Anda di halaman 1dari 2

Nama: Yoga Mufti Jawa Pratama

Kelas: H

NIM: 201710110311386

TUGAS UAS ANTROPOLOGI HUKUM

ANALISIS POLA PENYELESAIAN SENGKETA PADA MASYARAKAT DESA


PAKRAMAN BALI(Menurut Bronislaw Malinowski)

Konsep menurut Bronislaw Malinowski dirumuskan kedalam tingkatan abstraksi mengenai


aspek kebudayaan, yakni :

1. Saling keterkaitannya secara otomatis, pengaruh dan efeknya terhadap aspek lainnya.
2. Konsep oleh masyarakat yang bersangkutan.
3. Unsur-unsur dalam kehidupan sosial masyarakat yang terintegrasi secara fungsional.
4. Esensi atau inti dari kegiatan atau aktivitas tersebut tak lain adalah berfungsi untuk
pemenuhan kebutuhan dasar ‘’biologis’’ manusia.

 Salah satu perangkat hukum yang digunakan untuk mengatur tatanan kehidupan desa
pakraman dari jaman dulu hingga kini adalah awig-awig atau disebut dengan nama
lain tetapi fungsinya sama. Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa
pakraman dan atau krama banjarpakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam
pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama di
desa pakraman/banjar pakraman masing-masing. (Pasal 1 nomor urut 11, Perda Prov.
Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman). Dengan demikian, awig-
awig memiliki peranan yang cukup strategis dalam menciptakan kedamaian
(kasukertan) desa. Walaupun demikian, pada umumnya awig-awig itu tidak tertulis
dan kalaupun ada yang ditulis, tetapi belum tertuangkan dalam sistimatika yang baik,
seperti dapat diketahui dari awig-awig tertulis Desa Adat Bungaya, Kabupaten
Karangasem.

 Konsep Tri Hita Karana adalah konsep hukum alam yang dikodifikasikan oleh manusia
dan berlaku abadi pada setiap peradaban manusia.
Pada dasarnya hakikat ajaran tri hita karana menekankan tiga hubungan manusia dalam
kehidupan di dunia ini. Ketiga hubungan itu meliputi hubungan dengan sesama manusia,
hubungan dengan alam sekeliling, dan hubungan dengan ke Tuhanan yang saling terkait
satu sama lain. Setiap hubungan memiliki pedoman hidup menghargai sesama aspek
sekelilingnya. Prinsip pelaksanaannya harus seimbang, selaras antara satu dan lainnya.
 Berbicara tentang peranan awig-awig dalam penyelesaian sengketa adat, berarti berbicara
tentang desa adat atau desa pakraman, karena awig-awig dibuat untuk mengatur kehidupan
penduduk desa pakraman. Sulit dibayangkan pembicaraan tentang awig-awig desa
pakraman dapat dilakukan dengan tuntas, tanpa memahami ”saudaranya” yang dikenal
dengan ”desa dinas”, sebab, kalau dilihat dari keadaan penduduk dan wilayahnya, kedua
desa yang ada di Prov. Bali, keberadaannya tidak selalu sejalan. Ada desa pakraman yang
luas wilayah dan jumlah penduduknya persis sama dengan desa dinas. Ada satu desa dinas
terdiri dari bebrapa desa pakraman, ada satu desa pakraman terdiri dari beberapa desa dinas,
dan adakalanya juga satu desa dinas terdiri dari beberapa desa pakraman, salah satu
banjarnya masuk menjadi bagian dari desa pakraman lain yang juga ada di desa dinas yang
lain pula.
 Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali, Nomor: 050/Kep/Psm-1/MDP
Bali/III/2006 tentang Hasil-hasil Pasamuhan Agung I MDP Bali tanggal 3 Maret 2006,
mengelompokkan penduduk Bali menjadi tiga, yaitu: krama desa (penduduk beragama
Hindu dan mipil atau tercatat sebagai anggota di desa pakraman tempatnya
berdomisili); krama tamiu (penduduk yang beragama Hindu dan tidak mipil atau tidak
tercatat sebagai anggota di desa pakraman tempatnya berdomisili); dan tamiu (penduduk
non-Hindu dan bukan anggota desa pakraman). Berdasarkan pengertian pelanggaran adat
dan penduduk Bali seperti di atas, saya berpendapat, setiap penduduk Bali berpeluang
melakukan pelanggaran adat (parilaksana nenten satinut ring daging awig-
awig). Pertanyaannya, mungkinkah itu dijadikan wicara dan dikenakan danda atas nama
mengembalikan keharmonisan sekala lan niskala.

Anda mungkin juga menyukai