Lapsus Sjs
Lapsus Sjs
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Sindrom Stevens-Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit,
selaput lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari
ringan sampai berat; kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat
disertai purpura.1
II. SINONIM
Ektodermosis erosif pluriorifisialis, sindroma de Friesingger Rendu,
sindroma mukokutanea-okular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema
multiforme mayor, dermatostomatitis, dan eritema bulosa maligna.1
III. EPIDEMIOLOGI
Insiden SJS dan nekrolisis epidermal toksik (NET) diperkirakan 2-3%
per juta populasi setiap tahun di Eropa dan Amerika Serikat. Umumnya
terdapat pada dewasa. Angka insidensi SJS dan NET diduga mengalami
peningkatan akibat melonjaknya jumlah penyakit tertentu, misalnya AIDS. 1,2
Di RS Cipto Mangunkusumo – Universitas Indonesia setiap tahun
didapatkan kira-kira 12 pasien, umumnya juga terjadi pada dewasa. Hal
tersebut berhubungan dengan kausa SJS yang biasanya disebabkan oleh alergi
obat. Pada dewasa imunitas telah berkembang dan belum menurun seperti
pada usia lanjut. 1
IV. ETIOLOGI
Etiologi yang pasti masih belum diketahui. Salah satu penyebabnya
ialah alergi obat secara sistemik. Sebagian kecil karena infeksi, vaksinasi,
penyakit graft-versus-host, neoplasma, dan radiasi.
Eksposure terhadap obat yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas
merupakan penyebab tersering dari SJS. Pada banyak kasus, allopurinol
merupakan penyebab SJS paling umum di Eropa dan Israel, dimana penderita
mendapatkan dosis harian minimal 200 mg. Pada suatu studi kasus terhadap
pasien SJS di Perancis, Jerman, Itali, dan Portugal didapatkan beberapa obat
yang memiliki resiko SJS lebih tinggi dibanding obat lain bila digunakan dalam
periode singkat, secara berurutan dari yang paling beresiko yakni trimetoprim-
sulfamethoxazole dan antibiotik golongan sulfonamid, aminopenicillin,
cephalosporin, quinolon, dan chlormezanone. Sedangkan untuk obat yang
dikonsumsi dalam jangka panjang adalah carbamazepin, fenitoin, fenobarbital,
asam valproat, NSAID golongan oxicam, alopurinol, dan kortikosteroid.
Namun meski obat-obatan di atas tergolong sebagai resiko tinggi dibanding
obat lain, kasus yang terjadi hanya 5 kasus atau kurang dari satu juta pengguna
obat-obatan tersebut setiap minggunya.
Resiko tertinggi induksi SJS terjadi pada 2 bulan pertama penggunaan
obat-obatan tersebut, seperti yang dibuktikan oleh Mockenhaupt et al pada
penelitiannya, menunjukkan bahwa hampir seluruh kasus SJS dan NET terjadi
dalam kurun waktu 63 hari. Dalam penelitian lain ditunjukkan bahwa
penggunaan glukokortikosteroid jangka panjang untuk beragam penyakit tidak
merubah insidensi SJS dan NET, akan tetapi glukokortikoid dapat
memperpanjang interval waktu dari intake obat hingga muncul onset SJS/NET.
Selain itu penyebab bisa berupa infeksi baik infeksi karena virus
(HSV, AIDS, infeksi virus coxsackie, influenza, hepatitis, mumps, LGV,
ricketsia, variola, virus Epstein-Barr, enterovirus), bakteri (streptokokus grup
A, difteri, brucellosis, mikobakteri, mycoplasma pneumoniae, tularemia,
tifoid), jamur (Koksidioidomikosis, dermatofitosis, histoplasmosis), maupun
protozoa (malaria, trikomoniasis). Angka kejadian SJS pada penderita AIDS
dapat mencapai 1000 kali lipat kejadian pada penderita tanpa AIDS. Pada
AIDS, hanya 10 dari 50 pasien yang dapat ditentukan diakibatkan oleh obat,
sementara sisanya masih belum diketahui. Pada beberapa sumber disebutkan
infeksi Mycoplasma pneumoniae dapat menyebabkan terjadinya SJS atau
TEN tanpa disertai paparan obat. Selain itu disebutkan juga bahwa HSV
(Herpes Simplex Virus) dapat menyebabkan SJS utamanya pada anak-anak. 2
Penyebab yang lain adalah paska vaksinasi, radiasi, neoplasma,
kehamilan dan makanan.1, 2
1. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula
kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat
terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
3. Kelainan mata
Kelainan mata terjadi pada 80% kasus, yang tersering adalah
konjungtivitis kataralis. Selain itu dapat berupa konjungtivitis purulen,
perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan iridosiklitis.
Gambar 1.3 Makula eritematous di regio facialis disertai konjungtiva
hiperemi pada mata. (www.goodhealthhub.com)
VII. DIAGNOSA
Diagnosa pasti ditegakkan dengan didapatkannya kumpulan gejala-
gejala khas (trias kelainan : kulit, mukosa sekitar orifisium, dan mata) yang
bersifat akut.1
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas, jika terdapat leukositosis
penyebabnya kemungkinan karena infeksi bakterial. Apabila terdapat
eosinofilia kemungkinan karena alergi. Jika disangka penyebabnya karena
infeksi dapat dilakukan kultur darah. Adanya leukositosis tinggi dapat
menunjukkan sepsis pada penderita sehingga diperlukan intervensi antibiotik
yang tepat dan radikal.
Pada pemeriksaan histopatologik, didapatkan gambaran bervariasi dari
perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh.
Kelainan berupa: 1
1. Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis
superfisial.
2. Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar.
3. Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel
subepidermal.
4. Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa.
5. Spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
Diagnosis SJS tidak sulit karena gambaran klinisnya khas yakni terdapat trias
kelainan seperti yang telah disebutkan. Karena NET dianggap sebagai bentuk parah
dari SJS, maka hendaknya dicari apakah terdapat epidermolisis. Umumnya pasien
berbaring, sehingga dapat diperiksa punggungnya. Apabila terdapat epidermolisis
generalisata maka diagnosisnya menjadi NET. Pada NET keadaan umum penderita
juga lebih buruk dibanding pada SJS. 1
Perbandingan SJS dan NET dapat dilihat pada tabel 1.1 dan Gambar 1.4.
Tabel 1.1 Gejala klinis yang membedakan SJS, SJS-NET overlap, dan NET. 2
Gambar 1.4 Gambar skematis yang melukiskan epidermolisis pada SJS, SJS-NET
overlap, dan NET 2
Diagnosis banding lain dari SJS antara lain adalah Pemfigus Vulgaris, yang
merupakan penyakit autoimun berbula kronis dengan gambaran bula dan krusta yang
juga menyerang mukosa. Pada umumnya kondisi penderita buruk bila terserang
penyakit ini. 1
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS) juga merupakan diagnosis
banding dari SJS. Dulu penyakit ini dimasukkan ke dalam NET (Nekrolisis
Epidermal Toksik) karena gambaran bula dan epidermolisis yang mirip, akan tetapi
setelah diketahui penyebabnya adalah Staphylococcus dan sindrom ini tidak
menyerang mukosa, SSSS dikeluarkan dari klasifikasi NET. Penyakit ini umumnya
menyerang anak usia kurang dari 5 tahun karena belum matangnya fungsi ekskresi
ginjal untuk mengeluarkan eksotosin dari Staphylococcus. 1
Eritema multiformis dapat menjadi salah satu diagnosis banding dari SJS,
akan tetapi epidermolisis pada EM hanya terjadi kurang dari 1%, tidak ada
keterlibatan mukosa, tempat predileksinya pada akral, dan kondisi umum pasien
baik. 1
IX. PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan pada penderita SJS adalah menghentikan pemberian
obat yang disangka sebagai kausanya, termasuk jamu dan zat-zat aditif lainnya. Jika
keadaan umum pasien SJS baik dan lesi tidak menyeluruh, cukup diobati dengan
prednison 30-40 mg sehari. Kalau keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh
harus diobati secara tepat dan cepat, dan pasien harus dirawat-inap. Penggunaan obat
kortikosteroid merupakan tindakan life-saving, dapat digunakan deksametason secara
intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Pada umumnya masa krisis
dapat diatasi dalam beberapa hari. 1
Contoh pemberian kortikosteroid sebagai berikut, bila seorang pasien SJS
menderita keluhan yang sangat berat harus segera dirawat-inap dan diberikan
deksametason 6 x 5 mg iv. Biasanya setelah beberapa hari (2-3 hari), masa krisis
telah terlewati, keadaan membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama
tampak mengalami involusi. Setelah kondisi membaik, dosisnya segera diturunkan,
setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis akhir mencapai 5 mg sehari, dapat diganti
tablet kortikosteroid (prednison) dengan dosis 20 mg sehari, besoknya diturunkan
lagi menjadi 10 mg sehari, baru kemudian penggunaan obat dihentikan. Dengan cara
ini lama pengobatan pasien SJS umumnya membutuhkan waktu kira-kira 10 hari. 1
X. KOMPLIKASI
Komplikasi yang tersering adalah bronkopneumonia. Komplikasi
yang lain adalah kehilangan cairan/darah, gangguan keseimbangan elektrolit,
dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan. Bila terjadi infeksi dapat
menyebabkan sepsis. 1
XI. PROGNOSA
Bila ditangani secara cepat dan tepat prognosis cukup memuaskan.
Pada keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia penyakit ini
dapat menyebabkan kematian.1
Dapat digunakan nilai SCORTEN untuk menggambarkan prognosa
sindrom ini sehingga dapat diperkirakan besarnya resiko kematian.
SCORTEN
SCORTEN Prediksi mortalitas
Individual Score (jumlah individual
Parameter (%)
score)
Usia > 40 tahun Yes = 1, No = 0 0-1 3.2
Malignansi Yes = 1, No = 0 2 12.1
Takikardia Yes = 1, No = 0 3 35.8
(>120/min)
Epidermolisis Yes = 1, No = 0 4 58.3
>10%
Serum urea >10 Yes = 1, No = 0 >5 90
mmol/l
Serum glukosa >14 Yes = 1, No = 0
mmol/l
bicarbonate >20 Yes = 1, No = 0
mmol/l
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Y
Umur : 45 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status Menikah : Menikah
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Suku Bangsa : Jawa
Alamat : Jember
II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Badan melepuh, perih di dalam mulut seperti sariawan.
Status Lokalis
Didapatkan makula hiperpigmentasi disertai bula pada regio thorakalis. Terdapat
bula disertai erosi dan krusta di regio cruris dextra et sinistra dan regio
antebrachii dextra et sinistra.
Pada regio labialis didapatkan edema dan eritema, disertai ulserasi pada mukosa
buccal sinistra dan nasal. Konjungtivitis juga tampak pada mata
IV. RESUME
Seorang pria, 45 tahun datang dengan keluhan seluruh badan melepuh, rasa
perih terbakar di dalam mulut. Enam hari sebelum MRS penderita cabut gigi dan
diberi obat penghilang rasa sakit. Pasien meminum obat tersebut sepulang dari
RS setelah merasa nyeri pada giginya. Akan tetapi keesokan harinya penderita
merasa gatal-gatal di seluruh tubuh, demam, dan merasa tidak enak badan
(nggreges). Dua hari sebelum MRS seluruh kulit penderita melepuh (timbul
gelembung berisi cairan) secara bersamaan. Mata penderita terasa pedih dan
panas, serta mulut terasa perih seperti terbakar dan sulit menelan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dalam batas normal, status
lokalis didapatkan makula hiperpigmentasi disertai bula pada regio thorakalis.
Terdapat bula disertai erosi dan krusta di regio cruris dextra et sinistra dan regio
antebrachii dextra et sinistra. Pada regio labialis didapatkan edema dan eritema,
disertai ulserasi pada mukosa buccal sinistra dan nasal. Konjungtivitis juga
tampak pada mata.
V. DIAGNOSIS KERJA
Sindrom Stevens-Johnson
VII. PENATALAKSANAAN
Umum :
a. Menghentikan konsumsi obat yang diduga kausa SJS
b. Penggantian cairan tubuh yang hilang
c. Nutrisi yang mendukung dan adekuat
d. Rawat luka
Medikamentosa :
a. Sistemik
Kortikosteroid: Deksametason intravena dengan dosis permulaan 6 x 5 mg
sehari selama 3 hari. Hari ke-4 dosis diturunkan menjadi 5 x 5 mg, hari ke-5
menjadi 4 x 5 mg, hingga hari ke-8 obat diganti menjadi prednison oral 20
mg/hari. Tappering off dilakukan hingga akhir minggu ke-2. Minggu ke-3
kondisi pasien sudah membaik sehingga pemberian kortikosteroid dapat
dihentikan dan pasien KRS.
Pasien juga diberikan antibiotika sebagai profilaksis, yaitu Gentamisin 2x80
mg selama 7 hari
b. Terapi topikal
Untuk lesi di mulut diberikan kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang
erosif diberikan sofratulle.
Lain-lain :
Konsul dokter spesialis mata dan THT
VIII. PROGNOSIS
Dubia
DAFTAR PUSTAKA