1.4 Patogenesis
Hubungan antara infeksi Streptococcus β-hemolyticus grup A dan perkembangan
penyakit jantung rematik telah dipastikan. PJR adalah respon imun yang tertunda
terhadap faringitis yang disebabkan Streptococcus grup A dan manifestasi klinis pada
individu ditentukan oleh kerentanan host, genetik, virulensi dari kuman, dan
lingkungan yang kondusif. Meskipun Streptococcus dari serogrup B, C, G dan F
dapat menyebabkan faringitis dan memicu respon imun host, mereka belum terkait
dengan etiologi demam rematik atau penyakit jantung rematik (PJR). Geografis
berpengaruh pada variasi prevalensi serogrup dari Streptococcus β-hemolitik. Di
negara tropis sampai 60-70% isolat dari tenggorokan anak-anak tanpa gejala
menunjukan serogrup C dan G. Sebaliknya, di daerah beriklim sedang, serogrup A
isolat dominan (50-60. Sekule non supuratif, seperti RF dan RHD, terlihat hanya
setelah Streptococcus grup A menginfeksi saluran pernapasan bagian atas. Meskipun
RF telah dinyatakan sebagai penyakit autoimun, mekanisme pathogenesis yang tepat
belum dapat dijelaskan. Bukti baru menunjukkan bahwa limfosit T memainkan peran
penting dalam patogenesis PJR. Sebuah postulat juga manyatakan bahwa
Streptococcus grup A M types bersifat potensial reumatogenik. Serotipe tersebut
biasanya sangat bersimpai, dan berukuran besar, koloni berlendir yang kaya M-
Patofisiologi
Demam reumatik akut biasanya didahului oleh radang tenggorokan yang disebabkan
oleh infeksi Streptokokus betahemolitikus grup A, sehingga kuman tersebut dianggap
sebagai penyebab demam reumatik akut. Infeksi tenggorok yang terjadi bisa berat,
sedang, ringan atau asimtomatik, diikuti fase laten (asimtomatik) selama 1 sampai 3
minggu. Baru setelah itu timbul gejala-gejala demam reumatik akut.2
Demam rematik merupakan respons auto immune terhadap infeksi Streptokokus β
hemolitik grup A pada tenggorokan. Respons manifestasi klinis dan derajat penyakit
yang timbul ditentukan oleh kepekaaan genetic host, keganasan organisme dan
lingkungan yang kondusif. Mekanisme patogenesis yang pasti sampai saat ini tidak
diketahui, tetapi peran antigen histokompatibility mayor, antigen jaringan spesifik
potensial dan antibody yang berkembang segera setelah infeksi streptokokkus telah
Morfologi
Lesi yang patognomonik DR adalah Badan Aschoff sebagai diagnostik
histopatologik. Sering ditemukan juga pada saat tidak adanya tanda-tanda keaktifan
kelainan jantung, dan dapat bertahan lama setelah tanda-tanda gambaran klinis
4. Subcutaneous nodules terjadi pada 0-8% pasien dengan demam rematik. Jika
terdapat nodul, maka nodul didapatkan pada daerah siku, lutut, pergelangan kaki dan
pergelangan tangan, prosesus spinosus dari vertebra. Nodul ini teraba keras, ukuran
1-2 cm, tidak melekat pada jaringan sekitarnya, dan tidak ada nyeri tekan. Nodul
subkutan terjadi beberapa minggu dan mengalami resolusi dalam satu bulan. Nodul
ini sangat berhubungan dengan rematik carditis, jika pada pasien tidak didapatkan
gejala carditis, maka terdapatnya nodul subkutan harus dipikirkan kemungkinan lain.
1.6 Penatalaksanaan
Kortikosteroid (Prednison)
Prednison diberikan pada pasien dengan karditis yang disertai dengan
kardiomegali ataupun gagal jantung kongestif. Tujuan pemberian prednison adalah
menghilangkan ataupun mengurangi inflamasi miokardium. Dosis prednison:
Dewasa: 60-80 mg/hari PO
Anak-anak: 2 mg/kg/hari PO (Parillo, 2010; Meador 2009).
Dosis di tapering off 5 mg setiap 2-3 hari setelah 2-3 minggu pemberian
(Poestika Sastroamidjojo, 1998), atau 25% setiap minggu setelah pemakaian selama
2-3 minggu (Meador, 2009).
Neuroleptic agents (Haloperidol)
Neuroleptic agents diberikan untuk mengatasi korea yang terjadi. Haloperidol
merupakan dopamine receptor blocker yang dapat digunakan untuk mengatasi
gerakan spasmodik iregular dari otot wajah. Pemberian obat ini tidak selalu harus
diberikan karena korea dapat sembuh dengan istirahat dan tidur tanpa pengobatan.
Dosis pemberian haloperidol:
Dewasa: 0.5-2 mg PO 2 atau 3 kali per hari
Anak-anak: <3 tahun: tidak diberikan
3-12 tahun: 0.25-0.5 mg/hari 2 atau 3 kali per hari.
>12 tahun: sama seperti dosis dewasa (Parillo, 2010; Meador 2009).
1.7 Pencegahan
Pencegahan demam rematik meliputi pencegahan primer (primary prevention)
untuk mencegah terjadinya serangan awal demam rematik dan pencegahan sekunder
(secondary prevention) nuntuk mencegah terjadinya serangan ulang demam rematik.
Primary prevention: eradikasi Streptococcus dari pharynx dengan
menggunakan benzathine peniciline single dose IM.
Secondary prevention: AHA menyarankan pemberian 1,2 juta unit benzathine
peniciline setiap 4 minggu, atau setiap 3 minggu untuk pasien berisiko tinggi (pasien
dengan penyakit jantung atau berisiko mengalami infeksi ulangan).
Pemberian profilaksis secara oral dapat berupa penisilin V, namun efek
terapinya tidak sebaik benzathine penisilin.
AHA merekomendasikan pengobatan profilaksis selama minimal 10 tahun.
Penghentian pemberian obat profilaksis bila penderita berusia di sekitar dekade ke 3
dan melewati 5 tahun terakhir tanpa serangan demam rematik akut.Namun pada
penderita dengan risiko kontak tinggi dengan Sterptococcus maka pemberian
antibiotik dapat dipertimbangkan untuk seumur hidup ( Meador, 2009; Abdulah
Siregar, 2008 ).
1.9 Prognosis
• Demam rematik akut akan sembuh dalam waktu sekitar 3 bulan setelah
serangan akut. Hanya minoritas pasien mengalami penyembuhan yang lebih lama.
• Karditis akan sembuh sempurna pada 65-75% pasien. Karditis tidak akan
menimbulkan sekuele pada pasien yang awalnya tidak memiliki kelainan jantung
(Parillo, 2010; Meador 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Siregar. 2008. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik.
http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2008/ppgb_2008_afif_siregar.pdf
Aru Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus, Marcellus, Siti Setiati. 2006. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
Binotto MA, Guilherme L, Tanaka .2002. Rheumatic Fever.
.http://www.sahha.gov.mt/pages.aspx?page=511
Chin, Thomas K. 2006. Emedicine : Rheumatic Heart Disease.
http://faculty.ksu.edu.sa/Jarallah/Pediatric%20Cardiology/Rheumatic%20heart
%20diseases.pdf
Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, et al. 2008. Valvular Heart
Disease in Harrison’s Internal Medicine. 17th edition.