1. DEFINISI
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar
suara padahal tidak ada orang yang berbicara.
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana pasien
mengalami perubahan sensori persepsi: merasakan sensori palsu berupa
suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghiduan.
Halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulus yang
nyata, artinya klien menginterpretasikan sesuatu yang nyata tanpa
stimulus/rangsangan dari luar.
Menurut Maramis (1990) dalam Sunaryo (2004) halusinasi adalah
pencerapan (persepsi) tanpa adanya rangsang apa pun pada panca indra
seseorang, yang terjadi pada keadaan sadar/bangun dasarnya mungkin
organik, fungsional, psikotik ataupun histerik.
2. KLASIFIKASI HALUSINASI
Stuart dan Laria, 1998 mengklasifikasikannya seperti tabel berikut :
Jenis Prosentase Karakteristik
Halusinasi
Pendengaran 70% Mendengar suara- suara atau
(Auditorik) kebisingan, paling sering suara orang.
Suara berbetuk kebisingan yang
kurang jelas sampai kata- kata yang
jelas berbicara tentang klien bahkan
sampai ke percakapan lengkap antara
2 orang atau lebih tentang orang yang
mengalami halusinasi.
3. RENTANG RESPON
Clopromazine (CPZ)
Indikasinya untuk sindrom psikosis yaitu berdaya berat dalam
kemampuan menilai realita, kesadaran diri terganggu, daya
ingat normal, sosial dan titik terganggu berdaya berat dalam fungsi
kehidupan sehari-hari, tidak mampu bekerja, hubungan sosial
dan melakukan kegiatan rutin.
Mekanisme kerjanya adalah memblokade dopamine pada
reseptor sinap diotak khususnya system ekstra pyramida.
Efek sampingnya adalah gangguan otonomi, mulut kering,
kesulitan dalam miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur,
tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama jantung.
Kontra indikasinya penyakit hati, kelainan jantung, febris,
ketergantungan obat, penyakit sistem syaraf pusat, gangguan
kesadaran.
Thrihexyfenidil (THP)
Indikasinya adalah segala penyakit parkinson, termasuk pasca
ensefalitis dan idiopatik, sindrom parkinson akibat obat
misalnya reserfina dan senoliazyne.
Mekanisme kerja : sinergis dan kinidine, obat anti depresan trisiclin
dan anti kolinergik lainnya.
Efek samping : mulut kering, pandangan kabur, pusing, mual,
muntah, bingung, konstipasi, takikardi dilatasi, ginjeksial letensi
urin.
Kontra indikasi : hipersensitif terhadap trihexyphenidil, glukoma
sudut sempit, psikosis berat, psikoneurosis, hipertropi prostase
dan obstruksi saluran cerna.
Halloperidol (HLP)
Indikasinya : berbahaya berat dalam kemampuan menilai
realita dalam fungsi netral serta dalam fungsi kehidupan
sehari-hari.
Mekanisme kerja : obat anti psikosis dalam memblokade
dopamine pada reseptor pasca sinoptik neuron di otak,
khususnya system limbic dan system ekstra pyramidal
Efek samping : sedasi dan inhabisi psimotor gangguan
otonomik yaitu mulut kering, kesulitan dalam miksi dan
defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler
meninggi, gangguan irama jantung.
Kontra indikasi : penyakit hati, epilepsy, kelainan jantung,
febris, ketergantungan obat, penyakit system saraf pusat,
gangguan
9. PROSES KEPERAWATAN
a. Faktor predisposisi
1). Genetika
2). Neurobiologi
3). Neurotransmitter
4). Abnormal perkembangan syaraf
5). Psikologis
b. Faktor presipitasi
1). Proses pengolahan informasi yang berlebihan
2). Mekanisme penghantaran listrik yang abnormal
3). Adanya gejala pemicu
c. Mekanisme koping
1). Regresi
2). Proyeksi
3). Menarik diri
d. Perilaku halusinasi
1). Isi Halusinasi
2). Waktu terjadinya
3). Frekuensi
4). Situasi pencetus
5). Respon klien saat halusinasi
10. Gangguan Persepsori Sensori Halusinasi
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Pasien mampu: Setelah ... x SP 1
Mengenali pertemuan, pasien Bantu pasien mengenal isi
halusinasi dapat menyebutkan: halusinasi (isi, waktu, terjadinya,
yang Isi, waktu, frekuensi, frekuensi, situasi pencetus,
dialaminya situasi, pencetus, perasaan saat terjadi halusinasi).
Mengontrol perasaan. Latih mengontrol halusinasi
halusinasiny Mampu dengan cara menghardik
a memperagakan cara Tahapan tindakannya meliputi
Mengikuti dalam mengontrol Jelaskan cara menghardik
program halusinasi halusinasi.
pengobatan Peragakan cara menghardik.
Minta pasien memperagakan
ulang.
Pantau penerapan cara ini, beri
penguatan perilaku pada pasien
Masukkan dalam jadwal kegiatan
pasien.
Setelah ... x SP 2
pertemuan, pasien Evaluasi kegiatan yang lalu (SP
mampu: 1)
Menyebutkan Latih berbicara/bercakap dengan
kegiatan yang orang lain saat halusinasi
sudah dilakukan. muncul.
Memperagakan cara Masukkan dalam jadwal kegiatan
bercakap-cakap pasien.
dengan orang lain.
Setelah ... x SP 3
pertemuan pasien Evaluasi kegiatan yang lalu (SP
mampu: 1 dan 2).
Menyebutkan Latih kegiatan agar halusinasi
kegiatan yang tidak muncul.
sudah dilakukan. Tahapannya :
Membuat jadwal Jelaskan pentingnya aktivitas
kegiatan sehari-hari yang teratur untuk mengatasi
dan mampu halusinasi.
memperagakannya. Diskusikan aktivitas yang biasa
dilakukan oleh pasien.
Latih pasien melakukan aktivitas.
Susun jadwal aktivitas sehari-
hari sesuai dengan aktivitas yang
telah dilatih (dari bangun pagi
sampai tidur malam).
Pantau pelaksanaan jadwal
kegiatan, berikan penguatan
terhadap perilaku yang (+)
Setelah ... x SP 4
pertemuan, pasien Evaluasi kegiatan yang lalu (SP
mampu: 1, 2, & 3).
Menyebutkan Tanyakan program pengobatan.
kegiatan yang Jelaskan pentingnya
sudah dilakukan. penggunaan obat pada
Menyebutkan gangguan jiwa.
manfaat dari Jelaskan akibat bila tidak
program digunakan sesuai program.
pengobatan. Jelaskan akibat bila putus obat.
Jelaskan cara mendapatkan
obat/berobat.
Jelaskan pengobatan (5B)
Latih pasien minum obat
Masukkan dalam jadwal harian
pasien.
Keluarga Setelah ... x SP 1
mampu: pertemuan, keluarga Identifikasi masalah keluarga
Merawat pasien mampu menjelaskan dalam merawat pasien.
di rumah dan tentang halusinasi Jelaskan tentang halusinasi
menjadi sistem Pengertian halusinasi
pendukung Jenis halusinasi yang
yang efektif dialami pasien
untuk pasien. Tanda dan gejala halusinasi
Cara merawat pasien
halusinasi (cara
berkomunikasi, pemberian
obat, dan pemberian
aktivitas kepada pasien).
Sumber-sumber pelayanan
kesehatan yang bisa
dijangkau.
Bermain peran cara
merawat.
RTL keluarga, jadwal
keluarga untuk merawat
pasien.
Setelah ... x SP 2
pertemuan, keluarga Evaluasi kemampuan keluarga
mampu: (SP 1).
Menyelesaikan Latih keluarga merawat pasien.
kegiatan yang RTL keluarga, jadwal keluarga
sudah dilakukan. untuk merawat pasien.
Memperagakan cara
merawat pasien
Setelah ... x SP 3
pertemuan keluarga Evaluasi kemampuan keluarga
mampu: (SP 2).
Menyebutkan Latih keluarga merawat pasien.
kegiatan yang RTL keluarga/jadwal keluarga
sudah dilakukan. untuk merawat pasien.
Memperagakan cara
merawat pasien
serta mampu
membuat RTL.
Setelah ... x SP 4
pertemuan keluarga Evaluasi kemampuan keluarga.
mampu: Evaluasi kemampuan pasien.
Menyebutkan RTL keluarga
kegiatan yang Follow up
sudah dilakukan. Rujukan
Melaksanakan
follow-up rujukan
WAHAM
1. DEFINISI
Waham adalah keyakinan terhadap sesuatu yang salah dan secara kukuh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan
dengan realita normal (Stuart dan Sundeen, 1998).
Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi
dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain.
Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan kontrol
(DEPKES RI, 2000).
Waham adalah suatu keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian
realitas yang salah, keyakinan yang tidak konsisten dengan tingkat
intelektual dan latar belakang budaya, ketidakmampuan merespons
stimulus internal dan eksternal melalui proses interaksi atau informasi
secara akurat (Keliat, 1999).
2. RENTANG RESPON
4. FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal
seseorang. Hal ini dapat meningkatkan stress dan ansietas yang berakhir
dengan gangguan persepsi, klien menekan perasaannya sehingga
pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif.
Faktor sosial budaya
Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan
timbulnya waham.
Faktor psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda/bertentangan, dapat
menimbulkan ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap
kenyataan.
Faktor biologis
Waham diyakini terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran ventrikel di
otak, atau perubahan pada sel kortikal dan limbik.
Faktor genetik (Direja, 2011)
5. FAKTOR PRESIPITASI
Faktor sosial budaya
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang berarti
atau diasingkan dari kelompok.
Faktor biokimia
Dopamin, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya diduga dapat menjadi
penyebab waham pada seseorang.
Faktor psikologis
Kecemasan yang memandang dan terbatasnya kemampuan untuk
mengatasi masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk
menghindari kenyataan yang menyenangkan (Direja, 2011).
6. JENIS WAHAM
Waham kebesaran
Keyakinan secara berlebihan bahwa dirinya memiliki kekuatan khusus atau
kelebihan yang berbeda dengan orang lain, diucapkan berulang-ulang
tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
“saya ini pejabat di kementrian kesehatan!”
“saya punya perusahaan paling besar di dunia lho...”
Waham agama
Keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, diucapkan berulang-
ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
“kalau saya mau masuk syurga, saya harus memakai pakaian serba putih
dan mengalungkan tasbih setiap hari”.
“saya adalah Tuhan yang bisa mengendalikan makhluk”.
Waham curiga
Keyakinan seseorang atau sekelompok orang berusaha merugikan atau
mencederai dirinya, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan.
Contoh: “saya tahu... semua keluarga saya ingin menghancurkan hidup
saya karena mereka semua iri dengan kesuksesan yang dialami saya”.
Waham somatik
Keyakinan seseorang bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu aau
terserang penyakit, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan.
Contoh:
“saya menderita kanker” (padahal hasil pemeriksaan lab tidak ada sel
kanker pada tubuhnya).
Waham nihilistik
Keyakinan seseorang bahwa dirinya sudah meninggal dunia, diucapkan
berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Contoh:
“ini alam kubur kan ya, semua yang ada disini adalah roh”.
7. STATUS MENTAL
Berdandan dengan baik dan berpakaian rapi, tetapi mungkin terlihat
eksentrik dan aneh. Tidak jarang bersikap curiga atau bermusuhan terhadap
orang lain. Klien biasanya cerdik ketika dilakukan pemeriksaan sehingga
dapat memanipulasi data. Selain itu perasaan hatinya konsisten dengan isi
waham.
1. DEFINISI
Menurut DEPKES RI (2000) dalam Direja (2011), kerusakan interaksi
sosial merupakan suatu gangguan interpersonal yang terjadi akibat adanya
kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku maladaptif dan
mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial.
Menurut Balitbang (2007) dalam Direja (2011), merupakan upaya
menghindari suatu hubungan komunikasi dengan orang lain karena merasa
kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk
berbagi rasa, pikiran dan kegagalan. Klien mengalami kesulitan dalam
berhubungan secara spontan dengan orang lain yang dimanifestasikan
dengan mengisolasi diri, tidak ada perhatian, dan tidak sanggup berbagi
pengalaman.
Menurut Stuart dan Sundeen (1998) dalam Direja (2011), kerusakan
interaksi sosial adalah suatu gangguan kepribadian yang tidak fleksibel,
tingkah maladaptif, dan mengganggu fungsi individu dalam hubungan
sosialnya.
Menurut Towsend (1998) dalam Direja (2011), kerusakan interaksi sosial
adalah suatu keadaan dimana seseorang berpartisipasi dalam pertukaran
sosial dengan kuantitas dan kualitas yang tidak efektif. Klien yang
mengalami kerusakan interaksi sosial mengalami kesulitan dalam
berinteraksi dengan orang lain salah satunya mengarah pada penarikan
diri.
Kesimpulan : isolasi sosial adalah suatu keadaan dimana indifidu tidak mau
mengadakan interaksi terhadap komunitas disekitarnya, atau sengaja
menghindari untuk berinteraksi yang dikarnakan orang lain atau keadaan
disekitar diangap mengancam bagi indifidu tersebut.
2. ETIOLOGI
Terjadinya gangguan ini dipengaruhi oleh faktor predisposisi di antaranya
perkembangan dan sosial budaya. Kegagalan dapat mengakibatkan individu
tidak percaya pada diri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut salah,
pesimis, putus asa terhadap orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan,
dan merasa tertekan. Keadaan ini dapat menimbulkan perilaku tidak ingin
berkomunikasi dengan orang lain, lebih menyukai berdiam diri, menghindar
dari orang lain, dan kegiatan sehari-hari terabaikan (Direja, 2011).
3. FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor tumbuh kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan
yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial.
Bila tugas-tugas dalam perkembangan ini tidak terpenuhi maka akan
menghambat fase perkembangan sosial yang nantinya akan dapat
menimbulkan masalah.
Tahapan Perkembangan Tugas
Masa bayi Menetapkan rasa percaya diri
Masa bermain Mengembangkan otonomi dan awal perilaku
mandiri
Masa pra sekolah Belajar menunjukkan inisiatif, rasa tanggung
jawab, dan hati nurani
Masa sekolah Belajar berkompetisi, bekerja sama, dan
berkompromi
Masa pra remaja Menjalin hubungan intim dengan teman sesama
jenis kelamin
Masa remaja Menjadi intim dengan teman lawan jenis atau
bergantung
Masa dewasa muda Menjadi saling bergantung antara orang tua dan
teman, mencari pasangan, menikah, dan
mempunyai anak
Masa dewasa baya Belajar menerima hasil hubungan yang sudah
dilalui
Masa dewasa tua Berduka karena kehilangan dan
mengembangkan perasaan keterikatan dengan
budaya
4. FAKTOR PRESIPITASI
Menurut Direja (2011) terjadinya gangguan hubungan sosial juga dapat
ditimbulkan oleh faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor stressor
presipitasi dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Faktor eksternal
Contohnya adalah stressor sosial budaya, yaitu stress yang ditimbulkan
oleh faktor sosial budaya seperti keluarga.
Faktor internal
Contohnya adalah stressor psikologis, yaitu stress terjadi akibat ansietas
atau kecemasan yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan individu untuk mengatasinya. Ansietas ini dapat
terjadi akibat tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau tidak
terpenuhinya kebutuhan individu.
6. RENTANG RESPON
Adaptif Maladaptif
Berikut ini akan dijelaskan tentang respon yang terjadi pada isolasi sosial:
Respon adaptif
Respon adaptif adalah respons yang masih dapat diterima oleh norma-norma
sosial dan kebudayaan secara umum yang berlaku. Dengan kata lain individu
tersebut masih dalam batas normal ketika menyelesaikan masalah. Berikut ini
adalah sikap yang termasuk respons adaptif.
a. Menyendiri, respons yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa
yang telah terjadi di lingkungan sosial.
b. Otonomi, kemampuan
Respon maladaptif
Respon maladaptif adalah respons yang menyimpang dari norma sosial dan
kehidupan di suatu tempat. Berikut ini adalah perilaku yang termasuk respons
maladaptif.
a. Menarik diri, seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina
hubungan secara terbuka dengan orang lain.
b. Ketergantungan, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri
sehingga tergantung dengan orang lain.
c. Manipulasi, seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek individu
sehingga tidak dapat membina hubungan sosial secara mendalam.
d. Curiga, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap orang
lain.
7. MEKANISME KOPING
Mekanisme koping digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan
yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya.Mekanisme
koping yang sering digunakan pada menarik diri adalah proyeksi dan represi :
a. Proyeksi adalah keinginan yang tidak dapat ditoleransi ,mencurahkan
emosi kepada oranglain. Karena kesalahan yang dilakukan sendiri.
b. Regresi adalah menghindari setres,kecemasan dengan menampilkan
prilaku kembali seperti pada perkembangan anak
c. Represi adalah menekan perasaan atau pengalaman yang menyakitkan
atau komflik atau ingatan dari kesadaran yang cendrung memperkuat
mekanisme ego lainya.
8. POHON MASALAH
Resiko tinggi mencederai diri, orang
lain, dan lingkungan
1. DEFINISI
Menurut Kusumawati dan Hartono (2010) dalam Direja (2011) perilaku
kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya maupun orang
lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol.
Menurut Stuart dan Sundeen (1995) dalam Direja (2011) perilaku
kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,
orang lain maupun lingkungan.
3. RENTANG RESPON
Keterangan:
Asertif
Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan
memberikan ketenangan.
Frustasi
Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat
menemukan alternatif.
Pasif
Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya.
Agresif
Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut tetapi
masih terkontrol.
Kekerasan
Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya kontrol
(Direja, 2011).
PASIF ASERTIF AGRESIF
ISI negatif dan positif dan menyombongkan
PEMBICARAAN merendahkan diri, menawarkan diri, diri, merendahkan
contohnya contohnya orang lain,
perkataan: perkataan: contohnya
“dapatkah saya?” “saya dapat ...” perkataan:
“dapatkah kamu?” “saya akan...” “kamu selalu..”
“kamu tidak
pernah..”
TEKANAN cepat lambat, sedang keras dan ngotot
SUARA mengeluh
POSISI BADAN menundukkan tegap dan santai kaku, condong ke
kepala depan
JARAK menjaga jarak mempertahankan siap dengan jarak
dengan sikap jarak yang akan menyerang
acuh/mengabaikan nyaman orang lain
PENAMPILAN loyo, tidak dapat sikap tenang mengancam,
tenang posisi menyerang
KONTAK MATA sedikit/sama sekali mempertahankan mata melotot dan
tidak kontak mata dipertahankan
sesuai dengan
hubungan
4. FAKTOR PREDISPOSISI
a. Faktor psikologis
Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan
mengalami hambatan akan timbul dorongan agresif yang memotivasi
perilaku kekerasan.
Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu dan masa kecil
yang tidak menyenangkan.
Rasa frustasi.
Adanya kekerasan dalam rumah tangga, keluarga atau lingkungan.
Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya
ego dan membuat konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat
memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri
serta memberikan arti dalam kehidupannya. Teori lainnya berasumsi
bahwa perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya dan rendahnya
harga diri pelaku tindak kekerasan.
Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang
dipeljari, individu yang memiliki pengaruh biologik terhadap perilaku
kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh peran
eksternal dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi biologik.
b. Faktor sosial budaya
Seseorang akan berespons terhadap peningkatan emosionalnya secara
agresif sesuai dengan respons yang dipelajarinya. Sesuai dengan teori
menurut Bandura bahwa agresif tidak berbeda dengan respons-respons
yang lain. Faktor ini dapat dipelajari emlalui observasi atau imitasi, dan
semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin besar
kemungkinan terjadi. budaya juga dapat mempengaruhi perilaku
kekerasan. Adanya norma dapat emmbantu mendefinisikan ekspresi
marah yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima.
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku
kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat
merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.
c. Faktor biologis
Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya pemberian stimulus
elektris ringan pada hipotalamus (sistem limbik) ternyata menimbulkan
perilaku agresif, dimana jika terjadi kerusakan fungsi limbik (untuk emosi
dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional), dan lobus temporal
(untuk interpretasi indera penciuman dan memori) akan menimbulkan mata
terbuka lebar, pupil berdilatasi, dan hendak menyerang objek yang ada
disekitarnya.
Selain itu berdasarkan teori biologic, ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai
berikut:
Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen sistem neurologis
mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls
agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku bermusuhan dan respons agresif.
Pengaruh biokimia/menurut Goldstein dalam Townsend (1996)
menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin,
dopamin, asetilkolin, dan serotonin) sangat berperan dalam
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Peningkatan hormon
androgen dan norepinefrin serta penurunan serotonin dan GABA (6 dan
7) pada cairan serebrospinal merupakan faktor predisposisi penting
yang menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada seseorang.
Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat
kaitannya dengan geentik termasuk genetiktipe kariotipe XYY, yang
umumnya dimiliki oleh penghuni penjara tindak kriminal (narapidana).
Gangguan otak, sindrom otak organikberhubungan dengan gangguan
serebral, tumor otak (khususnya pada limbik dan lobus temporal),
trauma otak, penyakit ensefalitis, epilepsi (epilepsi lobus temporal)
terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kriminal
(Direja, 2011).
5. FAKTOR PRESIPITASI
Menurut Direja (2011) secara umum seseorang akan marah jika dirinya
merasa terancam, baik berupa injuri secara fisik, psikis, atau ancaman konsep
diri. Beberapa faktor pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
Klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan
yang penuh dengan agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
Interaksi: penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti, konflik,
merasa terancam baik internal dari permasalahan diri klien sendiri
maupun eksternal dari lingkungan.
Lingkungan: panas, padat, dan bising.
Menurut Shives (1998) dalam Fitria (2009), hal-hal yang dapat
menimbulkan perilaku kekerasan atau penganiayaan antara lain sebagai
berikut:
Kesulitan kondisi sosial ekonomi.
Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu.
Ketidakpastian seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuannya dalam menempatkan diri sebagai orang yang
dewasa.
Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti penyalahgunaan
obat dan alkohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat
menghadapi rasa frustasi.
Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.
6. MEKANISME KOPING
Menurut Direja (2011) perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping
klien, sehingga dapat membantu klien untuk mengembangkan mekanisme
koping yang konstruktif dalam mengekspresikan kemarahannya. Mekanisme
koping yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti
diplacement, sublimasi, proyeksi, represif, denial, dan reaksi formasi.
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain:
Menyerang atau menghindar
Pada keadaan ini respons fisiologis timbul karena kegiatan sistem syaraf
otonom bereaksi terhadap sekresi epinefrin yang menyebabkan tekanan
darah meningkat, takikardi, wajah merah, pupil melebar, mual, sekresi
HCL meningkat, peristaltik gaster menurun, pengeluaran urin dan saliva
meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga meningkat, tangan mengepal,
tubuh menjadi kaku, dan disertai reflek meningkat.
Menyatakan secara asertif
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan
kemarahannya yaitu perilaku pasif, agresif, dan asertif.
Perilaku asertif adalah cara yang terbaik, individu dapat
mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara fisik
maupun psikologis dan dengan perilaku tersebut individu juga dapat
mengembangkan diri.
Memberontak
Perilaku yang muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik perilaku
untuk menarik perhatian orang lain.
Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang
lain maupun lingkungan.
7. POHON MASALAH
↑
Perilaku kekerasan GPS: Halusinasi
↑ ↑
Regimen terapeutik Harga diri rendah kronis Isolasi sosial : menarik
inefektif diri
↑ ↑
Koping keluarga tidak Berduka disfungsional
efektif
8. MASALAH KEPERAWATAN
a. Perilaku kekerasan
b. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
c. Perubahan persepsi sensori : halusinasi
d. Harga diri rendah kronis
e. Isolasi sosial
f. Berduka disfungsional
g. Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif
h. Koping keluarga inefektif
1. DEFINISI
Menurut Keliat (2005) : Harga diri merupakan salah satu komponen dari
konsep diri. Dimana, konsep diri adalah semua pikiran, kepercayaan dan
keyakinan yang diketahui tentang dirinya dan mempengaruhi individu
dalam berhubungan dengan orang lain. Sedangkan harga diri adalah
penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa
jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dan harga diri rendah adalah
menolak dirinya sebagai sesuatu yang berharga dan tidak
bertanggungjawab atas kehidupannya sendiri. Jika individu sering gagal
maka cenderung harga diri rendah. Harga diri rendah jika kehilangan kasih
sayang dan penghargaan orang lain. Harga diri diperoleh dari diri sendiri
dan orang lain, aspek utama adalah diterima dan menerima penghargaan
dari orang lain.
Menurut Towsend (1998) dalam Direja (2011) harga diri rendah adalah
evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negatif
dan dapat secara langsung atau tidak langsung diekspresikan.
5. FAKTOR PREDISPOSISI
Menurut Direja (2011) faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah
kronis adalah penolakan orang tua yang tidak realistis, kegagalan berulang
kali, kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada
orang lain, ideal diri yang tidak realistis.
6. FAKTOR PRESIPITASI
Menurut Direja (2011) faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah kronis
adalah hilangnya sebagian anggota tubuh, berubahnya penampilan atau
bentuk tubuh, mengalami kegagalan, serta menurunnya produktivitas.
Gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis ini dapat terjadi secara
situasional maupun kronik.
9. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Harga diri rendah kronis
SP 1 SP 1
1. DEFINISI
Menurut DEPKES (2000) dalam Direja (2011) perawatan diri adalah salah
satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna
mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan sesuai
dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperawatan
dirinya jika tidak dapat melakukan perawatn diri.
Menurut Nurjannah (2004) dalam Direja (2011) defisit perawatan diri
adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri
(mandi, berhias, makan, toileting).
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2000) dalam Direja (2011) kurang
perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan
perawatan kebersihan untuk dirinya.
Defisit perawatan diri juga dapat diartikan sebagai keadaan ketika individu
mengalami suatu kerusakan fungsi kognitif atau fungsi motorik, yang
menyebabkan penurunan kemampuan untu melakukan perawatan diri
(NANDA, 2009)
2. TANDA GEJALA
Menurut Depkes (2000) dalam Fitria, 2009 tanda dan gejala klien dengan
defisit perawatan diri adalah:
1. Fisik
Badan bau, pakaian kotor.
Rambut dan kulit kotor.
Kuku panjang dan kotor
Gigi kotor disertai mulut bau penampilan tidak rapi
2. Psikologis
Malas, tidak ada inisiatif.
Menarik diri, isolasi diri.
Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
3. Sosial
Interaksi kurang.
Kegiatan kurang
Tidak mampu berperilaku sesuai norma.
Cara makan tidak teratur BAK dan BAB di sembarang tempat, gosok
gigi dan mandi tidak mampu mandiri.
3. FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah
sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress (Stuart
& Sundeen, 1998).
Faktor Biologis : Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu
melakukan perawatandiri seperti stroke.
Faktor Psikologis : Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien
sehingga perkembangan inisiatif terganggu. Pada individu yang
mengalami kelemahan untuk melakukan perawatan diri sering kali
keluarga membiarkan individu tersebut untuk tergantung dengan orang
lain saat memenuhi perawatn dirinya sehingga individu tersebut terbiasa
dengan kondisi tersebut.
Faktor Sosiobudaya : Kurang dukungan dan latihan kemampuan
perawatandiri lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan
kemampuan dalam perawatandiri.
4. FAKTOR PRESIPITASI
Faktor presipitasi adalah stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai
tantangan, ancaman, atau tuntutan dan yang memerlukan energi ekstra untuk
koping (Stuart & Sundeen, 1998).
Sifat
Sifatnya berupaaspek psikologis dan sosial. Dari aspek psikologis
kemungkinan diakibatkan karena seseorang yang menderita penyakit
kronis ataupun gangguan kejiwaan lain sehingga secara psikologis
mereka mengalami penurunan motivasi dan kecemasan. Dari aspek
sosial ini berasal dari keluarga atau lingkungan sekitar. Dari aspek
biologis berupa kerusakan kognisi atau perceptual dan kelemahan.
Waktu
Yang perlu dikaji adalah lamanya klien tidak mampu melakukan
perawatan diri. Biasanya hal ini terjadi jika seseorang telah lama
menderita penyakit kronis.
Asal
Sumber penyebab deficit perawatan diri bisa berasal dari faktor internal
seperti keluarga yang memanjakan atau justru malah membiarkan dalam
hal perawatan diri.
Jumlah
Pengkajian mengenai kuantitas atau seberapa besar defisit perawatan diri
yang dialami dalam satu periode
6. POHON MASALAH
HDR Kronis
Causa
SP 1 SP 1
1. DEFINISI
Menurut Fitria (2009) dalam Direja (2011) bunuh diri adalah suatu keadaan
dimana individu mengalami risiko untuk menyakiti diri sendiri atau
melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa.
Menurut Stuart dan Sundeen (1995) dalam Direja (2011) perilaku desruktif
diri yang mencakup setiap bentuk aktifitas bunuh diri, niatnya adalah
kematian dan individu menyadari hal ini sebagai suatu yang diinginkan.
Bunuh diri adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk
membunuh diri sendiri. Pikiran bunuh diri biasanya muncul pada individu
yang mengalami gangguan mood, terutama depresi (Videbeck, 2008).
Menurut Edwin Shneidman (1953, 1981) dalam Videbeck (2008)
mendefinisikan dua kategori bunuh diri: langsung dan tidak langsung.
Bunuh diri langsung adalah tindakan yang disadari dan disengaja untuk
mengakhiri hidup seperti pengorbanan diri (membakar diri), menggantung
diri, menembak diri sendiri, meracuni diri, melompat dari tempat yang
tinggi, menenggelamkan diri, atau sufokasi. Bunuh diri tidak langsung
adalah keinginan tersembunyi yang tidak disadari untuk mati, yang ditandai
dengan perilaku kronis berisiko seperti penyalahgunaan zat, makan
berlebihan, aktivitas seks bebas, ketidakpatuhan terhadap program medis,
atau olahraga atau pekerjaan yang membahayakan.
3. FAKTOR PREDISPOSISI
Menurut Stuart GW & Laraia (2005) dalam UNIMUS (2013), faktor
predisposisi bunuh diri antara lain:
Diagnostik >90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh
diri, mempunyai hubungan dengan penyakit jiwa. Tiga gangguan jiwa yang
dapat membuat individu berisiko untuk bunuh diri yaitu gangguan afektif,
penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya risiko bunuh
diri adalah rasa bermusuhan, impulsif, dan depresi.
Lingkungan psikososial
Seseorang yang baru mengalami kehilangan, perpisahan/perceraian,
kehilangan yang dini dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor
penting yang berhubungan dengan bunuh diri.
Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor
risiko penting untuk perilaku destruktif.
Faktor biokimia
Data menunjukkan bahwa secara serotogenik, apatengik, dan
depominersik menjadi media proses yang dapat menimbulkan perilaku
destruktif diri.
4. FAKTOR PRESIPITASI
Menurut UNIMUS (2013) faktor pencetus seseorang melakukan bunuh diri
adalah:
Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan
interpersonal/gagal melakukan hubungan yang berarti.
Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stress.
Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada
diri sendiri.
Cara untuk mengakhiri keputusan.
5. MEKANISME KOPING
Seorang klien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme koping
yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk denial,
rasionalization, dan magical thinking. Mekanisme pertahanan diri yang ada
seharusnya tidak ditentang tanpa memberikan koping alternatif.
Perilaku bunuh diri menunjukkan kegagalan mekanisme koping. Ancaman
bunuh diri mungkin menunjukkan upaya terakhir untuk mendapatkan
pertolongan agar dapat mengatasi masalah. Bunuh diri yang terjadi
merupakan kegagalan koping dan mekanisme adaptif pada diri seseorang
(Direja, 2011).
6. POHON MASALAH
HDR Kronis
9. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Risiko Bunuh Diri
10. ASKEP
Tgl/ No Tindakan Keperawatan Untuk Tindakan Keperawatan untuk
Dx Pasien keluarga
SP 1 SP 1
Azis R, dkk. Pedoman asuhan keperawatan jiwa. Semarang : RSJD Dr. Amino
Gondoutomo. 2003
Boyd MA, Hihart MA. Psychiatric nursing : contemporary practice. Philadelphia :
Lipincott-Raven Publisher. 1998
Carpenito, Lynda Juall. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10. EGC :
Jakarta
Directorat Kesehatan Jiwa, Dit. Jen Yan. Kes. Dep. Kes R.I. Keperawatan Jiwa.
2000. “ Teori dan Tindakan Keperawatan Jiwa “. Jakarta
Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar Dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
Dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) Untuk 7
Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat Bagi Program S1 Keperawatan.
Jakarta. Salemba Medika.
Gondohutomo, Amino. 2008. Defisit perawatan diri. http://rs-
amino.jatengprov.go.id/index.php/home-rsj/1-latest-news/1-defisit-
perawatan-diri. Diakses tanggal 8 Oktober 2010 pukul 16.44 WIB
Herdman, T.Heater, Phd, RN. 2012. NANDA International NURSING
DIAGNOSIS: DEFINITIONS & CLASSIFICATION 2012-2014. United
Kingdom: WILEY-BLACKWELL.
Stuart. G.W and Laraia. Principle and practice of psychiatric nursing.7thed. St
Louis Mosby Year Book. 2001
Tim Direktorat Keswa. Standar asuhan keperawatan kesehatan jiwa. Edisi 1.
Bandung : RSJP Bandung. 2000
Townsed, Mary C. Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan
Psikiatri:pedoman untuk pembuatan rencana keperawatan. Edisi ketiga.
Alih Bahasa: Novi Helera C.D. Jakarta. EGC. Jakarta1998.
Videbeck SL. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Videbeck, Sheila L. 2088. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Yosep,Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung : PT Refika Aditama.