Anda di halaman 1dari 45

Bidang Unggulan: Pangan Nasional

Kode/Nama Rumpun Ilmu: 156/Pemuliaan Tanaman

LAPORAN KEMAJUAN
PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

PENGEMBANGAN JAGUNG TOLERAN KEKERINGAN DAN


ADAPTIF PERUBAHAN IKLIM GLOBAL SERTA ANALISIS
KEBUTUHAN AIRNYA DI ARJASARI, JAWA BARAT

Dr. Edy Suryadi, Ir., M.T. NIDN 0014056701


Dedi Ruswandi, Ir., M.Sc., Ph.D. NIDN. 0029116801

UNIVERSITAS PADJADJARAN
2017

1
2
DAFTAR ISI

hal
Ringkasan 4
Bab I. Pendahuluan 5
Bab II. Tinjauan 7
2.1. Peta Jalan (Road map) dan RIP Pengembangan Jagung Unggul Unpad 7
2.2. Multiple Cropping 8
2.3. Analisis Kebutuhan Air Tanaman Pada Sistem Tumpangsari Berbasis Jagung 9
2.4. Stabilitas dan Adaptabilitas 10
Bab III. Tujuan dan Manfaat 11
Bab IV. Metode Penelitian 13
Bab V. Hasil Yang Dicapai 21
Bab VI. Rencana Tahapan Berikutnya 35
Bab VII. Kesimpulan dan Saran 36
Daftar Pustaka 37

3
RINGKASAN

Ketahanan pangan merupakan salah satu isu strategis yang akan selalu menjadi fokus
pengembangan pertanian Indonesia, karena pertanian Indonesia menanggung beban untuk mencukupi
kebutuhan nutrisi yang berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia sekaligus mensejahterakan petani
Indonesia. Salah satu tantangan dalam menjawab isu strategis tersebut adalah permasalahan
kekeringan sebagai akibat adanya perubahan iklim global. Saat ini tim pengembangan jagung UNPAD
telah menghasilkan galur-galur elit jagung baik yang berupa galur-galur non-mutan maupun galur galur
mutan yang memiliki potensi hasil yang tinggi, tahan penyimpanan, dan toleran naungan. Diperlukan
suatu program pemuliaan tanaman jagung beradaptasi pada lingkungan kering yang komprehensif
selama tiga tahun dengan tujuan: (1) Mengidentifikasi pengaruh iklim global terhadap ketersediaan air
tanah pada berbagai pola tanam berbasis jagung; (2) Menentukan karakter morfofisiologi, phenology,
dan agronomi jagung yang berasosiasi dengan toleransi jagung terhadap kekeringan pada berbagai pola
tanam, (3) Menentukan respon morfologi, phenology, dan agronomi jagung pada pergeseran waktu
tanam yang dipengaruhi perubahan iklim global, (4) Menseleksi galur tetua jagung toleran kekeringan
yang memiliki efisiensi penggunaan air yang tinggi pada berbagai pola tanam dan kalender tanam, (5)
Merakit hibrida toleran kekeringan yang efisien dalam penggunaan air pada berbagai pola tanam dan
kalender tanam, (6) Mengestimasi daya gabung dan komponen genetic toleransi jagung terhadap
kekeringan yang efisien dalam penggunaan air pada berbagai pola tanam dan kalender tanam, (7)
Fingerprinting galur tetua dan hibrida jagung berdasarkan marka molekuler, (8) Mengidentifikasi
kandungan nutrisi galur tetua dan hibrida jagung. Secara umum garis besar rencana penelitian dari
tahun ke-1 hingga tahun ke-3 terdiri atas: (1) Identifikasi pengaruh iklim global terhadap
ketersediaan air tanah pada berbagai pola tanam jagung: (a) Menentukan ketersediaan air tanah pada
berbagai pola tanam berbasis jagung, (b) Menentukan ketersediaan air tanah pada berbagai waktu
tanam, (c) Karakteristik toleransi jagung terhadap kekeringan, (d) Skrining marka molekuler SSR
untuk identifikasi tetua dan hibrida toleran kekeringan; (2) Analisis kebutuhan air galur jagung pada
berbagai pola dan waktu tanam: (a) Analisis kebutuhan air GALUR jagung pada berbagai waktu tanam,
(b) Analisis kebutuhan air galur jagung pada berbagai pola tanam; (c) Menentukan tetua jagung toleran
kekeringan berdasarkan marka SSR, (d) Diallel cross hibrida toleran kekeringan efisien dalam
penggunaan air; (3) Seleksi hibrida jagung toleran kekeringan: (a) Analisis kebutuhan air hibrida
jagung pada berbagai waktu tanam, (b) Analisis kebutuhan air hibrida jagung pada berbagai pola
tanam; (c) Seleksi hibrida jagung toleran kekeringan berdasarkan daya gabung, (d) fingerprinting
DNA galur dan hibrida jagung toleran kekeringan berdasarkan marka SSR. Penelitian akan
menghasilkan luaran berupa: (1) Publikasi ilmiah pada jurnal internasional dengan topik breeding
maize for tolerance to drought; breeding maize for medium land; breeding maize adapted to different
planting time for anticipating global climate change; fingerprinting of Indonesian maize collection;
Proximate analysis of Indonesian maize collection; Water use efficiency of maize under drought and
different planting time; dll. Publikasi tersebut berkontribusi dalam: (i) mengembangkan metode dan
waktu seleksi dalam pengembangan jagung toleran kekeringan pada lahan kering dataran medium; (ii)
menentukan strategi pengembangan jagung lahan kering dataran medium yang dipengaruhi perubahan
iklim global; (2) HAKI perlindungan varietas tanaman berupa: (i) galur tetua jagung terbaik yang akan
digunakan sebagai tetua hibrida superior yang toleran kekeringan serta adaptif lahan kering dataran
medium, (ii) hibrida jagung superior toleran kekeringan serta adaptif lahan kering dataran medium; (3)
Teknologi Tepat Guna berupa: (i) Panduan penentuan ketersediaan air pada berbagai pola tanam
berbasis jagung dan kalender tanam, (ii) Panduan budidaya hibrida jagung toleran kekeringan pada
berbagai pola tanam, (iii) Deskripsi galur tetua dan hibrida jagung toleran kekeringan untuk dataran
medium, (iv) Deskripsi galur tetua dan hibrida jagung toleran kekeringan pada berbagai pola tanam;
(4) Rekayasa sosial dan kesejahteraan petani jagung Arjasari dengan budidaya dan peningkatan nilai
tambah jagung Unpad toleran kekeringan dan adaptif dataran medium; dan (5) Buku dengan topik: (i)
Konservasi Tanah dan Air pada sistem budidaya jagung lahan kering dan dataran medium, (ii) Jagung
Toleran Kekeringan.

Kata kunci: iklim global, jagung, kalender tanam, lahan kering, SSR, toleran kekeringan, water use
efficiency
4
I. Pendahuluan

Kebutuhan jagung nasional yang selalu meningkat tidak dapat dipenuhi oleh produksi jagung
domestik. Indonesia masih mengimpor tidak kurang dari 4 juta ton atau setara dengan Rp 12 trilyun per
tahun, walaupun total produksi jagung nasional mencapai 20 juta ton pada tahun 2015. Kasryno (2002)
menerangkan pemanfaatan jagung domestik sebagai bahan pakan/industri pakan (57%), pangan (34%),
dan kebutuhan industri lainnya (9%). Kebutuhan produk olahan jagung akan semakin meningkat dengan
adanya industri pengolahan tepung, sirup, dan minyak berbahan dasar jagung. Peningkatan kebutuhan
jagung dipengaruhi oleh perubahan pola hidup masyarakat yang meningkat kehidupan perekonomiannya
yang ditandai dengan peningkatan konsumsi protein hewani. Hal ini secara langsung didorong oleh
berkembangnya industri peternakan yang banyak menggunakan jagung sebagai bahan pakan ternak
(Bastari, 1998; Erwidodo & Pribadi, 2002; BPS, 2013).
Sebagian besar produksi jagung domestik dipenuhi oleh sentra produksi di Pulau Jawa.
Kendala yang dihadapi pada produksi jagung di Jawa adalah lahan yang digunakan untuk jagung
bersaing dengan lahan untuk kedelai. Hal ini dtunjukkan jika produksi jagung meningkat maka produksi
kedelai menurun, dan demikian juga sebaliknya (BPS, 2013). Permasalahan yang dihadapi antara lain:
masih rendahnya produktivitas jagung (rata-rata nasional 4 ton/ha); konversi lahan subur menjadi daerah
industri di sentra produksi jagung; perubahan iklim global yang menyebabkan kekeringan ataupun banjir
yang melanda sentra produksi jagung; perpindahan areal pertanaman jagung ke lahan-lahan kering sub-
optimal; tidak tersedianya benih unggul terutama hibrida yang spesifik daerah kering yang sering
dilanda kekeringan; serangan laten organisme pengganggu seperti bulai, hama penggerek tongkol, hama
gudang yang berevolusi memecahkan gen ketahanan serta faktor lainnya.
Kultivar unggul yang toleran kekeringan serta tahan naungan belum tersedia. Perakitan kultivar
jagung yang toleran kekeringan merupakan salah satu faktor kunci dalam meningkatkan produksi dan
produktivitas jagung nasional. Kekeringan mempengaruhi kecepatan fotosintesis sehingga dapat
menurunkan persediaan aliran asimilat. Aliran asimilat untuk pertumbuhan organ menurun sejak
perkembangan rambut (silk) sebagai sink. Pertumbuhan rambut (silk) akan tertunda sehingga Anthesis
Silking Interval (ASI) meningkat dan pada akhirnya mengganggu polinasi. Struktur organ reproduktif

betina lebih peka dari pada malai, malai lebih awal rusak apabila suhu tanaman mencapai 38 C.

Aborsi tongkol dan biji meningkat sehingga tongkol tanaman menjadi hampa. Tanaman yang hampa
berakibat terjadi penurunan bobot biji secara nyata (Zaidi, et al , 2002).
Hambatan dalam mempertahankan swasembada dan peningkatan produksi jagung adalah adanya
perubahan iklim global yang mempengaruhi kalender tanam yang berdampak terhadap penurunan
produktivitas pertanaman (5 – 20 persen) atau bahkan kegagalan panen (Susanti et al., 2009; Balai
Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, 2009; Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
Lahan Pertanian, 2008). Pengembangan varietas unggul yang toleran terhadap kekeringan dan
perubahan kalender tanam sebagai akibat perubahan iklim global merupakan upaya untuk

5
mempertahankan swasembada jagung.
Arjasari adalah representasi lahan kering dataran medium Jawa Barat yang terletak di
Kabupaten Bandung merupakan daerah dataran dan lereng bukit dengan ketinggian bervariasi dari 600
sampai 950 m dpl. Luas wilayah kecamatan Arjasari tercatat seluas 49,35 Km 2 atau 4935,30 ha yang
terdiri dari lahan pertanian sawah, lahan pertanian bukan sawah dan lahan non- pertanian. Arjasari
merupakan daerah bercurah hujan sedang dengan curah hujan tahunan sebesar 1885 mm dan curah hujan
harian sebesar 5,08 mm (BPS, 2014). Diperlukan informasi yang akurat tentang potensi air tanah dalam
hidrologi pertanian dan ketersediaannya dalam mengantisipasi perubahan iklim global sehingga dapat
dimanfaatkan dalam pengembangan tanaman pangan di lahan kering beriklim kering. Fluktuasi
ketersediaan air tanah setiap musim tanam dari suatu kalender tanam dapat diketahui dengan
menggunakan neraca air yang merupakan perincian tentang input, output dan perubahan potensi air yang
terdapat pada suatu lahan dalam satu musim tanam. Besaran tiap komponen siklus dapat diukur dan
disusun sehingga menghasilkan neraca air yang berguna dalam memprediksi perubahan iklim.
Perubahan iklim global terhadap produktivitas jagung dapat diukur bila produktivitas pertanaman pada
berbagai pola tanam dan kalender tanam berbasis jagung tersedia.
Rencana Induk Penelitian Pilar Pangan khususnya Klaster Pengembangan Jagung Unggul telah
disusun oleh Universitas Padjadjaran (Unpad) dalam menyokong program swasembada berkelanjutan
jagung. Unpad telah menyusun Program pengembangan jagung yang komprehensif berupa
pengembangan varietas jagung yang toleran lingkungan sub-optimal, baik stress biotik maupun
abiotik serta pola tanam tunggal atau tumpangsari; pemetaan tanah dan cuaca yang dapat
menjelaskan mengapa varietas jagung yang dikembangkan dapat adaptif pada lingkungan tertentu;
pengembangan sarana produksi baik pupuk, biopestisida, sistem irigasi, maupun alat dan mesin yang
dapat meningkatkan produktivitas jagung Unpad sesuai dengan kapasitas genetiknya; produksi dan
pemasaran benih jagung Unpad yang menguntungkan; maupun pengolahan pasca panen jagung
Unpad untuk kebutuhan pangan maupun sebagai pakan (Ruswandi, dkk, 2013).
Sejalan dengan implementasi Rencana Induk Penelitian Unpad, Lababoratorium Teknologi
Benih dan Pemuliaan Tanaman berkolaborasi dengan Laboratorium Konservasi Tanah dan Air telah
berhasil mengembangkan populasi-populasi jagung yang potensial berdaya hasil tinggi, kandungan
protein tinggi, umur genjah dan tahan terhadap penyakit karat daun melalui program pemuliaan tanaman
(Ruswandi, et al., 2004a, Ruswandi, et al., 2004b, Ruswandi et al., 2003). Saat ini sedang dilakukan
penelitian awal tentang toleransi jagung terhadap kekeringan (Ruswandi, et al., 2014). Kegiatan ini
dilakukan dalam upaya menyediakan calon varietas-varietas jagung toleran kekeringan sehingga dapat
memanfaatkan air tersedia pada lahan kering untuk mempertahankan produksi dan mencapai
swasembada jagung. Pengembangan jagung yang toleran terhadap kekeringan dapat dilakukan dengan
pendekatan morfo-fisiologi, kandungan nutrisi, kebutuhan air dan marka molekuler serta dilakukan
pemetaan potensi genetik berdasarkan marka molekular berkaitan dengan hasil tinggi, umur genjah, dan
toleran kekeringan.

6
II. Tinjauan Pustaka

2.1. Peta Jalan (Road map) dan RIP Pengembangan Jagung Unggul Unpad

Perakitan Hibrida Mutan Berdaya Hasil dan Kandungan Nutrisi tinggi, toleran stress biotik
dan abiotik serta adaptif pada berbagai lingkungan tanam menunjang ketahanan pangan di Indonesia
merupakan salah satu bidang unggulan Unpad yang termasuk dalam pilar pangan dan klaster
pengembangan jagung unggul Unpad (Ruswandi, dkk., 2013). Tujuan program dalam klaster ini
adalah: (1) Merakit kultivar jagung hibrida yang berdaya hasil tinggi, toleran terhadap stress biotik dan
abiotik, serta memiliki kandungan nutrisi yang tinggi; (2) Mempelajari sistem budidaya jagung pada
pola dan jarak tanam yang sesuai dengan genotip yang sedang dikembangkan; (3) Memetakan tanah
dan cuaca yang dapat menjelaskan mengapa varietas jagung Unpad yang dikembangkan dapat adaptif
pada lingkungan tertentu; (4) Mengembangkan sarana produksi baik pupuk, biopestisida, sistem
irigasi, maupun alat dan mesin yang dapat meningkatkan produktivitas jagung Unpad sesuai dengan
kapasitas genetiknya; (5) Mengembangkan sistem produksi dan pemasaran benih jagung Unpad yang
menguntungkan baik bagi produsen maupun konsumen; (6) Mengembangkan olahan pangan
berbasiskan jagung Unpad; (7) Mengembangkan produk pakan dan hijauan berbasiskan jagung Unpad.
Detil tahapan penelitian program klaster ini diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Peta Jalan Klaster Pengembangan Jagung Unggul Unpad (2010 – 2020)
Mid term (2010-2016) Long term (2017-2020)
Tahap Identifikasi kandungan nutrisi dalam Perbanyakan, pengepakan, dan
lanjut rangka pengajuan perlindungan distribusi benih hibrida dan tetuanya
varietas tanaman (2016) (2020)
DNA fingerprinting jagung hibrida Makroplot dan uji penerimaan petani
hasil dan nutrisi tinggi Unpad terhadap jagung hibrida hasil dan
(2015-2016) nutrisi tinggi Unpad (2020)
Seleksi hibrida yang memiliki daya Uji Multilokasi varietas Hibrida hasil dan
gabung nutrisi tinggi Unpad di Indonesia (2019)
khusus dengan metode persilangan
Pengembangan sistem PHT dan
biopestisida
yang dapat meningkatkan
Pengembangan sistem irigasi, maupun
alsin
untuk meningkatkan produktivitas
Tahap jagung
Evaluasi hibrida test cross hasil dan Menyusun peta genetik toleransi jagung
pengembangan nutrisi terhadap kekeringan berdasarkan
tinggi Unpad (2013) marka molekuler dan kandungan
nutrisi dan efisiensi penggunaan air
Seleksi galur tetua jagung toleran
kekeringan yang memiliki efisiensi
penggunaan air yang tinggi pada
berbagai pola tanam dan kalender tanam
Merakit hibrida toleran kekeringan yang
efisien dalam penggunaan air pada
berbagai pola tanam dan kalender
Response hibrida hasil dan nutrisi tinggi Menyusun kalender tanam jagung pada lahan
Unpad pada beberapa kepadatan dan kering dataran medium (2018)
pola tanam (2014)
7
Pengembangan pupuk untuk meningkatkan Pengembangan indeks seleksi toleransi
produktivitas jagung Unpad (2013) jagung terhadap kekeringan pada berbagai
pola tanam (2017)
Seleksi Mutan Jagung Berumur Genjah Identifikasi pengaruh iklim global terhadap
Tahap Berdasarkan Marka Molekuler Dan ketersediaan air tanah pada berbagai pola
inisiasi Stabilitasnya Dalam Menunjang tanam berbasis jagung (2017)
Ketahanan Pangan Di Indonesia dibiayai
Dirjen Dikti (2010-2012).
Tahapan Perakitan Hibrida Mutan Berdaya Hasil dan Kandungan Nutrisi Tinggi Serta Adaptif
Dalam Menunjang Ketahanan Pangan di Indonesia

2.2. Multiple Cropping


Usaha peningkatan produksi tanaman jagung dapat dilakukan dengan memperluas areal
pertanaman. Terbatasnya areal untuk perluasan menyebabkan pengembangan tanaman jagung
diarahkan kepada pemanfaatan lahan kosong dibawah pertanaman. Multiple cropping adalah sistem
budidaya dengan menumbuhkan dua atau lebih jenis tanaman pada suatu area pertanaman dalam kurun
waktu satu tahun ( Kumar et al., 2012), menjelaskan bahwa multiple cropping terdiri dari beberapa
jenis, diantaranya (1) Sequential cropping, merupakan sistem budidaya dengan menanam lebih dari
satu jenis komoditas yang dilakukan secara bergiliran pada satu lahan pertanian dalam kurun waktu satu
tahun. Setiap musim tanam hanya ditanam satu jenis komoditas; (2) Ratoon cropping, merupakan suatu
bentuk dari sequential cropping, dengan menanam komoditas yang dapat tumbuh lagi setelah dipanen,
misalnya, tebu, padi, kapas, pisang; (3) Intercropping, merupakan sistem budidaya dengan menanam
lebih dari satu jenis komoditas secara simultan pada lahan yang sama dan waktu yang sama; (4) Relay
cropping, merupakan sistem budidaya dengan menanam lebih dari satu jenis komoditas pada suatu areal,
dimana komoditas kedua ditanam pada saat komoditas pertama mendekati waktu panen.
Jenis multiple cropping yang digunakan dalam penelitian adalah metode intercropping.
Pemilihan tanaman penyusun dalam intercropping senantiasa mendasarkan pada perbedaan karakter
morfologi dan fisiologi antara lain kedalaman dan distribusi sistem perakaran, bentuk tajuk, lintasan
fotosintesis, pola serapan unsur hara sehingga diperoleh sauatu karakteristik pertumbuhan,
perkembangan dan hasil tumpangsari yang bersifat sinergis (Gomez dan Gomez, 1983 dan
Palaniappan, 1985). Selain itu, menurut Odum, (1983) komoditas yang ditanam dengan intercropping
adalah komoditas dari famili yang berbeda dan yang memenuhi syarat-syarat seperti berbeda dalam
kebutuhan zat hara, jenis hama dan penyakit dan kepekaaan terhadap toksin.
Menurut Kumar et al. (2012), secara umum beberapa keuntungan yang diperoleh dengan
penanaman secara intercropping diantaranya (1) meningkatkan keanekaragaman hayati dan stabilitas
tanaman; (2) meningkatkan hasil panen, apabila dua atau lebih komoditas dengan sistem perakaran
berbeda, kebutuhan air dan nutrisi yang berbeda dan pola tumbuh yang berbeda ditanam pada lahan
yang sama, maka penggunaan air, nutrisi dan sinar matahari akan lebih efisien sehingga hasil
gabungan dari tanaman intercropping bisa lebih tinggi dibandingkan dengan pertanaman tunggal; (3)
efisien dalam penggunaan saprotan; (4) memelihara kesuburan tanah, misalkan intercropping dengan
tanaman legume; (5) mengurasi penyebaran hama dan penyakit; (6) mengurangi populasi gulma; (7)

8
memperkecil resiko gagal panen dan; (8) meningkatkan soil cover sehingga dapat menurunkan laju
erosi.

2.3. Analisis Kebutuhan Air Tanaman Pada Sistem Tumpangsari Berbasis Jagung
Air merupakan kompenen fisik utama penyusun tanaman sekaligus berperan penting dalam
proses metabolisme. Untuk dapat mencukupi kebutuhan air pada fase pertumbuhan tanaman, maka
pelaksanaan pengelolaan air sangat dibutuhkan khususnya untuk memenuhi kebutuhan air tanaman
khususnya pada sistem Tumpangsari. Masalah yang paling mendasar adalah ketersediaan air di lahan
kering yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan air tanaman jagung dan kedelai terutama saat
musim kemarau, sehingga menyebabkan cekaman air. Untuk mengurangi kondisi cekaman air yang
akan berdampak pada pertumbuhan dan produksi tanaman jagung dan kedelai maka diperlukannya
analisis jumlah kebutuhan air.
Pengelolaan lahan yang baik untuk pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh kondisi air
tanah dan curah hujan. Curah hujan di kecamatan Arjasari pada tahun 2013 berkisar 1885 mm/tahun
dengan rata-rata 5,08 mm/perhari, curah hujan tertinggi tercatat terjadi di bulan April, Nopember dan

desember dengan suhu udara berkisar antara 18 – 26 C (BPS, 2014). Melihat dari tingkat curah hujan

kecamatan Arjasari perlu dilakukan analisis kebutuhan air tanaman yang tepat untuk mengetahui berapa
kebutuhan air tanaman. Analisis dilakukan menggunakan metode Thornthwaite Mather dan Penman
Monteith. Analisis yang dilakukan diharapkan dapat menunjang pertumbuhan tanaman dan
produktivitas hasil tanaman jagung dan ubi jalar. Produktivitas jagung dan ubi jalar dapat maksimal
jika jumlah air yang dibutuhkan tanaman tercukupi dan penggunaannya juga teratur.
Untuk meningkatkan swamsembada pangan khususnya jagung perlu dilakukan pengelolaan
secara baik dalam proses produksi jagung. Dewi (2014) menyatakan bahwa teknologi budidaya yang
belum optimal dan penurunan luas lahan pertanian menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
produksi tanaman pangan di Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi
jagung adalah dengan mengoptimalkan penggunaan lahan dan menggunakan teknologi tanam yang
tepat. Penggunaan model pola tanam tumpangsari antara jagung dan kedelai diharapkan dapat
meningkatkan produksi jagung dan dapat memaksimalkan penggunaan lahan.
Kendala pada usaha tani di lahan marginal adalah kurangnya ketersediaan air dan miskinnya
unsur hara pada lahan tersebut. Musim tanam yang pendek dan curah hujan yang tidak menentu
sangat membatasi peningkatan intensitas penggunaan lahan. Penerapan pola usahatani terpadu dengan
memperhatikan aspek iklim sangat diperlukan. Pola integrasi antara tanaman dan ternak serta
konservasi lahan dengan memperhatikan kondisi iklim yang tepat akan dapat memberikan nilai
tambah bagi petani dan merubah wawasan petani dalam meningkatkan taraf hidupnya (Arsana dkk.,
2012). Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis kebutuhan air tanaman pada sistem Tumpangsari
tanaman jagung dan kedelai. Untuk menentukan kebutuhan air tanaman terdapat beberapa metode yang

9
dapat digunakan diantaranya dengan menggunakan software Cropwat yang disusun oleh FAO serta
perhitungan secara manual menggunakan metode Thronthwaite.
2.4. Stabilitas dan Adaptabilitas
Penampilan genotip tanaman berdasarkan adaptasi dan stabilitas keduanya terkait erat dengan
besar kecilnya interaksi G x E. Stabilitas adalah kemampuan genotip tanaman untuk mempertahankan
penampilan potensi hasil terhadap perubahan lingkungan pada wilayah kisaran tempat tumbuh yang
spesifik (Baihaki, 2000). Selanjutnya Becker & Leon (1988) menjelaskan perbedaan konsep stabilitas
menjadi konsep statis dan dinamis. Menurut konsep statis, stabilitas maksimum terjadi bila hasil suatu
genotip konstan terhadap lingkungan dan disebut dengan homeostatis. Menurut konsep dinamis, suatu
genotip dianggap stabil jika penampilannya pada lingkungan yang berbeda mendekati apa yang
diharapkan dari potensi suatu lingkungan. Pengujian stabilitas sangat diperlukan pada saat
pengembangan suatu varietas baru. Sebuah penelitian stabilitas telah dilakukan pada uji multilokasi
jagung single cross koleksi Unpad yang dilakukan di tujuh lokasi yang berbeda di pulau Jawa pada
bulan Maret sampai bulan Juli 2005. Uji multilokasi di Jawa Barat berhasil menyeleksi hibrida
Single cross baru yang didasarkan pada stabilitas dan interaksi antara genotipe dan lingkungan
(Ruswandi, 2005).

10
III. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengidentifikasi pengaruh iklim global terhadap ketersediaan
air tanah pada berbagai pola tanam berbasis jagung; (2) Menentukan karakter morfo-fisiologi,
phenology, dan agronomi jagung yang berasosiasi dengan toleransi jagung terhadap kekeringan pada
berbagai pola tanam; (3) Menentukan respon morfologi, phenology, dan agronomi jagung pada
pergeseran waktu tanam yang dipengaruhi perubahan iklim global; (4) Menseleksi galur tetua jagung
toleran kekeringan yang memiliki efisiensi penggunaan air yang tinggi pada berbagai pola tanam dan
kalender tanam; (5) Merakit hibrida toleran kekeringan yang efisien dalam penggunaan air pada
berbagai pola tanam dan kalender tanam; (6) Mengestimasi daya gabung dan komponen genetik
toleransi jagung terhadap kekeringan yang efisien dalam penggunaan air pada berbagai pola tanam dan
kalender tanam; (7) Fingerprinting galur tetua dan hibrida jagung berdasarkan marka molekuler; (8)
Mengidentifikasi kandungan nutrisi galur tetua dan hibrida jagung.

Manfaat dari penelitian ini adalah: (1) Data ketersediaan air tanah pada berbagai pola tanam
berbasis jagung dan kalender tanam dapat digunakan untuk menyusun strategi pencapaian swasembada
jagung yang dipengaruhi perubahan iklim global; (2) Karakter morfo-fisiologi, phenology, dan
agronomi jagung yang berasosiasi dengan toleransi jagung terhadap kekeringan dapat digunakan sebagai
index seleksi pada perakitan jagung toleran kekeringan, (3) Galur tetua jagung toleran kekeringan yang
memiliki efisiensi penggunaan air yang tinggi pada berbagai pola tanam dan kalender tanam digunakan
sebagai tetua hibrida toleran kekeringan yang efisien dalam penggunaan air pada berbagai pola tanam
dan kalender tanam, (4) Hibrida jagung toleran kekeringan yang memiliki efisiensi penggunaan air pada
berbagai pola tanam dan kalender tanam dapat dibudidayakan oleh petani Arjasari sebagai varietas
adaptif lahan kering dan dataran medium dalam menunjang swasembada jagung nasional, (5) Data daya
gabung dan komponen genetic toleransi jagung terhadap kekeringan yang efisien dalam penggunaan air
pada berbagai pola tanam dan kalender tanam serta kandungan nutrisinya digunakan untuk menentukan
galur tetua dan hibrida superior, (6) Fingerprinting galur tetua dan hibrida jagung berdasarkan marka
molekuler digunakan untuk melindungi hak intelektual dari galur maupun hibrida jagung toleran
terhadap kekeringan pada berbagai pola tanam dan kalender tanam.

Adapun temuan (invention) yang menjadi target dari program pengembangan jagung hibrida
yang memiliki daya hasil dan kandungan nutrisi yang tinggi serta adaptif di Indonesia adalah: (1)
Publikasi ilmiah pada jurnal internasional dengan topik breeding maize for tolerance to drought;
breeding maize for medium land; breeding maize adapted to different planting time for anticipating
global climate change; fingerprinting of Indonesian maize collection; Proximate analysis of Indonesian
maize collection; Water use efficiency of maize under drought and different planting time; dll. Publikasi
tersebut berkontribusi dalam: (i) mengembangkan metoda dan waktu seleksi dalam pengembangan
11
jagung toleran kekeringan pada lahan kering dataran medium; (ii) menentukan strategi pengembangan
jagung lahan kering dataran medium yang dipengaruhi perubahan iklim global; (2) HAKI perlindungan
varietas tanaman berupa: (i) galur tetua jagung terbaik yang akan digunakan sebagai tetua hibrida
superior yang toleran kekeringan serta adaptif lahan kering dataran medium; (ii) hibrida jagung
superior toleran kekeringan serta adaptif lahan kering dataran medium; (3) Teknologi Tepat Guna
berupa: (i) Panduan penentuan ketersediaan air pada berbagai pola tanam berbasis jagung dan kalender
tanam; (ii) Panduan budidaya hibrida jagung toleran kekeringan pada berbagai pola tanam; (iii)
Deskripsi galur tetua dan hibrida jagung toleran kekeringan untuk dataran medium; (iv) Deskripsi galur
tetua dan hibrida jagung toleran kekeringan pada berbagai pola tanam; (4) Rekayasa sosial dan
kesejahteraan petani jagung Arjasari dengan budidaya dan peningkatan nilai tambah jagung Unpad
toleran kekeringan dan adaptif dataran medium; dan (5) Buku dengan topik: (i) Konservasi Tanah dan
Air Pada Sistem Budidaya Jagung Lahan Kering dan Dataran Medium; (ii) Jagung Toleran Kekeringan.
Target temuan tersebut disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Rencana Target Capaian


Indikator Capaian
No Jenis Luaran
TS TS + 1 TS +
2
Jurnal Internasional 2 published 3 published 3 published
1 Publikasi Ilmiah
Nasional Terakreditasi
Internasional 2 sudah 2 sudah 2 sudah
Pemakalah dalam temu dilaksanakan dilaksanakan dilaksanakan
2
Ilmiah
Nasional
Internasional
Invited speaker dalam
3 Nasional 1 sudah 1 sudah
temu ilmiah
dilaksanakan dilaksanakan
4 Visiting lecture Internasional Tidak ada Tidak ada Tidak ada
5 HKI Paten Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Paten sederhana Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Hak Cipta Draft Terdaftar Granted
Merek Dagang Draft Terdaftar Granted
Rahasia Dagang Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Disain Produk Industri Draft Terdaftar Granted
Indikasi Geografis Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Perlindungan Varietas 3 Draft 3 Terdaftar 3 Granted
tanaman
6 Teknologi Tepat Guna 3 Draft 3 Produk 3 Penerapan
7 Rekayasa Sosial Draft Penerapan Penerapan
8 Buku Ajar 2 Draft 2 Proses 2 Sudah terbit
editing

12
IV. Metode Penelitian
Secara umum rencana penelitian dari tahun ke-1 hingga tahun ke-3 terdiri atas: (1) Identifikasi
pengaruh iklim global terhadap ketersediaan air tanah pada berbagai pola tanam jagung: (a) Menentukan
ketersediaan air tanah pada berbagai pola tanam berbasis jagung, (b) Menentukan ketersediaan air tanah
pada berbagai waktu tanam, (c) Karakteristik toleransi jagung terhadap kekeringan, (d) Skrining marka
molekuler SSR untuk identifikasi tetua dan hibrida toleran kekeringan; (2) Analisis kebutuhan air galur
jagung pada berbagai pola dan waktu tanam: (a) Analisis kebutuhan air GALUR jagung pada berbagai
waktu tanam, (b) Analisis kebutuhan air galur jagung pada berbagai pola tanam; (c) Menentukan tetua
jagung toleran kekeringan berdasarkan marka SSR, (d) Diallel cross hibrida toleran kekeringan efisien
dalam penggunaan air; (3) Seleksi hibrida jagung toleran kekeringan: (a) Analisis kebutuhan air
hibrida jagung pada berbagai waktu tanam, (b) Analisis kebutuhan air hibrida jagung pada berbagai pola
tanam; (c) Seleksi hibrida jagung toleran kekeringan berdasarkan daya gabung, (d) fingerprinting DNA
galur dan hibrida jagung toleran kekeringan berdasarkan marka SSR. Detil penelitian ditampilkan dalam
Fishbone.

13
Menentukan FISHBONE AKTIVITAS PENELITIAN
ketersediaan air tanah
pada berbagai waktu
tanam Analisis kebutuhan air Analisis kebutuhan air
GALUR jagung pada HIBRIDA jagung pada
berbagai waktu tanam berbagai waktu tanam
Menentukan
ketersediaan air tanah
pada berbagai pola
tanam berbasis jagung Analisis kebutuhan air Analisis kebutuhan air Jagung
GALUR jagung pada HIBRIDA jagung pada
berbagai pola tanam pola tumpangsari toleran
kekeringan
2017
pada
Identifikasi pengaruh 2 018 2019 berbagai pola
iklim global terhadap Analisis Kebutuhan Air Seleksi hibrida jagung tanam;
ketersediaan air tanah Galur Jagung pada berbagai
pada berbagai pola
toleran kekeringan TTG,
waktu dan pola tanam
tanam jagung Rekayasa
sosial

Karakteristik toleransi Menentukan tetua jagung Seleksi hibrida jagung


jagung terhadap toleran kekeringan
kekeringan pada berbagai toleran kekeringan
berdasarkan marka SSR berdasarkan Daya gabung
pola tanam

Fingerprinting DNA
Skrining marka molekuler hibrida dan galur-
Diallel cross hibrida
SSR untuk identifikasi tetuanya untuk HAKI
toleran kekeringan efisien
tetua dan hibrida toleran
kekeringan dalam penggunaan air

14
4.1. Identifikasi Pengaruh Iklim Global Terhadap Ketersediaan Air Tanah Pada
Berbagai Pola Dan Waktu Tanam Jagung

Tujuan penelitian adalah: (a) Menentukan ketersediaan air tanah pada berbagai pola tanam
berbasis jagung; (b) Menentukan ketersediaan air tanah pada berbagai waktu tanam; (c) Karakteristik
toleransi jagung terhadap kekeringan; (d) Skrining marka molekuler SSR untuk identifikasi tetua dan
hibrida toleran kekeringan. Penelitian ini akan dilakukan di SPLPP Arjasari dengan tahap sebagai
berikut : (i) penanaman 96 galur jagung DR pada pola tunggal jagung pada satu bulan sebelum M I,
pada M I, dan satu bulan sebelum M I; (ii) penanaman 96 galur jagung DR pada pola Tumpangsari
jagung/ kedelai pada satu bulan sebelum M I, pada M I, dan satu bulan sebelum M I.
Percobaan mengikuti rancangan petak terpisah dengan petak utama adalah pola tanam, yaitu
pola tanam tunggal dan tumpangsari jagung/kedelai yang diulang 2 kali. Pada pola tanam tunggal, 96
galur jagung DR ditanam dalam suatu plot berukuran 3 x 1,5 m terdiri dari 2 baris tanaman jagung,
sedangkan pada pola tanam tumpangsari jagung/kedelai plot berukuran 3 x 1,5 m terdiri dari 1 baris
tanaman jagung dan 1 baris kedelai. Jarak tanam jagung yaitu 0,75 x 0,25 m, sedangkan jarak tanam
kedelai adalah 0,75 x 0,25 m.
Variabel yang diukur adalah karakter performa tanaman dalam pola Tumpangsari Berdasarkan
Kumar et al. (2012), diantaranya;
1. Land Equivalent Ratio (LER) : Rasio lahan yang dibutuhkan oleh tanaman tunggal untuk
menghasilkan hasil penen yang sama seperti pada pola Tumpangsari

Rumus : LER = Ya/Sa + b/Sb


Ket : Ya, Yb adalah hasil dari tanaman a dan b pada pola tanam Tumpangsari
Sa, Sb adalah hasil dari tanaman a dan b pada pola tanam tunggal
2. Relative Crowding Coefficient (RCC) : RCC menunjukkan apakah suatu tanaman, ketika
ditumbuhkan pada pola tumpangsari akan menghasilkan hasil panen lebih atau kurang dari yang
diharapkan.
Rumus : Kab = Yab/Yaa -Yab X Zba/Zab
Ket : Kab adalah RCC dari pertanaman tumpangsari dengan tanaman b,
Yab = Hasil per satuan luas pertanaman tumpangsari dengan tanaman b, Yaa = Hasil
persatuan luas pertanaman tunggal
Zab = Proporsi luas tumpangsari awalnya dialokasikan untuk tanaman a
Zba = Proporsi luas tumpangsari awalnya dialokasikan untuk tanaman b
Jika : RCC > 1 hasil menguntungkan RCC = 1 tidak ada perbedaan RCC < hasil rugi
3. Aggressivity : Gabungan dari berapa peningkatan karakter hasil pada komponen tanaman a
dibanding tanaman b.
Rumus : Aab = Yab / (Yaa x Zab) - Yba/( Ybb x Zba)
Ket : Aab = 0, artinya tanaman sama-sama kompetitif
Aab = negatif, artinya tanaman didominasi
Aab = nilai lebih besar, artinya kemampuan kompetitifnya lebih besar
15
4. Indeks Kompetisi : merupakan suatu ukuran untuk mengetahui hasil dari berbagai pola pertanaman,
yaitu diantaranya, ketika tanaman ditumbuhkan secara bersama-sama serta ketika tanaman
ditumbuhkan secara tunggal.
CI= (Yaa-Yab) X (Ybb-Yba) / Yaa x Ybb
Yab - hasil dari tanaman a yang ditumbuhkan dengan tanaman b
Yba - hasil dari tanaman b yang ditumbuhkan dengan tanaman a
Yaa - hasil dari tanaman a yang ditumbuhkan secara tunggal
Ybb - hasil dari tanaman a yang ditumbuhkan secara tunggal
Analisis statistika dilakukan mengikuti Singh & Chaudhary (1982), Gomez & Gomez (1995)
dan Adugna & Labuschagne (2002) dengan tahapan: (i) menghitung tabel Anova tunggal; (ii)
menghitung nilai Barlet untuk mengestimasi perlunya analisis gabungan; (iii) mendeteksi interaksi G x
E dengan menggunakan analisis varians gabungan; (iv) menentukan hibrida yang terbaik pada setiap
lokasi pengujian dengan menggunakan Uji Beda Terkecil pada taraf 5%.
Perhitungan analisis varians dilakukan dengan perangkat lunak Cropstat sedangkan analisis
interaksi G x E menggunakan model AMMI (model gabungan dari model aditif dan multiplikatif).
AMMI merupakan gabungan analisis varians (ANOVA) dan analisis komponen utama (Principal
Component Analysis) dalam model tunggal dengan parameter aditif dan multiplikatif (Adugna &
Labuschagne, 2002) Model AMMI disusun berdasarkan prosedur Gauch & Zobel (1996). Nilai PCA
diekstrak dan dianalisis kebermaknaannya berdasarkan prosedur Uji F Gollob (1968) dikutip Kaya, et
al., (2002), sebagai berikut: (1) bila komponen bermakna adalah IPCA-1, maka model yang berlaku
adalah AMMI-1; (2) bila kedua komponen IPCA-1 dan IPCA-2 bermakna, maka model yang berlaku
adalah AMMI-2; dan (3) bila tidak satupun komponen IPCA yang bermakna, maka model yang
berlaku adalah AMMI-0. Interpretasi hasil analisis AMMI didasarkan pada grafik biplot yang
dikontruksi dari nilai rata-rata dan nilai skor IPCA atau antar nilai skor IPCA. Stabilitas dianalisis
berdasarkan parameter stabilitas AMMI yaitu ASV (AMMI Stability Value). Parameter tersebut
dihitung dengan formula sebagai berikut :

ASV =

(Purchase, 1997 dikutip Adugna & Labuschagne, 2002).


Hasil analisis AMMI diterjemahkan ke dalam biplot. Berdasarkan biplot AMMI, pengaruh
interaksi genotip x lingkungan dikatakan berkontribusi besar karena memiliki vektor yang cukup jauh
dari titik potong IPCA-1 dan IPCA-2 (Gauch, 1992).

4.2. Analisis Kebutuhan air pada berbagai pola tanam dan kalender tanam
Percobaan mengikuti rancangan petak terpisah dengan petak utama adalah pola tanam, yaitu
pola tanam tunggal dan tumpangsari jagung/kedelai yang diulang 2 kali. Pada pola tanam tunggal, 96
galur jagung DR ditanam dalam suatu plot berukuran 3 x 1,5 m terdiri dari 2 baris tanaman jagung,

16
sedangkan pada pola tanam tumpangsari jagung/kedelai plot berukuran 3 x 1,5 m terdiri dari 1 baris
tanaman jagung dan 1 baris kedelai. Jarak tanam jagung yaitu 0,75 x 0,25 m, sedangkan jarak tanam
kedelai adalah 0,75 x 0,25 m.
Variabel yang diukur adalah karakter performa tanaman dalam pola Tumpangsari berdasarkan
Kumar et al., (2012), diantaranya: Land Equivalent Ratio (LER), Relative Crowding Coefficient (RCC),
Aggressivity,dan Indeks Kompetisi (CI).
Analisis statistika dilakukan mengikuti Singh & Chaudhary (1982), Gomez & Gomez (1995)
dan Adugna & Labuschagne (2002) dengan tahapan: (i) menghitung tabel Anova tunggal; (ii)
menghitung nilai Barlet M I (-1), M I, MI (+1), M II (-1), M II, MII (+1) untuk mengestimasi perlunya
analisis gabungan; (iii) mendeteksi interaksi G x E dengan menggunakan analisis varians gabungan;
(iv) menentukan galur yang terbaik pada setiap lokasi pengujian dengan menggunakan Uji Beda
Terkecil pada taraf 5%.
Perhitungan analisis varians dilakukan dengan perangkat lunak Cropstat sedangkan analisis
interaksi G x E menggunakan model AMMI (model gabungan dari model aditif dan multiplikatif).
AMMI merupakan gabungan analisis varians (ANOVA) dan analisis komponen utama (Principal
Component Analysis) dalam model tunggal dengan parameter aditif dan multiplikatif (Adugna &
Labuschagne, 2002) Model AMMI disusun berdasarkan prosedur Gauch & Zobel (1996). Nilai PCA
diekstrak dan dianalisis kebermaknaannya berdasarkan prosedur Uji F Gollob (1968) dikutip Kaya,
etal., (2002), sebagai berikut: (1) bila komponen bermakna adalah IPCA-1, maka model yang berlaku
adalah AMMI-1; (2) bila kedua komponen IPCA-1 dan IPCA-2 bermakna, maka model yang berlaku
adalah AMMI-2; dan (3) bila tidak satupun komponen IPCA yang bermakna, maka model yang
berlaku adalah AMMI-0. Interpretasi hasil analisis AMMI didasarkan pada grafik biplot yang
dikontruksi dari nilai rata-rata dan nilai skor IPCA atau antar nilai skor IPCA. Stabilitas dianalisis
berdasarkan parameter stabilitas AMMI yaitu ASV (AMMI Stability Value). Parameter tersebut
dihitung dengan formula sebagai berikut :

ASV =

(Purchase, 1997 dikutip Adugna & Labuschagne, 2002).

Hasil analisis AMMI diterjemahkan ke dalam biplot. Berdasarkan biplot AMMI, pengaruh
interaksi genotip x lingkungan dikatakan berkontribusi besar karena memiliki vektor yang cukup jauh
dari titik potong IPCA-1 dan IPCA-2 (Gauch, 1992).

4.3. Seleksi Hibrida Jagung Toleran Kekeringan


Tujuan penelitian adalah: (a) Analisis kebutuhan air hibrida jagung pada berbagai waktu
tanam, (b) Analisis kebutuhan air hibrida jagung pada berbagai pola tanam; (c) Seleksi hibrida jagung
toleran kekeringan berdasarkan daya gabung.

17
Penelitian ini akan terdiri dari tahap sebagai berikut: (i) pemurnian dan perbanyakan benih
galur tetua jagung toleran kekeringan; (ii) pembentukan hibrida silang tunggal dialel cross; (iii) seleksi
daya hasil galur tetua dan hibrida silang tunggal toleran kekeringan pada berbagai waktu dan pola
tanam.
Pemurnian dan perbanyakan benih galur tetua jagung manis mutan Unpad dilakukan dengan
cara melakukan selfing sebanyak empat tanaman pada setiap 10 galur mutan. Pembentukan hibrida
silang tunggal dilakukan dengan cara menyilangkan sepuluh genotip berdasarkan desain persilangan
Diallel. Seleksi daya hasil galur tetua dan hibrida silang tunggal toleran naungann akan dilakukan di
Kebun Percobaan Arjasari Kab. Bandung dan bertujuan untuk menseleksi galur tetua yang berpotensi
dijadikan sebagai tetua hibrida berdasarkan analisis daya gabung diallel dan menseleksi hibrida silang
tunggal yang memiliki daya hasil terbaik dan toleran kekeringan berdasarkan uji-LSI. 45 hibrida
silang tunggal hasil persilangan dialel dan 10 galur tetua ditanam dalam suatu plot mengikuti
rancangan petak terpisah yang diulang 2 kali. Sebagai petak utama adalah pola tanam yang terdiri dari
pola jagung tunggal dan pola tanam jagung/kedelai, sedangkan anak petak adalah jenis hibrida. Plot
berukuran 3 x 2,7 m terdiri dari 4 baris tanaman. Karakter performa tanaman dalam naungan dihitung
berdasarkan karakter hasil dan komponen hasil seperti: bobot per ha, bobot per plot, bobot 1000 biji,
jumlah tongkol per plot, bobot tongkol per plot, bobot tongkol sampel, bobot biji sampel, persen
rendemen, kandungan air biji, umur panen, umur berbunga, tinggi tanaman, diameter tongkol.
Variabel yang diukur adalah karakter performa tanaman dalam pola Tumpangsari berdasarkan
Kumar et al., (2012), diantaranya: Land Equivalent Ratio (LER), Relative Crowding Coefficient
(RCC), Aggressivity, dan Indeks Kompetisi (CI).
Analisis statistika daya gabung diallel mengikuti Singh & Chaudhary (1979) dengan tahapan:
(i) Analisis perbedaan genotip dengan menggunakan Analisis varians untuk perbedaan genotip maupun
daya gabung; (ii) menghitung nilai DGU dan DGK. Nilai duga daya gabung umum dan daya gabung
khusus genotipe diperoleh dengan menggunakan metode II Grifing (Singh dan Chaudhary, 1979).
Model statistika untuk analisis daya gabung disusun menurut Griffing (1956). Apabila nilai ketiga
kuadrat tengah berbeda nyata terhadap galat, maka pengaruh sumber variasi tersebut dapat
dihitung menggunakan rumus berdasarkan Singh dan Chaudhary (1979) untuk efek DGU dan efek
DGK. Uji beda antara GCA genotipe tetua dan antara SCA genotipe hasil persilangan dilakukan
dengan menggunakan uji beda kritis (critical difference) dengan rumus dari Singh dan Chaudhary
(1979). Heterosis karakter yang diamati diestimasi berdasarkan Fehr (1987), yaitu: Mid-Parent
Heterosis, yang dihitung berdasarkan penampilan rata-rata tetuanya, dan High-Parent Heterosis
(Heterobeltiosis), yang dihitung berdasarkan penampilan tetua terbaik. Selanjutnya untuk uji
signifikansi heterosis dilakukan Uji-t menurut Singh dan Chaundary, (1979). Analisis statistika uji-
LSI mengikuti Petersen (1994).
Setelah didapatkan nilai-nilai dari DGU, DGK, Heterosis dan uji-LSI, maka dilakukan
penilaian untuk memberikan ranking pada genotip terbaik untuk karakter performa tanaman dalam

18
pola Tumpangsari, yaitu Land Equivalent Ratio (LER), Relative Crowding Coefficient (RCC),
Aggressivity dan Competition Index. Pemberian rangking dilakukan dengan cara (misalkan pemberian
rangking berdasarkan nilai DGU) : (a) pemberian rangking tertinggi yaitu mulai dari bilangan satu
dilakukan pada genotip dengan nilai DGU yang tinggi untuk masing-masing karakter, dan yang nilai
DGU nya rendah mendapatkan rangking terendah atau bilangan paling besar; (b) setelah diurutkan
berdasarkan rangking untuk masing-masing karakter, kemudian pemberian bobot nilai untuk ke enam
karakter terpenting, dimana jumlah dari bobot nilai untuk semua karakter adalah satu; (c) bobot nilai
pada empat karakter performa tanaman dalam pola Tumpangsari, yaitu Land Equivalent Ratio (LER),
Relative Crowding Coefficient (RCC), Aggressivity dan Competition Index; (d) bobot nilai total
didapatkan dari perkalian rangking untuk setiap karakter dengan bobot nilai karakter; (e) setelah
didapatkan bobot nilai total, maka diurutkan dari nilai yang paling kecil sampai nilai yang paling
besar, dimana bobot nilai total yang terkecil mendapatkan rangking yang terkecil yaitu dimulai dari
rangking satu, dan bobot nilai total yang terbesar mendapatkan rangking terbesar; (f) diambil genotip
yang mempunyai rangking satu sampai sepuluh, yang kemudian genotip-genotip tersebut merupakan
genotip yang mempunyai nilai DGU terbaik untuk enam karakter terpenting.

4.4. DNA Fingerprint Galur-Galur dan Hibrida UNPAD Berdasarkan Marka SSRs
Identifikasi fingerprinting DNA galur-galur Unpad bertujuan untuk: Skrining marka molekuler
SSR untuk identifikasi tetua dan hibrida toleran kekeringan, m enentukan tetua jagung toleran
kekeringan berdasarkan marka SSR, dan Fingerprinting DNA hibrida dan galur-tetuanya untuk
HAKI.
Analisis marka SSR akan dilakukan di Laboratorium Pemuliaan Tanaman Jurusan Budidaya
Pertanian Universitas Padjadjaran. Tahapan percobaan adalah: (i) isolasi DNA genomik mengikuti
teknik yang dikembangkan oleh Hoisington et al., (1997) yang dimodifikasi oleh Ruswandi et al.,
(2001); (ii) Screening marka SSRs untuk fingerprinting; (iii) DNA fingerprint galur-galur Unpad
dengan marka SSRs # 1- 25.
Setiap genotipe akan diskor untuk setiap kehadiran produk amplifikasi sebagai M
(homozygous) or H (heterozygous) atau N (null); (iv) analisis data. Jarak genetik galur- galur jagung
dihitung dari data SSR dengan menggunakan rumus jarak genetik: S = 1 - GS; dimana S adalah Jarak
genetik dan GS adalah Kemiripan genetik (Genetic Similarity). Sedangkan (GS) dihitung Dengan
rumus:

Dimana m adalah jumlah pita (alil) DNA yang sama posisinya; n adalah ta DNA, dan u adalah
jumlah pita (alil) yang tidak sama posisinya. Data yang diperoleh dari hasil analisis genotipik (marka
molekuler) pada kegiatan ini dianalisis dengan program komputer NTSYSpc (Numerical Taxonomic
System) versi 2.0 (Rohlf, 2000). Hubungan kekerabatan delapan puluh tujuh galur, ditentukan melalui

19
analisis kemiripan genetik. Delapan puluh tujuh galur dikelompokan berdasarkan matriks kemiripan
genetik melalui Unweighted Pair Group Method Using Arithmatic Average (UPGMA). Dendogram
dikonstruksi dengan menggunakan Euclidian Coefficient. Jarak matriks dan dendogram dibentuk
dengan menggunakan program NTSYSpc (Numerical Taxonomic System) versi 2.0 (Rohlf, 2000).

20
V. Hasil Yang Dicapai

Pada saat ini telah dilaksanakan program awal yaitu penjajagan pada lokasi kegiatan yaitu di
Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung. Penjajagan ini dilakukan dalam upaya untuk
mengobservasi permasalahan secara langsung di lokasi kegiatan, sekaligus untuk mengetahui
potensi yang ada. Pada tahap awal telah dilaksanakan kajian awal mengenai kebutuhan air
tanaman dan kesesuaian syarat tumbuh tanaman jagung berdasarkan data iklim menggunakan
sistem Tumpangsari. Kajian awal ini dilakukan untuk mengetahui berapa kebutuhan air tanaman
jagung dalam satu kali masa panen pada lokasi penelitian, sehingga diperoleh gambaran jumlah
air yang dibutuhkan selama penanaman jagung dengan sistem Tumpangsari. Sistem Tumpangsari
yang telah di uji coba dalam penilitian ini adalah jagung dengan tanaman palawija dan jagung
dengan kedelai.
Beberapa data yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan diantaranya adalah
wilayah Arjasari terletak pada ketinggian 700 – 950 mdpl. Memiliki luas wilayah 597 ha. Suhu
udara rata-rata berkisar antara 27,07 oC sampai 29,50 oC. klasifikasi iklim di wilayah arjasari
berdasarkan tipe oldeman terdiri dari 4 bulan basah dan 4 bulan kering. Berdasarkan hasil uji sifat
fisik tanah pada wilayah arjassari terdiri dari 10% fraksi pasir, 44% fraksi debu, dan 46% fraksi
liat. Berdasarkan data terssebut diketahui wilayah ini memiliki struktur tanah liat berdebu.
Sedangkan untuk Nilai kandungan air pada kapasitas lapang yaitu sebensar 422 mm/m, pada titik
layu permanen sebesar 291 mm/m dan air tersedia adalah sebesar 131 mm pada kedalaman 1
meter, sehingga nilai air tersedia untuk kedalaman zona perakaran 50 cm adalah 65, mm/m. hasil
perhitungan menunjukkan bahwa evapotranspirasi tertinggi pada wilayah Arjasari terjadi pada
bulan maret sebesar 3,71 mm/hari atau sekitar 114,89 mm/bulan. Sehingga pada bulan ini
tanaman membutuhkan air yang lebih untuk melangsungkan pertumbuhannya.
Tanaman jagung memerlulan curah hujan ideal sekitar 85 – 200 mm/bulan selama masa
pertumbuhannya. Berdasarkan penelitian tahap awal ini diketahu bahwa wilayah Arjasari memiliki
curah hujan berkisar 43 – 328 mm/bulan sehingga berdasarkan syarat tumbuh tanaman jagung sangat
sesuai dikembangkan di wilayah Arjasari tetapi harus ada perlakukan tertentu pada bulan-bulan kering.
Data-data ini digunakan untuk mengetahui bagaimana karakteristik toleransi tanaman jagung terhadap
kekeringan pada berbagai pola tanam.

21
5.1 Data Iklim dan Kebutuhan Air
Pada saat ini telah dilaksanakan program awal yaitu penjajagan pada lokasi kegiatan yaitu di
Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung. Penjajagan ini dilakukan dalam upaya untuk
mengobservasi permasalahan secara langsung di lokasi kegiatan, sekaligus untuk mengetahui
potensi yang ada. Pada tahap awal telah dilaksanakan kajian awal mengenai kebutuhan air
tanaman dan kesesuaian syarat tumbuh tanaman jagung berdasarkan data iklim menggunakan
sistem tumpang sari. Kajian awal ini dilakukan untuk mengetahui berapa kebutuhan air tanaman
jagung dalam satu kali masa panen pada lokasi penelitian, sehingga diperoleh gambaran jumlah
air yang dibutuhkan selama penanaman jagung dengan sistem tumpang sari. Sistem tumpang sari
yang telah di uji coba dalam penilitian ini adalah jagung dengan tanaman palawija dan jagung
dengan kedelai.
Beberapa data yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan diantaranya adalah
wilayah Arjasari terletak pada ketinggian 700-950 mdpl. Memiliki luas wilayah 597 ha. Suhu
udara rata-rata berkisar antara 27,07 oC sampai 29,50 oC. Klasifikasi iklim di wilayah arjasari
berdasarkan tipe oldeman terdiri dari 4 bulan basah dan 4 bulan kering. Berdasarkan hasil uji sifat
fisik tanah pada wilayah arjasari terdiri dari 10% fraksi pasir, 44% fraksi debu, dan 46% fraksi
liat. Berdasarkan data tersebut diketahui wilayah ini memiliki struktur tanah liat berdebu.
Sedangkan untuk Nilai kandungan air pada kapasitas lapang yaitu sebensar 422 mm/m, pada titik
layu permanen sebesar 291 mm/m dan air tersedia adalah sebesar 131 mm pada kedalaman 1
meter, sehingga nilai air tersedia untuk kedalaman zona perakaran 50 cm adalah 65, mm/m. hasil
perhitungan menunjukkan bahwa evapotranspirasi tertinggi pada wilayah Arjasari terjadi pada
bulan maret sebesar 3,71 mm/hari atau sekitar 114,89 mm/bulan. Sehingga pada bulan ini
tanaman membutuhkan air yang lebih untuk melangsungkan pertumbuhannya.
Tanaman jagung memerlukan curah hujan ideal sekitar 85-200 mm/bulan selama masa
pertumbuhannya. Berdasarkan penelitian tahap awal ini diketahu bahwa wilayah Arjasari
memiliki curah hujan berkisar 43-328 mm/bulan sehingga berdasarkan syarat tumbuh tanaman
jagung sangat sesuai dikembangkan di wilayah Arjasari tetapi harus ada perlakukan tertentu pada
bulan-bulan kering. Data-data ini digunakan untuk mengetahui bagaimana karakteristik toleransi
tanaman jagung terhadap kekeringan pada berbagai pola tanam.

5.1.1. Suhu Udara


Suhu merupakan salah satu parameter fisika lingkungan yang mengalami perubahan setelah
terjadi perubahan iklim karena kenaikan konsentrasi gas-gas rumah kaca. Secara umum semakin tinggi
suhu, seperti suhu udara maupun suhu permukaan, laju permukaan akan semakin besar. Karena besarnya
ketergantungan evaporasi potensial terhadap suhu karena suhu merupakan pengintegarasi beberapa
variable lingkungan, suhu digunakan sebagai masukan utama sejumlah model untuk pendugaan
evapotranspirasi.

22
Menurut Sutanto (2005), secara tidak langsung suhu berpengaruh terhadap kehilangan air melalui
proses evaporasi dari permukaan tanah dan transpirasi melalui tanaman. Kombinasi kehilangan melalui
proses evapotranspirasi akan meningkat seiring meningkatnya suhu dan menurunnya kelembaban udara.
Data suhu yang diukur tersebut sebagai data penunjang dalam menggunakan metode Blaney Criddle.
Berikut ini adalah hasil pengukuran suhu di lahan penelitian Arjasari, yaitu:

Tabel 3. Data Hasil Pengukuran Suhu.


Suhu (°C) Rata-rata
No Tanggal
Min Max (°C)
1 2 Maret 2017 26.8 30 28.40
2 6 Maret 2017 26.8 31.2 29.00
3 10 Maret 2017 26.1 32.1 29.10
4 14 Maret 2017 26.7 32.5 29.60
5 18 Maret 2017 26 32.7 29.35
6 22 Maret 2017 25.6 33 29.30
7 26 Maret 2017 27.5 33.4 30.45
8 30 Maret 2017 26.5 33.7 30.10
9 4 April 2017 26.8 31 28.90
10 8 April 2017 25.2 30 27.60
11 12 April 2017 26 31.4 28.70
12 16 April 2017 25.8 34 29.90
13 20 April 2017 26.4 31 28.70
14 24 April 2017 25.8 30.4 28.10
15 28 April 2017 26 32.3 29.15
16 2 Mei 2017 26.5 33 29.75
17 6 Mei 2017 25 34 29.50
18 10 Mei 2017 26.7 32.3 29.50
19 14 Mei 2017 26 32.7 29.35
20 18 Mei 2017 26.6 31.7 29.15
21 22 Mei 2017 27 33 30.00
22 26 Mei 2017 26 32.4 29.20
23 30 Mei 2017 25 31 28.00
24 4 Juni 2017 26 33.4 29.70
25 8 Juni 2017 26 32 29.00
26 12 Juni 2017 26.7 30.4 28.55
27 16 Juni 2017 26 31.5 28.75
28 20 Juni 2017 25.5 33 29.25
29 23 Juni 2017 26 31.6 28.80

23
30 29 Juni 2017 26.8 33 29.90
(Sumber: Data Pengukuran, 2017)
Berdasarkan pada Tabel 3, suhu udara rata-rata berkisar antara 27,6 °C sampai 30,45 °C. Suhu
terendah yaitu 27,6 °C terdapat pada awal bulan April sedangkan suhu terbesar yaitu 30,45°C terdapat
pada akhir bulan Maret. Berikut ini grafik yang menunjukkan suhu udara di lapangan selama musim
tanam dan suhu sesuai syarat tumbuh tanaman jagung dan ubi jalar disajikkan pada Gambar 1 di bawah
ini.

Gambar 1. Suhu Maksimum dan Minimum Rata-Rata Bulanan


(Sumber: Olahan Pribadi, 2017)
Data suhu maksimum dan minimum rata-rata di lapangan secara berturut-turut dari bulan Maret
sampai dengan bulan Juni adalah 29,09°C, 28,72°C, 29,31°C dan 32°C. Jika dilihat dari syarat tumbuh
tanaman jagung dan ubi jalar, maka suhu udara rata-rata di lapangan tersebut sudah memenuhi syarat
tumbuh tanaman jagung dan ubi jalar.

5.1.2. Kelembaban Udara


Kelembaban udara menggambarkan kandungan uap air di udara yang dapat dinyatakan sebagai
kelembaban mutlak, kelembaban nisbi (relatif) maupun defisit tekanan uap air. Kelembaban mutlak
adalah kandungan uap air atau dapat dinyatakan dengan massa uap air atau tekanannya per satuan
volume. Kelembaban nisbi membandingkan antara kandungan atau tekanan uap air aktual dengan
keadaan jenuhnya atau pada kapasitas udara untuk menampung uap air (Karim, 1985).
Salah satu faktor klimatologi yang mempengaruhi perhitungan evapotranspirasi potensial
berikutnya adalah kelembaban udara dalam satuan persen. Data yang digunakan dalam perhitungan
evapotranspirasi adalah kelembaban rata-rata bulanan selama 10 tahun terakhir yaitu pada periode 2007-
2016. Nilai kelembaban udara ini jika dibandingkan dengan hasil pengukuran kelembaban saat penelitian
tidak jauh berbeda. Data kelembaban rata-rata pada 10 tahun terakhir terdapat pada Gambar 2.

24
Gambar 2. Kelembaban Udara Rata-Rata Bulanan
(Sumber: Olahan Pribadi, 2017)
Kelembaban udara rata-rata selama musim tanam berkisar antara 40% sampai dengan 58%.
Nilai kelembaban udara terbesar terjadi pada bulan April yaitu 58 %. Jika dibandingkan dengan syarat
tumbuh tanaman jagung, kelembaban udara di lapangan tidak sesuai dikarenakan jagung tumbuh pada
kelembaban kurang lebih 80% sedangkan syarat tumbuh tanaman ubi jalar pada kelembaban kurang
lebih 50% - 60% dan pengukuran di lapangan sudah sesuai.
Kelembaban udara berpengaruh terhadap penguapan pada permukaan tanah dan penguapan
pada daun. Kelembaban yang tinggi maka pertumbuhan suatu tanaman akan terganggu karena tidak
seimbangnya antara unsur air dan cahaya. Tetapi kelembaban udara yang tinggi sangat mempengaruhi
pertumbuhan organ vegetatif.

5.1.3. Kecepatan angin


Data kecepatan angin yang digunakan dalam penelitian ini sama dengan suhu dan kelembaban
relatif yaitu dari stasiun BMKG Kota Bandung, hal ini dikarenakan keterbatasan beberapa parameter
data klimatologi di lahan penelitian sehingga stasiun BMKG Kota Bandung dipilih sebagai salah satu
stasiun acuan terdekat dengan radius kurang dari 20 km dari lahan penelitian Arjasari. Berikut ini adalah
data untuk nilai rata-rata kecepatan angin 10 tahun terakhir disajikan dalam Gambar 3.

Gambar 3. Kecepatan Angin Rata-Rata Bulanan (2007-2016)


25
(Sumber: Olahan Pribadi, 2017)
Berdasarkan data yang terdapat pada Gambar 3 di atas menunjukkan selama musim tanam yaitu
pada bulan Maret hingga bulan Juli maka kecepatan angin tertinggi terjadi pada bulan Maret sebesar
1,74 m/s, sementara kecepatan angin terendah terjadi pada bulan Mei sebesar 1,59 m/s. Kecepatan angin
dapat berguna untuk masa pembungaan, khususnya untuk tanaman jagung.
Menurut Daryatno (2013), menyatakan bahwa ditinjau dari segi keuntungannya angin sangat
membantu dalam penyerbukan tanaman. Angin akan membawa serangga penyerbuk lebih aktif
membantu terjadinya persarian bunga dan pembenihan alamiah. Sedangkan pada keadaan kecepatan
angin kencang, kehadiran serangga penyerbuk menjadi berkurang sehingga akan berpengaruh terhadap
keberhasilan penangkaran benih dan akan menimbulkan penyerbukan silang. Dari segi kerugiannya,
angin yang kencang dapat menimbulkan bahaya dalam penyerbukan, karena angin bijinya tidak bisa
menjadi murni sehingga tanaman perlu diisolasi.

5.1.4. Lama Penyinaran Matahari


Lama penyinaran matahari didapatkan dari stasiun BMKG Kota Bandung, sama seperti faktor
klimatologi di atas. Hal ini dikarenakan keterbatasan data klimatologi yang dimiliki oleh kecamatan
Arjasari sehingga untuk memperoleh data tersebut dipilih salat satu stasiun acuan terdekat. Data lama
penyinaran matahari ini diolah sehingga mendapatkan rata-rata perbulan dalam 10 tahun terakhir
(periode 2007 – 2016). Di bawah ini merupakan Gambar rata-rata lama penyinaran matahari perbulan
selama 10 tahun terakhir:

Gambar 4. Lama Penyinaran Matahari Rata-Rata Bulanan (2007-2016)


(Sumber: Olahan Pribadi, 2017)
Lama penyinaran matahari merupakan salah satu faktor yang menjadi pendukung untuk
perhitungan evapotranspirasi potensial dalam metode Blaney Criddle. Data lama penyinaran matahari
ini didapatkan dari stasiun BMKG Kota Bandung, sama halnya dengan data iklim sebelumnya. Hal ni
dikarenakan keterbatasan data klimatologi yang dimiliki oleh kecamatan Arjasari sehingga untuk
memperoleh data tersebut dipilih salah satu stasiun acuan terdekat.

26
Pada Gambar 4 di atas menunjukkan bahwa selama musim tanam penelitian maka lama
penyinaran matahari paling tinggi pada bulan Juli sebesar 68% atau selama 8,16 jam sedangkan lama
penyinaran matahari terendah pada bulan Maret yaitu 48% atau selama 5,76 jam. Jika dilihat
berdasarkan stasiun BMKG Kota Bandung selama 10 tahun terakhir (periode 2007 – 2016), maka
puncak musim kemarau terjadi pada bulan Agustus dan September.

Tabel 4. Data Rata-Rata Lama Penyinaran Matahari.


LPM
Bulan LPM (%)
(jam)
Januari 46 5,5
Februari 48 5,76
Maret 48 5,76
April 61 7,32
Mei 62 7,44
Juni 64 7,68
Juli 68 8,16
Agustus 75 9
September 70 8,4
Oktober 60 7,2
November 48 5,76
Desember 50 6
(Sumber: Data Olahan, 2017)
Rata-rata lama penyinaran matahari dikonversikan dari persen ke dalam satuan jam, dimana
daerah tropis seperti Indonesia memiliki penyinaran matahari selama 12 jam dalam sehari sehingga nilai
lama penyinaran matahari tersebut dikalikan dengan 12 untuk mendapatkan satuan jam.

5.2 Kebutuhan Air Tanaman


Evapotranspirasi tanaman merupakan hasil dari perkalian antara nilai evapotranspirasi potensial
(ETo) dengan nilai koefisien tanaman (Kc). Pada sistem tumpangsari jagung dan ubi jalar nilai Kc yang
berbeda-beda sesuai dengan fase pertumbuhannya. Umur tanaman jagung hingga panen adala 115 hari
dengna panjang hari masing-masing pada setiap fase adalah 20 hari, 35 hari, 35 hari dan 25 hari. Nilai
kebutuhan air tanaman dibagi dalam setiap dasarian atau 10 harian. Berdasarkan umur tanam jagung
maka terdapat 12 dasarian selama masa tumbuh tanaman.
Berdasarkan Tabel 3 dan Tabel 4, jumlah kebutuhan air tanaman pada jagung dan ubi jalar.
Kebutuhan air tanaman jagung yang dibutuhkan setiap hari pada bulan maret sebesar 3,42 mm, pada
bulan april sebesar 3,6 mm, pada bulan mei sebesar 4,5 mm dan bulan juni sebesar 2,1 mm. Jika dilihat
dari hasil tersebut, maka tanaman jagung paling banyak membutuhkan air pada bulan mei yaitu sebsar
4,5 mm setiap hari. Sedangkan jumlah air yang paling sedikit dibutuhkan oleh tanaman jagung pada

27
bulan Juni yaitu 2,1 mm setiap harinya. Sehingga jika ditotalkan jumlah kebutuhan air tanaman jagung
selama musim tanam sebesar 382,32 mm sedangkan jumlah kebutuhan air tanaman ubi jalar selama
musim tanam sebesar 350,55 mm.
Nilai kebutuhan air tanaman ubi jalar pada bulan Maret sebesar 1,9 mm/hari, pada bulan April
sebesar 3,96 mm/hari, pada bulan Mei sebesar 4,125 mm/hari dan pada bulan Juni sebesar 2,27
mm/hari. Jika dilihat tanaman ubi jalar paling banyak membutuhkan air pada bulan Mei yaitu sebesar
4,125 mm/hari dan paling sedikit membutuhkan air pada bulan Juni sebesar 2,27 mm/hari.

Tabel 5. Nilai Kebutuhan Air Tanaman Jagung (ETc).


Bulan Dekade Fase Kc ETc (mm/hari)
Maret 1 awal 0,9 3,42
April 2 Perkembangan 1,0 3,6
Mei 3 Pertengahan 1,2 4,5
Juni 1 akhir 0,6 2,1
(Sumber: Data Olahan Pribadi, 2017)
Tabel 6. Nilai Kebutuhan Air Tanaman Ubi Jalar (ETc).
ETc
Bulan Dekade Fase Kc
(mm/hari)
Maret 1 awal 0,5 1,9
April 2 Perkembangan 1,1 3,96
Mei 3 Pertengahan 1,15 4,125
Juni 1 akhir 0,65 2,27
(Sumber: Data Olahan Pribadi, 2017)
Kebutuhan air tanaman memiliki faktor pengaruh pada ketersediaan data iklim, seperti suhu,
angin, kelembaban tanah dan sinar matahari. Suhu berpengaruh langsung dengan intensitas dan lama
waktu radiasi matahari, untuk wilayah tropis ini memiliki lama waktu radiasi matahari sebesar 12 jam
setiap hari. Pengaruh angin terhadap evapotranspirasi melalui mekanisme dipindahkannya uap air yang
keluar dari pori-pori daun. Semakin besar kecepatan angin, maka semakin besar pula laju
evapotranspirasi yang dapat terjadi.
Pengaruh kelembaban terhadap evapotranspirasi yaitu ketiga tanaman yang bersangkutan
sedang tidak kekurangan suplai air. Dengan kata lain evapotranspirasi potensial berlangsung ketika
kondisi kelembaban tanah berkisar antara titik layu permanen dan kaasitas lapang.
Saat tumbuhan memerlukan air paling banyak saat terjadi proses pembentukan buah karena
tumbuh tanaman semakin besar dan memerlukan energi lebih banyak untuk melakukan pembentukan
buah. Pada fase menuju kahir nilai kebutuhan air semakin berkurang karena pad amasa ini terjadi proses

28
pematangan buah dimana pertumbuhan tanamna sudah maksimal sehingga tidak terjadi lagi proses
pertumbuhan.

5.3 Seleksi Awal Komponen Morfologi

Tumpangsari jagung/ubi jalar menjadi salah satu solusi dalam upaya meningkatkan produksi
jagung dengan tetap menjaga kualitas lahan. Untuk mendapatkan hasil yang tinggi dalam produksi
jagung, sebagai tahap awal pengujian, diperlukan seleksi awal pada komponen morfologi. Komponen
morfologi menjadi seleksi awal yang penting dilakukan untuk merakit varietas jagung adaptif
tumpangsari, karakter tersebut diantaranya adalah tinggi letak tongkol, kandungan klorofil dan jumlah
tongkol pertanaman.

5.3.1. Tinggi Letak Tongkol


Pada Tabel 5. hasil analisis memperlihatkan bahwa terdapat 14 genotipe yang memiliki tinggi
letak tongkol yang lebih tinggi dibandingkan tinggi letak tongkol rata-rata tanaman cek. Penanaman
jagung pada sistem Tumpangsari barisan menunjukkan kerapatan yang lebih renggang dibandingkan
penanaman pada sistim monocrop jagung. Dengan demikian dalam sudut pandang kemungkinan
terjadinya kerebahan dilapangan maka seleksi dapat difokuskan pada galur jagung yang memiliki letak
tinggi tongkol lebih rendah dibandingkan tanaman cek. Namun untuk itu sangat diperlukan pengujian
lebih lanjut untuk memastikan dan menilai tingkat kerebahan jagung.
Tabel 7. Nilai Rata-rata Tinggi Letak Tongkol (cm) dan hasil uji LSI
Nilai Increase
Peringkat Genotipe Rata-Rata (cm)
Rata-Rata Cek
1 MDR 7.2.5 121,0 23,84
2 MDR 8.8.1 114,7 17,54
3 DR 12 112,6 15,44
4 MDR 8.6.1 106,9 9,74
5 MDR 7.3.1 101,9 4,74
6 DR 6 100,1 2,94
7 MBR 153.1.2 99,6 2,44
8 MDR 4.7.2 99,5 2,34
9 BR 154 99,2 2,04
10 DR 16 99,0 1,84
11 MDR 7.4.2 98,8 1,64
12 MDR 3.1.10 98,6 1,44
13 MDR 7.4.1 97,9 0,74
14 DR 19 97,5 0,34

5.3.2. Jumlah Tongkol Pertanaman

Komponen morfologi lain yang dapat menjadi pusat seleksi dalam variabilitas genetik galur-
galur jagung yang diuji adalah jumlah tongkol pertanaman. Jumlah tongkol menjadi karakter penting
untuk mendapatkan galur jagung yang prolifik. Jagung yang memiliki jumlah tongkol lebih dari satu
diasumsikan dapat meningkatkan produksi jagung. Nilai rata-rata jumlah tongkol pertanaman dapat
dilihat pada Tabel 3.
29
Tabel 8. Nilai Rata-rata Jumlah Tongkol Pertanaman Galur-galur Jagung Unpad
No Kode Gen Genotipe Jumlah Tongkol Per Tanaman
1 2 3 5
1 1001 DR 1 1,60
2 1002 DR 2 1,40
3 1003 DR 3 1,70
4 1004 DR 4 1,50
5 1005 DR 5 1,00
6 1006 DR 6 2,20
No Kode Gen Genotipe Jumlah Tongkol Per Tanaman

7 1007 DR 7 1,80
8 Cek 1 DR 8 1,60
9 1009 DR 9 1,80
10 1010 DR 10 1,60
11 1011 DR 11 1,90
12 1012 DR 12 2,10
13 1013 DR 13 1,70
14 1014 DR 14 1,80
15 1015 DR 15 1,90
16 1016 DR 16 1,80
17 1017 DR 17 1,40
18 Cek 2 DR 18 1,70
19 1019 DR 19 1,70
20 1020 DR 20 1,70
21 1026 BR 152 2,10
22 1027 BR 153 1,80
23 1028 BR 154 2,00
24 1029 BR 157 1,80
25 1030 BR 159 1,80
26 1032 MDR 1.1.12 1,90
27 1033 MDR 1.1.3 1,20
28 1034 MDR 1.2.3 1,80
29 1035 MDR 1.6.3 1,70
30 1036 MDR 3.1.10 1,70
31 1037 MDR 3.1.2 2,00
32 1038 MDR 3.1.4 1,70
1 2 3 5
33 1039 MDR 3.6.1 1,90
34 1041 MDR 4.1.3 1,70
35 1042 MDR 4.2.2 2,10
36 1043 MDR 4.7.2 1,40
37 1044 MDR 4.8.8 2,10
38 1045 MDR 5.4.1 1,90
39 1046 MDR 5.5.1 1,70
30
40 1047 MDR 7.1.2 1,60
41 1048 MDR 7.1.7 1,70
42 1049 MDR 7.1.9 1,50
43 1050 MDR 7.2.3 1,40
44 1051 MDR 7.2.5 2,00
45 1052 MDR 7.3.1 1,70
46 1053 MDR 7.3.2 1,20
47 1054 MDR 7.4.1 1,70
No Kode Gen Genotipe Jumlah Tongkol Per Tanaman

48 1055 MDR 7.4.2 1,50


49 1056 MDR 8.5.3 1,50

50 1057 MDR 8.6.1 1,50


51 1058 MDR 8.6.3 2,00
52 1059 MDR 8.8.1 2,10
53 1060 MDR 9.1.3 1,90
54 1061 MDR 9.1.5 2,30
55 1062 MDR 9.4.1 1,60
56 1063 MDR 10.2.2 1,50
57 1064 MDR 12.3.1 2,20
58 1065 MDR 12.3.2 2,00
59 1066 MDR 14.1.1 1,70
60 1067 MDR 14.2.1 1,60
61 1068 MDR 14.2.2 1,80
62 1069 MDR 14.3.1 2,00
63 1070 MDR 14.3.8 1,70
64 1071 MDR 14.3.11 1,80
65 1072 MDR 14.5.1 2,00
66 1073 MDR 16.1.1 2,10
67 1075 MDR 16.5.15 1,80
68 1076 MDR 16.6.14 2,10
69 1077 MDR 16.7.1 1,70
1 2 3 5
70 1079 MDR 18.3.1 1,80
71 1080 MDR 18.4.1 1,50
72 1081 MDR 18.5.1 1,50
73 1082 MDR 18.8.1 1,40
74 1083 MBR 153.1.2 1,90
75 1084 MBR 153.3.2 2,00
76 1085 MBR 153.4.1 1,80
77 1087 MBR 153.6.1 2,00
78 1088 MBR 153.7.1 2,00
79 1089 MBR 153.9.8 2,10
80 1090 MBR 153.10.1 1,50

31
81 1091 MBR 153.10.2 1,70
82 1092 MBR 153.11.1 1,70

83 1093 MBR 153.13.1 1,80


84 1094 MBR 153.14.1 1,70
85 1095 MBR 153.15.1 1,80

5.3.3 Kandungan Klorofil Daun

Karakter morfologi lain yang memiliki peranan penting dalam menunjang hasil yang tinggi
adalah kandungan klorofil daun galur-galur jagung Unpad. Klorofil memiliki peran penting dalam
pertumbuhan jagung karena secara langsung terlibat dalam proses fotosintesis. Pada kondisi
tumpangsari dengan ubi jalar dimana ubi menyimpan cadangan makanan pada akar atau di dalam tanah
dapat berpengaruh terhadap ketersediaan nitrogen bagi jagung. Oleh karena itu, dibutuhkan seleksi pada
galur jagung yang memiliki potensi kandungan klorofil yang tinggi dibandingkan tanaman cek.
Tabel 9. Nilai Rata-rata Kandungan Klorofil Daun dan Hasil Uji LSI
Nilai Increase
Peringkat Genotipe Rata-Rata
Rata-Rata Cek
1 MDR 7.4.1 51,63 19,99
2 MDR 3.1.10 51,14 19,505
3 MDR 1.6.3 49,08 17,44
4 MDR 9.1.3 48,63 16,99
5 MDR 8.8.1 48,32 16,68
6 MDR 4.1.3 47,59 15,95
7 DR 15 45,93 14,295
8 MDR 3.1.4 45,61 13,97
9 MDR 7.1.9 45,51 13,875
10 DR 12 44,91 13,275
11 MDR 12.3.2 44,48 12,845
12 MDR 7.3.1 43,89 12,25
13 DR 19 41,90 10,26
14 MDR 5.4.1 41,89 10,255
15 DR 1 40,83 9,195
16 MDR 14.5.1 40,73 9,09
17 DR 10 40,69 9,055
18 DR 6 40,56 8,92
19 MDR 3.6.1 40,01 8,375
20 MDR 7.2.5 39,93 8,295
21 MDR 8.5.3 39,88 8,24
22 BR 153 39,81 8,17
23 DR 14 39,75 8,11
24 DR 7 39,45 7,81
25 DR 13 39,35 7,71
26 MDR 7.3.2 37,65 6,01
27 DR 11 37,59 5,955
28 MDR 4.2.2 37,29 5,65
29 MDR 4.8.8 37,04 5,405
30 BR 159 36,03 4,395
31 MDR 14.2.2 35,96 4,32
32 MDR 1.1.12 35,71 4,075
33 MBR 153.14.1 35,64 4,005
32
34 MDR 9.1.5 35,51 3,87
35 MDR 14.3.8 35,36 3,725
36 MDR 8.6.3 35,09 3,455
37 MDR 14.3.11 34,84 3,2
38 MDR 5.5.1 34,47 2,83
39 MBR 153.7.1 34,39 2,755
40 BR 154 34,30 2,66
41 DR 16 34,29 2,65
42 MBR 153.6.1 33,91 2,275
43 MBR 153.15.1 33,82 2,185
44 MDR 14.2.1 33,77 2,135
Nilai Increase
Peringkat Genotipe Rata-Rata
Rata-Rata Cek
45 DR 17 33,33 1,695
46 MDR 18.4.1 33,31 1,67
47 MDR 1.2.3 32,96 1,325
48 MBR 153.10.1 32,91 1,275
49 MDR 16.1.1 32,81 1,17
50 MDR 18.8.1 32,78 1,145
51 MBR 153.4.1 32,49 0,855
52 MDR 4.7.2 32,17 0,535
53 DR 5 31,96 0,32

Hasil analisis memerlihatkan bahwa pada F hitung taraf 5% jumlah tongkol pertanaman dari 83
galur jagung unpad yang diuji memberikan hasil yang tidak berbeda nyata, dengan demikian jumlah
tongkol per tanaman memiliki penampilan yang sama pada seluruh genotipe yang diuji atau dengan kata
lain variabilitas genetik untuk jumlah tongkol tidak beragam.
Hasil analisis kandungan klorofil pada 83 galur jagung menunjukkan hasil yang berbeda nyata.
Pada pengujian LSI didapatkan 53 galur jagung unpad dengan kandungan klorofil lebih tinggi dari rata-
rata tanaman cek. Banyaknya galur jagung unpad yang memiliki kandungan klorofil yang tinggi dapat
memberika keluasan bagi pemulia untuk melakukan seleksi galur jagung yang memiliki potensi genetik
tinggi.
Tabel 10. Analisis Sidik Ragam Galur Jagung pada Tumpangsari dengan Ubi Jalar
Komponen Morfologi
Sumber Keragaman Tinggi Tongkol Kadar Klorofil Jumlah Tongkol Per
(cm) (CCI) Tanaman
KTU 25876,98 0,02 1,99
KTP 335,87 0,87 0,11
KTG 69,78 0,26 0,60
F Hitung Perlakuan 4,81* 3,34* 0,18ns
F Tabel 1,45 1,45 1,45
CV % 9,98 9,02 13,9
Variabilitas genetik yang beragam pada komponen morfologi galur-galur jagung yang diuji
memberikan peluang yang besar bagi pemulia untuk melakukan seleksi dalam upaya merakit varietas
jagung adaptif tumpangsari dengan ubi jalar. Tumpangsari dengan ubi jalar memberikan kondisi
pertumbuhan yang berbeda pada jagung sehingga dibutuhkan pengujian yang panjang, karena pada
prinsipnya sistim tumpangsari menghendaki pertumbuhan yang optimal pada kedua komoditas yang
diusahakan, disamping manfaat lain yang telah dijelaskan. Jagung yang terlalu superior akan

33
memberikan hambatan pertumbahan bagi ubi jalar, begitupun sebaliknya jika ubi jalar lebih superior
maka harapan meningkatkan produksi jagung akan terhambat.

5.4 Produktivitas
Penelitian dilakukan di atas lahan dengan luas 470,7 m 2 untuk tumpangsari jagung galur dengan
ubi jalar. Jarak tanam yang digunakan untuk masing-masing tanaman yaitu 0,25 m dan antar barisan 0,9
m. Sistem tumpangsari yang diaplikasikan berupa tumpangsari barisan (row intercropping), yaitu satu
baris jagung dan satu baris ubi jalar. Maka luas petakan yang digunakan adalah 4,5 m 2 dengan jarak
antar baris 75 cm dan dalam baris 20 cm.
Hasil panen yang dilakukan pada awal bulan Juli ini diperoleh rata-rata akhir panen dimana rata-rata
hasil panen jagung tunggal lebih baik dari pada sistem tumpangsari, yaitu 3,84 ton/ha untuk rata-rata
jumlah produktivitas sistem tumpangsari jagung. Hasil rata-rata produktivitas ubi jalar sendiri sebesar
2,1 ton/ha.
Hasil panen tersebut membuktikan bahwa pola tanam tumpangsari tidak banyak menurunkan hasil
produktivitas tanaman, meskipun pada proses pertumbuhan tanamannya lebih baik pola tunggal
dibandingkan dengan pola tumpangsari. Selain itu dengan adanya kebutuhan air tanaman yang tercukupi
pada pola tumpangsari pun menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi hasil produktivitas tanaman,
karena salah satu yang menjadi faktor acuan petumbuhan tanaman dengna baik adalah kebutuhan air
yang terpenuhi.
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang diunggulkan pada kekayaan alam Desa Arjasari,
diantaranya adalah jagung manis sebagai salah satu yang diunggulkan pada sektor pertanian sebanyak 1
– 1,5 ton per hektar serta beras sebanyak 3,5 – 4 ton per hektar. Jagung-jagung manis yang dihasilkan
pada sektor pertanian Desa Arjasari kemudian dijual kepada tengkulak atau bandar seharga Rp 2.000,-
mayoritas petani tidak menjual secara langsung ke pasar. Begitu juga dengan ubi cilembu para pertani
tradisional kemudian menjual ubi cilembu ini kepada para tengkulak dengan harga Rp 6.000,- /kg.

Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), tanah bertekstur liat mampu menahan air dan
menyediakan unsur hara dengan tinggi namun hal ini tidak selaras dengan keadaan di lapangan, dimana
keseluruhan unsur hara (N) pada lokasi penelitian masuk ke dalam kategori rendah. Tanaman jagung
sangat sesuai untuk ditanam pada lahan bertekstur lempung, lempung liat berpasir, lempung berdebu,
debu dan lempung liat berdebu, namun tanaman jagung masih toleran dengan tekstur liat dan liat
berdebu, maka penanaman pada lahan dengan tekstur tersebut masih ke dalam kategori sesuai.

5.5. Analisis Molekuler

Analisis molekuler dengan menggunakan enam marka SSR, yaitu Bngl 125, phi113, phi36,
Bngl 589, phi126, dan phi112 memperlihatkan keragaman populasi galur yang digunakan (Tabel 11).
Berdasarkan Tabel 11 terdapat 28 alel pada populasi galur yang digunakan, jumlah tersebut masih belum
cukup untuk dapat menganalisis diversitas populasi galur jagung lapang yang kami miliki. Walaupun

34
demikian marka yang digunakan adalah marka polymorphic, sehingga marka- marka tersebut dapat
digunakan untuk analisis diversitas atau keragaman populasi galur jagung lapang.

Tabel 11. Jumlah pola pita pada 86 populasi galur jagung lapang berdasarkan enam marka SSR

No Nama Marka Jumlah alel Kategori Marka


1 Bngl 125 6 Polymorphic
2 Phi 113 4 Polymorphic
3 Phi 36 4 Polymorphic
4 Bngl 589 5 Polymorphic
5 Phi 126 4 Polymorphic
6 Phi 112 6 Polymorphic
Analisis HRM (high resolution melt) marka molekuler disajikan dalam Gambar 1, 2, 3,dan 4.
Berdasarkan analisis HRM dengan menggunakan marka Bngl 125, terdapat 6 alel (cluster) pada
populasi 86 galur jagung lapang (Gambar 1). Ke-6 alel tersebut diidentifikasi pada temperature melting
(TM) 58.1 oC, 63.7 oC, 82.8 oC, 84.7 C, 90.7o C dan 99.7o C

Gambar 1. Hasil RT PCR galur- galur jagung dengan menggunakan Marka Bngl 125.

35
Gambar 2. Hasil RT PCR galur- galur jagung dengan menggunakan Marka phi 113.

Gambar 3. Hasil RT PCR galur- galur jagung dengan menggunakan Marka phi 36.

36
Gambar 4. Hasil RT PCR galur- galur jagung dengan menggunakan Marka Bngl 589

VI. Rencana Tahapan Berikutnya

Rencana kegiatan yang akan dilakukan pada tahun 2018 adalah menganalisis kebutuhan air
galur jagung pada berbagai waktu tanam dan pola tanam berdasarkan data ketersediaan air setiap bulan
yang telah diperoleh pada penelitian awal. Selain itu akan dilaksanakan penelitian untuk menentukan
tetua jagung yang bisa toleran terhadap kekeringan berdasarkan marka SSR dan juga diallel cross
hibrida toleran kekeringan dengan efisiensi penggunaan air. Data dan pembahasan pengaruh iklim
terhadap ketersediaan air tanah untuk pola Tumpangsari. Menentukan ketersediaan air tanah atau
kebutuhan untuk pola Tumpangsari serta menentukan ketersediaan air untuk setiap bulan waktu tanam
Rencana-rencana kegiatan selanjutnya dikhususkan untuk mencari bibit jagung yang mampu
bertahan dengan produktivitas hasil yang tinggi terhadap pemberian air yang sedikit. Sehingga kedepan
berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh bibit jagung yang mampu dikembangkan pada lahan kering
dengan pemberian air yang efisien. Menentukan karakteristik toleransi jagung terhadap kekeringan,
screening marca molecular SSR untuk Identifikasi Tetua dan hibrida yang toleran kekeringan,
Menentukan tetua jagung toleran kekeringan berdasarkan Marca SSR.

37
38
VII. Kesimpulan dan Saran

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan selama penelitian, dari hasil pengamatan dan
kajian data dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Nilai evapotranspirasi potensial harian selama musim tanam dari bulan Maret hingga Juni
berturut-turut adalah 3,42 mm/hari; 3,5 mm/hari; 4,5 mm/hari; dan 2,1 mm/hari. Nilai
evapotranspirasi potensial tertinggi terjadi pada bulan Mei.
2. Jumah kebutuhan air tanaman jagung pola Tumpangsari sebesar 382,32 mm/musim dan
untuk tanaman ubi jalar sebesar 350,55 mm/musim.
3. Hasil produktivitas jagung pola tumpangsari sebesar 3,84 ton/ha dan ubi jalar sebesar 2,1
ton/ha.
4. Variabilitas genetik yang beragam pada komponen morfologi galur-galur jagung yang diuji
memberikan peluang yang besar bagi pemulia untuk melakukan seleksi dalam upaya merakit
varietas jagung adaptif tumpangsari dengan ubi jalar.
7.2 Saran

Saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah :

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan pengukuran iklim di lapang yang lengkap
sehingga dapat dibandingkan data iklim dari stasiun cuaca dengan hasil pengukuran di
lapangan;
2. Perlu dilakukan pemberian air irigasi jika penanaman dilakukan pada musim kemarau
sehingga dapat diketahui jumlah kebutuhan air tanaman secara akurat;
3. Perlu dilakukan perhitungan evapotranspirasi secara aktual sehingga didapatkan hasil yang
lebih akurat.

39
DAFTAR PUSTAKA

Abuzar M.R., G.U.Sadosaii, M. S. Baloch, A.A. Baloch, I.H. Shah, T. Javaid and N. Hussain. 2011.
Effect of plant population densities on yield of maize. Animal & Plant. Sci. 21(4):2011. 692-
695p
Adugna, W., & M.T. Labuschagne. 2002. Genotype-environment interactions and phenotypic stability
analysis of linseed in Ethiopia. Plant Breeding 121, 66 – 71.
Anggia, E.P. dan D. Ruswandi. 2011. Stabilitas jagung hibrida DR Unpad pada uji multilokasi di
Indonesia dalam Prosiding Seminar Nasional Pemuliaan Berbasis Kearifan Lokal Menghadapi
Tantangan Globalisasi. Purwokerto, 8-9 Juli 2011. Hal. 378-387. Penerbit Universitas
Soedirman.
Anne, Z.M. dan D. Ruswandi. 2011. Resistensi jagung mutan DR generasi M2 terhadap hama gudang
(C.A. Sitophilus zea-mays Motch) dalam Prosiding Seminar Nasional Pemuliaan Berbasis
Kearifan Lokal Menghadapi Tantangan Globalisasi. Purwokerto, 8-9 Juli 2011. Hal. 371-377.
Penerbit Universitas Soedirman.
Annisa Intan, V. Dan D. Ruswandi. 2011. Parameter genetik jagung mutan generasi M2 di Jatinangor
Indonesia dalam Prosiding Seminar Nasional Pemuliaan Berbasis Kearifan Lokal Menghadapi
Tantangan Globalisasi. Purwokerto, 8-9 Juli 2011. Hal. 361-370. Penerbit Universitas
Soedirman.
Akaria, N. dan D. Ruswandi. 2011. Penampilan fenotipik jagung mutan generasi M2 di Indonesia
dalam Prosiding Seminar Nasional Pemuliaan Berbasis Kearifan Lokal Menghadapi
Tantangan Globalisasi. Purwokerto, 8-9 Juli 2011. Hal. 335-352. Penerbit Universitas
Soedirman.
Allard R. W. 1960. Principle of Plant Breeding. John Wiley and Sons, Inc. New York.
AMBIONET. 2001. Workshop on QTL mapping. 7-9 May 2001. International Rice Research
Institute. Los Banos. Laguna. Philippines.
Arsana, IGK. Dana, IN. Adijaya dan Suprapto. 2012. Pengkajian Sistem Usahatani Pada Lahan
Kering Dataran Rendah Beriklim Kering Daerah Buleleng – Bali. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian – Bali.
Azrai., M. 2007. Integrasi gen untuk lisin dan triptofan dengan ketahanan penyakit bulai
memanfaatkan marka molekuler MAS dalam rangka pengembangan jagung hibrida. Disertasi.
Pascasarjana IPB. Bogor.
Baihaki, A. 2000. Teknik Rancang dan Analisis Penelitian Pemuliaan. Fakultas Pertanian Unpad.
Baker, R. J. 1978. Issues in Diallel Analysis. Crop Sci. 18(4) : 533-536.
Banerji B.K. & S.K. Datta. 1992. Gamma ray induced flower shape mutation in chrysanthemum cv
'Java'. J. Nuclear Agric. BioI. 21(2): 73-79.
Banziger, M., G.O. Edmeades, D. Beck, and M. Bell. 2000. Breeding for drought and nitrogen stress
tolerance in maize. CIMMYT. Mexico
Barbosa-Neto,J.F., M.E. Sforrels, and G. Cisar. 1996. Prediction of heterosis in wheat using
coefficient of parentage and RFLP- based estimates of genetic relationship. Genome 39: 1142-
1149.
[BATAN] Badan Tenaga Atom Nasiona. 1996. Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi. Jakarta: subbag.
Ilmiah dan Dokumentasi-PAIR.
Becker, H.C., and Leon.1988. Stability analysis in plant breeding. Plant Breeding, 101: 1 - 23
BPS. 2008. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta.
Catur, dkk. 2008. Induksi Mutasi Melalui Iradiasi Sinar Gamma terhadap Benih untuk Meningkatkan
Keragaman Populasi Dasar Jagung (Zea mays L.). Jumal Akta Agrosia Vol. II No.1 hIm 57 –
62.
Cerena, M.J. and Cross, H.Z.. 2003. Plant density and maize germplasm improvement in the
Northern Corn Belt. Maydica 48:105-111
Cox, T.S., G.L. Lookhart, D.E. Walker, L.G. Harrel, L.D. Albert, and D. M. Rodgers. 1985. Genetic
relationship among hard red winter wheat cultivars as evaluated by pedigree analysis and
gliadian polyacrilamide gel electrophoretic patterns. Crop Sci. 25:1058-1063.

40
Crowder, L.V. 1997. Genetika Tumbuhan. Diterjemahkan Lilik Kusdiarti. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Datta, S.K.. 2001. Mutation studies on garden chrysanthemum : A review. Scientific Horticulture
7:159-199.
Dewi, Suci Surya. 2014. Kajian Pola Tanam Tumpangsari Padi Gogo (Oryza sativa L.) dengan
Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt L.). Jurnal Produksi Tanaman, Volume 2, Nomor 2,
Maret 2014, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya.
Duvick, S. , Pollack, L., and White , P. 2003. Heart-Friendly Corn oil? New- high-oleic corn varieties
make its possible. Agricultural Research. Plant, Microbial, and Insect Genetic Research,
Genomics, and Genetic Improvement, an ARS National Program. USDA. NY.
Erni Suminar, A.O. Canama dan D. Ruswandi. 2011. Genetic variability of DR inbred line of maize
based on SSRs marker dalam Prosiding Seminar Nasional Integratif Pangan, Kesehatan, dan
Lingkungan. Hal. 34-37. Tim Penyusun: Tati Herlina, Firly Budi Hartanto, Hartono, Ari
Hardianto. Editor: Suseno Amien, Ukun MS Soedjanaatmadja, Setiawan. Penerbit:Jurusan
Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran. ISBN: 978 -
602 - 19413 - 0 – 0
Anggia, E.P., N. Rostini, Tri Hastini, E. Suryadi, S. Ruswandi, dan D. Ruswandi. 2009. Seleksi
hibrida jagung DR Unpad di Indonesia berdasarkan metode Eberhart - Russel dan AMMI.
Zuriat Vol. 20 (2): 134-154.
Fehr, W.R. 1987. Principles of Cultivar Development. Theory and Technique Vol. 1. Macmillan
Publishing Company. NY.
Finney, D.I. Probit analysis and multivariant. 2005 Http://www.gseis.ucla.edu/ courses/. ed231
al/notes3/probit.html. Diakses 1 Agustus 2009.
Gauch, Jr., H.G. 1992. Statistical Analysis of Regional Trials: AMMI analysis of factorial design.
Elsevier Science Publisher, Amsterdam.
Gauch, Jr., H.G. & R.W. Zobel.1996. AMMI analysis of yield trial. In M.S. Kang and H.G. Gauch, Jr
(Eds). Genotype-by-environment Interaction. CRC Press, Boca Raton. New York, United State
of America.
Gomez, K.A. & A. A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi Kedua. UI-
Press.
Gozubenli, H. 2010. Influence of planting patterns and plant density on the performances of maize
hybrids in eastern Mediterranean conditions. Int. J. Agric. Biol., 12:556-560
Hadi, Alfian Fatuhul dan Sa’diyah Halimatul. 2004. Model AMMI analisis untuk interaksi genotip
dengan lingkungan. Jurnal Ilmu Dasar Vol 5 No 1 :33-41.
st
Hallauer, A.R. & Miranda Filho., J.B. 1981. Quantitative Genetics in Maize Breeding 1 . Iowa State
University Press/Ames.
Hallauer, A.R. & Miranda Filho., J.B. 1988. Quantitative Genetics in Maize Breeding. Iowa State
University Press/Ames.
Hamda, F. 2005. Pertumbuhan dan variabilitas fenotipik manggis hasil irradiasi sinar gamma. Zuriat
vol 16 (2): 133-145.
Hautea, D.M., A.M. Salazar, C.B. Pascual, A.D. Raymundo, C.E. Reano, C.H. Balatero, H.F. Galvez,
E.H. Bicar, A. Galang, A.D. I. Josue, D. Ruswandi, N.B. Coronado, A.O. Canama, R.P.
Clavejo, A. Gumarang, M.A.Latiza, C.L. Caspillo, and R. Alegre. 2001. Towards a marker-
assisted in Philippine maize inbreds. Asian Agriculture Congress. 24-27 April 2001. Society
for the Advancement of Breeding Researches in Asia and Oceania (SABRAO). Asian Crop
Science Association (ACSA). Federation of Crop Science Societies of the Philippines
(FCSSP). Manila. Philippines.
Herawati, T. 1989. Pemuliaan Tanaman Menyerbuk Sendiri. Dalam Kumpulan Materi Perkuliahan :
Latihan Teknik Pemuliaan Tanaman dan Hibrida. Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran.
Jatinangor. Tidak Dipublikasikan.
Halle-Wittenberg. 2004. The Inheritance and Molecular Mapping of Genes for Post-anthesis Drought
Tolerance (PADT) in Wheat. [http://nbn- resolving.de/urn/resolver.pl?urn=nbn%3Ade%3Agbv
%3A3-000007346].
41
Hoisington, D., M. Khairallah, and D. Gonzales-De-Leon. 1997. Laboratory proto-cols CIMMYT.
rd
Applied molecular genetics laboratory, 3 edn. CIMMYT, El Batan, Mexico DF.
Hussain, I. 2009. Genetic of drought tolerance in Maize. Dep. Plant Breed & Genetics. Univ.
Islamabad. Pakistan. Thesis.
Ibrahim, R 1999. In vitro mutagenesis in roses. Phd Thesis. Aplied Biological Sci. Cell and Gene
Biotechnology Fac. Univ Gent, Belgium.
Ismachim, M. 1994. Masalah dan prospek pemuliaan dengan teknik mutasi. Prosiding Simposium
Pemuliaan Tanaman II. Perhimpunan Pemuliaan Tanaman Indonesia. Komisariat Jatim. Hal.
14–19.
Jingbo, X., Shi Feng, Hu Xuehai, Li Zhi, Song Chaohong, Xiong Huijuan. 2012. Prediction of
Drought Resistance Gene with Clustered Amino Acid Features. I.J. Intelligent Systems and
Applications 11: 62-67
Jollife, I. T. 1986. Principal Component Analysis. Spinger-Verlag, New York.
Kang, M.S and R. Magari. 1996 New developments in selecting for phenotypic stability in crop
breeding. In M.S. Kang and H.G. Gouch, Jr (Eds). Genotype-by-Enviroment interaction. CRC
press, Boca Raton. New York, United States of America.
Kasim, F., M. B. Pabendon., M. Azrai, M. Dahlan, A. T. Makkulawu, R. N. Iriany, Sutrisno, M.
Herman, D. Ruswandi dan N. Wicaksana. 2003. Marker assisted selection for downy mildew
resistence and diversity study of Indonesi lines. AMBIONET-Indonesia Semi Annual Progress
Report : Apr-Sept 2003. AMBIONET Meeting. 3-6 Nov 2003. Chiang Mai Thailand.
Kasno, A.1991. Pemuliaan Tanaman Kacang-Kacangan. Makalah Simposium Pemuliaan Tanaman I.
Balai Penelitian Tanaman Pangan.Malang.
Kaya, Y., C.Palta, and S. Taner.2002. Additive main effects and multiplicative interactions analysis of
yield performances in bread wheat genotypes across environments. Turk J. Agric. For. 26: 275-
279.
Khaerallah, M. 2000. SSR markers for Opaque-2. CIMMYT Molecular Genetics Service Laboratory.
CIMMYT, El Batan, Mexico DF.
Kusdiana, D. 2004. Variabilitas Fenotipik Karakter Komponen Hasil dan Hasil 100 Progeni Jagung S 4
Pada Pertanaman Ear To Hill dan Modifikasi Ear To Row. Skripsi Fakultas Pertanian
Universitas Padjadjaran. Tidak dipublikasikan.
Lee, M., E.B. Godshalk, K.R. Lamkey, and W.L. Wooman. 1989. Association of restriction length
polymorphism among maize inbreds with agronomic performance of their crosses. Crop sci.
29: 1067-1071.
Makulawu, A.T., N. Iriany, B. Annas, M. Dahlan, dan F. Kasim. 1999. Stabilitas hasil beberapa
genotip jagung hibrida harapan pada sembilan lokasi. Zuriat 10(2): 54-61.
Malaviarachchi M.A.P.W.K., K.M. Karunarathne and S.N. Jayawardane. 2007. Influence of plant
density on yield of hybrid maize under supplementary irrigation. Field crops Research and
Dev. Insitute, Mahailluppallama. Srilangka.
Milad Sana Ibrahim, Lydia Elias Wahba and Mohamed Najeb Barakat. 2011. Identification of RAPD
and ISSR markers associated with flag leaf senescence under water stressed conditions in
wheat (Triticum aestivum L.). Aust. J. Crop. Sci. 5(3):337-343
Muhadjir, F. 1988. Karakteristik Tanaman Jagung. Dalam Jagung. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Mukharib.
D.S. 2006. Studies on drought tolerance and molecular characterization of maize
genotypes. Thesis. Dep. Agron. College of Agric. University of Dharwad.
Munarso, S.J., BAS Santosa dan D.J.Damardjati. 1988. Struktur, komposisi, dan nilai gizi jagung.
Dalam jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. Bogor.
Poehlman, J. M. 1979. Breeding Asian Field Crop. Second Edition Avl Publised Co. Inc. West-Port
Conecticut.
Poehlman, J.M. and D.A. Sleper. 1995. Breeding Field Crops Fourth Edition. Iowa State University
Press/ Ames.
Pudjomartatmo. 1998. Pengaruh kerapatan populasi dan pola jarak tanam terhadap pertumbuhan dan
hasil panen jagung. Tesis. UNBRAW. Malang

42
Pixley, K.V. and Bjarnason, M.S. 2002. Stability of Grain Yield, Endosperm Modification, and
Protein Quality of Hybrid and Open-Pollinated Quality Protein Maize (QPM) Cultivars. Crop
Sci. 42:1882–1890
Ruswandi, D. 2001. Genetic Analysis and Quantitative Trait Loci Mapping of Downy Mildew
Resistance Genes in Maize (Zea mays L.). Unpublished PhD Dissertation. University of the
Philippines at Los Banos.
Ruswandi, D., D.M. Hautea, A.M. Salazar, R.M. Lantican, A.L. Carpena, and A.D. Raymundo. 2001.
Map construction of simple sequence repeats developed for introgression Philippine downy
mildew resistance gene in maize. Zuriat. Indonesian Journal of Breeding. Vol. 12. No.2:63-73
Ruswandi, D., F. Kasim, M. Rachmadi, M. B. Pabendon, N. Wicaksana, M. Azrai, F. Damayanti, A.
Ismail, T. Gunawan, and N. Carsono. 2003. Genetic Relationship of Quality Protein of Maize
and Downy Mildew Resistance Lines Based on Simple Sequence Repeats (SSR) Marker. In Int’l
Seminar on Biotechnology for Sustainable Agriculture. Bogor, Indonesia. 7-8 Oct 2003.
Ruswandi, D., F. Kasim, M. Rachmadi, M. B. Pabendon, N. Wicaksana, M. Azrai, F. Damayanti, A.
Ismail, N. Carsono, and T. Gunawan 2004. .DNA profiles of downy mildew resistance (DMR)
and quality protein maize (QPM) lines using eleven simple sequence repeats (SSR). Proceeding
of International Seminar on Low Input Sustainable Agriculture. Padjadjaran University.
th
October 7 2003. Bandung
Ruswandi, D., N. Wicaksana, M.B. Pabendon, M. Azrai, M. Rachmady, A. Ismail, N. Carsono, F.
Damayanti, and F. Kasim. 2005. Molecular characterization of quality protein maize and
downy mildew resistance lines based on Simple Sequence Repeats (SSRs) marker. Zuriat
Ruswandi, D. 2005. Adaptation and G x E interaction of yield of UNPAD maize collection in West
Java Indonesia. Kultivasi 4 (2): hal. 94-104
Ruswandi, D., I. Zaitun, S. Ruswandi, dan N. Rostini. 2008. Daya gabung dan heterosis ketahanan
terhadap hama gudang (Sitophilus zea-mays) galur- galur DMR dan QPM berdasarkan analisis
line x tester. Zuriat, Vol. 19, No. 1, 96 Januari-Juni 2008 Zuriat, Vol. 19, No. 1, 96 Januari-
Juni 2008
Ruswandi, D, A. Karuniawan, dan F. Hendrayana. 2011. Laporan Akhir Hibah Pascasarjana: Seleksi
mutan jagung berumur genjah berdasarkan marka molekuler dan stabilitasnya dalam
menunjang ketahanan pangan di Indonesia. Universitas Padjadjaran.
Ruswandi, D, A. Karuniawan, dan F. Hendrayana. 2012. Laporan Akhir Hibah Pascasarjana: Seleksi
mutan jagung berumur genjah berdasarkan marka molekuler dan stabilitasnya dalam
menunjang ketahanan pangan di Indonesia. Universitas Padjadjaran.
Rohlf, F.J. 2000. NTSYSpc Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System Version 2.0.
Applied Biostatistics Inc.
Samonte, S.O. PB., L.T. Wilson, A.M. McClung, and J.C. Edley. 2005. Targeting cultivars onto rice
growing enviroments using AMMI and SREG GGE biplot analyses. Crop Sci. 45: 2414 – 2424.
Santos, J.D., P.E.O. Guimaraes, J.M. Waquil, and J.E. Foster. 1992. Resistance to maize weevill in
quality protein maize lines and commercial corn Hybrids. National Corn and Sorghum
Research Center. Brazil.
Shakarami G. and Raflee M. 2009. Response of corn to planting pattern and density in Iran. American-
Eurasian J. Agric.& Environ. Sci., 5(1):69-73
Singh, R. K., and B. D. Chaudary. 1977. Biometrical Method in Quantitative Genetic Analysis.
Kalyani Publishers. New Delhi. Ludhiana.
Singh,R.K. and B.D. Chaudhary. 1979. Biometrical Methods in Quantitative Genetic Analysis. Kalyan
Publisher, Ludhiana New Delhi.
Soeranto, H. (Tanpa Tahun). Pemuliaan Tanaman Sorghum di P3TIR-BATAN.
www.batan.go.id/patir/berita/pertanian/sorghum/sorghum.htm. diakses 17 Agustus 2009. Soeranto.
H. 2003. Peran IPTEK nuklir dalam pemuliaan tanaman untuk mendukung industri
pertanian. Puslitbang Teknologi Isotop dan Radiasi. Badan Tenaga Nuklir Nasional. Jakarta.
Subandi, S. Saenong, Zubachtirodin, F. Kasim. 2003. Perkembangan penelitian jagung di indonesia.
Makalah Dalam Lokakarya Bioteknologi Dalam Pemuliaan Tanaman.
Subandi. 1979. Yield stability of nine early maturing genotypes of corn. CCRIA.

43
Subandi, M. Sudjadi, dan D. Pasaribu. 1996. Laporan hasil pemantauan penyakit bulai dan pada
tanaman jagung hibrida. 5p.
Sudjana, A dan Sutjihno. 1992. Adaptasi jagung genjah dan jagung dalam di daerah Taman Bogo.
Penelitian Pertanian Vol 12 no.3 : 126.
Sumertajaya, IM. 1998. Perbandingan Model AMMI dan Regresi Linier untuk Menerangkan Pengaruh
Interaksi Percobaan Lokasi Ganda. Tesis. Jurusan Statistika FMIPA IPB, Bogor.
Sunarti, Sri., dkk. 2008. Pembentukan Varietas Jagung Hibrida. Balai Penelitian Tanaman Serelia,
Maros.
Valentina, A.I. dan Ruswandi, D. 2011. Penampilan fenotipik jagung mutan generasi M2 di Indonesia.
Prosiding Seminar Nasional: Pemuliaan berbasis potensi dan kearifan lokal menghadapi
tantangan globalisasi. UNSOED. Purwokerto.
Welsh, J. R. 1981. Fundamentals of Plant Genetics and Breeding. John Wiley and sons. New York.
Chichester. Brisbane. Toronto.
Wijk, RV., Jan van Oeveren, René van Schaik and Johan Peleman. 2006. Linkage Map Integration:
An integrated genetic map of Zea mays L. Keygene N.V., Agro Business Park 90, P.O. Box
216, 6700 AE Wageningen, The Netherlands.
Willey, R.W. 1979. Intercropping-Its Importance and Research Needs. Field Crop. Abstracts 32:73-78
Zubachtirodin, Subandi, dan Sania Saenong. 2005. Panduan Teknologi Produksi Jagung Bersari
Bebas. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros. 45 hal.

44

Anda mungkin juga menyukai