sampai 12 atom C)
 Alkil trimetil amonium klorida (RN(CH3))3+ (R=8 sampai 18 atom karbon)
 Dialkil dimetil amonium klorida (R2N(CH3)2)+Cl- (R=8 sampai 18 atom karbon)
 Lauril dimetil benzil amonium klorida (R2N(CH3)2CH2C2H6)Cl

Gambar 4. Deterjen Kationik

b. DETERJEN ANIONIK
Merupakan deterjen yang mengandung surfaktan anionik dan dinetralkan dengan
alkali. Deterjen ini akan berubah menjadi partikel bermuatan negatif apabila dilarutkan
dalam air. Biasanya digunakan untuk pencuci kain. Kelompok utama dari deterjen
anionik adalah :
 Rantai panjang (berlemak) alkohol sulfat
 Alkil aril sulfonat
 Olefin sulfat dan sulfonat

14 | P r o s e s I n d u s t r i P e t r o d a n O l e o k i m i a – D e t e r j e n ( 2 0 1 7 )
Gambar 5. Deterjen Anionik

c. DETERJEN NETRAL ATAU NON-IONIK


Deterjen non- ionik banyak digunakan untuk keperluan pencucian piring. Karena
deterjen jenis ini tidak memiliki adanya gugus ion apapun, deterjen jenis ini tidak
bereaksi dengan ion yang terdapat dalam air sadah. Deterjen non-ionik kurang
mengeluarkan busa dibandingkan dengan ionic deterjents. Merupakan senyawa yang
tidak mengandung molekul ion sementara, kedua asam dan basanya merupakan
molekul yang sama. Deterjen ini tidak akan berubah menjadi partikel bermuatan
apabila dilarutkan dalam air tetapi dapat bekerja di dalam air sadah dan dapat mencuci
dengan baik hampir semua jenis kotoran. Kelompok utama dari deterjen nonionic
adalah:
 Etilen oksida atau propilen oksida
 Polimer polioksistilen
 Alkil amida

Gambar 6. Deterjen Non-Ionik

15 | P r o s e s I n d u s t r i P e t r o d a n O l e o k i m i a – D e t e r j e n ( 2 0 1 7 )
d. DETERJEN AMFOTERIK
Deterjen jenis ini mengandung kedua kelompok kationik dan anionik. Deterjen ini
dapat berubah menjadi partikel positif, netral, atau negatif bergantung kepada pH air
yang digunakan. Biasanya digunakan untuk pencuci alat-alat rumah tangga. Kelompok
utama dari deterjen ini adalah : Natrium lauril sarkosilat
(CH3 (CH2 )10CH2 NHCH2 CH2 CH2 COONa) dan natrium mirazol.

2.6.3. BERDASARKAN KEGUNAAN


a. Detergen pencuci kain, mengandung alkohol etoksilat dan alkil fenoletoksilat
b. Detergen pencuci piring, mengandung zat seperti detergen pencuci tangan
c. Detergen pembersih peralatan rumah tangga, mengandung heksa dekiltrimetil
amonium klorida
d. Detergen pembersih industri, mengandung zat seperti detergen pembersih rumah
tangga
e. Detergen pembersih gigi, mengandung natrium lauril sarkosionat
f. Detergen pelembut kain, mengandung diokta dekildimetil amonium klorida

2.7. METODE PEMBUATAN DETERJEN


Ada beberapa jenis produksi deterjen tergantung pada bentuk fisik dari produk final
yang diinginkan, apakah itu bubuk, pasta, maupun cair. Dalam makalah ini, penulis akan
membahas lebih lanjut proses pembuatan deterjen bubuk.
Secara umum proses pembuatan deterjen bubuk dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
 Spray-drying
 Agglomerasi
 Dry-mixing

16 | P r o s e s I n d u s t r i P e t r o d a n O l e o k i m i a – D e t e r j e n ( 2 0 1 7 )
2.7.1. SPRAY DRYING
Metode spray drying merupakan metode paling umum yang digunakan pada industri
manufaktur deterjen. Hal ini dikarenakan metode ini menghasilkan deterjen dengan
fleksibilitas formasi dan lebih homogen, sehingga menghasilkan bubuk deterjen dapat
lebih mudah dan cepat larut dalam air.
Adapun tahapan-tahapan metode spray drying dapat dilihat pada gambar di bawah

Gambar 7. Skema Metode Spray Drying

a. Persiapan dan Penakaran Bahan Baku


Dalam penerimaan bahan baku, bahan baku cair diterima dalam wadah drum dan
disimpan dalam storage tank. Sementara bahan baku padat diterima dalam bags atau
wadah khusus kemudian disimpan dalam silo.
Pemilihan dan penanganan bahan baku didasarkan pada penentuan formula
produk akhir yang akan dibuat. Gambar 8. menunjukkan skema penanganan bahan
baku padat skala industri dengan kapasitas 3 hingga 5 ton/jam.

17 | P r o s e s I n d u s t r i P e t r o d a n O l e o k i m i a – D e t e r j e n ( 2 0 1 7 )
To
Intermediate
Pneumatic
solid
Conveying
system

Solid
Raw
materials
Railway car
Hammer
mill

Railway tank
Solid Low pressure
Raw Air feed
materials

Air cooler
Air compressor(s)
Medium pressure
Air feed

Gambar 8. Skema Penanganan Bahan Baku Padat

Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan deterjen secara umum


berbahaya bagi lingkungan. Oleh karena itu, pemakaiannya dibatasi secara teratur.
Bahan-bahan berbau tajam, mengandung konsentrasi partikel yang sangat kecil, juga
beberapa enzim memerlukan penanganan khusus dan prosedur proses yang t elah
ditetapkan oleh penyedia bahan-bahan mentah.

b. Slurry Preparation
Bahan-bahan liquid dan solid yang sudah dipersiapkan kemudian dimasukkan ke
dalam tangki untuk mengalami proses mixing. Sistem pembuatan slurry dibagi
menjadi dua, sistem kontinyu dan batch. Adapun kedua sistem tersebut adalah sebagai
berikut.
 Sistem Kontinyu
Pada awal proses kontinyu, setiap komponen tunggal ditimbang pada selang
waktu tertentu untuk tiap putaran. Variabel proses yang menentukan pada proses
pemasukan bahan baku adalah laju produksi yang diinginkan. Sistem kontinyu
cocok digunakan untuk kapasitas produksi 6-10 ton/jam atau lebih besar.
Bahan baku dikumpulkan secara kontinyu ke dalam mesin yang disebut
crutcher. Pada proses ini, surfaktan, Natrium Tripolifosfat dan aditif-aditif lainnya
dimasukkan. Pada crutcher, asam menjadi umpan dan dinetralisaikan secara
18 | P r o s e s I n d u s t r i P e t r o d a n O l e o k i m i a – D e t e r j e n ( 2 0 1 7 )
langsung didalamnya. Oleh karena itu, slurry crutcher harus terbuat dari bahan –
bahan stainless steel 304 agar bagian dalamnya tidak rusak akibat asam.
Slurry crutcher merupakan mixer dengan kecepatan putaran yang tinggi yang
didesain untu penguraian fine dan membuat campuran menjadi homogen.
Pengoperasian crutcher juga mencegah penumpukkan dan pembentukan gumpalan
– gumpalan padat yang dapat menyumbat pipa aliran umpan. Dari crutcher, slurry
kemudian di transfer menuju aging vessel, di mana campuran tersebut
dihomogenasasi lebih lanjut dan diatur berdasarkan derajat hidrosin dari garam
anorgonik yang diperlukan seperti soda abu, Natrium sulfat, dan Natrium
Tripolifosfat yang ada dalam formula.

 Sistem Batch
Proses pembuatan slurry secara batch direkomendasikan untuk industri dengan
kapasitas produksi sekitar 4 ton/jam. Sistem batch dapat diberikan automasi.
Dimulai dari komponen automasi dalam memasukkan bahan baku ke dalam
crutcher melalui hopper menengah. Setelah pengukuran dan pencampuran dalam
crutcher khusus, slurry akan dipindahkan ke stored vessel. Dari sana slurry melalui
proses filtrasi dan dipompakan menuju spray drying tower.

c. Slurry Pumping
Slurry dipompakan menuju pipa yang dipasang pada bagian atas dari spray tower
yang mana pipa spray tersebut dihubungkan dengan shutoff dan katup-katup yang
dibuat untuk mengendalikan operasi. Ukuran dan jumlah dari pipa spray tergantung
dari kapasitas pabrik.

d. Spray Drying
Slurry kemudian dipompakan ke tingkat teratas dari spray drying tower. Slurry
kemudian disemprotkan dengan tekanan tinggi ke dalam tower dengan ketinggian
lebih dari sepuluh meter, berlawanan dengan udara pa nas dari furnace. Suhu rata-rata
di dalam spray drying chamber sekitar 400-500°C. Setelah itu granula kering dengan

19 | P r o s e s I n d u s t r i P e t r o d a n O l e o k i m i a – D e t e r j e n ( 2 0 1 7 )
bentuk dan ukuran yang sesuai dengan target, juga memiliki densitas yang diinginkan
akan terbentuk.
Butir-butir deterjen yang sudah mengering dikirim pada tingkat teratas dengan
udara yang juga berperan untuk mendinginkan butir-butir deterjen tersebut sehingga
mencapai suhu 90-115°C dan menstrabilkan butiran-butiran tersebut.
Pembersihan khusus pada dinding tower dilakukan dengan air broom dan cincin
blade yang digunakan untuk mencegah penumpukan pada dinding tower. Multicyclon
dan filter dengan efisiensi tinggi ditempatkan pada bagian keluaran aliran udara atau
pada bagian atas tower untuk memperoleh kembali fines yang secara kontinu
dikumpulkan dan digunakan kembali di dalam tower. Semua kondisi operasi spray
drying tower diatur secara automasi dengan adanya pengaturan kondisi operasi yang
tepat, seperti penggunaan bahan bakar, aliran udara, konsentrasi slurry, temperatur dan
tekanan yang dibutuhkan untuk mencapai nilai optimum

e. Post Blending
Deterjen bubuk yang dihasilkan dikeluarkan dari spray drying tower pada
temperature 60-70°C dan dibawa dengan alat pengangkut (belt) menuju unit
kristalisasi kontinu yang dinamakan airlift. Dalam airlift, deterjen dibawa ke atas oleh
aliran udara yang dingin dengan pengeringan sempurna dan dilanjutkan dengan
pengkristalan.
Kemudian, udara pengangkut dihisap melalui penyaring sleeve sebelum
dikeluarkan ke atmosfir. Fines yang dipisahkan akan dikeluarkan kedalam spray
drying tower. Akhirnya deterjen bubuk dalam bagian bawah cyclone dikeluarkan
menuju saringan (screen) untuk membuang setiap material atau bahan mentah yang
masih kasar (biasanya 1%-2% dari total produk yang dihasilkan).

f. Spray Dried Powder Storage/Packing


Setelah deterjen bubuk terbentuk, proses dilanjutkan dengan pemberian parfum
dan pengemasan

20 | P r o s e s I n d u s t r i P e t r o d a n O l e o k i m i a – D e t e r j e n ( 2 0 1 7 )
Gambar 9. Proses Spray Drying

Adapun, proses spray drying memiliki beberapa kekurangan dan kelebihan, di


antaranya adalah
 Kelebihan spray-drying
Butiran deterjen yang dihasilkan mempunyai volume persatuan berat yang besar.
Butiran deterjen yang dihasilkan memiliki densitas yang tinggi.
 Kekurangan spray-drying
Densitas dari bubuk deterjen rendah dan biaya pengepakan yang cukup tinggi
Membutuhkan biaya energi yang tinggi untuk unit produksi.
Membutuhkan investasi yang sangat besar dalam pembuatan deterjen.
Menyebabkan kerusakan pada STTP karena suhu tinggi.

2.7.2. AGLOMERASI
Proses aglomerasi merupakan proses pembuatan deterjan bubuk sintesis yang
memiliki densitas yang tinggi dengan cara pencampuran material- material kering dengan
bahan-bahan cairan. Proses tersebut dibantu dengan adanya bahan pengikat cairan yang

21 | P r o s e s I n d u s t r i P e t r o d a n O l e o k i m i a – D e t e r j e n ( 2 0 1 7 )
kemudian bercampur dan menyebabkan bahan-bahan tersebut bergabung satu sama lain
dan membentuk partikel-partikel berukuran besar.
Proses aglomerasi dapat di gambar kan seprti proses penimbunan atau penumpukan
dari komponen bubuk menjadi cairan kemudian menjadi butir atau granula. Tahap-tahap
proses non tower balestra untuk produksi deterjen bubuk berdasarkan pada proses
aglomerasi seperti Gambar 10. Di antara berbagai tahap proses tersebut, aglomerasi
memperlihatkan operasi yang sangat penting dan kritis. Hal ini dikarenakan proses
tersebut dihubungkan ke struktur fisik dan pada saat yang sama, dihubungkan ke
komposisi kimia dari produk.
Proses aglomerasi juga merupakan proses spray drying dengan dry mixing atau
blending. Konsentasi air prose yang digunakan anatara 35-40% dalam slurry crutcher.
Dalam aglomerasi cairan disemprotkan keatas secara kontinyu. Komponen-komponen
atau bahan yang digunakan dalam aglomerasi meliputi silikat deterjen aktif dan air yang
digunakan sebagai cairan dalam aglomerasi.
Premised Sodium
Sodium
Perborate Enzymes Minor acid Tripolyphosphate
components zeolite Carbonate

Solid
Ingredients
doxing
Polymers
Dry neutralization
Sodium Lab
And
silicate Sulphonic acid
agglommerations Nonionic Fatty acid

Product
Conditioning
(dryng/cooling)

Product
sleving

Post – additions Perborate


Perfume Perfuming And densification Enzymes
zeolite

Hand – washing Machine –


Powder to washing
Storage/packaging Powder to
Storage/packaging

Gambar 10. Skema Proses Aglomerasi

22 | P r o s e s I n d u s t r i P e t r o d a n O l e o k i m i a – D e t e r j e n ( 2 0 1 7 )
2.7.3. DRY MIXING
a. Dry Mixing Granulation (DMG)
Pembuatan deterjen dengan DMG dari bahan padat terkadang dilengkapi dengan
penambahan asam organik/anorganik dengan jumlah terbatas yang meliputi beberapa
substansi kering dan dengan penambahan bahan cairan dalam jumlah kecil (seperti
silikat, non- ionik, atau parfum) untuk meningkatkan kualitas produk dari segi
komponennya. Pembuatan deterjen bubuk dengan proses DMG menggunakan alat
disebut lodige mixer.
Alat ini terdiri atas silinder statis horizontal yang memiliki batang yang dapat
berputar 140-160 rpm di bagian tengahnya. Pada batang tersebut berbagai blade
pemotong disusun/dipasang pada saat bahan-bahan dasr atau komponen pembuatan
deterjen, baik padat maupun cair, dimasukkan kedalam mixer dan bahan-bahan
tersebut kemudian bercampur. Pencampuran tersebut dilakukan oleh blade pemotong
atau bilah-bilah pisau pemotong yang mengangkat bahan-bahan campuran dari dasar
mixer.
Pada bagian bawah mixer terdapat dua chopper (gigi- gigi pemotong) yang
digerakkan oleh motor penggerak yang membantu untuk memecahkan gumpalan-
gumpalan dalam bahan-bahan mentah.
Deterjen bubuk yang dihasilkan dari proses DMG ini memiliki sifat-sifat yaitu
kandungan surfaktan rendah (1-5%) dan densitas nya berada dalam range 400-700 g/l.
Formula yang digunakan dalam pembuatan deterjen bubuk dengan metode DMG
ditunjukkan pada Tabel 2.2.
Tahapan dalam dry mixing sebagai berikut:
Material kering (dry material) yang digunakan untuk membuat deterjen bubuk
ditimbang dan selanjutnya dimasukkan kedalam mixe. Pencampuran dilanjutkan
selama 1-2 menit kemudian ditambahkan slurry selama 3-4 menit. Setelah semua
slurry dimasukkan kedalam mixer, pencampuran dilanjutkan selama 1-2 menit agar
menjadi homogen.
Sebagian besar dari bubuk yang terbentuk dapat dikemas dengan segera setelah
selesai atau setelah 30 menit penyimpanan.

23 | P r o s e s I n d u s t r i P e t r o d a n O l e o k i m i a – D e t e r j e n ( 2 0 1 7 )
I II III
No Bahan-bahan
(%) (%) (%)
1 Asam Slurry 12 15 12
2 STTP (suhu naik hingga 10-15 c) 10 12 -
3 Soda Ash 45 40 53
4 Soda Bicarbonat 7,5 7,5 10
5 Natrium Metasilikat 8 8 5
6 Natrium Sulfat (anhidrat) 10 10 10
7 Natrium Klorida (refined) 5 5 7,5
8 Parfum, colorant 0,5 0,5 0,5
9 Brightener - - -
10 Air 2 2 2

11 Total 100 100 100


Tabel 2. Formula Proses Metode DMG

b. Simple Dry Mixing


Metode ini merupakan cara pembuatan deterjen bubuk yang sederhana, yaitu
dengan cara mencampurkan bahan-bahan kering dalam mixer dan kemudian
ditambahkan bahan-bahan cairan dalam jumlah kecil yang kemudian dicampurkan
hingga diperoleh suatu campuran yang homogen.

Liquid feed Solid feed

Plow Mixing Blades

Chopper Chopper

M M

Product Discharge

Gambar 11. Dry Mixing: Plow Mixer with Chopper

24 | P r o s e s I n d u s t r i P e t r o d a n O l e o k i m i a – D e t e r j e n ( 2 0 1 7 )
BAB 3
KESIMPULAN

Berdasarkan makalah mengenai deterjen yang kami buat maka dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Awal mula sintesis deterjen adalah ketika Fritz Gunther, seorang ilmuwan Jerman, disebut
sebagai penemu surfaktan sintesis dalam deterjen tahun 1916.\
2. Deterjen berguna sebagai agen pembersih yang digunakan untuk membersihkan kotoran di
permukaan benda dengan mengurangi tegangan permukaan
3. Bahan baku pembuatan deterjen terdiri dari:
a. Surfaktan
b. Bahan aktif
c. Bahan pengisi (filler)
d. Bahan aditif
4. Deterjen dalam dikelompokkan menjadi beberapa jenis, sebagai berikut.
a. Berdasarkan bentuk fisik
 Deterjen cair
 Deterjen krim
 Deterjen bubuk: deterjen bubuk berongga dan deterjen bubuk padat
b. Berdasarkan kandungan senyawa organik
 Deterjen kationik
 Deterjen anionic (DAI)
 Deterjen netral atau deterjen non-ionik
 Deterjen amfoterik
5. Proses pembuatan deterjen dibagi menjadi tiga, yaitu
a. Spray drying
b. Aglomerasi
c. Dry mixing

25 | P r o s e s I n d u s t r i P e t r o d a n O l e o k i m i a – D e t e r j e n ( 2 0 1 7 )
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2011). Detergent Manufacturing Process with Flowchart. Retrieved March 12, 2017,
from Process Flow Sheets: http://processflowsheets.blogspot.co.id/2011/05/detergent-
manufacturing-process-with.html

Baihaki, Mardiono, Qadriana, N., Azri, R., & Aini, S. (2009). Deterjen. Pekanbaru: Teknik
Kimia, Universitas Riau.

Fitra, A., Debby, Junia, Aima, S., & Junaidi, W. (2009). Deterjen. Pekanbaru: Teknik Kimia,
Universitas Riau.

Kakhia, T. (n.d.). Retrieved March 12, 2017, from http://tarek.kakhia.org

Wansbrough, H. (2013). Detergents and Soap. Colgate-Palmolive & Lever Rexona.

26 | P r o s e s I n d u s t r i P e t r o d a n O l e o k i m i a – D e t e r j e n ( 2 0 1 7 )

Anda mungkin juga menyukai