Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

DEMAM BERDARAH DENGUE

Disusun oleh
KEVIN ANDREW
406162001

Pembimbing

dr. Rusli Z, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIAWI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
PERIODE 19 MARET 2018 – 26 MEI 2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

Referat:
Demam Berdarah Dengue

Disusun oleh:
Kevin Andrew
406162001

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSUD Ciawi
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Ciawi, 3 Mei 2018

dr. Rusli Z, Sp.PD

2
LEMBAR PENGESAHAN

Referat:
Demam Berdarah Dengue

Disusun oleh:
Kevin Andrew
406162001

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSUD Ciawi
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Mengetahui,
Kepala SMF Ilmu Penyakit Dalam

dr. Devi Astri Rivera A., Sp.PD

3
BAB I

PENDAHULUAN

Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus
dengue, yang ditandai dengan demam tinggi mendadak 3-14 hari setelah tergigit nyamuk
yang terinfeksi virus dengue. Virus Dengue mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu DEN-1, DEN-
2, DEN-3, DEN-4.Di dunia, insidensi DBD mencapai 390 juta kasus per tahun, dan 96 juta di
(1)
antaranya bermanifestasi secara klinis, dengan apapun tingkat keparahannya. Dari jumlah
tersebut, sekitar 75% berada di wilayah Asia Pasifik, dan vektor-vektor primer DBD (Aedes
aegypti dan Aedes albopictus) telah tersebar dalam beberapa dekade terakhir akibat
perubahan-perubahan sosial, lingkungan, dan demografik. Di Indonesia, pada tahun 2015,
prevalensi DBD mencapai 49,5 per 100.000 penduduk, dan case fatality rate (CFR) DBD di
tahun itu adalah 0,97%. (2)Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah
satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas
daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan
kepadatan penduduk.
Demam berdarah dengue menyebabkan banyak komplikasi, terutama pada populasi
anak-anak, seperti kejang demam dan dehidrasi, hingga terjadinya syok (dengue shock
syndrome, DSS). Tatalaksana DBD berfokus pada meringankan gejala nyeri, mengendalikan
demam, rehidrasi cairan intravena, dan menjaga agar jangan terjadi perdarahan. (3) Referat ini
bertujuan memberikan informasi mengenai DBD kepada para pemberi layanan kesehatan,
terutama para dokter muda,agar tatalaksana DBD dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya
demi meminimalisir morbiditas dan mortalitas akibat DBD.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam dengue atau demam berdarah dengue merupakan penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopictus serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD. DBD ditandai dengan demam
tinggi mendadak 3-14 hari setelah tergigit nyamuk yang terinfeksi virus dengue. (2)

2.2 Etiologi
Demam dengue atau demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk
dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Terdapat 4 serotipe virus tipe yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam
berdarah dengue. Infeksi serotipe manapun memberi kekebalan seumur hidup terhadap virus
tersebut. Infeksi sekunder dengan serotipe lain atau beberapa infeksi dengan serotipe berbeda
akan menyebabkan demam berdarah dengan bentuk yang parah (dengue hemorrhagic fever,
DHF/dengue shock syndrome, DSS). (4)

2.3 Epidemiologi
Demam berdarah dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Resiko terkena
DBD pada laki–laki dan perempuan hampir sama, tidak tergantung jenis kelamin. Kasus
cenderung meningkat pada musin penghujan (Desember-Maret) dan menurun pada musin
kemarau (Juni-September). Di dunia, insidensi DBD mencapai 390 juta kasus per tahun, dan
(1)
96 juta di antaranya bermanifestasi secara klinis, dengan apapun tingkat keparahannya.
Dari jumlah tersebut, sekitar 75% berada di wilayah Asia Pasifik, dan vektor-vektor primer
DBD (Aedes aegypti dan Aedes albopictus) telah tersebar dalam beberapa dekade terakhir
akibat perubahan-perubahan sosial, lingkungan, dan demografik. Di Indonesia, pada tahun
2015, prevalensi DBD mencapai 49,5 per 100.000 penduduk, dan case fatality rate (CFR)
(2)
DBD di tahun itu adalah 0,97%. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas
daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan
kepadatan penduduk.

5
2.4 Faktor Risiko Terjadinya Infeksi Dengue Berat
Faktor-faktor berikut berkontribusi menimbulkan penyakit yang berat dan membawa pada
berbagai komplikasi:
1. Bayi kurang dari 1 tahun
2. Obesitas
3. Penderita ulkus peptikum
4. Wanita yang sedang menstruasi atau terdapatnya perdarahan vagina yang abnormal
(abnormal uterine bleeding, AUB)
5. Penyakit hemolitik seperti defisiensi G6PD, talasemia dan hemoglobinopati lain
6. Penyakit jantung bawaan
7. Penyakit kronik seperti DM, hipertensi, asma, gagal ginjal kronik dan sirosis hati
8. Penderita yang sedang dalam pengobatan steroid atau NSAID. (4)

2.5 Patogenesis & Patofisiologi


Perjalanan penyakit penyakit dengue dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase febris, kritis, dan
penyembuhan (recovery). Akibat perjalanan penyakit DBD yang dinamis, gejala yang parah
biasanya muncul selama periode defervesens (transisi antara fase febris dengan afebris), yang
sering bersamaan dengan awitan fase kritis. (5)

Gambar 2.1 Patogenesis DBD (4)

Hingga saat ini masih dianut the secondary heterologous infection hypothesis atau the
sequential infection hypothesis yang menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang
6
setelah terinfeksi virus denge pertama kali terinfeksi kedua kalinya dengan virus dengue
serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun. The Immunological Enhancement
Hypothesis Antibody menyatakan bahwa antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri
dari IgG yang berfungsi menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yang terdiri
dari enhancing-antibody dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis antibodi,
yaitu: (1) Kelompok monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi tetapi
memacu replikasi virus, dan (2) Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa
disertai daya memacu replikasi virus. Perbedaan ini berdasarkan adanya virion determinant
spesificity. Antibodi non-neutralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan
terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat memacu replikasi virus.
Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi sekunder virus dengue oleh serotipe
dengue yang berbeda cenderung menyebabkan manifestasi berat. Dasar utama hipotesis ini
adalah :
• Sel fagosit mononuklear (monosit, makrofag, histiosit, dan sel Kupffer) merupakan tempat
utama terjadinya infeksi virus dengue primer.
• Non-neutralizing antibodi bebas dalam sirkulasi maupun yang melekat pada sel, bertindak
sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada permukaan sel fagosit
mononuklear, disebut mekanisme aferen.
• Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear yang telah
terinfeksi.
• Selanjutnya sel monosit mengandung kompleks imun akan menyebar ke usus, hati, limpa
dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut mekanisme eferen. Parameter perbedaan
terjadinya DBD dengan atau tanpa renjatan ialah jumlah sel yang terkena infeksi.
• Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan sistem humoral dan
sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya mediator yang memengaruhi permeabilitas
kapiler dan mengaktivasi sistem koagulasi. Mekanisme ini disebut mekanisme efektor.

Akibat rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen virus dengue, limfosit
dapat mengeluarkan interferon (IFN-α dan γ). Pada infeksi sekunder oleh virus dengue
(serotipe berbeda dengan infeksi pertama), limfosit T CD4 berproliferasi dan menghasilkan
IFN-α yang selanjutnya akan merangsang sel terinfeksi virus dengue dan mengakibatkan
monosit memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4 dan CD8 spesifik virus dengue,
monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan mediator yang menyebabkan kebocoran
plasma dan perdarahan.
7
Patofisiologi
Volume Plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan antara
demam dengue dan DBD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah,
penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta diatesis hemoragik.
Penyelidikan volume plasma pada kasus DBD membuktikan bahwa plasma merembes selama
perjalanan penyakit mulai dari permulaan demam dan mencapai puncaknya pada masa syok.
Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan
merembesnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit
pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma
ke daerah ekstravaskular (ruang interstisial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak.
Bukti yang mendukung adalah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan dalam
rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan perikardium yang pada otopsi ternyata
melebihi cairan yang diberikan melalui infus, dan terdapatnya edema. (6)

Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologi yang ditemukan pada sebagian besar kasus
DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa febris dan mencapai nilai terendah pada
masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens, dan nilai
normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia dihubungkan
dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup
trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain adalah
depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan membuktikan bahwa penghancuran trombosit
terjadi dalam sistem retikuloendotel, yaitu lien dan hepar. Penyebab peningkatan destruksi
trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu virus
dengue, komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi sistem
pembekuan darah secara bersamaan/terpisah. Fungsi trombosit yang menurun
didugadisebabkan proses imunologis, yangditunjukkan dengan ditemuinya kompleks imun
dalam peredaran darah. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai
penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD. (6)

Sistem Koagulasi dan Fibrinolisis


Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa perdarahan
memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi

8
memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X dan
fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan fibrin degradation products (FDP).
Penelitian lebih lanjut dari faktor-faktor koagulasi membuktikan adanya penurunan aktivitas
antitrombin III. Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan dengan penurunan aktifitas α-2
plasmin inhibitor dan penurunan aktivitas plasminogen. Penelitian di atas membuktikan
bahwa: (1) pada DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis, (2)
disseminated intravascular coagulation (DIC) dapat terjadi pada DBD tanpa syok. Pada awal
DBD, peran DIC tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan volume plasma tetapi
apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis, kejadian syok akan
memperberat DIC sehingga peran DIC menjadi signifikan. Syok dan DIC akan saling
memengaruhi sehingga penyakit akan berlanjut pada syok ireversibel disertai perdarahan
hebat, terlibatnya organ-organ vital yang biasanya diakhiri dengan kematian. (3) Perdarahan
kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler, gangguan fungsi trombosit dan
trombositopenia, sedangkan perdarahan masif ialah akibat mekanisme yang lebih kompleks
seperti trombositopenia, gangguan faktor pembekuan, dan kemungkinan besar oleh faktor
DIC, terutama pada kasus dengan syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi
asidosis metabolik. (4) Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan
kekurangan antitrombin III, respon pemberian heparin akan berkurang. (6)

Sistem Komplemen
Sistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadar C3, proaktivator C3, C4,
dan C5, baik pada kasus yang disertai syok maupun tidak. Terdapat hubungan positif antara
kadar komplemen serum dengan derajat penyakit. Penurunan ini menimbulkan perkiraan
bahwa pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun alternatif.
Penurunan kadar serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan
oleh karena produksi yang menurun atau ektrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan
anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk
melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan
permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok hipovolemik. Komplemen juga
bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang
mengakibatkan waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma, syok, dan perdarahan.
Di samping itu, komplemen juga merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti
tumor necrosis factor (TNF), interferon gamma, interleukin (IL-1 dan IL-2). Bukti-bukti yang
mendukung peran sistem komplemen pada penderita DBD ialah (1) ditemukannya kadar
9
histamin yang meningkat dalam urin 24 jam, (2) adanya kompleks imun yang bersirkulasi
(circulating immune complex), baik pada DBD derajat ringan maupun berat, dan (3) adanya
korelasi antara kadar kuantitatif komples imun dengan derajat berat penyakit. (6)

Respon Leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan limfosit atipik
yang berlangsung sampai hari ke delapan. Penelitian yang lebih mendalam menyebut hal
tersebut sebagai limfosit plasma biru (LPB). LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada
hari keenam demam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa di antara hari keempat sampai
kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD dengan demam
dengue. Berdasarkan uji diagnostik maka dipilih titik potong (cut off point) LPB 4%. Nilai
titik potong itu secara praktis mampu membantu diagnosis dini infeksi dengue, dan sejak hari
ketiga demam dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi dengue dan non dengue.
Definisi LPB ialah limfosit besar, dengan sitoplasma lebar dengan vakuolisasi halus hingga
sangat nyata, dengan daerah perinuklear yang jernih. Inti terletak pada salah satu tepi sel
berbentuk bulat oval atau berbentuk ginjal. Kromosom inti kasar dan kadang-kadang di
dalam inti terdapat nukleoli. Pada sitoplasma tidak terdapat granula azurofilik. Daerah yang
berdekatan dengan eritrosit tidak menekuk dan tidak bertambah biru. (6)

2.6 Manifestasi Klinis dan Perjalanan Penyakit


Spektrum infeksi virus dengue dapat bervariasi, antara asimptomatik atau berupa demam
yang tidak khas (sindrom virus), demam dengue (DF), demam berdarah dengue (DHF), atau
sindrom syok dengue (DSS). (7)

Gambar 2.2 Manifestasi Infeksi Virus Dengue (4)

10
Demam ringan (undifferentiated febrile illness)
Bayi, anak dan orang dewasa yang telah terinfeksi virus dengue pertama kali (infeksi primer)
mungkin berkembang menjadi demam ringan yang sulit dibedakan dengan infeksi virus.
Ruam-ruam makulopapular mungkin dapat menyertai demam atau muncul selama masa
penurunan suhu. Gejala saluran nafas atas dan pencernaan umumnya juga dapat ditemui. (7)

Demam dengue (Dengue Fever/DF)


Masa tunas berkisar antara 3-5 hari. Awal penyakit biasanya mendadak, disertai gejala
prodormal, seperti nyeri kepala, nyeri berbagai bagian tubuh, anoreksia, rasa menggigil, dan
malaise. Dijumpai trias sindrom, yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan, dan
timbulnya ruam (rash). Ruam timbul 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali, yaitu pada
hari ke 3-5 sakit dan berlangsung selama 3-4 hari. Ruam bersifat makulopapular yang
menghilang dengan tekanan. Ruam terdapat di dada, tubuh, serta abdomen, menyebar ke
anggota gerak dan muka. Pada lebih dari separuh pasien, gejala klinis timbul mendadak,
disertai kenaikan suhu, nyeri kepala hebat, nyeri retroorbita, punggung, otot, sendi disertai
rasa menggigil. Dapat pula dijumpai bentuk kurva suhu menyerupa pelana kuda atau bifasik.
Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan, juga nyeri epigastrium disertai nyeri kolik. Gejala
klinis lain yang sering adalah fotofobia, keringat bercucuran, suara serak, batuk, epistaksis,
dan disuria. Kelainan darah tepi demam dengue adalah leukopenia selama periode pra demam
dan demam, neutrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh neutropenia relatif dan
limfositosis pada periode puncak penyakit dan pada masa konvalesens. Eosinofil menurun
atau menghilang pada permulaan dan pada puncak penyakit, hitung jenis neutrofil bergeser
ke kiri selama periode demam, sel plasma meningkat pada periode puncak penyakit disertai
trombositopenia. Darah tepi menjadi normal kembali dalam 1 minggu. (7)

Demam berdarah dengue (Dengue hemorrhagic fever/DHF)


Ditandai dengan 4 manifestasi klinis, yaitu demam tinggi, perdarahan, terutama perdarahan
kulit, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Fenomena patofisiologi utama yang
membedakan DF dan DHF adalah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah,
menurunnya volume plasma, trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada DHF terdapat
perdarahan kulit, uji torniquet positif, memar, dan hematom pada tempat pengambilan darah
vena. Petekie halus yang tersebar di anggota gerak, muka, aksila seringkali ditemukan pada
masa dini demam. Epistaksis dan perdarahan gusi terkadang dijumpai, sedangkan perdarahan

11
saluran cerna hebat agak jarang dan biasanya timbul setelah syok yang gagal diatasi.
Perdarahan lain, seperti perdarahan subkonjungtiva kadang ditemukan. Pada masa
konvalesens seringkali ditemukan eritema pada telapak tangan/telapak kaki. (7)

Sindrom syok dengue (Dengue shock syndrome / DSS)


Pada DBD derajat syok, setelah demam berlangsung selama beberapa hari, keadaan umum
tiba-tiba memburuk, yang biasanya terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu
antara hari sakit ke 3-7. Pada sebagian besar kasus ditemukan tanda kegagalan peredaran
darah, kulit teraba lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lambat.
Anak tampak lesu, gelisah, dan secara cepat masuk dalam fase syok. Pasien seringkali
mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok. Nyeri perut hebat seringkali mendahului
perdarahan gastrointestinal. Nyeri di daerah retrosternal tanpa sebab jelas dapat memberikan
petunjuk adanya perdarahan gastroinstestinal yang hebat. Syok yang terjadi selama periode
demam biasanya mempunyai prognosis buruk. (7)

Syok ditandai dengan :


 Kulit pucat, dingin dan lembab, terutama pada ujung jari kaki, tangan dan hidung, dan
kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi yang tidak memadai yang
menyebabkan peningkatan aktivitas saraf simpatis secara refleks.
 Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun kesadarannya menurun
menjadi apatis, sopor, dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan sirkulasi serebral.
 Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi menjadi cepat dan lembut
sampai tidak dapat diraba karena kolaps sirkulasi.
 Tekanan nadi (pulse pressure) menyempit menjadi 20 mmHg atau kurang.
 Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau kurang.
 Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang memasuki arteri renalis.

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi. Jumlah


trombosit <100.000/uL ditemukan antara hari sakit ke 3-7. Peningkatan kadar hematokrit
merupakan bukti adanya kebocoran plasma, walaupun dapat terjadi pada kasus derajat ringan
meskipun tidak sehebat keadaan syok. Hasil laboratorium lain yang sering ditemukan ialah
hiponatremia, hipoproteinemia, kadar transaminase serum dan ureum darah meningkat. Pada

12
beberapa kasus ditemukan asidosis metabolik. Jumlah leukosit bervariasi antara leukopenia
dan leukositosis. Kadang ditemukan albuminuria yang bersifat sementara. (7)

Expanded Dengue Syndrome


Kasus infeksi dengue dengan manifestasi tidak lazim tidak jarang terjadi pada anak dan
umumnya berhubungan dengan keterlibatan beberapa organ seperti hepar, ginjal, jantung, dan
gangguan neurologis. Manifestasi tidak lazim dikaitkan dengan ko-infeksi, ko-morbiditas,
atau komplikasi syok yang berkepanjangan (prolonged shock) disertai kegagalan organ
(organ failure). Pada ensefalopati seringkali dijumpai gejala kejang, penurunan kesadaran,
dan paresis transien. Ensefalopati dengue dapat disebabkan oleh perdarahan atau oklusi
pembuluh darah. Infeksi dengue berat dapat disebabkan oleh kondisi ko-morbid pada pasien
seperti usia bayi, obesitas, lansia, ibu hamil, ulkus peptikum, menstruasi, penyaki temolitik,
penyakit jantung bawaan, penyakit kronik seperti DM, hipertensi, asma, gagal ginjal kronik,
sirosis, pengobatan steroid, atau NSAID. (7)

Gambar 2.3 Manifestasi Expanded Dengue Syndrome (4)

13
2.7 Kriteria Diagnosis
Demam Dengue
Demam akut yang disertai: nyeri kepala, nyeri retroorbita, mialgia, artralgia,nyeri tulang,
ruam, manifestasi perdarahan (tes tourniquet (TT) positif, petekie, ekimosis, atau purpura,
perdarahan mukosa, traktus gastrointestinal, perdarahan ditempat injeksi atau daerah lain,
hematemesis atau melena), leukopenia (≤5.000sel/mm3), trombositopenia (<150.000
sel/mm3), peningkatan hematokrit (5-10%), dan ditambah minimal satu diantara:
 Pemeriksaan serologi serum menunjukkan titer ≥1.280 dengan tes hemaglutinasi inhibisi
(HI), sebanding dengan titer IgG dengan pemeriksaan enzyme-linked immunosorbent
assay (ELISA), atau positif pada pemeriksaan antibodi IgM.
 Ditemukan kasus demam dengue yang terjadi bersamaan pada suatu lokasi. Diagnosis
pasti dengan menggunakan kriteria di atas ditambah minimal satu diantara:
o Isolasi virus dengue dari serum, CSF atau sampel autopsi
o Peningkatan 4x lipat atau lebihIgG serum (dengan tes HI) atau peningkatanantibodi
IgM spesifik virus dengue
o Deteksi virus dengue atau antigen di jaringan, serum, CSF dengan immunohistokimia,
immunofluoresensi atau ELISA
o Deteksi virus dengue dengan reverse transcription-polymerase chain reaction. (4)

Demam Berdarah Dengue


Diagnosis berdasarkan kriteria:
• Demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari, dengan pola bifasik.
• Manifestasi perdarahan (tes tourniquet (TT) positif, petekie, ekimosis, ataupurpura,
perdarahan mukosa, traktus gastrointestinal, perdarahan di tempat injeksi atau daerah lain,
hematemesis atau melena).
• Hepatomegali ditemukan pada penyakit ini pada 90-95% anak.
• Trombositopenia (≤100.000/mm3)
• Bukti adanya kebocoran plasma akibat peningkatan permeabilitas vaskuler, yang ditandai
oleh setidaknya satu dari gejala berikut: Peningkatan hematokrit / hemokonsentrasi ≥20%
dari nilai dasar atau penurunan pada masa penyembuhan, atau adanya efusi pleura, asites,
hipoproteinemia, dan albuminemia.

14
Sindrom Syok Dengue
Kriteria demam berdarah dengue di atas ditambah tanda syok, seperti :
 Takikardi, akral dingin, capillary refill time memanjang, nadi lemah, letargi, gelisah
(mungkin merupakan tanda penurunan perfusi otak)
 Tekanan nadi (pulse pressure) ≤20 mmHg dengan penurunan tekanan diastolik
 Hipotensi (<80 mmHg pada usia <5 tahun, atau 80-90 mmHg pada anak yang lebih tua
dan dewasa).

Gambar 2.4 Klasifikasi Infeksi DBD dan Pengelompokan Keparahan DBD (4)

2.8 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari demam dengue meliputi spektrum penyakit yang luas yaitu:
1. Infeksi arbovirus  Chikungunya virus (sangat sering mis-diagnosis dengan dengue di
Asia Tenggara)
2. Infeksi virus lainnya  Measles, rubella and eksantem viral lainnya: Epstein-Barr Virus
(EBV), enterovirus, influenza, hepatitis A, Hantavirus.
3. Infeksi bakteri  Meningococcaemia, leptospirosis, tifoid, meliodosis, penyakit rickettsia,
demam scarlet.
4. Infeksi parasit  Malaria

15
Diagnosis banding dari demam berdarah dengue pada awal fase demam meliputi spektrum
penyakit yang luas seperti infeksi viral, bakterial dan protozoa. Manifestasi perdarahan
seperti tes torniket yang positif dan leukopenia (<=5000 sel/mm3) mengarah ke infeksi
dengue. Adanya trombositopenia bersamaan dengan hemokonsentrasi membedakan
DHF/DSS dari penyakit yang lain. Pada pasien yang tidak terdapat hemokonsentrasi
bermakna akibat pendarahan yang berat dan atau terapi cairan intravena awal, terdapatnya
efusi pleura atau asites mengindikasinya adanya perembesan plasma. Hipoproteinemia atau
albuminemia menandakan adanya perembesan plasna. Laju endap darah (LED) yang normal
juga membantu membedakan dengue dari infeksi bakteri dan syok septik. Harus diperhatikan
bahwa pada masa syok pun, LED pada dengue tetap <10mm/jam. (4)

Pemeriksaan penunjang
 Hematologi  hemokonsentrasi dan atau trombositopenia
 SADT  limfosit plasma biru
 Serologi  IgM dan IgG anti dengue diperiksa pada hari ke 5-7, HI diperiksa pada
hari ke 5-7 dan diambil sekali lagi dengan jarak 1 minggu
 NS1 antigen  hari sebelum demam sampai dengan 3 hari dari awal timbul demam.

2.9 Penatalaksanaan
Triase pasien
Triase harus dilakukan pada orang yang terlatih dan kompeten
A. Jika pasien datang dalam keadaan buruk atau kritis, kirim pasien langsung ke perawat
terlatih/tenaga kesehatan terlatih
B. Pada pasien lain, maka diproses:
1. Durasi demam dan tanda-tanda bahaya dari pasien risiko tinggi.
Tanda bahaya pada infeksi virus dengue meliputi:
a. Tidak adanya perbaikin atau perburukan tepat sebelum atau saat terjadinya transisi
dari fase febris ke fase afebris atau dengan berjalannya penyakit.
b. Muntah persisten, tidak minum
c. Nyeri perut hebat
d. Letargi dan atau gelisah, perubahan tingkah laku yang mendadak
e. Pendarahan: epistaksis, melena, hematemesis, pendarahan menstruasi yang banyak,
hematuria atau hemoglobinuria

16
f. Pusing yang hebat
g. Akral yang pucat dan dingin
h. Penurunan/tidak adanya produksi urin selama 4-6 jam
2. Tes torniket.
3. Tanda tanda vital
4. Rekomendasi dilakukannya pemeriksaan hematologi
a. Semua pasien febris untuk mendapatkan baseline hematokrit, leukosit dan platelet
b. Pasien dengan tanda-tanda bahaya
c. Pasien dengan demam >3 hari
d. Pasien dengan kelainan sirkulasi atau syok (periksa GDS)
Bila didapatkan leukopenia dan atau trombositopenia, maka pasien dengan warning signs
harus dilakukan konsultasi medis.
5. Konsultasi medis  Direkomendasikan pada:
a. Syok
b. Pasien dengan tanda bahaya, khususnya pada pasien dengan sakit>4 hari
6. Pertimbangan observasi
a. Syok: resusitasi dan rawat
b. Hipoglikemi tanpa leukopenia dan atau trombositopenia sebaiknya diberikan infus
glukosa dan cairan IV berisi glukosa. Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan
untuk memastikan etiologi dari sakit ini. Pasien ini harus diobservasi 8-24 jam.
Pastikan memulangkan pasien dengan keadaan baik
c. Dengan warning sign
d. Pasien risiko tinggi dengan leukopenia dan trombositopenia
7. Nasihat pasien dan keluarga mengenai bed rest, intake cairan oral atau diet lunak dan
menurunkan demam dengan kompres hangat dan obat antipiretik. Tanda bahaya harus
dijelaskan dan bila ditemukan tanda bahaya maka harus segera dibawa ke rumah sakit.
8. Follow up: Pasien harus mengetahui bahwa fase kritis terjadi pada fase afebris dan
pemeriksaan hematologi lengkap dilakukan untuk mendeteksi tanda bahaya awal seperti
leukopenia, trombositopenia dan atau peningkatan hematokrit. Follow up harian
direkomendasikan pada pasien kecuali pasien tersebut sudah kembali ke aktivitas harian
semua atau normal ketika demam turun. (4)

17
Monitoring pada pasien demam dengue atau demam berdarah yang berada dalam fase
kritis (trombositopenia berkisar 100.000 sel/mm3)
Fase kritis dari demam berdarah ditandai dengan adanya perembesan plasma yang terjadi
pada masa turunnya demam atau transisi dari fase demam ke fase afebris. Trombositopenia
merupakan petanda sensitif dari perembesan plasma, namun hal ini juga terlihat pada pasien
dengan demam dengue. Hematokrit yang meningkat 10% dari baseline merupakan indikator
yang objektif dari perembesan plasma. Cairan IV sebaiknya diberikan pada pasien dengan
intake oral yang buruk atau peningkatan hematokrit dan pada pasien dengan tanda-tanda
bahaya. (4)

Parameter yang harus dimonitor selama perawatan:


1. Keadaan umum, nafsu makan, muntah, pendarahan dan tanda serta gejala lainnya
2. Perfusi perifer
3. Tanda-tanda vital seperti suhu, laju denyut nadi, laju pernapasan dan tekanan darah
sebaiknya diperiksa setiap 2-4 jam pada pasien non syok dan setiap 1-2 jam pada pasien syok
4. Hematokrit serial sebaiknya diperiksa setiap 4-6 jam pada kasus stabil dan lebih sering lagi
pada pasien tidak stabil atau pada pasien dengan kecurigaan pendarahan. Harus selalu diingat
bahwa hematokrit sebaiknya dilakukan sebelum dilakukannya resusitasi cairan. Bila hal ini
tidak memungkinkan, maka pemeriksaan tersebut dilakukan setelah bolus cairan bukan saat
pemberian cairan bolus.
5. Jumlah urin sebaiknya dicatat sedikitnya setiap 8-12 jam pada kasus tidak terkomplikasi
dan setiap jam pada pasien dengan syok yang berat dan berkepanjangan atau pada pasien
dengan overload cairan. (4)

Pemeriksaan laboratorium tambahan selama perawatan


Koreksi pada hasil laboratorium yang abnormal sebaiknya dilakukan pada:
 Hipoglikemia, hipokalsemia dan asidosis metabolik yang tidak merespon dari
resusitasi cairan
 Vitamin K1 dapat diberikan selama terdapat perpanjangan PT, tetapi perlu diingat
bahwa pada fasilitas kesehatan dimana akses laboratorium tidak tersedia, kalsium
glukonat dan vitamin K1 sebaiknya diberikan selain cairan IV pada pasien yang tidak
mengalami perbaikan secara klinis setelah resusitasi cairan.

18
 Pada kasus dengan syok berat dan yang tidak merespon terhadap resusitasi cairan,
asidosis sebaiknya dikoreksi dengan natrium bikarbonat jika pH<7.35 dan serum
bikarbonat <15 mEq/L. (4)

Pemeriksaan laboratorium tambahan meliputi :


1. Hematologi lengkap
2. Glukosa serum
3. Analisa gas darah, laktat bila tersedia
4. Serum elektrolit dan BUN, kreatinin
5. Serum kalsium
6. Tes fungsi hati
7. Profil koagulasi, bila tersedia
8. Foto Rontgen toraks posisi right lateral dekubitus (opsional)
9. Pengelompokan golongan darah
10. Serum amilase dan USG bila nyeri perut tidak membaik dengan terapi cairan
11. Tes lainnya, bila terindikasi. (4)

Cairan Intravena pada pasien DHF selama fase kritis


Indikasi diberikannya cairan intravena :
1. Ketika pasien tidak mendapat cairan secara oral dengan adekuat atau terdapatnya muntah
2. Peningkatan hematorit sebanyak 10-20% meskipun dengan rehidrasi oral
3. Impending syok atau syok. (4)

Secara umum, prinsip pemberian cairan pada DHF meliputi :


1. Pemberian cairan isotonik sebaiknya diberikan selama fase kritis kecuali pada bayi <6
bulan dimana NaCl 0.45% sebaiknya diberikan
2. Cairan koloid diberikan pada pasien dengan perembesan plasma masif dan pada pasien
yang tidak berespons dengan pemberian volume kristaloid.
3. Volume cairan maintenance + 5% dehidrasi sebaiknya diberikan hanya untuk
menstabilisasi volume cairan intravaskuler
4. Pemberian cairan IV sebaiknya tidak melebihi 24-48 jam pada pasien syok, tetapi pada
pasien tanpa syok, durasi pemberian cairan IV dapat lebih lama tetapi tidak melebihi 60-72
jam. Hal ini dikarenakan pada pasien tanpa syok baru saja masuk ke periode perembesan

19
plasma ketika pasien syok sudah mengalami durasi perembesan plasma yang lebih lama
sebelum terapi cairan IV diberikan.
5. Pada pasien obesitas, berat badan ideal sebaiknya digunakan untuk menghitung kebutuhan
cairan.
6. Kecepatan pemberian cairan IV juga sebaiknya disesuaikan dengan keadaan klinis. Dan hal
ini berbeda antara anak dan dewasa.
7. Transfusi trombosit tidak direkomendasikan pada trombositopenia semata. Tetapi
dipertimbangkan pada kasus pendarahan dengan trombositopenia atau pada trombositopenia
sangat berat (<10.000 sel/mm3). (4)

Gambar 2.5 Kebutuhan Cairan Berdasarkan Berat Badan (4)

Gambar 2.6 Kebutuhan Cairan Infus Dewasa dan Anak-anak dengan DBD (4)

Manajemen pasien demam berdarah dengue grade I dan grade II (kasus non-syok)
Secara umum, diberikan cairan (oral+IV) sebanyak cairan maintenance + 5% defisit dan
diberikan selama 48 jam. Contoh, pada anak dengan berat 20 kg, defisit cairan 5% adalah 50
mL/kgBB x 20 kg = 1000 mL. Cairan maintenance berjumlah 1500 mL untuk sehari. Jadi,
total cairan yang diberikan adalah 2500 mL. Cairan ini diberikan dalam 48 jam pada kasus
non syok. Kecepatan pemberian infus 2500mL ini juga disesuaikan dengan perembesan
plasma, keadaan klinis, tanda-tanda vital, output urin dan tinggi hematokrit. (4)

20
Gambar 2.7 Kecepatan Cairan Infus Dewasa dan Anak-anak dengan DBD (4)

Manajemen Syok: Demam Berdarah Grade III


DSS merupakan syok hypovolemia akibat perembesan plasma yang ditandai dengan
peningkatan resistensi vaskuler sistemik yang dapat dilihat pada menyempitnya tekanan nadi.
Ketika terdapat hipotensi maka harus dicurigai adanya pendarahan berat atau pendarahan GI
yang tidak terdeteksi, dan terjadi selain perembesan plasma. Harus selalu diingat bahwa
resusitasi cairan pada DSS berbeda dari kasus syok lainnya seperti septik syok. Kebanyakan
kasus DSS berespons terhadap pemberian cairan 10mL/kgBB selama 1 jam atau bolus bila
diperlukan. Selanjutnya, pemberian cairan dapat mengikuti gambar dibawah. Tetapi sebelum
mengurangi kecepatan pemberian cairan intravena, keadaan klinis, tanda-tanda vital,
urineoutput dan tinggi hematokrit harus diperiksa untuk memastikan adanya perbaikan secara
klinis. (4)

Gambar 2.8 Kecepatan Cairan Infus pada DBD Derajat 3 (4)

21
Pemeriksaan laboratorium (ABCS) sebaiknya diperiksa pada kasus syok dan onsyok jika
tidak terdapat perbaikan meskipun diberikan cairan intravena yang adekuat.

Gambar 2.9 Pemeriksaan Laboratorium ABCS untuk Pasien Syok atau Dengan Komplikasi (4)

Pengurangan kecepatan cairan intravena sebaiknya dilakukan setelah perbaikan perfusi


perifer, tetapi harus dilanjutkan terlebih dahulu minimal 24 jam dan baru dihentikan setelah
36-48 jam. Pemberian cairan berlebihan dapat menyebabkan efusi masif akibat peningkatan
permeabilitas kapiler. (4)

22
Manajemen syok berat atau berkepanjangan: Demam berdarah dengue grade IV (4)
Pemberian cairan resusitasi pada DHF grade 4 lebih cepat dilakukan untuk mengembalikan
tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium harus segera dilakukan untuk ABCS dan
keterlibatan organ. Meskipun terkadang terdapat hipotensi ringan, tetap harus diobati secara
agresif. 10 mL/kg cairan bolus harus diberikan secepat mungkin, secara ideal dalam 10
sampai 15 menit. Ketika tekanan darah kembali, maka cairan intravena diberikan seperti pada
DHF grade 3. Bila syok tidak reversibel setelah pemberian cairan pertama, maka bolus dapat
diulang sambil memperbaiki hasil laboratorium yang tidak normal. Transfusi darah cepat
sebaiknya dipikirkan untuk diberikan setelah melihat hematokrit preresusitasi dan diikuti
dengan monitor ketat seperti kateterisasi urin, pemasangan CVC atau arterial lines. (4)

Harus diingat bahwa stabilisasi tekanan darah kritis untuk survival dan bila hal tersebut tidak
dilakukan secara cepat maka prognosis menjadi sangat buruk. Inotropik dapat diberikan
untuk mensupport tekanan darah, jika penggantian volume cairan dianggap adekuat seperti
pada CVP yang tinggi, kardiomegali atau didapatkannya fungsi pompa jantung yang buruk.
Jika tekanan darah sudah kembali stabil, maka harus dilakukan terapi pada organ organ yang
terlibat. (4)

23
Ketika akses IV tidak dapat dicapai dalam waktu singkat, pemberian cairan elektrolit secara
oral dapat diberikan bila pasien dalam keadaan sadar atau pemberian cairan intraoseus dapat
dilakukan. Jalur IO sebaiknya dilakukan setelah 2-5 menit atau 2 percobaan mendapatkan
akses vena gagal atau setelah dengan jalur oral gagal. (4)

Manajemen pendarahan berat


Bila sumber pendarahan telah diketahui, percobaan untuk menghentikan pendarahan harus
segera dilakukan. Epistaksis berat dapat dikontrol dengan nasal packing. Transfusi darah
secara cepat bersifat life-saving dan tidak boleh ditunda sampai hematokrit turun lagi. Bila
jumlah cairan dapat diidentifikasi, maka harus diganti. Namun bila jumlah cairan ini tidak
dapat diidentifikasi maka 10mL/kgBB fresh whole blood atau 5mL/kg fresh PRC dapat
ditranfusikan. (4)
Pada kasus pendarahan GI, H2RA dan PPI dapat diberikan, tidak terdapat bukti yang cukup
untuk mendukung pemberian komponen darah seperti konsentrat platelet, fresh frozen plasma
atau cryoprecipitate. Faktor rekombinan 7 dapat berguna pada pasien tanpa gagal organ,
tetapi sangat mahal dan tidak selalu tersedia. (4)

Manajemen pasien yang berada pada fase Konvalesens


Konvalesens dapat dikenali dari perbaikan secara klinis, nafsu makan dan keadaan umum.
Keadaan hemodinamik seperti perfusi perifer yang baik dan tanda-tanda vital yang stabil
dapat dilihat. Turunnya hematokrit ke baseline atau lebih rendah dapat diamati. Cairan IV
sebaiknya dihentikan. Pasien dengan efusi masif dan asites, hipervolemia dapat terjadi dan
terapi diuretik dapat diberikan untuk mencegah edema pulmonal. Hipokalemia dapat
ditemukan karena stress dan diuresis dandapat diperbaiki dengan pemberian buah kaya
kalium atau suplemen kalium. Bradikardia sering ditemukan dan membutuhkan monitor ketat
untuk mengindentifikasi komplikasi seperti heart block atau PVC (premature ventricular
contraction). Dapat ditemukannya rash konvalesens pada 20-30% pasien.
Tanda-tanda penyembuhan:
1. Nadi, tekanan darah dan laju respirasi stabil
2. Suhu stabil
3. Tidak terdapat tanda pendarahan eksternal atau internal
4. Kembalinya nafsu makan
5. Tidak terdapat muntah, tidak terdapat nyeri perut
6. Urin output yang baik
24
7. Hematokrit stabil pada baseline
8. Rash konvalesens atau gatal khususnya pada ekstremitas

Kriteria memulangkan pasien :


1. Tidak dapatnya demam minimal 24 jam tanpa pemberian antipiretik
2. Kembalinya nafsu makan
3. Perbaikan klinis secara umum
4. Urin output yang baik
5. Minimal 2-3 hari terlewati setelah fase syok
6. Tanpa distres pernapasan dari efusi pleura dan tidak terdapat asites
7. Trombosit lebih dari 50.000 sel/mm3.

Komplikasi yang dapat terjadi antara lain:


1. Syok
2. Asidosis metabolik
3. DIC
4. Ensefalopati atau ensefalitis
5. Disfungsi organ
6. Efusi pleura
7. Asites
8. Kongesti paru akut
9. Gagal jantung
10. Abnormalitas metabolik

Komplikasi pada fase febris biasanya adalah dehidrasi, dan demam tinggi dapat
menyebabkan gangguan neurologis dan kejang demam di anak-anak kecil. Komplikasi fase
kritis adalah syok akibat kebocoran plasma, perdarahan yang parah, kerusakan organ.
Komplikasi pada fase penyembuhan adalah hipervolemia jika terapi cairan intravena
berlebih, dan edema paru akut. (5)

PENCEGAHAN

Dalam penanganan DBD, peran serta masyarakat untuk menekan kasus ini sangat
menentukan. Oleh karenanya program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan cara
3M Plus perlu terus dilakukan secara berkelanjutan sepanjang tahun khususnya pada musim

25
penghujan. Program PSN yaitu: 1) Menguras, adalah membersihkan tempat yang sering
dijadikan tempat penampungan air seperti bak mandi, ember air, tempat penampungan air
minum, penampung air lemari es dan lain-lain 2) Menutup, yaitu menutup rapat-rapat tempat-
tempat penampungan air seperti drum, kendi, toren air, dan lain sebagainya; dan 3)
Memanfaatkan kembali atau mendaur ulang barang bekas yang memiliki potensi untuk jadi
tempat perkembangbiakan nyamuk penular Demam Berdarah. Adapun yang dimaksud
dengan 3M Plus adalah segala bentuk kegiatan pencegahan seperti 1) Menaburkan bubuk
larvasida pada tempat penampungan air yang sulit dibersihkan; 2) Menggunakan obat
nyamuk atau anti nyamuk; 3) Menggunakan kelambu saat tidur; 4) Memelihara ikan
pemangsa jentik nyamuk; 5) Menanam tanaman pengusir nyamuk, 6) Mengatur cahaya dan
ventilasi dalam rumah; 7) Menghindari kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah
yang bisa menjadi tempat istirahat nyamuk, dan lain-lain. (8)

26
BAB III

KESIMPULAN

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang utama di Indonesia. DBD ditandai khas dengan demam tinggi yang
mendadak, peningkatan hematokrit, penurunan jumlah trombosit yang bermakna, penurunan
hitung leukosit, dan adanya manifestasi perdarahan spontan. Tatalaksana DBD harus
dilakukan dengan cepat dan berfokus pada rehidrasi (pemulihan volume plasma darah),
pengendalian nyeri, pengendalian demam, dan pencegahan komplikasi-komplikasi yang
dapat terjadi dari hipoperfusi. DBD terutama dapat dicegah dengan tindakan 3M dengan
memberantas habitat nyamuk vektor (Aedes aegypti dan Aedes albopictus), agar rantai
transmisi penyakit ini terputus.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Dengue and Severe Dengue. 2018 Feb 2. Diakses 2018 Mei 1
dari http://www.who.int/en/news-room/fact-sheets/detail/dengue-and-severe-dengue.
2. Kemenkes RI. InfoDATIN: Situasi DBD di Indonesia. 2016. Diakses 2018 Mei 1 dari
infodatin dbd 2016.pdf - Kemenkes.
3. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever.
Diakses 2018 Mei 1 dari https://www.cdc.gov/Dengue/resources/HealthCarePract.pdf.
4. World Health Organization. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of
Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. 2011. India: WHO Press. 1-147.
5. World Health Organization. Handbook for Clinical Management of Dengue. 2012.
Geneva: WHO Press. 1-67.
6. Soedarmo, Poorwo SS. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Ed 2. 2012. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
7. Hadinegoro SR, Kadim M, Devaera Y, Idris NS, Ambarsari CG. Update Management of
Infectious Diseases and Gastrointestinal Disorders. 2012. Jakarta: Departemen IKA
FKUI-RSCM. 27-51.
8. Depkes. Kendalikan DBD dengan PSN 3M Plus. [Online] 2016 Feb 7. Diakses 2018 Mei
1 dari www.depkes.go.id.

28

Anda mungkin juga menyukai