BAB Ill
ISU GENDER DALAM KESEHATAN REPRODUKS!
Seperti telah dikemukakan, isu gender mulai dibahas pada ICPD 1994,
dan kemudian dilanjutkan pada Konferensi Perempuan Sedunia ke IV di
Beijing pada tahun 1995 serta /CPD+5 (1999) pada forum The Haque.
Berbagai isu gender pokok ternyata sangat terkait dengan kesehatan
reproduksi (lihat Lampiran). Di Indonesia, pada Lokakarya Nasional
tentang Kesehatan Reproduksi di Jakarta (1996), telah disepakati bahwa
definisi kesehatan reproduksi mengacu kepada definisi WHO, yaitu:
“keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan semata-
mata bebas dari penyakit dan kecacatan; dalam aspek yang
berhubungan dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya”
Selain itu telah disepakati pula bahwa dalam penerapan kesehatan
reproduksi pada pelayanan kesehatan dasar diprioritaskan suatu paket
Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE), yang meliputi:
Kesehatan Ibu dan Anak Baru Lahir (Safe Motherhood) .
Keluarga Berencana
Penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS), termasuk HIV/ AIDS
Kesehatan Reproduksi Remaja
Pops
Disamping itu dikenal pula paket Pelayanan Kesehatan Reproduksi
Komprehensif (PKRK), yaitu PKRE yang dilengkapi dengan Pelayanan
Kesehatan Reproduksi pada Usia Lanjut.
Mengingat bahwa banyak pihak yang berperan dalam upaya kesehatan
reproduksi, maka dirasakan perlu untuk membentuk forum koordinasi,
sinkronisasi, komunikasi dan diseminasi informasi. Untuk itu pada tahun
1998 dibentuk Komisi Kesehatan Reproduksi melalui Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 433/1998. Komisi ini menghimpun
berbagai lembaga pemerintah dan non-pemerintah, organisasi profesi
terkait, lembaga donor, LSM, lembaga penelitian, serta perguruan tinggi
dan pihak lain yang terkait.A. Pentingnya Penanganan Isu Gender dalam Kesehatan
Reproduksi
Seperti dikemukakan pada Bab sebelumnya, gender mempunyai
pengaruh besar terhadap kesehatan laki-laki dan perempuan. Hal itu
semakin dirasakan dalam ruang lingkup kesehatan reproduksi antara
lain karena hal-hal berikut:
1. Masalah kesehatan reproduksi dapat terjadi sepanjang siklus
hidup manusia, misainya masalah inses yang terjadi pada pada
masa kanak-kanak di rumah, masalah pergaulan bebas pada masa
remaja, kehamilan remaja, aborsi yang tidak aman, kurangnya
informasi tentang kesehatan reproduksi dan masalah kesehatan
reproduksi lainnya. Status sosial perempuan (termasuk anak
perempuan) di masyarakat merupakan penyebab utama masalah
kesehatan reproduksi yang dihadapi perempuan. Akibatnya, mereka
kehilangan kendali terhadap kesehatan, tubuh dan fertilitasnya.
2. Perempuan lebih rentan dalam menghadapi risiko kesehatan
reproduksi seperti kehamilan, melahirkan, aborsi yang tidak aman
dan pemakaian alat kontrasepsi. Karena struktur alat reproduksinya;
perempuan rentan secara sosial maupun biologis terhadap
penularan IMS termasuk STD/HIV/AIDS.
3. Masalah kesehatan reproduksi tidak terpisahkan dari
hubungan laki-laki dan perempuan. Namun keterlibatan, motivasi
serta partisipasi laki-laki dalam kesehatan reproduksi dewasa ini
masih sangat kurang.
4. Laki-laki juga mempunyai masalah kesehatan reproduksi,
khususnya yang berkaitan dengan IMS, termasuk HIV/AIDS. Karena
itu, dalam menyusun strategi untuk memperbaiki kesenatan
reproduksi harus diperhitungkan pula kebutuhan, kepedulian dan
tanggung jawab laki-laki.
5. Perempuan rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga
(kekerasan domestik) atau periakuan kasar, yang pada dasarnya
bersumber pada subordinasi perempuan terhadap laki-laki atau
hubungan gender yang tidak setara.
136. Kesehatan reproduksi lebih banyak dikaitkan dengan “urusan
perempuan”, seperti bila menyebutkan akseptor KB, aborsi,
pemeriksaan kehamilan, kemandulan dan kematian ibu. Urusan
tersebut memang dekat sekali dengan perempuan, baik dalam tar-
get sasaran maupun pelaku. Kesuksesan program KB selama ini
berasal dari partisipasi perempuan yang mencapai 98%. Kematian
karena aborsi meliputi sekitar 15% kematian ibu. Angka Kematian
Ibu mencapai 307 per 100.000 kelahiran hidup SDKI, 2000). Semua
ukuran dikaitkan dengan perempuan, karena target dan korbanya
adalah perempuan.
Dari perspektif gender, hal-hal tersebut mencerminkan adanya hubungan
gender yang timpang; perlakuan yang diskriminatif terhadap perempuan
dan banyaknya intervensi yang buta gender.
B. Isu Gender dalam Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi
Esensial
Berbagai keadaan yang sering dianggap sebagai isu gender dalam ruang
lingkup kesehatan reproduksi esensial sebagai berikut:
1. Kesehatan Ibu dan Anak Baru Lahir (Safe Motherhood)
Hal-hal yang sering dianggap sebagai isu gender sebagai berikut:
(i) Ketidakmampuan perempuan dalam mengambil keputusan
dalam kaitannya dengan kesehatan dirinya, misalnya dalam
menentukan kapan hamil, dimana akan melahirkan, dsb. Hal ini
berhubungan dengan kedudukan perempuan yang lemah di
keluarga dan masyarakat.
(ii) Sikap dan perilaku keluarga yang cenderung mengutamakan
laki-laki, contohnya dalam mengkonsumsi makanan sehari-hari
yang menempatkan bapak atau anak laki-laki pada posisi yang
diutamakan daripada ibu dan anak perempuan. Hal ini sangat
merugikan kesehatan perempuan, terutama bila sedang hamil.
(iii) Tuntutan untuk tetap bekerja: pada daerah tertentu, seorang ibu
hamil tetap dituntut untuk tetap bekerja keras seperti pada saat
ibu tersebut tidak hamil.
142. Keluarga Berencana
Hal-hal yang sering dianggap sebagai isu gender sebagai berikut:
(i) Kesertaan ber-KB: dari data SDKI tahun 1997 tentang
persentase kesertaan ber-KB, diketahui bahwa 98% akseptor
KB adalah perempuan. Ini berarti bahwa dalam program KB
perempuan selalu menjadi obyek/target sasaran.
(ii) Perempuan tidak mempunyai kekuatan untuk memutuskan
metoda kontrasepsi yang diinginkan, antara lain karena
ketergantungan kepada keputusan suami, informasi yang kurang
lengkap dari petugas kesehatan, penyediaan alat dan obat
kontrasepsi yang tidak memadai di tempat pelayanan.
(iii) Pengambilan keputusan: partisipasi kaum laki-laki dalam pro-
gram KB sangat kecil dan kurang, namun kontrol! terhadap
perempuan dalam hal memutuskan untuk ber-KB sangat
dominan.
3. Kesehatan Reproduksi Remaja
Hal-hal yang sering dianggap sebagai isu gender sebagai berikut:
(i) Ketidak-adilan dalam membagi tanggung-jawab: pada pergaulan
yang terlalu bebas, remaja puteri selalu menjadi korban dan
menanggung segala akibatnya (misalnya kehamilan yang tidak
dikehendaki, putus sekolah, dsb). Ada kecenderungan pula untuk
menyalahkan pihak perempuan, sedangkan remaja puteranya
seolah-olah terbebaskan dari segala permasalahan, walaupun
ikut andil dalam menciptakan permasalahan tersebut.
(ii) Ketidak-adilan dalam aspek hukum: dalam tindakan aborsi ilegal,
yang diancam oleh sanksi dan hukuman adalah perempuan yang
menginginkan tindakan aborsi tersebut, sedangkan laki-laki yang
menyebabkan kehamilan tidak tersentuh oleh hukum.
4. Infeksi Menular Seksual
Hal-hal yang sering dianggap sebagai isu gender sebagai berikut:
(i) Perempuan selalu dijadikan obyek intervensi dalam program
pemberantasan IMS, walaupun kaum laki-laki sebagai konsumen
justru_memberi kontribusi yang cukup besar dalam
permasalahan tersebut.
(ii) Setiap upaya mengurangi praktek prostitusi, kaum perempuan
sebagai penjaja seks komersial selalu menjadi obyek dan
15tudingan sumber permasalahan, sementara kaum laki-laki yang
mungkin menjadi sumber penularan tidak pernah diintervensi
dan dikoreksi.
Hal-hal di atas perlu dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui
kelayakannya untuk dikategorikan sebagai ketidak-setaraan atau
ketidak-adilan gender. Analisis juga diarahkan untuk mengetahui
penyebab kesenjangan, sehingga memberikan petunjuk dalam
mengurangi kesenjangan tersebut.