Anda di halaman 1dari 56

HALUSINASI

1. DEFINISI
 Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar
suara padahal tidak ada orang yang berbicara.
 Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana pasien
mengalami perubahan sensori persepsi: merasakan sensori palsu berupa
suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghiduan.
 Halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulus yang
nyata, artinya klien menginterpretasikan sesuatu yang nyata tanpa
stimulus/rangsangan dari luar.
 Menurut Maramis (1990) dalam Sunaryo (2004) halusinasi adalah
pencerapan (persepsi) tanpa adanya rangsang apa pun pada panca indra
seseorang, yang terjadi pada keadaan sadar/bangun dasarnya mungkin
organik, fungsional, psikotik ataupun histerik.

2. KLASIFIKASI HALUSINASI
Stuart dan Laria, 1998 mengklasifikasikannya seperti tabel berikut :
Jenis Prosentase Karakteristik
Halusinasi
Pendengaran 70% Mendengar suara- suara atau
(Auditorik) kebisingan, paling sering suara orang.
Suara berbetuk kebisingan yang
kurang jelas sampai kata- kata yang
jelas berbicara tentang klien bahkan
sampai ke percakapan lengkap antara
2 orang atau lebih tentang orang yang
mengalami halusinasi.

Penglihatan 20% Stimulus visual dalam bentuk kilatan

(Visual) cahaya, gambar geometris, gambar


kartun, bayangan yang rumit atau
kompleks, bayangan bisa
menyenangkan atau menakutkan
seperti melihat monster.
Penghidu Membaui bau- bauan tertentu seperti

(Olfactory) bau darah, urine atau feces.


Umumnya bau- bauan yang tidak
menyenangkan.
Pengecapan Merasa mengecap rasa seperti rasa
(Gustatory) darah, urine atau feces.
Perabaan Mengalami nyeri atau
(Tactile) ketidaknyamanan tanpa stimulus yang
jelas. Rasa tersetrum listrik yang
datang dari tanah, benda mati atau
orang lain.
Cenesthetic Merasakan fungsi tubuh seperti aliran
darah di vena atau arteri, pencernaan
makanan, atau pembentukan urine
Kinesthetic Merasakan pergerakan sementara
berdiri tanpa bergerak

3. RENTANG RESPON

Adaptif Mal Adaptif

 Pikiran logis.  Kadang-kadang  Waham.


 Persepsi. proses pikir  Halusinasi.
 Akurasi. terganggu.  Kerusakan
 Emosi konsisten  Ilusi. proses emosi.
dengan  Emosi berlebihan.  Perilaku tidak
pengalaman.  Perilaku yang terorganisasi.
 Perilaku cocok. tidak biasa.  Isolasi sosial.
 Hubungan sosial  Menarik diri.
harmonis.
4. PENYEBAB
a. Faktor Predisposisi
 Genetika.
 Neurobiologi.
 Neurotransmitter.
 Abnormal perkembangan syaraf.
 Psikologis.
b. Faktor Presipitasi
 Proses pengolahan informasi yang berlebihan.
 Mekanisme penghantaran listrik yang abnormal.
 Adanya gejala pemicu.

5. PROSES TERJADINYA HALUSINASI


Halusinasi berkembang melalui 4 fase, yaitu sebagai berikut:
1. Fase pertama
Disebut juga sebaga fase comforting yaitu fase yang menyenangkan. Pada
tahap ini masuk dalam golongan nonpsikotik. Karakteristik: klien
mengalami stress, cemas, perasaan perpisahan, rasa bersalah, kesepian
yang memuncak, dan tidak dapat diselesaikan. Klien mulai melamun dan
memikirkan hal-hal yang menyenangkan, cara ini hanya menolong
sementara.
Perilaku klien: tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan
bibir tanpa suara, pergerakan mata cepat, respons verbal yang lambat
jikasedang asyik dengan halusinasinya, dan suka menyendiri.
2. Fase kedua
Disebut dengan fase condemming atau ansietas berat yaitu halusinasi
menjadi menjijikkan, termasuk dalam psikotik ringan. Karakteristik:
pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan, kecemasan meningkat,
melamun, dan berfikir sendiri jadi dominan. Mulai dirasakan ada bisikan
yang tidak jelas. Klien tidak ingin orang lain tahu, dan ia tetap dapat
mengontrolnya.
Perilaku klien: meningkatnya tanda-tanda sistem syaraf otonom seperti
peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Klien asyik dengan
halusinasinya dan tidak bisa membedakan realitas.
3. Fase ketiga
Adalah fase controlling atau ansietas berat yaitu pengalaman sensori
menjadi berkuasa. Termasuk dalam gangguan psikotik.
Karakteristik: bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai
dan mengontrol klien. Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap
halusinasinya.
Perilaku klien: kemauan dikendalikan halusinasi, rentang perhatian hanya
beberapa menit atau detik. tanda-tanda fisik berupa klien berkeringat,
tremor, dan tidak mampu mematuhi perintah.
4. Fase keempat
Adalah fase conquering atau panik yaitu klien lebur dengan halusinasinya.
Termasuk dalam psikotik berat.
Karakteristik: halusinasinya berubah menjadi mengancam, memerintah,
dan memarahi klien. Klien menjadi takut, tidak berdaya, hilang kontrol, dan
tidak dapat berhubungan secara nyata dengan orang lain di lingkungan.
Perilaku klien: perilaku teror akibat panik, potensi bunuh diri, perilaku
kekerasan, agitasi, menarik diri atau kakatonik, tidak mampu merespons
terhadap perintah kompleks, dan tidak mampu berespons lebih dari satu
orang.
6. JENIS dan TANDA-TANDA HALUSINASI
Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjektif
Halusinasi  Bicara atau tertawa  Mendengar suara atau
Pendengaran sendiri. kegaduhan.
 Marah-marah tanpa  Mendengar suara yang
sebab. mengajak bercakap-
 Mengarahkan telinga ke cakap.
arah tertentu.  Mendengar suara yang
 Menutup telinga. menyuruh melakukan
sesuatu yang
berbahaya.
Halusinasi  Menunjuk-nunjuk ke  Melihat bayangan, sinar
Penglihatan arah tertentu. berbentuk geometris,
 Ketakutan kepada bentuk kartoon, melihat
sesuatu yang tidak jelas. hantu atau monster.
Halusinasi  Menghidu seperti  Membaui bau-bauan
Penghidu sedang membaui bau- seperti bau darah, urine,
bauan tertentu. feses, kadang-kadang
 Menutup hidung. bau itu menyenangkan.
Halusinasi  Sering meludah.  Merasakan rasa seperti
Pengecap  Muntah. darah, urine atau feses.
Halusinasi  Menggaruk-garuk  Menyatakan ada
Perabaan permukaan kulit. serangga di permukaan
kulit.
 Merasakan tersengat
listrik.
Manifestasi Klinis Halusinasi sesuai tahapannya
a) Tahap I
 Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai
 Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara
 Gerakan mata yang cepat
 Respon verbal yang lambat
 Diam dan dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan
b) Tahap II
 Peningkatan sistem saraf otonom yang menunjukkan ansietas
misalnya peningkatan nadi, pernafasan dan tekanan darah
 Penyempitan kemampuan konsentrasi
 Dipenuhi dengan pengalaman sensori dan mungkin kehilangan
kemampuan untuk membedakan antara halusinasi dengan realitas
c) Tahap III
 Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya
daripada menolaknya
 Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain
 Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik
 Gejala fisik dari ansietas berat seperti berkeringat, tremor,
ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk
d) Tahap IV
 Perilaku menyerang teror seperti panik
 Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain
 Kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti amuk, agitasi,
menarik diri atau katatonik
 Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang kompleks
 Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang
(Budi Anna Keliat, 1999)
7. PENATALAKSANAAN MEDIS HALUSINASI
Penatalaksanaan pasien dengan halusinasi adalah dengan pemberian obat-
obatan dan tindakan lain, yaitu :
a) Psiko farmakologis
Obat-obatan yang lazim digunakan pada gejala halusinasi pendengaran
yang merupakan gejala psikosis pada pasien skizofrenia adalah
obat- obatan anti-psikosis.
Adapun kelompok obat- obatan umum yang digunakan adalah :
KELAS KIMIA NAMA GENERIK DOSIS HARIAN
Asetofenazin (Tidal) 60-120 mg
Klorpromazin (Thorazine) 30-800 mg
Flufenazin (Prolixine,
1-40 mg
Permiti)
Mesoridazin (Serentil) 30-400 mg
Fenotiazin Perfenazin (Trilafon) 12-64 mg
Proklorperazin (Compazine) 15-150 mg
Promazin (Sparine) 40-1200 mg
Tiodazin (Mellaril) 150-800 mg
Trifluoperazin (Stelazine) 2-40 mg
Trifluopromazine (Vesprin) 60-150 mg
Kloprotiksen (Tarctan) 75-600 mg
Tioksanten
Tiotiksen (Navane) 8-30 mg
Butirofenon Haloperidol (Haldol) 1-100 mg
Dibenzondiazepine Klozapin (Clorazil) 300-900 mg
Dibenzokasazepin Loksapin (Loxitane) 20-150 mg
Dihidroindolon Molindone (Moban) 15-225 mg

 Clopromazine (CPZ)
 Indikasinya untuk sindrom psikosis yaitu berdaya berat dalam
kemampuan menilai realita, kesadaran diri terganggu, daya
ingat normal, sosial dan titik terganggu berdaya berat dalam fungsi
kehidupan sehari-hari, tidak mampu bekerja, hubungan sosial
dan melakukan kegiatan rutin.
 Mekanisme kerjanya adalah memblokade dopamine pada
reseptor sinap diotak khususnya system ekstra pyramida.
 Efek sampingnya adalah gangguan otonomi, mulut kering,
kesulitan dalam miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur,
tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama jantung.
 Kontra indikasinya penyakit hati, kelainan jantung, febris,
ketergantungan obat, penyakit sistem syaraf pusat, gangguan
kesadaran.
 Thrihexyfenidil (THP)
 Indikasinya adalah segala penyakit parkinson, termasuk pasca
ensefalitis dan idiopatik, sindrom parkinson akibat obat
misalnya reserfina dan senoliazyne.
 Mekanisme kerja : sinergis dan kinidine, obat anti depresan trisiclin
dan anti kolinergik lainnya.
 Efek samping : mulut kering, pandangan kabur, pusing, mual,
muntah, bingung, konstipasi, takikardi dilatasi, ginjeksial letensi
urin.
 Kontra indikasi : hipersensitif terhadap trihexyphenidil, glukoma
sudut sempit, psikosis berat, psikoneurosis, hipertropi prostase
dan obstruksi saluran cerna.
 Halloperidol (HLP)
 Indikasinya : berbahaya berat dalam kemampuan menilai
realita dalam fungsi netral serta dalam fungsi kehidupan
sehari-hari.
 Mekanisme kerja : obat anti psikosis dalam memblokade
dopamine pada reseptor pasca sinoptik neuron di otak,
khususnya system limbic dan system ekstra pyramidal
 Efek samping : sedasi dan inhabisi psimotor gangguan
otonomik yaitu mulut kering, kesulitan dalam miksi dan
defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler
meninggi, gangguan irama jantung.
Kontra indikasi : penyakit hati, epilepsy, kelainan jantung,
febris, ketergantungan obat, penyakit system saraf pusat,
gangguan

b) Terapi kejang listrik atau Electro Compulcive Therapy (ECT)


c) Terapi Aktivitas kelompok
(Purba, Wahyuni, dkk; 2009)
8. POHON MASALAH
Resiko tinggi perilaku kekerasan

Perubahan persepsi sensori halusinasi

Isolasi social

Harga diri rendah kronis

Tidak efektifnya koping individu

Defisit perawatan diri



menurunnya motivasi perawatan diri
(Iyus, 2009)

9. PROSES KEPERAWATAN
a. Faktor predisposisi
1). Genetika
2). Neurobiologi
3). Neurotransmitter
4). Abnormal perkembangan syaraf
5). Psikologis
b. Faktor presipitasi
1). Proses pengolahan informasi yang berlebihan
2). Mekanisme penghantaran listrik yang abnormal
3). Adanya gejala pemicu
c. Mekanisme koping
1). Regresi
2). Proyeksi
3). Menarik diri
d. Perilaku halusinasi
1). Isi Halusinasi
2). Waktu terjadinya
3). Frekuensi
4). Situasi pencetus
5). Respon klien saat halusinasi
10. Gangguan Persepsori Sensori Halusinasi
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Pasien mampu: Setelah ... x SP 1
 Mengenali pertemuan, pasien  Bantu pasien mengenal isi
halusinasi dapat menyebutkan: halusinasi (isi, waktu, terjadinya,
yang  Isi, waktu, frekuensi, frekuensi, situasi pencetus,
dialaminya situasi, pencetus, perasaan saat terjadi halusinasi).
 Mengontrol perasaan.  Latih mengontrol halusinasi
halusinasiny  Mampu dengan cara menghardik
a memperagakan cara Tahapan tindakannya meliputi
 Mengikuti dalam mengontrol  Jelaskan cara menghardik
program halusinasi halusinasi.
pengobatan  Peragakan cara menghardik.
 Minta pasien memperagakan
ulang.
 Pantau penerapan cara ini, beri
penguatan perilaku pada pasien
 Masukkan dalam jadwal kegiatan
pasien.
Setelah ... x SP 2
pertemuan, pasien  Evaluasi kegiatan yang lalu (SP
mampu: 1)
 Menyebutkan  Latih berbicara/bercakap dengan
kegiatan yang orang lain saat halusinasi
sudah dilakukan. muncul.
 Memperagakan cara  Masukkan dalam jadwal kegiatan
bercakap-cakap pasien.
dengan orang lain.
Setelah ... x SP 3
pertemuan pasien  Evaluasi kegiatan yang lalu (SP
mampu: 1 dan 2).
 Menyebutkan  Latih kegiatan agar halusinasi
kegiatan yang tidak muncul.
sudah dilakukan. Tahapannya :
 Membuat jadwal  Jelaskan pentingnya aktivitas
kegiatan sehari-hari yang teratur untuk mengatasi
dan mampu halusinasi.
memperagakannya.  Diskusikan aktivitas yang biasa
dilakukan oleh pasien.
 Latih pasien melakukan aktivitas.
 Susun jadwal aktivitas sehari-
hari sesuai dengan aktivitas yang
telah dilatih (dari bangun pagi
sampai tidur malam).
Pantau pelaksanaan jadwal
kegiatan, berikan penguatan
terhadap perilaku yang (+)
Setelah ... x SP 4
pertemuan, pasien  Evaluasi kegiatan yang lalu (SP
mampu: 1, 2, & 3).
 Menyebutkan  Tanyakan program pengobatan.
kegiatan yang  Jelaskan pentingnya
sudah dilakukan. penggunaan obat pada
 Menyebutkan gangguan jiwa.
manfaat dari  Jelaskan akibat bila tidak
program digunakan sesuai program.
pengobatan.  Jelaskan akibat bila putus obat.
 Jelaskan cara mendapatkan
obat/berobat.
 Jelaskan pengobatan (5B)
 Latih pasien minum obat
 Masukkan dalam jadwal harian
pasien.
Keluarga Setelah ... x SP 1
mampu: pertemuan, keluarga  Identifikasi masalah keluarga
Merawat pasien mampu menjelaskan dalam merawat pasien.
di rumah dan tentang halusinasi  Jelaskan tentang halusinasi
menjadi sistem  Pengertian halusinasi
pendukung  Jenis halusinasi yang
yang efektif dialami pasien
untuk pasien.  Tanda dan gejala halusinasi
 Cara merawat pasien
halusinasi (cara
berkomunikasi, pemberian
obat, dan pemberian
aktivitas kepada pasien).
 Sumber-sumber pelayanan
kesehatan yang bisa
dijangkau.
 Bermain peran cara
merawat.
 RTL keluarga, jadwal
keluarga untuk merawat
pasien.
Setelah ... x SP 2
pertemuan, keluarga  Evaluasi kemampuan keluarga
mampu: (SP 1).
 Menyelesaikan  Latih keluarga merawat pasien.
kegiatan yang  RTL keluarga, jadwal keluarga
sudah dilakukan. untuk merawat pasien.
 Memperagakan cara
merawat pasien
Setelah ... x SP 3
pertemuan keluarga  Evaluasi kemampuan keluarga
mampu: (SP 2).
 Menyebutkan  Latih keluarga merawat pasien.
kegiatan yang  RTL keluarga/jadwal keluarga
sudah dilakukan. untuk merawat pasien.
 Memperagakan cara
merawat pasien
serta mampu
membuat RTL.
Setelah ... x SP 4
pertemuan keluarga  Evaluasi kemampuan keluarga.
mampu:  Evaluasi kemampuan pasien.
 Menyebutkan  RTL keluarga
kegiatan yang  Follow up
sudah dilakukan.  Rujukan
 Melaksanakan
follow-up rujukan
WAHAM

1. DEFINISI
 Waham adalah keyakinan terhadap sesuatu yang salah dan secara kukuh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan
dengan realita normal (Stuart dan Sundeen, 1998).
 Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi
dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain.
Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan kontrol
(DEPKES RI, 2000).
 Waham adalah suatu keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian
realitas yang salah, keyakinan yang tidak konsisten dengan tingkat
intelektual dan latar belakang budaya, ketidakmampuan merespons
stimulus internal dan eksternal melalui proses interaksi atau informasi
secara akurat (Keliat, 1999).

2. RENTANG RESPON

Adaptif Mal Adaptif

 Pikiran logis.  Kadang-kadang  Waham.


 Persepsi. proses pikir  Halusinasi.
 Akurasi. terganggu.  Kerusakan
 Emosi konsisten  Ilusi. proses emosi.
dengan  Emosi berlebihan.  Perilaku tidak
pengalaman.  Perilaku yang terorganisasi.
 Perilaku cocok. tidak biasa.  Isolasi sosial.
 Hubungan sosial  Menarik diri.
harmonis.

3. TANDA dan GEJALA


Tanda dan gejala pada klien dengan perubahan proses pikir: waham adalah
sebagai berikut:
 Menolak makan.
 Tidak ada perhatian pada perawatan diri.
 Ekspresi wajah sedih/gembira/ketakutan.
 Gerakan tidak terkontrol.
 Mudah tersinggung.
 Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan dan bukan kenyataan.
 Menghindar dari orang lain.
 Mendominasi pembicaraan.
 Berbicara kasar.
 Menjalankan kegiatan keagamaan secara berlebihan (Direja, 2011).

4. FAKTOR PREDISPOSISI
 Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal
seseorang. Hal ini dapat meningkatkan stress dan ansietas yang berakhir
dengan gangguan persepsi, klien menekan perasaannya sehingga
pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif.
 Faktor sosial budaya
Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan
timbulnya waham.
 Faktor psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda/bertentangan, dapat
menimbulkan ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap
kenyataan.
 Faktor biologis
Waham diyakini terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran ventrikel di
otak, atau perubahan pada sel kortikal dan limbik.
 Faktor genetik (Direja, 2011)

5. FAKTOR PRESIPITASI
 Faktor sosial budaya
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang berarti
atau diasingkan dari kelompok.
 Faktor biokimia
Dopamin, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya diduga dapat menjadi
penyebab waham pada seseorang.
 Faktor psikologis
Kecemasan yang memandang dan terbatasnya kemampuan untuk
mengatasi masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk
menghindari kenyataan yang menyenangkan (Direja, 2011).

6. JENIS WAHAM
 Waham kebesaran
Keyakinan secara berlebihan bahwa dirinya memiliki kekuatan khusus atau
kelebihan yang berbeda dengan orang lain, diucapkan berulang-ulang
tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
“saya ini pejabat di kementrian kesehatan!”
“saya punya perusahaan paling besar di dunia lho...”
 Waham agama
Keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, diucapkan berulang-
ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
“kalau saya mau masuk syurga, saya harus memakai pakaian serba putih
dan mengalungkan tasbih setiap hari”.
“saya adalah Tuhan yang bisa mengendalikan makhluk”.
 Waham curiga
Keyakinan seseorang atau sekelompok orang berusaha merugikan atau
mencederai dirinya, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan.
Contoh: “saya tahu... semua keluarga saya ingin menghancurkan hidup
saya karena mereka semua iri dengan kesuksesan yang dialami saya”.
 Waham somatik
Keyakinan seseorang bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu aau
terserang penyakit, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan.
Contoh:
“saya menderita kanker” (padahal hasil pemeriksaan lab tidak ada sel
kanker pada tubuhnya).
 Waham nihilistik
Keyakinan seseorang bahwa dirinya sudah meninggal dunia, diucapkan
berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
“ini alam kubur kan ya, semua yang ada disini adalah roh”.

7. STATUS MENTAL
Berdandan dengan baik dan berpakaian rapi, tetapi mungkin terlihat
eksentrik dan aneh. Tidak jarang bersikap curiga atau bermusuhan terhadap
orang lain. Klien biasanya cerdik ketika dilakukan pemeriksaan sehingga
dapat memanipulasi data. Selain itu perasaan hatinya konsisten dengan isi
waham.

8. SENSORI dan KOGNISI


Tidak memiliki kelainan dalam orientasi kecuali klien waham spesifik
terhadap orang, tempat, dan waktu. Daya ingat atau kognisi lainnya biasanya
akurat. Pengendalian impuls pada klien waham perlu diperhatikan bila terlihat
adanya rencana untuk bunuh diri, membunuh, atau melakukan kekerasan
pada orang lain.
Gangguan proses pikir: waham biasanya diawali dengan adanya riwayat
penyakit berupa kerusakan pada bagian korteks dan limbik otak. Bisa
dikarenakan terjatuh atau didapat ketika lahir. Hal ini mendukung terjadinya
perubahan emosional seseorang yang tidak stabil. Bila berkepanjangan akan
menimbulkan perasaan rendah diri, kemudian mengisolasi diri dari orang lain
dan lingkungan. Waham kebesaran akan timbul sebagai manifestasi
ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhannya. Bila respons
lingkungan kurang mendukung terhadap perilakunya dimungkinkan akan
timbul risiko perilaku kekerasan pada orang lain.
9. POHON MASALAH
Effect Resiko tinggi perilaku kekerasan

Core Problem Perubahan sensori waham

Causa Isolasi sosial: menarik diri

Harga diri rendah kronis

10. MASALAH KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


a. Resiko tinggi perilaku kekerasan
b. Perubahan proses pikir : waham
c. Isolasi sosial
d. Harga diri rendah

11. DATA YANG PELRU DIKAJI


Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji
Perubahan proses pikir : waham Subjektif
 Klien mengatakan bahwa dirinya
adalah orang yang paling hebat.
 Klien mengatakan bahwa ia
memiliki kebesaran atau kekuasaan
khusus.
Objektif
 Klien terlihat terus ngoceh tentang
kemampuan yang dimilikinya.
 Pembicaraan klien cenderung
berulang.
 Isi pembicaraan tidak sesuai
dengan kenyataan.

12. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Perubahan proses pikir : waham
13. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Pasien mampu: Setelah ... x SP 1
 Berorientasi pertemuan, pasien  Identifikasi kebutuhan pasien
kepada realitas dapat memenuhi  Bicara konteks realita (tidak
secara bertahap kebutuhannya. mendukung atau membantah
 Mampu waham pasien)
berinteraksi  Latih pasien untuk memenuhi
dengan orang kebutuhannya “dasar”
lain dan  Masukkan dalam jadwal harian
lingkungan pasien
 Menggunakan Setelah ... x SP 2
obat dengan pertemuan, pasien  Evaluasi kegiatan yang lalu (SP
prinsip 6 benar mampu: 1)
 Menyebutkan  Identifikasi potensi/kemampuan
kegiatan yang yang dimiliki.
sudah dilakukan  Pilih dan latih kompetensi atau
 Mampu kemampuan yang dimiliki
menyebutkan serta  Masukkan dalam jadwal
memilih kegiatan pasien
kemampuan yang
dimiliki
Setelah ... x SP 3
pertemuan pasien  Evaluasi kegiatan yang lalu (SP
dapat menyebutkan 1 dan 2)
kegiatan yang sudah  Pilih kemampuan yang dapat
dilakukan dan mampu dilakukan
memilih kemampuan  Pilih dan latih potensi
lain yang dimiliki kemampuan lain yang dimiliki
 Masukkan dalam jadwal
kegiatan pasien
Keluarga mampu: Setelah ... x SP 1
 Mengidentifikasi pertemuan, keluarga  Identifikasi masalah keluarga
waham pasien mampu dalam merawat pasien
 Memfasilitasi mengidentifikasi  Jelaskan proses terjadinya
pasien untuk masalah dan waham
memenuhi menjelaskan cara  Jelaskan tentang cara merawat
kebutuhannya merawat pasien pasien waham
 Mempertahanka  Latih (stimulasi) cara merawat
n program  RTL keluarga / jadwal merawat
pengobatan pasien
pasien secara Setelah ... x SP 2
optimal pertemuan, keluarga  Evaluasi kegiatan yang lalu (SP
mampu: 1)
 Menyebutkan  Latih keluarga cara merawat
kegiatan yang pasien (langsung ke pasien)
sesuai dilakukan  RTL keluarga
 Mampu
memperagakan cara
merawat pasien
Setelah ... x SP 3
pertemuan, keluarga  Evaluasi kemampuan keluarga
mampu (SP 2)
mengidentifikasi  Evaluasi kemampuan pasien
masalah dan mampu  RTL keluarga
menjelaskan cara  Follow up
merawat pasien.  Rujukan
ISOLASI SOSIAL

1. DEFINISI
 Menurut DEPKES RI (2000) dalam Direja (2011), kerusakan interaksi
sosial merupakan suatu gangguan interpersonal yang terjadi akibat adanya
kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku maladaptif dan
mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial.
 Menurut Balitbang (2007) dalam Direja (2011), merupakan upaya
menghindari suatu hubungan komunikasi dengan orang lain karena merasa
kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk
berbagi rasa, pikiran dan kegagalan. Klien mengalami kesulitan dalam
berhubungan secara spontan dengan orang lain yang dimanifestasikan
dengan mengisolasi diri, tidak ada perhatian, dan tidak sanggup berbagi
pengalaman.
 Menurut Stuart dan Sundeen (1998) dalam Direja (2011), kerusakan
interaksi sosial adalah suatu gangguan kepribadian yang tidak fleksibel,
tingkah maladaptif, dan mengganggu fungsi individu dalam hubungan
sosialnya.
 Menurut Towsend (1998) dalam Direja (2011), kerusakan interaksi sosial
adalah suatu keadaan dimana seseorang berpartisipasi dalam pertukaran
sosial dengan kuantitas dan kualitas yang tidak efektif. Klien yang
mengalami kerusakan interaksi sosial mengalami kesulitan dalam
berinteraksi dengan orang lain salah satunya mengarah pada penarikan
diri.
 Kesimpulan : isolasi sosial adalah suatu keadaan dimana indifidu tidak mau
mengadakan interaksi terhadap komunitas disekitarnya, atau sengaja
menghindari untuk berinteraksi yang dikarnakan orang lain atau keadaan
disekitar diangap mengancam bagi indifidu tersebut.

2. ETIOLOGI
Terjadinya gangguan ini dipengaruhi oleh faktor predisposisi di antaranya
perkembangan dan sosial budaya. Kegagalan dapat mengakibatkan individu
tidak percaya pada diri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut salah,
pesimis, putus asa terhadap orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan,
dan merasa tertekan. Keadaan ini dapat menimbulkan perilaku tidak ingin
berkomunikasi dengan orang lain, lebih menyukai berdiam diri, menghindar
dari orang lain, dan kegiatan sehari-hari terabaikan (Direja, 2011).

3. FAKTOR PREDISPOSISI
 Faktor tumbuh kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan
yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial.
Bila tugas-tugas dalam perkembangan ini tidak terpenuhi maka akan
menghambat fase perkembangan sosial yang nantinya akan dapat
menimbulkan masalah.
Tahapan Perkembangan Tugas
Masa bayi Menetapkan rasa percaya diri
Masa bermain Mengembangkan otonomi dan awal perilaku
mandiri
Masa pra sekolah Belajar menunjukkan inisiatif, rasa tanggung
jawab, dan hati nurani
Masa sekolah Belajar berkompetisi, bekerja sama, dan
berkompromi
Masa pra remaja Menjalin hubungan intim dengan teman sesama
jenis kelamin
Masa remaja Menjadi intim dengan teman lawan jenis atau
bergantung
Masa dewasa muda Menjadi saling bergantung antara orang tua dan
teman, mencari pasangan, menikah, dan
mempunyai anak
Masa dewasa baya Belajar menerima hasil hubungan yang sudah
dilalui
Masa dewasa tua Berduka karena kehilangan dan
mengembangkan perasaan keterikatan dengan
budaya

 Faktor komunikasi dalam keluarga


Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung
terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori ini yang termasuk
masalah dalam berkomunikasi sehingga menimbulkan ketidakjelasan
(double bind) yaitu suatu keadaan dimana seorang anggota keluarga
menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu bersamaan atau
ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk
berhubungan dengan lingkungan di luar keluarga.
 Faktor sosial budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial merupakan
suatu faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Hal
ini disebabkan oleh norma-norma yang dianut oleh keluarga, dimana setiap
anggota keluarga yang tidak produktif seperti usila, berpenyakit kronis, dan
penyandang cacat diasingkan dari lingkungan sosialnya.
 Faktor biologis
Faktor bilogis juga merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya
gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang dapat mempengaruhi
terjadinya gangguan hubungan sosial adalah otak, misalnya pada klien
skizofrenia yang mengalami masalah dalam hubungan sosial memiliki
struktur yang abnormal pada otak seperti atrofi otak, serta perubahan
ukuran dan bentuk sel-sel dan limbik dan daerah kortikal (Direja, 2011).

4. FAKTOR PRESIPITASI
Menurut Direja (2011) terjadinya gangguan hubungan sosial juga dapat
ditimbulkan oleh faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor stressor
presipitasi dapat dikelompokkan sebagai berikut:
 Faktor eksternal
Contohnya adalah stressor sosial budaya, yaitu stress yang ditimbulkan
oleh faktor sosial budaya seperti keluarga.
 Faktor internal
Contohnya adalah stressor psikologis, yaitu stress terjadi akibat ansietas
atau kecemasan yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan individu untuk mengatasinya. Ansietas ini dapat
terjadi akibat tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau tidak
terpenuhinya kebutuhan individu.

5. TANDA dan GEJALA


Berikut ini adalah tanda dan gejala klien dengan isolasi sosial:
 Kurang spontan.
 Apatis (acuh terhadap lingkungan).
 Ekspresi wajah kurang berseri.
 Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri.
 Tidak ada atau kurang komunikasi verbal.
 Mengisolasi diri.
 Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya.
 Asupan makanan dan minuman terganggu.
 Retensi urine dan feses.
 Aktivitas menurun.
 Kurang energi (tenaga).
 Rendah diri.
 Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus/janin (khususnya pada posisi
tidur) (Direja, 2011).
Seseorang dapat dikatakan mengalami gangguan isolasi jika individu
tersebut: menarik diri, tidak komunikatif, menyendiri, asyik dengan pikiran dan
dirinya sendiri, tidak ada kontak mata, afek tumpul, perilaku bermusuhan,
menyatakan perasaan sepi atau ditolak, kesulitan membina hubungan di
lingkungannya, menghindari orang lain, dan mengungkapkan perasaan tidak
dimengerti orang lain (Wiyati et al., 2010).

6. RENTANG RESPON

Adaptif Maladaptif

 Menyendiri  Merasa sendiri  Menarik diri


 Otonomi  Dependensi  Ketergantungan
 Bekerjasama  Curiga  Manipulasi
 Interdependen  Curiga

Berikut ini akan dijelaskan tentang respon yang terjadi pada isolasi sosial:
 Respon adaptif
Respon adaptif adalah respons yang masih dapat diterima oleh norma-norma
sosial dan kebudayaan secara umum yang berlaku. Dengan kata lain individu
tersebut masih dalam batas normal ketika menyelesaikan masalah. Berikut ini
adalah sikap yang termasuk respons adaptif.
a. Menyendiri, respons yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa
yang telah terjadi di lingkungan sosial.
b. Otonomi, kemampuan
 Respon maladaptif
Respon maladaptif adalah respons yang menyimpang dari norma sosial dan
kehidupan di suatu tempat. Berikut ini adalah perilaku yang termasuk respons
maladaptif.
a. Menarik diri, seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina
hubungan secara terbuka dengan orang lain.
b. Ketergantungan, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri
sehingga tergantung dengan orang lain.
c. Manipulasi, seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek individu
sehingga tidak dapat membina hubungan sosial secara mendalam.
d. Curiga, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap orang
lain.

7. MEKANISME KOPING
Mekanisme koping digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan
yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya.Mekanisme
koping yang sering digunakan pada menarik diri adalah proyeksi dan represi :
a. Proyeksi adalah keinginan yang tidak dapat ditoleransi ,mencurahkan
emosi kepada oranglain. Karena kesalahan yang dilakukan sendiri.
b. Regresi adalah menghindari setres,kecemasan dengan menampilkan
prilaku kembali seperti pada perkembangan anak
c. Represi adalah menekan perasaan atau pengalaman yang menyakitkan
atau komflik atau ingatan dari kesadaran yang cendrung memperkuat
mekanisme ego lainya.
8. POHON MASALAH
Resiko tinggi mencederai diri, orang
lain, dan lingkungan

Defisit perawatan diri GPS: Halusinasi

Intoleransi aktivitas Isolasi sosial

Harga diri rendah kronis

Koping individu tidak efektif


Koping keluarga tidak efektif

9. MASALAH KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


a. Isolasi sosial
b. Harga diri rendah kronis
c. Perubahan persepsi sensori : halusinasi
d. Koping individu tidak efektif
e. Koping keluarga tidak efektif
f. Intoleransi aktivitas
g. Defisit perawatan diri
h. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain, dan lingkungan

10. DATA YANG PERLU DIKAJI


Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji
Isolasi sosial Subjektif
 Klien mengatakan malas bergaul
dengan orang lain
 Klien mengatakan dirinya tidak ingin
ditemani perawat dan meminta untuk
sendirian
 Klien mengatakan tidak mau
berbicara dengan orang lain
 Tidak mau berkomunikasi
 Data tentang klien biasanya didapat
dari keluarga yang mengetahui
keterbatasan klien (suami, istri, anak,
ibu, ayah, atau teman dekat).
Objektif
 Kurang spontan
 Apatis (acuh terhadap lingkungan)
 Ekspresi wajah kurang berseri
 Tidak merawat diri dan tidak
memperhatikan kebersihan diri
 Tidak ada atau kurang komunikasi
verbal
 Mengisolasi diri
 Tidak atau kurang sadar terhadap
lingkungan sekitarnya
 Asupan makanan dan minuman
terganggu
 Retensi urine dan feses
 Aktivitas menurun
 Kurang berenergi atau bertenaga
 Rendah diri
 Postur tubuh berubah, misalnya sikap
fetus atau janin (khususnya pada
posisi tidur)

11. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Isolasi sosial

12. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Pasien mampu: Setelah ... x pertemuan, SP 1
 Menyadari pasien mampu:  Identifikasi penyebab
penyebab  Membina hubungan  Siapa yang satu rumah
isolasi sosial saling percaya dengan pasien
 Berinteraksi  Menyadari penyebab  Siapa yang dekan
dengan orang isolasi sosial, dengan pasien
lain keuntungan dan  Siapa yang tidak dekat
kerugian berinteraksi dengan pasien
dengan orang lain  Tanyakan keuntungan dan
 Melakukan interaksi kerugian berinteraksi
dengan orang lain dengan orang lain
secara bertahap  Tanyakan pendapat
pasien tentang
kebiasaan berinteraksi
dengan orang lain.
 Tanyakan apa yang
menyebabkan pasien
tidak ingin berinteraksi
dengan orang lain.
 Diskusikan keuntungan
bila pasien memiliki
banyak teman dan
bergaul akrab dengan
mereka
 Diskusikan kerugian
bila pasien hanya
mengurung diri dan
tidak bergaul dengan
orang lain.
 Jelaskan pengaruh
isolasi sosial terhadap
kesehatan fisik pasien
 Latih berkenalan
 Jelaskan kepada klien
cara berinteraksi
dengan orang lain
 Berikan contoh cara
berinteraksi dengan
orang lain
 Beri kesempatan pasien
mempraktekkan cara
berinteraksi dengan
orang lain yang
dilakukan di hadapan
perawat
 Mulailah bantu pasien
berinteraksi dengan
satu orang
teman/anggota keluarga
 Bila pasien sudah
menunjukkan kemajuan,
tingkatkan jumlah
interaksi dengan 2, 3, 4
orang dan seterusnya.
 Beri pujian untuk setiap
kemajuan interaksi yang
telah dilakukan oleh
pasien
 Siap mendengarkan
ekspresi perasaan
pasien setelah
berinteraksi dengan
orang lain, mungkin
pasien akan
mengungkapkan
keberhasilannya atau
kegagalannya, beri
dorongan terus menerus
agar pasien tetap
semangat meningkatkan
interaksinya.
 Masukkan jadwal kegiatan
pasien
SP 2
 Evaluasi kegiatan yang lalu
(SP 1)
 Latih berhubungan sosial
secara bertahap
 Masukkan dalam jadwal
kegiatan pasien
SP 3
 Evaluasi kegiatan yang lalu
(SP 1 dan 2)
 Latih cara berkenalan
dengan 2 orang atau lebih
 Masukkan dalam jadwal
kegiatan pasien
Keluarga Setelah ... x pertemuan, SP 1
mampu keluarga mampu  Identifikasi masalah yang
merawat pasien menjelaskan tentang: dihadapi dalam merawat
dengan isolasi  Masalah isolasi sosial pasien.
sosial di rumah dan dampaknya pada  Penjelasan isolasi sosial
pasien  Cara merawat pasien isolasi
 Penyebab isolasi sosial sosial
 Sikap keluarga untuk  Latih (simulasi)
membantu pasien  RTL keluarga / jadwal
mengatasi isolasi  Keluarga untuk merawat
sosialnya pasien
 Pengobatan yang SP 2
berkelanjutan dan  Evaluasi kemampuan SP 1
mencegah putus obat  Latih (langsung ke pasien)
 Tempat rujukan dan  RTL keluarga / jadwal
fasilitas kesehatan yang keluarga untuk merawat
tersedia bagi pasien pasien
SP 3
 Evaluasi kemampuan SP 1
 Latih (langsung ke pasien)
 RTL keluarga / jadwal
keluarga untuk merawat
pasien
SP 4
 Evaluasi kemampuan
keluarga
 Evaluasi kemampuan pasien
 Rencana tindak lanjut
keluarga
 Follow up
 Rujukan
PERILAKU KEKERASAN

1. DEFINISI
 Menurut Kusumawati dan Hartono (2010) dalam Direja (2011) perilaku
kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya maupun orang
lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol.
 Menurut Stuart dan Sundeen (1995) dalam Direja (2011) perilaku
kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,
orang lain maupun lingkungan.

2. TANDA dan GEJALA


 Fisik
Mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup,
wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
 Verbal
Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada
keras, kasar, ketus.
 Perilaku
Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan,
amuk/agresif.
 Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan, dan menuntut.
 Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
 Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral,
dan kreativitas terhambat.
 Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran.
 Perhatian
Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual (Direja, 2011).

3. RENTANG RESPON

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

Keterangan:
 Asertif
Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan
memberikan ketenangan.
 Frustasi
Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat
menemukan alternatif.
 Pasif
Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya.
 Agresif
Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut tetapi
masih terkontrol.
 Kekerasan
Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya kontrol
(Direja, 2011).
PASIF ASERTIF AGRESIF
ISI negatif dan positif dan menyombongkan
PEMBICARAAN merendahkan diri, menawarkan diri, diri, merendahkan
contohnya contohnya orang lain,
perkataan: perkataan: contohnya
“dapatkah saya?” “saya dapat ...” perkataan:
“dapatkah kamu?” “saya akan...” “kamu selalu..”
“kamu tidak
pernah..”
TEKANAN cepat lambat, sedang keras dan ngotot
SUARA mengeluh
POSISI BADAN menundukkan tegap dan santai kaku, condong ke
kepala depan
JARAK menjaga jarak mempertahankan siap dengan jarak
dengan sikap jarak yang akan menyerang
acuh/mengabaikan nyaman orang lain
PENAMPILAN loyo, tidak dapat sikap tenang mengancam,
tenang posisi menyerang
KONTAK MATA sedikit/sama sekali mempertahankan mata melotot dan
tidak kontak mata dipertahankan
sesuai dengan
hubungan

4. FAKTOR PREDISPOSISI
a. Faktor psikologis
 Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan
mengalami hambatan akan timbul dorongan agresif yang memotivasi
perilaku kekerasan.
 Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu dan masa kecil
yang tidak menyenangkan.
 Rasa frustasi.
 Adanya kekerasan dalam rumah tangga, keluarga atau lingkungan.
 Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya
ego dan membuat konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat
memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri
serta memberikan arti dalam kehidupannya. Teori lainnya berasumsi
bahwa perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya dan rendahnya
harga diri pelaku tindak kekerasan.
 Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang
dipeljari, individu yang memiliki pengaruh biologik terhadap perilaku
kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh peran
eksternal dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi biologik.
b. Faktor sosial budaya
Seseorang akan berespons terhadap peningkatan emosionalnya secara
agresif sesuai dengan respons yang dipelajarinya. Sesuai dengan teori
menurut Bandura bahwa agresif tidak berbeda dengan respons-respons
yang lain. Faktor ini dapat dipelajari emlalui observasi atau imitasi, dan
semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin besar
kemungkinan terjadi. budaya juga dapat mempengaruhi perilaku
kekerasan. Adanya norma dapat emmbantu mendefinisikan ekspresi
marah yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima.
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku
kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat
merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.
c. Faktor biologis
Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya pemberian stimulus
elektris ringan pada hipotalamus (sistem limbik) ternyata menimbulkan
perilaku agresif, dimana jika terjadi kerusakan fungsi limbik (untuk emosi
dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional), dan lobus temporal
(untuk interpretasi indera penciuman dan memori) akan menimbulkan mata
terbuka lebar, pupil berdilatasi, dan hendak menyerang objek yang ada
disekitarnya.
Selain itu berdasarkan teori biologic, ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai
berikut:
 Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen sistem neurologis
mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls
agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku bermusuhan dan respons agresif.
 Pengaruh biokimia/menurut Goldstein dalam Townsend (1996)
menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin,
dopamin, asetilkolin, dan serotonin) sangat berperan dalam
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Peningkatan hormon
androgen dan norepinefrin serta penurunan serotonin dan GABA (6 dan
7) pada cairan serebrospinal merupakan faktor predisposisi penting
yang menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada seseorang.
 Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat
kaitannya dengan geentik termasuk genetiktipe kariotipe XYY, yang
umumnya dimiliki oleh penghuni penjara tindak kriminal (narapidana).
 Gangguan otak, sindrom otak organikberhubungan dengan gangguan
serebral, tumor otak (khususnya pada limbik dan lobus temporal),
trauma otak, penyakit ensefalitis, epilepsi (epilepsi lobus temporal)
terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kriminal
(Direja, 2011).

5. FAKTOR PRESIPITASI
Menurut Direja (2011) secara umum seseorang akan marah jika dirinya
merasa terancam, baik berupa injuri secara fisik, psikis, atau ancaman konsep
diri. Beberapa faktor pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
 Klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan
yang penuh dengan agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
 Interaksi: penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti, konflik,
merasa terancam baik internal dari permasalahan diri klien sendiri
maupun eksternal dari lingkungan.
 Lingkungan: panas, padat, dan bising.
Menurut Shives (1998) dalam Fitria (2009), hal-hal yang dapat
menimbulkan perilaku kekerasan atau penganiayaan antara lain sebagai
berikut:
 Kesulitan kondisi sosial ekonomi.
 Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu.
 Ketidakpastian seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuannya dalam menempatkan diri sebagai orang yang
dewasa.
 Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti penyalahgunaan
obat dan alkohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat
menghadapi rasa frustasi.
 Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.

6. MEKANISME KOPING
Menurut Direja (2011) perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping
klien, sehingga dapat membantu klien untuk mengembangkan mekanisme
koping yang konstruktif dalam mengekspresikan kemarahannya. Mekanisme
koping yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti
diplacement, sublimasi, proyeksi, represif, denial, dan reaksi formasi.
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain:
 Menyerang atau menghindar
Pada keadaan ini respons fisiologis timbul karena kegiatan sistem syaraf
otonom bereaksi terhadap sekresi epinefrin yang menyebabkan tekanan
darah meningkat, takikardi, wajah merah, pupil melebar, mual, sekresi
HCL meningkat, peristaltik gaster menurun, pengeluaran urin dan saliva
meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga meningkat, tangan mengepal,
tubuh menjadi kaku, dan disertai reflek meningkat.
 Menyatakan secara asertif
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan
kemarahannya yaitu perilaku pasif, agresif, dan asertif.
Perilaku asertif adalah cara yang terbaik, individu dapat
mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara fisik
maupun psikologis dan dengan perilaku tersebut individu juga dapat
mengembangkan diri.
 Memberontak
Perilaku yang muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik perilaku
untuk menarik perhatian orang lain.
 Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang
lain maupun lingkungan.

7. POHON MASALAH

Perilaku kekerasan GPS: Halusinasi
↑ ↑
Regimen terapeutik Harga diri rendah kronis Isolasi sosial : menarik
inefektif diri
↑ ↑
Koping keluarga tidak Berduka disfungsional
efektif

8. MASALAH KEPERAWATAN
a. Perilaku kekerasan
b. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
c. Perubahan persepsi sensori : halusinasi
d. Harga diri rendah kronis
e. Isolasi sosial
f. Berduka disfungsional
g. Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif
h. Koping keluarga inefektif

9. DATA YANG PERLU DIKAJI


Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji
Perilaku Kekerasan Subyektif
 Klien mengancam
 Klien mengumpat dengan kata-kata
kotor
 Klien mengatakan dendam dan jengkel
 Klien mengatakan ingin berkelahi
 Klien menyalahkan dan menuntut
 Klien meremehkan
Objektif
 Mata melotot/pandangan tajam
 Tangan mengepal
 Rahang mengatup
 Wajah memerah dan tegang
 Postur tubuh kaku
 Suara keras
Faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah perilaku kekerasan, antara
lain adalah sebagai berikut:
a. Ketidakmampuan mengendalikan dorongan marah
b. Stimulus lingkungan
c. Konflik interpersonal
d. Status mental
e. Putus obat
f. Penyalahgunaan narkoba/alkohol

10. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Perilaku kekerasan

11. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN


Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Pasien mampu: Setelah ... x pertemuan, SP 1
 Mengidentifikasi pasien mampu:  Identifikasi penyebab, tanda,
penyebab dan  Menyebutkan dan gejala serta akibat
tanda perilaku penyebab, tanda, perilaku kekerasan
kekerasan gejala, dan akibat  Latih cara fisik 1: tarik napas
 Menyebutkan perilaku kekerasan dalam
jenis perilaku  Memperagakan cara  Masukkan dalam jadwal
kekerasan yang fisik 1 untuk harian pasien
pernah mengontrol perilaku
dilakukan. kekerasan
 Menyebutkan Setelah ... x pertemuan, SP 2
akibat dari pasien mampu:  Evaluasi kegiatan yang lalu
perilaku  Menyebutkan (SP 1)
kekerasan yang kegiatan yang sudah  Latih cara fisik 2: pukul
dilakukan dilakukan kasur / bantal
 Menyebutkan  Memperagakan cara  Masukkan dalam jadwal
cara mengontrol fisik untuk mengontrol harian pasien
perilaku perilaku kekerasan
kekerasan Setelah ... x pertemuan, SP 3
 Mengontrol pasien mampu:  Evaluasi kegiatan yang lalu
perilaku  Menyebutkan (SP 1 dan 2)
kekerasannya kegiatan yang sudah  Latih secara sosial / verbal
dengan cara: dilakukan  Menolak dengan baik
 Fisik  Memperagakan cara  Meminta dengan baik
 Sosial atau sosial / verbal untuk  Mengungkapkan dengan
verbal mengontrol perilaku baik
 Spiritual kekerasan  Masukkan dalam jadwal
 Terapi harian pasien
psikofarmaka Setelah ... x pertemuan, SP 4
(obat) pasien mampu:  Evaluasi kegiatan yang lalu
 Menyebutkan (SP 1, 2, & 3)
kegiatan yang sudah  Latih secara spiritual:
dilakukan  Berdoa
 Memperagakan cara  Sholat
spiritual  Masukkan dalam jadwal
harian pasien
Setelah ... x pertemuan, SP 5
pasien mampu:  Evaluasi kegiatan yang lalu
 Menyebutkan (SP 1, 2, 3, 4)
kegiatan yang sudah  Latih patuh obat:
dilakukan  Minum obat secara
 Memperagakan cara teratur dengan prinsip
patuh obat 5B
 Susun jadwal minum
obat secara teratur
 Masukkan dalam jadwal
harian pasien
Keluarga mampu: Setelah ... x pertemuan, SP 1
 Merawat pasien keluarga mampu  Identifikasi masalah yang
di rumah menjelaskan penyebab, dirasakan keluarga dalam
tanda dan gejala, merawat pasien.
akibat serta mampu  Jelaskan tentang perilaku
memperagakan cara kekerasan:
merawat.  Penyebab
 Akibat
 Cara merawat
 Latih cara merawat
 RTL keluarga / jadwal untuk
merawat pasien
Setelah ... x pertemuan, SP 2
keluarga mampu  Evaluasi kegiatan yang lalu
menyebutkan kegiatan (SP 1)
yang sudah dilakukan  Latih (simulasi) 2 cara lain
dan mampu merawat untuk merawat pasien.
serta dapat membuat  Latih langsung ke pasien
RTL  RTL keluarga / jadwal
keluarga untuk merawat
pasien
Setelah ... x pertemuan, SP 3
keluarga mampu  Evaluasi SP 1 dan SP 2
menyebutkan kegiatan  Latih langsung ke pasien
yang sudah dilakukan  RTL keluarga/jadwal
dan mampu merawat keluarga untuk merawat
serta dapat membuat pasien
RTL
Setelah ... x pertemuan, SP 4
keluarga mampu  Evaluasi SP 1, 2 & 3
melaksanakan follow  Latih langsung ke pasien
up dan rujukan serta  RTL keluarga
mampu menyebutkan  Follow up
kegiatan yang sudah  Rujukan
dilakukan
HARGA DIRI RENDAH

1. DEFINISI
 Menurut Keliat (2005) : Harga diri merupakan salah satu komponen dari
konsep diri. Dimana, konsep diri adalah semua pikiran, kepercayaan dan
keyakinan yang diketahui tentang dirinya dan mempengaruhi individu
dalam berhubungan dengan orang lain. Sedangkan harga diri adalah
penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa
jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dan harga diri rendah adalah
menolak dirinya sebagai sesuatu yang berharga dan tidak
bertanggungjawab atas kehidupannya sendiri. Jika individu sering gagal
maka cenderung harga diri rendah. Harga diri rendah jika kehilangan kasih
sayang dan penghargaan orang lain. Harga diri diperoleh dari diri sendiri
dan orang lain, aspek utama adalah diterima dan menerima penghargaan
dari orang lain.
 Menurut Towsend (1998) dalam Direja (2011) harga diri rendah adalah
evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negatif
dan dapat secara langsung atau tidak langsung diekspresikan.

2. RENTANG RESPON KONSEP DIRI


Konsep diri didefinisikan sebagai semua pikiran, keyakinan dan kepercayaan
yang membuat seseorang mengetahui tentang diriya dan mempengaruhi
hubungannya dengan orang lain. Konsep diri tidak terbentuk sejak lahir
namun dipelajari (Stuart & Sunden, 2006).

Rentang Respon Konsep Diri

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Aktualisasi Konsep Diri Harga Diri Kerancuan Depersonalisasi


Positif Rendah Identitas Diri

a. Respons adaptif adalah respon yang dilakukan oleh individu dalam


menyelesaikan masalah. Dan respon tersebut dapat diterima oleh norma
sosial dan budaya dimana individu tersebut tinggal (Stuart, 2006). Respon
adaptif meliputi :
 Aktualisasi Diri
Pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan latar
belakang pengalaman nyata yang sukses dan diterima. (Stuart &
Sunden, 2006)
 Konsep Diri Positif
Konsep diri positif merupakan bagaimana seseorang memandang
apa yang ada pada dirinya meliputi citra dirinya, ideal dirinya, harga
dirinya, penampilan peran serta identitas dirinya secara positif. Hal ini
akan menunjukkan bahwa individu itu akan menjadi individu yang
sukses. (Stuart & Sunden, 2006)
b. Sedangkan respons maladaptif adalah respon yang dilakukan individu
dalam menyelesaikan masalah. Dan respon tersebut menyimpang dari
norma-norma sosial dan kebudayaan setempat (Stuart, 2006). Respon
maladaptif tersebut adalah :
 Harga Diri Rendah
Harga diri rendah merupakan perasaan negatif terhadap dirinya
sendiri, termasuk kehilangan percaya diri, tidak berharga, tidak
berguna, pesimis, tidak ada harapan dan putus asa. Adapun perilaku
yang berhubungan dengan harga diri yang rendah yaitu mengkritik
diri sendiri dan/ atau orang lain, penurunan produktivitas, destruktif
yang diarahkan kepada orang lain, gangguan dalam berhubungan,
perasaan tidak mampu, rasa bersalah, perasaan negatif mengenai
tubuhnya sendiri, keluhan fisik, menarik diri secara sosial, khawatir,
serta menarik diri dari realitas. (Stuart & Sunden, 2006)
 Identitas Kacau
Kerancuan identitas merupakan suatu kegagalan individu untuk
mengintegrasikan berbagai identifikasi masa kanak – kanak ke dalam
kepribadian psikososial dewasa yang harmonis. Adapun perilaku
yang berhubungan dengan kerancuan identitas yaitu tidak ada kode
moral, sifat kepribadian yang bertentangan, hubungan interpersonal
eksploitatif, perasaan hampa. Perasaan mengambang tentang diri
sendiri, tingkat ansietas yang tinggi, dan ketidakmampuan untuk
empati terhadap orang lain. (Stuart & Sunden, 2006)
 Depersonalisasi
Depersonalisasi merupakan suatu perasaan yang tidak realistis
dimana klien tidak dapat membedakan stimulus dari dalam atau luar
dirinya. Individu mengalami kesulitan untuk membedakan dirinya
sendiri dari orang lain, dan tubuhnya sendiri merasa tidak nyata dan
asing baginya. (Stuart & Sunden, 2006)

3. TANDA dan GEJALA


Menurut Fitria (2009) dalam Direja (2011) manifestasi yang biasa muncul
pada klien gangguan jiwa dengan harga diri rendah:
 Mengkritik diri sendiri.
 Perasaan tidak mampu.
 Pandangan hidup yang pesimistis.
 Tidak menerima pujian.
 Penurunan produktifitas.
 Penolakan terhadap kemampuan diri.
 Kurang memperhatikan perawatan diri.
 Berpakaian tidak rapi, selera makan berkurang, tidak berani mentap lawan
bicara.
 Lebih banyak menunduk.
 Bicara lambat dengan nada suara lemah.

4. PROSES TERJADINYA MASALAH


Harga diri rendah sering disebabkan karena adanya koping individu yang
tidak efektif akibat adanya kurang umpan balik positif, kurangnya system
pendukung kemunduran perkembangan ego, pengulangan umpan balik yang
negatif, difungsi system keluarga serta terfiksasi pada tahap perkembangan
awal (Townsend, 2009). Menurut Carpenito, L.J (2009) koping individu tidak
efektif adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau beresiko
mengalami suatu ketidakmampuan dalam mengalami stessor internal atau
lingkungan dengan adekuat karena ketidakkuatan sumber-sumber (fisik,
psikologi, perilaku atau kognitif). Sedangkan menurut Townsend, M.C (2009)
koping individu tidak efektif merupakan kelainan perilaku adaptif dan
kemampuan memecahkan masalah seseorang dalam memenuhi tuntutan
kehidupan dan peran.
Harga diri rendah kronis terjadi merupakan proses kelanjutan dari harga
diri rendah situasional yang tidak diselesaikan. Atau dapat juga terjadi
karena individu tidak pernah mendapat feed back dari lingkungan tentang
perilaku klien sebelumnya bahkan mungkin kecenderungan lingkungan yang
selalu memberi respon negatif mendorong individu menjadi harga diri
rendah.
Harga diri rendah kronis terjadi disebabkan banyak faktor. Awalnya
individu berada pada suatu situasi yang penuh dengan stressor (krisis),
individu berusaha menyelesaikan krisis tetapi tidak tuntas sehingga timbul
pikiran bahwa dirinya tidak mampu atau merasa gagal menjalankan fungsi
dan peran. Penilaian individu terhadap diri sendiri karena kegagalan
menjalankan fungsi dan peran adalah kondisi harga diri rendah situasional,
jika lingkungan tidak memberi dukungan positif atau justru menyalahkan
individu dan terjadi secara terus menerus akan mengakibatkan individu
mengalami harga diri rendah kronis (Direja, 2011).

5. FAKTOR PREDISPOSISI
Menurut Direja (2011) faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah
kronis adalah penolakan orang tua yang tidak realistis, kegagalan berulang
kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada
orang lain, ideal diri yang tidak realistis.

6. FAKTOR PRESIPITASI
Menurut Direja (2011) faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah kronis
adalah hilangnya sebagian anggota tubuh, berubahnya penampilan atau
bentuk tubuh, mengalami kegagalan, serta menurunnya produktivitas.
Gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis ini dapat terjadi secara
situasional maupun kronik.

7. MASALAH KEPERAWATAN yang MUNGKIN MUNCUL


 Harga diri rendah kronis
 Koping individu tidak efektif
 Isolasi sosial
 Perubahan persepsi sensori: halusinasi
 Risiko tinggi perilaku kekerasan
8. DATA YANG PERLU DIKAJI
Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji
Harga diri rendah kronis Subjektif:
 Mengungkapkan dirinya merasa tidak
berguna.
 Mengungkapkan dirinya merasa tidak
mampu.
 Mengungkapkan dirinya tidak semangat
untuk beraktivitas atau bekerja.
 Mengungkapkan dirinya merasa malas
melakukan perawatan diri (mandi,
berhias,makan atau toileting).
Objektif:
 Mengkritik diri sendiri.
 Perasaan tidak mampu.
 Pandangan hidup yang pesimistis.
 Tidak menerima pujian.
 Penurunan produktivitas.
 Penolakan terhadap kemampuan diri.
 Kurang memperhatikan perawatan diri.
 Berpakaian tidak rapi.
 Berkurang selera makan.
 Tidak berani menatap lawan bicara.
 Lebih banyak menunduk.
 Bicara lambat dengan nada suara lemah.

9. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Harga diri rendah kronis

10. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN


Tujuan
Pasien Keluarga
Pasien mampu: keluarga mampu merawat pasien
 Mengidentifikasi kemampuan dan HDR di rumah dan menjadi
aspek positif yang dimiliki. sistem pendukung yang efektif
 Menilai kemampuan yang dapat bagi pasie.
digunakan.
 Menetapkan/memilih kegiatan
yang sesuai dengan kemampuan.
 Melatih kegiatan yang sudah
dipilih, sesuai kemampuan.
 Merencanakan kegiatan yang
sudah dilatih.
Kriteria Hasil
Pasien Keluarga
Setelah ...x pertemuan, pasien Setelah ....x pertemuan, keluarga
mampu: mampu:
 Mengidentifikasi kemampuan  Mengidentifikasi kemampuan
aspek positif yang dimiliki. yang dimiliki pasien.
 Memiliki kemampuan yang dapat  Menyediakan fasilitas untuk
digunakan. pasien melakukan kegiatan.
 Memilih kegiatan sesuai  Mendorong pasien melakukan
kemampuan. kegiatan.
 Melakukan kegiatan yang sudah  Memuji pasien saat pasien dapat
dipilih. melakukan kegiatan.
 Merencanakan kegiatan yang  Membantu melatih pasien.
sudah dilatih.  Membantu menyusun jadwal
kegiatan pasien.
 Membantu perkembangan pasien

Tgl/ No Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk


Dx Pasien keluarga

SP 1 SP 1

1. Identifikasi kemampuan dan 1. Jelaskan masalah yang


aspek positif yang dimiliki dirasakan keluarga dalam
pasien merawat pasien
2. Bantu pasien menilai 2. Jelaskan pengertian, tanda
kemampuan pasien yang dan gejala harga diri rendah,
dapat digunakan serta proses terjadinya
3. Bantu pasien memilih 3. Jelaskan cara merawat
kegiatan yang akan dilatih pasien dengan harga diri
sesuai dengan kemampuan rendah
pasien
4. Latih pasien sesuai
kemampuan yang dipilih
5. Berikan pujian yang wajar
terhadap keberhasilan pasien
6. Anjurkan pasien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan
SP 2 SP 2

1. Evaluasi jadwal kegiatan 1. Latih keluarga


harian pasien mempraktekkan cara
2. Latih kemampuan kedua merawat pasien dengan
3. Anjurkan pasien harga diri rendah
memasukkan dalam jadwal 2. Latih keluarga melakukan
kegiatan harian cara merawat langsung
pasien harga diri rendah
SP 3

1. Bantu keluarga membuat


jadwal aktivitas di rumah
termasuk minum obat
(dischange planning)
2. Jelaskan follow up pasien
setelah pulang
DEFISIT PERAWATAN DIRI

1. DEFINISI
 Menurut DEPKES (2000) dalam Direja (2011) perawatan diri adalah salah
satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna
mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan sesuai
dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperawatan
dirinya jika tidak dapat melakukan perawatn diri.
 Menurut Nurjannah (2004) dalam Direja (2011) defisit perawatan diri
adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri
(mandi, berhias, makan, toileting).
 Menurut Tarwoto dan Wartonah (2000) dalam Direja (2011) kurang
perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan
perawatan kebersihan untuk dirinya.
 Defisit perawatan diri juga dapat diartikan sebagai keadaan ketika individu
mengalami suatu kerusakan fungsi kognitif atau fungsi motorik, yang
menyebabkan penurunan kemampuan untu melakukan perawatan diri
(NANDA, 2009)

2. TANDA GEJALA
Menurut Depkes (2000) dalam Fitria, 2009 tanda dan gejala klien dengan
defisit perawatan diri adalah:
1. Fisik
 Badan bau, pakaian kotor.
 Rambut dan kulit kotor.
 Kuku panjang dan kotor
 Gigi kotor disertai mulut bau penampilan tidak rapi
2. Psikologis
 Malas, tidak ada inisiatif.
 Menarik diri, isolasi diri.
 Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
3. Sosial
 Interaksi kurang.
 Kegiatan kurang
 Tidak mampu berperilaku sesuai norma.
 Cara makan tidak teratur BAK dan BAB di sembarang tempat, gosok
gigi dan mandi tidak mampu mandiri.

Batasan karakteristik dari deficit perawatan diri yaitu :


 Disorientasi
 Kesulitan mengenali benda-benda yang digunakan dalam perawatan
 Kotor atau berpakaian tang tidak tepat
 Tidak dapat merapikan rambut atau kuku
 Tidak makan, makan makanan basi, atau tidak dimasak

3. FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah
sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress (Stuart
& Sundeen, 1998).
 Faktor Biologis : Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu
melakukan perawatandiri seperti stroke.
 Faktor Psikologis : Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien
sehingga perkembangan inisiatif terganggu. Pada individu yang
mengalami kelemahan untuk melakukan perawatan diri sering kali
keluarga membiarkan individu tersebut untuk tergantung dengan orang
lain saat memenuhi perawatn dirinya sehingga individu tersebut terbiasa
dengan kondisi tersebut.
 Faktor Sosiobudaya : Kurang dukungan dan latihan kemampuan
perawatandiri lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan
kemampuan dalam perawatandiri.

4. FAKTOR PRESIPITASI
Faktor presipitasi adalah stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai
tantangan, ancaman, atau tuntutan dan yang memerlukan energi ekstra untuk
koping (Stuart & Sundeen, 1998).
 Sifat
Sifatnya berupaaspek psikologis dan sosial. Dari aspek psikologis
kemungkinan diakibatkan karena seseorang yang menderita penyakit
kronis ataupun gangguan kejiwaan lain sehingga secara psikologis
mereka mengalami penurunan motivasi dan kecemasan. Dari aspek
sosial ini berasal dari keluarga atau lingkungan sekitar. Dari aspek
biologis berupa kerusakan kognisi atau perceptual dan kelemahan.
 Waktu
Yang perlu dikaji adalah lamanya klien tidak mampu melakukan
perawatan diri. Biasanya hal ini terjadi jika seseorang telah lama
menderita penyakit kronis.
 Asal
Sumber penyebab deficit perawatan diri bisa berasal dari faktor internal
seperti keluarga yang memanjakan atau justru malah membiarkan dalam
hal perawatan diri.
 Jumlah
Pengkajian mengenai kuantitas atau seberapa besar defisit perawatan diri
yang dialami dalam satu periode

5. JENIS DEFISIT PERAWATAN DIRI


 Mandi/hygiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan,
memperoleh atau mendapatkan sumber air, mengatur suhu, atau aliran
mandi, mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta
masuk dan keluar kamar mandi.
 Berpakaian/berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil
potongan pakaian, menanggalkan pakaian, serta memperoleh atau
menukar pakaian. Klien juga memiliki ketidakmampuan untuk mengenakan
pakaian dalam, memilih pakaian, menggunakan alat tambahan,
menggunakan kancing tarik, melepaskan pakaian, menggunakan kaos
kaki, mempertahankan penampilan pada tingkat yang memuaskan,
mengambil pakaian, dan mengenakan sepatu.
 Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan,
mempersiapkan makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan,
menggunakan alat tambahan, mendapatkan makanan, membuka
kontainer, memanipulasi makanan dalam mulut, mengambil makanan dari
wadah lalu memasukkannya ke mulut, melengkapi makanan, mencerna
makanan menurut cara yang diterima masyarakat, mengambil cangkir atau
gelas, serta mencerna cukup makanan dengan aman.
 BAB/BAK
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam
mendapatkan jamban atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban,
memanipulasi pakaian untuk toileting, membersihkan diri setelah BAB/BAK
dengan tepat, dan menyiram toilet atau kamar kecil.
Keterbatasan perawatan diri di atas biasanya diakibatkan karena
stressor yang cukup berat dan sulit ditangani oleh klien (klien bisa
mengalami harga diri rendah), sehingga dirinya tidak mau mengurus atau
merawat dirinya sendiri baik dalam hal mandi, berpakaian, berhias, makan,
maupun BAB dan BAK. Bila tidak dilakukan intervensi oleh perawat, maka
kemungkinan klien bisa mengalami masalah risiko tinggi isolasi sosial
(Direja, 2011).

6. POHON MASALAH

Effect Risiko Tinggi PK

Defisit Perawatan Diri


Core Problem

HDR Kronis
Causa

Koping Individu Tidak Efektif

7. MASALAH KEPERAWATAN yang MUNGKIN MUNCUL


 Defisit perawatan diri
 Harga diri rendah
 Risiko tinggi isolasi sosial
8. DATA yang PERLU DIKAJI
Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji
Defisit perawatan diri
Subjektif:
 Klien mengatakan dirinya malas mandi
karena airnya dingin, atau RS tidak tersedia
alat mandi.
 Klien mengatakan dirinya malas berdandan.
 Klien mengatakan ingin disuapi makan.
 Klien mengatakan jarang membersihkan alat
kelaminnya setelah BAK maupun BAB.
Objektif:
 Ketidakmampuan mandi/membersihkan diri
ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit
berdaki, dan berbau, serta kuku panjang dan
kotor.
 Ketidakmampuan berpakaian/berhias
ditandai dengan rambut acak-acakan,
pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak
sesuai, tidak bercukur (laki-laki), atau tidak
berdandan (wanita).
 Ketidakmampuan makan secara mandiri
ditandai dengan ketidakmampuan
mengambil makan sendiri, makan
berceceran, dan makan tidak pada
tempatnya.
 Ketidakmampuan BAB/BAK secara mandiri
ditandai BAB/BAK tidak pada tempatnya,
tidak membersihkan diri dengan baik setelah
BAB/BAK.
9. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Defisit perawatan diri
10. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
Tujuan:
Pasien Keluarga
Pasien mampu: Keluarga mampu merawat anggota
 Melakukan kebersihan diri sendiri keluarga yang mengalami masalah
secara mandiri. kurang perawatan diri
 Melakukan berhias/berdandan
secara baik.
 Melakukan makan dengan baik.
 Melakukan BAB/BAK secara
mandiri.
Kriteria Hasil
Pasien Keluarga
Setelah .......x pertemuan, pasien Setelah ...x pertemuan, keluarga
dapat menjelaskan pentingnya: mampu meneruskan melatih
 Kebersihan diri pasien dan mendukung agar
 Berdandan/berhias kemampuan pasien dalam
 Makan perawatan dirinya meningkat.
 BAB/BAK
 Dan mampu melakukan cara
merawat diri

Tgl/ No Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk


Dx Pasien keluarga

SP 1 SP 1

1. Jelaskan pentingnya 1. Jelaskan masalah yang


kebersihan diri dirasakan keluarga dalam
2. Jelaskan cara menjaga merawat pasien
kebersihan diri 2. Jelaskan pengertian, tanda
3. Bantu pasien mempraktekkan dan gejala defisit perawatan
cara menjaga kebersihan diri diri dan jenis defisit
4. Anjurkan pasien memasukkan perawatan diri yang dialami
dalam jadwal kegiatan pasien, serta proses
terjadinya
3. Jelaskan cara merawat
pasien dengan defisit
perawatan diri
SP 2 SP 2

1. Evaluasi jadwal kegiatan 1. Latih keluarga


harian pasien mempraktekkan cara
2. Jelaskan cara makan yang merawat pasien dengan
baik defisit perawatan diri
3. Bantu pasien mempraktekkan 2. Latih keluarga melakukan
cara makan yang baik cara merawat langsung
4. Anjurkan pasien memasukkan kepada pasien defisit
dalam jadwal kegiatan harian perawatan diri
SP 3 SP 3

1. Evaluasi jadwal kegiatan 1. Bantu keluarga membuat


harian pasien jadwal aktivitas di rumah
2. Jelaskan cara eliminasi yang termasuk minum obat
baik (dischange planning)
3. Bantu pasien mempraktekkan 2. Jelaskan follow up pasien
cara eliminasi yang baik setelah pulang
4. Anjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
SP 4

1. Evaluasi jadwal kegiatan


harian pasien
2. Jelaskan cara berdandan
3. Bantu pasien mempraktekkan
cara berdandan
4. Anjurkan pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
RESIKO BUNUH DIRI

1. DEFINISI
 Menurut Fitria (2009) dalam Direja (2011) bunuh diri adalah suatu keadaan
dimana individu mengalami risiko untuk menyakiti diri sendiri atau
melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa.
 Menurut Stuart dan Sundeen (1995) dalam Direja (2011) perilaku desruktif
diri yang mencakup setiap bentuk aktifitas bunuh diri, niatnya adalah
kematian dan individu menyadari hal ini sebagai suatu yang diinginkan.
 Bunuh diri adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk
membunuh diri sendiri. Pikiran bunuh diri biasanya muncul pada individu
yang mengalami gangguan mood, terutama depresi (Videbeck, 2008).
 Menurut Edwin Shneidman (1953, 1981) dalam Videbeck (2008)
mendefinisikan dua kategori bunuh diri: langsung dan tidak langsung.
Bunuh diri langsung adalah tindakan yang disadari dan disengaja untuk
mengakhiri hidup seperti pengorbanan diri (membakar diri), menggantung
diri, menembak diri sendiri, meracuni diri, melompat dari tempat yang
tinggi, menenggelamkan diri, atau sufokasi. Bunuh diri tidak langsung
adalah keinginan tersembunyi yang tidak disadari untuk mati, yang ditandai
dengan perilaku kronis berisiko seperti penyalahgunaan zat, makan
berlebihan, aktivitas seks bebas, ketidakpatuhan terhadap program medis,
atau olahraga atau pekerjaan yang membahayakan.

2. TANDA dan GEJALA


Pengkajian orang yang bunuh diri juga mencakup apakah orang tersebut tidak
membuat rencana yang spesifik dan apakah tersedia alat untuk melakukan
rencana bunuh diri tersebut adalah: keputusasaan, celaan terhadap diri
sendiri, perasaan gagal dan tidak berguna, alam perasaan depresi, agitasi
dan gelisah, insomnia yang menetap, penurunan BB, berbicara lamban,
keletihan, menarik diri dari lingkungan sosial. Adapun petunjuk psikiatrik
antara lain: upaya bunuh diri sebelumnya, kelainan afektif, alkoholisme dan
penyalahgunaan obat, kelainan tindakan dan depresi mental pada remaja,
demensia dini/status kekacauan mental pada lansia. Sedangkan riwayat
psikososial adalah: baru berpisah, bercerai/kehilangan, hidup sendiri, tidak
bekerja, perubahan/kehilangan pekerjaan baru dialami, faktor-faktor
kepribadian: implisit, agresif, rasa bermusuhan, kegiatan kognitif dan negatif,
keputusasaan, HDR, batasan/gangguan kepribadian antisosial (UNIMUS,
2013).

3. FAKTOR PREDISPOSISI
Menurut Stuart GW & Laraia (2005) dalam UNIMUS (2013), faktor
predisposisi bunuh diri antara lain:
 Diagnostik >90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh
diri, mempunyai hubungan dengan penyakit jiwa. Tiga gangguan jiwa yang
dapat membuat individu berisiko untuk bunuh diri yaitu gangguan afektif,
penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
 Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya risiko bunuh
diri adalah rasa bermusuhan, impulsif, dan depresi.
 Lingkungan psikososial
Seseorang yang baru mengalami kehilangan, perpisahan/perceraian,
kehilangan yang dini dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor
penting yang berhubungan dengan bunuh diri.
 Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor
risiko penting untuk perilaku destruktif.
 Faktor biokimia
Data menunjukkan bahwa secara serotogenik, apatengik, dan
depominersik menjadi media proses yang dapat menimbulkan perilaku
destruktif diri.

4. FAKTOR PRESIPITASI
Menurut UNIMUS (2013) faktor pencetus seseorang melakukan bunuh diri
adalah:
 Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan
interpersonal/gagal melakukan hubungan yang berarti.
 Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stress.
 Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada
diri sendiri.
 Cara untuk mengakhiri keputusan.

5. MEKANISME KOPING
Seorang klien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme koping
yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk denial,
rasionalization, dan magical thinking. Mekanisme pertahanan diri yang ada
seharusnya tidak ditentang tanpa memberikan koping alternatif.
Perilaku bunuh diri menunjukkan kegagalan mekanisme koping. Ancaman
bunuh diri mungkin menunjukkan upaya terakhir untuk mendapatkan
pertolongan agar dapat mengatasi masalah. Bunuh diri yang terjadi
merupakan kegagalan koping dan mekanisme adaptif pada diri seseorang
(Direja, 2011).

6. POHON MASALAH

Effect Bunuh Diri

Core Problem Risiko Bunuh Diri

Causa Isolasi Sosial

HDR Kronis

7. MASALAH KEPERAWATAN yang MUNGKIN MUNCUL


 Risiko bunuh diri
 Bunuh diri
 Isolasi sosial
 Harga diri rendah kronis (Direja, 2011).
8. DATA yang PERLU DIKAJI
Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji
Risiko bunuh diri Subjektif:
 Mengungkapkan keinginan bunuh diri
 Mengungkapkan keinginan untuk mati
 Mengungkapkan rasa bersalah dan
keputusasaan
 Ada riwayat berulang percobaan bunuh diri
sebelumnya dari keluarga
 Berbicara tentang kematian, menanyakan
tentang dosis obat yang mematikan
 Mengungkapkan adanya konflik interpersonal
 Mengungkapkan telah menjadi korban perilaku
kekerasan saat kecil
Objektif:
 Impulsif
 Menunjukkan perilaku yang mencurigakan
(biasanya menjadi sangat patuh)
 Ada riwayat penyakit mental (depresi psikosis,
dan penyalahgunaan alkohol)
 Ada riwayat penyakit fisik (penyakit kronis atau
penyakit terminal)
 Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan
pekerjaan, atau kegagalan dalam karier)
 Status perkawinan yang tidak harmonis

9. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Risiko Bunuh Diri

10. ASKEP
Tgl/ No Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk
Dx Pasien keluarga

SP 1 SP 1

1. Identifikasi benda-benda yang 1. Jelaskan masalah yang


dapat membahayakan pasien dirasakan keluarga dalam
2. Amankan benda-benda yang merawat pasien
dapat membahayakan pasien 2. Jelaskan pengertian, tanda
3. Lakukan kontrak treatment dan gejala risiko bunuh diri
4. Ajarkan cara mengendalikan dan jenis perilaku bunuh diri
dorongan bunuh diri yang dialami pasien, serta
5. Latih cara mengendalikan proses terjadinya
dorongan bunuh diri 3. Jelaskan cara merawat
pasien dengan risiko bunuh
diri
SP 2 SP 2

1. Identifikasi aspek positif 1. Latih keluarga


pasien mempraktekkan cara
2. Dorong pasien untuk berpikit merawat pasien dengan
positif terhadap diri risiko bunuh diri
3. Dorong pasien untuk 2. Latih keluarga melakukan
menghargai diri sebagai cara merawat langsung
individu yang berharga pasien risiko bunuh diri
SP 3 SP 3

1. Identifikasi pola koping yang 1. Bantu keluarga membuat


biasa diterapkan pasien jadwal aktivitas di rumah
2. Nilai pola koping yang biasa termasuk minum obat
digunakan (dischange planning)
3. Identifikasi pola koping yang 2. Jelaskan follow up pasien
konstruktif setelah pulang
4. Dorong pasien memilih pola
koping yang konstruktif
5. Anjurkan pasien menerapkan
pola koping konstruktif dalam
kegiatan harian
SP 4

1. Buat rencana masa depan


yang realistis bersama pasien
2. Identifikasi cara mencapai
rencana masa depan yang
realistis
3. Beri dorongan pasien
melakukan kegiatan dalam
rangka meraih masa depan
yang realistis
DAFTAR PUSTAKA

Azis R, dkk. Pedoman asuhan keperawatan jiwa. Semarang : RSJD Dr. Amino
Gondoutomo. 2003
Boyd MA, Hihart MA. Psychiatric nursing : contemporary practice. Philadelphia :
Lipincott-Raven Publisher. 1998
Carpenito, Lynda Juall. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10. EGC :
Jakarta
Directorat Kesehatan Jiwa, Dit. Jen Yan. Kes. Dep. Kes R.I. Keperawatan Jiwa.
2000. “ Teori dan Tindakan Keperawatan Jiwa “. Jakarta
Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar Dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
Dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) Untuk 7
Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat Bagi Program S1 Keperawatan.
Jakarta. Salemba Medika.
Gondohutomo, Amino. 2008. Defisit perawatan diri. http://rs-
amino.jatengprov.go.id/index.php/home-rsj/1-latest-news/1-defisit-
perawatan-diri. Diakses tanggal 8 Oktober 2010 pukul 16.44 WIB
Herdman, T.Heater, Phd, RN. 2012. NANDA International NURSING
DIAGNOSIS: DEFINITIONS & CLASSIFICATION 2012-2014. United
Kingdom: WILEY-BLACKWELL.
Stuart. G.W and Laraia. Principle and practice of psychiatric nursing.7thed. St
Louis Mosby Year Book. 2001
Tim Direktorat Keswa. Standar asuhan keperawatan kesehatan jiwa. Edisi 1.
Bandung : RSJP Bandung. 2000
Townsed, Mary C. Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan
Psikiatri:pedoman untuk pembuatan rencana keperawatan. Edisi ketiga.
Alih Bahasa: Novi Helera C.D. Jakarta. EGC. Jakarta1998.
Videbeck SL. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Videbeck, Sheila L. 2088. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Yosep,Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung : PT Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai