Kelangkaan bahan bakar minyak sudah tidak dapat dipungkiri lagi. Persediaan minyak bumi di dunia makin lama makin menipis dan harganya makin melonjak. Salah satunya di Indonesia, seiring dengan perkembangan teknologi, kebutuhan akan sumber energi makin meningkat, terutama dari minyak bumi. Untuk itu, sumber energi selain minyak bumi sangat diperlukan. Adanya krisis energi di dunia telah mendorong kita untuk mendapatkan bahan bakar alternatif sebagai pengganti bahan bakar yang berasal dari minyak bumi. Bahan bakar alternatif yang layak dikembangkan adalah bahan bakar yang bersifat renewable atau terbarukan, ramah lingkungan, dan efisien. Hal ini dapat dilakukan dengan mengembangkan energi yang berasal dari bahan biomassa dan disebut dengan energi biomassa. Energi biomassa ini bersumber dari bahan organik yang sangat beragam jenisnya. Sejauh ini bahan baku unggulan untuk produksi bioetanol adalah gula tebu, jagung, dan singkong. Akan tetapi bahan-bahan tersebut merupakan komoditas pertanian yang ekonomis dan tergolong dalam komoditas pangan, maka perlu diupayakan penggunaan bahan baku non pangan untuk mendukung terwujudnya industri biofuel di dalam negeri. Tanaman sagu (Metroxylon sagu) merupakan tanaman yang tersebar di Indonesia, dan termasuk tumbuhan monokotil dari keluarga Palmae, marga Metroxylon, dengan ordo Spadiciflorae. Sagu memiliki kandungan pati yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis Metroxylon lainnya, sehingga sagu banyak dimanfaatkan dalam berbagai industri pertanian. Saat ini, pemanfaatan sagu hanya terfokus pada pati yang terkandung di dalamnya. Menurut Flach (1997), melaporkan bahwa dalam pati sagu terkandung karbohidrat hingga 85,90%, lebih tinggi dibandingkan beras (80,40%), jagung (71,70%), ubi kayu (23,70%), dan kentang (23,70%). Disamping itu, tanaman sagu memiliki produktivitas yang tinggi pula, yaitu mencapai 25 ton pati kering/ha/tahun. Di Indonesia, luas areal tanaman sagu diperkirakan mencapai 1,128 juta ha atau 51,3% dari luas areal sagu dunia (Dirjen Bina Produksi Pertanian, 2003). Salah satu penghasil sagu terbesar adalah Namun demikian, meskipun Indonesia memiliki luas lahan sagu dan potensinya yang besar, namun sebagian besar masyarakatnya belum memanfaatkan tanaman tersebut secara optimal. Disamping itu, limbah sagu yang merupakan produk samping dari pengolahan pati sagu juga belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal menurut Djoefrie (2003), limbah sagu yang dihasilkan dari proses pengolahan sagu, baik berupa kulit batang dan ampasnya diperkirakan mencapai 72%. Oleh karena itu jika diasumsikan bahwa dari satu hektar lahan sagu diperoleh pati sagu sebanyak 30-60 ton, maka limbah sagu yang dihasilkan mampu mencapai 154 ton (Djoefrie, 2003).