Anda di halaman 1dari 9

PERICORONITIS DAN OPERCULECTOMY

Perikoronitis adalah keradangan jaringan gingiva disekitar mahkota gigi yang


erupsi sebagian. Gigi yang sering mengalami perikoronitis adalah pada gigi molar ketiga
rahang bawah. Proses inflamasi pada perikoronitis terjadi karena terkumpulnya debris
dan bakteri di poket perikorona gigi yang sedang erupsi atau impaksi (Mansour and Cox,
2006).
Faktor-faktor resiko yang dapat menimbulkan perikoronitis adalah mahkota gigi
yang erupsi sebagian atau adanya poket di sekeliling mahkota gigi tersebut, gigi antagonis
yang supraposisi, dan kebersihan rongga mulut yang buruk (Meurman et al, 2003).
Perikoronitis berhubungan dengan bakteri dan pertahanan tubuh. Jika pertahanan tubuh
lemah seperti saat menderita influenza atau infeksi pernafasan atas, atau karena
penggunaan obat-obat imunosupresan maka pertahanan tubuh seorang pasien akan lemah
dan mempermudah timbulnya perikoronitis (Hupp et al, 2008).
Penyebab perikoronitis adalah terjebaknya makanan di bawah operkulum. Selama
makan, debris makanan dapat berkumpul pada pseudopoket antara operkulum dan gigi
impaksi. Poket yang tidak bisa dibersihkan mengakibatkan bakteri berkolonisasi dan
menyebabkan perikoronitis (Hupp et al, 2008). Mikroflora pada perikoronitis didapatkan
mirip dengan mikroflora pada poket periodontal. Bakteri-bakteri tersebut memicu
inflamasi pada daerah perikorona (Leung, 1993). Perikoronitis juga diperparah dengan
adanya trauma akibat gigi antagonis. Selain itu faktor emosi, merokok, dan infeksi saluran
respirasi juga memperparah perikoronitis (Topazian, 2002).
Gejala awal perikoronitis berupa nyeri dan pembengkakan lokal pada operkulum
yang menutupi mahkota gigi. Selain itu, adanya bau mulut yang tidak enak akibat adanya
pus, ulkus pada jaringan operkulum yang terinfeksi akibat kontak yang terus menerus
dengan gigi antagonis dan meningkatnya suhu tubuh dapat menyertai gejala-gejala klinis
dari perikoronitis. Apabila perikoronitis tidak diterapi dengan adekuat sehingga infeksi
menyebar ke jaringan lunak, dapat timbul gejala klinis yang lebih serius berupa
limfadenitis pada kelenjar limfe submandibularis, trismus, demam, lemah, dan bengkak
pada sisi yang terinfeksi (Laine et al, 2003).
1. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang umum muncul pada kondisi perikoronitis antara lain gingiva
kemerahan dan bengkak di regio gigi yang erupsi sebagian, serta rasa sakit saat
mengunyah. Perikoronitis secara klinis dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
a. Perikoronitis akut
Pada perikoronitis akut terjadi pembengkakan pada gingiva disekitar gigi,
eritema, disertai eksudat dan terasa sakit bila ditekan. Rasa sakit yang muncul dapat
menyebar ke leher, telinga, dan dasar mulut. Gejala yang timbul meliputi limfadenitis
pada kelenjar limfe submandibularis, pembengkakan wajah, eritema, edema, terasa
keras saat operkulum dipalpasi, malaise, bau mulut, dan eksudat purulen yang keluar
dari poket operkulum saat palpasi. Jika tidak segera ditangani maka dapat timbul
gejala sistemik, seperti demam dibawah 38,5o serta rasa ketidaknyamanan. Trismus
juga dapat terjadi pada kondisi perikoronitis akut (Shepherd dan Brickley, 1994).
b. Perikoronitis Subakut
Perikoronitis subakut ditandai dengan adanya nyeri yang terus menerus namun
tidak disertai oleh trismus atau gejala sistemik.
c. Perikoronitis Kronis
Perikoronitis kronis ditandai dengan timbulnya rasa tidak nyaman yang terus
menerus. Pada gambaran radiologi didapatkan resorpsi tulang alveolar sehingga
ruang folikel melebar, tulang interdental diantara molar kedua dan ketiga mengalami
resorpsi sehingga terdapat poket periodontal pada distal gigi molar kedua (Laine el
al, 2003).
2. Etiologi
Perikoronitis merupakan infeksi bakteri pada gingiva yang paling sering terjadi
pada gigi molar ketiga rahang bawah. Pada gigi yang erupsi sebagian, mahkota gigi
ditutupi oleh jaringan lunak yang disebut dengan operkulum. Pada saat makan, debris
makanan dapat berkumpul pada pseudopoket antara operkulum dan gigi impaksi. Poket
pada operkulum tidak dapat dibersihkan secara sempurna sehingga mengakibatkan
bakteri berkolonisasi dan sering mengalami infeksi (Keys and Bartold, 2000).
Penyebab utama dari infeksi ini adalah flora normal rongga mulut yang terdapat
dalam sulkus gingiva. Flora normal tersebut yaitu polibakteri yang terdiri atas bakteri
gram positif dan bakteri gram negatif (Sixou et al, 2003). Bakteri gram positif seperti
Gamella, Lactococcus, Streptococcus, Staphylococcus, Actinomyces, Bacillus,
Corynenebacterium, Lactobacillus, Propionibacterium, Peptostreptococcus, Prevotella,
Bacteroides, Fusobacterium, Leptotrichia, dan Porphyromonas. Sedangkan bakteri gram
negatif antara lain Capnocytophaga dan Pseudomonas. Mikroflora pada perikoronitis
yang ditemukan mirip dengan mikroflora pada poket periodontal. Bakteri-bakteri tersebut
yang memicu inflamasi pada daerah perikorona. Perikoronitis juga dipicu oleh trauma
akibat gigi antagonisnya yang terus menerus berkontak (Leung, 2004).
Bakteri Streptococcus mutans dapat tumbuh subur dalam suasana asam dan
menempel pada mukosa ruang perikorona karena kemampuannya membuat polisakarida
ekstra sel yang sangat lengket dari karbohidrat makanan. Polisakarida yang mempunyai
konsistensi seperti gelatin sehingga bakteri-bakteri terbantu untuk melekat pada mukosa
serta saling melekat satu sama lain. Setelah semakin bertambah, bakteri-bakteri ini akan
menghambat fungsi saliva dalam menetralkan suasana asam dalam rongga mulut (Volk
dan Wheeler, 1990). Bakteri Streptococcus mutans merupakan bakteri yang paling
dominan peranannya dalam patogenesis perikoronitis. Bakteri lain yang banyak
ditemukan pada operkulum perikoronitis adalah Actinomyces. Actinomyces banyak
ditemukan dalam gigi karies, poket gingiva dan kripta tonsil sebagai saprofit. Prevotella
merupakan bakteri lain yang banyak ditemukan pada operkulum perikoronitis. Prevotella
adalah organisme anaerobik yang umumnya ditemukan pada infeksi rongga mulut,
termasuk penyakit periodontal (Eduaro and mario, 2005).

3. Patofisiologi
Perikoronitis berawal dari gigi yang erupsi sebagian, mahkota gigi diliputi oleh
jaringan lunak yang disebut dengan operkulum. Antara operkulum dengan mahkota gigi
yang erupsi sebagian terdapat spasia yang membentuk pseudopoket. Debris makanan
dapat berkumpul pada poket antara operkulum dan gigi impaksi, sehingga tidak dapat
dibersihkan dari sisa makanan dengan sempurna akhirnya menyebabkan infeksi oleh
berbagai macam flora normal rongga mulut, terutama mikroflora subgingiva yang
membentuk koloni di celah tersebut. Keadaan ini juga dapat diperparah karena salah
satunya kebersihan rongga mulut yang kurang, sehingga terdapat akumulasi plak, dapat
mendukung berkembangnya koloni bakteri dan juga infeksi ini dapat bersifat lokal atau
dapat meluas ke jaringan yang lebih dalam dan melibatkan spasia jaringan lunak yang
lainnya (Bataineh et al, 2003).

A. Operkulektomi
1. Gambaran Umum
Operkulum adalah flap jaringan gingiva yang padat berserat yang mencakup sekitar
50 % dari permukaan oklusal yang menutupi sebagian dari molar ketiga pada mandibula.
Pengambilan flap ini dikenal sebagai operkulektomi. Operkulektomi dilakukan dengan
menggunakan menggunakan pisau bedah biasa atau gunting. Operkulektomi atau
perikoronal flap adalah pembuangan operkulum secara bedah. Perawatan perikoronitis
tergantung pada derajat keparahan inflamasinya. Komplikasi sistemik yang ditimbulkan
dan pertimbangan apakah gigi yang terlibat nantinya akan dicabut atau dipertahankan
(Shepherd dan Brickley, 1994).
Selain itu hal yang perlu diperhatikan adalah faktor usia dan kapan dimulai adanya
keluhan. Perlu adanya observasi mengenai hal tersebut karena jika usia pasien adalah usia
muda dimana gigi terakhir memang waktunya untuk erupsi dan mulai keluhan baru saja
terjadi, maka operkulektomi sebaiknya tidak dilakukan dulu. Kondisi akut merupakan
kontra indikasi dilakukannya operkulektomi, namun tindakan emergensi dapat dilakukan
hingga kondisi akut dapat ditanggulangi kemudian keadaan dievaluasi untuk dapat
melakukan operkulektomi (Shepherd dan Brickley, 1994).

Gambar 1. Operkulektomi
2. Indikasi dan Kontraindikasi
a. Indikasi
1) Erupsi sempurna ( bagian dari gigi terletak pada ketinggian yang sama pada
garis oklusal)
2) Adanya ruang yang cukup untuk ditempati coronal, adanya ruangan yang
cukup antara ramus dan sisi distal M2
3) Inklinasi yang tegak
4) Ada antagonis dengan oklusi yang baik
b. Kontraindikasi
1) Kondisi perikoronitis akut.
2) Gigi tumbuh unfavorable atau gigi tumbuh dengan posisi horizontal.

3. Teknik dan Penatalaksanaan Operkulektomi


a. Alat dan Bahan :
1) Diagnostik set
2) Pinset chirurgis
3) Glass plate
4) Akuades steril dan spuit
5) Cotton roll
6) Alkohol 70%
7) Betadine antiseptic
8) Neir beiken
9) Semen spatel
10) Tampon
11) Cotton pelet
12) Periodontal probe
13) Periodontal pack (dressing)
14) Gunting
15) Scalpel
b. Penatalaksanaan
Operkulektomi atau pericoronal flap adalah pembuangan operkulum secara
bedah. Perawatan perikororonitis tergantung pada derajat keparahan inflamasinya.
Komplikasi sistemik yang ditimbulkan dan pertimbangan apakah gigi yang terlibat
nantinya akan dicabut atau dipertahankan. Selain itu hal yang perlu diperhatikan dan
adalah faktor usia dan kapan dimulai adanya keluhan. Perlu adanya observasi
mengenai hal tersebut karena jika usia pasien adalah usia muda dimana gigi terakhir
memang waktunya untuk erupsi dan mulai keluhan baru saja terjadi, maka
operkulektomi sebaiknya tidak dilakukan dulu. Kondisi akut merupakan
kontraindikasi dilakukannya operkulektomi, namun tindakan emergensi dapat
dilakukan hingga kondisi akut dapat ditanggulangi kemudian keadaan dievaluasi
untuk dapat melakukan operkulektomi.
Teknik Operkulektomi
Kunjungan Pertama
1. Menentukan perluasan dan keparahan struktur jaringan yang terlibat serta
komplikasi toksisitas sistemik yang ditimbulkan.
2. Menghilangkan debris dan eksudat yang terdapat pada permukaan operkulum
dengan aliran air hangat atau aquades steril.
3. Usap dengan antiseptik.
4. Operkulum/pericoronal flap diangkat dari gigi dengan menggunakan scaler dan
debris di bawah operkulum dibersihkan.
5. Irigasi dengan air hangat/aquades steril.
Pada kondisi akut sebelum dilakukan pembersihan debris dapat diberikan
anastesi topikal. Pada kondisi akut juga tidak boleh dilakukan kuretase maupun
surgikal. Bila operkulum membengkak dan terdapat fluktuasi, lakukan insisi
guna mendapatkan drainase. Bila perlu pasang drain dan pasien diminya datang
kembali setelah 24 jam guna melepas/mengganti drainnya.
6. Pemberian medikasmentosa. Seperti obat kumur, analgesik, muscle relaxan
(bila perlu), dan antibiotik.
7. Jika kondisi akut, maka perawatan selanjutnya diberikan di knjungan kedua.
Pasien diinstruksikan agar :
a. Kumur-kumur air hangat tiap 1 jam
b. Banyak istirahat
b. Makan yang banyak dan bergizi
c. Menjaga kebersihan mulutnya
d. Kontrol kembali 5 hari kemudian

8. Kondisi pasien kemudian dievaluasi di kunjungan berikutnya dan dapat


dilanjutkan ke tahap selanjutnya bila kondisi pasien telah membaik dan keadaan
akut telah reda.
Kunjungan Kedua
1. Evaluasi hasil medikasi, apakah peradangan masih terjadi atau tidak .
2. Irigasi dan bersihkan daerah inflamasi bila dirakan masih ada debris
3. Asepsis area operkulektomi dan area anestesi dengan povidone iodine. Serta,
siapkan tampon dan suction
4. Anastesi daerah yang ingin dilakukan operkulektomi. Anastesi tidak perlu
mencapai sampai tulang, hanya sampai periosteal.
5. Lakukan operkulektomi (eksisi periodontal flap) dengan memotong bagian
distal M3. Jaringan di bagian distal M3 (retromolar pad) perlu dipotong untuk
menghindari terjadinya kekambuhan perikoronitis. Ambil seadekuat mungkin.
Penjahitan dilakukan jika trauma terlalu besar atau bleeding terlalu banyak.
6. Teknik operkulektomi yang lain dapat dilakukan secara partial thickness
mucogingival flap pada daerah lingual. Untuk daerah bukal juga dibuat insisi
partial thickness flap dengan meninggalkan selapis jaringan. Partial thickness
flap adalah flap yang dibuat dengan jalan menyingkap hanya sebagian
ketebalan jaringan lunak yakni epitel dan selapis jaringan ikat, tulang masih
ditutupi jaringan ikat termasuk periosteum. Indikasi untuk dilakukannya teknik
ini adalah flap yang akan ditempatkan ke arah apikal atau operator tidak
bermaksud membuka tulang. Setelah dilakukan flap dapat dilakukan eksisi
seluruh jaringan retromolar pad kemudian menyatukan flap bukal dan lingual
dengan melakukan penjahitan
7. Bersihkan daerah operasi dengan air hangat/aquades steril.
8. Keringkan agar periodontal pack yang akan diaplikasikan tidak mudah lepas.
9. Aplikasikan periodontal pack.
Penggunaan periodontal pack bukan medikasi, namun menutupi luka (dressing)
agar proses penyembuhan tidak terganggu. Dressing periodontal dulu
mengandung zinc-oxide eugenol, namun sekarang kurang disukai karena dapat
mengiritasi. Karena alasan itu, sekarang ini digunakan bahan dressing
periodontal bebas eugenol. Dalam mengaplikasikannya harus hati-hati sehingga
dapat menutupi daerah luka dan mengisi seluruh ruang interdental karena di
situlah letak retensinya. Pada daerah apikal, periodontal pack diaplikasikan
jangan melebihi batas epitel bergerak dan epitel tak bergerak dan mengikuti
kontur. Pada daerah koronal jangan sampai mengganggu oklusi. Dengan
demikian, retensi periodontal pack menjadi baik.
10. Instuksikan pada pasien agar datang kembali pada kunjungan berikutnya (kalau
tidak ada keluhan, satu minggu kemudian)
11. Pada kunjungan berikutnya, pack dibuka dan dievaluasi keadaannya.
DAFTAR PUSTAKA

Bataineh QM et al. 2003. The Predisposing Factors of Pericoronitis of Mandibular Third Molars
in a Jordania Population. J Oral Maxillofacial surgery.

Eduaro AP, Mario JAC. 2005. Prevotella Intermedia and Porphyromonas GingivaisIsolated from
Osseointegrated Dental Implants: Colonization and Antimicrobial Susceptibility. Brazilian
J Microbiol.

Hupp J, Ellis E, Tucker H. 2008. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery 5th edition. St.
Louis Missouri. Mosby Elsevier.
Mansour MH, Cox SC. 2006. Patiens Presenting to the general practitioner with pain from dental
origin. Australia Med J.
Meurman JH, Rajasuo A, Murtomaa H, Savoleinen S. 1995. Respiratory tract infections and
contaminant pericoronitis of the wisdom teeth. British Med.
Keys D and Bartold M. 2000. Periodontal conditions of relevance to the Australian Defence Force.
Australian Defence Force Health.
Laine M, Venta I, Hyrkas T, Jian MA and Konttinen YT. 2003. Chronic Inflamation around
painless partially erupted third molars. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod.

Leung AKC and Robson WLM. 2004. Childhood Cervical Lymphadenopathy. Ped Health Care.
Shepherd JP, Brickley M. 1994. Surgical Removal of Third Molars. British Med J.
Sixou JL, Magaud C, Jolived-Gougeon A, Cormier M, Bonnaure-Mallet M. 2003. Evaluation of
the Mandibular Third Molar Pericoronitis Flora and Its Susceptibility to Different
Antibiotics Prescribed in France. J. Clin. Micro.

Topazian RG, Goldberg MH, and Hupp JR. 2002. Oral and Maxillofacial Infection.4th Edition.
Philadhelphia: WB Saunders Company.
Volk WA dan Wheeler MF. 1984. Basic Microbiology. 5th Edition. Harper and Row, Publisher,
Inc. Diterjemahkan oleh Adisoemarto S, 1990. Mikrobiologi Dasar jilid 2; Erlangga; Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai