PCOS merupakan sebuah penyakit yang berhubungan dengan hormon yang biasanya terjadi pada
wanita usia subur. Mungkin Anda jarang mendengar penyakit ini, namun penyakit ini bisa
menyerang siapa saja. Gara-gara penyakit ini, mungkin bisa saja Anda menjadi sulit hamil.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai penyakit ini, sebaiknya simak ulasan berikut ini.
Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau dalam Bahasa Indonesia disebut dengan sindrom
ovarium polikistik adalah masalah pada keseimbangan hormon wanita. Pada PCOS, kadar
hormon seks wanita, yaitu hormon estrogen dan hormon progesteron tidak seimbang. Wanita
dengan PCOS biasanya memiliki kista kecil (kantong berisi cairan) di ovariumnya, yang
membuat ovarium membesar. Kista ini tidak berbahaya, tetapi dapat menyebabkan
ketidakseimbangan hormon. Perubahan pada satu hormon dapat memicu hormon lainnya,
sehingga terjadi perubahan lain.
Karena ketidakseimbangan hormon yang dimilikinya, wanita dengan PCOS dapat mengalami
periode menstruasi yang tidak teratur. Ketidakteraturan periode menstruasi inilah yang dapat
menyebabkan wanita dengan PCOS sulit hamil. Selain dapat menyebabkan periode menstruasi
tidak teratur, PCOS juga dapat menyebabkan pertumbuhan rambut berlebih, jerawat, dan
obesitas. Jika PCOS tidak diobati, lama-kelamaan juga dapat menyebabkan penyakit yang lebih
serius, seperti diabetes mellitus tipe 2 dan penyakit jantung.
Berkaitan dengan penemuan yang ada, perhatian terhadap PCOS sekarang di pusatkan
pada masalah hiperandrogenisme, hiperinsulinemia, abnormalitas kadar lemak darah dan
obesitas yang memberikan dampak yang lebih luas terhadap kesehatan. Dokter harus
memiliki kemampuan untuk dapat menegakkan diagnosa PCOS secara dini dan
membantu agar penderitanya terhindar dari berbagai masalah kesehatan jangka panjang
sebagai konsekwensi medis lanjutan dari PCOS
Definisi PCOS:
Kumpulan gejala yang ditandai dengan adanya anovulasi (tidak keluarnya ovum/sel telur)
kronis (yang berkepanjangan/dalam waktu lama) disertai perubahan endokrin (seperti:
hiperinsulinemia, hiperandrogenemia).
Definisi yang paling dapat diterima secara internasional pada saat ini seperti yang diadopsi pada
tahun 2003 oleh European Society for Human Reproduction dan Embryology and the American
Society for Reproductive Medicine, yang dikenal dengan ESHRE/ASRM Rotterdam
consensus.2 Dalam konsensus ini diperlukan adanya dua dari tiga kriteria diagnose yaitu :
a. Oligo/anovulation
b. Gejala hiperandrogen baik secara klinik maupun biokimia
c. Adanya gambaran morfologi ovarium yang polikistik dengan USG (12 atau lebih
d. folikel-folikel dengan ukuran diameter antara 2-9 mm dan/atau peningkatan volume
ovarium (>10 ml).
Penyebab Gejala dan keluhan PCOS
disebabkan oleh adanya perubahan hormonal. Satu hormon merupakan pemicu bagi
hormon lainnya. Hal ini akan menimbulkan lingkaran setan dari suatu gangguan
keseimbangan hormonal dalam sistem endokrin.
Gangguan tersebut antara lain adalah :
1. Hormon ovarium. Bila kadar hormon pemicu ovulasi tidak normal maka ovarium
tidak akan melepaskan sel telur setiap bulan. Pada beberapa penderita, dalam
ovarium terbentuk kista-kista kecil yang menghasilkan androgen.
2. Kadar androgen yang tinggi. Kadar androgen yang tinggi pada wanita menyebabkan
timbulnya jerawat dan pola pertumbuhan rambut seperti pria serta terhentinya
ovulasi.
3. Kadar insulin dan gula darah yang meningkat. Sekitar 50% tubuh penderita PCOS
bermasalah dalam penggunaan insulin yaitu mengalami resistensi insulin. Bila tubuh
tidak dapat menggunakan insulin dengan baik maka kadar gula darah akan
meningkat. Bila keadaan ini tidak segera diatasi, maka dapat terjadi diabetes kelak
dikemudian hari.
Gejala
Gejala PCOS cenderung terjadi secara bertahap. Awal perubahan hormon yang
menyebabkan PCOS terjadi pada masa remaja setelah menarche. Gejala akan menjadi
jelas setelah berat badan meningkat pesat.
1) Gejala PCOS awal:
a. Jarang atau tidak pernah mendapat haid. Setiap tahun rata-rata hanya terjadi
kurang dari 9 siklus haid ( siklus haid lebih dari 35 hari ). Beberapa penderita
PCOS dapat mengalami haid setiap bulan namun tidak selalu mengalami ovulasi.
b. Perdarahan haid tidak teratur atau berlebihan. Sekitar 30% penderita PCOS
memperlihatkan gejala ini.
c. Rambut kepala rontok dan rambut tubuh tumbuh secara berlebihan. Kerontokan
rambut dan pertumbuhan rambut berlebihan dimuka, dada, perut (hirsuitisme)
disebabkan oleh kadar androgen yang tinggi.
d. Pertumbuhan jerawat. Pertumbuhan jerawat disebabkan pula oleh kadar androgen
yang tinggi.
e. Depresi. Perubahan hormon dapat menyebabkan gangguan emosi.
2) Gejala PCOS lanjut
a. Berat badan meningkat atau obesitas terutama pada tubuh bagian atas (sekitar
abdomen dan pinggang). Gejala ini disebabkan oleh kenaikan kadar hormon
androgen.
b. Kerontokan rambut dengan pola pria atau penipisan rambut kepala (alopesia).
Gejala ini disebabkan oleh kenaikan kadar hormon androgen.
c. Abortus berulang. Penyebab hal ini tidak diketahui dengan jelas. Abortus
mungkin berkaitan dengan tingginya kadar insulin, ovulasi yang terhambat atau
masalah kualitas sel telur atau masalah implantasi pada dinding uterus.
d. Sulit mendapatkan kehamilan (infertil) oleh karena tidak terjadi ovulasi.
e. Hiperinsulinemia dan resistensi insulin yang menyebabkan obesitas tubuh bagian
atas, perubahan kulit dibagian lengan, leher atau pelipatan paha dan daerah
genital.
f. Masalah gangguan pernafasan saat tidur (mendengkur). Keadaan ini berhubungan
dengan obesitas dan resistensi insulin.
g. Nyeri panggul kronis (nyeri perut bagian bawah dan panggul )
h. Tekanan darah tinggi seringkali ditemukan pada penderita PCOS.
8) Pemeriksaan Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosa PCOS diperlukan sejumlah pemeriksaan antara lain
anamnesa yang cermat, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium serta
pemeriksaan ultrasonografi.
9) Anamnesa:
a. Riwayat medis mengenai keluhan yang dirasakan penderita.
b. Pertanyaan mengenai perubahan berat badan, perubahan kulit, rambut dan siklus
haid.
c. Pertanyaan mengenai masalah kesuburan.
d. Pertanyaan mengenai riwayat keluarga yang menderita PCOS atau diabetes.
Rujukan :
1. Ehrmann DA. Obesity and glucosa intolerance in androgen excess. In Azziz R Nestler
JE Dewailly D eds. Androgen excess disorder in women. Philadelphia Lippincott-
Raven. 1997 :705-12
2. Dunaif A, Hoffman AR, Scully RE, Flier JS, Longcope C, Levi LJ.et al. Clinical
biochemical, and ovarian morphologic features in women with acanthosis nigricans and
masculinization. Obstet Gynecol 1985:66, 542-52
3. Dunaif A, Xia J, Book CB, Schenker E, Tang Z. Excessive insulin receptor serine
phosphorylation in cultured fibroblasts and in skeletal muscle. A potential mechanism
for insulin resistance in the polycystic ovary syndrome. J clin inves 1995 ; 96 801-10
4. Vollenhoven B, Clark S, Kovacs G, Burger H, Healy D. Prevalence of gestational
diabetes melitus in polycystic ovarian syndrome (PCOS) patients pregnant after
ovulation induction with gonadotrophins Aust NZJ Obstet Gynecol 2000, 40 54-3
5. Talbott E, Clerici A, Berga SL, Kuller L, Guzick D, Detre K, et al Adverse lipid and
coronary heart disease risk profiles in young women with polycystic ovary syndrome.
Results of case-control study. J Clin Epidemiol 1998;51 415-22
6. Barbieri RL (2007). Polycystic ovary syndrome. In DC Dale, DD Federman, eds., ACP
Medicine, section 16, chap. 5. New York: WebMD.
7. Speroff L, Fritz MA (2005). Recurrent early pregnancy loss. In Clinical Gynecologic
Endocrinology and Infertility, 7th ed., pp. 1069–1101. Philadelphia: Lippincott Williams
and Wilkins.
8. Speroff L, Fritz MA (2005). Anovulation and the polycystic ovary. Clinical Gynecologic
Endocrinology and Infertility, 7th ed., pp. 465–498. Lippincott Williams and Wilkins.
Practice Bulletin No. 34. Obstetrics and Gynecology, 99(2): 347–358.