Anda di halaman 1dari 4

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah

selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-
duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-
kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”
dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang mulia.” (QS. al-Isra` : 23)
***

Kebaikan adalah sebuah sifat yang mulia. Ia ada sebab kecintaan


kepada Allah. Kebaikan juga dapat dikatakan sebagai pekerjaan nan
mulia. Ia dikatakan baik apabila dilakukan dalam kesendirian. Bukan
dalam keramaian pandangan manusia.

Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam pernah ditanyakan oleh


sahabat mengenai perbedaan kebaikan dengan keburukan. Beliau
menjawab dengan penuh kearifan bahwa kebaikan adalah akhlak mulia
(husnul khuluq) sementara perbuatan dosa adalah sesuatu hal yang
membuat hati menjadi tidak tenang dan pelakunya tidak ingin
perbuatannya diketahui orang lain.
Salah satu ladang amal –dari sekian banyak ladang– yang paling
dekat adalah orang tua. Ia bisa menjadi pisau bermata dua. Tajam ke
satu sisi, tajam pula ke sisi yang lain. Dengan kata lain, ia bisa menjadi
busur bagi siapapun untuk membidik tujuh tingkatan surga-Nya. Ia bisa
juga menjadi bumerang yang membinasakan pemiliknya.

Semua kembali kepada yang menggarap ladang tersebut. Bisa menjadi


ladang kebaikan, bisa pula menjadi ladang maksiat kita kepada
Allah. Na’udzubillah min dzalik.
Keutamaan Berbakti Kepada Orang Tua
Suatu hari, ‘abdullah biN MaS’ud bertaNya kepada raSulullah, “ Wahai
Rasulullah, amalan apakah yang paling utama?” raSulullah MeNjawab,
“Shalat tepat pada waktunya.” keMudiaN ia keMbali bertaNya, “Lalu
apa lagi?” raSulullah MeNjawab, “Berbakti kepada orang tua.”
keMudiaN ia keMbali bertaNya, “Lalu apa lagi?” raSulullah Shallallahu
’alaihi Wasallam MeNjawab, “Berjihad di jalan Allah.”. (Muttafaq
‘alaih)
Dalam hadits yang lain, diriwayatkan oleh Tirmidzi, dijelaskan bahwa
berbakti kepada kedua orang tua adalah jalan tengah pintu surga.

ْ َ‫الباب أو احف‬
‫ظه‬ َ ‫فأضع ذلك‬ َّ ،‫ب الجنَّ ِة‬
ِ َ‫فإن شئت‬ ُ ‫الوا ِل ُد أوس‬
ِ ‫ط أبوا‬

“Kedua orang tua itu adalah pintu surga yang paling tengah. Jika
kalian mau memasukinya maka jagalah orang tua kalian. Jika kalian
enggan memasukinya, silahkan sia-siakan orang tua kalian.” (hr.
tirMidzi, ia berkata: “haditS iNi shahih”).
Ancaman Bagi yang Melalaikannya
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
‫ أحدَّهما أو كليهما فلم‬، ‫الكبر‬
ِ ‫ من أدرك أبويه عند‬: ‫ من ؟ يا رسو َل هللاِ ! قال‬: ‫أنف قيل‬
ُ ‫ ثم رغم‬، ‫أنف‬
ُ ‫ ثم رغم‬، ‫أنف‬
ُ ‫رغم‬
َ
َ‫يَدْخ ِل الجنة‬

“Kehinaan, kehinaan, kehinaan.“. Para sahabat bertaNya, “Siapa wahai


Rasulullah?”. Nabi MeNjawab, “Orang yang mendapati kedua orang
tuanya masih hidup ketika mereka sudah tua, baik salah satunya atau
keduanya, namun orang tadi tidak masuk surga.” (hr. MuSliM 2551)
Dalam hadits ini terkandung anjuran untuk melaksanakan
perintah birrul walidain (berbakti kepada orang tua), dan penjelasan
tentang betapa besar pahalanya. Artinya, berbakti kepada kedua
orang tua ketika mereka sudah tua, dalam bentuk khidmat (bantuan
fisik), atau nafkah, atau dalam bentuk lain, merupakan sebab untuk
masuk surga. Barangsiapa yang lalai terhadap hal ini maka ia
melewatkan kesempatan masuk surga dan ia juga mendapat kehinaan di
sisi Allah. (Syarh Shahih Muslim, 1/85).
Sungguh mulia birrul walidain ini. Karena ia bisa membawa keridhaan
orang tua atas pelakunya. Kemudian, puncak konsekuensi dari ridha
orang tua adalah surga Allah.
Meneladani Kisah Uwais Al-Qarni
Siapakah Uwais Al-Qarni?

Dia adalah seorang penduduk Yaman, daerah Qarn, dan dari kabilah
Murad. Ayahnya telah meninggal. Dia hidup bersama ibunya yang lumpuh
dan dia berbakti kepadanya.

Ibunya pernah mengatakan bahwa kehidupannya tidak akan lama lagi,


sehingga ia meminta kepada Uwais Al-Qarni untuk mengusahakannya
mengerjakan haji ke Baitullah. Ia tercenung. Perjalanan ke Mekah
sangat jauh melewati padang tandus dan panas. Orang-orang biasanya
menyiapkan perbekalan yang banyak dan kendaraan. Namun, ia sangat
miskin dan tidak memiliki kendaraan.

Ia akhirnya memutuskan untuk membeli seekor anak lembu. Anak lembu


ini tentu tidak digunakan sebagai kendaraannya untuk pergi ke Mekah.
Apa yang ia lakukan? Ia membuatkan kandang di atas bukit. Lalu ia
setiap hari naik-turun bukit dengan membawa anak lembu itu di atas
pundaknya.

Setelah delapan bulan berlalu, sampailah pada musim haji. Anak lembu
itu kini telah menjadi lembu yang besar. Begitu pula dengan otot-otot
Uwais Al-Qarni. Ia kuat untuk mengangkat barang-barang yang berat di
atas pundaknya.

Kemudian, ia menggendongkan ibunya di atas pundak sampai ke Mekah.


Semua itu ia lakukan dengan berjalan kaki! Sungguh besar kecintaan
Uwais Al-Qarni kepada ibunya. Hal ini tampak dalam kesungguhan
memenuhi keinginan ibunya.

di Mekah, ia berjalaN tegap MeNggeNdoNg ibuNya thawaf di ka’bah.


Ibunya terharu dan bercucuran air mata telah melihat Baitullah. Di
hadapaN ka’bah, ibu daN aNak itu berdoa. “Ya Allah, ampuni semua dosa
ibu,” piNta uwaiS. “Bagaimana dengan dosamu?” taNya ibuNya heraN.
uwaiS MeNjawab, “Dengan terampunnya dosa Ibu, maka Ibu akan masuk
surga. Cukuplah ridha dari Ibu yang akan membawa aku ke surga.”
Adz Dzahabi pernah berkata mengenai Uwais Al-QarNi, “Seorang teladan
yang zuhud, penghulu para tabi’iN di zamannya, termasuk di antara
wali-wali Allah yang shalih lagi bertaqwa, dan hamba-hamba-Nya
yang ikhlas.” (Siyar a’laM An Nubala’ 4/19)
Semoga Allah senantiasa membimbing kita dalam jalan-Nya.

Wallahu a’laM.

Anda mungkin juga menyukai