Anda di halaman 1dari 33

i

MAKALAH KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


IMUNISASI DIFTERI

OLEH
M ARIEF FADHILLAH AULIA
120100333

PEMBIMBING
dr. Yuki Yunanda, M.Kes.

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT /


ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS / ILMU
KEDOKTERAN PENCEGAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

i
MAKALAH KEPANITERAAN KLINIK SENIOR
IMUNISASI DIFTERI

OLEH
M ARIEF FADHILLAH AULIA
120100333

PEMBIMBING
dr. Yuki Yunanda, M.Kes.

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT / ILMU


KEDOKTERAN KOMUNITAS / ILMU KEDOKTERAN
PENCEGAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

ii
IMUNISASI DIFTERI

“Makalah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi


persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di
Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara”

OLEH

M ARIEF FADHILLAH AULIA

120100333

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT / ILMU


KEDOKTERAN KOMUNITAS / ILMU KEDOKTERAN PENCEGAHAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

iii
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : IMUNISASI DIFTERI


Nama : M ARIEF FADHILLAH AULIA
NIM : 120100333

Medan, Januari 2018


Pembimbing

dr. Yuki Yunanda, M.Kes.

iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Imunisasi Difteri”. Tujuan penulisan makalah ini adalah
untuk melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen
Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyelesaian makalah ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan
arahan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada
dr. Yuki Yunanda, M.Kes atas kesediaan beliau meluangkan waktu dan pikiran
untuk membimbing, mendukung, dan memberikan masukan kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang turut membantu
dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna, baik dari
segi materi maupun tata cara penulisan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi perbaikan makalah ini
di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam perkembangan
ilmu pengetahuan khususnya ilmu kesehatan mengenai puskesmas.
Atas bantuan dan segala dukungan dari berbagai pihak, penulis
mengucapkan terima kasih.

Medan, Januari 2018

Penulis

v
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ......................................................................................... iv


Kata Pengantar ................................................................................................ v
Daftar Isi ............................................................................................................ vi
Bab 1. Pendahuluan ......................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2. Tujuan Makalah .......................................................................... 2
1.3. Manfaat Makalah ........................................................................ 2
Bab 2. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 3
2.1. Difteri .......................................................................................... 3
2.1.1. Definisi .............................................................................. 3
2.1.2. Etiologi .............................................................................. 3
2.1.3. Epidemiologi ..................................................................... 4
2.1.4. Patogenesis dan Patofisiologi ............................................ 5
2.1.5. Manifestasi Klinis .............................................................. 8
2.1.6. Diagnosis ........................................................................... 11
2.1.7. Penatalaksanaan ................................................................. 14
2.1.8. Prognosis ........................................................................... 16
2.2. Imunisasi Difteri ......................................................................... 17
Bab 3. Kesimpulan dan Saran ......................................................................... 25
3.1. Kesimpulan ................................................................................. 25
3.2. Saran ........................................................................................... 25
Daftar Pustaka .................................................................................................. 26

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan
oleh karena toksin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran
pada kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit
ini adalah Corynebacterium diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu
reservoir dari bakteri ini.1
Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada
kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala -gejala
lokal dan sistemik,efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan
oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini antara 2 - 5
hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun karier.1
Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan
segera. Bayi baru lahir biasanya membawa antibodi secara pasif dari ibunya yang
biasanya akan hilang pada usia 6 bulan, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di
vaksinasi, yang mana vaksinasi ini telah terbukti mengurangi insidensi penyakit
tersebut.2
Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang-
kadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Berdasarkan World Health
Organization (WHO), terdapat kasus difteri di Indonesia sebanyak 1.192 kasus,
kedua setelah India dengan 2.525 kasus. Hingga saat ini, insidensi difteri di
Indonesia per tahun meningkat 30 kali lebih banyak dibandingkan tahun 2001.3
Pada tahun 2013, terdapat 750 kasus difteri di Indonesia dan Provinsi Jawa Timur
dengan populasi 37 juta jiwa melaporkan bahwa terdapat 650 kasus difteri, hampir
setengah dari jumlah kasus yang dilaporkan ke WHO. Provinsi Jawa Timur masih
merupakan kontributor terbesar kasus difteri yaitu sebanyak 74% dari seluruh
kasus pada tahun 2014. Demikian pula pada tahun 2015, Jawa Timur masih
menyumbang kasus terbesar (63%).2,3

1
Di Indonesia difteri banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan
keadaan lingkungan yang buruk dengan angka kematian yang cukup tinggi, 50%
penderita difteri meninggal dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa ini dapat
terjadi terutama pada golongan umur rentan yaitu bayi dan anak. Tapi akhir-akhir
ini berkat adanya Program Pengembangan Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan
dan kematian menurun secara drastis. Imunisasi difteri diberikan pada bayi usia
2,4, dan 6 bulan. Dengan adanya imunisasi, angka mortalitas dan morbiditas
menurun dari 10-20% menjadi 5-10%.

1.2. Tujuan Makalah


Tujuan penyusunan makalah ini adalah menambah pengetahuan mengenai
Imunisasi Difteri. Penyusunan makalah ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.3. Manfaat Makalah


Makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis maupun
pembaca khususnya peserta KKS dan menjadi suatu tolak ukur bagi penelitian
selanjutnya.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Difteri
2.1.1. Definisi
Difteri adalah infeksi akut yang sangat menular disebabkan oleh
Corynebacterium diphteriae. Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung,
dan kadang pada kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini
menyebabkan gejala-gejala lokal dan sistemik karena eksotoksin yang dikeluarkan
oleh C.diphteriae.4
Difteri sangat menular melalui droplet dan penularan dapat terjadi tidak
hanya dari penderita saja, namun juga dari karier (pembawa) baik anak maupun
dewasa yang tampak sehat kepada orang-orang disekitarnya.4

2.1.2. Etiologi
Corynebacterium diphtheriae merupakan kuman batang gram positif, tidak
bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada
pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan,
kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan
kelompok dengan formasi mirip huruf Cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa
dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-
tellurit atau media Loeffler. Pada membran mukosa manusia, Corynebacterium
diphtheriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang
mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang
diperlukan pemeriksan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa,
maltosa, dan sukrosa.4,5
Secara umum dikenal 3 tipe utama Corynebacterium diphtheria yaitu tipe
gravis, intermedius dan mitis, namun dipandang dari antigenisitas sebenarnya
basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe
serologik. Hal ini mungkin bisa menjelaskan mengapa pada seorang pasien bisa
terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis Corynebacterium diphtheriae.4,5

3
Ciri khas Corynebacterium diphtheriae adalah kemampuannya
memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro. Eksotoksin ini merupakan
suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya,
mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B
(karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk memproduksi toksin
dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh
Corynebacterium diphtheriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toxigene.5

Gambar 2.1. Bakteri Corynebacterium diphteriae

2.1.3. Epidemiologi
Indonesia merupakan negara keempat yang memiliki jumlah populasi
terbanyak di dunia dengan jumlah masyarakat sebanyak 240 juta jiwa di 33
provinsi dimana 52% pasien tinggal di daerah pedesaan. Berdasarkan World
Health Organization (WHO), terdapat kasus difteri di Indonesia sebanyak 1.192
kasus, kedua setelah India dengan 2.525 kasus. Hingga saat ini, insidensi difteri di
Indonesia per tahun meningkat 30 kali lebih banyak dibandingkan tahun 2001.
Pada tahun 2013, terdapat 750 kasus difteri di Indonesia dan Provinsi Jawa Timur
dengan populasi 37 juta jiwa melaporkan bahwa terdapat 650 kasus difteri, hampir
setengah dari jumlah kasus yang dilaporkan ke WHO. Provinsi Jawa Timur masih
merupakan kontributor terbesar kasus difteri yaitu sebanyak 74% dari seluruh

4
kasus pada tahun 2014. Demikian pula pada tahun 2015, Jawa Timur masih
menyumbang kasus terbesar (63%).1

Gambar 2.2. Jumlah kasus difteri pada tahun 2012-2015.


Difteri tersebar luas ke seluruh dunia. Angka kejadian menurun secara
nyata setelah perang dunia kedua, setelah penggunaan toksoid difteri. Demikian
pula terdapat penurunan mortalitas yang berkisar 5-10%. Delapan puluh persen
kasus terjadi di bawah umur 15 tahun, meskipun demikian dalam suatu keadaan
wabah, angka kejadian menurut umur tergantung status imunitas populasi
setempat.2,3
Faktor sosial ekonomi, pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek,
terbatasnya fasilitas kesehatan, merupakan faktor penting terjadinya penyakit ini.
Orang-orang yang berada pada risiko tertular difteri meliputi :6
 Anak-anak dan orang dewasa yang tidak mendapatkan imunisasi.
 Orang yang hidup dalam kondisi tempat tinggal penuh sesak atau tidak
sehat
 Orang yang memiliki gangguan sistem kekebalan
 Siapapun yang bepergian ke tempat atau daerah endemik difteri
Secara global, difteri pernah menjadi salah satu penyebab morbiditas dan
mortalitas pada anak-anak. Pada tahun 2000 diseluruh dunia dilaporkan 30.000
kasus dan 3.000 orang diantaranya meninggal karena penyakit ini. Pada tahun

5
2016, dilaporkan terdapat 7.097 kasus difteri di seluruh dunia. Angka mortalitas
difteri sebesar 5-10% serta meningkat hingga 20% pada anak-anak dibawah usia 5
tahun dan pada dewasa diatas usia 40 tahun. Umumnya kematian terjadi 3-4 hari
setelah awitan difteri, disebabkan oleh obstruksi laring dan miokarditis.1
Di Inggris pada tahun 1930, difteri merupakan salah satu dari 3 penyebab
kematian tersering pada anak-anak dibawah usia 15 tahun. Pada tahun 1920 di
Amerika Serikat, dijumpai 100.000-200.000 kasus difteri (140-150 kasus per
100.000 populasi) dan 13.000-15.000 kematian dilaporkan setiap tahun. Namun,
sejak dikenalkan vaksin difteri toksoid, angka kejadian difteri turun secara drastis.
Berdasarkan surveilans WHO, hingga tanggal 6 September 2017, tidak dijumpai
kasus difteri di Amerika Serikat.2
Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih
dingin di negara subtropis dan terutama menyerang anak-anak berumur di bawah
15 tahun yang belum diimunisasi. Sering juga dijumpai pada kelompok remaja
yang tidak diimunisasi. Di negara tropis variasi musim kurang jelas, yang sering
terjadi adalah infeksi subklinis dan difteri kulit. Difteri merupakan penyebab
kematian yang umum pada bayi dan anak-anak. Penyakit ini juga dijumpai pada
daerah pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah.1

Gambar 2.3. Penyebaran Difteri.5

6
2.1.4. Patogenesis dan Patofisiologi6,7
Kuman Corynebacterum diphteriae masuk melalui mukosa atau kulit,
melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran napas bagian
atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya
menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek
toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam
sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino
yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dalam
ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain
untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses
translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA dan
dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan
enzim translokase yang aktif.
Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk, mengakibatkan inaktivasi
enzim translokase yang menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga
tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, akibatnya sel akan mati.
Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respon, terjadi
inflamasi lokal bersama-sama dengan dengan jaringan nekrotik, membentuk
bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak,
daerah infeksi semakin melebar dan terbentuklah eksudat fibrin.Terbentuklah
suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari
jumlah darah yang terkandung. Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi
perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan.
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder
dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Gangguan pernapasan atau
sufokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang
trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan
kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteri
hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi
tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi ke dalam sel. Setelah

7
toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya
manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10 - 14 hari, manifestasi
saraf pada umumnya terjadi setelah 3 - 7 minggu. Kelainan patologik yang
mencolok adalah nekrosis toksik dan degenerasi hialin pada bermacam-macam
organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel
mononuclear pada serat otot dan sistem konduksi. Apabila pasien tetap hidup,
terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstitial. Pada saraf tampak neuritis toksik
dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati bisa disertai gejala
hipoglikemik, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular
akut pada ginjal.

Gambar 2.4. Patogenesis difteri.7

2.1.5. Manifestasi Klinis


Sebagai faktor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteri,
virulensi serta toksigenitas Corynebacterium diphteriae dan lokasi penyakit secara
anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit
pada daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya. Masa inkubasi antara 1-5
hari dengan perjalanan penyakit bersifat insidious (perlahan-lahan) dimulai
dengan gejala yang tidak spesifik. Difteri mempunyai masa inkubasi 2 - 6 hari.

8
Pasien pada umumnya datang berobat setelah beberapa hari menderita keluhan
sistemik. Demam jarang melebihi 38,9ºC dan keluhan serta gejala lain tergantung
pada lokalisasi penyakit difteri.8
1. Difteria Hidung
Difteria hidung pada umumnya menyerupai common cold, dengan gejala
klinis pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung
berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen menyebabkan lecet
pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah
septum nasi. Absorsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak
nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.8

Gambar 2.5. Difteri Hidung


2. Difteria Tonsil Faring
Gejala difteri tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan dan
nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat,
berwarna putih kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula
dan pallatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea. Dapat terjadi limfadenitis
servikalis dan submandibular, bila limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema
jaringan lunak leher yang luas, timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung
dari derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi
kegagalan pernapasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik
unilateral maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor,
koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang,
dan
penyembuhan terjadi berangsur-angsur bisa disertai penyulit miokarditis atau

9
neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya
terjadi penyembuhan sempurna.8

Gambar 2.5. Pseudomembran dan bull neck pada difteri.


3. Difteria Laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pda difteri
primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya
serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi
saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar untuk
dibedakan dengan tipe infectius croups yang lain, seperti nafas bunyi, stridor yang
progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat
retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan
membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak.9
Pada kasus berat, membran dapat meluas ke percabangan
trakeobrongkial.Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari difteria
faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obsruksi dan
toksemia.9
4. Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga
Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtifa dan Telinga merupakan tipe
difteria yang tidak lazim (unusual). Difteria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas
dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteria pada
mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, oedem dan membran pada
konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen
dan berbau.10

10
2.1.6. Diagnosis
Tanda dan gejala difteri tergantung pada fokus infeksi, status kekebalan dan
apakah toksin yang dikeluarkanitu telah memasuki peredaran darah atau belum.
Masa inkubasi difteri biasanya 2-6 hari, walaupun dapat singkat hanya satu hari
dan lama 8 hari bahkan sampai 4 minggu. Biasanya serangan penyakit agak
terselubung, misalnya hanya sakit tenggorokan yang ringan, demam subfebris
berkisar antara 37,8 ºC – 38,9ºC. Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja
tetapi kebanyakan sudah terjadi membran putih keabu-abuan.8,10
Dalam 24 jam membran dapat menutupi tonsil, palatum molle, uvula. Mula-
mula membran tipis, putih dan berselaput menjadi tebal, abu-abu atau kehitaman
tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat.
Membran mempunyai batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya,
shingga sukar diangkat sehingga jika diangkat secara paksa menimbulkan
perdarahan. Jaringan yang tidak ada membrane biasanya tidak membengkak. Pada
difteri sedang biasanya proses yang terjadi akan menurun pada hari-hari 5-6,
walaupun antitoksin tidak diberikan.8
Gejala lokal dan sistemik secara bertahap menghilang dan membran akan
menghilang. Bentuk difteri antara lain bentuk bullneck atau malignant difteri.
Bentuk ini timbul dengan gejala – gejala yang lebih berat dan membran secara
cepat menutupi faring dan dapat menjalar ke hidung. Edema tonsil dan uvula
dapat timbul dan disertai nekrosis. Pembengkakan kelenjar leher, infiltrat ke
dalam sel-sel jaringan leher, dari satu telinga ke telinga yang lain dan mengisi
bagian bawah mandibula sehingga memberikan gambaran bullneck. Gambaran
klinik dibagi menjadi 3 golongan yaitu :8
a. Gejala umum, kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak
nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan.
b. Gejala lokal, yang tamapak berupa tonsil yang membengkak ditutupi
bercak putih kotor yang makin lama makin meluas, dan dapat menyumbat
saluran nafas. Pseudomembran ini melekat erat pada dasarnya sehingga
bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini
infeksi berjalan terus, kelenjar limfe leher akan membengkak sedemikian

11
besarnya sehingga leher menyerupai sapi (bullneck). Bila difteria
mengenai hidung (hanya 2% dari jumlah pasien difteria) gejala yang
timbul berupa pilek, sekret yang keluar bercampur darah yang berasal dari
pseudomembran dalam hidung. Biasanya penyakit ini akan meluas ke
bagian tenggorak pada tonsil, faring dan laring.
c. Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu miokarditis, mengenai saraf
kranial menyebabakan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan.
Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah :9
1. Schick test
Menentukan kerentanan (suseptibilitas) terhadap difteri. Tes dilakukan
dengan menyuntikkan toksin difteri (dilemahkan) secara intrakutan apabila
tidak terdapat kekebalan anti toksin akan terjadi nekrosis jaringan sehingga
tes menjadi positif. Shick test ini digunakan untuk menentukan status
imunitas penderita. Tes ini tidak berguna untuk diagnosis dini karena baru
dapat dibaca beberapa hari kemudian. Untuk pemeriksaan ini digunakan
dosis 1/50 MED. Larutan yang diberikan secara intrakutan, sebelumnya
telah diencerkan sebanyak 0,1 ml bila orang tersebut tidak mengandung
antitoksin akan timbul vesikel pada bekas suntikan akan hilang setelah
beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang
rendah uji schick dapat positif, pada bekas suntikan akan timbul warna
merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji schick dikatakan negatif bila tidak
didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang
dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu
dapat terjadi akibat reaksi alergi terhadap protwin antitoksin yang akan
menghilang dalam 72 jam.
2. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan
leukositosis polimorfonuklear, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar
albumin. Pada urin terdapat albumin ringan.

12
3. Pemeriksaan Mikrobiologi
 Uji Kepekaan Moloney : untuk menentukan sensitivitas terhadap
eksotoksin (hati-hati terjadi reaksi anafilaksis). Tes dilakukan dengan
memberikan 0,1 ml larutan fluid difteri toksoid secara suntikan
intradermal. Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul eritema > 10 mm.
Ini berarti bahwa pernah terpapar pada basil difteri sebelunnya
sehingga terjadi reaksi hipersensitifitas.
 Kultur : memberikan diagnosis pasti dengan adanya bakteri
Corynebacterium diphteriae pada sediaan.
Penyulit difteri dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat
aktivitas eksotoksin, maka penyulit difteria terdiri dari :8
1. Obstruksi jalan nafas
Disebabkan oleh karena tertutupnya jalan nafas oleh membran difteri atau
oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servikal.
2. Efek eksotoksin
Dampak eksotoksin dapat bermanifestasi pada jantung berupa miokarditis
yang dapat terjadi baik pada difteria ringan maupun berat dan biasanya
terjadi pada pasien yang terlambat mendapat pengobatan antitoksin.
Penyulit pada jantung berupa miokardiopati toksik bisa terjadi pada
minggu ke-2, tetapi bisa lebih dini (minggu pertama) atau lebih lambat
(minggu ke-6). Manifestasinya bisa berupa takikardi, suara jantung redup,
bising jantung, atau aritmia. Bisa pula terjadi gagal jantung. Kelainan
pemeriksaan elektrokardiogram dapat berupa elevasi segmen ST,
perpanjangan interval PR, dan heart block.
Penyulit pada saraf (neuropati) biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral,
terutama mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Kelumpuhan
pada palatum molle pada minggu ke-3, suara menjadi sengau, kesukaran
menelan. Paralisis otot mata biasanya pada minggu ke-5, meskipun dapat
terjadi antara minggu ke-5 dan ke-7.
Paralisis ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai hilangnya deep
tendon reflexes, peningkatan kadar protein dalam cairan serebrospinal. Hal

13
ini dapat menyebabkan kematian apabila tidak dibantu dengan ventilator
mekanik. Bila terjadi kelumpuhan pada pusat vasomotor dapat terjadi
hipotensi dan gagal jantung.
3. Infeksi sekunder dengan bakteri lain.
Setelah penggunaan antibiotika secara luas, penyulit ini sudah sangat
jarang.

2.1.7. Penatalaksanaan10
Tujuan pengobatan adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeliminasi Corynebacterum diphteriae untuk mencegah penularan, serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
1. Isolasi
Penderita di isolasi sampai biakan negatif tiga kali berturut-turut setelah
masa akut terlampui. Kontak penderita di isolasi sampai tindakan-tindakan
berikut terlaksana:
a. Biakan hidung dan tenggorok
b. Dilakukan Shick test
c. Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan
toksoid difteri.
Bila kultur (-) / SCHICK test - : bebas isolasi.
Bila kultur + / SCHICK test - : pengobatan karier’
Bila kultur + / SCHICK test + / gejala - : anti toksin difteri + penisilin
Bila kultur - / SCHICK test + : toksoid (imunisasi aktif).
Tirah baring lebih kurang 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang
adekuat. Khusus pada difteri laring, dijaga agar napas tetap bebas serta
dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer.
2. Antitoksin : Anti Difteri Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteri.
Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh

14
karena pada pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya reaksi
anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.
Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam
fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit terjadi
indurasi > 10 mm. Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes
larutan serum 1 : 10 dalam garam faali. Pada mata yang lain diteteskan
garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada
konjungtiva bulbi dan lakrimasi.
Bila tes kulit / konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara
desensitisasi. Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus
diberikan sekaligus secara intravena. Dosis serum anti difteri ditentukan
secara empiris berdasarkan berat penyakit, tidak tergantung pada berat
badan penderita, dan berkisar antara 20.000-120.000 KI. Dosis ADS di
ruang Menular Anak RSUD Dr. Soetomo disesuaikan menurut derajat
berat penyakit sebagai berikut :
 20.000 KI i.m. untuk difteri ringan (hidung, kulit, konjungtiva).
 40.000 KI i.v. untuk difteri sedang (pseudomembran terbatas pada
tonsil, difteri laring).
 100.000 KI i.v. untuk difteri berat (pseudomembran meluas ke luar
tonsil, keadaan anak yang toksik, disertai "bullneck", disertai
penyulit akibat efek toksin).
Literatur lain mengatakan dosis yang diberikan seperti :
 Difteri hidung / faring ringan 40.000 U
 Difteri faring 60.000 – 80.000 U
 Difteri faring berat / laring / dengan bull neck 100.000 – 120.000 U
Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam larutan 200
ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek
samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam
berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas
lambat (serum sickness).

15
3. Antibiotik
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk menghentikan
produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari selama 7-10
hari atau 25.000 – 50.000 U/kgbb/hari intra muscular, tiap 12 jam selama
14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut negatif (-).Bila alergi
bisa diberikan eritromisin 40 - 50 mg/kg/hari, di bagi dalam 4 dosis
maksimal 2gr/ hari, peroral atau intravena, tiap 6 jam selama 14 hari.
4. Kortikosteroid
Indikasi pemberian kortikosteroid adalah difteri berat dan sangat berat
(membran luas, komplikasi bull neck). Dianjurkan kortikosteroid
diberikan pada kasus difteri yang disertai dengan gejala obstruksi saluran
napas bagian atas dan bila terdapat penyulit miokarditis.
 Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu.
 Deksametason 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk
toksemia)
5. Pengobatan penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga hemodinamik tetap baik.
Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak
kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernapasan yang progresif
merupakan indikasi untuk trakeostomi.
6. Pengobatan Karier
Karier adalah orang yang tidak menunjukkan keluhan dengan Schick test
negatif tetapi mengandung basil difteri dalam nasofaringnya. Pengobatan
yang dapat diberikan adalah penisilin oral atau suntikan, atau eritromisin
selama satu minggu. Pengobatan yang diberikan adalah Penisilin 100
mg/kgBB/hari oral / suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama
satu minggu.

2.1.8. Prognosis9
Prognosis difteri setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih baik
daripada sebelumnya. Sebelum adanya antitoksin dan antibiotika, angka kematian

16
mencapai 30-50 %.Dengan adanya antibiotik dan antitoksin maka kematian
menurun menjadi 5-10% dan sering terjadi akibat miokarditis. Bila antitoksin
diberikan pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%,
namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6 akan menyebabkan angka kematian
meningkat sampai 30%. Kematian mendadak pada kasus difteri dapat disebabkan
oleh karena :
1. Obstruksi jalan napas
2. Adanya miokarditis dan gagal jantung
3. Paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit
difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun
demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap.
Prognosis tergantung pada :
1. Usia penderita
Makin muda usia pasien, maka semakin jelek prognosis. Kematian paling
sering ditemukan pada anak-anak kurang dari 4 tahun.
2. Waktu pengobatan antitoksin
Sangat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian antitoksin.
3. Tipe klinis difteri
Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe
nasofaring(48,4%) dan faring (10,5%).
4. Keadaan umum penderita
Prognosis baik pada penderita dengan gizi baik

2.2. Imunisasi Difteri


Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang
secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen
yang serupa tidak terjadi penyakit. Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua
jenis kekebalan, yaitu kekebalan pasif dan kekebalan aktif. Kekebalan pasif
adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan dibuat oleh individu itu
sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada janin yang diperoleh dari ibu atau

17
kekebalan yang diperoleh setelah pemberian suntikan imunoglobulin. Kekebalan
pasif tidak berlangsung lama karena akan langsung dimetabolisme oleh tubuh.
Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan
pada antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif
biasanya berlangsung lebih lama karena adanya memori imunologi.11
Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada
seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (
populasi ) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada
imunisasi cacar.11
Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang
kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Dikenal dua
macam pertahanan tubuh yaitu :12
1. Mekanisme pertahanan nonspesifiik disebut juga komponen nonadaptif
atau innate artinya tidak ditujukan hanya untuk satu macam antigen , tetapi
untuk berbagai macam antigen.
2. Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau komponen adaptif ditujukan
khusus terhadap satu jenis antigen, terbentuknya antibodi lebih cepat dan
lebih banyak pada pemberian antigen berikutnya. Hal ini disebabkan telah
terbentuknya sel memori pada pengenalan antigen pertama kali. Bila
pertahanan nonspesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme
maka imunitas spesifik akan terangsang. Mikroorganisme yang pertama
kali dikenal oleh sistem imun akan dipresentasikan oleh sel makrofag
(APC = Antigen Presenting Cell) Pada sel T untuk antigen TD (T
Dependent) sedangkan antigen TI (T Independent) akan langsung
diperoleh oleh sel B.
Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular dan imunitas
humoral. Imunitas humoral akan menghasilkan antibodi bila dirangsang oleh
antigen. Semua antibodi adalah protein dengan struktur yang sama yang disebut
imunoglobulin (Ig) yang dapat dipindahkan secara pasif kepada individu yang lain
dengan cara penyuntikan serum. Berbeda dengan imunitas selular hanya dapat

18
dipindahkan melalui sel, contohnya pada reaksi penolakan organ transplantasi
oleh sel limfosit dan pada graft versus-host-disease.11
Proses imun terdiri dari dua fase :
1. Fase pengenalan, diperankan oleh sel yang mempresentasikan antigen
(APC = antigen presenting cells ), sel limfosit B, limfosit T.
2. Fase efektor, diperankan oleh antibodi dan limfosit T efektor.
Imunisasi DTP mengandung toksoid difteri, toksoid tetanus dan vaksin
pertusis. Dengan demikian vaksin ini memberikan perlindungan terhadap 3
penyakit sekaligus, yaitu difteri, pertusis, dan tetanus.
Difteri merupakan suatu penyakit akut yang disebabkan oleh toksin dari
kuman Corynebacterium diphteriae. Anak dapat terinfeksi kuman difteria pada
nasofaringnya. Pertusis atau batuk rejan (batuk seratus hari) disebabkan oleh
bakteri Bordetella pertusis. Sebelum ditemukannya vaksin pertusis, penyakit ini
merupakan penyakit tersering yang menyerang anak – anak dan merupakan
penyebab utama kematian. Gejala utama pertusis yaitu terjadinya batuk proksimal
tanpa inspirasi yang diakhiri dengan bunyi whoop. Serangan batuk sedemikian
berat sehingga dapat menyebabkan pasien muntah, sianosis, lemas dan kejang.
Tetanus merupakan penyakit akut yang disebabkan toksin dari bakteri Clostridium
tetani. Seseorang dapat terinfeksi tetanus apabila terdapat luka yang
memungkinkan bakteri ini hidup disekitar luka tersebut dan memproduksi
toksinnya. Toksin tersebut akan menempel pada saraf di sekitar daerah luka dan
mempengaruhi pelepasan neurotransmitter inhibitor yang berakibat kontraksi serta
spastisitas otot yang tidak terkontrol, kejang – kejang dan gangguan saraf otonom.
Kematian dapat terjadi akibat gangguan pada mekanisme pernafasan.11
Vaksin DTP merupakan jenis vaksin mati (inactivated) yang dihasilkan
dengan cara membiakkan bakteri atau virus dalam media pembiakan
(persemaian), kemudian dibuat tidak aktif dengan penambahan bahan kimia
(biasanya formalin). Vaksin mati tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka
seluruh dosis antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan
penyakit (walaupun pada orang dengan defisiensi imun) dan tidak dapat
mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik. Antigen inactivated tidak

19
dipengaruhi oleh antibodi yang beredar. Vaksin mati dapat diberikan saat antibodi
berada di dalam sirkulasi darah. Vaksin mati selalu memerlukan dosis ganda.
Pada umumnya pada dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi
hanya memacu atau menyiapkan sistem imun. Respons imun protektif baru timbul
setelah dosis kedua atau ketiga. Hal ini berbeda dengan vaksin hidup, yang
mempunyai respons imun yang mirip atau sama dengan infeksi alami, respons
imun terhadap vaksin inactivated sebagian besar humoral, hanya sedikit atau tak
menimbulkan imunitas selular. Titer antibodi terhadap antigen inactivated
menurun setelah beberapa waktu.13
Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap penyakit
masih memerlukan vaksin seluruh sel (whole cell), namun vaksin bakterial
seluruh sel bersifat paling reaktogenik dan menyebabkan paling banyak reaksi
ikutan atau efek samping. Ini disebabkan respons terhadap komponen-komponen
sel yang sebenarnya tidak diperlukan untuk perlindungan.
Vaksin DTP dibedakan menjadi 2, yaitu DTwP dan DtaP berdasarkan
perbedaan pada vaksin tetanus. DTwP (Difteri Tetanus whole cell Pertusis)
mengandung suspense kuman B. pertusis yang telah mati, sedangkan DTaP
(Difteri Tetanus acellular Pertusis) tidak mengandung seluruh komponen kuman
B.Pertusis, melainkan hanya beberapa komponen yang berguna dalam
pathogenesis dan memicu pembentukan antibodi. Vaksin DTaP mempunyai efek
samping yang lebih ringan dibandingkan vaksin DTwP.14
Vaksin difteri terbuat dari toksin kuman difteri yang telah dilemahkan
(toksoid). Biasanya diolah dan dikemas bersama dengan vaksin tetanus dalam
bentuk vaksin DT, atau dengan vaksin tetanus dan pertusis (DPT). Vaksin
terhadap pertusis terbuat dari kuman Bordetella Pertusis yang telah dimatikan.
Selanjutnya dikemas bersama dengan vaksin difteria dan tetanus (DPT, vaksin
tripe). Vaksin tetanus yang digunakan untuk imunisasi aktif adalah toksoid
tetanus, yaitu toksin kuman tetanus yang telah dilemahkan dan kemudian
dimurnikan. Vaksin tetanus memiliki 3 macam kemasan yaitu bentuk kemasan
tunggal (TT), kombinasi dengan vaksin difteria (DT), kombinasi dengan vaksin
difteria dan pertusis (DPT).14

20
Vaksin DTP diberikan saat anak berumur 2, 4, dan 6 bulan. Setelah itu, dapat
dilanjutkan dengan pemberian vaksin kembali saat anak berumur 18 bulan, 5
tahun dan 12 tahun.15
Ulangan booster DTP selanjutnya diberikan satu tahun setelah DTP-3 yaitu
pada umur 18-24 bulan dan DTP-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun. Pada
booster umur 5 tahun harus tetap diberikan vaksin dengan komponen pertusis
(sebaiknya diberikan DTaP untuk mengurangi demam pasca imunisasi) mengingat
kejadian pertusis pada dewasa muda meningkat akibat ambang proteksi telah
sangat rendah sehingga dapat menjadi sumber penularan pada bayi dan anak. DT-
5 diberikan pada kegiatan imunisasi di sekolah dasar. Ulangan DT-6 diberikan
pada 12 tahun, mengingat masih dijumpai kasus difteria pada umur lebih dari 10
tahun. Dosis DTwP atau DTaP atau DT adalah 0,5 ml, intramuskular, baik untuk
imunisasi dasar maupun ulangan. Jadwal untuk imunisasi rutin pada anak,
dianjurkan pemberian 5 dosis pada usia 2,4,6,15-18 bulan dan usia 5 tahun atau
saat masuk sekolah. Dosis ke 4 harus diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan
setelah dosis ke 3. kombinasi toksoid difteria dan tetanus(DT) yang mengandung
10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontra indikasi terhadap
pemberian yang pertusis.15
Menurut jadwal Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2017, jadwal
imunisasi DTP telah diubah menjadi pada usia 2,3 dan 4 bulan, kemudian booster
diberikan saat usia 18 bulan dan 5 tahun.14
Vaksin DTP disuntikan secara Intramuskular pada paha tengah luar
dengan dosis pemberian 0,5 ml sebanyak 3 dosis. Anak yang mendapat DPT pada
waktu bayi diberikan DT 1 kali saja dengan dosis 0,5 cc dengan cara IM, dan
yang tidak mendapatkan DPT pada waktu bayi diberikan DT sebanyak 2 kali
dengan interval 4 minggu dengan dosis 0,5 cc secara IM, apabila hal ini
meragukan tentang vaksinasi yang didapat pada waktu bayi maka tetap diberikan
2 kali suntikan. Bila bayi mempunyai riwayat kejang sebaiknya DPT diganti
dengan DT dengan cara yang sama dengan DPT.15

21
Gambar 2.6. Jadwal imunisasi menurut IDAI.
Kontraindikasi absolut pemberian imunisasi difteri adalah adanya
defisiensi imun dan pernah mengalami syok anafilaksis pada imunisasi terdahulu.
Selain itu, kontrainidikasi sementara yaitu demam tinggi atau sedang dirawat
karena penyakit berat. Efek samping yang dapat ditimbulkan seperti : lemas,
demam, pembengkakan, dan atau kemerahan pada bekas penyuntikan. Kadang-
kadang terjadi gejala berat seperti demam tinggi, iritabilitas, dan meracau yang
biasanya terjadi 24 jam setelah imunisasi. Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan
biasanya hilang setelah 2 hari.16

Tabel 2.1. Indikasi kontra dan perhatian khusus untuk imunisasi.16


Indikasi kontra dan perhatian khusus Bukan indikasi kontra (imunisasi dapat
dilakukan)
Ensefalopati dalam 7 hari pasca DTP
sebelumnya
Perhatian khusus
Demam > 40 ºC dalam 48 jam pasca Demam < 40,5 ºC pasca DTP
DTP sebelumnya, yang tidak sebelumnya
berhubungan dengan penyakit lain
Kolaps dan keadaan sepeti syok Riwayat kejang dalam keluarga
(episode hipotonik-hiporesponsif)

22
dalam 48 jam pasca DTP sebelumnya
Kejang dalam 3 hari pasca DTP Riwayat sudden infant death syndrome
sebelumnya (SIDS) pada keluarga
Menangis terus > 3 jam dalam 48 jam Riwayat KIPI dalam keluarga pasca
pasca DTP sebelumnya DTP
Sindrom Guillain-Barre dalam 6
minggu pasca vaksinasi

Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau Adverse events following


immunization (AEFI) adalah kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi
baik berupa efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek
farmakologis atau kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan, atau hubungan
kausal yang tidak dapat ditentukan. KIPI yang dapat muncul pada imunisasi DTP
terdiri atas :
1. Kejang selain spasme infantile
2. Penyakit demielinisasi SSP
3. Tuli sensoris
4. Eritema multiforme
5. Ensefalopati spasme infantile (hanya pada DT)
6. Neuritis brakial
7. Anafilaksis

Tabel 2.2. Gejala klinis menurut jenis vaksin dan saat timbulnya KIPI
Jenis Vaksin Gejala Klinis KIPI Saat timbul KIPI
Toksoid tetanus (DTP, Syok anafilaktik 4 jam
TT, DT) Neuritis brakial 2-28 hari
Komplikasi akut Tidak tercatat
termasuk kecacatan dan
kematian
Pertusis whole cell Syok anafilaktik 4 jam-72 jam

23
(DTPwT) Ensefalopati Tidak tercatat

Tabel 2.3. Reaksi vaksin, interval kejadian dan rasio KIPI.12


Vaksin Reaksi Interval Kejadian Rasio per jam
dosis
DTP  Persistent 0-24 jam 1.000-60.000
inconsolable
screaming
(menangis
berkepanjangan
lebih dari 3
jam)
 Kejang demam 0-3 hari 570
 Episode 0-24 jam 570
hipotonik
hiporesponsif 0-4 jam 20
(ENH)
 Anafilaktik
 Ensefalopati
0-3 hari 0-1

24
BAB 3
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan
Difteri merupakan penyakit yang harus di diagnosa dan diterapi dengan
segera. Penyebab penyakit difteri adalah bakteri Corynebacterium diphteriae.
Difteri memiliki beberapa tipe manifestasi klinis yaitu difteri hidung, difteri tonsil
faring, difteri laring dan difteri kulit, vulvovaginal, konjungtiva dan telinga.
Difteri bersifat infeksius yang ditularkan melalui droplet dan memiliki angka
mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Salah satu pencegahan yang dapat
dilakukan adalah dengan imunisasi difteri yang diberikan saat usia 2,4,6, bulan,
kemudian booster diberikan saat usia 18 bulan, 5 tahun dan 12 tahun. Vaksin DTP
merupakan jenis vaksin mati (inactivated) yang berisi antigen yang dilemahkan,
sehingga seluruh dosis antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin DTP dapat
diberikan saat antibodi berada di dalam sirkulasi darah. Dosis pemberian vaksin
DTP yaitu 0,5 ml sebanyak 3 dosis disuntikkan secara intramuskular pada paha
tengah luar.

3.2. Saran
Berdasarkan hasil makalah yang telah diolah, maka penulis mempunyai
beberapa saran yang diharapkan dapat dipertimbangkan dan berguna bagi kita
semua, yaitu:
1. Bagi pemerintah membuat strategi penanggulangan agar angka kejadian
difteri dapat menurun.
2. Perlunya peningkatan kesadaran masyarakat dan ikut serta dalam program
imunisasi.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Centers for Disease Control and Prevention, 2016. Diptheria. Available


from : https://www.cdc.gov/diphtheria/clinicians.html [Accessed : 14
Desember 2017]
2. Centers for Disease Control and Prevention, 2016. Diphteria Vaccination.
Available from : https://www.cdc.gov/vaccines/vpd/diphtheria/index.html
[Accessed : 14 Desember 2017]
3. WHO, 2016. Review of The Epidemiology of Diphteria 2000-2016. World
Health Organization.
4. Hughes, et al., 2015. Seroprevalence and Determinants of Immunity to
Diphteria for Children Living in Two Districts of Contrasting Incidence
During an Outbreak in East Java, Indonesia. The Pediatric Infectious
Disease Journal, 34 (11) : 1152-1156.
5. Mulyastuti, et al., 2017. Short Communication : Investigation of Diphteria
in Indonesia : analysis of Corynebacterium diphteriae collected from
outbreaks. Biodiversitas, 18 (2) : 784-787.
6. Soepardi E., Iskandar N, 2004. Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala,
Leher. Edisi Kelima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
7. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, 2008. Buku Infeksi dan
Pediatri Tropis. Ed ke-2. Jakarta: ikatan Dokter Anak Indonesia, h. 312-
21.
8. Feigin RD, Stechenberg BW, Nag PK, 2009. Textbook of Pediatric
Infectious Disease. 6th ed. Philadelphia:Saunders; 2009. p 1393-1401
9. Garna Herry, dkk. 2000. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FKUP/RSHS. 173-176
10. Lee, K. J., 2003, Essential Otolaryngology: Head and Neck Surgery,
Eighth Edition, McGraw-Hill Company: New York, halaman 45
11. Ranuh IGN, Hariyono S, 2011. Pedoman Imunisasi di Indonesia, Ikatan
Dokter Anak Indonesia, Edisi 4, Jakarta.

26
12. Behrman, Kliegman, Jenson, 2010. Nelson Textbook of Pediatrics, 17th
edition, Saunders. Hal 620-623.
13. Kim J .O., 2006 Pediatric Health Supervision dalam Rudolph’s Pediatric,
Edisi 20, United States of America. Hal 29-36.
14. Roitt I, Brostoff J, Male D., 2006. Introduction to the immune system.
Immunology. Toronto: Mosby.
15. Ranuh IGN, Hariyono S, 2005. Pedoman Imunisasi di Indonesia, Ikatan
Dokter Anak Indonesia, Edisi 2, Jakarta.
16. WHO, 2006. Immunization Hand Book. Geneva: WHO.

27

Anda mungkin juga menyukai