Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS KEGAGALAN PENERAPAN

STRUCTURAL ADJUSTMENT PROGRAM DI PERU

Penulis:
Naomi Devi Larasati
071611233067
Program Studi S1 Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga

ABSTRAK

Structural Adjustment Program merupakan syarat yang diberikan oleh institusi finansial
internasional kepada negara yang akan melakukan peminjaman dana. Program tersebut
diharapkan dapat mereformasi perekonomian negara berkembang dengan ide-ide neoliberalisme.
Berdasarkan teori kebebasan yang diungkapkan oleh Amartya Sen, penulis berargumen bahwa
Structural Adjustment Program di berbagai negara mengalami kegagalan, salah satunya adalah
Peru. Implementasi Structural Adjustment Program karena terbatasnya pilihan pada saat krisis di
Peru malah gagal membangkitkan Peru dan justru menimbulkan beberapa permasalahan baru.
Melalui studi literatur, dalam tulisan ini penulis akan menjelaskan faktor-faktor yang
menyebabkan gagalnya Structural Adjustment Program di Peru. Penulis juga akan memberikan
solusi yang diharapkan mampu mengurangi efek negatif dari Structural Adjustment Program di
masa yang akan datang.

Kata Kunci: Structural Adjustment Program, Peru, kegagalan

Latar Belakang
Ketidakstabilan kondisi ekonomi yang dapat mengakibatkan krisis merupakan sebuah hal
yang tidak terhindarkan, terutama bagi negara berkembang. Negara-negara di wilayah Amerika
Latin juga tidak luput dari masalah ekonomi. Kondisi tersebut tentu tidak memiliki dampak baik
bagi negara yang bahkan masih bergantung terhadap negara lain untuk mempertahankan
eksistensinya. Berbagai kebijakan kemudian diusulkan untuk menyelesaikan permasalahan
ekonomi yang mempengaruhi berbagai bidang kehidupan dalam negara tersebut. Kebijakan yang
diambil tidak hanya dibuat oleh pemerintah negara tersebut saja, melainkan juga disusun oleh
institusi internasional yang berfokus pada bidang ekonomi, seperti International Monetary Fund
(IMF) serta Bank Dunia. Salah satu solusi yang diberikan oleh institusi internasional tersebut untuk
menyelesaikan permasalahan ekonomi yang ada adalah dengan memberikan pinjaman dana.
Namun, peminjaman dana tersebut hanya akan diberikan apabila negara peminjam bersedia
menerapkan Structural Adjustment Program. Structural Adjustment Program sendiri merupakan
manifestasi ide dari neoliberalisme yang diwujudkan dalam paket kebijakan yang telah
terstandarisasi yang didesain untuk menyelesaikan masalah mengenai keseimbangan neraca
pembayaran di negara berkembang dan mendorong integrasi ekonomi negara tersebut ke dalam
pasar dunia (McCutchan, 2010). Banyak negara yang telah menerapkan Structural Adjustment
Program tersebut demi mendapatkan pinjaman, karena bank komersial di negara industri biasanya
menolak untuk memberikan pinjaman karena takut akan resiko yang mungkin terjadi, sehingga
IMF dan Bank Dunia merupakan opsi satu-satunya bagi negara tersebut (Adelman, 2001).
Structural Adjustment Program yang telah disebutkan sebelumnya ingin mereformasi
perekonomian negara dalam beberapa hal, yaitu: (1) memberikan kebebasan pada pasar untuk
menentukan harga; (2) mengurangi kontrol negara terhadap harga, sehingga harga barang dapat
ditentukan oleh nilai kelangkaannya; (3) divestasi dan privatisasi sumber daya dan perusahaan
yang berada di bawah naungan negara; (4) mengurangi anggaran negara sebanyak mungkin; dan
(5) reformasi institusi negara (McCutchan, 2010). Meskipun memiliki program reformasi yang
baik, harapan bahwa masalah ekonomi negara dapat diselesaikan dengan pemberian pinjaman
ternyata tidak berhasil. IMF dan Bank Dunia awalnya mendesain pinjaman untuk memperbaiki
kondisi yang ada dan di saat yang bersamaan mengembangkan mekanisme pasar bebas. Kondisi
tersebut diharapkan menimbulkan trickle down effect ke bidang-bidang lainnya (Milward, 2000).
Namun hingga saat ini, Structural Adjustment Program yang telah diterapkan di berbagai negara
berkembang, salah satunya di wilayah Amerika Latin, belum mampu menunjukkan dampak
positifnya. Salah satu program Structural Adjustment Program yang dianggap tidak berhasil
adalah Washington Consensus. Konsensus tersebut diciptakan oleh John Williamson pada tahun
1989 sebagai instrumen kebijakan yang berbasis pada ideologi neoliberalisme. Beberapa hal yang
direkomendasikan oleh konsensus tersebut meliputi anggaran pemerintah yang lebih disiplin,
perluasan basis pemungutan pajak, liberalisasi pasar, privatisasi perusahaan negara, penerapan
kebijakan yang mendukung investasi asing, pengurangan subsidi, menghilangkan hambatan, serta
keamanan legal bagi hak kepemilikan (Williamson, 1990).
Dalam tulisan ini, penulis akan berusaha menjawab rumusan masalah, yaitu mengapa
Structural Adjustment Program mengalami kegagalan di Amerika Latin, spesifiknya di negara
Peru. Dalam menjelaskan hal tersebut, penulis akan menggunakan penjelasan Amartya Sen (1999)
tentang freedom atau kebebasan dalam tulisannya Development as Freedom sebagai kerangka
teoritik. Sen (1999) menyebutkan bahwa tujuan akhir dari setiap kebijakan pembangunan adalah
peningkatan kebebasan dan kapabilitas masyarakat sebuah negara. Kebebasan yang dimaksud
meliputi lima bidang, yaitu: (1) political freedoms atau kebebasan politik; (2) economic facilities
atau fasilitas ekonomi; (3) social opportunities atau kesempatan sosial; (4) transparency
guarantees atau garansi transparansi; dan (5) protective security atau keamanan protektif (Sen,
1999). Penjelasan mengenai lima kebebasan tersebut kemudian dapat digunakan untuk mengkaji
apakah Structural Adjustment Program maupun program turunannya seperti Washington
Consensus mampu berkontribusi terhadap peningkatan kebebasan masyarakat di Peru.

Peru dan Structural Adjustment Program


Penerapan Structural Adjustment Program di Peru pada pemerintahan Alberto Fujimori
dilatarbelakangi oleh perekonomian Peru yang cenderung fluktuatif. Pada tahun 1950 hingga 1966,
perekonomian Peru berada dalam tren yang positif dengan rata-rata pertumbuhan Gross Domestic
Product (GDP) mencapai angka 3,1%. Namun, hal tersebut tidak dapat dipertahankan dan
perekonomian Peru menjadi stagnan sejak tahun 1967. Angka GDP per kapita mengalami
penurunan 0,1% setiap tahunnya. Kondisi perekonomian Peru semakin memburuk pada tahun
1980 ketika GDP per kapita 5% lebih rendah daripada GDP tahun 1975, bahkan pada tahun 1985
angka GDP mencapai salah satu titik terburuknya, yaitu 19% lebih rendah daripada GDP tahun
1975 (Glewwe dan Tray, 1989). Situasi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama,
menurunnya aktivitas ekspor Peru dengan negara lain yang disebabkan oleh turunnya harga
komoditas ekspor Peru di dunia, seperti minyak, tembaga, seng, dan mineral yang lain. Kedua,
Peru juga mengalami penurunan hasil produksi dari bidang pertanian dan kelautan karena kondisi
lingkungan yang cukup buruk saat itu. Ketiga, suku bunga yang tinggi di pasar modal internasional
meningkatkan beban Peru dalam membayar hutang. Faktor tersebut kemudian membawa
permasalahan lain, yaitu penurunan investasi swasta yang cukup signifikan sehingga
mempengaruhi perekonomian Peru (Glewwe dan Tray, 1989). Selain itu ketiga faktor tersebut,
Glewwe dan Tray (1989) juga mengidentifikasi sebuah faktor yang memiliki signifikansi terhadap
ketidakstabilan perekonomian Peru, yaitu besarnya intervensi pemerintah dalam perekonomian
swasta (private economy) yang menyebabkan pertumbuhan menjadi terhambat.
Kondisi tersebut berlanjut hingga akhir 1980-an. Alberto Fujimori, yang pada saat itu
masih mencalonkan diri sebagai presiden, menyebutkan dalam kampanyenya bahwa apabila ia
terpilih ia akan memberikan standar hidup yang lebih baik bagi masyarakat Peru dengan
memperbaiki perekonomian domestik dan membayar hutang negara kepada IMF dan Bank Dunia
secara bertahap (Vitarana, 2010). Namun, seperti yang disebutkan oleh Glewwe dan Tray (1989),
untuk memperbaiki perekonomian Peru saat itu dibutuhkan pemotongan anggaran pemerintah
yang cukup besar dan peningkatan pajak terhadap masyarakat Peru. Hal tersebut tidak sejalan
dengan visi Fujimori untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat Peru. Dihadapkan pada pilihan
tersebut, akhirnya Fujimori memilih untuk menerapkan Structural Adjustment Program yang
ditawarkan oleh IMF dan Bank Dunia hanya beberapa bulan setelah terpilih menjadi Presiden
Peru. Padahal, mayoritas masyarakat Peru memilih Fujimori karena janji kampanyenya untuk tidak
mengimplementasikan Structural Adjustment Program di Peru. Awalnya, Structural Adjustment
Program memang memberikan dampak yang baik yang ditunjukkan dengan meningkatnya GDP
Peru karena meningkatnya privatisasi dan foreign direct investment (Vitarana, 2010). Namun, pada
tahun 1990, istilah ‘Fujishock’ yang menjadi tren baru menunjukkan kegagalan Structural
Adjustment Program di Peru. Harga barang maupun jasa yang krusial bagi kehidupan sehari-hari
masyarakat Peru mengalami peningkatan, seperti harga bahan bakar yang melonjak hingga 3000%,
air dan telepon yang meningkat hingga 1300%, listrik hingga 5300%, roti yang merupakan
makanan pokok meningkat hingga 4000% (Hays-Mitchell, 2002). Subsidi terhadap bahan
makanan pokok, kesehatan, dan pendidikan dikurangi dalam jumlah yang tidak sedikit. Gaji
penduduk Peru juga berkurang sekitar 50%, angka pengangguran mencapai 80% dan pada tahun
1994 sekitar 59% masyarakat Peru hidup dalam kemiskinan (Hays-Mitchell, 2002). Fujishock
tersebut juga mengakibatkan instabilitas internal pemerintah Peru sendiri, hingga pada tahun 1992
Fujimori melakukan autogolpe dengan membubarkan Kongres yang ada dan mendeklarasikan
bahwa Peru membutuhkan konstitusi baru dan reformasi yudisial yang menyeluruh (Costa, 1993).
Perubahan yang masif dalam kehidupan sosio-ekonomi di Peru tersebut tentu memberikan
dampak yang negatif bagi masyarakat Peru. Salah satu reformasi yang berusaha dilakukan oleh
Structural Adjustment Program adalah pengurangan subsidi negara, dan bidang yang paling
mudah dikorbankan adalah bidang kesehatan dan pendidikan. Kedua sektor tersebut memiliki
kontribusi besar terhadap anggaran negara yang terus membengkak, dan pemotongan subsidi di
kedua bidang tersebut tentu akan memberikan margin yang lebih besar terhadap tabungan negara
(Vitarana, 2010). Tindakan pemerintah tersebut kemudian menimbulkan privatisasi di bidang
kesehatan dan pendidikan yang semakin mempersulit kaum tidak mampu di Peru. Tarif pelayanan
kesehatan semakin mahal namun masyarakat Peru juga tidak mampu membayar asuransi
kesehatan swasta. Kondisi saat itu dianggap sangat buruk sehingga masyarakat Peru disebut harus
memilih antara life sustaining food or life-preserving medicine (Kim, et al., 2000). Dalam bidang
pendidikan, pemerintah Peru mengurangi subsidi bagi seluruh jenjang pendidikan. Bahkan, subsidi
bagi pendidikan tingkat tinggi (sekolah menengah dan universitas) dihapuskan dan dialihkan ke
pendidikan tingkat dasar. Kebijakan penyesuaian tersebut berdampak pada menurunnya jumlah
anak usia sekolah yang menyelesaikan pendidikan hingga universtias, terutama di kalangan kurang
mampu. Sejak Structural Adjustment Program diterapkan, masyarakat akan dikenakan biaya agar
dapat mengenyam pendidikan, sehingga tidak mendukung perbaikan tingkat edukasi masyarakat
Peru (Glewwe dan Tray, 1989).
Lebih lanjut, dampak buruk dari Structural Adjustment Program juga dapat dilihat dari
bidang lain, seperti bidang agrikultur. Sebelum Structural Adjustment Program diterapkan,
pemerintah meiliki andil besar dalam sektor pertanian. Pemerintah Peru mengimplementasikan
proteksi terhadap beberapa produk agrikultur seperti jagung, sorghum, barley, dan gandum.
Proteksi pemerintah dilakukan dengan pembatasan produk impor yang dapat diproduksi secara
domestik. Dengan diberlakukannya Structural Adjustment Program di Peru, maka peran
pemerintah dalam ekonomi semakin dikurangi sesuai dengan program reformasi Structural
Adjustment Program. Hal tersebut, didukung dengan liberalisasi pasar, mengakibatkan rentannya
petani lokal terhadap berbagai resiko, sehingga kesejahteraan petani menjadi tidak terjamin seperti
sebelumnya (Glewwe dan Tray, 1989). Tidak hanya itu, pemerintah Peru juga melakukan
pemotongan subsidi dalam yang dialokasikan untuk pemenuhan fasilitas umum, seperti listrik, air,
telepon dan bahan bakar. Sebelum Structural Adjustment Program diterapkan, pemerintah Peru
memberikan subsidi terhadap listrik sebesar 0.5% dari GDP Peru (Glewwe dan Tray, 1989). Tidak
seperti kebijakan-kebijakan sebelumnya yang cenderung merugikan kaum menengah kebawah,
pengurangan subsidi bagi fasilitas umum memiliki potensi lebih besar untuk merugikan kaum
menengah keatas. Hal tersebut terjadi karena kaum menengah keatas merupakan orang-orang yang
lebih modern dan telah terpapar pada teknologi, sedangkan kaum menengah kebawah memang
tidak memiliki barang-barang yang membutuhkan listrik maupun bahan bakar yang dikurangi
subsidinya (Glewwe dan Tray, 1989).

Faktor Penyebab Kegagalan Structural Adjustment Program


Penulis berpendapat bahwa tindakan pemerintah tersebut merupakan sebuah tindakan yang
gegabah dan tidak dipertimbangkan dengan baik. Pemerintah Peru pada saat itu hanya menerapkan
salah satu program Washington Consensus yaitu privatisasi tanpa memikirkan konsekuensinya.
Pemerintah negara masih memiliki kewajiban sosial terhadap masyarakat, yaitu memenuhi
kesejahteraan seluruh rakyatnya, sehingga kebijakan privatisasi tidak dapat diimplementasikan di
semua bidang, terutama di bidang yang berkaitan langsung dengan pemenuhan kesejahteraan
masyarakat. Lebih lanjut, Pemerintah Peru juga terburu-buru dalam menerapkan Structural
Adjustment Program untuk mendapatkan pinjaman dari IMF dan Bank Dunia, sehingga
pemerintah tidak melakukan analisis dampak terhadap kondisi domestik apabila Structural
Adjustment Program diterapkan sepenuhnya di Peru. IMF serta Bank Dunia juga tidak
mempertimbangkan kondisi domestik setiap negara yang berbeda-beda dan tetap memaksakan
implentasi Structural Adjustment Program. Penulis juga berargumen bahwa program reformasi
yang dibawa oleh Structural Adjustment Program memiliki ambiguitas dalam level tertentu.
Structural Adjustment Program hanya mendukung pemotongan subsidi dan program privatisasi,
namun tidak menyebutkan secara detail dalam bidang apa. Pemerintah negara yang menerapkan
Structural Adjustment Program tersebut, dalam hal ini negara Peru, kemudian mempercayai IMF
dan Bank Dunia begitu saja dan bebas menginterpretasikan program tersebut dan menerapkannya
dalam negaranya sendiri. Selain itu, penulis juga berpendapat bahwa kegagalan Structural
Adjustment Program juga diakibatkan oleh kepercayaan yang terlalu tinggi terhadap liberalisasi,
yang dianggap akan menyelesaikan seluruh masalah, baik itu masalah ekonomi maupun masalah
sosial lainnya, melalui trickle-down effect yang telah disebutkan sebelumnya.
Dari kasus Peru yang telah dibahas, dapat dilihat bahwa Structural Adjustment Program
tidak dapat memberikan dampak yang maksimal seperti yang diharapkan oleh IMF dan Bank
Dunia. Fakta tersebut dapat dilihat dari tidak terpenuhinya standar kebebasan yang dijelaskan oleh
Amartya Sen (1999), terutama dalam poin ketiga yaitu social opportunities. Hal-hal yang termasuk
dalam poin ketiga meliputi pelayanan kesehatan yang layak, pendidikan dasar, kesetaraan gender,
serta kesejahteraan wanita dan anak-anak (Sen, 1999). Sulitnya akses terhadap hal-hal mendasar
tersebut semenjak diterapkannya Structural Adjustment Program tentu menggambarkan bahwa
kebebasan dan kapabilitas masyarakat tidak terpenuhi, sehingga dapat dikatakan kebijakan
Structural Adjustment Program mengalami kegagalan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
kegagalan tersebut terlihat dari sulitnya mendapatkan layanan kesehatan yang dapat dijangkau oleh
masyarakat menengah ke bawah karena kebijakan privatisasi pemerintah, menurunnya jumlah
anak yang bersekolah sejak pendidikan menjadi semakin mahal, dan lain sebagainya. Lebih lanjut,
dalam bidang economic security, menurunnya pendapatan masyarakat dan meningkatnya angka
pengangguran menunjukkan bahwa kebebasan di masyarakat tidak tercapai (Hays-Mitchell,
2002). Tidak hanya itu, kebebasan dalam bidang transparency guarantees juga tidak terjamin.
Tindakan Alberto Fujimori selama masa kepemimpinannya, seperti suap kepada jurnalis untuk
menyerang oposisinya serta hilangnya uang negara sebesar 600 juta USD, membuktikan bahwa
transparansi pemerintah tidak berjalan dengan baik (Tegel, 2016).

Solusi untuk Perbaikan Structural Adjustment Program


Meskipun hingga saat ini Structural Adjustment Program masih belum mampu
menunjukkan keberhasilannya, penulis beropini bahwa belum saatnya Structural Adjustment
Program tersebut dihapuskan, karena Structural Adjustment Program masih memiliki beberapa
dampak positif, seperti penghapusan restriksi tarif maupun non-tarif yang meningkatkan
liberalisasi pasar dan investasi asing bagi negara berkembang. Namun, agar dampak negatif dari
Structural Adjustment Program tersebut dapat dikurangi kedepannya, maka diperlukan perbaikan
atau revolusi tertentu. Penulis mengusulkan beberapa hal yang dapat dilakukan setelah
menganalisis penyebab gagalnya Structural Adjustment Program dalam kasus Peru. Pertama,
setelah terbukti bahwa liberalisasi tidak mampu memberikan trickle-down effect yang diharapkan,
maka penulis mengusulkan pendekatan dari berbagai arah yang terintegrasi untuk menyelesaikan
permasalahan dalam negeri. Melalui pendekatan yang demikian, pemerintahan sebuah negara
tidak akan terlalu bergantung pada liberalisasi untuk penyelesaian seluruh masalahnya. IMF dan
Bank Dunia juga perlu menyadari bahwa liberalisasi bukanlah satu-satunya solusi untuk
menyelesaikan permasalahan negara, dan negara yang tidak terlalu mengutamakan liberalisasi juga
dapat berkembang secara ekonomi. Negara dapat menyelesaikan permasalahan ekonomi dan sosial
dengan kebijakan yang terpisah, namun di saat yang bersamaan tetap kohesif antara satu sama lain.
Kebijakan-kebijakan tersebut dapat dilakukan oleh institusi yang berbeda namun dengan tujuan
yang sama, yaitu untuk memperbaiki kondisi negara. Kedua, fakta bahwa penerapan Structural
Adjustment Program di Peru merugikan kaum menengah kebawah terutama dalam bidang sosial
menunjukkan bahwa dibutuhkan jaminan sosial dalam implementasi Structural Adjustment
Program. Penulis berpendapat bahwa jaminan sosial tersebut dapat berperan sebagai safety net
atau jaring pengaman bagi lapisan masyarakat yang kemungkinan besar akan dirugikan oleh
Structural Adjustment Program.
Kemudian, penulis juga mengusulkan adanya persiapan yang lebih matang sebelum
mengimplementasikan Structural Adjustment Program dalam sebuah negara. Dalam kasus Peru,
pemerintah Peru tidak melakukan analisis dampak sehingga penerapan Structural Adjustment
Program malah semakin memperburuk krisis yang terjadi. Persiapan yang dimaksud dapat
dilakukan oleh pihak yang memberikan bantuan, yaitu IMF dan Bank Dunia, serta oleh negara
yang akan menerima bantuan. Sebelum Structural Adjustment Program diterapkan, IMF dan Bank
Dunia dapat mengkaji apakah program yang akan diberlakukan sesuai dengan kondisi domestik
negara tersebut, karena kondisi domestik negara akan mempengaruhi lancarnya implementasi
Structural Adjustment Program. Contoh kondisi domestik yang dimaksud dapat berupa demografi
negara tersebut. Negara yang menerima bantuan juga dapat berkontribusi dengan melakukan
analisis dampak Structural Adjustment Program yang mungkin terjadi di masa mendatang,
sehingga akibat dari Structural Adjustment Program dapat ditanggulangi dengan baik apabila
memang terjadi. Lebih lanjut, penulis juga berpendapat bahwa dalam melaksanakan salah satu
kebijakan Structural Adjustment Program, yaitu privatisasi, pemerintah negara perlu lebih
mempertimbangkan penerapan privatisasi tersebut. Sebaiknya pemerintah negara tidak
menerapkan privatisasi pada hal-hal mendasar yang dibutuhkan masyarakatnya untuk bertahan
hidup, seperti kesehatan, air, listrik, dan sebagainya. Privatisasi dalam bidang tersebut memang
akan meningkatkan pendapatan pemerintah karena subsidi biasanya diberikan untuk hal-hal
pokok, namun apabila negara menerapkan privatisasi dalam bidang tersebut maka negara juga
menanggalkan kewajiban sosialnya dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Berdasarkan penjelasan yang telah diberikan, dapat disimpulkan bahwa kegagalan
Structural Adjustment Program yang terjadi di Peru diakibatkan oleh berbagai faktor, baik internal
maupun eksternal. Faktor internal yang berasal dari dalam Peru sendiri meliputi ketidakstabilan
kondisi negara akibat Fujishock serta ketidaksiapan Peru dalam menerapkan Structural Adjustment
Program. Sementara itu, faktor eksternal yang dimaksud berasal dari IMF dan Bank Dunia yang
berperan sebagai institusi finansial internasional, yaitu adanya ambiguitas konteks kebijakan
Structural Adjustment Program serta pemaksaan implementasi program tersebut meskipun kondisi
domestiknya tidak mendukung. Akibatnya, Structural Adjustment Program yang digadang-gadang
akan mereformasi Peru menjadi negara yang maju malah menimbulkan permasalahan baru, seperti
menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat Peru secara keseluruhan dan meningkatnya
ketidaksetaraan antara kaum yang berada dan kaum yang tidak mampu. Lebih lanjut, setelah
memahami tentang kegagalan Structural Adjustment Program di Peru, penulis berargumen bahwa
program tersebut tidak harus dihapuskan sepenuhnya, namun harus diperbaiki dengan cara
disesuaikan dengan situasi masing-masing negara. Implementasi Structural Adjustment Program
di Peru yang tidak maksimal tersebut kemudian dapat memberikan pelajaran bagi penerapan
program tersebut di era modern ini. Pemberian pinjaman dengan syarat penerapan Structural
Adjustment Program bagi negara berkembang saat ini dapat dilakukan dengan safety net yang
lebih baik serta dengan memperhatiakn standar kesejahteraan masyarakat agar tidak merugikan
penduduk dalam upaya negara untuk menjadi lebih maju.

Referensi
Adelman, Irma. 2001. Fallacies in Development Theory. Frontiers of Development Economics:
The Future in Perspective. New York: World Bank Publications.
Costa, F. 1993. Peru's Presidential Coup. Journal of Democracy. 4(1)
Glewwe, Paul dan Tray, Dennis. 1989. The Poor in Latin America during Adjustment: A Case
Study of Peru. Living Standards Measurement Study Working Paper.
Hays-Mitchell, Maureen. 2002. Resisting Austerity: A Gendered Perspective on Neoliberal
Restructuring in Peru. Gender and Development. 10(3), pp.71-81
Kim, Jim Yong, et al. 2000. Dying for Growth. Global Inequality and the Health of the Poor.
Monroe: Common Courage Press.
McCutchan, Andrew. 2010. Understanding The Inefficacy of Structural Adjustment Programs in
Latin America. [Online] Tersedia dalam:
http://lup.lub.lu.se/luur/download?func=downloadFile&recordOId=1641931&fileOId=165
8761 [Diakses pada 29 Maret 2018]
Milward, Bob. 2000. Adjustment in Practice. Structural Adjustment: Theory, Practice and
Impacts. London: Routledge.
Sen, Amartya. 1999. Development As Freedom. New York: Anchor Books.
Tegel, Simon. 2016. Corruption and Legacy in Lima. [Online] Tersedia dalam:
http://foreignpolicy.com/2016/06/03/corruption-and-legacy-in-lima-keiko-fujimori-
presidential-election-peru/ [Diakses pada 30 Maret 2018]
Vitarana, Nirmi. 2010. Effects of Washington Consensus in Peru. [Online] Tersedia dalam:
https://www.academia.edu/353483/Effects_of_Washington_Consensus_in_Peru_-_brief
[Diakses pada 30 Maret 2018]
Williamson, John. 1990. What Washington Means by Policy Reform. Institute for International
Economics.

Anda mungkin juga menyukai