Anda di halaman 1dari 4

NASIB PENDIDIKAN TINGGI DALAM BINGKAI PASAR TENAGA KERJA

oleh:

Eva Novi Karina, MA.

Selama ini di Indonesia mengakar sebuah pemahaman yang diyakini oleh khalayak ramai
bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin besar pula
peluangnya mencapai kesuksesan. Dalam hal ini berarti memiliki kondisi pekerjaan
dengan jenjang karier yang baik sehingga berimplikasi pada meningkatnya jumlah
pendapatan seseorang. Pendidikan dipercaya memiliki implikasi langsung terhadap
penyerapan tenaga kerja dan tentunya peningkatan pendapatan serta kesejahteraan
masyarakat. Tidak heran ketika permasalahan klasik mengenai tingkat pengangguran di
Indonesia diangkat, maka pemahaman linier inilah yang akan dijadikan satunya-satunya
kerangka berpikir dalam membingkai permasalahan ini.

Media pemberitaan belakangan ini giat menyoroti permasalahan tingginya jumlah


lulusan sarjana yang tidak terserap pasar tenaga kerja. Berdasarkan catatan
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti), sekitar 8,8
persen dari total 7 juta pengangguran di Indonesia adalah sarjana. Menanggapi fakta ini,
Menristekdikti menyampaikan bahwa persoalan ini berangkat dari relevansi antara


Dosen Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
kompetensi lulusan perguruan tinggi dan kebutuhan dunia industri yang masih rendah.
Sebagai konsekuensinya, solusi utama yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan
tersebut adalah tuntutan bagi pendidikan tinggi untuk mereformasi kurikulumnya agar
dapat sesuai dengan kebutuhan dunia industri. Tidak sampai disana, atas rekomendasi
Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) saat ini pendidikan tinggi pun dituntut untuk
membekali lulusan S-1 dengan sertifikat kompetensi sebagai pendamping ijazah.

Betapa pekerjaan menempati posisi utama dalam memberi makna dan arti penting
pendidikan di negeri ini. Semakin jelas pula bingkai pemahaman yang selama ini
melandasi arah pembangunan pendidikan di Indonesia, dimana pekerjaan selalu
menjadi tujuan dan muara yang paling utama. Namun apakah makna dan fungsi
pendidikan tinggi selayaknya hanya dinilai pada kontribusinya terhadap angkatan kerja?
Apakah kita hanya bisa mengamini ketika pengembangan sistem pendidikan tinggi di
Indonesia hanya dapat dilakukan dalam bingkai pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi?

Perguruan tinggi sejatinya merupakan wadah bagi geliat akademik dalam memproduksi
pengetahuan tentang beragam aspek kehidupan masyarakat secara luas, yang
membawa manfaat besar bagi transformasi sosial. Ilmu pengetahuan lahir sebagai
manifestasi dari upaya masyarakat untuk menghadirkan jawaban dan penjelasan atas
berbagai perubahan dan dinamika yang terjadi di dalam kehidupan. Melalui kerja ilmu
pengetahuan, hadirlah pelbagai pengetahuan yang menjadi pijakan bagi masyarakat
untuk mengatasi berbagai kesulitan dan permasalahan yang muncul, seiring dengan
dinamika dan perubahan dunia. Lebih dari itu, tercatat dengan tinta tebal di dalam
perjalanan sejarah umat manusia di dunia, bahwa ilmu pengetahuan adalah senjata
perubahan sosial. Ia adalah instrumen, dan sekaligus menjadi pijakan bagi masyarakat
untuk meretas transformasi bentuk kehidupan menuju kepada kondisi yang lebih baik.

Paulo Freire (1970) dalam salah satu bukunya, Pedagogy of The Oppressed, menegaskan
bahwa pendidikan semestinya diarahkan pada pembebasan idealisme melalui
persinggungannya dengan keadaan nyata dan praksis. Konsep pendidikan yang diusung
Freire berangkat dari konsepnya tentang manusia. Baginya, manusia adalah incomplete
and unfinished beings. Untuk itulah manusia dituntut untuk selalu berusaha menjadi
subjek yang mampu mengubah realitas eksistensialnya. Menjadi subjek yang lebih
manusiawi adalah panggilan ontologis (ontological vocation) manusia. Dengan demikian,
tugas utama pendidikan sebenarnya mengantar peserta didik menjadi subyek. Untuk
mencapai tujuan ini, proses yang ditempuh harus melalui dua arah yang bergerak
paralel, yaitu meningkatkan kesadaran kritis peserta didik sekaligus berupaya
mentransformasikan struktur sosial yang menjadikan penindasan dan marjinalisasi
berlangsung. Sebab, kesadaran manusia itu berproses secara dialektis antara diri dan
lingkungan. Ia memiliki potensi untuk berkembang dan mempengaruhi lingkungan,
tetapi ia juga dipengaruhi dan dibentuk oleh struktur sosial tempat ia berkembang.
Untuk itulah, pendidikan perlu diarahkan sebagai wadah berlangsungnya proses
emansipasi dan transedensi tingkat kesadaran peserta didik.

Namun kini adalah suatu hal yang lazim di negeri ini, keberadaan dan fungsi dari
perguruan tinggi tak ubahnya seperti pabrik yang memproduksi buruh dengan
keterampilan dan kompetensi yang siap pakai. Upaya merestrukturisasi budaya
akademis agar sesuai dengan prinsip pasar telah mengarah pada komodifikasi
pendidikan yang mendorong lulusan untuk bersikap pasif dan instrumental.
Konsekuensinya adalah muncul ancaman terhadap pengembangan pengetahuan dan
otonomi keilmuan di perguruan tinggi. Lulusan dan kurikulum pendidikan sarjana
dirancang semata-mata agar sesuai dengan kebutuhan pasar yang mengedepankan
ilmu-ilmu terapan dan meminggirkan ilmu-ilmu yang menjelaskan fondasi ontologi dan
epistemologi suatu disiplin ilmu. Akibatnya adalah tenaga dan peserta didik terjerumus
dalam batas-batas pengetahuan yang sempit.

Perguruan tinggi, yang hakikatnya merupakan wadah bagi bekerjanya ilmu


pengetahuan, tidak pernah dinilai berdasarkan ukuran mengenai kiprahnya terhadap
perbaikan kondisi kehidupan masyarakat. Tampak seakan arti penting pendidikan dan
ilmu pengetahuan hanyalah sebatas tempat untuk mendapatkan keterampilan dan
kompetensi yang dibutuhkan guna mendapatkan pekerjaan. Sehingga cukup diukur dan
direduksi berdasarkan reputasinya di kalangan pemberi kerja.

Tidak heran jika perguruan tinggi tidak bergairah untuk menggerakkan aktivitas
keilmuan guna meretas transformasi sosial di masyarakat. Kalaupun ada, wujudnya
didominasi oleh program-program pengabdian masyarakat dan penelitian yang
berujung pada transformasi kehidupan masyarakat di berbagai wilayah menuju
terciptanya kondisi-kondisi yang sesuai bagi kebutuhan akumulasi kapital skala nasional
dan global. Program-program yang mendorong transformasi struktur ekonomi
masyarakat yang menjadikan kehidupan mereka tersedot ke dalam rantai produksi
kapitalis global.

Sebaliknya, laju pertumbuhan perguruan tinggi di Indonesia selama beberapa tahun


terakhir terus saja digerakkan oleh semangat dan ambisi untuk menjadi universitas kelas
dunia. Menjadi universitas yang terkemuka di dunia, namun tidak mampu memperbaiki
kehidupan masyarakat di sekitarnya. Universitas yang tampak memukau di mata dunia,
namun justru tak berarti di tengah kehidupan masyarakat sekitarnya yang terus
digelayuti kemiskinan dan penindasan.
Demikianlah, kondisi dan arah perkembangan pendidikan di Indonesia yang diperbudak
dan digerakkan untuk memenuhi pasokan tenaga kerja yang selaras dengan kebutuhan
industri, justru menjadi semakin jauh dari peran pentingnya sebagai pijakan bagi
transformasi sosial menuju kehidupan berkeadilan sosial. Oleh sebab itu bingkai sempit
neksus pendidikan dan pekerjaan harus segera ditinggalkan. Pendidikan, sejatinya,
memiliki kekuatan dan cita-cita yang lebih besar ketimbang hanya diabdikan sebagai
wadah produksi dan reproduksi tenaga kerja semata.

Anda mungkin juga menyukai