Anda di halaman 1dari 2

Ekonomi Politik Reforma Agraria Pemerintahan Jokowi

Oleh : Dody Wijaya


Masih terekam jelas bagaimana konsep Nawacita yang menjadi kitab perjalanan politik Jokowi untuk bisa
memenangkan 53,15 persen suara rakyat Indonesia pada Pemilu 2014. Nawacita (sembilan cita) dipaparkan
ke dalam berbagai program prioritas. Pada Cita ke-5 (meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia), satu
diantara programnya adalah program “Indonesia Kerja” melalui “Reformasi Agraria” 9 Juta Ha untuk rakyat
tani dan buruh tani, rumah susun bersubsidi, dan jaminan sosial.
Dalam konteks Reforma Agraria yang diperkenalkan oleh Prof. Gunawan Wiradi sejak tahun 1964, maka
istilah “distribusi” dan “redistribusi” adalah istilah statistik. Distribusi artinya sebaran dan redistribusi adalah
menata ulang sebaran tersebut agar menjadi adil dan bukan sekedar membagi-bagikan tanah. Reforma
Agraria sendiri merupakan implementasi dari mandat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia (TAP MPR RI) Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam dan Keputusan MPR RO Nomor 5/MPR/2003 Tentang Penugasan kepada MPR RI untuk Menyampaikan
Saran atas Laporan Pelaksanaan Keputusan MPR RI oleh Presiden, DPR, BPK, dan MA pada sidang Tahunan
MPR RI tahun 2003.
Reforma Agraria atau secara legal formal disebut juga dengan Pembaruan Agraria adalah proses
restrukturisasi (penataan ulang susunan) kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber
agrarian. Tujuan dari Reforma Agraria itu sendiri adalah untuk mengurangi kemiskinan, menciptakan
lapangan kerja, memperbaiki akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi, mengurangi sengketa dan
konflik pertanahan, dan meningkatkan ketahanan pangan (BPN, 2006).
Ketimpangan Kepemilikan Lahan di Indonesia1

Dalam hal distribusi aset, rasio gini Indonesia lebih besar dibanding rasio gini pendapatan. Selama empat
dekade, rasio gini kepemilikan lahan berfluktuasi pada rentang nilai 0,50-0,72. Nilai tersebut berada dalam
kategori ketimpangan sedang (0,4≤G≤0,5) dan tinggi(G<0,5).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ketimpangan kepemilikan lahan pada 2013 mencapai 0,68.
Artinya hanya 1% rakyat Indonesia menguasai 68% sumber daya lahan. Hal ini membuat pelaksanaan
reformasi agraria semakin mendesak untuk menekan ketimpangan kepemilikan dan penguasaan lahan.
Legalisasi Aset dan Redistribusi Tanah
Berdasarkan data Kantor Staf Presiden, komitmen Pemerintahan Jokowi-JK untuk meningkatkan kehidupan
dan kesejahteraan petani sudah dimandatkan dalam Nawacita. Dinyatakan untuk meningkatkan kualitas
hidup manusia Indonesia, salah satunya adalah dengan mendorong reforma agraria melalui redistribusi dan
program kepemilikan tanah seluas 9 juta hektar. Selain itu juga komitmen untuk menjalankan restrukturisasi
kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria—khususnya tanah.
Dalam tataran operasional, reforma agraria dilaksanakan melalui legalisasi aset tanah bagi masyarakat dan
penataan akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik yang memungkinkan warga
memanfaatkan tanah secara baik.
Legalisasi aset dimaksudkan sebagai proses administrasi pertanahan yang meliputi adjudikasi (pengumpulan
data, data yuridis, pengumuman serta penetapan dan/atau penerbitan surat keputusan pemberian hak atas
tanah), pendaftaran hak atas tanah serta penerbitan sertifikat hak atas tanah. Kegiatan ini diselenggarakan
oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mensertifikasi aset berupa tanah belum bersertifikat milik
(yang telah dimiliki/dikuasai) oleh perorangan anggota masyarakat atau perorangan anggota kelompok
masyarakat tertentu. Berdasarkan Buku Realisasi Kegiatan Legalisasi Aset dan Redristribusi Tanah Tahun
2015-2017 dari BPN, sampai saat ini (Agustus 2017), pemerintah sudah menyerahkan 2.889.993 sertifikat
tanah. Dalam tahun 2018, pemerintah meningkatkan target sertifikat yang akan dibagikan kepada

1
Sumber : https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/01/25/ketimpangan-kepemilikan-lahan-di-indonesia
masyarakat menjadi 7 juta. Pada tahun 2019, target ditingkatkan menjadi 9 juta sertifikat. Sementara
redistribusi tanah obyek reforma agraria bertujuan menciptakan pemerataan penguasaan kepemilikan tanah
terutama petani. Realisasi fisik pensertifikatan redistribusi tanah tahun anggaran 2015 sampai dengan
Agustus 2017 sejumlah 245.097 bidang. Dengan redistribusi tanah ini diharapkan petani mempunyai tanah
yang secara ekonomis apabila dimanfaatkan untuk usaha tani, mampu memberikan dampak bagi
produktifitas tanah. 2
Ekonomi Politik Kepemilikan Lahan
Ada kesenjangan pemahaman terkait dengan reforma agraria yang disebut oleh pemerintah dan kalangan
masyarakat sipil. Pemerintah membagi reforma agraria menjadi dua komponen besar, yaitu redistribusi
tanah seluas 4,5 juta ha dan sertifikasi tanah seluas 4,5 juta ha. Semuanya harus dalam kategori clear and
clean dari tumpang tindih izin dan konflik alias fresh land.
Sementara kalangan masyarakat sipil, khususnya kalangan gerakan reforma agraria, mendorong agar
redistribusi dilakukan pada wilayah di mana terjadi ketimpangan agraria yang mencolok dan terjadi konflik
agraria. Pandangan ini didasarkan pada tujuan utama reforma agraria, yakni menurunkan ketimpangan,
menyelesaikan konflik agraria, meningkatkan kesejahteraan, dan keberlanjutan lingkungan hidup. Karena itu,
area-area perkebunan dan kehutanan yang selama ini jadi titik ledak konflik agraria karena tumpang tindih
izin, penyuapan, atau akrobat hukum lain adalah lokasi prioritas pelaksanaan reforma agraria. Salah satu
sumber keraguan pemerintah melakukan reforma agraria pada lokasi semacam ini adalah risiko langkah ini
dipandang sebagai penyulut iklim buruk investasi, instabilitas, kepastian hukum, dan pertumbuhan ekonomi.
Bukankah pada akhirnya langkah ini akan mengancam kesejahteraan umum yang lebih luas?
Pada 15 September 2016, Ketua Komnas HAM periode 2012-2017 Hafid Abbas dan Anggota Ombudsman RI
Ahmad Alamsyah menyampaikan berdasarkan data dari Bank Dunia keluaran 15 Desember 2015, 74% lahan
di Indonesia dikuasai oleh 0,2% penduduk. 35 juta hektare tanah dikuasai beberapa orang saja, yakni lewat
konsesi yang didapat sejak zaman Presiden Soeharto dan dilanjutkan secara turun-temurun. Dia juga
mengatakan ada empat pengusaha di Indonesia yang kekayaannya hampir sama dengan kekayaan setengah
penduduk Indonesia dan segelintir kelompok itulah pemilik tanah yang sangat luas.
Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) dalam siaran pers Hari Tani Indonesia 2017 menyatakan, dari
seluruh wilayah daratan Indonesia, 71% dikuasai oleh korporasi kehutanan, 16% oleh korporasi perkebunan
skala besar, dan 7% oleh para konglomerat. Sedangkan rakyat kecil cuma menguasai sisanya. Organisasi
nonpemerintah yang bergerak di bidang isu agraria, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), juga berbicara
tentang hal ini. Persentase penguasaan lahan dari data-data resmi pemerintah. Data itu kemudian dianalisis
dan disintesis sehingga bisa menunjukkan ketimpangan secara jelas.
Datanya terserak di banyak kementerian, di banyak presentasi, dan diskusi-diskusi dengan pemerintah. KPA
menyatakan 46% lahan di luar kawasan hutan dikuasai oleh perusahaan perkebunan. Luasnya adalah 33,5
juta hektare, dikuasai lewat hak guna usaha (HGU). Adapun di kawasan hutan, 35 juta hektare dikuasai hutan
tanaman industri, lewat hak pengusahaan hutan (HPH), dan perusahaan konservasi. Di Jawa, hutan
dimonopoli oleh Perhutani. Mayoritas petani kita adalah petani gurem dengan kepemilikan lahan di bawah
0,5 hektare. Sisanya lagi adalah petani tak bertanah (tunakisma), bekerja sebagai buruh tani di perkebunan
skala besar.
Oxfam Briefing Paper bekerja sama dengan Infid menerbitkan tulisan 'Toward a More Equal Indonesia' pada
Februari 2017. Di situ disebutkan petani kecil Indonesia punya kurang dari seperempat hektare lahan, yang
hasilnya tak cukup untuk mempertahankan hidup keluarganya.
Berdasarkan penelitian pada 2015 yang dilakukan Transformasi untuk Keadilan (TuK) dan konsultan ekonomi
Profundo, hanya 25 kelompok pebisnis besar yang mengontrol hampir 51 persen dari 5,1 juta hektare
perkebunan sawit di negara ini. Sekitar 5,1 juta hektare hampir setara dengan setengah Pulau Jawa. Lima
perusahaan memegang lebih dari 300.000 hektare. Konsentrasi kepemilikan lahan di tangan korporasi-
korporasi besar dan orang-orang kaya berarti manfaat kepemilikan lahan bertambah untuk lapisan atas dan
tak terbagi dengan adil. Penelitian Oxfam dan Infid ini mengakui ada upaya Presiden Jokowi mengatasi
ketimpangan.
Analisis Ekonomi Politik
1. Siapa saja aktor yang terlibat ?
2. Kekuatan apa yang mendorong fakta tersebut ?
3. Kelembagaan yang melingkupi fakta dan fenomena tersebut ?
4. Siapa yang diuntungkan dan dirugikan dari kebijakan tersebut ?
5. Apakah kerugian dan keuntungan tersebut berpengaruh pada perekonomian ?

2
http://ksp.go.id/nawacita-reforma-agraria/index.html

Anda mungkin juga menyukai