PRECLINICAL STUDY
Disusun Oleh
Rizqi Fitria Yanuar V100170007
Ummi Kalsum K11017R074
Joko Kristianto V100170014
1. Latar Belakang
Pengembangan dan penemuan obat baru diperlukan untuk menjawab
tantangan pelayanan kesehatan, baik untuk tujuan promotif, preventif, kuratif
maupun rehabilitatif. Obat modern dikembangkan melalui proses yang
panjang serta memakan biaya yang tinggi, dan setiap tahun puluhan bahkan
ratusan obat baru masuk ke pasar obat dunia dan ini akan terus berlanjut.
Secara umum, efikasi atau kemanjuran dan keamanan (safety) adalah 2
parameter utama untuk penilaian obat. Ketika metode penelitian dan bioetika
belum terlalu berkembang, penelitian penemuan dan pengembangan obat
dilakukan secara trial and error. Saat ini uji klinik menjadi conditio sine qua
non bagi pengembangan obat, meskipun ada juga perkecualian yang terpaksa
dilaksanakan.
Proses penemuan obat baru merupakan langkah yang sangat panjang
dan melibatkan berbagai disiplin ilmu. Secara garis besar, penelitian dan
pengembangan suatu obat dibagi menjadi beberapa tahapan sbb: Sintesis dan
screening molekul; Studi pada hewan percobaan; Studi pada manusia yang
sehat (healthy volunteers); Studi pada manusia yang sakit (pasien); Studi pada
manusia yang sakit dengan populasi besar dan Studi lanjutan (post marketing
surveillance).
Kandidat obat setelah ditemukan maka dilanjutkan ke uji praklinis. Uji
praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat. Dari uji ini diperoleh
informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan
toksisitas calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah
pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ
terisolasi, selanjutnya diuji pada hewan utuh. Hewan yang baku digunakan
adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau
beberapa uji menggunakan primata. Hewan-hewan ini sangat berjasa bagi
pengembangan obat. Karena hanya dengan menggunakan hewan utuh dapat
diketahui apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan atau
tidak. Oleh karena itu, pada makalah ini membahas pengujian praklinis untuk
mengumpulkan informasi penting mengenai keamanan, dosis obat, dan rute
serta frekuensi pemberian.
2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan uji praklinik dalam proses pengembangan
obat ?
2. Bagaimana proses uji praklinik tersebut ?
3. Tujuan
1. Mengetahui tentang uji praklinik dalam proses pengembangan obat.
2. Mengetahui proses uji praklinik.
BAB II
PEMBAHASAN
Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini
diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik
dan toksisitas calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik
adalah pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau
organ terisolasi, selanjutnya diuji pada hewan utuh. Hewan yang baku
digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster,
anjing atau beberapa uji menggunakan primata, hewan-hewan ini sangat
berjasa bagi pengembangan obat. Hanya dengan menggunakan hewan utuh
dapat diketahui apakah obat menimbulkan efek toksik atau aman pada dosis
pengobatan. Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk
mengevaluasi toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau
kronis; Kerusakan genetik (genotoksisitas, mutagenisitas); Pertumbuhan
tumor (onkogenisitas atau karsinogenisitas) dan Kejadian cacat waktu lahir
(teratogenisitas)
Selain toksisitasnya, uji pada hewan dapat mempelajari sifat
farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi
obat. Semua hasil pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat
diteruskan dengan uji pada manusia. Ahli farmakologi bekerja sama dengan
ahli teknologi farmasi dalam pembuatan formula obat, menghasilkan bentuk-
bentuk sediaan obat yang akan diuji pada manusia. Di samping uji pada hewan,
untuk mengurangi penggunaan hewan percobaan telah dikembangkan pula
berbagai uji in vitro untuk menentukan khasiat obat contohnya uji aktivitas
enzim, uji antikanker menggunakan cell line, uji anti mikroba pada perbenihan
mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-lain untuk menggantikan
uji khasiat pada hewan tetapi belum semua uji dapat dilakukan secara in vitro.
Uji toksisitas sampai saat ini masih tetap dilakukan pada hewan
percobaan, belum ada metode lain yang menjamin hasil yang menggambarkan
toksisitas pada manusia, untuk masa yang akan datang perlu dikembangkan
uji toksisitas secara in vitro. Setelah calon obat dinyatakan mempunyai
kemanfaatan dan aman pada hewan percobaan maka selanjutnya diuji pada
manusia (uji klinik). Uji pada manusia harus diteliti dulu kelayakannya oleh
komite etik mengikuti Deklarasi Helsinki.
1. Uji Farmakologi
Studi farmakologi memiliki tujuan untuk mengidentifikasi sifat
farmakodinamik yang tidak diinginkan dari suatu zat obat terhadap relevansi
keamanan pada manusia, mengevaluasi efek farmakodinamik dan
patofisiologi dari suatu obat, serta menyelidiki mekanisme efek
farmakodinamik yang dicurigai dapat merugikan keamanan manusia. Efek
farmakologi yang ditimbulkan memiliki beragam variasi dikarenakan terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi diantaranya:
1. Kelas terapeutik dari substansi uji dikarenakan efek samping tertentu.
2. Efek yang merugikan oleh zat kimia yang mempengaruhi efek secara
farmakodinamik primer.
3. Pengujian enzim menunjukkan potensi efek samping.
4. Hasil studi farmakologi dengan probandus manusia memerlukan
penyelidikan lebih lanjut untuk dapat menetapkan dan mengkarakterisasi
relevansi terhadap temuan efek samping yang potensial.
Hirarki system dapat dikembangkan sesuai dengan kepentingan
sehubungan dengan fungsi-fungsi yang dapat mempengaruhi pendukung
kehidupan. Organ memiliki fungsi yang sangat penting untuk kehidupan dalam
studi keamanan farmakologi (kardiovaskular dan saraf pusat) system organ
lainnya juga dapat mengalami suatu gangguan secara sementara oleh efek
farmakodinamik yang merugikan sehingga memberikan efek yang permanen
sehingga perlu adanya evaluasi keamanan farmakologi pada system organ
yang memiliki peran penting dan mempertimbangkan faktor-faktor terhadap
percobaan secara klinis.
A. System uji
Pemilihan model hewan dapat mempengaruhi terhadap sistem
pengujian sehingga perlunya informasi yang mendasar atau secara ilmiah
yang dapat mendukung dalam sistem pengujian beberapa faktor dapat
diseleksi dalam pemilihan hewan uji diantaranya:
Respon farmakodinamik
Profil kinetika
Spesies.
Strain.
Jenis kelamin dan usia.
Kerentaan.
Kepekaan.
Produktifitas.
Metabolism secara in vitro juga harus dipertimbangkan dalam memilih
sistem pengujian untuk menentukan model hewan ujian yang relevan sesuai
dengan tujuan yang diinginkan sehingga memerlukan data farmakodinamik
dan farmakotinetika sebagai dasar pertimbangan hewan uji.
B. Penggunaan data in vivo dalam studi in vitro
Sistem In Vitro digunakan dalam studi untuk mendukung suatu
penelitian sebelum ketahap in vivo. Penelitian secara in vivo lebih disarankan
untuk menggunakan hewan yang tidak dibius yang memiliki fungsi
mengetahui ketidak nyamanan atau rasa sakit sebagai pertimbangan utama
dan menghindari hal-hal tersebut sebagai efek samping yang tidak diinginkan.
C. Desain Eksperimental
1. Ukuran Sampel Dan Penggunaan Kontrol
Ukuran kelompok harus mencukupi untuk interpretasi data ilmiah
sehingga jumlah hewan atau preparat yang diisolasi harus memadai untuk
menunjukkan atau mengesampingkan adanya efek yang signifikan secara
biologis dari bahan uji serta mempertimbangkan ukuran efek biologis yang
menjadi perhatian manusia. Kelompok kontrol negatif dan positif yang tepat
harus dimasukkan dalam desain eksperimental dalam sistem uji in vivo yang
dipilih dengan baik.
2. Rute Administrasi
Rute administrasi klinis yang diharapkan dapat digunakan bila terjadi
kemungkinan akan tetapi terlepas dari rute administrasi pengaruh oleh
paparan zat induk dan metabolit harus memiliki pengaruh yang sama dengan
terhadap rute administrasi atau lebih besar dari yang dicapai pada manusia
ketika informasi tersebut tersedia. Penilaian efek lebih dari satu rute mungkin
tepat jika bahan uji dimaksudkan untuk penggunaan klinis oleh lebih dari satu
rute pemberian (misalnya oral dan parenteral), atau ada pengamatan atau
antisipasi perbedaan kualitatif dan kuantitatif yang signifikan dalam sistemik
atau lokal.
d) UJI TERATOGENISITAS
Uji teratogenisitas adalah suatu pengujian untuk memperoleh
informasi adanya abnormalitas fetus yang terjadi karena pemberian sediaan
uji selama masa pembentukan organ fetus (masa organogenesis). Informasi
tersebut meliputi abnormalitas bagian luar fetus (morfologi), jaringan lunak
serta kerangka fetus.
Prinsip uji teratogenisitas adalah pemberian sediaan uji dalam
beberapa tingkat dosis pada beberapa kelompok hewan bunting selama paling
sedikit masa organogenesis dari kebuntingan, satu dosis per kelompok. Satu
hari sebelum waktu melahirkan induk dibedah, uterus diambil dan dilakukan
evaluasi terhadap fetus.
b. PENYIAPAN SEDIAAN
Sediaan uji dapat dibuat dengan bermacam-macam cara, sesuai dengan
sifat sediaan uji dan cara pemberiannya. Sediaan uji dapat berupa:
1. Formulasi dalam media cair
a. Jika sediaan uji larut dalam air, sediaan uji harus dibuat dalam bentuk
larutan dalam air.
b. Bila sediaan uji tidak larut dalam air, sediaan uji dibuat dalam bentuk
suspensi menggunakan gom arab 3 - 5%, CMC (carboxy methyl celullose)
0,3 – 1,0% atau dengan zat pensuspensi lain yang inert secara
farmakologi.
c. Bila tidak dapat dilakukan dengan cara – cara tersebut diatas, sediaan uji
dilarutkan dalam minyak yang tidak toksik, misalnya minyak zaitun atau
minyak jagung.
2. Campuran pada makanan
Pada uji toksisitas dengan pemberian berulang seperti pada uji toksisitas
subkronis, dengan pertimbangan kepraktisan, sediaan uji dapat diberikan
dengan mencampur dalam makanan atau minuman hewan uji. Dosis yang
diberikan harus tetap, berdasarkan berat badan dan perhitungan jumlah
makanan dan minuman yang dikonsumsi setiap hari.
3. Sediaan uji simplisia tanaman obat
Pembuatan sediaan uji simplisia tanaman obat dibuat seperti penggunaan
pada manusia atau cara lain yang sesuai, misalnya penyarian dengan etanol.
Penyarian menggunakan air dapat dilakukan dengan cara diseduh, direbus
atau dengan cara penyarian yang lain selama dapat menjamin tersarinya
kandungan simplisia secara sempurna. Pada pemekatan untuk mencapai
dosis yang diinginkan, maka suhu pemanasan tidak boleh menyebabkan
berkurangnya kandungan zat berkhasiat. Simplisia yang mengandung
minyak atsiri, penyiapan dan pemekatan sediaan uji dilakukan dalam
wadah tertutup dan dilakukan penyaringan setelah dingin. Penyarian
dengan menggunakan etanol dapat dilakukan dengan cara dingin, misalnya
maserasi, perkolasi, atau dengan cara panas misalnya direbus, disoksletasi,
direfluks dan selanjutnya disaring kemudian diuapkan untuk
menghilangkan etanol dan sisa penguapan dilarutkan dalam air dan
disuspensikan menggunakan tragakan 1-2%, CMC 1-2% (sesuai
kebutuhan), atau bahan pensuspensi lain yang sesuai.
C. Dosis Uji
Dosis uji harus mencakup dosis yang setara dengan dosis penggunaan
yang lazim pada manusia. Dosis lain meliputi dosis dengan faktor perkalian
tetap yang mencakup dosis yang setara dengan dosis penggunaan lazim pada
manusia sampai mencapai dosis yang dipersyaratkan untuk tujuan pengujian
atau sampai batas dosis tertinggi yang masih dapat diberikan pada hewan uji.
D. KELOMPOK KONTROL
Pada setiap percobaan digunakan kelompok kontrol yang diberi
pelarut/ pembawa sediaan uji dan digunakan juga kelompok kontrol tanpa
perlakuan tergantung dari jenis uji toksisitas.
F. Hewan Uji
Pada prinsipnya jenis hewan yang digunakan untuk uji toksisitas harus
dipertimbangkan berdasarkan sensitivitas, cara metabolisme sediaan uji yang
serupa dengan manusia, kecepatan tumbuh serta mudah tidaknya cara
penanganan sewaktu dilakukan percobaan. Hewan pengerat merupakan jenis
hewan yang memenuhi persyaratan tersebut diatas, sehingga paling banyak
digunakan pada uji toksisitas. Hewan yang digunakan harus sehat; asal, jenis
dan galur, jenis kelamin, usia serta berat badan harus jelas. Biasanya
digunakan hewan muda dewasa, dengan variasi bobot tidak lebih dari 20%.
Adapun kriteria hewan yang digunakan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kriteria hewan uji yang digunakan dalam uji toksisitas
No Jenis hewan Bobot Rentang umur
minimal
1 Mencit 20 g 6 – 8 minggu
2 Tikus 120 g 6 – 8 minggu
3 Marmut 250 g 4 – 5 minggu
4 Kelinci 1800 g 8 – 9 bulan
L. Pelaporan
Setiap data atau informasi yang diperoleh harus dicatat serta di
dokumentasikan secara rinci dan sistematik. Data yang dicantumkan di dalam
laporan harus sesuai dengan cara yang telah ditetapkan di dalam
masingmasing pedoman uji.
M. Ethical Clearance
Pada setiap pengujian yang menggunakan sampel dari hewan perlu
dibuat ethical clearance dari komisi etik.
BAB III
KESIMPULAN