Janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling mendengki, janganlah kalian saling
membelakangi
"Janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling mendengki, janganlah kalian saling
membelakangi (saling berpaling), dan janganlah kalian saling memutuskan. Jadilah kalian
hamba-hamba Allah yang bersaudara." (H.R. Muttafaq 'alaih)
Hadis ini diriwayatkan Imam al-Bukhari dalam "Al Adab" dan Muslim dalam "Al Birr". Lebih
khusus tentang larangan dengki disebutkan oleh Rasulullah saw. dalam hadis lain:
“Hindarilah dengki karena dengki itu memakan (menghancurkan) kebaikan sebagaimana api
memakan (menghancurkan) kayu bakar.” (H.R Abu Dawud).
Dari definisi di atas kita dapat memahami bahwa iri dengki tidak hanya menyangkut capaian-
capaian yang bersifat duniawi, seperti rumah dan kendaraan, melainkan juga menyangkut
capaian-capaian di lingkup keagamaan, misalnya dakwah. Ini juga berarti bahwa penyakit dengki
bukan hanya menjangkiti kalangan awam. Iri dengki itu ternyata dapat menjalar dan menjangkiti
kalangan yang dikategorikan berilmu, pejuang, dan da’i. Seorang da’i atau mubalig, misalnya,
tidak suka melihat banyaknya pengikut da’i atau mubalig lain. Seorang yang berafiliasi kepada
kelompok atau jama'ah tertentu sangat benci kepada kelompok atau jama'ah lain yang
mendapatkan kemenangan-kemenangan. Dan masih banyak lagi bentuk lainnya dari sikap iri
dengki di kalangan para “pejuang”. Tapi bagaimana ini bisa terjadi?
Imam al-Ghazali r.a. menjelaskan, “Tidak akan terjadi saling dengki di kalangan para ulama.
Sebab yang mereka tuju adalah ma’rifatullah (mengenal Allah). Tujuan seperti itu bagaikan
samudera luas yang tidak bertepi. Dan yang mereka cari adalah kedudukan di sisi Allah. Itu juga
merupakan tujuan yang tidak terbatas. Karena kenikmatan paling tinggi yang ada pada sisi Allah
adalah perjumpaan dengan-Nya. Dan dalam hal itu tidak akan ada saling dorong dan berdesak-
desakan. Orang-orang yang melihat Allah tidak akan merasa sempit dengan adanya orang lain
yang juga melihat-Nya. Bahkan, semakin banyak yang melihat semakin nikmatlah mereka.”
Al-Ghazali melanjutkan, “Akan tetapi, bila para ulama, dengan ilmunya itu menginginkan harta
dan wibawa mereka pasti saling dengki. Sebab harta merupakan materi. Jika ia ada pada tangan
seseorang pasti hilang dari tangan orang lain. Dan wibawa adalah penguasaan hati. Jika hati
seseorang mengagungkan seorang ulama pasti orang itu tidak mengagungkan ulama lainnya. Hal
itu dapat menjadi sebab saling dengki.” (Ihya-u ‘Ulumid-Din, Imam Al-Ghazali, juz III hal. 191.)
Jadi, dalam konteks perjuangan, dengki dapat merayapi hati orang yang merasa kalah wibawa,
kalah popularitas, kalah pengaruh, kalah pengikut. Yang didengki tentulah pihak yang
dianggapnya lebih dalam hal wibawa, polularitas, pengaruh, dan jumlah pengikut itu. Tidak
mungkin seseorang merasa iri kepada orang yang dianggapnya lebih “kecil” atau lebih lemah.
Sebuah pepatah Arab mengatakan, “Kullu dzi ni’matin mahsuudun.” (Setiap yang mendapat
kenikmatan pasti didengki).
Penyakit dengki sangat berbahaya. Tapi bahayanya lebih besar mengancam si pendengki
ketimbang orang yang didengki. Bahkan realitas membuktikan, sering kali pihak yang didengki
justru diuntungkan dan mendapatkan banyak kebaikan. Sebaliknya, si pendengki menjadi
pecundang. Di antara kekalahan-kekalahan pendengki adalah sebagai berikut.
Dari Jabir dan Abu Ayyub al-Anshari, mereka mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Tidak ada seorang pun yang menghinakan seorang Muslim di satu tempat yang padanya ia
dinodai harga dirinya dan dirusak kehormatannya melainkan Allah akan menghinakan orang
(yang menghina) itu di tempat yang ia inginkan pertolongan-Nya. Dan tidak seorang pun yang
membela seorang Muslim di tempat yang padanya ia dinodai harga dirinya dan dirusak
kehormatannya melainkan Allah akan membela orang (yang membela) itu di tempat yang ia
menginginkan pembelaan-Nya.” (H.R. Ahmad, Abu Dawud, dan Ath-Thabrani)
Makna memakan kebaikan dijelaskan dalam kitab ‘Aunul Ma’bud, “Memusnahkan dan
menghilangkan (nilai) ketaatan pendengki sebagaimana api membakar kayu bakar. Sebab
kedengkian akan mengantarkan pengidapnya menggunjing orang yang didengki dan perbuatan
buruk lainnya. Maka berpindahlah kebaikan si pendengki itu pada kehormatan orang yang
didengki. Maka bertambahlah pada orang yang didengki kenikmatan demi kenikmatan
sedangkan si pendengki bertambah kerugian demi kerugian. Sebagaimana yang Allah firmankan,
‘Ia merugi dunia dan akhirat’.” (‘Aunul-Ma’bud juz 13:168)
Islam yang rahmatan lil-'alamin yang dibawa oleh orang yang di dadanya memendam
kedengkian tidak akan dapat dirasakan nikmatnya oleh orang lain. Bahkan pendengki itu tidak
mampu untuk sekadar menyungging senyum, mengucapkan kata ‘selamat’, atau melambaikan
tangan bagi saudaranya yang mendapat sukses, baik dalam urusan dunia maupun terkait dengan
sukses dalam perjuangan. Apatah lagi untuk membantu dan mendukung saudaranya yang
mendapat sukses itu. Dengan demikian Islam yang dibawanya tidak produktif dengan kebaikan
alias gundul.
Orang yang banyak melakukan provokasi dan hanya bisa menjelek-jelekkan pihak lain juga akan
terlihat di mata orang banyak sebagai orang yang tidak punya program dalam hidupnya. Dia
tampil sebagai orang yang tidak dapat menampilkan sesuatu yang positif untuk “dijual”. Maka
jalan pintasnya adalah mengorek-ngorek apa yang ia anggap sebagai kesalahan. Bahkan sesuatu
yang baik di mata pendengki bisa disulap menjadi keburukan. Nah, mana ada orang yang sehat
akalnya suka cara-cara seperti itu?
Di sisi lain, pendengki –manakala mengalami kekalahan dan kegagalan dalam perjuangan—
cenderung mencari kambing hitam. Ia menuduh pihak luar sebagai biang kegagalan dan
bukannya melakukan muhasabah (introspeksi). Semakin larut dalam mencari-cari kesalahan
pihak lain akan semakin habis waktunya dan semakin terkuras potensinya hingga tak mampu
memperbaiki diri. Dan tentu saja sikap ini hanya akan menambah keterpurukan dan sama sekali
tidak dapat memberikan manfaat sedikit pun untuk mewujudkan kemenangan yang
didambakannya.
Jika demikian, mengertilah kita makna pernyataan seorang ulama salaf, seperti disebutkan dalam
kitab Kasyful-Khafa 1:430
"Pendengki tidak akan pernah sukses.” Wallahu A’lam.