Pendahuluan
1. Latar Belakang
Bencana alam sudah bukan menjadi hal yang baru didengar di
Indonesia. Gempa bumi sering melanda di beberapa kota dan profinsi di
wilayah-wilayah Indonesia, gunung meletus, gempa bumi, tsunami, dan
banjir bandang, mewarnai bencana-bencana alam yang terjadi di
Indonesia terutama akhir-akhir ini.
Tingginya tingkat bencana alam di indonesia bisa di lihat dari
posisi Indonesia dihitung dari jumlah manusia yang terancam risiko
kehilangan nyawa bila bencana alam terjadi. Indonesia, menurut Kepala
Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional
Penanggulangan Bencana, Sutopo Purwo Nugroho, Indonesia
menduduki peringkat tertinggi untuk ancaman bahaya tsunami, tanah
longsor, dan gunung berapi, dan menduduki peringkat tiga untuk
ancaman gempa serta enam untuk banjir. (BBC Indonesia 22 agustus
2011). United Nations International Stategy for Disaster Reduction
(UNISDR; Badan PBB untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko
Bencana) memberikan informasi Berbagai bencana alam mulai gempa
bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, kekeringan,
dan kebakaran hutan rawan terjadi di Indonesia. Bahkan dalam masalah
korban bencana alam tsunami dari 265 negara indonesia berada di
peringkat pertama dengan 5.402.239 orang terkena dampaknya,
bencana alam tanah longsor dari 162 negara Indonesia peringkat
pertama dengan 197.372 orang terkena dampaknya, bencana alam
gempa bumi. Dari 153 negara Indonesia meraih peringkat ketiga dengan
11.056.806 orang terkena dampaknya, dan bencana alam banjir dari 162
0
negara Indonesia berada diurutan ke-6 dengan 1.101.507 orang yang
terkena dampaknya. (alamandah's :2011)
Indonesia menjadi daerah rawan bencana karena beberapa
alasan. Pertama karena faktor alam. Negeri kita ini berdiri di atas
pertemuan rangkaian mediterania dan rangkaian pasifik, dengan proses
pembentukan pegunungan, hal ini yang menyebabkan di Indonesia
banyak terjadi gempa bumi. Gunung-gunung berapinya juga masih
banyak yang aktif sekitar 140 gunung yang masih aktif. Kedua adalah
faktor iklim yang tropis di Indonesia yang menyebabkan curah hujan
yang cukup tinggi sehingga memudahkan terjadinya pelapukan, tanah
yang tidak stabil, banyak tanah yang rusak sehingga potensi bencana
longsor terjadi sangat memungkinkan.
Selain kedua faktor tempat bertemunya rangkaian mediterania
dan rangkaian pasifik juga faktor iklim, faktor lain yang mempengaruhi
tingginya ancaman bencana di Indonesia adalah dari sisi non alam.
Negeri kita berpenduduk padat, terutama di Pulau Jawa dan Sumatera.
Kalau kawasan timur Indonesia mungkin belum begitu banyak.
Infrakstuktur kita tidak didesain sesuai dengan kondisi alam itu.
Bangunan rumah, juga bangunan besar seperti gedung, belum banyak
disesuaikan dengan kondisi alam ini.
Akibat terjadinya bencana-bencana tersebut dampak yang
ditimbulkan sangatlah kompleks, selain masalah pengungsi, kerusakan
infrastruktur, terputusnya jalur komunikasi dan transportasi menjadi
masalah kompleks lainnya. Kerusakan-kerusakan fisik dan psikis pun
tentunya menjadi meningkat. Bencana membuat mereka kehilangan
keluarga, sanak dan sodara, harta benda dan harus hidup di
pengungsian. Hal ini memicu terjadinya gangguan psikologi di diri
mereka. Seperti yang di kemukakan oleh Davison&Neale (1966) bahwa
akibat terjadinya bencana alam seseorang yang berada di lingkungan
yang terkena bencana tersebut memungkinkan terkena gangguan
psikologis, dan gangguan psikologis tersebut diantaranya trauma, stres
berat, stres akut dan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).
1
Menurut Monahan (1993), trauma terjadi secara mendadak dan
luar biasa, sehingga memaksa seseorang untuk menguasai dan
menghadapi perasaannya. Kejadian yang mendadak ini membuat para
korban menjadi bingung, timbulnya prilaku-prilaku aneh akibat tekanan
yang di hadapinya. Mereka yang merasakan penderitaan ini sangat
wajar, jika mengalami gangguan seperti bingung, sedih, takut dan
merasa kehilangan. Seperti yang di kemukanakan Midicastore, 2006)
bahwa terdapat beberapa gejala stress pasca trauma, yaitu respon
emosi yang tumpul, lepas atau berkurang, merasa bahwa dirinya tidak
nyata, tidak mampu mengingat bagian yang penting dari peristiwa
traumatik itu sendiri.
2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep dasar dari stress release ?
2. Bagaimanakah konsep dasar dari bencana ?
3. Bagaimnakah assessment atau pengkajian yang dilakukan
terhadap korban bencana alam ?
4. Apa sajakah treatment/terapi yang diberikan pada korban bencana
?
5. Bagaimanakah evaluasi program treatment atau terapi pada
korban bencana ?
3. Tujuan Penulisan
1. Agar mahasiswa mengetahui dan memahami konsep dasar dari
stress release.
2. Agar mahasiswa mengetahui dan memahami konsep dasar dari
bencana.
3. Agar mahasiswa mengetahui dan memahami assessment atau
pengkajian yang dilakukan terhadap korban bencana.
4. Agar mahasiswa mengetahui jenis-jenis treatment/terapi yang
diberikan pada korban bencana.
2
5. Agar mahasiswa mengetahui dan memahami evaluasi program
treatment atau terapi pada korban bencana.
4. Manfaat Penulisan
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memberikan
pemahaman kepada mahasiswa mengenai bencana, dan bagaimana
cara mengatasi bencana tersebut dan juga efek samping yang
ditimbulkan bencana tersebut pada warga yang menjadi korban.
Mahasiswa diharapkan mampu memberikan usaha terbaik pada
pertolongan korban bencana ketika dihadapkan pada kejadian yang
sama.
BAB III
PEMBAHASAN
1. Pengertian Stress
3
a. Menurut Hans Selye, “stress adalah respons manusia yang bersifat
nonspesifik terhadap setiap tuntutan kebutuhan yang ada dalam dirinya”
(Pusdikes,Dep.Kes.1989)
d. Secara umum yang dimaksud stress adalah reaksi tubuh terhadap situasi
yang dapat menimbulkan tekanan, perubahan, ketegangan emosi dan
lain-lain
e. Stress adalah segala masalah atau tuntutan penyesuaian diri dan karena
itu sesuatu yang dapat mengganggu keseimbangan kita (Maramis,1999)
4
a. Faktor biologis, herediter, konstitusi tubuh, kondisi fisik, neurofsiologik
dan neurohormonal
Macam-macam stressor:
a. Stressor internal
b. Stressor eksternal
Karakteristik Stressor:
a. Makna stressor
b. Lingkup stressor
c. Lamanya stressos
d. Jumlah stressor
5
e. Kuatnya stressor
Dampak stressor dipengaruhi oleh berbagai faktor (Kozier & Erb,1983 dikutip
Keliat B.A.,1999) yaitu:
a. Sifat stressor
b. Jumlah stressor
c. Lama stressor
e. Tingkat perkembangan
Menurut Maramis (1999), ada empat sumber atau penyebab stress psikologis,
yaitu:
a. Frustasi
6
Hal ini timbul karena kegagalan dalam mencapai tujuan selain itu adanya
aral melintang. Frustasi sendiri ada yang bersifat intrinsik dan frustasi
ekstrinsik.
b. Koflik
Hal ini dapat terjadi karena seseorang tidak mampu memilih antara dua
atau lebih macam keinginan, kebutuhan atau tujuan.
c. Tekanan
d. Krisis
Krisis adalah suatu keadaan yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat
menimbulkan terjadinya stress.
a. Stress fisik
Disebabkan oleh adanya suhu atau temperatur yang terlalu tinggi atau
terlalu rendah, suara amat bising, sinar yang terlalu terang atau
tersengat arus listrik.
b. Stress kimiawi
7
c. Stress mikrobiologik
d. Stress fisiologik
a. Penyebab makro
b. Penyebab mikro
8
Menurut Dr.Robert J.Van Amberg (1979) sebagaimana dikemukakan oleh Prof.
Dadang Hawari (2001), bahwa tahapan stress adalah sebagai berikut:
Stress yang disertai dengan perasaan nafsu bekerja yang besar dan
berlebihan, mampu menyelesaikan pekerjaan tanpa memperhitungkan
tenaga yang dimiliki dan penglihatan menjadi tajam.
Stress yang disertai keluhan, seperti bangun pagi badan tidak tersasa
segar dan merasa letih, lekas capek pada saat menjelang sore hari,
lambung atau perut tidak nyaman, jantung berdebar, otot tengkuk dan
punggung menjadi tegang. Hal ini disebabkan karena cadangan tenaga
yang tidak memadai.
Tahapan stress dengan keluhan, seperti defekasi yang tidak teratur, otot
semakin tegang, emosional, imsomnia, mudah terjaga dan sulit untuk tidur
kembali, bangun terlalu pagi, koordinasi tubuh terganggu dan mau jatuh
pingsan.
9
Tahapan stress yang disertai dengan kelelahan secara fisik dan mental,
ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan,
gangguan pencernaan berat, meningkatnya rasa takut dan cemas, bingung
dan panik.
Menurut Dadang Hawari (2001) bahwa dampak dari stress sendiri dapat
mengenai hampir seluruh sistem tubuh, seperti hal-hal berikut:
e. Wajah nampak tegang, serius, tidak santai, sulit senyum dan kerutan
pada kulit dan wajah.
g. Kulit menjadi dingin atau panas, banyak berkeringat, biduran dan gatal-
gatal.
10
j. Lambung mual, kembung atau pedih.
k. Sering berkemih.
a. Kecemasan
c. Depresi
11
Koping adalah cara yang dilakukan individu dalam meyelesaikan masalah,
menyesuaikan diri dengan keinginan yang akan dicapai dan respons
terhadap situasi yang menjadi ancaman bagi individu.
a. Individu
b. Dukungan sosial
3). Berikan bimbingan mental dan spiritual untuk individu tersebut dari
keluarga.
a. Sikap, keyakinan dan pikiran kita harus positif, fleksibel, rasional dan
adaptif terhadap orang lain.
12
1). Kemampuan menyadari
e. Relaksasi
f. Visualisasi
13
Dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, dikenal pengertian dan beberapa istilah terkait dengan bencana.
Bencana adalah peristiwa atau masyarakat rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis
14
1. Usep Solehudin (2005) mengelompokkan bencana menjadi 2 jenis yaitu:
Bencana alam (natural disaster) yaitu kejadian-kejadian alami seperti
kejadian-kejadian alami seperti banjir, genangan, gempa bumi, gunung
meletus, badai, kekeringan, wabah, serangga dan lainnya.
2. Bencana ulah manusia (man made disaster) yaitu kejadian-kejadian
karena perbuatan manusia seperti tabrakan pesawat udara atau
kendaraan, kebakaran, huru-hara, sabotase, ledakan, gangguan listrik,
ganguan komunikasi, gangguan transportasi dan lainnya.
1. Bencana Lokal
Bencana ini biasanya memberikan dampak pada wilayah sekitarnya
yang berdekatan. Bencana terjadi pada sebuah gedung atau bangunan-
bangunan disekitarnya. Biasanya adalah karena akibat faktor manusia
seperti kebakaran, ledakan, terorisme, kebocoran bahan kimia dan
lainnya.
2. Bencana Regional
Jenis bencana ini memberikan dampak atau pengaruh pada area
geografis yang cukup luas, dan biasanya disebabkan oleh faktor alam,
seperti badai, banjir, letusan gunung, tornado dan lainnya.
15
cuaca. Seharusnya pada fase inilah segala persiapan dilakukan
baik oleh pemerintah, lembaga, dan warga masyarakat.
b. Fase impact merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana.
Inilah saat-saat dimana manusia sekuat tenaga mencoba untuk
bertahan hidup (survive). Fase impact ini terus berlanjut hingga
terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan darurat dilakukan.
c. Fase postimpact adalah saat dimulainya perbaikan dan
penyembuhan dari fase darurat, juga tahap dimana masyarakat
mulai berusaha kembali pada fungsi komunitas normal. Secara
umum dalam fase postimpact ini para korban akan mengalami
tahap respon psikologis mulai penolakan, marah, tawar-menawar,
depresi hingga penerimaan.
a. Pandangan Konvensional
Bencana merupakan sifat alam
Terjadinya bencana:
– kecelakaan (accident);
– tidak menentu;
– tidak terhindarkan;
– tidak terkendali.
16
c. Pandangan Ilmu Terapan
Besaran (magnitude) bencana tergantung besarnya ketahanan atau
kerusakan akibat bencana. Pengkajian bencana ditujukan pada
upaya meningkatkan kekuatan fisik struktur bangunan untuk
memperkecil kerusakan.
d. Pandangan Progresif
Menganggap bencana sebagai bagian dari pembangunan
masyarakat yang ‘normal'. Bencana adalah masalah yang tidak
pernah berhenti. Peran sentral dari masyarakat adalah mengenali
bencana itu sendiri.
f. Pandangan Holistik
Menekankan pada ancaman (threat) dan kerentanan (vulnerability),
serta kemampuan masyarakat dalam menghadapi risiko. Gejala
alam menjadi ancaman jika mengancam hidup dan harta-benda.
Ancaman akan berubah menjadi bencana jika bertemu dengan
kerentanan.
3. Assessment Bencana
Indonesia merupakan salah satu negara yang tergolong rawan terjadinya
bencana alam, hal ini terkait dengan keadaan geografisnya yang terletak
antara dua samudra besar, berada diwilayah lempeng tektonik, dan
dilewati oleh jalur gunung berapi. Kondisi ini berpotensi menimbulkan
bencana seperti tsunami, gunung meletus, banjir, longsor, dll.
17
3.1 Rapid Need Assessment pada Bencana
a. Siklus Assessment
Bencana- rapid assessment- detail assessment- continual
assessment
18
- Mengumpulkan informasi dasar
- Mengidentifikasi kelompok yang paling rentan
- Upaya mengobservasi situasi
- Mengidentifikasi kemampuan respons semua pihak yang terkait
(pada saat darurat)
- Mengidentifikasi jenis bantuan yang dibutuhkan (pada saat
darurat)
c. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam Assessment
- Daftar pertanyaan
- Komposisi anggota tim yang baik
- Sarana transportasi yang baik
- Kerangka waktu yang jelas
- Menggunakan bahasa lokal
- Kebutuhan darurat harus dapat dibedakan dari masalah yang
memang telah ada
- Mempertimbangkan kesetaraan jender
- Tidak memberikan harapan
- Menghindari bias dalam membuat kesimpulan
- Membuat catatan
d. Metode Assessment
- Mengumpulkan dan mengobservasi data sekunder
- Observasi langsung di lapangan
- Menanyakan pendapat para ahli
- Mewawancarai lawan bicara yang kapabel
- Diskusi grup
- Survei
e. Perbedaan Assessment Cepat , Assessment Detil dan
Assessment Continual
INDIKATOR RAPIDASSEST DETAIL ASSESSMENT CONTINUAL ASSESSMENT
19
dengan nara sumber
sumber Atau
Situasi
keamanan
yang
mengambat
kegiatan dan
akses kepada
orang
20
- Data Sekunder: data-data pendukung yang dapat melengkapi
informasi yang diperoleh dari dalam data primer. Diperoleh
melalui dokumen resmi.
i. Pengamatan Langsung :
- Pengamatan langsung di lokasi bencana
- Lokasi vs wilayah
- Lakukan dengan lembar isian ASSESSMENT.
- Perhatikan hal – hal seperti: Masyarakat, pengungsian, air
dan sanitasi sumber air, pembuangan, gudang, logistik, titik
distribusi, fasilitas umum yang masih ada (RS, pasar, sekolah,
tempat ibadah), dan keamanan.
j. Wawancara :
- Wawancara perorangan
- Informan utama adalah: Orang yang mempunyai informasi
yang berkaitan, yang berkenan untuk diwawancarai, Orang
yang memiliki pengetahuan mengenai masalah yang terjadi.
- Siapkan pertanyaan sebelum melakukan wawancara
k. Diskusi Kelompok :
- Bentuk kelompok: bisa beragam, ataupun yang memiliki
kesamaan
- Anggota 5 – 10 orang
- Siapkan bahan diskusi terlebih dahulu.
l. Data Sekunder :
- SEBELUM : Cari informasi sebanyak – banyaknya mengenai
lokasi, serta hal – hal lain yang berkaitan dengan bencana
yang terjadi
- Di LOKASI : Cari informasi yang berasal dari: Data
pemerintah, Data bencana sebelumnya, Hasil sensus,
Laporan – laporan yang sudah ada, atau berita dari media.
m.Analisis Data :
- GIGO (Garbage in, Garbage Out) - Penyaringan hasil
assessment. Mana yang perlu, mana yang tidak perlu.
- Lengkapi data yang diperoleh berdasarkan wawancara,
dengan apa yang dilihat di lapangan.
- Triangulasi data - Cek silang data.
n. Beberapa hal yang dapat menghambat kegiatan assessment :
- Keterbatasan waktu, dan perubahan situasi yang tiba – tiba
- Kurangnya sumber daya manusia dan sumber daya lainnya
21
- Sulitnya berkoordinasi dengan lembaga – lembaga lain
- Kesulitan untuk bekerjasama dengan banyak orang, banyak
pihak, dan situasi darurat
- Area assessment yang seringkali sulit untuk dicapai, ataupun
membutuhkan waktu yang lebih lama
o. Hal-hal yang harus diperhatikan
No Hal-hal yang harus diperhatikan selama menjalankan
assessment
4. Pemberian treatment/terapi
Setelah dilakukan assessment dan korban bencana alam telah dibagi
kedalam kelompok-kelompok sesuai dengan jenis gangguan yang
mereka alami dan berdasarkan usia korban, maka tindakan psikolog
selanjutnya adalah memutuskan terapi apa yang sesuai untuk
menangani gangguan psikologis tersebut agar gangguan psikologis
tersebut tidak berkepanjangan dan tidak berkembang menjadi lebih
buruk. Terapi yang tepat adalah menggunakan gabungan terapi
kelompok dengan terapi yang lain. Ada berbagai macam terapi yang bisa
digabungkan dengan terapi kelompok, diantaranya yaitu terapi person
22
centered; terapi behavioral; terapi bermain (terutama untuk anak-anak);
terapi agama; terapi menulis; terapi musik; terapi kognitif behavioral; dll.
Pemberian terapi ini dilakukan untuk mengatasi konflik a-sadar klien
(pendekatan psikoanalitik), membantu penerimaan diri klien secara
optimal (pendekatan humanistik dengan klien sebagai pusat dalam
proses terapi), mengintegrasikan perasaan-perasaan yang konflik
(pendekatan gestalt), mendapat makna kehidupan (pendekatan
existensial), restrukturisasi pola piker yang cenderung memojokkan diri
sendiri (kognitif), mengajarkan keterampilan untuk perilaku yang lebih
efektif (behavioristic). Dalam melakukan terapi psikologis tersebut,
diharapkan psikolog klinis mampu :
a. Menjalin relasi menolong dengan korban bencana alam melalui
pendekatan psikologis;
b. Mendengar aktif terhadap eksplorasi psikis yang dilakukan oleh
korban bencana alam melalui keluhan-keluhannya;
c. Menjalin kerja sama dengan korban bencana alam untuk mencari jalan
keluar bagi persoalan psikologis yang sedang mereka dihadapi,
sekaligus meningkatkan optimasi potensi fungsi mental mereka;
d. Mengajarkan keterampilan dalam mengatasi tekanan (stres) dan
mengendalikan otonomi para korban dalam meningkatkan efektivitas
kehidupan mereka bersikap empatik, artinya psikolog memasuki dunia
pengalaman para korban secara utuh dan penuh, melihat dunia
mereka seperti mereka melihat dunianya , tanpa ada penilaian.
Psikolog tetap netral dan otonom; tidak kehilangan otonomi dan tidak
hanyut dalam pengalaman itu (seperti dalam simpati).
f. Membantu para korban untuk mengatur diri mereka sendiri, memilih
prioritas dan membuat perencanaan akan kehidupan mereka di masa
depan.
g. Menggunakan bahasa non-verbal seperti sentuhan tangan,
penumpangan tangan, penggunaan minyak dan sebagainya untuk
23
trauma, stress and distress releasing, bila memungkinkan dan sesuai
dengan budaya setempat.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa dalam pemberian terapi
seorang psikolog harus memperhatikan faktor usia karena mengingat
bahwa masing-masing kelompok umur memiliki ciri khas dengan
penanganan yang berbeda pula. Oleh karena itu, terapi yang diberikan
pun tidak bisa disamaratakan. Terapi untuk orang tua, remaja dan anak-
anak harus berbeda. Terapi untuk orang tua bisa berupa terapi kelompok
yang dikombinasikan dengan terapi terapi person centered, terapi
agama, dan terapi kognitif behavioral. Bentuk dari terapi tersebut bisa
berupa briefing (penerangan ringkas) dan debriefing (tanya jawab/
wawancara), stress relief exercise (latihan membebaskan diri dari
stress), dll. Menurut Prof Tian Oei, Ph.D (Senin, 31 Januari 2005), dalam
memberikan terapi tersebut seorang psikolog harus melakukan
empowerment (member kuasa) pada para korban bencana, agar mereka
tidak helpless/bergantung pada seorang
psikolog. Jadi, tugas seorang psikolog hanyalah menunjukkan jalan yang
harus mereka tempuh dan meyakinkan mereka bahwa mereka dapat
melakukannya. Contoh dari bentuk terapi yang bisa dilakukan untuk
orang tua adalah tanya jawab mengenai keluhan rasa jenuh tinggal
dikam pengungsi dengan menggunakan pendekatan person centered.
Dari tanya jawab tersebut seorang psikolog dapat memberikan
penjelasan mengenai masalah yang sebenarnya dialami korban,
misalnya ternyata permasalahan pokok mereka adalah kurangnya
kegiatan yang dilakukan seperti memasak, sehingga para ibu-ibu bisa
melakukan kegiatan tersebut untuk membantu melupakan beban
psikologis yang menimpa mereka. Begitu juga dengan bapak-bapak bisa
melakukan kerja bakti membersihkan lingkungan sekitar misalnya. Tetapi
tetap harus diingat bahwa seorang psikolog hanya berfungsi sebagai
supervisor, sehingga seorang psikolog harus mengizinkan mereka untuk
memutuskan apa yang ingin mereka lakukan.
24
Terapi untuk remaja juga bisa berupa terapi kelompok yang
dikombinasikan dengan terapi terapi person centered, terapi agama, dan
terapi kognitif behavioral. Bentuk dari terapi tersebut bisa berupa briefing
(penerangan ringkas) dan debriefing (Tanya jawab/ wawancara), stress
relief exercise (latihan membebaskan diri dari stress) dan juga berupa
sekolah darurat. Dalam sekolah darurat pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan terapi kelompok dan terapi agama. Sedangkan
bentuk terapi yang lain yaitu briefing (penerangan ringkas) dan debriefing
(tanya jawab/ wawancara), stress relief exercise (latihan membebaskan
diri dari stress) bisa dilakukan pada saat liburan sekolah selama 18 jam
dengan melibatkan guru-guru dari sekolah yang bangunannya hancur
dan rusak berat. Untuk mengefektifkan terapi tersebut, seorang psikolog
harus meningkatkan ketrampilan dari guru-guru yang mengajar yaitu
berupa ketrampilan psikologis untuk menangani siswa korban gempa,
keterampilan pengelolaan diri (self-management), memahami
kharakteristik siswa korban gempa baik dilihat dari budaya dan
psikologis, ketrampilan untuk mendeteksi trauma bagi siswa SMP dan
SMA. Sedangkan terapi untuk anak-anak bisa berupa terapi kelompok
yang dikombinasikan dengan terapi bermain dan terapi agama. Bentuk
dari terapi tersebut bisa berupa sekolah darurat. Menurut Dra Avin Fadila
Helmi Msi secara umum sekolah darurat tersebut menyelenggarakan
proses belajar mengajar dengan memperhatikan aspek lingkungan,
psikis, sosial, dan tetap mengacu pada konsep religiusitas. Persiapan
proses pembelajaran di sekolah darurat itu disusun dalam tiga fase,
yakni menyiapkan model, modul, dan pematangan relawan yang akan
diterjunkan di lapangan. Selain melalui sekolah darurat tersebut
beberapa kegiatan yang bisa diterapkan untuk mengurangi beban
psikologis anak adalah menghimpun anak-anak dan mendongeng untuk
menghibur mereka, serta mengajak mereka bermain untuk melupakan
trauma. Hal ini bisa dilakukan dengan membentuk Trauma Center seperti
yang telah dilakukan oleh Kak Seto bersamasama dengan pemerintah.
25
Pendirian Trauma Center tersebut ditujukan untuk menangani gangguan
traumatis pada anak-anak yang menjadi korban bencana alam. Menurut
Kak Seto cara yang paling cepat membantu menyembuhkan trauma
anak adalah dengan memberikan cinta, perhatian, dan dunia indah untuk
bermain.
Perlu diingat bahwa kehidupan anak-anak tidak bisa lepas dari orang
tuanya. Oleh karena itu, selain pemberian terapi tersebut Dr Michael
Wasserman dari Ochsner Clinic Foundation di New Orleans, Louisiana,
menghimbau kepada para orang tua agar mereka berhati-hati dalam
memberikan informasi mengenai bencana alam tersebut kepada anak
anak karena kemungkinan besar secara emosi anak-anak masih belum
mampu "mengunyah"-nya. Selain itu, Wasserman juga menghimbau
agar orangtua jangan menghindari topik tersebut, tetapi
menyampaikannya dalam bahasa yang sesuai untuk umur anak. Orang
tua seharusnya mendengarkan dan menjawab pertanyaan yang diajukan
anak, namun orang tua sebaiknya tidak terlalu banyak memberikan
informasi. Menurut Wasserman orang dewasa dapat menenteramkan
hati anak tanpa harus terlalu
banyak memperingatkan (over-alarming). Selain metode terapi yang
telah dijelaskan di atas, dr G Pandu Setiawan, SpKJ, (Direktur
Pelayanan Medik dan Gigi Spesialis Depkes) menyatakan bahwa
penanganan korban bencana alam juga perlu diupayakan melalui media
intervensi seperti pemberian obat-obatan serta metode pendampingan
yang dilakukan relawan sampai para korban
merasa nyaman dan aman untuk melanjutkan hidup mereka lagi. Oleh
karena itu, dalam penanganan korban bencana alam seorang psikolog
klinis harus bekerjasama dengan pihak lain yaitu dokter, psikiater,
perawat, pekerja sosial, petugas psiko-sosial, pemuka agama, pemuka
adat, tokoh masyarakat dan para relawan
5. Evaluasi program treatment/ terapi
26
Setelah dilakukan terapi pada korban bencana alam, maka tugas
psikolog klinis selanjutnya adalah melakukan evaluasi program terapi
untuk melihat efek terapi yang telah diberikan. Seorang tim psikolog
harus mengevaluasi apakah terapi yang diberikan kepada korban
bencana alam sudah efektif atau masih perlu diperbaiki dan ditambah
dengan terapi yang lain. Oleh karena itu, tim psikolog harus selalu
memantau bagaimana perkembangan psikologis korban yang mendapat
penanganan psikologis. Jika terapi yang diberikan sudah membawa
sedikit perubahan ke arah positif maka tim psikolog harus menjalankan
cvfterapinya secara intensif sampai korban bencana benar-benar mampu
untuk membangun keseimbangan psikologis yang baru, sehingga
psikolog bisa meninggalkan lokasi bencana alam. Namun, jika terapi
yang sudah diberikan masih belum menghasilkan ke arah positif maka
tim psikolog harus mencari penyebab kegagalan terapi tersebut dan
berusaha untuk mencari jalan keluarnya, misalnya dengan menambah
terapi yang lain.
BAB III
27
PENUTUP
1. Kesimpulan
Stress itu adalah gangguan yang berasal dari lingkungan atau pun
penampilan individu di dalam lingkungan itu yang menyebabkan berubahkan
kebutuhan seseorang sehingga dapat mengganggu keseimbangan individu
di dalam lingkungan. Bencana merupakan peristiwa yang mengakibatkan
kerugian dalam aspek ekologi, ekonomi , psikologi dan lain
sebagainya,tentunya akan memberikan dapat stress dalam jumlah besar
kepada individu. Agar stress tersbut dapat ditanggulangi dengan sebaik-
baiknya seharusnya kita dapat melakukan assessment bencana secara rinci,
tepat, cepat , akurat serta dapat memilih metode assessment bencana yang
sesuai dengan keadaan di lapangan. Dari sana kita akan mampu
memberikan terapi/treatment yang tepat untuk para korban bencana, dapat
dikelompokan sesuai dengan gangguan psikologisnya dan umur. Dalam
memberikan terapi psikolog harus dapat menjalin relasi, kerjasama,
pendengar yang aktif, melatih keterampilan korban, dan bahasa non verbal.
Yang terakhir psikolog juga harus melakukan evaluasi terhadap terapi yang
diberikan agar mengetahui kemajuan psikologis korban bencana, apakah
metode terapi yang diberikan sudah sesuai dan menambah perkembangan
psikologis para korban bencana.
2. Saran
Bagi mahasiswa keperawatan agar materi ini benar-benar dipahami karena
akan membantu juga dalam memberikan pelayanan di masyarakat ketika
terjadi bencana sehingga kita mampu mengimplementasikan materi ini .
28
DAFTAR PUSTAKA
29
Dhe Josmorha Riddo. 2014. Definisi Bencana. (Online) Available:
https://www.scribd.com/doc/70339439/Definisi-
Bencana#download (3 Desember 2015)
30