Anda di halaman 1dari 39
Birk 2003 GANGGUAN REPRODUKSI SAPI PERAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN KINERJA INSEMINASI BUATAN (IB) DI WILAYAH JAWA BARAT, JAWA TENGAH DAN D.I. YOGYAKARTA SKRIPSI ASEP SUWANDI B01498123 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2003 RINGKASAN Asep Suwandi (B01498123). 2003. Gangguan Reproduksi Pada Sapi Perah Dan Hubungannya Dengan Kinerja Inseminasi Buatan Di Wilayah Jawa barat, Jawa tengah dan DI Yogyakarta, (dibawah bimbingan R. Kurnia Achjadi) Produktivitas teak yang sebagian besar pada petemakan rakyat saat ini masih dihadapkan pada masalah rendahnya angka kelahiran, tingginya angka kematian masih ditemukannya gangguan reproduksi. Upaya peningkatan produktivitas iemak dapat dicapai melalui teknik inseminasi buatan, embrio transfer dan rekayasa genetik. Kegagalan reproduksi pada temak sapi perah baik langsung maupun tidak langsung dapat mendatangkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Pada prinsipnya kegagalan reproduksi di wilayah Jawa barat, Jawa tengah dan D.1 Yogyakarta disebabkan oleh faktor pakan dan faktor penvakit (gangguan reproduks’) Pemberian makanan yang baik dari segi kualitas dan kuantitasnya serta pengaturan pemberian pakan yang baik dapat menjamin kelangsungan fungsi tubuh secara normal termasuk fungsi reproduksinya.Umumnya pada peternakan rakyat yang Pengelolaannya masih bersifat sederhana sering ditemukan adanya kasus-kasus gangguan reproduksi, Hal ini menjadi perhatian karena kegagalan reproduksi akan berpengaruh terhadap keberhasilan kinerja inseminas buatan Kasus-kasus gangguan reproduksi sapi perah di pulau jawa pada tahun 1990-1992 diketahui sebagai berikut, retensio secundinae 22.4%. endometritis 19.7%, anestrus post partus 20, 1%, kawin berulang 28.3%, silent heat 7.2% dan abortus 2.5% . Dimana kasus- kasus tersebut akan mempengaruhi efisiensi reproduksi seperti memperpanjang calving interval, memperbesar service per conception dan memurunkan conception rate dan calving rate. Tujuan’ dari studi ini adalah mencari sebab-sebab Kekurang berhasilan usaha pengembangan sapi perah, terutama yang berhubungan dengan gangguan reproduksi pada temmak sapi perah dan penanggulangan terhadap akseptor inseminasi buatan yang mengalami gangguan fungsional reproduksi yaitu dengan melakukan pemeriksaan dan pengobatan sehingga kinerja inseminasi buatan dapat ditingkatkan, Data diperoleh dari laporan akhir Proyek Pembinaan Produksi Peternakan Pusat tahun anggaran 2002. Direktorat Jenderal Bina Produksi Petemakan tentang penanggulangan gangguan reproduksi ternak dalam rangka peningkatan kinerja insemninasi buatan tahun 2002. Judul Skripsi Gangguan Reproduksi Sapi Perah dan Hubungannya dengan Kinerja Inseminasi Buatan ( 1B ) di Wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Dl. Yogyakarta Nama Mahasiswa Asep Suwandi RP B 01498123 Telah diperiksa dan disetujui oleh Josen pembimbing | —__—— Drh_R_Kurnia Achjadi, MS NIP 130 $36 668 Tanggal lulus 02 ME1 2903 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rhmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan ini Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam meraih gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada program Sarjana (S1) dengan judul Gangguan Reproduksi Sapi Perah dan Hubungannya dengan kinerja Inseminasi Buatan (IB) di Wilayah Jawa Barat. Jawa Tengah dan D.1, Yogyakarta, Pada kesempatan ini Penulis menyampaikan terima kasi yang tak terhingga kepada Drh, R. Kurnia Achjadi MS sebagei pembimbing yang telah banyak ‘memberikan ilmu dan pengerahan mulai dari perencanaan, pelaksanaan. pengkajian * sampei dengan penyelesaian penulisan skripsi, juga kepada Drh, Abdul karnaen yang telah memberikan dara-data yang dibutuhkan untuk dapat diolah menjadi suatu tulisan Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ibu Augustine N.S. keluarga bapak Syahir. keluarga bapak Eko. ibu dan kakak-kakak semua yang telah memberikan bantuan, semangat. bimbingan dan dukungannya Tidak lupa juga kepada Christhoper Eric, Melly dan Syifa yang telah memberikan bantuan dan cukungannya selama penyusunan ini Penulis menyadari tulisan ini masih belum sempumna. namun demikian hasil - pengkajian yang telah disajikan dalam tulisan ini diharapkan bermanfaat bagi semua Bogor. maret 2003 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 26 maret 1979. sebagai anak kelima dari lima bersaudara dari ayah Darya (almarhum) dan ibu imi, Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar Negeri Papandayan | Bogor pada tahun 1992 kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 10 Bogor dan ulus tahun 1996, tahun 1998 menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Umum Negeri 7 Bogor DAFTAR IST RINGKASAN LEMBAR PENGESARAN KATA PENGANTAR RIWAYAT HIDUP..... DAFTAR IST...... DAFTAR TABEL. PENDAHULUAN. TINJAUAN PUSTAKA .... ~ Kegagalan Reproduksi Pada Sapi Perah. ~ Inseminasi Buatan = Sebab-sebab Kegagalan Reproduksi METODOLOGI KEGIATAN HASIL DAN PEMBAHASAN ~ Hambatan Perkembangan Usahe Sapi Perah Rakyat Di Jalur Persusuan Tradisional Di Pulau Jawa ~ Kasus-kasus Gangguan Reproduksi Pada Sapi Perah Dibeberapa Daerah Di Pulau Jawa. = Derajan Keberhasilan Inseminasi Buatan KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA iit vi vii 27 28 30 DAFTAR TABEL Tabel 1 Kasus Gangguan Reproduksi Pada Sapi Perah Di Pulau Jawa 1990-1992 20 2. Kasus Gangguan Reproduksi Pada Sapi Perah Di Daerah Jawa Barat. Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta 2002. 26 vil PENDARULUAN Pemerintah dan masyarakat Indonesia dewasa ini menunjukkan perhatian yang tinggi terhadap usaha-usaha pengembangan peternakan Hal ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan akan protein hewani sebagai akibat dari pertambahan penduduk dan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang nilai gizi makanan dari hasil ternak. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut berbagai upaya telah, sedang dan akan terus dilaksanaican, baik dari segi manajemen, penyediaan makanan temnak dan pengadaan bibit unggul, Dalam bidang reproduksi pengadaan bibit unggul bisa dilakukan melalui teknik inseminasi buatan, embrio transfer dan rekayasa genetika Bidang ini mempunyai arti yang cukup penting, Karena suatu kegagalan akan mengakibatkan kerugian secara ekonomi bagi peternak dan menghambat tecapainya tujuan pembangunan : Rendahnya tingkat kesuburan pada sistem reproduksi hewan terutama sapi perah disebabkan oleh adanye beberapa faktor gangguan reproduksi. sehingga menimbulkan kasus infertilitas seperti. hypofungsi ovarium, corpus luteum persisten, sistik ovari, peradangan alat reproduksi, gangguan hormonal dan tingkatan gizi yang rendah akibat makanan yang kurang bermutu Selain kasus-kasus tersebut yang dianggap sebagai faktor gangguan pada reproduksi. maka faktor manajemen dan penanganan temak juga memegang peranan dalam kasus terjadinya gangguan tersebut. sehingga peru _perhatian penanggulangannya. Manajemen penanganan teak antara lain meliputi cara pemeliharaan, pemberian pakan, pengamatan terhadap berahi dan aktivitas reproduksinya. pelaksanaan insemingsi buatan dan pencatatannya dan pemberantasan kemajiran. Bila hal ini tidak diperhatikan dengan sungguh-sungguh maka hal ini akan menjadi penyebab utama kegagalan reproduksi pada ternak. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah mencari sebab-sebab kekurang berhasilan usaha pengembangan sapi perah, terutama yang berhubungan dengan gangguan reproduksi pada temnak sapi perah dan penanggulangan terhadap akseptor inseminasi buatan yang mengalami gangguan fungsional reproduksi yaitu dengan melakukan pemeriksaan dan pengobatan sehingga kinerja_inseminasi dapat ditingkatkan TINJAUAN PUSTAKA. Kegagelan Reproduksi pada Ternak Sapi Perah Kegagalan reproduksi pada ternak baik langsung maupun tidak langsung dapat mendatangkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Pada prinsipnya kegagalan reproduksi bersumber pada tiga faktor utama yaitu faktor manusia yang mempertemukan kedua jenis sel kelamin atau gamet, faktor hewan jantan dan hewan betina itu sendiri (Djojosudarmo dalam Toelihere. 1981). Faktor manusia Faktor-faktor tatalaksana yang dapat mempengaruhi kegagalan reproduksi antare {ain perkawinan yang terlalu cepat post partum, adanya kekurang suburan dari pejantan di petemakan yang mengunakan lebih dari seekor pejantan. mengganti Pejantan bila tidak langsung bunting pada perkawinan pertama, terlambat meminta pertolongan dokter hewan dan tidak adanya recording perkawinan Berdasarkan sistem pengelolaan. sebagian besar kegagalan reproduksi disebabkan oleh Kesalahan manajemen yang meliputi perkandangan, pemberian makanan, deteksi dan pelaporan berahi. pelaksanaan inseminasi, pemeriksaan kebuntingan dan penanganan kemajiran (Toelihere, et.al. 1975) Faktor hewan jantan (pejantan) Menurut Djojosudarmo dalam Toelihere (1981), kegagalan reproduksi pada pihak pejantan sekarang ini kurang mendapatkan perhatian karena banyak pengusaha peternakan, terutama pusat—pusat IB telah mengkhususkan diri dalam produksi semen kualitas tinggi. Dengan adanya program IB make kesulitan - kesulitan dari pihak pejantan bisa diatasi, karena dengan penggunaan teknik modern ini satu pejantan unggul dapat dipakai untuk melayani banyak betina. Kegagalan reproduksi pada hewan jantan dapat disebabkan karena kegagalan menghasilkan spermatozoa yang hidup normal dan motil atau kegagalan melakukan kopulasi secara normal untuk membawa spermatozoa kedalam saluran kelamin betina Faktor hewan hetina Pada hewan betina sebeb kegayalan reproduksi meliputi gangguan fungsional dan yangguan kescimbangan hormonal sebagai akibat kekurangan atau kelebihan makanan. Disamping itu dapat sebagai akibat kelainan anatomik vang bersifat menurun. patologi uterus karena infeksi lokal oleh berbagai kuman dan berbagei penyakit menular (Toetihere. et.al, 1975) Gangguan hormonal pada sapi betina biasanya terlihat dengan tanda - tanda penyimpangan siklus estrus yang bervariasi dari anestrus sampai ke siklus estrus yang, tidak teratur atau estrus terus menerus (Salisbury dan Van Demark. 1978) Selanjutnya Toelihere (1981). menyatakan bahwa anestrus dapat dibagi menjadi dua yaitu anestrus dengan corpus luteum (CL) yang normal seperti pada saat kubuntingan, corpus luteum persisten (CLP), subestrus atau silemt heat, berahi yang tidak teramati. anestrus tanpa corpus luteum (CL) meliputi subestrus, anestrus karena kelemahan atau penurunan berat badan, defisiensi makanan, penyakit kronis dan kelemahan umum, senilitas. iklim. ovarium yang sistik dan kondisi lainya seperti ~ hypofungsi ovari, hypoplasia ovari, defect kongenital, freemartin, tumor ovari dan __ gangguan hipofisis, Ovarium yang sistik merupakan kausa utama infertilitas pada sapi perah dan hampir 2S prosen sapi vang mengalami gangguan reproduksi_ mengandung sistik ovari. Pada keadean yang sistik dapat terjadi anestrus atau nymphomania (Toelihere. 1981) Partodihardjo (1987), menyatakan bahwa kawin berulang mempunyai banyak penyebab yang pad pokoknya setelah perkawinan tidak disertai proses inplantasi yang berkembang menjadi kebuntingan, Faktor penyebab tersebut terbagi menjadi tiga bagian 1. Faktor individu betina antara lain, adanya penyakit kelamin. kelainan hormonal. kelainan anatomi dan kerusakan pada saluran reproduksi betina. 2. Faktor lingkungan. termasuk manajemen, pemberian dan mutu pakan 3. Faktor manusia yang terlibat didalamnya Infeksi saluran reproduksi dapat diakibatkan oleh kuman, virus, protozoa atau Jamur Manisfestasi kegagalan reproduksi yang sangat nyata akibat infeksi mikrorganisme adalah terjadinya abortus Selanjutnya Roberts (1971), _membagi infeksi spesifik dalam dua golongan yaitu yang bersifat sistemik dan penyakit- penyakit khusus, Infeksi non spesifk memerlukan kausa predisposisi dan mempengaruhi individu sapi Kejadian distokia sangat_ membahayakan induk bahkan foetusnya Keterlambatan dalam menangani distokia dapat menyebabkan kernatian foetus. sehingga membahayakan induknya. Kausa distokia sangat beragam entara lain, induk kurang exercise. ukuran foetus yang besar. trauma dari beberapa faktor lainnya. Retensio secundine merupakan kegagalan pelepasan villi kotiledon foetal dari kripta karunkula maternal Tetapi retensio secundine sebenarnya adalah proses komplek yang meliputi pengurangen suplai darah diikuti oleh penciutan struktur plasenta maternal dan foetal, perubahan-perubshan degeneratif dan kontraksi uterus yang kuat (Toelihere. 1981). Inseminasi Buatan (IB) Inseminasi buatan merupakan suatu bentuk modifikasi memasukan semen ke dalam saluran kelamin betina melalui alat buacan manusia (Salisbury dk. 1978) Sedangkan menurur Cole dan Cupps (1977), keberhasilan inseminasi tergantung pada fertilitas sperma yang digunakan, penanganan semen yang baik. ‘wakty yang tepat dan posisi vang benar. Untuk itu diperlukan pengetahuan tentang anatomi dan fisiologi hewan betina serta keahlian yang di dapat dari pengalaman Berdasarkan pengalaman sapi - sapi vang bunting dapat menunjukan tanda- tanda estrus. inseminasi intra uterin pada sapi bunting dapat mengakibatkan abortus, sedangkan inseminasi pada cervix tidak menyebabkan abortus (Salisbury dan Van Demark. 1978). ‘Menurut Salisbury dan Van Demark (1978), ukuran dan efisiensi reproduksi pada sapi tidak hanya ditentukan oleh proporsi ketidak-sanggupan hewan memproduksi hewan muda saja, Betina dapat melahirkan hanya jika spermatozoa membuahi ovum dan menyebabkan proses kebuntingan. inplantasi, diferensinsi embrio-secara normal serta pertumbuhan fetus Untuk menilai efisiensi inseminasi dilekukan beberpa cara antara lain Non Return Rate (NR). Conception Rate (CR). Service per Conception (S/C), Calving Rate dan Calving Interval (C1). Non Return Rate (NR) adalah prosentase hewan yang tidak kembali minta kawin atau bila tidak ada permintaan inseminasi lebih lanjut dalam waktu 28 sampai 35 hari atau 60 sampai 90 hari (Toelihere. 1981). peneliti lain memberikan patokan 30 - 60 hari atau 90- 120 hari (Partodihardjo. 1987). Penilaian dengan NR tidak terlalu benar karena betina yang tidak minta kawin (TB) kemungkinan mati, dijual, hilang. berahi tenang, Corpus Luteum Persisten (CLP) dan tidak bunting sebaliknya sapi yang minta kawin (1B) belum tentu tidak bunting, karena 3.5 prosen sapi bunting masih memperlihatkan tanda estrus (Toelihere, 1981). Conception Rate (CR) adalah prosentase sapi betina yang bunting pada ingeminasi pertama. Angka konsepsi ini ditentukan dengan pemeriksaan kebuntingan Angka ini dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kesuburan betina, kesuburan pejantan dan teknik inseminasi (Toelihere, 1981) Menurut Barret dalam Toelihere (1981). ‘menyatakan angka NR pada 60 ~ 90 hari umumnya 5.5 sampai 6 prosen lebih tinggi dari CR. Kira - kira 1.3 sampai 2 prosen foews menghilang antara 90 hari sampai dengan saat akan melahirkan Service per Conception (S/C) adalah jumlah pelayanan inseminasi yang Gibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadi kebuntingan Dalam perhitungan ini betina steril tidak ikut diperhitungkan dan semen tidak dari pejaman yang berbeda ~ beda. S/C normal antara 1.6 sampai 2 makin rendah nilai S/C makin tinggi tingkot kesuburannya. Semakin tinggi nilai S/C makin rendah tingkat kesuburan kelompok betina tersebut (Toelihere. 1981) Calving Rate adalah prosentase jumlah anak yang lahir dari hasit satu kali inseminasi, apakah inseminasi pertama. kedua dan seterusnya. Dalam suatu populasi sapi betina fertil diinseminasi semen ferti Calving Rate dapat mencapai 62 prosen untuk satu kali inseminasi. bertambah kira - kira 20 prosen dengan dua kali inseninasi dan seterusnya. Besamnya nilai Calving Rate tergantung effisiensi kerja inseminator. kesuburan pejantan, kesuburan betina waktw diinseminasi dan kesanggupan memelihara anak dalam kandungan sampai lahir (Toelihere, 1981). Calving imerval (C1) adaleh jumlah antare kelahiran anak pertama dengan anak berikutnya. CI optimum adalah 12 - 13 bulan, bila Cl di perpendek akan ‘menurunkan produksi susu 7 ~ 9 prosen pada laktasi yang sedang berjalan atau yang akan datang, Sedangkan bila Cl diperpanjang sampai 450 hari laktasi akan meningkat 3.5 prosen (Sudono. 1985). Sebab-sebab kegagalan reproduksi Secara_umum faktor-faktor kegagalan reproduksi dapat dibagi menjadi beberapa sebab utama, yaitu 1, Faktor Pengelolaaan Kegagalan reproduksi karena faktor pengelolaan meliputi © Perkandangen © Pemberian pakan ‘+ Deteksi dan pelaporan berahi © Perkéwinan dan IB © Pemeriksaan kebuntingan (PKB) © Pemeriksaan serta penanggulangan penyakit dan kemajiran kesalahan pengelolaan yang penting antara lain adalah + Kegagalan mendeteksi tanda-tanda berahi dan ketepatan waktu saat mengawinkan © Perkawinan yang terlalu cepat sesudah beranak © Kelalaian pelaporan pada petugas apabila ada kasus © Kelalaian pencatatan perkawinan 2. Faktor Makanan Di negara berkembang seperti Indonesia dimana kebutuhan makanan untuk manusia masih merupakan faktor yang perlu diperhatikan, maka kebutuhan makanan untuk ternak belum begitu serius ditangani, terutama oleh petani desa yang merupakan mayoritas peternak negara tersebut. Makanan temak dalam jumiah dan kualitas yang cukup, menjamin kelangsungan fungsi-fungsi tubuh temak secara normal termasuk fungsi-fungsi reproduksi, Hanya reproduksi yang normal yang dapat menjamin kelanjutan dan petipat-gandaan reproduksi. I. Moustgaard yang dikutip oleh Cole dan Cupps (1977), menyatakan bahwa kekurangan makanan mempunyai pengaruh pada perkembangan dan fungsi dari organ reproduksi secara langsung maupun tidak langsung, Salisbury (1978), menyatakan bahwa kombinasi defisiensi protein dan phospor menyebabkan kelambatan pendewasaan kelamin dan menekan gejala-gejala berahi normal. Defisiensi makanan karena kekurangan hidrat arang, protein dan elemen-elemen lainnya yang perlu untuk mempertahankan berat badan, dapat menyebabkan penundaan pubertas dan kegagalan siklus sesudah partus, Keadsan ini sering ditemui pada sapi-sapi dara yang dipelihara di padang rumput atau hanya diberi rumput kering yang kurang baik. Kekurangan rumput pada musim kemarau yang lama dapat menurunkan berat badan yang menyebabkan kegagalan reproduksi. Sapi dara dengan tingkat nutrisi yang tinggi dapat mencapai pubertas dan perkembangan estrus rata-rata pada umur 9-10 bulan, sedangkan sapi dara dengan -tingkat nutrisi yang rendah pubertas dan perkembangen estrus dapat dicapai pads umur 16 bulan (Roberts. 1971) Menurut Jainudeen dan Hafez dalam Hafez (1980), kandungan energi pada makanan mempunyai pengaruh yang nyata pada kedua ovarium. Makanan yang tidak berkecukupan bisa menekan estrus pada sapi-sapi muda yang sedang tumbuh dibanding dengan sapi betina dewasa. Kandungan energi yang rendah bise menyebabkan tidak aiifrya ovarium yang tidak munculnya estrus pada sapi-sapi dewasa yang menyusui anaknya Defisiensi phospor pada sapi menyebabkan tidak berfungsinya ovarium, terundanya dewasa kelamin, tertekannya tanda-tanda estrus dan terhentinya estrus. Selanjumnya dinyatakan dahwa kekurangan mangan (Mn) pada induk menyebabkan gangguan pada ovariumnya. ditandai dengan melemahnya estrus atau sama sekali tidak terjadi estrus. Namun menurut Roberts (1971). Defisiensi vitamin A dan & tidak mempengaruhi sikius estrus dan fungsi dari ovarium Dikatakan bahwa pemberian makanan yang berlebihan dapat _menyebabkan infertilitas pada sapi, Hal tersebut disebabkan Karena tertimbunnya lemak pada 10 ovarium dan bursa ovarium, sehingga dapat menghambat perjalanan ovum ke tuba faloy Pada hewan betina yang kegemukan, ovarium akan tampak seakan-akan mengecil karena tertutup oleh lemak yang menyebabkan terjadinya anestrus Kekurangan Cu dan Fe dalam makanan dapat mengekibatkan kegagalan estrus dan kelambatan pubertas. sedangkan defisiensi lodium dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan penurunan berat badan dan anestrus (Roberts. 1971). 3.Faktor Hormonal Gangguan sistem endokrin yang mempengaruhi reproduksi pada dasarnya berasal dari hormon gonadotropin dan hipofisa anterior (FSH. LH, dan LTH) dan hormon ovarial (estrogen dan progesteron) Gangguan hormonal pada sapi betina biasanya terlihat dengan tanda-tanda penyimpangan siklus berahi. Penyimpangan tersebut antara lain anestrus, siklus estrus yang tidak teratur atau berahi yang terus menerus. Gangguan tersebut dapat menyebabkan kamajiran. Penyebab kemajiran pada sapi pada umumnya berpangkal pada faktor makanan, genetis dan stress -Kadangkala hormonal justru disebabkan oleh pemberian atau penyuntikan hormon _kelamin Anestrus dapat dibagi menjadi dua yaitu. anestrus dengan CL yang normal seperti pada saat kebuntingan. CLP. subestrus atau silent heat dan berahi yang tidak teramati, Anestrus tanpa CL meliputi subestrus, anestrus karena kelemahan atau penurunan berat badan. defisiensi makanan, penyakit kronis, senilitas, iklim, ovarium yang sistik dan Kondisi lain seperti hypofuungsi ovarium, hypoplasia ovarium kongenital, freemartin, tumor ovarium dan gangguan hipofisis. "1 Arthur (1975), mengatakan bahwa anestrus yang berhubungan dengan patologi uterus dan CL yang fungsional mungkin disebabican oleh kegagalan pelepasan bahan luteolitik dari endometrium sehingga CL gagal beregresi dan siklus berahi terganggu. Pada sapi-sapi dara, anestrus sering ditemukan sebagai suatu masalah kelompok. terutama selamaperiode Kekurangan makanan yang ‘mempengaruhi mekanisme kerja hormon Banyak pendapat tentang terjadinya ovarium yang sistik. bahwa sebab dasar dari kondisi tersebut adalah kegagalan hipofisa anterior dalam melepaskan gonadotropin (LH yang cukup untuk berovulasi). Selanjutnya Toelihere (1981) menyatakan bahwa pada keadaan ovarium yang sisik dapat terjadi anestrus atau nymphomania. Sapi-sapi yang _menderita nymphomania mempertihatkan gejala berahi yang sering. tidak teratur. lama stu terus menerus. Sedangkan pada anestrus hewan betina lama tidak menunjukan gejala berahi, kalaupun gejalanya sangat lemah dan jarang. keadaan anestrus dapat berbalik menjadi nymphomania atau sebaliknya. Meningkatnya kasus sistik ovari karena seleksi untuk mendapatkan sapi perah dengan produksi susu yang tinggi. hal ini disebabkan pelepasan prolaktin yang tinggi, sehingga pelepasannya hormon lutein berkurang (Arthur. 1975), Sedangkan beberapa peneliti menyatakan bahwa bertambahnya makanan dengan kadar proteinnya tinggi ” meransang laktasi dan pertumbuhan siste. Corpus Luteum Persisten adalah suatu keadaan dimana sebarusnya corpus iuteum yang terbentuk: mengalami regresi (penyusutan), tetapi pada kenyataannya tetap bertahan sehingga mempengaruhi pengeluaran hormon-hormon dari hipofisa 12 anterior. Dengan bertahannya corpus luteum tersebut, maka produksi hormon progestero terus berlangsung dan tetap disekresi sehingga mengakibatkan hewan yang, bersangkutan terhenti siklus estrusnva. sedangkan hewan sebenamnya tidak bunting (Hafez, 1980) Salisbury (1978) mengatakan bahwa CLP suatu kondisi CL tetap tinggal dan berfungsi melewati periode normal kira-kira 17 hari ynag terjadi pada sapi bunting dan menyebabkan waktu siklus yang diperpanjang Sedangkan Roberts (1971) menambahkan bahwa corpus luteum yang terbentuk beregresi secara lambat. akibat produksi susu yang tinggi Produksi susu vang tinggi menyebabkan hormon prolaktin disekresikan lebih banyak dan hormon ini bersama-sama dengan LH berfungsi memelihara corpus luteum dan menghasilkan progesteron yang sifatnya menghambat prostaglandin dari uterus dengan terhambatnya sekresi prostaglandin. maka corpus luteum tidak mengalami regresi dan siklus terhenti Hypofungsi ovarium disebabkan oleh ketidak-seimbangan hormonal. Roberts (1971) mengatakan bahwa hypofungs! ovarium ditandai dengan ukuran ovarium yang, normal. tetapi permukaannya licin karena tidak adanya perkembangan folikel. Arthur (1975) menambahkan bahwa ovarium yang mengalami hypofungsi pada perabaan berbentuk bulat, rata. licin, dan kecil bila dibandingkan pada normal Kekurangan makanan dalam jangka waktu yang lama yang disertai penyakit yang bersifat kronis terurama sapi-sapi yang sedang laktasi dapat menyebabkan turunnya berat badan. Keadaan demikian akan menghambat perkembangan ovarium (Vandeplassche, 1982). 13 Hypofungsi ovarium dapet pula disebabkan oleh efek negatif feed back pada pengobatan yang terus menerus dengan progesteron atau dengan estrogen. Infeksi terhadap saluran reproduksi dapat mempengaruhi kesuburan ternak dengan cara merubah suasane lingkungan menjadi kurang sesuai, Dikenal dua bentuk infeksi, yaitu infeksi spesifik dan non spesifik (Arthur. 1975). Selanjuinya Roberts (1971) membagi infeksi dalam dua golongan. yaitu yang bersifat sistemik dan penyakit-penyakit khusus. Infeksi non spesifik memerlukan kausa predisposisi dan cenderung mempengaruhi individu sapi. Hafez (1980) menambahkan bahwa mikroorganisme yang menyebabkan infeksi yang non spesifik masuk ke dalam uterus pada waktu sesudah partus atau pada pelaksanaan IB yang tidak lege artis. Infeksi saluran kelamin betina dapat berupa pyometra, endometrtis, vaginitis. cervicis dan vulvitis. Infeksi saluran reproduksi dapat disebabkan oleh kuman, virus. protozoa dan jamur. Kegagalan reproduksi yang sangat nyata akibat infeksi mikroorganisme tersebut yaitu abortus 4, Faktor Genetik Faktor genetik merupakan faktor yang dalam pengusahakan peternakan, salah satu kepentingan tersebut berhubungan dengan hal-hal yang menyebabkan gangguan reproduksi yang bersifat menurun (Roberts. 1971). White heifer diseases merupakan perkembangan yang tidak sempurna dari duktus Mulleri, dan bisa melibatkan vagina.cervix.uterus atau seluruh saluran organ tersebut secara_bersama-sama. ‘Ovarium pada hewan tersebut dalam keadaan normal, tetapi tidak dapat terjadi fertilisasi (Vandeplassche. 1982). Hipoplasia ovarium pada perabaan per rektal akan terasa terpipih. tipis. licin dan keras. Apabila keadaanya parah, akan terjadi penebalan seperti tali, Pada . hipoplasia bersifa bilateral. maka traktus yenetalisnya mengecil dan hewan lebih menampakkan sifat kejantanan 5. Faktor Lingkungan Pengaruh iklim seperti suhu lingkungan. kelembaban dan sinar matahari berpengaruh terhadap kejadian inferilitas Dalam kondisi iklim tropis. maka periode estrus menjadi lebih singkat (Gangwar dalam Toelihere. 1981) Selanjutnya dikatakan bbahwa sapi-sapi dara yang ditempatkan dalam kandang bersuhu 24-35 derajat ceicius, maka lama periode estrusnva hanva 11 jam. sedangkan suhu 17-18 derajat celcius dapat mencapai20 jam Young (1979) mengatakan bahwa, pada keadaan musim yang tidak normal dengan suhu sangat rendah sekali, sering terjadi hipofungsi ovarium, keadsan ini timbul pada waktu yang bervarias. tapi paling sering terjadi pada sapi menjelang pubertas atau setelah partus pada sapi dewasa berbagai faktor lingkungan dapat mempengaruhi kerja otak sehingga menekan aktifitas ovarium. Senititas atau ketuaan vang disertai dengan kebilangan gigi. menyebabkan kehilangan kemampuan untuk untuk memamah biak, terutama sapi-sapi induk yang tua akan menyebabkan penurunan berat badan, kelemahan dan anestrus atau kegagalan berahi (Roberts. 1971) Selain iru, organ reproduksi pada hewen tua juga mulai berkurang fungsinya 15, 6. Faktor Aksiden Fakror aksiden vang dimaksud disim adalah sebayai kejadian vany tidak dapat diduga sebelumnva, atau seperti halnva dengan kecelakaan Kejadian-kejadian tersebut misainva : distokia, torsio uteri dan sebaginva. Kejadian aksiden dapat membawa akibat kepada kurang suburnya ternak penderita bila tidak ditangani secara serius. 16 METODOLOGI KEGIATAN Pengumpulan data diperoleh dari hasil laporan akhir Proyek Pembinaan " Produksi Petemakan Pusat tahun anggaran 2002. Direktorat Jendral Bina Produksi Peternakan tahun 2002. tentang penanggulangan gangguan reproduksi ternak dalam rangka penigkatan kinerja Inseminasi Buatan (1B) tahun 2002 yang diselenggarakan atas kerjasama Pusat Pengembangan Inseminasi Buatan (IB) dan Transfer Embrio ‘Ternak (PUSPITNAK). Direktorat Jendral Bina Produksi Peternakan dengan Fakultas Kedokteran Hewan IPB. UGM. UNAIR serta Dinas Petemakan propinsi Jawa barat. Jawa tengah. D.I Yogyakarta dan Jawa timur. 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Hambatan Perkembangan Usaha Sapi Perah Rakyat dijalur Persusuan Tradisional di Pulau Jawa Hambatan perkembangan usaha sapiperah rakyat di jalur persusuan tradisional di pulau jawa menurut Achjadi, KR (2000). yang disampaikan dalam rapat teknis dan pertemuan ilmiah (Raktepil) Oktober 2000 yaitu : faktor pakan dan faktor penyakit (gangguan reproduksi) Faktor pakan (energy intake/nutrisi) Pemberian makanan merupakan salah satu faktor yang menentukan berhasilnya petemekan sapi perah, Seekor sapi perah yang mempunyai daya produksi susu tinggi, bila tidak mendapat makanan yang cukup baik kualitas maupun kuantitasnya tidak akan menghasilkan susu yang sesuai dengan kemampuannya. " Pengaturan pemberian makanan sebaiknya dimulai pada saat peder sampsi menjadi dewasa Menurut Sudono (1984) susunan ransum untuk seekor sapi perah yang berbobot 450 kg dan produksi susu 13 liter dengan kadar lemak 3.5 % adalah 30 kg rumput segar dan 6 kg konsetrat pabrik. Makanan ternak dalam kuantitas dan kualitas yang cukup dapat menjamin kelangsungan fungsi tubuh secara normal termasuk fungsi reproduksinya. Kasus kemajiran pada hewan temak biasanya disebabkan oleh kekurangan beberapa zat makanan, Toelinere (1981) mengemukakan keadaan peternakan di Indonesia khususnya pada sapi perah rakyat, defisiensi makanan merupakan penyebab utama lambatnya 18 pubertas, estrus yang tidak jelas (silent heat), anestrus dan hipofungsi ovarium Pemberian makanan yang berlebihan menurut Roberts (1971) dapat menysbabkan - infertilites pada sapi, Hal tersebut disebabkan tertimbunnya temak pada ovarium dan bursa ovarium, sehingga menghambat ovulasi dan menghambat perjalanan ovum ke tuba falopii Konsetrat merupakan bahan makanan penguat yang mengandung serat kasar rendah dan bersifat mudah dicerna. Konsetrat berisi zat-zat yang tidak dapat dipenuhi ole’ hijauan untuk mencukupi kebutuhan sapi perah (Sudono, 1984). Beberapa mineral yang penting dalam fungsi reproduksi adalah cobalt, mangan, tembaga dan phospor (Hafez. 1980). Menurut Roberts (1971) kekurangan plumbum dan besi dalam makanan akan menyebabkan kegagalan berahi dan terlambat pubertas, sedangkan defisiensi_yodium dalam jangka _panjang mengakibatkan penurunan berat badan dan anestrus. Faktor penyakit (gangguan reproduksi) Umummya pada peternakan rakyat yang pengelolaanya masih bersifat sederhana sering ditemukan adanya kasus-kasus yangguan reproduksi, Hal ini perlu menjadi perhatian karena kegagalan reproduksi akan berpengaruh terhadap keberhasilan program IB. Menurut Achjadi K R (1994) kasus gangguan atau penyakit reproduksi pada sapi perah di pulau jawa tahun 1990-1992 dalam prosen adalah sebagai berikut retensio rekundinae 22.4%. endometritis atau metritis 19.7%, anestrus post partus 20.1%, kawin berulang 28.3%. silent heat 7.2% dan abortus 2.5% Data tersebut dapat dilihat pada tabel | 19 Tabel |. Kasus Gangguan/Penyakit Reproduksi Pada Sapi Perah di Pulau Jawa. 1990-1992 (Achjadi. KR. 1994) : Tenis kasus Persen (%) Raetais Sekanainae {2.4% Endometriis : 19.7% [Anestras Post Parus 30,186 Kawin Berulang : 283% Silent Heat 72% ‘Abortus a Sumber laporan akhir Proyek Pembinaan Produksi Peternakan Tahun Anggaran 2002 Gangguan reproduksi akibat komplikasi kelahiran dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor Retensio secundinae adalah tertahannya selubung foetus plasenta di dalam rahim setelah proses kelahiran melebihi waktu yang normal (3-8 jam). Retensio Secundinae pada dasarnya adalah suatu proses kompleks. Sebab-sebabnya antara lain adanya infeksi uterus pada masa kebuntingan makanan dengan kadar caroten rendah dan kelemahan atau atoni uterus Karena penimbunan cairan dalam selaput foetus,torsio uteri, distokia, kurangnya exercise dan kondisi patologis lainnya. Terapi yang dilakukan pada umumnya dengan mengeluarkan selaput foetus secara manual, kemudian diberikan antibiotika secara intra uterin dan general. 20 Abortus paling banyak terjadi pada usia kebuntingan triwulan kedua dan ketiga. Secara ekonomis abortus merupakan masalah besar bagi peternak. karena kehilangan foetus dapat diikuti dengan terjadinya gangguan pada uterus. Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya abortus. antara lain infeksi kuman-kuman, gangguan hormonal. nutrisi. trauma dan sebagainya. Penanggulangan sapi yang mengalami abortus berupa pemberian antibiotika secata untra uterin, yang sebelumnya sisa-sisa abortus dibersihkan terlebih dahulu. keadaan patologik saluran kelamin karena infeksi atau trauma, biasanya diperoleh pada waktu atau setelah partus. juga bisa pada waktu melakukan inseminasi buatan, Endometritis ringan tidak mempengaruhi Kesehatan secara umum dan siklus berahi. tetapi menyebabken nilai S/C meningkat. Sedangkan Endometrtis berat dapat menyebabkan gangguan kesehatan secara umum, bahken penyembuhannya " memerlukan waktu yang relatif lama karena dapat menyebabken hilangnya gejala + berahi akibar adanya Corpus Luteum Persisten (CLP). Kasus endometritis ini terjadi karena uterus terlambat dibersihkan atau tidak dibersihkan atau juga karena peralatan yang dipergunakan untuk IB tidak dijaga kebersihannya. Ada peternak yang sudah mengerti tentang penggunaan antibiotika yang dimasukkan ke dalam uterus setelah sapinya melahirkan. sedang sebagian besar lainnya jarang atau bahkan tidak melakukannya, Pengobatan endometritis dapat dilakukan dengan menggunakan preparat hormon estrogen secara intramuskuler dan dikombinasikan dengan pemberian antibiotika secara intra uterin Toelihere, 1981 mengatakan bahwa pemberian preparat hormon bertujuan agar meransang tonus urat daging, suplai darah 21 dan aliran mukus uterus Siklus estrus dapat diperbaiki dengan pemberian prostaglandin atau enukleasi CL bila terdapat CLP Agar petemak tidak mengalami kerugian. maka upaya pencegahannya dilakukan dengan jalan memperhatikan sanitasi. penanganan post partum dan pelaksanaan [B yang secara lege artis Endomerritis juga merupakan salah satu penvebab repeat breeder dan pada akhimnya menyebabkan Calving Interval yang panjang, sehingga menghambat perkembangan populasi dan produksi sapi perah Untuk mengetahui adanya gangguan fungsional, dapat dilakukan secara explorasi rectal. sehingga dapat diungkapkan adanya corpus luteum persisten (CLP). hipofungsi dan hipoplasia ovari. cyste ovari, pyometra serta kelainan-kelainan patologik lainnya Menurut Roberts (1971). hipofungs! ovari ini berkaitan dengan stress sewaktu laktasi tinggi dan berbagai gangguan atau penyakit post partum. Sebab lainnya adalah kekurangan makanan atau pemberian makan yang tidak berimbang (unbalance nutrition) pada saat laktasi Secara simptomatis. pengobatan hipofungsi ovari dapat dilakukan dengan pemberian preparat hormon gonadotropin yang berfungsi menggertak pembentukan folikel dan menyebabkan rerjadinya proses ovulasi. Preparat yang juga dapat digunakan adalah hormon progesteron yang harganya relatif lebih murah dibanding preparat hormon FSH. Umpan balik dari progesteron akan menghambat pengeluaran hormon gonadotropin untuk sementara waktu. Hilangnya pengaruh progesteron menyebabkan hambatan umpan balik neyatif akan hilang dan hormon gonadotropin 22 akan disekresikan dalam jumlah yang cukup banyak sehingga dapat menggertak aktivitas ovarium Pemberian estrogen pada kasus hipofungsi ovari dapat menimbulkan berahi tetapi ovulasi agak sulit diduga kapan akan terjadinya, Menurut Toelihere (1981), pengobatan dengan preparat hormonal pada kejadian anestrus karena defisiensi makanan akan sia-sia kalau perbaikan makanan tidak dilakukan Secara etiologi penanggulangan hipofungsi ovari dianjurkan dengan melakukan perbaikan gizi. nutrisi dan kondisi tubuh ternak Beberapa kelainan uterus seperti endometriti.retensio secundinae, mumifikasi fetus dan kejadian lainnya yang merangsany terjadinya CLP Penanganan post partum tanpa pemberian antibiotika pada uterus merupakan predisposisi dari perbarahan uterus vang kemudian akan menyebabkan corpus luteum persisten (CLP). uterus yang sehat tidak akan terjadi CLP Sapi-sapi yang tidak menunjukkan gejala berahi setelah 60 hari post partum dapat dicurigai menderita CLP Kasus CLP ini dapat ditangani secara manual atau memakai preparat prostaglandin (PgF2Aipha) secara intra urerin dan intra maskuler. Cara manuai merupakan metode yang paling sederhana namun mempunyai resiko yang cukup tinggi terhadap terjadinya perbarahan apabila dilakukan secara serampangan Kasus kawin berulang pada sapi perah disebabkan oleh kegagalan fertilisasi dan kematian embrio dini dan diakibatkan oleh pengelolaan TB (kualitas semen beku, thawing, waktu inseminasi dan sebagainya). hambatan di ovarium. uterus. lingkungan serta faktor genetik 23 Kegagalan fenilisasi dan kematian embrio pada sapi dapat terjadi 3-6 minggu setelah inseminasi buatan. Penyebab kematian kurang lebih 50% embrio pada umur 3 minggu kebuntingen belum secara jelas diketahui walaupun demikian faktor-faktor di atas patut diduga sebagai penyebab kawin berulang pada sapi perah dengan program TB lebih tinggi dibending kawin alam, Kesalahan deteksi estrus mungkin sebagai penyebab pengulangan pelayanan [B pada sapi perah. Kematian embrio mengalami kenaikan setelah kebuntingan kelima mungkin oleh kelainan lingkungan uterus atau juga oleh abnormalitas kromosom, Saran terhadap pelayanan IB yang lebih lege artis (kesehatan, kebersihan dan ketepatan), disamping pemberian Providon Iodine !-2% pads saat kegiatan di lapangan diharapkan dapat mengurangi kasus tersebut Selanjutnya temuan di lepangen juga menunjukkan bahwa jenis obat-obatan yang lebih spesifik untuk penanggulangan reproduksi baik antibiotika maupun hormonal sangat sulit dijumpai. kepada para peruyas pelayanan kesehatan yang ada di koperasi sapi perah disarankan untuk lebih memperhatikan mengenai kasus gangguan reproduksi di atas dengan melakukan diagnosa sedini mungkin serta didukung oleh obat-obatan yang lebih memadai baik dari seyi kualitas maupun kuantitasnya Keterlambatan estrus dan menjadi bunting setelah melahirkan akan berakibat ‘meningkatnya calving interval pada sapi perah sehingga merugikan ekonomi untuk peternak sapi perah tersebut 24 + Kasus-kasus Gangguan Reproduksi pada Sapi Perah Dibeberapa Daerah Pulau Jawa Gangguan reproduksi pada sepi perah di kabupaten Garut (Jawa barat), Kabupaten Gunung kidul dan Bantul (D 1. Yogyakarta). dan Boyolali serta Semarang (Jawa tengah). Pada umumnya disebabkan karena fakior pengelolaan yang kurang baik Adanya kasus reproduksi menyebabkan penundaan perkawinan yang berarti menghambet keberhasitan usaha pengembangan peternakan sapi perah dan juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan inseminasi buatan (TB) Selain dari pada itu, gangguan reproduksi akan menunda pencapaian produksi susu yang maksimel, disamping itu akan menurunkan produksi susu. Hal tersebut sangat penting karena ksitanaya dengan kondisi ekonomi petemakan dan pendapatan peternak dari produksi susu ternaknya yang rendah, bahkan seringkali tidak mencukupi biaya pemeliharaan teak dan biaya hidup peternak Kasus reproduksi pada sapi perah akan mempengaruhi efisiensi reproduksi. yaitu ‘+ Memperpanjang Calving Interval ‘+ Memperbesar Service per Conception ‘+ Menurunkan Conception Rate © Menurunkan Calving Rate Semua ini disebabkan oleh kinerja inseminasi buatan. Kasus ganguan reproduksi sapi perah kabupaten Garut. Gunung kidul dan Bamtul serta Boyolali dan Semarang dengan kasus sebagai berikut hipofungsi ovarium, corpus luteum persisten. peradangan alat reproduksi dan kawin berulang Kasus tersebut dapat dilihat pada tabel 2 25 Tabel 2 Kasus Ganggwan Reproduksi pada Supi Perah di Wilayah Jawa Baral, Jawa Tengah dan DI Yograkaria. Obober-November 2002 ! _-Rasus Gangguan Reprodult (Flor) No Propinsi Kabupaten, Kecamatan CLP | “Hypofungsi | Peradangan Alat | Kawin | Jumlah Ovarium | Reprodutsi | berulany 1 | Jawa Barat | Garut | pavombong 9 ” 2% Is or * Cisueupan s 3 4 9 2 | Clans 2 1 1 “ 10 2 TdtVogyakana |Gununghidul | Ngimpar PT i oT q | Bantu! | Srandakan 4 1B o 0 1% | ] 3 | save Tengah | Bosoiai a i o wm Semarang. 3 18 0 0 18 _ [201 ) Program Penangulangan Gangguan Reproduksi Puspiinak. Dit Derajat Keberhasilan Inseminasi Buatan (1B) Upaya penanggulangan yangguan reproduksi baik pada sapi perah bertujuan untuk meningkatkan kesuburan, Namun demikian untuk sapi akseptor IB_ maka derajat_keberhasilan TB disamping ditentukan oleh Kesuburan sapi betina juga ditentukan oleh efisiensi deteksi estrus yang umumnya dilakukan oleh para peternak dan kelvarganya, Oleh karenanya keberhasilan program [B, atau peningkatan kinerja TB di lapangan dapat dihitung dengan rumus Derajat keberhasilan IB = Kesuburan Sapi Betina (%)xEfisiensi inseminator (°o)xBfisiensi Deteksi Estrus Dari rumus tersebut di atas semakin tinggi persentase masing-masing komponen maka derajat keberhasilan IB akan semakin tinggi. Sehingga dapat Gisimpulken bahwa sapi yang menderita gangguan reproduksi akan menurunkan kesuburan sapi betina sehingga derajat_ keberhasilan inseminasi buatan menjadi rendah 27 KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil data yang didapat. dapat diambil suatu kesimpulan dan saran sebagai berikut Sanitasi yang kurang baik. kemungkinan besar berpengaruh terhadap timbulnya kasus reproduksi. karena merupakan lingkungan yang cocok untuk berkembangbiaknya organisme yang dapat menyebabkan gangguan reproduksi. seperti endometritis dan retensio plasenta Pemberian pakan yang kurang mencukupi dari segi kualitas dan kuantitasnya sera kurang seimbang banyak menimbulkan gangguan reproduksi pada sapi perah. seperti hypofungs! ovarium. sistik ovari dan sebagainya Secara keseluruhan kegagalan reproduksi pada sapi perah lebih utama disebabkan oleh faktor pengelolaan dibandingkan karena faktor temnak itu sendiri, para peternak perlu meningkatkan keterlibatan dalam penanganan dan pemeliharaan ternak sapi perah, terutama dalam hal mencegah terjadinya gangguan reproduksi Dinas peternakan perlu mengusehakan adanya laboratorium yang memadai, terutama untuk meneliti gangguan-gangguan reproduksi yang memerlukan pemeriksaaan lebih teliti melalui laboratorium. sehingga dapat ditentukan usaha-usaha pencegahan selanjutnya. Perlu diadakan penyuluhan yang lebih intensif, tepat dan efektif, untuk ‘meningkatkan pengetahuan tentang tata laksana peternakan sapi perah yang lebih baik. 28 ©. Fasilitas-fasilitas seperti obat-obatan, penyediaan konsetrat yang lebih baik. serta fasilitas untuk meningkatkan mobilitas petugas dalam menangani temnak, perlu diperhatikan dan diusahakan pengadaannya lebih baikoleh kelompok peternak. maupun koperasi. agar dapat meningkatkan efisiensi reproduksi sapi perah, 7 Dalam rangka meningkatkan efisiensi kerja petugas lapang, maka diusahakan untuk lebih teratur membuat catatan. yang sebaiknya dilaksanakan secara berkesinambungan. sehingga akan mempermudah upaya penanggulangan gangguan reproduksi 8. Sebagai usaha untuk menekan timbulnya penyakit. maka perlu diperhatiken kebersihan ternak dan kandang serta para petugas lapangan pada saat menjalankan tugas harus sclalu terjaga 29 DAFTAR PUSTAKA. Achjadi . K.R, 2000. Penyaki (Ganggnan) Reproduksi Dasar pendekaian dan Penanggulangamnya seria kaitannya dengan npaya swasemhada dagmg tahun 2003. Makalah rapat teknis dan pertemuan ilmiah (Raktepil). Bogor Arthur, GH. 1975, Ferermary Reproduction and Obstetric. Bailliere Tindall. London, Cole. HH and P. T Cups. 1977, Reprodirction in Domestic Animal, 2nd Ed. Academic Press New York and London. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2002. Laporan Akhir Penanggulangan Gangguan Reproduksi Ternak Dalam Rangka Peningkatan’ Kinerja Inseminasi Buaten Tahun 2002. Proyek Pembinaan Produksi Petemakan Pusat. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian Gomes. W.R. 1978. The Fistrus Cycle, In Physiology of Reproduction and Artificial Insemmation of Cattle. 2nd Ed, Dby G W. Salisbury, NL. Van Demark and JR. Lodge W.H, Freeman and Co. San Fransisco Hafez. E. S. E 1980. Reproduction in Farm Animal. Fourth Ed. Lea and Fabiger. Philadelphia Partodihardjo. §. 1987, mu Repradukst Hewan, Mutiara Sumber Widya. Jakarta. Roberts. §. J 1971. Felerimary Ostemis and Gennal Diseases, Second Edition, Published by The Author Ithaca, New York, Salisbury. G. W. . N. L. Van Demark and J, R. Lodge, 1978. Physiology of Reproduction and Arnficial Insemination of Cattle. WH, Freeman and Co. San Fransisco Sorensen, AM. 1979. Animal Reproduction ¢ Principales and Practices). Mc Graw ill Book Co. New York Sudono. A 1984. Produksi Sapi Perah Jurusan limu Produksi Temmak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor Toelihere. M. R. 1981. Fixiologi Reproduksi pada Ternak, Angkasa. Bandung, Toelihere. MR. 1981 fim Kemajiran pada Ternak. FKH, IPB. Bogor. Vandeplassche. 1982," Reproductiw Efficency m Cattle, Food and Agriculture ‘Organization of the United Nation (FAO), Rome. Young. M. 1979. Treatment of The Clinical Syndrome Of Movisible Oestrus Alternative Schemes Using PGF2 Alpha Net., Rec. 3

Anda mungkin juga menyukai