Anda di halaman 1dari 39

7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Asuhan Keperawatan Keluarga


2.1.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari asuhan keperawatan dan suatu
proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data.
Hal-hal yang perlu dikaji adalah sebagai berikut.
1. Pengkajian data umum
Pengkajian pada keperawatan keluarga meliputi:
a. Nama kepala keluarga,
b. Alamat dan nomor telepon
c. Tanggal lahir
d. Pekerjaan kepala keluarga
e. Pendidikan kepala keluarga
f. Komposisi keluarga yang berisi mengenai riwayat anggota
keluarga
g. Genogram
Data genogram berisi silsilah keluarga yang terdiri dari tiga
generasi disajikan dalam bentuk bagan dengan menggunakan
simbol-simbol atau sesuai format pengkajian yang dipakai.
h. Tipe Keluarga
Menjelaskan mengenai jenis tipe keluarga beserta kendala yang
terjadi dengan jenis tipe keluarga tersebut.
i. Suku Bangsa
Mengkaji asal suku bangsa keluarga tersebut serta
mengindentifikasi budaya suku bangsa tersebut terkait dengan
kesehatan.
j. Agama
Menjelaskan mengenai agama yang dianut masing – masing
anggota keluarga serta aturan yang dianut keluarga terkait dengan

Poltekkes Kemenkes Palembang


8

kesehatan.
k. Status Sosial Ekonomi Keluarga
Menjelaskan mengenai pendapatan KK maupun anggota keluarga
yang sudah bekerja, kebutuhan sehari – hari serta harta kekayaan
atau barang – barang yang dimiliki keluarga.
l. Aktivitas Rekreasi Keluarga dan Waktu Luang
Menjelaskan mengenai kebiasaan keluarga dalam rekreasi atau
refreshing. Rekreasi tidak harus ke tempat wisata, namun menonton
TV, mendengarkan radio juga merupakan aktivitas rekreasi
keluarga (Padila, 2012, Hal.120).
2. Riwayat dan tahap perkembangan keluarga
a. Tahap perkembangan keluarga saat ini
Ditentukan oleh anak tertua dari keluarga inti dan mengkaji sejauh
mana keluarga melaksanakan tugas tahap perkembangan keluarga.
b. Tahap perkembangan keluarga yang belum terpenuhi
Menjelaskan bagaimana tugas perkembangan yang belum terpenuhi
oleh keluarga serta kendalanya.
c. Riwayat keluarga inti
Menjelaskan riwayat kesehatan pada keluarga inti, meliputi:
riwayat penyakit keturunan, riwayat kesehatan masing-masing
anggota keluarga, perhatian keluarga terhadap pencegahan penyakit
termasuk status imunisasi, sumber pelayanan kesehatan yang biasa
digunakan keluarga.
d. Riwayat keluarga sebelumnya
Keluarga asal kedua orang tua (seperti apa kehidupan keluarga
asalnya) hubungan masa silam dan saat dengan orang tua
(Harmoko, 2012, Hal. 72).
3. Pengkajian Lingkungan
a. Karakteristik Rumah
Data ini menunjukkan mengenai luas rumah, tipe, jumlah ruangan,
jumlah jendela, pemanfaatan ruangan, penempatan perabotan
rumah tangga, jenis WC ke sumber air. Data kerakteristik rumah
bisa disajikan dalam bentuk denah.
b. Karakteristik Tetangga dan Komunitas Setempat
Data ini menjelaskan mengenai lingkungan fisik tempat tinggal,
norma atau aturan penduduk setempat, serta budaya setempat yang
dapat mempengaruhi kesehatan.
c. Mobilitas Geografi Keluarga
Ditentukan dengan apakah keluarga hidup menetap dalam satu

Poltekkes Kemenkes Palembang


9

tempat atau mempunyai kebiasaan untuk berpindah-pindah.


d. Perkumpulan Keluarga dan Interaksi dengan Masyarakat
Menjelaskan mengenai kebiasaan keluarga dalam berkumpul atau
berinteraksi dengan masyarakat di lingkungan sekitar tempat
tinggalnya.
e. Sistem Pendukung Keluarga
Menjelaskan mengenai jumlah anggota keluarga yang sehat,
fasilitas keluarga, dukungan keluarga dan masyarakat sekitar terkait
dengan kesehatan, dan lain
4. Struktur Keluarga
a. Pola Komunikasi Keluarga
Menjelaskan cara berkomunikasi antar anggota keluarga
menggunakan sistem tebuka atau tertutup, frekuensi, serta kualitas
komunikasi yang berlangsung.
b. Struktur Kekuatan Keluarga
Kemampuan keluarga untuk merubah perilaku antar anggota
keluarga. Model kekuatan atau kekuasaan digunakan keluarga
untuk membuat keputusan dalam keluarga.
c. Struktur Peran
Menjelaskan peran anggota keluarga di dalam keluarga dan
masyarakat yang dibagi menjadi peran formal dan informal.
d. Nilai/Norma Keluarga
Menjelaskan tentang nilai dan norma yang dianut dalam keluarga
berhubungan dengan status kesehatan keluarga
(Padila, 2012, Hal.97).
5. Fungsi Keluarga
a. Fungsi Afektif
Mengkaji tentang gambaran diri anggota keluarga. Perasaan
memiliki dan dimiliki keluarga, dukungan keluarga terhadap
anggota keluarga lainnya, kehangatan pada keluarga, serta keluarga
mengembangkan sikap saling menghargai (Harmoko, 2012, Hal.
78).
b. Fungsi Sosialisasi
Mengkaji tentang interaksi atau hubungan dalam keluarga, sejauh
mana anggota keluarga belajar disiplin, norma, budaya, perilaku,
serta proses mendidik anak (Padila, 2012, Hal. 99).
c. Fungsi Perawatan Kesehatan
1) Mengenal masalah kesehatan keluarga
Sejauh mana anggota keluarga mengenal fakta-fakta dari

Poltekkes Kemenkes Palembang


10

masalah kesehatan meliputi pengertian, tanda dan gejala,


penyebab dan yang mempengaruhi serta persepsi keluarga
terhadap masalah.
2) Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat
Sejauh mana keluarga dapat mengerti mengenai sifat dan
luasnya masalah, apakah masalah yang dirasakan, menyerah
terhadap masalah yang dialami, rasa takut akan akibat dari
penyakit, mempunyai sifat negatif terhadap masalah kesehatan,
dapat menjangkau fasilitas kesehatan yang ada, kurang percaya
terhadap tenaga kesehatan dan mendapat informasi yang salah
terhadap tindakan dalam mengatasi masalah.
3) Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit
Sejauh mana keluarga mengetahui keadaan penyakitnya,
mengetahui tentang sifat dan perkembangan perawatan yang
dibutuhkan, serta fasilitas yang diperlukan untuk perawatan dan
bagaimana sikap keluarga terhadap yang sakit.
4) Mempertahankan suasana rumah yang sehat
Sejauh mana keluarga mengetaui sumber-sumber yang dimiliki
keluarga, keuntungan atau manfaat pemeliharaan lingkungan,
mengetahui pentingnya hygiene sanitasi dan kekompakan antar
anggota keluarga.
5) Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat
Sejauh mana keluarga mengetahui keberadaan fasiitas kesehatan
yang ada, tingkat kepercayaan keluarga terhadap fasilitas
kesehatan dan memahami tentang keuntungan yang diperoleh
dari fasilitas serta terjangkau oleh keluarga (Padila, 2012, Hal.
100).
6. Fungsi Reproduksi
Mengkaji berapa jumlah anak, merencanakan jumlah anak,
merencanakan jumlah anggota keluarga dalam upaya mengendalikan
jumlah amggota keluarga (Harmoko, 2012, Hal. 84).
7. Fungsi Ekonomi
Mengkaji sejauh mana anggota keluarga memenuhi kebutuhan sandang,
pangan, papan bagaimana keluarga memanfaatkan sumber yang ada
dimasyarakat untuk meningkatkan status kesehatan keluarga (Harmoko,
2012, Hal. 85).
8. Stres dan Koping

Poltekkes Kemenkes Palembang


11

a. Stressor jangka pendek


Stressor jangka pendek yaitu stressor yang dialami oleh keluarga
yang memerlukan penyelesaian dalam waktu kurang dari 6 bulan.
b. Steressor jangka panjang
Stressor jangka panjang yaitu stressor yang saat ini dialami dan
memerlukan penyelesaian dalam waktu lebih dari 6 bulan.
c. Kemampuan keluarga berespon terhadap situasi stressor
Mengkaji sejauh mana keluarga dapat berespon terhadap situasi
stressor yang ada.
d. Strategi koping yang digunakan
Strategi koping yang digunakan keluarga jika menghadapi suatu
permasalahan.
e. Strategi adaptasi disfungsional
Menjelaskan tentang adaptasi disfungsional (perilaku keluarga yang
tidak adaptif) ketika keluarga menghadapi masalah (Harmoko, 2012,
Hal. 85).
9. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk semua anggota keluarga. Metode
yang digunakan yaitu pemeriksaan fisik head to toe dan pemeriksaan
penunjang (Padila, 2012, Hal. 105).
10. Harapan Keluarga
Harapan keluarga terhadap petugas kesehatan dan pelayanan kesehatan
yang telah diberikan oleh perawat atau tenaga kesehatan (Padila, 2012,
Hal. 105).

2.1.2 Diagnosa Keperawatan Keluarga

Diagnosa keperawatan keluarga dapat dirumuskan berdasarkan


masalah keperawatan yang telah didapat dari data-data pengkajian yang
berhubungan dengan etiologi yang berasal dari data-data pengkajian fungsi
perawatan keluarga.
Diagnosa keperawatan mengacu pada rumusan PES (problem,
etiologi, dan simpon) dimana untuk problem menggunakan rumusan
masalah dari NANDA, sedangkan untuk etiologi menggunakan
pendekatan lima tugas keluarga atau dengan menggambarkan pohon
masalah (Padila, 2012, Hal. 105).
Tipologi dari diagnosa keperawatan keluarga terdiri atas.
1. Diagnosa aktual (terjadi defist/gangguan kesehatan)
Diagnosis aktual dirumuskan dari hasil pengkajian mengenai data tanda

Poltekkes Kemenkes Palembang


12

dan gejala dari gangguan kesehatan, dimana masalah keperawatan yang


dialami oleh keluarga memerlukan bantuan untuk segera ditangani.
Pada diagnosis keperawatan aktual, faktor yang berhubungan
merupakan etiologi atau faktor penunjang lain yang telah
mempengaruhi perubahan status kesehatan.
2. Diagnosa risiko (ancaman kesehatan)
Sudah ada data yang menunjang namun belum terjadi gangguan, tetapi
tanda tersebut dapat menjadi masalah aktual apabila tidak segera
mendapatkan bantuan pemecahan masalah dari tim kesehatan dan
keperawatan.
3. Diagnosa potensial (keadaan sejahtera atau wellness)
Suatu keadaan dimana keluarga dalam keadaana sejahtera, kesehatan
keluarga dapat ditingkatkan kearah yang lebih baik. Diagnosa
keperawatan tidak mencakup faktor-faktor yang berhubungan
(Harmoko, 2012, Hal. 86).

Menurut Nuarif & Kusuma (2015) Hal. 74, Diagnosa keperawatan


keluarga yang mungkin akan muncul pada keluarga dengan asma bronkial
sebagai berikut. Diagnosa keperawatan keluarga yang sering muncul pada
penderita asma bronkial adalah sebagai berikut.
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
2. Ketidakefektifan pola nafas
3. Gangguan pertukaran gas
4. Penurunan curah jantung
5. Intoleransi aktivitas
6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
7. Ansietas

Etiologi keperawatan keluarga yang sering muncul pada keluarga


dengan penyakit asma bronkial menurut Nurarif & Kesuma (2015) Hal. 75,
yaitu:
1. Ketidakmampuan keluarga dalam mengenal masalah kesehatan
2. Ketidakmampuan keluarga dalam membuat keputusan tindakan
kesehatan yang tepat
3. Ketidakmampuan keluarga dalam memberikan perawatan kepada
anggota keluarga yang sakit
4. Ketidakmampuan keluarga dalam mempertahankan suasana lingkungan
rumah yang sehat

Poltekkes Kemenkes Palembang


13

5. Ketidakmampuan keluarga dalam menggunakan fasilitas pelayanan


kesehatan yang ada di masyarakat

Menurut Bailon dan Maglaya (1978) dalam Harmoko (2012) Hal. 90,
prioritas masalah kesehatan keluarga dengan menggunakan proses skoring
sebagai berikut.
Tabel 2.1
Kriteria Skoring
No. Kriteria Skor Bobot
1 Sifat masalah
a. Aktual 3
b. Resiko 1
2
c. Potensial
1
2 Kemungkinan masalah dapat
diubah 2
2
a. Mudah 1
b. Sebagian
c. Tidak dapat 0
3 Potensial masalah untuk dicegah
a. Tinggi 3
b. Cukup
2 1
c. Rendah
1

4 Menonjolnya masalah
a. Masalah berat, harus segera 2
ditanganin
b. Ada masalah tetapi tidak perlu 1
1
ditanganin
c. Masalah tidak dirasakan
0
sumber : Harmoko, 2012, Hal. 90

Proses skoring dilakukan untuk setiap diagnosis keperawatan dengan


cara berikut ini:
a. Tentukan skor untuk setiap kriteria yang telah dibuat.

Poltekkes Kemenkes Palembang


14

b. Selanjutnya skor dibagi dengan angka tertinggi yang dikalikan dengan


bobot.

Skor yang diperoleh x Bobot


c. Jumlahkanlah skor untuk semua kriteria, skor tertinggi adalah 5, sama
Skor Tertinggi
dengan seluruh bobot (Harmoko, 2012, Hal. 91).

2.1.3 Perencanaan Keperawatan Keluarga


Perencanaan keperawatan keluarga terdiri dari penetapan tujuan,
mencakup tujuan umum dan khusus yang dilengkapi dengan rencana
evaluasi yang memuat kriteria dan standar. Langkah-langkah dan rencana
keperawatan keluarga adalah :
a. Menentukan Sasaran atau Goal.
Sasaran adalah tujuan umum yang merupakan tujuan akhir yang akan
dicapai melalui segala upaya, dimana masalah digunakan untuk
merumuskan tujuan akhir.
b. Menentukan Tujuan atau Objektif
Objektif merupakan pernyataan yang lebih spesifik atau lebih
terperinci tentang hasil yang diharapkan dari tindakan perawat yang
akan dilakukan, dimana penyebab digunakan untuk merumuskan
tujuan.
c. Menentukan Pendekatan dan Tindakan Keperawatan yang Akan
Dilakukan.
Dalam memilih tindakan keperawatan sangat tergantung kepada sifat
masalah dan sumber-sumber yang tersedia untuk memecahkan
masalah.
d. Menentukan Kriteria dan Standar Kriteria
Kriteria merupakan tanda atau indikator yang digunakan untuk
mengukur pencapaian tujuan, sedangkan standar menunjukan tingkat
performan yang diinginkan untuk membandingkan bahwa perilaku
yang menjadi tujuan tindakan keperawatan telah tercapai . Adapun
kriteria mengacu pada :
1) Pengetahuan (kognitif)
Intervensi ini bertujuan untuk memberikan informasi, gagasan,
motivasi, dan saran kepada keluarga sebagai target asuhan
keperawatan keluarga.
2) Sikap (afektif)

Poltekkes Kemenkes Palembang


15

Intervensi ini dengan tujuan membantu keluarga dalam berespon


emosional, agar didalam keluarga tersebut terdapat perubahan sikap
terhadap masalah yang dihadapi.
3) Tindakan (psikomotorik)
Intervensi ini bertujuan untuk membantu anggota keluarga dalam
segala bentuk perubahan perilaku dari perilaku yang merugikan
hingga ke perilaku yang menguntungkan (Padila, 2012).

2.1.4 Implementasi Keperawatan Keluarga


Implementasi keperawatan adalah tahap ketika perawat
mengaplikasikan rencana asuhan keperawatan ke dalam bentuk
pelaksanaan keperawatan guna membantu klien mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.
Menurut Harmoko (2012) Hal. 98, tindakan keperawatan keluarga
mencakup hal-hal dibawah ini.
a. Menstimulasi kesehatan atau penerimaan keluarga mengenai
kebutuhan kesehatan dengan cara memberikan informasi,
mengidentifikasi kebutuhan dan harapan tentang kesehatan, serta
mendorong sikap emosi yang sehat terhadap masalah.
b. Menstimulasi keluarga untuk memutuskan cara perawatan yang
tepat dengan cara mengidentifikasi konsekuensi untuk tidak
melakukan tindakan, mengidentifikasi sumber-sumber yang
dimiliki keluarga, dan mendiskusikan konsekuensi setiap tindakan.
c. Memberikan kepercayaan diri dalam merawat anggota keluarga
yang sakit dengan cara mendemonstrasikan cara perawatan,
menggunakan alat dan fasilitas yang ada dirumah, dan mengawasi
keluarga melakukan perawatan.
d. Membantu keluarga untuk menentukan cara membuat lingkungan
menjadi sehat dengan menemukan sumber-sumber yang dapat
digunakan keluarga dan melakukan perubahan lingkungan keluarga
seoptimal mungkin.
e. Memotivasi keluarga untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan
dengan cara mengenalkan fasilitas kesehatan yang ada
dilingkungan keluarga cara menggunakan fasilitas tersebut.

2.1.5 Evaluasi

Poltekkes Kemenkes Palembang


16

Evaluasi adalah kegiatan tahap akhir dari proses keperawatan yang


merupakan perbandingan antara hasil yang sitematis dan terencana. Dengan
kriteia dan standar yang telah ditetapkan untuk melihat keberhasilan bila
hasil dan evaluasi tidak berhasil sebagian perlu disusun rencana
keperawatan yang baru. Adapun metode evaluasi keperawatan yaitu :
1. Evaluasi Formatif (proses)
Evaluasi Formatif (proses) adalah evaluasi yang dilakukan selama
proses asuhan keperawatan yang bertujuan untuk menilai hasil
implementasi secara bertahap sesuai dengan kegiatan yang dilakukan,
sistem penulisan evaluasi formatif ini biasanya menggunakan sistem
SOAP.
2. Evaluasi Sumatif (hasil)
Evaluasi Sumatif (hasil) adalah evaluasi akhir yang bertujuan
untuk menilai secara keseluruhan, sistem penulisan evaluasi sumatif ini
dalam bentuk catatan naratif atau laporan ringkasan (Padila, 2012).

2.2 Konsep Asma Bronkial


2.2.1 Definisi Asma Bronkial
Asma merupakan penyakit keturunan dan tidak menular, biasanya
ditandai dengan inflamasi jalan nafas kronik. Asma ditandai dengan
riwayat gejala saluran pernapasan seperti mengi, nafas terengah-engah,
dada terasa berat/tertekan, dan batuk dengan waktu dan intensitas yang
bervariasi. Asma dapat kambuh disebabkan oleh beberapa faktor misalnya
olahraga, paparan alergen, perubahan cuaca, atau infeksi viral pernapasan
(GINA, 2016 dalam Faudy, 2017).
Asma merupakan suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami
penyempitan yang bersifat berulang namun reversible. Hal ini terjadi
karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu yang menyebabkan
peradangan (Nurarif & Kusuma, 2015, Hal. 65).
Asma bronkial adalah penyakit inflamasi kronik yang biasanya
menginfeksi saluran pernapasan dan dapat mengakibatkan hiperresponsif
jalan pernafasan. (Putra, 2018).
Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa asma bronkial
adalah gangguan saluran pernapasan yang mengalami penyempitan

Poltekkes Kemenkes Palembang


17

bersifat berulang namun reversible. Asma bronkial merupakan penyakit


keturunan dan tidak menular yang biasanya dan gejala asma dapat
diperberat oleh beberapa faktor, misalnya olahraga, paparan alergen,
perubahan cuaca atau infeksi viral pernapasan.

2.2.2 Etiologi Asma Bronkial


Asma bronkial dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor
infeksi dan faktor non infeksi (Nugroho, 2016).
a. Faktor infeksi seperti virus, jamur, parasit, dan bakteri sedangkan
b. Faktor non infeksi seperti faktor alergi, iritan, perubahan cuaca,
kegiatan jasmani dan psikis
Selain itu ada juga berbagai faktor pencetus yang dapat menimbulkan
serangan asma bronkial, yaitu:
1. Allergen
Allergen adalah zat-zat tertentu yang bila dihisap atau dimakan
dapat menimbulkan serangan asma, misalnya debu rumah, spora
jamur, bulu kucing, beberapa makanan laut dan sebagainya.
2. Infeksi saluran pernafasan
Infeksi saluran pernafasan dapat disebabkan oleh virus. Salah satu
virus yang paling sering menimbulkan asma bronchial adalah virus
influenza. Diperkirakan, dari dua pertiga orang dewasa yang
menderita asma, serangan asmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran
pernapasan.
3. Olahraga/kegiatan jasmani yang berat
Sebagian penderita asma bronkial akan mendapatkan serangan
asma bila sering melakukan olahraga atau aktivitas fisik yang
berlebihan, seperti lari cepat dan bersepeda.
4. Obat-obatan
Ada beberapa penderita asma bronkial sensitif atau alergi
terhadap obat tertentu, seperti pensillin salsilat, betablocker, kodein,
dan sebagainya.
5. Polusi udara
Penderita asma bronkial sangat peka terhadap udara berdebu,
asap pabrik/kendaraan, asap rokok, asap yang mengandung hasil
pembakaran dan oksida fotokemikal, serta bau yang tajam.
6. Lingkungan kerja

Poltekkes Kemenkes Palembang


18

Lingkungan kerja diperkirakan merupakan faktor penyebab yang


menyambung 2-15% penderita dengan asma bronkial.

2.2.3 Tipe-Tipe Asma Bronkial


Menurut Somantri (2012), tipe-tipe asma berdasarkan penyebabnya
terbagi menjadi tiga tipe, yaitu :
a. Asma alergik / ekstrinsik
Tipe asma ini biasanya dimulai sejak kanak-kanak yang
disebabkan oleh alergen seperti bulu binatang, debu, makanan,
perubahan cuaca dan lain-lain. Klien dengan asma alergik biasanya
mempunyai riwayat alergi di keluarga dari riwayat pengobatan eksim
atau rhinitis alergi. Paparan terhadap alergi akan menyebabkan
serangan asma.
b. Asma Idiopatik/non alergik/intrinsik
Tipe asma idiopatik ini tidak berhubungan secara langsung
dengan alergen spesifik. Faktor-faktor penyebab terjadinya asma,
yaitu infeksi saluran nafas, aktivitas berlebih, emosi/stres, dan polusi
lingkungan. Beberapa agen farmakologi, seperti antagonis β-
adregenik dan bahan sulfat (penyedap makanan) juga dapat menjadi
faktor penyebab. Serangan dari asma idiopatik atau non alergik
menjadi lebih berat seiring berjalannya waktu dan dapat berkembang
menjadi bronkitis dan emfisema. Bentuk asma ini biasanya dimulai
ketika usia dewasa (>35 tahun).
c. Asma campuran (Mixed Asma)
Merupakan bentuk asma yang paling sering. Asma campuran
dikarakteristikkan dengan bentuk kedua jenis asma alergi dan
idiopatik non alergi.

2.2.4 Klasifikasi Asma Bronkial


Menurut Nugroho (2016), klasifikasi pada asma bronkial diantaranya
yaitu Intermiten Ringan, Persisten Ringan, Persisten Sedang, dan
Persisten Berat.

Tabel 2.2 Klasifikasi Keparahan Asma

Poltekkes Kemenkes Palembang


19

Derajat Gejala pada Malam


Gejala-Gejala
Asma Hari
Gejala ≤ 2 kali seminngu
Intermiten Eksaserbasi singkat (beberapa jam
≤ 2 kali sebulan
Ringan sampai beberapa hari); intensitas
bervariasi
Gejala > 2 kali seminggu tetapi < 1
Persisten kali sehari
> 2 kali seminggu
Ringan Eksaserbasi mungkin mempengaruhi
aktivitas
Gejala harian
Penggunaan harian inhaler agonis β2
Persisten kerja singkat
> 1 kali seminggu
Sedang Eksaserbasi mempengaruhi aktivitas
Eksaserbasi ≥ 2 kali seminggu;
mungkin hari hari terakhir
Gejala terus-menerus
Persisten
Aktivitas fisik terbatas sering
Berat
Eksaserbasi sering
Sumber : Bararah dan Jauhar, 2013

2.2.5 Manifestasi Klinis Asma Bronkial


Gejala yang sering dialami pada asma bronkial ini adalah sesak napas,
mengi (whezzing), batuk, sebagian penderita nyeri dada.
Pada serangan asma yang lebih berat gejala yang dapat timbul yaitu
sianosis, gangguan kesadaran, hiperventilasi dada, tachicardi dan
pernafasan dangkal (Rohman, 2015).
Menurut Masriadi (2016), manifestasi klinis dari asma bronkial yaitu:
a. Berbunyi mengi saat bernafas
b. Nafas sesak
c. Batuk
d. Dahak bertambah banyak atau bertambah kuning saat terjadinya
serangan dan terjadi infeksi
e. Sulit berbicara dan konsentrasi
f. Pundak membungkuk
g. Kulit keabu-abuan dan membiru, bermula dari mulut.

Poltekkes Kemenkes Palembang


20

2.2.6 Patofisiologi Asma Bronkial


Asma bronkial disebabkan oleh alergi yang bergantung kepada
respons IgE yang dikendalikan oleh limfosit T dan B diartikan oleh
interaksi antara antigen dengan molekul IgE yang berkaitan dengan sel
mast. Sebagain besar alergen yang menyebabkan asma bersifat airbone
agar dapat menginduksi keadaan sensitivitas, alergen tersebut harus dalam
jumlah banyak untuk periode waktu tertentu. Akan tetapi, sekali
sensitivitas telah terjadi, klien akan memperlihatkan respons yang sangat
baik, sehingga sejumlah kecil alergen yang mengganggu sudah dapat
menghasilkan eksaserbasi penyakit yang jelas.
Obat yang paling sering berhubungan dengan induksi episode akut
asma adalah aspirin, bahan pewarna seperti tartazin, antagonis beta-
adrenergik, dan bahan sulfat. Sindrom pernafasan sensitifitas-aspirin
khususnya terjadi pada orang dewasa, walaupun keadaan ini juga dapat
dilihat pada masa kanak-kanak. Masalah ini biasanya berawal dari rhinitis
vasomotor parennial yang diikuti oleh rhinosinusitis hiperplastik dengan
polip nasal. Baru kemudian muncul asma progresif.
Klien yang sensitif terhadap aspirin dapat didesentisasi dengan
pemberian obat setiap hari. Setelah menjalani bentuk tetapi ini, toleransi
silang juga akan terbentuk terhadap agen anti-inflamasi non steroid lain.
Mekanisme yang menyebabkan bronkospasme karena aspirin dan obat lain
tidak diketahui, tetapi mungkin berkaitan dengan pembentukan leukotrien
yang diinduksi secara khusus oleh aspirin.
Antagonis β-adrenergik biasanya menyebabkan obstruksi jalan nafas
pada klien asma, sama halnya dengan klien lain, dapat menyebabkan
peningkatan reaktivitas jalan nafas dan hal tersebut harus dihindarkan.
Obat sulfat, seperti kalium metabisulfit, kalium dan natrium bisulfit,
natrium sulfat dan sulfat klorida, yang secara luas digunakan dalam
industri makanan dan farmasi sebagai agen sanitasi serta pengawet dapat
menimbulkan obstruksi jalan nafas akut pada klien yang sensitif. Paparan
biasanya terjadi setelah menelan makanan atau cairan yang mengandung
senyawa ini, seperti salad, buah segar, kentang, kerang, dan anggur.

Poltekkes Kemenkes Palembang


21

Pencetus-pencetus serangan diatas ditambah dengan pencetus lainnya


dari internal klien akan mengakibatkan timbulnya reaksi antigen dan
antibodi. Reaksi antigen-antibodi ini akan mengeluarkan subtansi pereda
alergi yang sebetulnya merupakan mekanisme tubuh dalam menghadapi
serangan. Zat yang dikeluarkan dapat berupa histamin, bradikinin, dan
anafilatoksin. Hasil dari reaksi tersebut adalah timbulnya tiga gejala, yaitu
berkontraksinya otot polos, peningkatan permiabelitas kapiler, dan
peningkatan sekret mukus, seperti pada skema berikut ini (Somantri,
2012).

Poltekkes Kemenkes Palembang


2.2.7 Pathway

Gambar 2.1
Patofisiologi Intoleransi Aktivitas

Faktor Pencetus: Allergen, Antigen yg terikat IgE pd permukaan sel


Mengeluarkan mediator : histamin, bradikinin
stress, cuaca mast. atau basofil

Permeabilitas kapiler meningkat

Penurunan cardiac output

Suplai darah & O2 ke jantung menurun

Hipoksemia

7
Poltekkes Kemenkes Palembang
8

Konsentrasi O2 dalam darah


menurun

TD menurun

Kelemahan & keletihan

Intoleransi aktivitas

Sumber : (Nurarif & Kusuma, 2015 Hal. 76)

Poltekkes Kemenkes Palembang


9

Poltekkes Kemenkes Palembang


2.2.8 Pemeriksaan Diagnostik Asma Bronkial
Pemeriksaan diagnostik yang biasanya dilakukan pada penderita asma
bronkial adalah :
a. Sinar X (Ro.Thorax)
Terlihat adanya hiperinflasi paru-paru diafragma mendatar.
b. Tes Fungsi Paru (Spirometri)
Untuk menentukan penyebab dispnea, peningkatan volume residu rasio
antara volume ekspirasi kuat dan kapasitas vital.
c. Pemeriksaan Sputum (Laboratorium)
Untuk menentukan adanya infeksi biasanya pada asma yang tanpa
disertai infeksi.
d. Pemeriksaan GDA (Gas Darah Arteri)
Haemoglobin dan hematokrit mungkin normal pada awal penyakit.
Dengan berkembangnya penyakit, pemeriksaan gas darah arteri dapat
menunjukkan adanya hipoksia ringan dengan hiperkapnea. Nilai yang
ditunjukkan sebagai rujukan dalam pemeriksaan GDA yaitu : ph

menurun (Normal : 7,35 - 7,45), >45 mmHg, menurun

(Normal: 95 - 100 mmHg).

2.2.9 Penatalaksanaan Asma Bronkial


Penatalaksanaan asma bertujuan untuk meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma bronkial bisa hidup
normal dalam melakukan aktivitas (Nurarif & Kusuma,2015, Hal. 71).
Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien asma bronkial
menurut GINA (2005) dalam Rohman (2015), yaitu:
1. Non farmakologis
a. Edukasi
Meningkatkan pengetahuan kepada penderita asma tentang
keadaan penyakitnya sehingga klien secara sadar dapat
menghindari faktor-faktor yang dapat menyebabkan asma, dan
mekanisme pengobatan yang akan dijalaninya kedepan.
d. Monitor
Memonitor asma secara teratur ke pelayan kesehatan. Memonitor
perkembangan gejala, hal- hal apa saja yang mungkin terjadi

7
Poltekkes Kemenkes Palembang
8

terhadap penderita asma dengan kondisi gejala yang dialaminya


beserta memonitor perkembangan fungsi paru.
e. Menghindari Faktor Resiko
Hal yang paling mungkin dilakukan penderita asma dalam
mengurangi gejala asma adalah menghindari factor-faktor yang
dapat meningkatkan gejala asma. Faktor resiko ini dapat berupa
makanan, obat-obatan, polusi, dan sebagainya.
2. Terapi Farmakologis
Asma bronkial merupakan penyakit kronis, sehingga membutuhkan
pengobatan yang perlu dilakukan secara teratur untuk mencegah
kekambuhan. Berikut ini ada 3 golongan obat asma bronkial
diantaranya:
a. Obat pengontrol: digunakan secara rutin untuk terapi
pemeliharaan/pencegahan kekambuhan. Golongan obat ini dapat
mengurang inflamasi saluran nafas, mengontrol gejala dan
mengurangi risiko kekambuhan dan penurunan fungsi paru.
Beberapa obat yang digunakan untuk terapi pemeliharaan antara

lain inhalasi steroid, agonis aksi panjang, sodium kromoglikat

atau kromolin, nedokromil, modifier leukotrien, dan golongan


metal ksantin.
b. Obat pelega (reliever) : digunakan bila perlu untuk meredakan
gejala pada saat eksaserbasi/kekambuhan, termasuk pada saat
terjadi perburukan gejala asma bronkial. Golongan obat ini
direkomendasikan juga untuk mencegah bronkokontriksi akibat
olahraga. Pengurangan kebutuhan penggunaan obat pelega
merupakan pentalaksanaan dan menjadi ukuran keberhasilan
terapi asma bronkial, karena berarti pasien semakin jarang
kambuh. Obat yang sering digunakan untuk terapi pelega adalah

suatu bronkodilator ( agnois anti cepat, antikolinergik,

metilksantin, dan kortikosteroid oral (sistemik).

Poltekkes Kemenkes Palembang


9

c. Obat tambahan (add-on therapies) untuk pasien dengan asma


berat : digunakan jika pasien mengalami gejala yang menetap
(persisten) dan/atau mengalami eksaserbasi walaupun sudah
mendapatkan terapi pengontrol yang optimal dengan dosis tinggi.
Juga digunakan untuk mengatasi faktor-faktor risiko yang bias
dimodifikasi. Termasuk obat golongan ini adalah antagonis
leukotrien, omalizumab (anti IgE).

2.2.10 Komplikasi Asma Bronkial


Berbagai komplikasi yang mungkin timbul dari asma bronkial adalah :
a. Pneumothorak
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura.
Keadaan ini dapat menyebabkan kolaps paru dan dapat menyebabkan
kegagalan napas.
b. Emfisema
Penyakit saluran pernafasan yang mengakibatkan sesak nafas terus
menerus dan semakin hebat pada saat mengeluarkan tenaga dan sering
kali letih atau bahasa latinnya paru-paru basah.
c. Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat
pernafasan yang sangat dangkal.
d. Aspirasi
Penarikan cairan rongga tubuh dengan menggunakan alat hisap.
e. Kegagalan jantung/gangguan irama jantung
Kondisi dimana jantung sulit memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan tubuh.
f. Sumbatan saluran jalan nafas yang meluas/gagal nafas
Ketidakmampuan sistem untuk mempertahankan oksigenasi darah
normal.
g. Asidosis respiratorik

Poltekkes Kemenkes Palembang


10

Asidosis respiratorik adalah kondisi yang terjadi ketika paru-paru


tidak dapat membuang semua karbon dioksida yang diproduksi tubuh
sehingga darah menjadi terlalu asam.

2.2.11 Pencegahan
1. Menjaga kesehatan
Menjaga kesehatan tubuh merupakan usaha yang sangat penting
dalam menanggulangi kekamuhan dari penyakit asma bronkial. Usaha
pencegahan penyakit ini antara lain berupa makan makanan yang
benilai gizi baik, minum yang banyak, istirahat yang cukup, rekreasi
dan olahraga yang sesuai kemampuan untuk mengatasi penyakit.
Penderita dianjurkan banyak minum kecuali bila dilarang dokter,
karena menderita penyakit lain seperti penyakit jantung atau ginjal
yan berat.
2. Menjaga kebersihan lingkungan
Kebersihan lingkungan dimana penderita hidup sehari-hari sangat
mempengaruhi timbulnya serangan penyakit asma bronkial.
Lingkungan rumah sebaik-baiknya tidak lembab, cukup ventilasi dan
cahaya matahari (Nugroho, 2016).

2.3 Implementasi Keperawatan Keluarga dengan Edukasi dan Melatih Teknik


Relaksasi Otot Progresif pada Pasien Asma Bronkial

2.3.1 Pengertian Implementasi Keperawatan

Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan rencana


asuhan keperawatan ke dalam bentuk tindakan keperawatan guna
membantu klien mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Asmadi, 2008).
Implementasi keperawatan adalah serangkaian tindakan perawat pada
keluarga berdasarkan perencanaan yang telah disusun sebelumnya (Padila,
2012, Hal. 113).

2.3.2 Jenis-Jenis Implementasi Keperawatan


Menurut Asmadi (2008) dalam Anggraini (2016), terdapat tiga jenis
implementasi keperawatan, yaitu :
a. Independent implementations

Poltekkes Kemenkes Palembang


11

Suatu tindakan yang dilakukan secara mandiri oleh perawat tanpa


petunjuk dari tenaga kesehatan lainnya. Implementasi jenis ini
bertujuan untuk membantu klien dalam mengatasi masalah sesuai
dengan kebutuhan klien itu sendiri, seperti contoh : membantu klien
dalam memenuhi activity daily living (ADL), memberikan perawatan
diri, menciptakan lingkungan yang aman, nyaman dan bersih untuk
klien, memberikan dorongan motivasi, membantu dalam pemenuhan
psiko-sosio-spiritual klien, membuat dokumentasi, dan lain-lain.
f. Interdependent/collaborative implementations
Suatu tindakan perawatan yang dilakukan berdasarkan kerjasama
dengan tim kesehatan lain. Contohnya dalam pemberian obat, harus
berkolaborasi dengan dokter dan apoteker.
g. Dependen implementations
Pelaksanaan rencana tindakan medis/instruksi dari tenaga medis
seperti ahli gizi, psikolog, psikoterapi, dan lain-lain dalam hal
pemberian nutrisi kepada klien sesuai dengan diet yang telah dibuat
oleh ahli gizi dan latihan fisik sesuai dengan anjuran bagian
fisioterapi.

2.3.3 Tahap-Tahap Implementasi Keperawatan


Ada 4 tahapan operasional yang harus diperhatikan dalam melakukan
implementasi keperawatan Menurut Purwaningsih & Karlina (2010) dalam
Anggraini (2016), yaitu:
a. Tahap Prainteraksi
Tahap pra interaksi adalah tahapan awal dalam melakukan asuhan
keperawatan diawali dengan:
1) Membaca rekam medis klien
2) Memahami rencana keperawatan secara baik
3) Menguasai keterampilan teknis keperawatan
4) Memahami rasional ilmiah dari tindakan yang akan dilakukan
5) Mengetahui sumber daya yang diperlukan
6) Memahami kode etik dan aspek hukum yang berlaku dalam

Poltekkes Kemenkes Palembang


12

pelayanan keperawatan
7) Memahami standar praktik klinik keperawatan untuk mengukur
keberhasilan
8) Memahami efek samping dan komplikasi yang mungkin muncul .
9) Penampilan perawat harus meyakinkan
b. Tahap Perkenalan
1) Mengucapkan salam
2) Mengorientasikan/memperkenalkan nama
4) Menanyakan nama, alamat dan umur klien
5) Menginformasikan kepada klien tujuan dan tindakan yang akan
dilakukan oleh perawat
6) Memberitahu kontrak waktu, berapa lama akan dilakukannya
tindakan
7) Memberi kesempatan kepada klien untuk bertanya tentang
tindakan dan bertanya kepada klien setuju atau tidak pada
tindakan yang akan dilakukan
c. Tahap Kerja
1) Menjaga privacy klien
2) Melakukan tindakan yang sudah direncanakan
3) Hal-hal yang perlu diperhatikan pada saat pelaksanaan tindakan
adalah pencegahan kecelakaan dan komplikasi, rasa aman,
privacy, kondisi klien, respon klien terhadap tindakan yang telah
diberikan
h. Tahap Terminasi
Tahap terminasi merupakan tahapan terakhir dalam melakukan
implementasi keperawatan.
1) Beri kesempatan kepada klien untuk mengekspresikan perasaannya
setelah dilakukan tindakan oleh perawat
2) Berikan feedback yang baik kepada klien dan puji atas kerjasama
klien
3) Kontrak waktu selanjutnya
2) Rapikan peralatan dan lingkungan klien dan lakukan terminasi

Poltekkes Kemenkes Palembang


13

3) Berikan salam sebelum meninggalkan pasien


4) Lakukan pendokumentasian

2.3.4 Implementasi Keperawatan Keluarga


Menurut Harmoko (2012) Hal. 98, tindakan keperawatan keluarga
mencakup hal-hal dibawah ini.
1. Menstimulasi kesehatan atau penerimaan keluarga mengenai
kebutuhan kesehatan dengan cara memberikan informasi,
mengidentifikasi kebutuhan dan harapan tentang kesehatan, serta
mendorong sikap emosi yang sehat terhadap masalah.
2. Menstimulasi keluarga untuk memutuskan cara perawatan yang tepat
dengan cara mengidentifikasi konsekuensi untuk tidak melakukan
tindakan, mengidentifikasi sumber-sumber yang dimiliki keluarga, dan
mendiskusikan konsekuensi setiap tindakan.
3. Memberikan kepercayaan diri dalam merawat anggota keluarga yang
sakit dengan cara mendemonstrasikan cara perawatan, menggunakan
alat dan fasilitas yang ada dirumah, dan mengawasi keluarga
melakukan perawatan.
4. Membantu keluarga untuk menentukan cara membuat lingkungan
menjadi sehat dengan menemukan sumber-sumber yang dapat
digunakan keluarga dan melakukan perubahan lingkungan keluarga
seoptimal mungkin.
5. Memotivasi keluarga untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan dengan
cara mengenalkan fasilitas kesehatan yang ada dilingkungan keluarga
cara menggunakan fasilitas tersebut.

2.3.5 Pemberian Edukasi pada Pasien Asma Bronkial


Penatalaksanaan asma bronkial terdiri dari farmakologis dan non
farmakologis. Edukasi merupakan salah satu penatalaksanaan non
farmakologis. Secara umum program edukasi merupakan rangkaian
kegiatan sistematis, terencana dan terarah. Peran serta pasien, keluarga,
dan petugas kesehatan dengan secara menyeluruh sangat diharapan untuk
dapat bekerja sama dalam mengatasi masalah asma bronkial (Matondang,
2016).

Poltekkes Kemenkes Palembang


14

Edukasi mengenai penyakit asma bronkial diberikan kepada penderita


asma dan keluarganya. Edukasi yang dilakukan dengan pengenalan tentang
penyakit asma, pengobatan, penyebab serta pencegahan penyakit asma
bronkial yang benar dapat membuat penderita dan keluarganya mengerti
sehingga termotivasi untuk mengatasi masalah penyakitnya. Pemberian
edukasi sangat membantu dalam meningkatkan kesadaran keluarga serta
menjadi faktor utama dalam pengobatan asma bronkial (Purwanto, 2017).

2.3.6 Terapi Relaksasi Otot Progresif


1. Pengertian Terapi Relaksasi Otot Progresif
Terapi relaksasi otot progresif adalah suatu terapi yang dapat
digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan ketegangan dan
mendapatkan rasa nyaman tanpa tergantung pada hal/subjek diluar
dirinya (Resti, 2014).
Terapi relaksasi otot progresif merupakan salah satu teknik
pengelolaan diri yang terbukti efektif mengurangi ketegangan dan
kecemasan, mengatasi insomnia dan asma (Ramadhani, 2016 dalam
Triyanto , 2015, Hal. 17).
Latihan relaksasi secara progresif merupakan metode latihan
yang dilakukan dengan cara menegangkan otot-otot pada seluruh
tubuh sebelum membuat otot-otot tersebut rileks. Metode latihan
relaksasi ini harus disusun secara sistematis mulai dari otot bagian
atas sampai pada otot bagaian bawah tubuh, misalnya otot bagian
lengan, otot bagian kepala (mulai dari dahi, mata, pipi, bibir, dan
lidah), selanjutnya otot leher, otot bahu, otot dada, otot perut
sampai otot bagaian bawah yaitu otot tungkai (komarudin, 2013
dalam Larasati, 2014).
2. Tujuan Terapi Relaksasi Otot Progresif
Tujuan terapi relaksasi oto progresif yaitu antara lain:
a. Menurunkan ketegangan otot, kecemasan, nyeri leher dan
punggung, tekanan darah tinggi, frekuensi jantung, laju
metabolic.
b. Mengurangi disritmia jantung, kebutuhan oksigen;
c. Meningkatkan rasa kebugaran, konsentrasi;

Poltekkes Kemenkes Palembang


15

d. Memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stress


e. Mengatasi insomnia, depresi, kelelahan, iritabilitas, spasme otot,
fobia ringan, gagap ringan, dan
f. Membangun emosi positif dari emosi negatif. ( Triyanto, 2014,
Hal. 22)

3. Manfaat Terapi Relaksasi Otot Progresif


Manfaat terapi relaksasi otot progresif pada penderita asma
bronkial dengan masalah intoleransi aktivitas, yaitu:
a. Meredakan stress dan depresi
b. Dapat meredakan kecemasan dan phobia
c. Baik untuk penderita hipertensi
d. Dapat meredakan gangguan psikosomatis
e. Psikosomatis adalah salah satu gangguan kesehatan serta respon-
respon
f. Baik untuk kesehatan otot tubuh agar tidak menjadi kaku
g. Dapat mencegah kram dan kesemutan
h. Mencegah insomnia dan gangguan tidur
i. Menghilangkan pegal dan juga sakit pada leher ( Triyanto,2014,
Hal. 23)

4. Teknik Terapi Relaksasi Otot Progresif


Teknik terapi relaksasi otot untuk mengurangi intoleransi aktivitas
pada penderita asma bronkial terdiri dari beberapa gerakan
diantaranya:
a. Melatih otot tangan.
1) Genggam tangan kiri sambil membuat suatu kepalan.
2) Buat kepalan semakin kuat sambil merasakan sensasi
ketegangan yang terjadi.
3) Pada saat kepalan dilepaskan, klien dipandu untuk merasakan
relaks selama 10 detik.
4) Gerakan pada tangan kiri ini dilakukan dua kali sehingga klien
dapat membedakan perbedaan antara ketegangan otot dan
keadaan relaks yang dialami.
5) Prosedur serupa juga dilatihkan pada tangan kanan.
b. Melatih otot tangan bagian belakang.
Tekuk kedua lengan ke belakang pada pergelangan tangan
sehingga otot di tangan bagian belakang dan lengan bawah
menegang, jari-jari menghadap ke langit-langit.
c. Melatih otot biseps (otot besar pada bagian atas pangkal lengan).
1) Genggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan.

Poltekkes Kemenkes Palembang


16

2) Kemudian letakkan kedua kepalan ke pundak sehingga otot


biseps akan menjadi tegang.
d. Melatih otot bahu supaya mengendur.
1) Angkat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan menyentuh
kedua telinga.
2) Fokuskan atas, dan leher.
e. Melemaskan otot-otot wajah (seperti otot dahi, mata, rahang, dan
mulut)
Gerakkan otot dahi dengan cara mengerutkan dahi dan alis
sampai otot terasa dan kulitnya keriput.Tutup keras-keras mata
sehingga dapat dirasakan disekitar mata dan otot-otot yang
mengendalikan gerakan mata.
f. Mengendurkan ketegangan yang dialami oleh otot rahang.
Katupkan rahang, diikuti dengan menggigit gigi sehingga terjadi
ketegangan disekitar otot rahang.
g. Mengendurkan otot-otot sekitar mulut. Bibir dimoncongkan
sekuat-kuatnya sehingga akan dirasakan ketegangan di sekitar
mulut.
h. Merileksikan otot leher bagian depan maupun belakang.
1. Diawali dengan menggerakkan otot leher bagian belakang baru
kemudian otot leher bagian depan.
2. Letakkan kepala sehingga dapat beristirahat.
3. Tekan kepala pada permukaan bantalan kursi sehingga dapat
merasakan ketegangan dibagian belakang leher dan punggung
atas.
i. Melatih otot leher begian depan.
1) Tundukkan kepala kebawah.
2) Benamkan dagu ke dada, sehingga dapat merasakan
ketegangan di daerah leher bagian depan.
j. Melatih otot punggung
1) Angkat tubuh dari sandaran kursi.
2) Punggung dilengkungkan.
3) Busungkan dada, tahan kondisi tegang selama 10 detik,
kemudian relaks.
4) Saat relaks, letakkan tubuh kembali ke kursi sambil
membiarkan otot menjadi lemas.
k. Melemaskan otot dada.
1) Tarik napas panjang untuk mengisi paru-paru dengan udara
sebanyak-banyaknya.

Poltekkes Kemenkes Palembang


17

2) Ditahan selama beberapa saat, sambil merasakan ketegangan di


bagian dada sampai turun ke perut, kemudian dilepas.
3) Saat ketegangan dilepas, lakukan napas normal dengan lega.
4) Ulangi sekali lagi sehingga dapat dirasakan perbedaan antara
kondisi tegang dan relaks.
l. Melatih otot perut.
1) Tarik dengan kuat perut kedalam.
2) Tahan sampai menjadi kencang dan keras selama 10 detik, lalu
dilepaskan bebas.
3) Ulangi kembali seperti gerakan awal perut ini.
m. Melatih otot-otot kaki (seperti paha dan betis).
5) Luruskan kedua telapak kaki sehingga otot paha terasa tegang.
6) Lanjutkan dengan mengunci lutut sedemikian rupa sehingga
ketegangan pindah ke otot betis.
7) Tahan posisi tegang selama 10 detik, lalu dilepas.
8) Ulangi setiap gerakan masing-masing dua kali. (Triyanto,2014,
Hal. 19)

2.4 Konsep Dasar Keluarga


2.4.1 Pengertian Keluarga
Keluarga adalah perkumpulan dua orang atau lebih individu yang
memiliki ikatan hubungan darah, perkawinan atau adopsi yang mana tiap-
tiap anggota keluarga ini saling berinteraksi satu sama lain (Harmoko,
2012, Hal. 11).
Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung
karena hubungan darah, perkawinan atau pengangkatan, dan hidup dalam
suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain, dan didalam perannya
masing-masing menciptakan serta mempertahankan kebudayaan (Bailon
dan Maglaya, 1989 dalam Muhlisin, 2012).
Keluarga adalah unit terkecil dari suatu masyarakat yang terdiri atas
kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal disuatu
tempat dibawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Padila,
2012, Hal. 18).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah
perkumpulan dua orang atau lebih yang diikat oleh hubungan darah,
perkawinan, atau adopsi yang hidup dalam suatu rumah tangga dan setiap

Poltekkes Kemenkes Palembang


18

anggota keluarga mempunyai perannya masing-masing serta saling


bergantung satu sama lain.

2.4.2 Karakteristik Keluarga


Ada beberapa karakteristik yang dimiliki oleh keluarga menurut
Muhlisin (2012), yaitu:
1. Keluarga terdiri dari dua atau lebih individu yang memiliki ikatan
hubungan darah, perkawinan atau adopsi.
2. Anggota keluarga hidup bersama dan jika terpisah masih tetap saling
memperhatikan satu sama lain.
3. Anggota keluarga saling berinterkasi dan masing-masing mempunyai
peran sosial yaitu sebagai suami, istri, anak, kakak dan adik.
4. Keluarga mempunyai tujuan untuk menciptakan dan mempertahankan
budaya serta meningkatkan perkembangan fisik, psikologis dan sosial
anggota.

2.4.3 Tahap Perkembangan Keluarga


Menurut Padila (2012) Hal. 48, meskipun tiap keluarga melalui
tahapan perkembangannya secara unik dan berbeda-beda, namun secara
umum seluruh keluarga mengikuti pola yang sama, yaitu:
a. Pasangan baru (keluarga baru)
Keluarga baru dimulai saat masing-masing individu laki-laki dan
perempuan membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah dan
meninggalkan (psikologis) keluarga masing-masing:
1. Membangun perkawinan yang saling memuaskan
2. Menghubungkan jaringan persaudaraan secara harmonis
3. Keluarga berencana
4. Menetapkan tujuan bersama
5. Memahami prenatal care (pengertian kehamilan, persalinan dan
menjadi orang tua
b. Keluarga child-bearing (tahap sedang mengasuh anak)
Keluarga yang menantikan kelahiran, dimulai dari kehamilan
sampai kelahiran anak pertama dan berlanjut sampai anak pertama
berusia kurang 30 bulan :
1. Membentuk keluarga muda sebagai sebuah unit yang mantap
2. Rekonsiliasi tugas-tugas perkembangan yang bertentangan dan
kebutuhan anggota keluarga
3. Mempertahankan hubungan perkawinan yang memuaskan
4. Konseling KB post partum 6 minggu

Poltekkes Kemenkes Palembang


19

5. Menyiapkan biaya child bearing


6. Memfasilitasi role learning anggota keluarga.
c. Keluarga dengan anak pra-sekolah
Tahap ini dimulai saat kelahiran anak pertama usia 30 bulan - 6
tahun. Tugas-tugas dalam tahap ini :
1. Memenuhi kebutuhan anggota keluarga, seperti kebutuhan tempat
tinggal, privasi dan rasaaman
2. Mensosialisasikan anak
3. Mengintegrasikan anak yang baru dan memenuhi kebutuhan anak
yang lain
4. Merencanakan kegiatan dan waktu stimulus tumbuh kembang anak.
d. Keluarga dengan anak sekolah
Tahap ini dimulai saat anak masuk sekolah pada usia enam tahun
dan berakhir pada usia 13 tahun.
1. Membantu sosialisasi anak : tetangga, sekolah dan lingkungan
2. Mempertahankan keintiman pasangan
3. Memenuhi kebutuhan dan biaya kehidupan yang semakin
meningkat, termasuk kebutuhan untuk meningkatkan kesehatan
anggota keluarga.
e. Keluarga dengan anak remaja
Dimulai pada saat anak pertama berusia 13 tahun dan biasanya
berakhir sampai 6-7 tahun kemudian, yaitu pada saat anak
meninggalkan rumah orangtuanya.
1. Memberikan kebebasan yang seimbang dengan tanggung jawab,
mengingat remaja sudahbertambah dewasa dan meningkat
otonominya
2. Memfokuskan kembali hubungan intim perkawinan
3. Mempertahankan komunikasi terbuka antara anak dan orangtua.
Hindari perdebatan,kecurigaan dan permusuhan
4. Mempersiapkan perubahan untuk memenuhi kebutuhan tumbuh
kembang anggota keluarga.
f. Keluarga dengan anak dewasa (pelepasan)
Tahap ini dimulai pada saat anak pertama meninggalkan rumah.
1. Memperluas keluarga inti menjadi keluarga besar
2. Mempertahankan keintiman pasangan
3. Membantu orangtua suami/istri yang sedang sakit dan memasuki
masa tua
4. Membantu anak untuk mandiri di masyarakat
5. Penataan kembali peran dan kegiatan rumah tangga
g. Keluarga usia pertengahan

Poltekkes Kemenkes Palembang


20

Tahap ini dimulai pada saat anak yang terakhir meninggalkan


rumah dan berakhir saat pensiun atau salah satu pasangan meninggal :
1. Menyediakan lingkungan yang dapat meningkatkan kesehatan
2. Mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan teman
sebaya dan anak-anak.
3. Meningkatkan keakraban pasangan
4. Persiapan masa tua atau pensiun
h. Keluarga usia lanjut
Penyesuaian tahap masa pensiun dengan cara merubah cara hidup
1. Mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan
2. Menyesuaikan terhadap pendapat yang menurun
3. Mempertahankan hubungan perkawinan
4. Menyesuaikan diri terhadap kehilangan pasangan
5. Mempertahankan ikatan keluarga antar generasi
6. Melakukan life review (merenungkan hidupnya)

2.4.4 Tipe Keluarga


Menurut Harmoko (2012) Hal. 22, tipe keluarga terbagi sebagai
berikut:
a. Nuclear Family
Keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang tinggal
didalam satu rumah ditetapkan oleh sanksi-sanksi legal dalam suatu
ikatan perkawinan, satu/keduanya dapat bekerja di luar rumah.
b. Extended Family
Keluarga inti ditambah dengan sanak saudara, misalnya nenek, kakek,
keponakan, saudara sepupu, paman, bibi, dan sebagainya.
c. Reconstituted Nuclear
Pembentukan baru dari keluarga inti melalui perkawianan kembali
suami/istri, tinggal dalam satu rumah dengan anak-anaknya, baik itu
bawaan dari perkawinan lama maupun hasil perkawinan baru. Satu
atau keduanya dapat bekerja di luar rumah.
d. Middle Age/aging Couple
Suami sebagai tulang punggung keluarga, istri di rumah/kedua-duanya
bekerja di rumah, anak-anak sudah meninggalkan rumah karena
sekolah/perkawinan/meniti karier.
e. Dyadic Nuclear
Suami istri yang sudah berumur dan tidak mempunyai anak,
keduanya/salah satu bekerja di rumah.

Poltekkes Kemenkes Palembang


21

f. Single Parent
Satu orang tua sebagai akibat perceraian/kematian pasangannya dan
anak-anaknya dapat tinggal di rumah/luar rumah.
g. Dual Carier
Suami istri/keduanya berkarier dan tanpa anak.
h. Commuter Married
Suami/istri/keduanya orang karier dan tinggal terpisah pada jarak
tertentu, keduanya saling mencari pada waktu-waktu tertentu.
i. Single Adult
Wanita atau pria dewasa yang tinggal sendiri dengan tidak adanya
keinginan untuk menikah.
j. Three Generation
Tiga generasi atau lebih tinggal dalam satu rumah.
k. Institutional
Anak-anak atau orang-orang dewasa tinggal dalam suatu panti.
l. Comunal
Satu rumah terdiri atas dua/lebih pasangan yang monogami dengan
anak-anaknya dan bersama-sama dalam penyediaan fasilitas.
m. Group Marriage
Satu perumahan terdiri atas orang tua dan keturunannya di dalam satu
kesatuan keluarga dan tiap individu adalah menikah dengan yang lain
dan semua adalah orang tua dari anak-anak.
n. Unmarried Parent and Child
Ibu dan anak dimana perkawinan tidak dikehendaki, anak diadopsi.
o. Cohibing Couple
Dua orang/satu pasangan yang tinggal bersama tanpa pernikahan.

Dari berbagai tipe keluarga diatas, terdapat dua tipe keluarga di


Indonesia, diantaranya tipe keluarga tradisional dan tipe keluarga non
tradisional.
a. Tipe Keluarga Trdisional
1) Keluarga inti
Suatu rumah tangga yang terdiri dari suami, istri, dan anak
(kandung/angkat).
2) Keluarga Besar
Keluarga inti ditambah keluarga lain yang mempunyai hubungan
darah, misal kekek, nebek, paman, bibi.
3) Single Parent

Poltekkes Kemenkes Palembang


22

Suatu rumah tangga yang terdiri dari satu orang tua dengan anak
(kandung/angkat). Kondisi ini dapat disebabkan oleh
kematian/perceraian.
4) Single Adult
Suatu rumah tangga yang terdiri dari satu orang dewasa.
5) Keluarga Lanjut Usia
Terdiri dari suami istri lanjut usia.
b. Tipe Keluarga Non Tradisional
1) Commue Family
Lebih dari satu keluarga tinggal serumah tanpa ada hubungan
darah.
2) Orang tua (ayah ibu) yang tidak ada ikatan perkawianan dan anak
hidup bersama dalam satu rumah tangga.
3) Homoseksual
Dua individu yang sejenis hidup bersama dalam satu rumah tangga.

2.4.5 Struktur Keluarga


Terdapat beberapa struktur keluarga, diantaranya:
a. Macam-macam Strukur Keluarga
Struktur keluarga menggambarkan begaimana keluarga
melaksankan fungsi keluarganya dimasyarakat. Ada beberapa struktur
keluarga yang terdiri atas :
1) Patrilineal
Keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam
beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur
ayah.
2) Matrilineal
Keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara seadarah dalam
beberapa generasi, diamna hubungan itu disusun oleh jalur ibu.
3) Matrilokal
Sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah ibu.
4) Patrilokal
Sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah ayah.

Poltekkes Kemenkes Palembang


23

5) Keluarga Kawin
Hubungan suami istri sebagai dasar bagi pembinaan keluarga dan
beberapa sanak saudara yang menjadi bagian keluarga karena
adanya hubungan dengan suami atau istri.
b. Ciri-ciri Struktur Keluarga
1. Terorganisasi, yaitu saling berhubungan, saling ketergantungan
antar anggota keluarga.
2. Ada keterbatasan, dimana setiap anggota memiliki keterbatasan

tetapi mereka juga mempunyai keterbatasan dalammenjalankan


fungsi dan tugasnya masing-masing.
3. Ada perbedaan dan kekhususan yaitu setiap anggota keluarga
mempunyai peranan dan fungsinya masing-masing.

Gambar 2.2 Struktur Keluarga

Salah satu pendekatan dalam asuhan keperawatan keluarga adalah


pendekatan struktural-fungsional. Struktural keluarga menyatakan tentang
bagaimana keluarga disusun atau bagaimana unit-unit ditata dan saling
terkait satu sama lain. Struktur keluarga dapat digambarkan sebagai
berikut (Padila,2012, Hal. 24).

Poltekkes Kemenkes Palembang


24

2.4.6 Peran Keluarga


Menurut Harmoko (2012) Hal. 29, Peran adalah kumpulan tingkah
laku yang diharapkan orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya
dalam suatu sistem. Peran keluarga dibagi menjadi dua yaitu peran formal
keluarga dan peran informal keluarga.
a. Peran formal keluarga
Setiap posisi formal dalam keluarga adalah peran-peran yang
bersifat terikat, yaitu sejumlah perilaku yang kurang lebih bersifat
homogen. Keluarga membagi peran secara merata kepada anggotanya.
Contoh peran formal keluarga yaitu pencari nafkah, ibu rumah tangga,
pengasuh anak, manajer keuangan, dan tukang masak.
b. Peran informal keluarga
Peran-peran informal bersifat implisit, biasanya tidak tampak,
dimainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan emosional
individu dan untuk menjaga keseimbangan dalam keluarga.

2.4.7 Fungsi Keluarga


Dalam sehari-hari fungsi keluarga dapat ditetapkan oleh kelompok
keluarga. Menurut Friedman (1999) dalam Padila (2012) Hal. 33,
terdapat lima fungsi dasar keluarga sebagai berikut:
1) Fungsi afektif adalah fungsi internal keluarga untuk memenuhi
kebutuhan psikososial dengan cara memberikan cinta kasih , saling
mengasuh, saling menerima dan mendukung serta saling
menghargai.
2) Fungsi sosialisasi adalah proses perkembangan dan perubahan
individu pada keluarga, tempat anggota keluarga berinteraksi sosial
dan belajar berperan di lingkungan sosial.
3) Fungsi reproduksi adalah fungsi meneruskan kelangsungan
keturunan dan menambah sumber daya manusia.
4) Fungsi ekonomi adalah fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan
keluarga, seperti sandang, pangan, dan papan.

Poltekkes Kemenkes Palembang


25

5) Fungsi perawatan kesehatan adalah kemampuan keluarga untuk


merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan

Harmoko (2012) Hal. 39, menjelaskan bahwa kemampuan keluarga


dalam memberikan asuhan keperawatan mempengaruhi tingkat
kesehatan keluarga dan individu. Kesanggupan keluarga melaksanakan
perawatan dan pemeliharaan dapat dilihat dari tugas kesehatan
keluarga. Tugas kesehatan keluarga adalah sebagai berikut:
a. Mengenal masalah kesehatan yaitu kemampuan keluarga dalam
mengetahui penyebab, tanda gejala, komplikasi, serta pencegahan
suatu masalah kesehatan.
b. Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat yaitu
kemampuan keluarga mengambil keputusan untuk mengatasi suatu
masalah kesehatan.
c. Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit yaitu
kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang sakit
dan upaya-upaya apa saja yang di lakukan untuk merawat anggota
keluarga yang sakit.
d. Mempertahankan atau menciptakan suasana rumah yang sehat yaitu
kemampuan keluarga dalam perawatan anggota keluarga yang sakit
dengan cara merubah atu memodifikasi tempat tinggal.
e. Mempertahankan hubungan dengan (menggunakan) fasilitas
kesehatan masyarakat yaitu kemampuan keluarga dalam
memanfaatkan pelayanan kesehatan misalnya puskesmas di
lingkungan tempat tinggalnya.

2.4.8 Tugas Keluarga


Menurut Padila (2012) Hal. 37, pada dasarnya tugas keluarga terdiri
dari delapan tugas pokok sebagai berikut :
a) Pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya.
b) Pemeliharaan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga.
c) Pembagian tugas masing-masing anggotanya sesuai dengan
kedudukannya masing-masing.
d) Sosialisasi antar anggota keluarga.
e) pengaturan jumlah anggota keluarga.
f) Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga.

Poltekkes Kemenkes Palembang


26

g) Membangkitkan dorongan dan semangat para anggotanya.

2.4.9 Stress Dan Koping Keluarga


Keluarga secara terus menerus dihadapkan pada perubahan. Stimulus
untuk perubahan ini datang dari luar dan dalam. Supaya dapat berlangsung
hidup dan terus berkembang, maka strategi dan proses koping keluarga
sangat penting bagi keluarga dalam menghadapi tuntutan yang ada.

Gambar 2.3 Stimulus-adaptasi (Roy,1991)

STIMULUS KOPING ADAPTASI

Sumber : (Padila, 2012. Koping Keluarga di Individu. Hal. 40)

a. Sumber stressor keluarga (Stimulus)


Stressor merupakan agen-agen pencetus atau yang menyebabkan
stress. Dalam keluarga biasanya stressor berkaitan dengan kejadian-
kejadian dalam hidup yang cukup serius sehingga menimbulkan
perubahan dalam sistem keluarga. Dapat berupa kejadian atau
pengamalan pribadi, lingkungan, ekonomi, serta sosial budaya dan
persepsi keluarga terhadap kejadian.
b. Koping Keluarga
Koping keluarga menunjuk pada analisa kelompok keluarga.
Koping keluarga diartikan sebagai respon positif yang digunakan
keluarga untuk memecahkan masalah (mengendalikan stress). Sumber
koping keluarga bisa internal (anggota keluarga sendiri) maupun
eksternal (luar keluarga).
c. Sumber Dasar Stress Keluarga
Menurut Minuchin (1974) dalam Padila (2012) Hal. 43, terdapat
empat sumber dasar stress dalam keluarga, yaitu
1. Kontak penuh stress dari anggota keluarga dengan kekuatan diluar
keluarga,

Poltekkes Kemenkes Palembang


27

2. Kontak penuh stress seluruh keluarga dengan kekuatan diluar


keluarga,
3. Stressor seperti lahirnya bayi, tumbuh remaja, perkawinan, single
parent, masuknya kakek/nenek, keluarnya anak dewasa muda dan
hilangnya pasangan
4. Stressor tradisional
d. Krisis Keluarga
Krisis keluarga adala suatu keadaan atau kekacauan dalam keluarga
yang penuh dengan stress tanpa ada penyelesaian masalah. Terdapat
dua tipe krisis dalam keluarga, yaitu:
1. Krisis Perkembangan
Krisis yang berasal dari kejadian dalam proses perkembangan
psikososial anggota keluarga.
2. Krisis Situasi
Kejadian atau stress yang tidak bisa (diharapkan) seperti sakit,
kematian, dan lain-lain.

Poltekkes Kemenkes Palembang

Anda mungkin juga menyukai