Anda di halaman 1dari 20

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Sindrom Stevens-Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit,
selaput lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari
ringan sampai berat; kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat
disertai purpura.1

II. SINONIM
Ektodermosis erosif pluriorifisialis, sindroma de Friesingger Rendu,
sindroma mukokutanea-okular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema
multiforme mayor, dermatostomatitis, dan eritema bulosa maligna.1

III. EPIDEMIOLOGI
Insiden SJS dan nekrolisis epidermal toksik (NET) diperkirakan 2-3%
per juta populasi setiap tahun di Eropa dan Amerika Serikat. Umumnya
terdapat pada dewasa. Angka insidensi SJS dan NET diduga mengalami
peningkatan akibat melonjaknya jumlah penyakit tertentu, misalnya AIDS. 1,2
Di RS Cipto Mangunkusumo – Universitas Indonesia setiap tahun
didapatkan kira-kira 12 pasien, umumnya juga terjadi pada dewasa. Hal
tersebut berhubungan dengan kausa SJS yang biasanya disebabkan oleh alergi
obat. Pada dewasa imunitas telah berkembang dan belum menurun seperti
pada usia lanjut. 1
IV. ETIOLOGI
Etiologi yang pasti masih belum diketahui. Salah satu penyebabnya
ialah alergi obat secara sistemik. Sebagian kecil karena infeksi, vaksinasi,
penyakit graft-versus-host, neoplasma, dan radiasi.
Eksposure terhadap obat yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas
merupakan penyebab tersering dari SJS. Pada banyak kasus, allopurinol
merupakan penyebab SJS paling umum di Eropa dan Israel, dimana penderita
mendapatkan dosis harian minimal 200 mg. Pada suatu studi kasus terhadap
pasien SJS di Perancis, Jerman, Itali, dan Portugal didapatkan beberapa obat
yang memiliki resiko SJS lebih tinggi dibanding obat lain bila digunakan dalam
periode singkat, secara berurutan dari yang paling beresiko yakni trimetoprim-
sulfamethoxazole dan antibiotik golongan sulfonamid, aminopenicillin,
cephalosporin, quinolon, dan chlormezanone. Sedangkan untuk obat yang
dikonsumsi dalam jangka panjang adalah carbamazepin, fenitoin, fenobarbital,
asam valproat, NSAID golongan oxicam, alopurinol, dan kortikosteroid.
Namun meski obat-obatan di atas tergolong sebagai resiko tinggi dibanding
obat lain, kasus yang terjadi hanya 5 kasus atau kurang dari satu juta pengguna
obat-obatan tersebut setiap minggunya.
Resiko tertinggi induksi SJS terjadi pada 2 bulan pertama penggunaan
obat-obatan tersebut, seperti yang dibuktikan oleh Mockenhaupt et al pada
penelitiannya, menunjukkan bahwa hampir seluruh kasus SJS dan NET terjadi
dalam kurun waktu 63 hari. Dalam penelitian lain ditunjukkan bahwa
penggunaan glukokortikosteroid jangka panjang untuk beragam penyakit tidak
merubah insidensi SJS dan NET, akan tetapi glukokortikoid dapat
memperpanjang interval waktu dari intake obat hingga muncul onset SJS/NET.
Selain itu penyebab bisa berupa infeksi baik infeksi karena virus
(HSV, AIDS, infeksi virus coxsackie, influenza, hepatitis, mumps, LGV,
ricketsia, variola, virus Epstein-Barr, enterovirus), bakteri (streptokokus grup
A, difteri, brucellosis, mikobakteri, mycoplasma pneumoniae, tularemia,
tifoid), jamur (Koksidioidomikosis, dermatofitosis, histoplasmosis), maupun
protozoa (malaria, trikomoniasis). Angka kejadian SJS pada penderita AIDS
dapat mencapai 1000 kali lipat kejadian pada penderita tanpa AIDS. Pada
AIDS, hanya 10 dari 50 pasien yang dapat ditentukan diakibatkan oleh obat,
sementara sisanya masih belum diketahui. Pada beberapa sumber disebutkan
infeksi Mycoplasma pneumoniae dapat menyebabkan terjadinya SJS atau
TEN tanpa disertai paparan obat. Selain itu disebutkan juga bahwa HSV
(Herpes Simplex Virus) dapat menyebabkan SJS utamanya pada anak-anak. 2
Penyebab yang lain adalah paska vaksinasi, radiasi, neoplasma,
kehamilan dan makanan.1, 2

V. PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESA


Sindrom stevens-johnson merupakan gangguan hipersensitivitas yang
diperantarai komplek imun dan menunjukkan gejala eritema multiforme yang
parah. Beberapa teori diajukan untuk memudahkan penanganan, akan tetapi
tidak ada yang dapat menjelaskan patofisiologi dan patogenesis sindrom ini
secara memuaskan.1,2,3,4

1. Teori hipersensitivitas III dan IV


Diduga sindrom ini diakibatkan adanya reaksi alergi tipe III dan IV.
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi
yang membentuk mikro-presipitasi sehingga terjadi aktivasi system
komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian
melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ
sasaran. Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersensitisasi
berkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian limfokin
dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.3

2. Teori apoptosis dari keratinosit


Apoptosis dari keratinosit adalah kejadian yang sangat jarang pada
epidermis normal, namun pada sindrom stevens-johnson kejadian ini
sangat meningkat. Patogenesis dari SJS belum dapat dijelaskan
sepenuhnya, akan tetapi hingga kini dipercaya penyakit ini merupakan
penyakit akibat sistem imun, karena terbukti paparan ulang individu
tertentu dengan obat yang sama dapat menginduksi rekurensi terjadinya
SJS ataupun TEN.
Histopatologi dari lesi pada SJS menunjukkan bahwa terjadi proses
apoptosis yang diikuti oleh nekrosis pada bagian yang mengalami
epidermolisis. Penemuan klinis, histopatologis dan imunologi
memperlihatkan suatu reaksi hipersensitivitas terhadap obat spesifik
dimana sel limfosit T sitotoksik (CTL/cytotoxic T lymphocytes)
memainkan peranan penting di fase inisiasi. Hal ini dibuktikan dengan
adanya sel limfosit T CD8+ di dalam cairan bula pada fase awal SJS. Sel-
sel ini mengekspresikan antigen leukosit kutaneus (CLA/cutaneus
leukocyte antigen) sehingga menyebabkan muncul gambaran lesi khas
pada kulit. Infiltrasi sel-sel imun termasuk CTL pada kulit pasien dengan
SJS maupun NET menuntun dilakukannya penelitian untuk mencari
protein sitotoksik atau sitokin yang berfungsi sebagai amplifier proses
apoptosis keratinosit. Hingga saat ini, hasil penelitian menunjukkan bukti
adanya suatu molekul sitotoksik yang disebut FasL yang bertanggung
jawab atas terjadinya proses apoptosis keratinosit difus pada SJS dan
NET. Efek FasL sebagai molekul penginduksi terjadinya kematian sel
keratinosit ini diperkuat lebih jauh oleh interferon gamma, suatu sitokin
yang didapatkan pada kulit penderita SJS dan NET. Cara kerja FasL
dalam menyebabkan SJS masih belum dimengerti, akan tetapi jelas
didapatkan bahwa kadar FasL meningkat seiring dengan meningkatnya
presentase epidermolisis yang terjadi pada pasien SJS. Analisis genetik
pada cairan bula juga mengidentifikasi granulisin, suatu protein sitolitik
kation yang disekresi oleh CTL dan sel NK sebagai molekul kunci yang
bertanggung jawab terhadap induksi kematian pada keratinosit. Pada
suatu penelitian didapatkan gambaran menyerupai SJS dan NET pada
tikus yang disuntik dengan rekombinan granulisin secara intradermal.
Tinggi rendahnya kadar granulisin ini juga menentukan seberapa luas dan
parahnya bula yang terbentuk, mengindikasikan pentingnya peran
granulisin dalam patofisiologi SJS dan NET.
Akan tetapi hingga saat ini masih tidak dapat dipahami sepenuhnya apa
yang menyebabkan meningkatnya regulasi FasL pada keratinosit, dan
bagaimana sistem imun termasuk sel T yang ditemukan di dalam cairan
bula terlibat di dalam proses regulasi penyakit ini. FasL dan granulisin
hingga kini dipercaya merupakan mediator utama yang menyebabkan
terjadinya SJS dan NET, namun masih diteliti bagaimana suatu obat
spesifik dapat menyebabkan terjadinya regulasi kedua molekul tersebut
dan menyebabkan reaksi SJS maupun NET. 2

3. Teori cacat metabolisme terkait dengan genetik


Pasien dengan fungsi metabolisme lintas pertama yang tidak sempurna
akibat adanya defek genetik yang mendasari, mempunyai kinerja
biotransformasi metabolisme yang tidak sempurna sehingga mungkin
menghasilkan metabolit yang bersifat toksik. Ketidakmampuan tubuh
untuk memetabolisme dan mengekskresi bahan toksik dari obat juga
menyebabkan terbentuknya hapten yang menginduksi reaksi
hipersensitivitas pada SJS. 4

VI. GEJALA KLINIS


Keadaan umum pasien SJS bervariasi dari ringan sampai berat. Pada
yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma.
Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi,
malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini dikenal adanya trias kelainan berupa :1

1. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula
kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat
terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.

Gambar 1.1 tampak eritema multipel di seluruh tubuh. (www.goodhealthhub.com)


2. Kelainan selaput lendir di orifisium
Tersering pada mukosa mulut, kemudian disusul oleh kelainan di lubang
alat genital, sedangkan di lubang hidung dan anus jarang.
Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi
erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dapat berbentuk
pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta
berwarna hitam yang tebal.

Gambar 1.2 Ekskoriasi dan krusta pada bibir (www.goodhealthhub.com)

Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius


bagian atas, dan esofagus. Stomatitis dapat menyebabkan pasien sukar
atau tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat
menyebabkan keluhan sukar bernapas.

3. Kelainan mata
Kelainan mata terjadi pada 80% kasus, yang tersering adalah
konjungtivitis kataralis. Selain itu dapat berupa konjungtivitis purulen,
perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan iridosiklitis.
Gambar 1.3 Makula eritematous di regio facialis disertai konjungtiva
hiperemi pada mata. (www.goodhealthhub.com)

Berdasarkan tahapan terjadinya gejala, sindroma steven johnson dapat dibagi


menjadi 2 fase: 2
1. Fase Akut
Gejala inisial dari SJS maupun NET umumnya tidak spesifik dan dapat
meliputi gejala prodromal seperti demam, mata nyeri, dan rasa tidak nyaman
saat menelan. Gejala-gejala ini muncul beberapa hari sebelum gejala pada
kulit muncul. Gejala di kulit muncul pertama kali pada regio presternal dan
wajah, dilanjutkan pada telapak tangan dan kaki. Munculnya eritema dan
erosi pada regio buccal, genital, dan okular terjadi pada lebih dari 90%
pasien, dan pada beberapa kasus juga melibatkan traktus respiratorius dan
gastrointestinal.
Keterlibatan mata dapat berupa konjungtivitis, edema palpebra, eritema,
okular discharge, dan erosi kornea maupun terbentuknya pseudomembran
pada konjungtiva. Akan tetapi tingkat keparahan lesi pada mata ini tidak
menentukan prognosis dan komplikasi akhir dari SJS.
Lesi kulit yang muncul pada fase pertama berupa eritema dan makula. Pada
fase kedua akan terjadi epidermal detachment yang menyebabkan tampak
gambaran kulit terkelupas. Apabila gambaran epidermal detachment ini luas
(>30%) maka diagnosisnya menjadi NET. Nikolsky sign dapat positif baik
pada SJS maupun NET, tapi merupakan tes yang tidak spesifik untuk
diagnosis. Luasnya lesi pada kulit ini merupakan penentu prognosis dari
penyakit ini.

2. Fase Akhir dan Sekuele


Sekuele merupakan tanda dari fase akhir SJS maupun NET. Berdasarkan studi
yang dilakukan oleh Magina et al, gejala sekuele meliputi hiper atau
hipopigmentasi kulit (62.5%), distrofi kuku (37.5%), dan komplikasi okular
antara lain mata kering, trichiasis, symblefaron, hingga kehilangan
penglihatan permanen.

VII. DIAGNOSA
Diagnosa pasti ditegakkan dengan didapatkannya kumpulan gejala-
gejala khas (trias kelainan : kulit, mukosa sekitar orifisium, dan mata) yang
bersifat akut.1
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas, jika terdapat leukositosis
penyebabnya kemungkinan karena infeksi bakterial. Apabila terdapat
eosinofilia kemungkinan karena alergi. Jika disangka penyebabnya karena
infeksi dapat dilakukan kultur darah. Adanya leukositosis tinggi dapat
menunjukkan sepsis pada penderita sehingga diperlukan intervensi antibiotik
yang tepat dan radikal.
Pada pemeriksaan histopatologik, didapatkan gambaran bervariasi dari
perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh.
Kelainan berupa: 1
1. Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis
superfisial.
2. Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar.
3. Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel
subepidermal.
4. Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa.
5. Spongiosis dan edema intrasel di epidermis.

VIII. DIAGNOSA BANDING

Diagnosis SJS tidak sulit karena gambaran klinisnya khas yakni terdapat trias
kelainan seperti yang telah disebutkan. Karena NET dianggap sebagai bentuk parah
dari SJS, maka hendaknya dicari apakah terdapat epidermolisis. Umumnya pasien
berbaring, sehingga dapat diperiksa punggungnya. Apabila terdapat epidermolisis
generalisata maka diagnosisnya menjadi NET. Pada NET keadaan umum penderita
juga lebih buruk dibanding pada SJS. 1
Perbandingan SJS dan NET dapat dilihat pada tabel 1.1 dan Gambar 1.4.

Gambaran Klinis SJS SJS-NET Overlap NET


Lesi primer Makula eritematous Makula eritematous Plak eritematous
Sel target atipik Sel target atipik berbatas tidak jelas
Sel target atipik
Distribusi Lesi fokal Lesi fokal Lesi fokal jarang
Konfluensi (+) pada Konfluensi (++) Konfluensi (+++)
wajah dan badan pada wajah dan pada wajah, badan,
badan dan di tempat lain
Keterlibatan + + +
mukosa
Gejala sistemik ± + ++
Epidermolisis <10% 10%-30% >30%
(body surface area)

Tabel 1.1 Gejala klinis yang membedakan SJS, SJS-NET overlap, dan NET. 2
Gambar 1.4 Gambar skematis yang melukiskan epidermolisis pada SJS, SJS-NET
overlap, dan NET 2

Diagnosis banding lain dari SJS antara lain adalah Pemfigus Vulgaris, yang
merupakan penyakit autoimun berbula kronis dengan gambaran bula dan krusta yang
juga menyerang mukosa. Pada umumnya kondisi penderita buruk bila terserang
penyakit ini. 1
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS) juga merupakan diagnosis
banding dari SJS. Dulu penyakit ini dimasukkan ke dalam NET (Nekrolisis
Epidermal Toksik) karena gambaran bula dan epidermolisis yang mirip, akan tetapi
setelah diketahui penyebabnya adalah Staphylococcus dan sindrom ini tidak
menyerang mukosa, SSSS dikeluarkan dari klasifikasi NET. Penyakit ini umumnya
menyerang anak usia kurang dari 5 tahun karena belum matangnya fungsi ekskresi
ginjal untuk mengeluarkan eksotosin dari Staphylococcus. 1
Eritema multiformis dapat menjadi salah satu diagnosis banding dari SJS,
akan tetapi epidermolisis pada EM hanya terjadi kurang dari 1%, tidak ada
keterlibatan mukosa, tempat predileksinya pada akral, dan kondisi umum pasien
baik. 1

IX. PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan pada penderita SJS adalah menghentikan pemberian
obat yang disangka sebagai kausanya, termasuk jamu dan zat-zat aditif lainnya. Jika
keadaan umum pasien SJS baik dan lesi tidak menyeluruh, cukup diobati dengan
prednison 30-40 mg sehari. Kalau keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh
harus diobati secara tepat dan cepat, dan pasien harus dirawat-inap. Penggunaan obat
kortikosteroid merupakan tindakan life-saving, dapat digunakan deksametason secara
intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Pada umumnya masa krisis
dapat diatasi dalam beberapa hari. 1
Contoh pemberian kortikosteroid sebagai berikut, bila seorang pasien SJS
menderita keluhan yang sangat berat harus segera dirawat-inap dan diberikan
deksametason 6 x 5 mg iv. Biasanya setelah beberapa hari (2-3 hari), masa krisis
telah terlewati, keadaan membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama
tampak mengalami involusi. Setelah kondisi membaik, dosisnya segera diturunkan,
setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis akhir mencapai 5 mg sehari, dapat diganti
tablet kortikosteroid (prednison) dengan dosis 20 mg sehari, besoknya diturunkan
lagi menjadi 10 mg sehari, baru kemudian penggunaan obat dihentikan. Dengan cara
ini lama pengobatan pasien SJS umumnya membutuhkan waktu kira-kira 10 hari. 1

Nama obat Prednison (Deltasone)


Cara Kerja Menurunkan inflamasi dengan melawan
peningkatan permeabilitas kapiler dan menghambat
aktivitas PMN
Dosis Dewasa 5-60 mg/hari peroral dibagi dalam 2/4 dosis di
tapering off selama 2 minggu begitu gejala
membaik
Dosis Anak-anak 0,05-2 mg/kgBB peroral peroral dibagi dalam 2/4
dosis di tapering off selama 2 minggu begitu gejala
membaik
Tabel 1.2 Obat Kortikosteroid

Selain deksametason dapat digunakan metilprednisolon dengan dosis setara.


Kelebihan obat ini ialah efek sampingnya lebih sedikit dibandingkan dengan
deksametason karena termasuk long acting, sedangan deksametason termasuk
medium acting.
Bila tappering off yang dilakukan tidak menghasilkan perbaikan kondisi pada
pasien, dapat dipikirkan faktor lain, seperti penggunaan antibiotik yang sedang
diberikan mungkin dapat menyebabkan alergi baru, atau penyebab SJS pada pasien
tersebut adalah akibat infeksi atau penyebab lain.
Pemberian kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan penurunan
imunitas, sehingga pemberian antibiotik profilaksis untuk mencegah infeksi harus
diberikan. Antibiotik yang dipilih harus yang jarang menyebabkan alergi secara
empiris, berspektrum luas, bersifat bakterisidal, dan sedikit atau tidak bersifat
nefrotoksik. Obat yang dapat dipilih misalnya ciprofloxacin 2 x 400 mg iv,
klindamisin 2 x 600 mg iv, atau seftriakson 2 g iv sehari sekali. Untuk mengurangi
efek samping kortikosteroid diberikan diet rendah garam dan tinggi protein.1
Dari beberapa studi diketahui pemberian Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
dengan dosis lebih dari 2 g/kgBB dapat meningkatkan angka harapan hidup
penderita. Setiap peningkatan dosis 1 g/kgBB dapat meningkatkan angka harapan
hidup 4.2 kali lipat lebih banyak sehingga pemberian IVIG dapat dipertimbangkan.2
Selain penatalaksanaan reaksi alergi dengan kortikosteroid, prinsip
pengelolaan penderita sindrom stevens-johnson adalah : 1
1. Penggantian cairan tubuh yang hilang; dapat diberikan Dekstrose
5% : NaCl 0,9% : RL = 1 : 1 : 1, diberikan setiap 8 jam sekali. Bila dalam
2 hari belum ada perbaikan, dapat diberi transfusi darah sebanyak 300 cc
selama 2 hari berturut-turut.
2. Nutrisi yang mendukung dan adekuat; pemberian kortikosteroid
bersifat katabolik sehingga pemberian nutrisi yang adekuat membantu
proses penyembuhan dari pasien SJS. Pada kasus dengan purpura luas
dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg sehari iv.
3. Rawat luka; meski terapi topikal tidak sepenting terapi sistemik,
pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat diberikan krim sulfodiazin-perak.
Untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase dan betadine
gargle. Untuk bibir yang biasanya kelainannya berupa krusta tebal
kehitaman dapat diberikan emolien misalnya krim urea 10%.
Debridement tidak dilakukan pada hampir seluruh kasus karena epidermis
yang mati dapat berfungsi sebagai barrier infeksi dan sebagai jaringan
untuk regenerasi. 4

X. KOMPLIKASI
Komplikasi yang tersering adalah bronkopneumonia. Komplikasi
yang lain adalah kehilangan cairan/darah, gangguan keseimbangan elektrolit,
dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan. Bila terjadi infeksi dapat
menyebabkan sepsis. 1

XI. PROGNOSA
Bila ditangani secara cepat dan tepat prognosis cukup memuaskan.
Pada keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia penyakit ini
dapat menyebabkan kematian.1
Dapat digunakan nilai SCORTEN untuk menggambarkan prognosa
sindrom ini sehingga dapat diperkirakan besarnya resiko kematian.

SCORTEN
SCORTEN Prediksi mortalitas
Individual Score (jumlah individual
Parameter (%)
score)
Usia > 40 tahun Yes = 1, No = 0 0-1 3.2
Malignansi Yes = 1, No = 0 2 12.1
Takikardia Yes = 1, No = 0 3 35.8
(>120/min)
Epidermolisis Yes = 1, No = 0 4 58.3
>10%
Serum urea >10 Yes = 1, No = 0 >5 90
mmol/l
Serum glukosa >14 Yes = 1, No = 0
mmol/l
bicarbonate >20 Yes = 1, No = 0
mmol/l

Tabel 1.3 SCORTEN Parameter untuk menentukan prognosis dan mortalitas. 2


BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Y
Umur : 45 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status Menikah : Menikah
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Suku Bangsa : Jawa
Alamat : Jember

II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Badan melepuh, perih di dalam mulut seperti sariawan.

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Enam hari sebelum pasien MRS, pasien sempat mengunjungi RS untuk
melakukan cabut gigi. Pasien diberi obat penghilang rasa sakit dan rawat
jalan setelah giginya dicabut. Setelah itu pasien tidak mengeluhkan apa-apa
hingga 5 hari kemudian terasa panas terbakar di dalam mulut disertai kulit
melepuh, utamanya di tangan, kaki, dan dada. Pasien tidak mengeluh sesak
napas namun merasa kesulitan dalam menelan. Pasien mengeluh merasa
lemas dan sedikit demam sejak 2 hari SMRS. Pasien mengaku tidak memiliki
riwayat alergi baik terhadap makanan maupun obat sebelumnya.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.
4. Riwayat Pemakaian Obat
Natrium diklofenak.

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada yang menderita sakit yang sama.

III. . PEMERIKSAAN FISIK


Status General
1. Keadaan umum : Lemah
2. Kesadaran : composmentis
3. Kepala/leher : Mata terdapat konjungtivitis , bibir edema, mukosa
mulut (R. Buccal sinistra) terdapat ulserasi kemerahan
dengan dasar bersih, berukuran 5 mm, ulserasi 2 mm
terdapat di mukosa nasal.
4. Thorak :
Jantung : Dalam batas normal
Paru-paru : Dalam batas normal
5. Abdomen : Dalam batas normal
6. Ekstremitas : AH +/+ Oe -/-
7. Genetalia : Dalam batas normal

Status Lokalis
Didapatkan makula hiperpigmentasi disertai bula pada regio thorakalis. Terdapat
bula disertai erosi dan krusta di regio cruris dextra et sinistra dan regio
antebrachii dextra et sinistra.
Pada regio labialis didapatkan edema dan eritema, disertai ulserasi pada mukosa
buccal sinistra dan nasal. Konjungtivitis juga tampak pada mata
IV. RESUME
Seorang pria, 45 tahun datang dengan keluhan seluruh badan melepuh, rasa
perih terbakar di dalam mulut. Enam hari sebelum MRS penderita cabut gigi dan
diberi obat penghilang rasa sakit. Pasien meminum obat tersebut sepulang dari
RS setelah merasa nyeri pada giginya. Akan tetapi keesokan harinya penderita
merasa gatal-gatal di seluruh tubuh, demam, dan merasa tidak enak badan
(nggreges). Dua hari sebelum MRS seluruh kulit penderita melepuh (timbul
gelembung berisi cairan) secara bersamaan. Mata penderita terasa pedih dan
panas, serta mulut terasa perih seperti terbakar dan sulit menelan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dalam batas normal, status
lokalis didapatkan makula hiperpigmentasi disertai bula pada regio thorakalis.
Terdapat bula disertai erosi dan krusta di regio cruris dextra et sinistra dan regio
antebrachii dextra et sinistra. Pada regio labialis didapatkan edema dan eritema,
disertai ulserasi pada mukosa buccal sinistra dan nasal. Konjungtivitis juga
tampak pada mata.

V. DIAGNOSIS KERJA
Sindrom Stevens-Johnson

VI. DIAGNOSA BANDING


NET, Pemfigus Vulgaris

VII. PENATALAKSANAAN
Umum :
a. Menghentikan konsumsi obat yang diduga kausa SJS
b. Penggantian cairan tubuh yang hilang
c. Nutrisi yang mendukung dan adekuat
d. Rawat luka
Medikamentosa :
a. Sistemik
Kortikosteroid: Deksametason intravena dengan dosis permulaan 6 x 5 mg
sehari selama 3 hari. Hari ke-4 dosis diturunkan menjadi 5 x 5 mg, hari ke-5
menjadi 4 x 5 mg, hingga hari ke-8 obat diganti menjadi prednison oral 20
mg/hari. Tappering off dilakukan hingga akhir minggu ke-2. Minggu ke-3
kondisi pasien sudah membaik sehingga pemberian kortikosteroid dapat
dihentikan dan pasien KRS.
Pasien juga diberikan antibiotika sebagai profilaksis, yaitu Gentamisin 2x80
mg selama 7 hari

b. Terapi topikal
Untuk lesi di mulut diberikan kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang
erosif diberikan sofratulle.

Lain-lain :
Konsul dokter spesialis mata dan THT

VIII. PROGNOSIS
Dubia
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, A. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : FK UI


2. Harr, T., French, L. 2010. Toxic Epidermal Necrolysis and Steven-Johnson
Syndrome. Orphanet Journal of Rare Disease.Vol 5:39.
3. Harsono, A. 2006. Sindroma Steven Johnson: Diagnosis dan Penatalaksanaan.
Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSU dr. Soetomo
Surabaya.
4. Lehloenya, R. 2007. Management of Steven-Johnson Syndrome and Toxic
Epidermal Necrolysis. Current Alergy and Clinical Immunology. Vol. 20(3):
p.124-128.

Anda mungkin juga menyukai