Studi kasus 2:
Pada tanggal 16 s/d 20 Februari 2017 tim audit internal melakukan audit
pelayanan laboratorium. Kriteria yang digunakan adalah standar akreditasi Bab
8.1. Dari wawancara dan observasi di laboratorium, ditemukan hasil sebagai
berikut: jenis-jenis pelayanan lab yang disediakan belum ditetapkan,
pemeriksaan lab dilakukan oleh tenaga analis yang berjumlah 3 orang. Prosedur
pemeriksaan lab tidak lengkap tersedia di laboratorium, petugas melakukan
pemeriksaan sesuai dengan yang mereka ketahui. Dijumpai reagen yang
kadaluwarsa yaitu reagen yang digunakan untuk pemeriksaan BTA. Reagen
diletakkan di lantai ruang laboratorium. Rentang nilai hasil laboratorium belum
ditetapkan, ukuran kinerja pelayanan laboratorium belum ditetapkan. Tidak
dapat ditemukan bukti pelaksanaan kalibrasi maupun validasi instrument.
Spesimen yang diambil dari pasien tidak diberi identitas yang jelas. Dalam
rencana audit yang disusun, juga digunakan target jumlah pemeriksaan
laboratorium, yaitu 20 % dari jumlah pasien rawat jalan. Data pasien rawat jalan
pada bulan November 2017, Desember 2017, dan Januari 2018 adalah sebagai
berikut: 2500, 2300, dan 2450, sedangkan data pemeriksaan laboratorium bulan
Januari, Februari, dan Maret adalah sebagai berikut: 450 pasien, 460 pasien, dan
350 pasien. Ketika dilakukan wawancara, mengapai target tidak tercapai,
ternyata ada keengganan dokter untuk meminta pemeriksaan laboratorium
karena pasien banyak, dan hasil laboratorium tidak cepat diperoleh, dan sering
kali permintaan tidak bisa dilayani karena reagen tidak tersedia, sehingga
pemeriksaan dirujuk ke laboratorium yang bekerjasama dengan puskesmas dan
membutuhkan waktu yang lebih lama. Dari data pemeriksaan yang dirujuk,
ternyata pemeriksaan yang dirujuk antara 50 sampai dengan 75 jenis
pemeriksaan. Auditor juga melakukan audit terhadap proses pelayanan
laboratorium dengan menggunakan daftar tilik yang disusun berdasar SOP
pemeriksaan laboratorim. Dari hasil pengamatan terhadap 12 pasien didapatkan
hasil sebagai berikut: 4 pasien tidak dilakukan identifikasi dengan cara yang
benar, pada waktu melakukan pengambilan sampel darah pada 12 pasien
tersebut, petugas menggunakan sarung tangan, tetapi diamati pada 3
pemeriksaan petugas tidak mengganti sarung tangan untuk pasien berikutnya.
Ketika dilakukan wawancara mengapa identifikasi tidak dilakukan dengan benar,,
petugas menjawab mereka kurang paham tentang prosedur identifikasi pasien,.
Petugas laboratorium juga menyampaikan bahwa jumlah sarung tangan terbatas,
dan sering tidak tersedia.