Anda di halaman 1dari 15

Feliksdinata Pangasih & Ayu Asvitasari, Pergeseran Konsep Morfologi pada Desa Bali Aga

Studi Kasus : Desa Bayung Gede dan Desa Panglipuran

PERGESERAN KONSEP MORFOLOGI PADA DESA BALI AGA


Studi Kasus: Desa Bayung Gede dan Desa Panglipuran

Feliksdinata Pangasih, Ayu Asvitasari


Program Pascasarjana, Magister Teknik Arsitektur, Universitas Atmajaya Yogyakarta
(feliksdinata@gmail.com, ayu.asvitasari@gmail.com)

Abstract: Bayung Gede and Panglipuran are two old-traditional villages which preserve
Balinese culture which is based on Bali Aga culture. Some written resources state that
Panglipuran Village is originated from Bayung Gede Village. Both villages preserve custom,
culture as well as tradition of their ancestors from Bayung Gede Village, including
morphological concept of space and land use planning. Focus of this study is on the
morphological pattern of space in micro and macro scale. This study utilize descriptive
analysis, literature study, field observation and in-depth review. As conclusion, this study
states that although both the two villages still held the concept of Tri Hita Karana and Tri
Mandala, there were some differences in morphological concept and pattern.

Keywords: Bayung Gede, Panglipuran, Bali Aga, Morphological pattern

Abstrak: Desa Bayung Gede dan Desa Panglipuran adalah desa adat dan desa kuno yang
menjaga kelestarian adat Bali berbasis kebudayaan Bali Aga. Menurut informasi, Desa
Panglipuran berasal dari Desa Bayung Gede. Kedua desa ini melestarikan adat dan budaya
serta tradisi leluhur dari Desa Bayung Gede, termasuk dalam hal penataan ruang desa.
Pola morfologi ruang merupakan fokus dalam penelitian ini. Metode yang digunakan bersifat
deskriptif analitis digunakan metode observasi lapangan, wawancara mendalam, dan studi
pustaka. Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa meskipun kedua desa secara makro masih
menganut konsep Tri Hita Karana dan Tri Mandala, namun terdapat beberapa perbedaan
dalam konsep dan pola morfologi ruang.

Kata Kunci: Desa Bayung Gede, Desa Panglipuran, Bali Aga, Morfologi.

PENDAHULUAN Hubungan Desa Bayung Gede dengan Desa


Bali merupakan salah satu daerah yang Panglipuran
mempunyai ciri khas bangunan dan pemukiman Desa Adat Panglipuran merupakan salah
dengan berorientasi ke arah reliji. Pola-pola desa adat satu Desa Bali Mula yang berasal dari Desa Bayung
di Bali telah menjadikan pulau Bali memiliki ciri Gede, Kintamani, Bangli.Konon pada zaman
khas unik dalam pengembangan pola desa. kerajaan Bangli, Raja Bangli memerlukan tenaga
Arsitektur tradisional Bali tercipta dari hasil akal masyarakat Desa Bayung Gede sebagai prajurit
budi manusia di mana pengejewantahannya di dasari untuk membantu pekerjaan-pekerjaan di kerajaan.
oleh pandangan terhadap alam semesta, sikap hidup, Berhubung letak desa Bayung Gede cukup jauh dari
norma agama, kepercayaan dan kebudayaan masa pusat kerajaan Bangli dan perjalanan hanya
lalu. Falsafah kehidupan masyarakat Bali terkait erat dilakukan dengan jalan kaki atau naik kuda, maka
dengan ajaran dan kepercayaan masyarakat, yaitu: untuk memudahkan komunikasi dipindahkanlah
Hindu Dharma. Dalam ajaran Hindu Dharma di beberapa warga Desa Bayung Gede dan dibuatkan
katakan, semua makhluk sudah dititahkan hidup semacam tempat peristirahatan prajurit di wilayah
dalam alamnya masing-masing dan hidup dalam Desa Kubu sekitar 4 km sebelah utara Kota Bangli.
kesatuan yang harmonis dengan alam (Kumurur & Seiring perjalanan waktu warga tersebut semakin
Damayanti, 2009). bertambah banyak, kemudian membentuk sebuah
desa baru dan berpisah dengan desa asal mereka,

111
Jurnal Arsitektur KOMPOSISI, Volume 11, Nomor 3, April 2016

yaitu Desa Bayung Gede.Pada mulanya desa peristirahatan prajurit/benteng di daerah Kubu (4,5
tersebut bernama Desa Kubu Bayung yang artinya Km) dari Kota Bangli.
Kubu yang berasal dari Desa Bayung atau orang Sebelum bernama Penglipuran, desa ini
Bayung yang tinggal di Desa Kubu.Warga desa disebut Desa Kubu Bayung artinya Orang Bayung
Kubu Bayung inilah yang menjadi cikal bakal Desa yang tinggal di Wilayah Kubu. Namun didalam
Pekraman Penglipuran (Arismayanti dkk, 2015). setiap kegiatan dan kewajiban di Desa Bayung Gede,
Sebagai pengingat asal mula mereka dari warga Kubu Bayung ini masih ikut didalam setiap
Desa Bayung Gede, maka warga Desa Pakraman kegiatan dan melaksanakan kewajiban seperti
Penglipuran membuat replika Desa Bayung Gede masyarakat Desa Bayung Gede lainnya (Prayogi,
di Desa Pakraman Penglipuran baik berbentuk pura- 2011).
pura maupun tradisinya. Menurut penuturan para Dalam perkembangannya jumlah penduduk
tokoh masyarakat “Penglipuran” secara etimologi
di Desa Penglipuran terus bertambah, sehingga
berasal dari kata: 1). Penglipuran berasal dari kata
timbul keinginan untuk mendirikan desa tersendiri
“Pengeling” dan kata “Pura” menjadi kata
terlepas dari desa asalnya (Desa Bayung Gede).
Penglipuran yaitu masyarakat Penglipuran
Namun didalam penataan pola tata ruang desanya
membangun Pura seperti di Desa Bayung Gede
tetap menggunakan konsep desa leluhurnya di Desa
untuk mengingat yang ada di Desa Bayung Gede
Bayung Gede, sehingga pola pola tata ruang Desa
dan untuk mengingat pura leluhurnya; 2).
Penglipuran baik secara fisik maupun non fisik
Penglipuran berasal dari kata “Pelipur” dan
disesuaikan dengan Desa Bayung Gede.
“Lara” menjadi Penglipuran yaitu Penglipuran
Dipihak lain para penglingsir desa ada yang
merupakan tempat menghibur di kala duka (lara),
berpendapat bahwa Desa Penglipuran berasal dari
disamping karena penduduknya sering dapat tugas
kata “Penglipur” yang berarti penghibur. Yang mana
menghibur raja pada saat- saat raja menghadapi
konon pada jaman kerajaan dahulu, Raja Bangli
permasalahan; 3). Penglipuran berasal dari kata
sering ke tempat ini untuk menghibur diri atau
“Pangling” dan kata “Pura” yaitu bahwa barang
menenangkan pikiran beliau (Prayogi, 2011).
siapa ke Penglipuran akan melewati pura di empat
penjuru yaitu timur, selatan, barat, dan utara.
RUMUSAN MASALAH
(Arismayanti dkk, 2015)
Pergeseran konsep morfologi pada Desa
Menurut penuturan para Desa Adat
Panglipuran terhadap Desa Bayug Gede yang
sesepuh/penglingsir Penglipuran merupakan
merupakan asal usul desa Panglipuran merupakan
serpihan dari Desa Bayung Gede di Kintamani, atau
fokus dalam penelitian ini. Dalam penelitian
dapat dijelaskan bahwa pendahulu/leluhur Desa
ditunjukkan konsep morfologi pada kedua desa dan
Pengelipuran berasal dari Desa Bayung Gede,
selanjutnya dikaji persamaan dan perbedaan konsep
Kintamani. Kata Penglipuran berasal dari kata
morfologi pada Desa Bayung Gede dan Desa
“Pengeling dan Pura” yang artinya Pengeling =
Panglipuran, secara makro maupun mikro. Pada
Eling = Ingat/mengingat dan Pura artinya tempat,
tahap akhir disimpulkan: sejauh apakah perubahan
benteng atau tanah leluhur. Jadi Pengelipuran
atau pergeseran konsep yang terjadi pada Desa
artinya ingat kepada tanah leluhur/tempat asal mula
Panglipuran terhadap konsep pada desa Bayung
(Desa Bayung Gede) (Prayogi, 2011).
Gede sebagai asal-usulnya.
Pada jaman dahulu tenaga masyarakat Desa
Bayung Gede sangat dibutuhkan oleh Raja Bangli
METODE
sebagai prajurit dan untuk membantu pekerjaan
lainnya. Karena jarak antara Desa Bayung Gede
dengan Pusat Kerajaan Bangli cukup jauh (sekitar Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif
25 Km) apalagi pada jaman tersebut masyarakat analisis dengan menggunakan metode figure ground
masih berjalan kaki, maka untuk memudahkan (Trancik) untuk mendeskripsikan pola spasial
koordinasi oleh Raja Bangli, dibuatkanlah tempat kawasan Desa Bayung Gede dan Desa Panglipuran
ke dalam bentuk gambar, kemudian di analisis untuk

112
Feliksdinata Pangasih & Ayu Asvitasari, Pergeseran Konsep Morfologi pada Desa Bali Aga
Studi Kasus : Desa Bayung Gede dan Desa Panglipuran

menemukan pola persamaan dan perbedaan pada Belahan Bali Tengah tepatnya di sekitar
kedua desa. Penelitian dilakukan mulai bulan april Gunung Batur merupakan sentral kehidupan
2016 sampai bulan juni 2016. Metode pengumpulan masyarakat Bali Aga, yang berasal dari keturunan
dilakukan dengan 3 cara. ras Austronesia. Salah satu desa Bali Aga di sekitar
Pengumpulan data primer dilakukan dengan Batur adalah Bayung Gede. Thomas A Reuters
(1) metode observasi lapangan, melakukan dalam bukunya “Budaya dan Masyarakat di
identifikasi di tempat penelitian, mengamati perilaku Pegunungan Bali” yang diterbitkan Yayasan Obor
masyarakat, pemetaan kawasan dengan mengambil Indonesia pada tahun 2005 di Jakarta, menyebutkan
gambar eksisting dan membuat sketsa tentang data bahwa Desa Bayung Gede merupakan desa kuno
yang diperlukan untuk penelitian ini. Metode (2) yang menjadi induk dari sejumlah desa-desa kuno
Wawancara secara mendalam mengenai topik yang lainnya di Bangli seperti: Desa Penglipuran,
terkait mofrologi desa kepada tetua adat desa Bayung Sekardadi, Bonyoh, dan desa sekitar lainnya
Gede yang disebut Jero Kebayan Muncuk bernama (Reuter, 2005).
I Wayan Suwela dan bendesa (kepala desa)
Panglipuran bernama I Wayan Supad. Data sekunder Keaslian Budaya Adat Desa Panglipuran
berasal dari metode (3) studi pustaka berasal dari Sejarah Desa Adat Penglipuran dimulai
literatur, khususnya penelitan-penelitian sebelumnya sejak 700-an tahun yang lalu, yaitu pada zaman
untuk mendapatkan data pendukung yang lebih kerajaan Bangli. Menurut penuturan para sesepuh/
maksimal. penglingsir, Desa Penglipuran merupakan sepihan
dari Desa Bayung Gede, Kintamani. Kata
KAJIAN TEORI Penglipuran berasal dari kata Pengeling dan Pura.
Pengeling berasal dari kata eling yang berarti ingat/
Berbagai hal yang mendorong terjadinya mengingat. Pura berarti tempat/benteng/tanah
morfologi pola mukiman umumnya adalah leluhur. Jadi Penglipuran artinya ingat kepada tanah
perubahan kebudayaan (cultural change), faktor dari leluhur/ tempat asal mulanya. Hal ini didasarkan
dalam (internal factor) seperti adanya inovasi, pada alasan bahwa pendahulu/leluhur Desa
pertambahan penduduk, dan faktor luar (external Penglipuran berasal dari Desa Bayung Gede,
factor) karena pengaruh kebudayaan lain yang Kintamani. Jarak antara Kota Bangli dengan Desa
menyebabkan akulturasi atau asimilasi. Ulasan di Bayung Gede sangat jauh (sekitar 25 km) dan
atas merupakan cuplikan hubungan sistem budaya perjalanan jaman dulu hanya dapat dilakukan
Bali umumnya atau sistem kepercayaan khususnya dengan berjalan kaki atau naik kuda, maka untuk
dengan morfologi pola mukiman adati Bali (Alit, memudahkan komunikasi dibuatlah semacam
2004). peristirahatan di daerah Kubu (4,5 km) dari kota
Bangli. Dari waktu ke waktu akhirnya warga ini
Keaslian Budaya Adat Desa Bayung Gede terus bertambah banyak karena sudah ada yang
Invasi Majapahit ratusan tahun silam telah berkeluarga. Sebelum bernama Penglipuran, desa
menyebabkan polarisasi pada masyarakat Bali. ini dulunya bernama Desa Kubu Bayung yang
Dinamika masyarakat Bali berkembang semakin artinya orang Bayung yang tinggal di wilayah Kubu.
kompleks dengan adanya berbagai proses pertemuan Selanjutnya penduduk terus bertambah dan
kebudayaan. Walaupun demikian, di bagian Bali sepakat untuk membuat desa sendiri dan terlepas
lainnya masih terdapat masyarakat Bali Aga yang dari kewajiban desa asalnya (Bayung Gede) serta
mempertahankan karakteristik kebudayaan membuat tempat suci sendiri (Pura Kahyangan
masyarakat Bali sebelum terkena pengaruh invasi Tiga). Dalam penataan pola tata ruang desa,
Majapahit. Masyarakat Bali Aga atau Bali Mula konsepnya tetap sama dengan konsep desa
merupakan keturunan murni orang Bali asli yang leluhurnya yang ada di desa Bayung Gede.
tinggal terasing dan bebas di pegunungan sebagai Berdasarkan sejarah tersebut, Desa Penglipuran
tempat pelarian dari orang asing yang ingin menjajah sering dikunjungi oleh peneliti-peneliti maupun
mereka (Covarrubias, 2013). pelajar yang ingin lebih mendalami tentang sejarah
113
Jurnal Arsitektur KOMPOSISI, Volume 11, Nomor 3, April 2016

desa Penglipuran maupun meneliti persamaan di tangah- tangah Bali, sebagian beralokasi di Bali
maupun perbedaan antara kebudayaan masyarakat Utara dan Selatan. Bentuk fisik pola perumahan Bali
Desa Penglipuran dengan leluhurnya yaitu Aga dicirikan dengan adanya jalan utama berbentuk
masyarakat Desa Bayung Gede (Sulistyawati, linear yang berfungsi sebagai ruang terbuka milik
Budiartha, Prianta, Purnawan, & Sarjana, 2014). komunitas dan sekaligus sebagai sumbu utama desa
Penghargaan Kalpataru sempat diraih Desa (Dwijendra, 2003).
Penglipuran dalam kategori Penyelamat Lingkungan Pada pola linear konsep Sanga Mandala
pada tahun 1995. Pemberian penghargaan tidak begitu berperan. Orientasi kosmologis lebih
didasarkan pada kemampuan masyarakat Desa didominasi oleh sumbu kaja-kelod (utara-selatan)
Penglipuran menjaga kelestarian alam dan menjaga dan sumbu kangin-kauh (timur-barat). Pada bagian
tradisi-tradisi budaya yang ada. Desa Penglipuran ujung Utara perumahan (kaja) diperuntukan untuk
juga pernah masuk dalam sembilan pemenang Citra Pura (pura bale agung dan pura puseh). Sedang di
Pesona Award 2013. Sederet prestasi yang pernah ujung selatan (kelod) diperuntukan untuk Pura
diraih oleh Desa Penglipuran mampu membangun Dalem (kematian) dan kuburan desa. Diantara kedua
kesan atau citra yang baik di mata wisatawan sebagai daerah tersebut terletak perumahan penduduk dan
salah satu desa wisata yang menarik untuk fasilitas umum (bale banjar dan pasar) yang terletak
dikunjungi (Sulistyawati et al., 2014). di plaza umum, Pola linear pada umumnya terdapat
pada perumahan di daerah pegunungan di Bali,
Morfologi dimana untuk mengatasi geografis yang berlereng
Morfologi diartikan sebagai ilmu untuk diatasi dengan terasering (Dwijendra, 2003).
mempelajari bentuk fisik kota secara logis.
Morfologi merupakan suatu bentuk ilmu atau Konsep Tri Hita Karana
pendekatan untuk memahami perkembangan kota Konsep desa di Bali memiliki dua
yang terus menerus mengalami perubahan selama pengertian, yaitu desa adat dan desa dinas. Desa adat
proses perkembangannya melalui bentuk pola dan adalah kesatuan masyarakat hukum adat di daerah
tata ruang kota (Zahnd, 1999). Bali, yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata
Bagi komunitas Hindu-Bali, gunung krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu,
merupakan tempat persemayaman para dewa. yang secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan
Orientasi simbolis gunung tersebut secara imajiner Tiga yang mempunyai wilayah tertentu, dan harta
diterapkan dengan memfungsikan daerah bagian kekayaan tersendiri serta berhak mengurus rumah
utara/kaja adalah yang paling tinggi nilainya dan tangganya sendiri. Landasan dasar desa adat di Bali
suci yang digunakan sebagai tempat suci/pura adalah konsep Tri Hita Karana (Dwijendra, 2003).
sebagai stana (persemayaman) Tuhan dalam Ajaran Tri Hita Karana adalah salah satu
manifestasinya sebagai pencipta yang disebut ajaran dalam agama Hindu yang pada intinya
Brahma dan berkedudukan di Pura Penataran dan mengajarkan tentang keseimbangan antara manusia
sebagai Wisnu berkedudukan dipura desa. Dengan dengan Tuhan (parhyangan), manusia dengan
demikian gunung/kaja merupakan perlambang manusia (pawongan), dan manusia dengan
pencipta dan pemelihara. Sedangkan arah selatan/ lingkungannya (palemahan). Ketiga keseimbangan
kelod merupakan wilayah yang diyakini memiliki tersebut merupakan penyebab terjadinya
kekuatan melebur yang disebut Siwa, dibuatkan kebahagiaan. Sebagai salah satu ajaran, Tri Hita
stana nya (persemayaman) berupa pura dalem yang Karana
terletak pada areal kuburan desa (Arimbawa & Konsepsi Tri Hita Karana melandasi
Santhyasa, 2010). terwujudnya susunan kosmos dari yang paling
Type Bali Aga merupakan perumahan makro (bhuana agung/alam semesta) sampai hal
penduduk asli Bali yang kurang dipengaruhi oleh yang paling mikro (bhuana alit/manusia). Dalam
Kerajaan Hindu Jawa. Lokasi perumahan ini terletak alam semesta jiwa adalah paramatma (Tuhan Yang
di daerah pegunungan yang membentang membujur Maha Esa), tenaga adalah berbagai tenaga alam dan

114
Feliksdinata Pangasih & Ayu Asvitasari, Pergeseran Konsep Morfologi pada Desa Bali Aga
Studi Kasus : Desa Bayung Gede dan Desa Panglipuran

jasad adalah Panca Maha Bhuta. Dalam perumahan


(tingkat desa); jiwa adalah parhyangan (pura desa),
tenaga adalah pawongan (masyarakat) dan jasad
adalah palemahan (wilayah desa). Demikian pula
halnya dalam banjar: jiwa adalah parhyangan (pura
banjar), tenaga adalah pawongan (warga banjar) dan
jasad adalah palemahan (wilayah banjar). Pada
rumah tinggal jiwa adalah sanggah pemerajan
(tempat suci), tenaga adalah penghuni dan jasad
adalah pekarangan. Sedangkan pada manusia, jiwa
adalah atman, tenaga adalah sabda bayu idep dan
jasad adalah stula sarira/tubuh manusia. Penjabaran
konsep Tri Hita Karana dalam susunan kosmos
(Dwijendra, 2003).
Tri Hita Karana (tiga unsur kehidupan) yang
mengatur kesimbangan atau keharmonisan manusia Sumber : (Budihardjo, 1986) dikutip dari (Dwijendra, 2003)

dengan lingkungan, tersusun dalam susunan jasad/


angga, memberikan turunan konsep ruang yang (6)madyaning nista, (7)nistaning utama,
disebut Tri Angga. Secara harfiah Tri berarti tiga dan (8)nistaning madya, dan (9)nistaning nista.
Angga berarti badan, yang lebih menekankan tiga
nilai fisik yaitu: Utama Angga, Madya Angga dan Pola Hunian
Nista Angga. Dalam alam semesta/Bhuana agung, Yang dimaksud dengan rumah dalam
pembagian ini disebut Tri Loka, yaitu: Bhur Loka arsitektur tradisional Bali, adalah satu kompleks
(bumi), Bhuah Loka (angkasa), dan Swah Loka rumah yang terdiri dari beberapa bangunan, oleh
(Sorga). Ketiga nilai tersebut didasarkan secara tembok yang disebut tembok dikelilingi penyengker.
vertikal, dimana nilai utama pada posisi teratas/ Perumahan adalah kumpulan beberapa rumah di
sakral, madya pada posisi tengah dan nista pada dalam kesatuan wilayah yang disebut banjar adat
posisi terendah/kotor (Dwijendra, 2003). atau desa adat, juga merupakan kesatuan keagamaan
Konsepsi Tri Angga berlaku dari yang dengan pura kayangan tiga yakni; pura desa, pura
bersifat makro (alam semesta/bhuana agung) sampai puseh, pura dalem. rumah dan Terwujudnya bentuk
yang paling mikro (manusia/bhuana alit). Dalam terlepas dari dasar perumahan ini, tidak pemikiran
skala wilayah; gunung memiliki nilai utama; dataran yang dilandasi oleh tata kehidupan masyarakat yang
bernilai madya dan lautan pada nilai nista. Dalam bersumber dari agama Hindu. Dalam falsafah agama
perumahan, Kahyangan Tiga (utama), Perumahan Hindu, manusia dan alam ini diyakini terbentuk oleh
penduduk (madya), Kuburan (nista), juga berlaku lima unsur yang sama yang disebut “ Panca Maha
dalam skala rumah dan manusia (Dwijendra, 2003). Bhuta”, yakni : apah (zat cair), bayu (angin), teja
(sinar), akasa (ether), pertiwi (zat padat) (Wastika,
Sanga Mandala kemudian juga
2005).
berkembang menjadi sembilan bentuk manifestasi
Manusia sebagai mikro cosmos dan alam
Tuhan dalam menjaga keseimbangan alam menuju
sebagai makro cosmos yang tidak bisa lepas
kehidupan harmonis yang disebut Dewata Nawa
keterkaitannya, dimana manusia dilahirkan oleh
Sanga. Kesembilan bagian ini kemudian
alam ini, dan selalu akan tergantung dengan alam.
diimplementasikan kedalam bentuk penzoningan
Di dalam tatwa seperti Tutur Suksema, Tutur
ruang baik secara makro maupun mikro. Konsep 9
Diatmika, Tatwa Jenana, Tatwa Pelepasan,
zona tersebut secara berurutan adalah : (1)utamaning
Komoksan, senantiasa mengajarkan agar kita selalu
utama, (2)utamaning madya, (3)utamaning nista,
mengharmoniskan diri dengan alam. Unsur-unsur
(4)madyaning utama, (5)madyaning madya,
bhuana alit dan bhuana agung adalah sama, hanya

115
Jurnal Arsitektur KOMPOSISI, Volume 11, Nomor 3, April 2016

dalam skala berbeda. Bhuana agung sebagai wadah untuk mendirikan rumah untuk tidur dan melakukan
dan bhuana alit sebagai isi. Hubungan harmonis upacara adat dan aktivitas sosial lainnya; 3).Areal
antara bhuana agung dan bhuana alit, memberikan lebuh adalah untuk meletakkan bahan-bahan yang
perlambang manik ring cecupu, atau janin didalam tidak terpakai lagi dan lahan peternakan, pertanian
rahim, merupakan hal yang mutlak dan harus (Wastika, 2005).
dipertahankan untuk ketenangan dan kesetabilan
alam. Hasil hubungan yang harmonis antara wadah PEMBAHASAN
dan jiwa, akan menimbulkan tenaga (kaya). Secara umum pengembangan pariwisata di
Gabungan dari unsur jasmani, jiwa dan suatu daerah, akan berdampak bagi daerah tersebut
tenaga merupakan sumber kehidupan yang baik dan baik itu terhadap kondisi alam, budaya ataupun
sempurna yang disebut ‘Tri Hita Karana” (tiga kondisi dari masyarakat tersebut (Prayogi, 2011).
unsur sumber kebaikan). Jiwa dan jasmani yang Bali pada masa lalu mempunyai bentuk rumah dan
digerakkan oleh tenaga dapat diwujudkan pada suatu perumahan yang didasari oleh konsep Tri Hita
tempat. Dalam hubungannya dengan desa adat Karana, dalam pengaturan ruang, tata letak, bentuk,
maka: 1). Kayangan tiga merupakan jiwa pada serta penggunaan bahan, berpedoman pada
karang desa, yang tidak dipisahkan dari seluruh pemikiran, hubungan manusia dengan Tuhan,
kehidupan desa; 2). Krama desa merupakan warga hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan
desa atau aparatur desa, merupakan penggerak atau hubungan manusia dengan lingkungannya (Wastika,
tenaga yang menghidupi desa; 3). Karang desa 2005).
adalah teritorial tempat krama desa melakukan Bertambahnya jumlah penduduk,
aktivitas untuk menjaga hubungan harmonis ketiga berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi,
unsur di atas (Wastika, 2005). dibarengi pengaruh pariwisata pada masa ini
Hubungan hamonis di atas juga bisa memberi perubahan cara pandang dalam pengaturan
diidentikkan dengan : 1). Hubungan manusia dengan perencanaan perumahan yang akan menimbulkan
Tuhan; 2). Hubungan manusia dengan sesama baik dampak positif maupun negatif (Wastika, 2005)
manusia; 3). Hubungan manusia dengan
lingkungannya (Wastika, 2005). Desa Bayung Gede
Pengertian Tri Hita Karana ini tidak hanya
berlaku pada desa adat saja, tercermin juga pada Desa Bayung Gede berada di kecamatan
badan lainnya, misalnya pada satu unit rumah Kintamani, kabupaten Bangli, Provinsi Bali
tradisional yang pada umumnya terdiri dari Indonesia. Batas administrasi Desa Adat Bayung
sanggah, natah dan lebuh : 1). Areal sanggah atau Gede adalah desa Bantur di bagian utara, Desa
merajan adalah areal persembahyangan untuk Belacan dan katung di bagian barat, desa Bonyoh
memuja Sang Yang Widhi, dan leluhur setiap dan sekan di bagian selatan dan desa Sakardadi di
keluarga; 2) Areal natah atau halaman tengah adalah bagian timur.
Desa Adat Bayung Gede berjarak 67 Km
dari kota Denpasar, 5 Km dari kecamatan Kintamani,
dan 30 Km dari kabupaten bangli, serta berada 900
meter di atas permukaan laut yang menjadikan Desa
Bayung Gede berhawa sejuk dengan temperatur
udara rata-rata 18,5p Celcius dengan suhu minimum
13,6p Celcius pada malam hari hingga maksimim
25,1p Celcius pada siang hari. Curah hujan rata-
rata sebesar 125-200mm per tahun. Luas Desa adat
Bayung Gede adalah 917 Ha dari kebun sampai
pekarangan desa dengan jumlah penduduk 2160 jiwa
yang terdiri dari 560 kepala keluarga. Ada dua

116
Feliksdinata Pangasih & Ayu Asvitasari, Pergeseran Konsep Morfologi pada Desa Bali Aga
Studi Kasus : Desa Bayung Gede dan Desa Panglipuran

penunjang Pekeraman atau strata adat Bayung Gede muncul pengaruh kepecayaan terhadap agama yang
yaitu anggota banjar adat atau anggota penunjang kemudian di terjemahkan ke dalam bentuk konsep
dan anggota desa marek sebagai pemuka desa yang Sanga Mandala dengan tidak meninggalkan
terdepan atau tetua desa. kepercayaan masa lalu tetapi menjadi dasar yang
tidak dapat dihilangkan. Hal tersebut dibuktikan
Morfologi Desa Bayung Gede dengan prosesi upacara ngaben yang dilakukan
dengan cara dikubur, dimana jenasah kaum wanita
Morfologi Desa Bayung Gede berawal dari dikubur dengan posisi terlentang menghadap ke
kepercayaan masyarakat Bali Aga yang terbentuk langit sebagai bentuk perwakilan bumi dan jenasah
dari pola linear yang berpusat pada sumbu laki-laki dikubur dengan posisi tengkurap sebagai
utamaning mandala, madyaning mandala dan bentuk perwakilan langit. Begitu juga dengan
nistaning mandala. Pada masa itu masyarakat belum persiapan sesajen untuk upacara ngaben, pada saat
mengenal agama dan masih menganut kepercayaan akan melaksanakan upacara ngaben, semua
bahwa gunung merupakan tempat bersemayamnya kebutuhan dan persiapan upacara dilakukan pada
para leluhur. Setelah masuknya agama hindu, hari dimana pelaksanaan upacara akan dilakukan,

117
Jurnal Arsitektur KOMPOSISI, Volume 11, Nomor 3, April 2016

tidak seperti di bali daerah selatan yang prosesi wisata dari Ubud – Kintamani, sehingga wisatawan
ngaben-nya membutuhkan waktu 2 hingga 3 bulan yang akan berkunjung ke Kintamani (Objek Wisata
dan dilakukan dengan cara dibakar/kremasi Batur) bisa singgah di desa tersebut. Selain itu
(Mucuk, 2016). sarana informasi dan komunikasi juga telah ada
seperti Telkom, Kantor Pos, dan Televisi serta
Pola Perkembangan Morfologi Desa Bayung Radio, sehingga menjadikan desa ini terbuka untuk
Gede menyerap arus informasi, baik dalam skala lokal,
Rumah Bayung Gede biasanya dinamakan nasional maupun internasional (Prayogi & Sonder,
Rumah taboan artinya diumpamakan seperti lebah/ 2014).
tawon, dikarenakan bentuk rumah yang berkerumun
seperti sarang lebah/tawon. Pekarangan desa diatur Pola Hunian Desa Bayung Gede
oleh penjuru adat, jika ada anggota keluarga yang
keluar, maka keluarga akan pertimbangan untuk Rumah-rumah di Bayung Gede memanjang
memberi tempat di kebun atau apabila masih ada secara linier dari Utara ke Selatan dan menghadap
ketersediaan lahan kosong di pekarangan desa, ke arah jalan utama desa. Fungsi jalan utama desa
anggota keluarga tersebut akan mohon kepada adalah sebagai ruang terbuka milik komunitas dan
penjuru adat untuk meminta tempat/pekarangan sekaligus sebagai sumbu utama desa. Rumah-rumah
tersebut dengan batas luas sebesar 1,5 are untuk bisa yang tidak menghadap ke jalan utama dibangun
membangun lumbung, bale dan dapur. Mereka juga saling bertolak belakang dan menghadap lorong
dapat memilih sendiri lahan dipinggir desa lalu sempit di depannya, lorong sempit ini seakan
kemudian meratakan sendiri secara bergotong membentuk labirin teratur yang sedikit melengkung,
royong bersama keluarga (Mucuk, 2016). sehingga ujung yang satu dengan yang lainnya tidak
terlihat. Rumah penduduk Desa Bayung Gede terdiri
Desa Bayung Gede terdiri dari tiga banjar/ atas satu pekarangan yang sempit yang diapit oleh
tempek yakni banjar Desa, Peludu, dan Danginan. gang kecil yang diatur sedemikian rupa. Luas serta
Banjar Desa merupakan pusat desa baik dalam pola bangunan dalam setiap pekarangan memiliki
pemeritahan dinas maupun adatnya. Sedangkan luas dan pola yang hampir seragam. Adanya
banjar Peludu dan Danginan berada di wilayah desa kesamaan luas karang paumahan atau pekarangan
bagian barat. Hal ini sesuai dengan pola tata ruang rumah dilandasi oleh peraturan pemilikan tanah
desa yaitu wilayah bagian utara dan timur dari pusat yang diatur dalam awig-awig atau peraturan adat
desa dianggap daerah yang suci sehingga diwilayah setempat yang berlaku secara turun-temurun.
tersebut tidak suatu diperkenankan membuat Pekarangan yang sempit itu dikelilingi oleh
pemukiman/ rumah tempat tinggal menetap. Tetapi beberapa bangunan dengan fungsi tersendiri.
bagi masyarakat yang memiliki tanah di wilayah Bangunan tersebut antara lain : 1) paon atau dapur
bagian timur dan utara dari pusat desa dibolehkan yang berfungsi sebagai tempat kegiatan memasak
membuat pondok / tempat tinggal sementara, dengan sehari-hari dan juga sebagai tempat untuk
catatan segala upacara-upacara mulai dari kelahiran melaksanakan upacara kematian (menyimpan
sampai meninggal tetap dilaksanakan di pusat desa. jenasah) sebelum dibawa ke kuburan. Menurut
Sedangkan diwilayah desa bagian barat dan seletan kepercayaan masayarakat Desa Bayung Gede, paon
dari pusat desa diperkenankan membuat rumah atau dapur merupakan tempat pemujaan Bhatara
sebagai tempat tinggal menetap dan bisa Guru dan Bhatara Brahma; 2) Bale adat adalah
melaksanakan upacara dari lahir sampai meninggal bangunan yang berfungsi untuk melaksanakan
(Prayogi & Sonder, 2014). kegiatan upacara Manusa Yadnya, menurut
Tersedianya sarana dan prasarana kepercayaan masyarakat bangunan ini merupakan
transportasi berupa jalan yang lebar dan baik, tempat pemujaan Bhatara Aji Saraswati dan Hyang
sehingga memudahkan pencapaian Desa Bayung Kompyang; 3) Jineng atau lumbung adalah tempat
Gede. Desa Bayung Gede dilalui oleh jalur-jalur untuk menyimpan padi, bangunan ini merupakan

118
Feliksdinata Pangasih & Ayu Asvitasari, Pergeseran Konsep Morfologi pada Desa Bali Aga
Studi Kasus : Desa Bayung Gede dan Desa Panglipuran

tempat pemujaan Sri Manik Galih Magembal, Ratu dianggap nista atau kotor dan fungsinya yang
Sakti Gunung Lebah dan Patih Mas Pahit. Sanggah merupakan bagian dari proses untuk membersikan/
(Merajan) adalah tempat pemujaan atau kuil untuk mensucikan diri sebelum memasuki pekarangan.
keluarga, letak kuil ini tergantung pada pintu keluar
atau kori, apabila pintu keluar menghadap ke Timur,
maka kuil menghadap ke Timur dan berada di
sebelah Barat pekarangan rumah, dan demikian juga
apabila pintu keluar menghadap ke Barat, maka kuil
akan diletakkan di sebelah Timur pekarangan rumah
menghadap ke Barat.
Sanggah di Bayung Gede umumnya terdiri
dari Palinggih Utama yaitu Sanggah Kemulan dan
Bhatara Guru. Di Desa Bayung Gede terdapat
tempat pemujaan yang disebut Turus Lumbung, yaitu
palinggih yang sifatnya tentatif dan terbuat dari
batang pohon dadap (Erythrina variegata) setinggi
2m yang ditanam dan di atasnya diletakkan anyaman
bambu sebagai tempat untuk menaruh sesajen. Setiap
pekarangan rumah terdapat dua Turus Lumbung yang
merupakan simbol dari kehidupan suami istri.
Jumlah Turus Lumbung dapat bertambah apabila
anak yang telah menikah menetap dalam satu
pekarangan rumah (Putri, 2015).
Hal ini menjadi pemicu perubahan fungsi
Bentuk pola hunian lama desa Bayung Gede
dan penambahan ruang di pekarangan rumah, seperti
sejatinya memiliki 3 bangunan utama yang
penambahan dapur yang terletak di bagian luar
disyaratkan penjuru adat dan tempat suci untuk
banguanan antara paon dan bale suci, penambahan
meletakkan sanggah, 3 bangunan utama tersebut
ruang tidur, perubahan fungsi dari paon yang
secara berurutan dari pintu masuk adalah (1)lumbung
sebelumnya adalah tempat tidur dan tempat memasak
yang terdiri dari 2 jenis yaitu: jineng dengan ciri
menjadi gudang, tidak berfungsinya lumbung
berbentuk seperti panggung dengan 4 tiang utama,
dikarenakan penyimpanan padi yang sudah lebih
tempat padi berada di atas, dan glebek dimana
praktis dan lebih aman berada di dalam bangunan
memiliki dinding yang terbuat dari kayu dan
beton, modifikasi pada sisi selatan bagian depan
gendek.(2)bale sekenem atau bale suci, yang
pekarangan menjadi tempat berdagang, bahkan
berfungsi sebagai tempat melakukan kegiatan
diantaranya terdapat beberapa pekarangan yang
spiritual dalam lingkup terbatas dan tempat untuk
melanggar awig-awig dengan membuat garasi mobil
meletakan benda-benda pusaka dan benda bernilai
di sisi utara pekarangan dan memindahkan lumbung
spiritual.
pada bagian atas garasi, sehingga bangunan tersebut
Dinamakan bale sekenem karena tiang nya
menjadi lebih tinggi dari yang seharusnya.
selalu berjumlah 6 atau sake enem (3) dapur atau
yang biasa disebut paon dimana dapur tersebut juga
Desa Panglipuran
berfungsi sebagai tempat tidur. Pada bagian ujung
pekarangan dianggap bagian paling suci dari
Desa Panglipuran terletak di kecamatan
pekarangan rumah. Perletakan masa bangunan ini
Bangli, kabupaten Bangli, Provinsi Bali Indonesia.
memiliki arti dimana untuk menuju tempat suci
Batas administrasi desa panglipuran adalah Desa
tersebut harus melewati proses, tidak langsung
Adat Kubu disebelah timur, disebelah selatan Desa
masuk seenaknya begitu saja, hal tersebut juga yang
Adat Gunaksa, dan disebelah barat Tukad Sang-sang,
menjadi alasan kamar mandi/wc selalu berada di
sedangkan disebelah utara Desa Adat Kayang. Desa
bagian depan pekarangan, karena sifatnya yang
119
Jurnal Arsitektur KOMPOSISI, Volume 11, Nomor 3, April 2016

Panglipuran terletak pada jalur wisata Kintamani, matahari dengan ruang terbuka (open space) untuk
sejauh 5 km dari pusat Kota Bangli, dan 45 km dari kegiatan bersama. Ruang terbuka ini membelah
pusat Kota Denpasar dengan ketinggian kurang Desa Wisata Penglipuran menjadi dua bagian, yaitu
lebih 625 meter di atas permukaan laut menjadikan jejer Barat dan jejer Timur dengan orientasi arah
desa ini memiliki iklim sedang dengan temperature Kaja Kelod dengan kiblat gunung batur. Tata ruang
udara rata-rata 18p Celcius hingga 32p Celcius Desa Wisata Penglipuran didasarkan pada konsep
dan curah hujan rata-rata sebesar 200 mm – 250 Tri Mandala. Desa Adat Penglipuran dipimpin oleh
mm per tahun. Desa dengan luas wilayah kurang seorang Kelian (berasal dari kata kelihan yang
lebih 112 Ha dengan perincian peruntukan: Tegalan berarti yang dituakan) Desa dan dibantu oleh 2 orang
45 Ha, Hutan 45 Ha, Pemukiman dan Pekarangan 9 penyarikan. Lembaga adat adalah lembaga otonom,
Ha, Laba Pura 12 Ha, Kuburan 1 Ha.Warga Desa yang tidak ada hubungan struktural dalam
Penglipuran terdiri dari 927 jiwa dengan 232 KK. pemerintahan. Secara tradisional lembaga adat
Penglipuran merupakan desa yang dikelola dirinci atas struktur vertikal pemerintah desa adat
dengan kesatuan hukum adat dengan seorang kelian dan secara horizontal terdiri atas kelompok-
adat sebagai ketua dan dua orang pembantu yang kelompok profesi/fungsional tertentu.Adapun
disebut dengan penyarikan yang mengatur hal-hal fungsi dari lembaga adat adalah berkaitan dengan
yang berhubungan dengan sekala (keduniawian) pelaksanaan upacara yadnya keagamaan serta
sedangkan yang mengatur dan memimpin hal-hal dalam pembangunan dan pemeliharaan tempat suci/
yang berkaitan dengan niskala (spiritual) ditangani pura.Pelaksanaan tugas dan kewajiban sebagai
oleh kancan roras dengan ketuanya disebut dengan prajuru desa adat, serta tugas, serta tugas dan
jero bayan. (Arismayanti dkk, 2015) kewajiban sebagai warga desa adat telah diatur
Desa Wisata Penglipuran mengikuti tata dalam awig-awig Desa Adat Penglipuran. Jumlah
ruang pola nawa sanga, yaitu penggabungan Warga Pengempon Pura Di Desa Penglipuran adalah
orientasi gunung dan laut serta arah peredaran

120
Feliksdinata Pangasih & Ayu Asvitasari, Pergeseran Konsep Morfologi pada Desa Bali Aga
Studi Kasus : Desa Bayung Gede dan Desa Panglipuran

76 orang Krama desa tersebut jumlahnya Desa Adat Penglipuran mengikuti pola
terus dipertahankan sampai sekarang. 12 anggota Nawa Sanga, yaitu penggabungan orientasi antara
teratas dari Krama desa yang disebut Kanca Roras gunung dan laut serta terhadap arah mata angin. Desa
merupakan anggota inti dan yang tertua sedangkan Adat Penglipuran termasuk Desa Bali Aga, dengan
sisanya anggota biasa yang bertanggung jawab ciri yang paling menonjol adalah adanya as Utara
penuh terhadap pembangunan fisik maupun non Selatan dengan axis linier yang berfungsi sebagai
fisik di desa ini. open space. Open Space ini membagi desa menjadi
dua bagian, yaitu jejer barat dan jejer timur, dengan
Morfologi Desa Panglipuran
orientasi arah kaja-kelod serta menanjak dari selatan
Menurut tokoh desa adat Panglipuran, ke utara berorientasi pada gunung yaitu Gunung
masyarakat desa Panglipuran berasal dari desa Batur. Secara simbolis pola tata ruang Desa Adat
Bayung Gede, yang hijrah untuk mencari areal Penglipuran secara makro dibagi menjadi tiga ruang
pertanian yang lebih subur. Sekelompok masyarakat dengan tingkat kesucian yang berbeda (Konsep Tri
ini kemudian sampai di hutan yang sekarang disebut Mandala), yaitu : 1). Utama Mandala : adalah
dengan Panglipuran. Setelah hutan dirambah tempat/ruang yang paling disucikan, yang terletak
sebagian tanah dibagikan kepada semua krama di dibagian utara desa dengan dataran paling tinggi dan
desa adat Panglipuran untuk lahan pertanian dan merupakan area bagi para dewa/nenek moyang
tanah untuk pekarangan, sedangkan sisanya lelehur. Pada bagian ruang ini terletak Pura
dijadikan sebagai tanah milik desa adat atau disebut Penataran, Pura Puseh dan pura-pura lainnya yang
dengan tanah druwen desa. Tanah untuk lahan terdapat disebelah utara dan timur Hutan Bambu;
pertanian ini kemudian disebut dengan tanah ayahan 2). Madia Mandala : adalah bagian ruang yang kedua
desa, sedangkan tanah pekarangannya disebut dimana masyarakat Desa Pengelipuran
dengan karang paumahan. Untuk mendapatkan menempatinya sebagai areal pemukiman. Dimana
tanah ayahan desa maupun tanah pekarangan selain pada bagian ini juga terdapat tempat suci yaitu : Pura
melalui pembagian juga diperoleh lewat pewarisan Ratu Pingit, Pura Balai Banjar, Pura Dadia Dalem
secara turun-temurun. Artinya, jika orang tuanya Tampuagan dan Balai Banjar. Pada sisi selatan rang
meninggal, atau anaknya yang terkecil telah kawin, ini tedapat Tugu Pahlawan yang memiliki ruang
maka tanah ayahan desa dan tanah pekarangan desa terbuka dan balai pertemuan, yang pada setiap
beserta kewajiban yang harus dipikul diserahkan tahunnya dipergunakan sebagai tempat peringatan
kepada anaknya. Sementara itu, orangtuanya sudah wafatnya pahlawan Bangli “Anak Agung Anom Jaya
disebut nyada atau lepas dari keanggotaan krama Mudita “ dan tempat peringatan hari bersejarah
negak desa adat Panglipuran, karena telah lainnya; 3). Nista Mandala : adalah bagian ruang
digantikan oleh anaknya.(Windari, 2010) ketiga yang terletak di bagian paling Selatan Desa
Penglipuran. Tempat ini merupakan areal kuburan
bagi masyarakat Desa Penglipuran. Pada areal ini
juga terdapat bangunan suci, yaitu Pura Dalem
(Pelapuhan), Pura Prajapati dan Pura Ratu Mas Ayu
Manik Melasem (Prayogi, 2011).

Perkembangan Morfologi Desa Panglipuran

Akibat dari konsekwensi logis orientasi


simbolik dualistik gunung-laut atau kaja-kelod
(utara-selatan), tata ruang permukiman Desa Adat
Penglipuran difungsikan menjadi tiga zona yaitu kaja
(utara) sebagai hulu dan digunakan untuk perletakan
aktivitas yang bersifat suci (parhayangan), dan kelod

121
Jurnal Arsitektur KOMPOSISI, Volume 11, Nomor 3, April 2016

(selatan) sebagai hilir dan digunakan untuk dipergunakan sebagai tempat tidur bagi mereka yang
perletakan aktivitas yang bersifat nista/kotor sudah lanjut usia; b). Balai Saka Enam berada
(palemahan). Sedangkan zona madya (tengah) disebelah selatan, sebagai tempat upacara yadnya
difungsikan sebagai pembatas dan penghubung seperti Manusia Yadnya, Pitra Yadnya dan upacara
antara zona kaja/utara dan kelod/selatan dan lainnya; c). Bangunan Loji berada disebelah barat,
dipergunakan sebagai letak perumahan dan fasilitas sebagai tempat tidur/istirahat keluarga; 3). Nista
umum (pawongan). Adanya ketiga zona tersebut Mandala : adalah bagian/ruang ketiga dari
diatas berfungsi sebagai suatu batas terhadap nilai pekarangan masyarakat. Ruang/areal ini merupakan
keruangan dimana makin keutara memiliki nilai areal dimana terdapat WC/kamar kecil dan kandang
kesakralan yang lebih tinggi atau utama, selanjutnya ternak (Prayogi, 2011).
nilai keruangan madya dan nista imajiner ke arah Tri mandala juga dijadikan dasar dalam
selatan desa. Batas-batas yang dimaksud sekaligus membangun pura, sehingga wilayah pura terdiri dari
berfungsi bagi perkembangan zona pawongan tiga wilayah yaitu utama mandala yang terdiri dari
(permukiman) akibat pertambahan penduduk dengan bangunan pelinggih, madya mandala yang terdiri
kecenderungan perkembangan permukiman ke arah dari bangunan untuk paruman, balai gong, balai
halaman belakang (tebe) dari rumah induk (karang banten, balai pegat, dan tempat untuk
kerti). Kuatnya konsep orientasi dualistik gunung- persembahyangan, serta nista mandala yang
laut pada Desa Adat Penglipuran, kemudian juga digunakan untuk tempat meebat dan dapur untuk
diterjemahkan kedalam fasilitas bersama berupa kegiatan upacara dipura tersebut (Atmaja, 2015).
jalan yang membentang dari utara ke selatan (kaja- Matahari terbit berorientasi kearah timur
kelod) membelah permukiman desa adat Penglipuran sehingga mempunyai nilai yang tinggi atau suci dan
menjadi dua sisi yaitu sisi barat dan sisi timur jalan digunakan sebagai areal Parhayangan (tempat suci
(rurung gede). Selain itu, bentuk dari pola keluarga). Sedangkan matahari terbenam
permukiman desa adatnya yang linear juga berorientasi kearah barat yang bernilai nista/rendah
disebabkan oleh adanya batasan fisik disebelah barat dan digunakan sebagai areal Palemahan (toilet dan
Desa Adat Penglipuran berupa sungai Sangsang yang kandang ternak). Sedangkan penghubung antara
membujur sejajar dengan desa dari utara ke selatan. zona utama/ parhayangan dan zona nista/
Air disamping dibutuhkan untuk kehidupan sehari- palemahan adalah zona pawongan yang berada pada
hari juga digunakan dalam acara ritual sebagai air bagian tengah pekarangan rumah (natah).
suci/tirta. Orientasi permukiman Desa Adat Dengan demikian tata nilai ruangnya
Penglipuran, baik untuk permukiman yang berada menjadi yang tertinggi (utama) dibagian timur, nilai
disisi barat ataupun disisi timur dari jalan desa ruang madya di bagian tengah dan nilai ruang
mengarah ke jalan desa (rurung gede) (Arimbawa terendah (nista) dibagian barat. Ketiga zona tersebut
& Santhyasa, 2010). diatas berfungsi juga sebagai suatu batas terhadap
nilai keruangan dimana semakin ke timur, semakin
Pola Hunian Desa Panglipuran tinggi nilai kesakralan ruangnya (gambar 7).
Pengulangan pola linear desa pada pola rumah
Secara mikro tata ruang dengan tampak jelas dengan upaya membuat jalan
menggunakan konsep Tri Mandala tercermin pada lingkungan yang sejajar dengan jalan utama desa
tata ruang rumah penduduk di Desa Penglipuran, baik bagi rumah yang berada sebelah kiri maupun
yaitu : 1). Utama Mandala : bagian yang paling suci, sebelah kanan jalan utama desa (rurung gede). Hal
terletak dibagian Timur Laut areal pekarangan ini di lakukan dengan cara membuat bukaan ± 100
penduduk. Pada areal ini terdapat bangunan sanggah/ cm pada masing-masing pagar rumah yang di
pura keluarga; 2). Madia Mandala : bagian kedua sebelah utara maupun selatan yang umumnya di
yang dipergunakan sebagai tempat aktifitas keluarga sebut pelepasan atau peletasan, sehingga masing-
sehari-hari, dengan bangunan tradisionalnya seperti masing penghuni yang akan berkunjung tidak perlu
: a). Dapur berada disebelah utara, dan juga keluar ke jalan utama, kecuali hendak berkunjung

122
Feliksdinata Pangasih & Ayu Asvitasari, Pergeseran Konsep Morfologi pada Desa Bali Aga
Studi Kasus : Desa Bayung Gede dan Desa Panglipuran

ke seberang jalan utama desa (rurung gede). Secara bagian barat desa tumbuh melebihi Pura Bale Agung
imajiner seolah-olah sirkulasi antara rumah ke yang menjadi batas utama mandala dalam sumbu
rumah yang berada di sisi barat atau timur rurung kaja-kelod, namun masih tetap berpegang pada
gede merupakan pengulangan dari bentuk pola sumbu kangin-kauh sehingga tidak ada warga yang
linear desanya Dengan demikian sehingga bentuk membangun rumah pada sisi timur Pura Bale Agung.
pola permukiman yang linear sebagai pola makro Sedangkan pada bagian timur desa pemukiman
yang diwujudkan lagi dalam wujud mikro/karang warga tumbuh tidak melebihi batas Pura Bale Agung
(Arimbawa & Santhyasa, 2010). yang berada di utara dan Pura Puseh Kahyangan
Pendirian artshop diareal pekarangan Tiga yang berada pada bagian paling timur desa.
rumah juga telah mempengaruhi nilai tradisional Secara mikro, pola hunian di Desa Bayung Gede
dari arsitektur bangunan tradisional yang dimiliki tidak berorientasi pada arah kangin-kauh, orientasi
oleh Masyarakat Desa Penglipuran. Di beberapa pola mukiman berdasarkan jalan masuk menuju
rumah penduduk terlihat rumah-rumah tradisional pekarangan dan berdasarkan kaja-kelod, urutan
sudah tidak diperhatikan keberadaanya. Atap-atap bangunan dari pintu masuk bangunan adalah
yang bocor tidak diperbaiki, beberapa bilah bambu lumbung, bale suci (bale sakenem), paon (dapur)
untuk tembok juga tidak diperbaiki jika mengalami dan sanggah yang berada di sisi utara pekarangan,
kerusakan. Hal ini disebabkan karena kebanyakan sedangkan pada bagian selatan terdapat KM/WC,
rumah-rumah tradisional tersebut tidak mereka ruang tamu, ruang tidur dan bangunan tambahan
huni, melainkan hanya dijadikan daya tarik wisata lainnya.
bagi para wisatawan (Prayogi, 2011).
Secara makro, pola pemukiman di Desa
Panglipuran memiliki pola morfologi yang lebih
sederhana dikarenakan jumlah pekarangan yang
dijaga hanya berjumlah 76 pekarangan saja. Hal ini
menjadikan desa panglipuran tidak banyak
mengalami perubahan morfologi sejak pertama kali
berdirinya desa. Permukiman warga tetap berpegang
teguh pada sumbu kaja-kelod sehingga dalam
pertumbuhan morfologinya pemukiman warga
hanya tumbuh ke arah timur dan selatan (kangin-
kauh). Secara mikro, pola hunian di Desa
Panglipuran wajib berorientasi pada arah kangin-
kauh sehingga posisi sanggah berada pada sisi timur
pekarangan, KM/WC dan kandang ternak berada
KESIMPULAN pada sisi barat pekarangan. Sedangkan pada bagian
tengah terdapat kombinasi orientasi kaja-kelod
Desa Bayung Gede dan Panglipuran
dimana dapur (paon) berada di utara, balai saka
Memiliki konsep yang sama yakni Tri Mandala yang
enem (bale suci) di selatan, dan loji (ruang keluarga)
berasal dari Tri Hita Karana. Konsepsi Tri Hita
berada di sisi barat.
Karana melandasi terwujudnya susunan kosmos dari
yang paling makro (bhuana agung/alam semesta) Perbedaan pada makro dan mikro terlihat
dalam hal ini adalah pola spasial kawasan sampai pada sumbu linier desa masing-masing. Secara
hal yang paling mikro (bhuana alit/manusia) yang makro pola spasial Desa Bayung Gede memiliki
diwakili oleh pola hunian rumah. pola yang tidak simetris sedangkan pola spasial Desa
Panglipuran memiliki pola yang simetris antara jejer
Secara makro, pola pemukiman di Desa
timur dan jejer barat. Sebaliknya secara mikro Desa
Bayung Gede memiliki pola morfologi yang lebih
Bayung Gede memiliki pola hunian yang simetris
kompleks karena tingkat pertumbuhan penduduk
antara pekarangan yang berseberangan, sedangkan
yang terus bertambah, pemukiman warga pada

123
Jurnal Arsitektur KOMPOSISI, Volume 11, Nomor 3, April 2016

pada Desa Panglipuran memiliki pola hunian yang Covarrubias, M. (2013). Pulau Bali Temuan Yang
tidak simetris antara antara pekarangan yang berada Menakjubkan. Denpasar: Udayana University
di jejer timur dan barat. Press.

Berdasarkan konsep Tri Mandala yang Dwijendra, N. K. A. (2003). Perumahan Dan


berorientasi simbolik pada kaja-kelod dan kangin- Permukiman Tradisional Bali. Jurnal
kauh (menjadi nawa sanga) pada tatanan makro Desa Permukiman “Natah,” 1(1), 8–24.
Bayung Gede. Menciptakan perubahan/pergeseran Kumurur, V. A., & Damayanti, S. (2009). Pola
konsep morfologi yang terjadi pada Desa Perumahan Dan Pemukiman Desa Tenganan
Panglipuran yang diterjemahkan pada tatanan mikro/ Bali. Jurnal Sabua, 1(1), 1–7.
rumahnya menjadi konsep Tri Mandala yang juga
berorientasi simbolik pada kaja-kelod dan kangin- Mucuk, J. K. (2016, April 18). Morfologi Desa
kauh (menjadi nawa sanga). Tidak adanya pola Bayung Gede, Company Visit 2016 Pascasarjana
kangin-kauh pada skala makro di Desa panglipuran MTA Atmajaya Yogyakarta. (F. Pangasih,
disebabkan karena awig-awig desa menetapkan Pewawancara)
pekarangan rumah yang jumlahnya tetap/tidak Prayogi, P. A. (2011). Dampak Perkembangan
berubah dan pola spasial desa yang telah berbentuk Pariwisata Di Objek Wisata Penglipuran. Jurnal
simetris dari awal berdirinya desa, sehingga tidak Perhotelan Dan Pariwisata, 1(1), 64–79.
akan terjadi perubahan pola morfologi/makro yang
dapat mewakili konsep Tri Mandala terhadap Prayogi, P. A., & Sonder, I. W. (2014).
orientasi kangin-kauh secara makro selain ke arah Pengembangan Rumah Tradisional Sebagai
timur dan barat. Sarana Akomodasi Di Desa Bayung Gede,
Kabupaten Bangli. Jurnal Perhotelan Dan
Pariwisata, 4(2), 235–247.
DAFTAR PUSTAKA
Putri, D. A. E. (2015). Kearifan Ekologi Masyarakat
Alit, I. K. (2004). Morfologi Pola Mukiman Adati Bayung Gede Dalam Pelestarian Hutan “Setra
Bali. Jurnal Permukiman Natah, 2(2), 56–107. Ari-Ari” Di Desa Bayung Gede, Kecamatan
Arimbawa, W., & Santhyasa, I. K. G. (2010). Kintamani, Kabupaten Bangli. Skripsi Program
Perpektif Ruang Sebagai Entitas Budaya Lokal Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya
Orientasi Simbolik Ruang Masyarakat Universitas Udayana Denpasar 2015.
Tradisional Desa Adat. Local Wisdom-Jurnal Reuter, T. A. (2005). Custodians Of The Mountains
Ilmiah Online, Issn: 2086-3764, Ii(2010), 1–9.
: Budaya Dan Masyarakat Di Pegunungan Bali.
Arismayanti, N. K., Ariana, N., Sudana, I. P., Sukana, Jakarta: Yayaysan Obor Indonesia.
M., Suwena, I. K., & Rahyuda, I. (2015).
Sulistyawati, Budiartha, I. N., Prianta, P. A.,
Pelatihan Pengemasan Paket “Petasan” (Produk Purnawan, N. L. R., & Sarjana, I. M. (2014).
Wisata Pedesaan) Di Desa Wisata Penglipuran Komponen Produk Pariwisata Sebagai Daya
Kecamatan Bangli Kabupaten Bangli Bali. Jurnal Tarik Wisata Desa Penglipuran, Bangli. Program
Ilmiah Pariwisata-Stp Trisakti, 20(2), 1–12. Doktor Pariwisata Universitas Udayana
Http://Doi.Org/10.1017/Cbo9781107415324.004 Denpasar, 0–42.
Atmaja, D. M. (2015). Pengelolaan Tata Ruang Wastika, D. N. (2005). Penerapan Konsep Tri Hita
Berbasis Kearifan Lokal Pada Masyarakat Adat Karana Dalam Perencanaan Perumahan Di Bali.
Panglipuran Kabupaten Bangli. Ekosains, VII(1), Jurnal Pemukiman Natah, 3(2), 72–77.
15–25.
Windari, R. A. (2010). Dilema Hukum
Budihardjo, E. (1986). Architectural Conservation Penyertifikatan Tanah Ayahan Desa Di Bali
In Bali. Yogyakarta: Penerbit Gajah Mada (Studi Kasus Konflik Adat Tanah Ayahan Desa
University Press.

124
Feliksdinata Pangasih & Ayu Asvitasari, Pergeseran Konsep Morfologi pada Desa Bali Aga
Studi Kasus : Desa Bayung Gede dan Desa Panglipuran

Di Desa Adat Panglipuran). Jurnal Ika, 8(2),


205–219.
Zahnd, M. (1999). Perancangan Kota
Secaraterpadu-Teori Perancangan Kota Dan
Penerapannya. Yogyakarta: Kanisius.
Website
Google, Google Earth Pro, Https://
Www.Google.Com/Enterprise/Mapsearth/
Products/Earthpro.Html. Diakses Tanggal 9 Mei
2016, Pukul 16:24 Wib

125

Anda mungkin juga menyukai