Anda di halaman 1dari 18

Gatal pada Sela-Sela Jari Kaki

Welhelmina Bendelina Lobo

102015107

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510

Abstrak
Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari dan telapak kaki.
Keadaan lembab dan hangat pada sela jari kaki karena bersepatu dan berkaos kaki disertai daerah
tropis yang lembab mengakibatkan pertumbuhan jamur makin subur. Penyebab utama dari tinea pedis
adalah Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes, dan Epidermophyton floccosum.
Gambaran klinis dari tinea pedis dapat dibedakan berdasarkan tipe: Interdigitalis, Moccasin
foot (plantar), Lesi Vesikobulosa, Tipe Ulseratif. Diagnosis banding dari tinea perdis antara lain
Candidiasis intertriginosa, Intertrigo (Dermatitis Intergenosa).

Kata kunci : Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes, Interdigitalis, Lesi Vesikobulosa

Abstract
Tinea pedis is a dermatophyte infection of the feet, especially on the toes and soles of the feet. When
moist and warm on the toes for shoes and foot wear an undershirt with the humid tropics lead to
fungal growth more fertile. The main cause of tinea pedis are Trichophyton rubrum, Trichophyton
mentagrophytes, and Epidermophyton floccosum. Clinical features of tinea pedis can be distinguished
by type: Interdigitalis, Moccasin foot (plantar), lesions Vesikobulosa, Ulcerative mode. The
differential diagnosis of tinea pedis among others Candidiasis intertriginous, Intertrigo (Dermatitis
Intergenosa).

Keywords: Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes, Interdigitalis, lesions Vesikobulosa

1|Page
Pendahuluan

Skenario seorang perempuan berusia 21 tahun, pekerjaan tukang cuci baju, datang ke

puskesmas dengan keluhan gatal pada sela-sela jari kaki kanan dan kiri, sejak 2 bulan yang

lalu. Pada pemeriksaan dermatologis, tampak fisura-fisura pada sela-sela jari kaki, dan

tampak maserasi.

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya

stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku, yang disebabkan golongan jamur

dermatofita. Dermatofitosis dibagi oleh beberapa penulis, misalnya SIMONS dan GOHAR

(1954), menjadi dermatomikosis, trimikosis, dan onikomikosis berdasarkan bagian tubuh

manusia yang terserang. Pembagian yang lebih praktis dan dianut oleh para spesialis kulit

adalah yang berdasarkan lokasi. Terdapat bentuk-bentuk tinea kapitis, tinea barbae, tinea

kruis, tinea pedis, tinea unguium, tinea korporis.1 Dalam makalah ini akan dibahas tinea

pedis, yang merupakan dermatofitosis pada kaki, terutama pada sela-sela jari dan telapak

kaki.

. Pembahasan

Anamnesis

Anamnesis adalah komunikasi dua arah yang dilakukan dokter dengan pasien atau

dengan keluarga pasien untuk mengetahui keluhan riwayat penyakit pasien sekarang, riwayat

penyakit dahulu dan riwayat penyakit dalam keluarganya. Hal ini penting diketahui agar lebih

membantu untuk menegakkan diagnosa, diagnosa banding, kemudian menentukan terapi

yang terbaik serta meramalkan prognosisnya.

Hal-hal yang penting untuk ditanyakan:

 Identitas pasien seperti nama, umur, jenis kelamin, alamat, suku bangsa, status

pernikahan, agama, dan pekerjaan.

2|Page
 Keluhan

Keluhan utama, yaitu keluhan yang menyebabkan penderita datang berobat. Pada

kasus ini keluhan utama adalah gatal pada sela-sela jari kaki sejak 2 bulan yang lalu.

 Riwayat Penyakit

Kapan gejala timbul dan apakah munculnya mendadak atau bertahap. Karakter, lama,

frekuensi, dan beratnya gejala. Waktu timbulnya gejala seperti pada pagi, siang, atau

malam hari.
Pemeriksaan Fisik
Tinea ini sering diketemukan pruritus dalam berbagai derajat, nyeri, deskuamasi epitel

putih dan sedikit eksudat. Nilai dari pengobatan dan pengenalan ini sebaian terletak pada

pengembalian integritas sawar epitel dan dengan demikian mencegah masuknya bakteri

seperti streptococcus yang dapat menimbulkan selulitis.1,2

Tinea Pedis

Istilah dermatofitosis harus dibedakan dengan dermatomikosis. Dermatofitosis adalah

penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk atau stratum korneum pada lapisan

epidermis di kulit, rambut dan kuku yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita.

Dermatomikosis merupakan arti umum, yaitu semua penyakit jamur yang menyerang kulit.1-3

Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari dan

telapak kaki sedangkan yang terdapat pada bagian dorsal pedis dianggap sebagai

tinea korporis. Keadaan lembab dan hangat pada sela jari kaki karena bersepatu dan berkaos

kaki disertai daerah tropis yang lembab mengakibatkan pertumbuhan jamur makin subur.

Efek ini lebih nyata pada sela jari kaki keempat dan kelima, dan lokasi ini paling sering

terkena. Kenyataaannya, tinea pedis jarang ditemukan pada populasi yang tidak

menggunakan sepatu. Sinonim dari tinea pedis adalah foot ringworm, athlete foot,

foot mycosis.2,3

3|Page
Epidemiologi

Tinea pedis adalah dermatofitosis yang paling umum. Prevalensi pada laki-laki lebih

tinggi dari pada perempuan. Insidens meningkat sesuai dengan meningkatnya usia, dan

umumnya terjadi pasca pubertas. Tinea pedis terdapat di seluruh dunia sebagai dermatofitosis

yang paling sering terjadi. Meningkatnya insidensi tinea pedis mulai pada akhir abad ke-19

sehubungan dengan penyebaran Trichophyton rubrum ke Eropa dan Amerika. Tingkat

prevalensi tinea pedis secara nyata diketahui karena pasien tidak mencari nasihat medis

kecuali kualitas hidup mereka dipengaruhi, karena ini bukan penyakit yang

mengancam jiwa. Diperkirakan 10% dari jumlah penduduk di banyak negara menderita

penyakit ini. Frekuensi tinea pedis di Eropa dan Amerika Utara berkisar 15-30% dan pada

beberapa masyarakat tertentu lebih tinggi, misalnya buruh tambang (sampai 70%) dan atlit.

Tinea pedis lazim ditemukan pada daerah beriklim tropis dan sedang.3

Tinea pedis lebih sering terjadi pada usia dewasa daripada anak remaja terutama pada

laki-laki dan jarang pada perempuan dan anak-anak. Kemungkinan infeksi berkaitan dengan

paparan ulangan dermatofita sehingga orang yang menggunakan fasilitas mandi umum

seperti pancuran, kolam renang, kamar mandi lebih cenderung terinfeksi.3,6

Etiologi

Tinea pedis merupakan salah satu penyakit dermatofitosis yang artinya penyakit pada

jaringan yang mengandung zat tanduk misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut dan

kuku yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita. Berdasarkan sifat morfologi,

dermatofita dikelompokkan dalam 3 genus yaitu Trichophyton, Epidermophyton, dan

Microsporum. Dari ketiga genus tersebut diketahui sekitar 20 spesies penyebab yang tersebar

luas didunia. 4,8

Di Indonesia ada enam spesies sebagai penyebab utama dermatofitosis yaitu T.

mentagrophytes, T.rubrum, M.canis, M.gypseum, T.concentricum, dan E.floccosum.

4|Page
Penyebab utama dari tinea pedis adalah Trichophyton rubrum, Trichophyton

mentagrophytes, dan Epidermophyton floccosum. Hifa T.rubrum halus. Jamur ini membentuk

banyak mikronidia. Mikronidianya kecil, berdinding tipis dan berbentuk lonjong. Mikronidia

ini terletak pada konidiofora yang pendek dan tersusun secara satu per satu pada sisi hifa (en

thyrse). Makronidia T.rubrum berbentuk seperti pensil dan terdiri atas beberapa sel.4,10

Gambar 1. Trichophyton rubrum.8

Pada E.floccosum bentuk hifanya lebar. Makronidianya berbentuk gada, berdinding

tebal dan terdiri atas 2-4 sel. Beberapa makronidia ini tersusun pada satu konidiofora.

Mikronidia biasa tidak ditemukan.10

Gambar 2. E.floccosum8

Pada T.mentagrophytes, mikronidia berbentuk bulat dan jamur ini banyak membentuk

hifa spiral. Makronidianya berbentuk seperti pensil.

5|Page
Gambar 3. T.mentagrophyte8

Patogenesis

Jamur superfisial harus menghadapi beberapa kendala saat menginvasi jaringan keratin.

Jamur harus tahan terhadap efek sinarultraviolet, variasi suhu dan kelembaban, persaingan

dengan flora normal, asam lemak fungistatik dan sphingosines yang diproduksi oleh

keratinosit. Setelah proses adheren, spora harus tumbuh dan menembus stratum korneum

dengan kecepatan lebih cepat daripada proses-proses deskuamasi. Proses penetrasi ini

dilakukan melalui sekresi proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang juga memberikan

nutrisi. Trauma dan maserasi juga membantu terjadinya penetrasi. Mekanisme pertahanan

baru muncul setelah lapisan epidermis yang lebih dalam telah dicapai, termasuk kompetisi

dengan zat besi oleh transferin tidak tersaturasi dan juga penghambatan pertumbuhan jamur

oleh progesteron. Di tingkat ini, derajat peradangan sangat tergantung pada aktivasi sistem

kekebalan tubuh. 5,6

Keadaan basah dan hangat dalam sepatu memainkan peran penting dalam pertumbuhan

jamur. Selain itu hiperhidrosis, akrosianosis dan maserasi sela jari merupakan faktor

predisposisi timbulnya infeksi jamur pada kulit. Sekitar 60-80% dari seluruh penderita

dengan gangguan sirkulasi (arteri dan vena) kronik akibat onikomikosis dan/atau tinea pedis.

Jamur penyebab ada di mana-mana dan sporanya tetap patogenik selama berbulan-bulan

6|Page
di lingkungan sekitar manusia seperti sepatu, kolam renang, gedung olahraga, kamar mandi

dan karpet. 5

Bukti eksperimen menunjukkan bahwa pentingnya faktor maserasi pada infeksi

dermatofita sela jari. Keadaan basah tersebut menunjang pertumbuhan jamur dan merusak

stratum korneum pada saat yang bersamaan. Peningkatan flora bakteri secara serentak

mungkin dan bisa juga memainkan peran. Terdapat bukti tambahan bahwa selama beberapa

episode simtomatik pada tinea pedis kronik, bakteri seperti coryneform bisa berperan sebagai

ko-patogenesis penting, tetapi apakah bakteri tersebut membantu memulai infeksi baru masih

belum diketahui.5,7

Gambaran Klinis

Gambaran klinis dari tinea pedis dapat dibedakan berdasarkan tipe:1

 Interdigitalis

Bentuk ini adalah yang tersering terjadi pada pasien tinea pedis. Di antara jari IV dan

V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis. Kelainan ini dapat meluas ke bawah jari

(subdigital) dan juga ke sela jari yang lain. Oleh karena daerah ini lembab, maka

sering terdapat maserasi. Aspek klinis maserasi berupa kulit putih dan rapuh. Bila bagian

kulit yang mati ini dibersihkan, maka akan terlihat kulit baru, yang pada umumnya juga telah

diserang oleh jamur. Jika perspirasi berlebihan (memakai sepatu karet/boot, mobil yang

terlalu panas) maka inflamasi akut akan terjadi sehingga pasien terasa sangat gatal. Bentuk

klinis ini dapat berlangsung bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit keluhan sama

sekali. Kelainan ini dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri sehingga terjadi selulitis,

limfangitis dan limfadenitis.1,3

7|Page
Gambar 4. Tinea pedis tipe interdigiti

(sumber: www.medicapicture.com)

 Moccasin foot (plantar)

Pada seluruh kaki, dari telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit

menebal dan bersisik; eritema biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian tepi

lesi. Dibagian tepi lesi dapat pula dilihat papul dan kadang-kadang vesikel. 1 Bila

terjadi hyperkeratosis hebat dapat terjadi fisura yang dalam pada bagian lateral

telapak kaki1,9

Gambar 5. Tinea pedis pada telapak kaki

(sumber: http://tipsdokterumum.com/2012/05/tinea-pedis.html)

 Lesi Vesikobulosa

Terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang-kadang bula. Kelainan ini dapat

mulai pada daerah sela jari, kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak kaki. Isi

vesikel berupa cairan jernih yang kental. Setelah pecah, vesikel tersebut

meninggalkan sisik yang berbentuk lingkaran yang disebut kolaret.1

8|Page
Gambar 6. Tinea pedis; vesikel yang meluas ke punggung kaki

(sumber:www.medicapicture.com)

 Tipe Ulseratif

Tipe ini merupakan penyebaran dari tipe interdigiti yang meluas ke dermis akibat

maserasi dan infeksi sekunder (bakteri); ulkus dan erosi pada sela-sela jari; dapat dilihat pada

pasien yang imunokompromais dan pasien diabetes. 1

Gambar 7. Tinea pedis tipe ulseratif

(sumber:www.medicpicture.com)

Pemeriksaan penunjang

9|Page
 Pemeriksaan Kalium Hidroksida (KOH) pada kerokan sisik kulit akan terlihat hifa

bersepta. Pemeriksaan ini sangat menunjang diagnosis dermatofitosis. KOH

digunakan untuk mengencerkan jaringan epitel sehingga hifa akan jelas kelihatan di

bawah mikroskop. Kulit dari bagian tepi kelainan sampai dengan bagian sedikit di

luar kelainan sisik kulit dikerok dengan pisau tumpul steril dan diletakkan di atas

gelas kaca, kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH dan ditunggu selama 15-20

menit untuk melarutkan jaringan, setelah itu dilakukan pemanasan. Tinea

pedis tipe vesikobulosa, kerokan diambil pada atap bula untuk mendeteksi hifa.2

Gambar 8. KOH: Tampak hifa dan spora (mikrokonidia)


Sumber: http://www.medicinesia.com/kedokteran-klinis/pemeriksaan-untuk-penyakit/

 Kultur jamur dapat dilakukan untuk menyokong pemeriksaan dan menentukan sepsis

jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanam bahan klinis pada media

buatan. Yang dianggap paling baik adalah medium agar dekstrosa Sabouraud. Media

agar ini ditambahkan dengan antibiotik (kloramfenikol atau sikloheksimid).2

10 | P a g e
Gambar 9. Trichophyton rubrum; koloni Downy
Sumber: http://www.medicinesia.com/kedokteran-klinis/pemeriksaan-untuk-penyakit/
 Pemeriksaan lampu Wood pada tinea pedis umumnya tidak terlalu bermakna karena

banyak dermatofita tidak menunjukkan fluoresensi kecuali pada tinea kapitis yang

disebabkan oleh Microsporum sp. Pemeriksaan ini dilakukan sebelum kulit di daerah

tersebut dikerok untuk mengetahui lebih jelas daerah yang terinfeksi.2

Gambar 10. Lampu woods

Sumber: https: http://www.medicinesia.com/kedokteran-klinis/pemeriksaan-untuk-penyakit/

Diagnosis

Tinea Pedis / Athlete’s foot / ringworm of the foot / kutu air.

Tinea pedis adalah dermatofitosis pada kaki, terutama sela-sela jari dan telapak kaki.

Penyakit ini sering menyerang orang dewasa yang banyak bekerja ditempat basah seperti

tukang cuci, pekerja di sawah, atau orang-orang yang setiap hari harus memakai sepatu yang

tertutup seperti anggota tentara. Keluhan subjektif bervariasi mulai dari tanpa keluhan sampai

dengan rasa gatal yang hebat dan rasa nyeri bila ada infeksi sekunder.1

Diagnosis Banding

11 | P a g e
Candidiasis intertriginosa
Kadidiasis intergrinosa menimbulkan lesi-lesi yang timbul biasanya pada daerah-daerah

lipatan kulit, seperti ketiak, bawah payudara, lipatan paha, intergluteal, antara jari-jari tangan

dan kaki, sekitar pusat dan lipatan leher. 1


Kelainan yang tampak berupa kemerahan kulit yang berbatas tegas, erosi dan bersisik.

Lesi-lesi tersebut sering dikelilingi oleh lesi-lesi satelit berupa vesikel-vesikel dan pustula

milier, yang bila memecah meninggalkan daerah-daerah yang erosi dan selanjutnya dapat

berkembang menyerupai lesi-lesi primernya. Kelainan pada sela-sela jari sering ditemukan

pada orang yang banyak berhubungan dengan air, seperti tukang cuci baju atau petani di

sawah, orang-orang yang memakai kaus dan sepatu terus menerus. 1

Kadidiasis pada kaki dan sela-sela jari ini sering dikenal dengan nama kutu air. Kulit di

sela-sela jari menjadi lunak, terjadi maserasi dan dapat mengelupas menyerupai kepala susu.

Faktor predisposisi pada kadidiasis adalah orang yang menderita diabetes melitus,

kegemukan, banyak berkeringat, pemakaian antibiotik-antibiotik, kortikosteroid, sitostatik,

dan penyakit-penyakit yang menyeebabkan daya tahan penderita turun.1,9

Intertrigo (Dermatitis Intergenosa)

Intertrigo merupakan kelainan radang kulit di daerah lipatan, seperti lipatan tubuh

akibat banyak berkeringat, kegemukan, dan gesekan kulit. Bisa terjadi sejak usia bayi sampai

usia tua. Gejalanya berupa bercak kemerahan dan sembab di lipatan kulit, leher, ketiak,

lipatan payudara dan lipatan bokong/pantat. Dalam keadaan ini mudah sekali terjadi infeksi

sekunder oleh jamur Candida albicans yang biasa terdapat di dubur.9

Penatalaksanaan

 Imidazol Topikal. Efektif untuk semua jenis tinea pedis tetapi lebih cocok pada

pengobatan tinea pedis interdigitalis karena efektif pada dermatofit dan kandida.11
 Klotrimazole 1 %. Antifungal yang berspektrum luas dengan menghambat

pertumbuhan bentuk yeast jamur. Obat dioleskan dua kali sehari dan diberikan sampai

12 | P a g e
waktu 2-4 minggu. Efek samping obat ini dapat terjadi rasa terbakar, eritema, edema

dan gatal.

 Ketokonazole 2 % krim merupakan antifungal berspektrum luas golongan Imidazol;

menghambat sintesis ergosterol, menyebabkan komponen sel yang mengecil hingga

menyebabkan kematian sel jamur. Obat diberikan selama 2-4 minggu.

 Mikonazol krim, bekerja merusak membran sel jamur dengan menghambat biosintesis

ergosterol sehingga permeabilitas sel meningkat yang menyebabkan keluarnya zat

nutrisi jamur hingga berakibat pada kematian sel jamur. Lotion 2 % bekerja pada

daerah-daerah intertriginosa. Pengobatan umumnya dalam jangka waktu 2-6 minggu.


 Tolnaftat 1% merupakan suatu tiokarbamat yang efektif untuk sebagian besar

dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap kandida. Digunakan secara lokal 2-3 kali sehari.

Rasa gatal akan hilang dalam 24-72 jam. Lesi interdigital oleh jamur yang rentan dapat

sembuh antara 7-21 hari. Pada lesi dengan hiperkeratosis, tolnaftat sebaiknya diberikan

bergantian dengan salep asam salisilat 10 %.11.12


 Piridones Topikal merupakan antifungal yang bersifat spektrum luas dengan

antidermatofit, antibakteri dan antijamur sehingga dapat digunakan dalam berbagai jenis

jamur.12
 Sikolopiroksolamin. Pengunaan kliniknya untuk dermatofitosis, kandidiasis dan tinea

versikolor. Sikolopiroksolamin tersedia dalam bentuk krim 1 % yang dioleskan pada

lesi 2 kali sehari. Reaksi iritatif dapat terjadi walaupun jarang terjadi.
 Alilamin Topikal. Efektif terhadap berbagai jenis jamur. Obat ini juga berguna pada tinea

pedis yang sifatnya berulang (seperi hiperkeratotik kronik).11


 Terbinafine (Lamisil®), menurunkan sintesis ergosterol, yang mengakibatkan

kematian sel jamur. Jangka waktu pengobatan 1 sampai 4 minggu. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan bahwa terbinafine 1% memiliki keefektifan yang sama

dengan terbinafine 10% dalam mengobati tine pedis namun dalam dosis yang lebih

kecil dan lebih aman.


 Antijamur Topikal Lainnya.11

13 | P a g e
 Asam benzoat dan asam salisilat. Kombinasi asam benzoat dan asam salisilat dalam

perbandingan 2 : 1 (biasanya 6 % dan 3 %) ini dikenal sebagai salep Whitfield. Asam

benzoat memberikan efek fungistatik sedangkan asam salisilat memberikan efek

keratolitik. Asam benzoat hanya bersifat fungistatik maka penyembuhan baru tercapai

setelah lapisan tanduk yang menderita infeksi terkelupas seluruhnya. Dapat terjadi

iritasi ringan pada tempat pemakaian, juga ada keluhan yang kurang menyenangkan

dari para pemakainya karena salep ini berlemak.


 Asam Undesilenat. Dosis dari asam ini hanya menimbulkan efek fungistatik tetapi

dalam dosis tinggi dan pemakaian yang lama dapat memberikan efek fungisidal. Obat

ini tersedia dalam bentuk salep campuran yang mengangung 5 % undesilenat dan

20% seng undesilenat.


 Haloprogin. Haloprogin merupakan suatu antijamur sintetik, berbentuk kristal

kekuningan, sukar larut dalam air tetapi larut dalam alkohol. Haloprogin tersedia

dalam bentuk krim dan larutan dengan kadar 1 %.

Pemberian antifungal oral dilakukan setelah pengobatan topikal gagal dilakukan. Secara

umum, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian beberapa obat

antifungal di bawah ini antara lain :11,12


 Griseofulvin merupakan obat yang bersifat fungistatik. Griseofulvin dalam bentuk

partikel utuh dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 g untuk orang dewasa dan 0,25 - 0,5 g

untuk anak-anak sehari atau 10-25 mg/kg BB. Lama pengobatan bergantung pada lokasi

penyakit, penyebab penyakit, dan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis dilanjutkan 2

minggu agar tidak residif. Dosis harian yang dianjurkan dibagi menjadi 4 kali sehari. Di

dalam klinik cara pemberian dengan dosis tunggal harian memberi hasil yang cukup baik

pada sebagian besar penderita. Griseofulvin diteruskan selama 2 minggu setelah

penyembuhan klinis. Efek samping dari griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan

keluhan utama ialah sefalgia yang didapati pada 15 % penderita. Efek samping yang lain

14 | P a g e
dapat berupa gangguan traktus digestivus yaitu nausea, vomitus dan diare. Obat tersebut

juga dapat bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi hepar.


 Ketokonazole. Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu ketokonazole

yang bersifat fungistatik. Kasus-kasus yang resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan

obat tersebut sebanyak 200 mg per hari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari setelah

makan. Ketokonazole merupakan kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar.


 Itrakonazole. Itrakonazole merupakan suatu antifungal yangdapat digunakan sebagai

pengganti ketokonazole yang bersifat hepatotoksik terutama bila diberikan lebih dari

sepuluh hari. Itrakonazole berfungsi dalam menghambat pertumbuhan jamur dengan

mengahambat sitokorm P-45 yang dibutuhkan dalam sintesis ergosterol yang merupakan

komponen penting dalam sela membran jamur. Pemberian obat tersebut untuk penyakit

kulit dan selaput lendir oleh penyakit jamur biasanya cukup 2 x 100-200 mg sehari dalam

selaput kapsul selama 3 hari. Interaksi dengan obat lain seperti antasida (dapat

memperlambat reabsorpsi di usus), amilodipin, nifedipin (dapat menimbulkan terjadinya

edema), sulfonilurea (dapat meningkatkan resiko hipoglikemia). Itrakonazole

diindikasikan pada tinea pedis tipe moccasion.


 Terbinafin. Terbinafin berfungsi sebagai fungisidal juga dapat diberikan sebagai

pengganti griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5 mg – 250 mg sehari bergantung

berat badan. Mekanisme sebagai antifungal yaitu menghambat epoksidase sehingga

sintesis ergosterol menurun. Efek samping terbinafin ditemukan pada kira-kira 10 %

penderita, yang tersering gangguan gastrointestinal di antaranya nausea, vomitus, nyeri

lambung, diare dan konstipasi yang umumnya ringan. Efek samping lainnya dapat berupa

gangguan pengecapan dengan presentasinya yang kecil. Rasa pengecapan hilang sebagian

atau seluruhnya setelah beberapa minggu makan obat dan bersifat sementara. Sefalgia

ringan dapat pula terjadi. Gangguan fungsi hepar dilaporkan pada 3,3 % - 7 % kasus.(1)

Terbinafin baik digunakan pada pasien tinea pedis tipe moccasion yang sifatnya kronik.

15 | P a g e
Pada suatu penelitian ternyata ditemukan bahwa pengobatan tinea pedis dengan

terbinafine lebih efektif dibandingkan dengan pengobatan griseofulvin.

Non Medika Mentosa

Menggunakan obat secara teratur, segera keringkan kaki yang basah, dan istirahat.12

Pencegahan1,6

 Segera keringkan kaki bila basah.


 Menggunakan penutup kaki (sepatu boot) bila harus kontak lama dengan air.
 Mengganti kaos kaki setiap hari.
 Jaga kebersihan kulit.

Komplikasi

 Selulitis.

Infeksi tinea pedis, terutama tipe interdigital dapat mengakibatkan selulitis.

Selulitis dapat terjadi pada daerah ektermitas bawah. Selulitis merupakan infeksi bakteri

pada daerah subkutaneus pada kulit sebagai akibat dari infeksi sekunder pada luka. Faktor

predisposisi selulitis adalah trauma, ulserasi dan penyakit pembuluh darah perifer. Dalam

keadaan lembab, kulit akan mudah terjadi maserasi dan fissura, akibatnya pertahanan

kulit menjadi menurun dan menjadi tempat masuknya bakteri pathogen seperti β-

hemolytic streptococci (group A, B C, F, and G), Staphylcoccus aureus, Streptococcus

pneumoniae, dan basil gram negatif. Apabila telah terjadi selulitis maka diindikasikan

pemberian antibiotik. Jika terjadi gejala yang sifatnya sistemik seperti demam dan

menggigil, maka digunakan antibiotik secara intravena. Antibiotik yang dapat digunakan

berupa ampisillin, golongan beta laktam ataupun golongan kuinolon.1

 Tinea Ungium.

Tinea ungium merupakan infeksi jamur yang menyerang kuku dan biasanya

dihubungkan dengan tinea pedis. Seperti infeksi pada tinea pedis, T. rubrum merupakan

16 | P a g e
jamur penyebab tinea ungium. Kuku biasanya tampak menebal, pecah-pecah, dan tidak

berwarna yang merupakan dampak dari infeksi jamur tersebut. 6

 Dermatofid.

Dermatofid juga dikenal sebagai reaksi “id”, merupakan suatu penyakit

imunologik sekunder tinea pedis dan juga penyakit tinea lainnya. Hal ini dapat

menyebabkan vesikel atau erupsi pustular di daerah infeksi sekitar palmaris dan jari-

jari tangan. Reaksi dermatofid bisa saja timbul asimptomatis dari infeksi tinea pedis.

Reaksi ini akan berkurang setelah penggunaan terapi antifungal. Komplikasi ini

biasanya terkena pada pasien dengan edema kronik, imunosupresi, hemiplegia dan

paraplegia, dan juga diabetes. Tanpa perawatan profilaksis penyakit ini dapat kambuh

kembali.9

Prognosis

Tinea pedis pada umumnya memiliki prognosis yang baik. Beberapa minggu setelah

pengobatan dapat menyembuhkan tinea pedis, baik akut maupun kronik. Kasus yang lebih

berat dapat diobati dengan pengobatan oral. Walaupun dengan pengobatan yang baik, tetapi

bila tidak dilakukan pencegahan maka pasien dapat terkena reinfeksi.

Kesimpulan

Tinea pedis merupakan salah satu infeksi jamur dermatofita yang menyerang pada bagian

kaki. Ini disebabkan oleh jamur dermatofita golongan trichophyton, epidermophyton,

microsporum. Penyakit ini dikarenakan kondisi kaki yang lembab sehingga mempermudah

jamur untuk hidup dan berkembang. Prognosis dari tinea pedia sangat baik dengan terapi

topical maupun oral, dan juga harus dilakukan pencegahan agar tidak terjadi reinfeksi.

Daftar Pustaka

17 | P a g e
1. Unandar B. Mikosis. In. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu penyakit kulit

dan kelamin. 5th ed. Jakarta: Balai penerbitan FKUI; 2007. p. 89- 104.

2. Verma S, Heffernan MP. In. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller

AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatric’s. Dermatology in general medicine. 7th ed. New

York: McGraw-Hill; 2008. P.1807-21

3. Houghton AR, Gray D. Gejala dan tanda dalam kedokteran klinis pengantar

diagnosis medis. Edisi ke-13. Jakarta: PT Indeks; 2012.h.362.


4. Brown GR, Burns T. Dermatologi. Edisi ke-8. Jakarta: Erlangga, 2005.h.16-8.
5. Corwin JE. Buku saku patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2009.h.126.
6. Siregar RS. Penyakit jamur dan kulit. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC; 2005
7. Hall JC. Dermatology Mycology. In. Hall JC, editor. Sauser’ manual

of the skin. 8th ed. US: Mosby; 2000. p. 244-47.


8. Buku ajar parasitologi kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 2011. p. 319-21


9. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: Badan Penerbitan Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia ; 2013


10. Susanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S, editors. Parasitologi kedokteran.

Edisi ke-3. Jakarta: Balai penerbitan FKUI; 2011. h. 319-21, 356-61.


11. Departemen Farmakologi dan Teraupetik FKUI. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5.

Jakarta: Balai penerbitan FKUI; 2012.h.574-83.


12. Habif TP. Clinical dermatology: a color guide to diagnosis and therapy. 4th ed.

London: Mosby; 2004. p. 409-456.

18 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai