Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN TUTORIAL

ILMU SARAF

SKENARIO TETANUS

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 1

Tutor:

dr. Hotimah Masdan Salim, Ph. D

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA

2016-2017
KELOMPOK PENYUSUN

Himami Firdausiyah 6130014001

Imam Fadli 6130014006

Badiatul Khilqoh 6130014011

Nuris Umi Rizqi 6130014016

Rosyidah Husna Hanifah 6130014021

Niken Kusumawardani 6130014026

M. Riswanda Yuna Febrian 6130014031

Agus Prayogo 6130014036

Imam Dwi Wahyudi 6130014041

Rizky Amalia 6130014046

ILMU PENYAKIT SARAF 2


Skenario 1

Tn. X sudah 3 hari ini dirawat di ICU RSIJS karena kejang seluruh tubuh.
Tn.X harus diintubasi dan diinjeksi obat obatan anti kejang. Kejang ini timbul jika
ada suara berisik. Istrinya memberitahu bahwa 2 minggu sebelumnya, Tn.X
terkena paku saat bekerja bakti dan diobati dengan ramuan tumbuh-tumbuhan
untuk mengobati luka. Luka tak kunjung sembuh, malah di tambah kejang, kejang
disertai kesulitan bernafas. Mulut menjadi kaku, sulit dibuka dan sulit untuk
makan, meskipun Tn.X masih tetap sadar.

Pemeriksaan Fisik:

- Keadaan umum tampak toxic kejang general

- GCS awal datang yaitu 2x4 dan sekarang 4x6

- Vital sign (TD 140/90 mmhg, nadi 98x permenit regular kuat angkat, RR 28x
permenit terintubasi)

- pemeriksaan thoraks normal

- pemeriksaan abdomen ditemukan distended

- Ada tanda rangsang meningeal, terintubasi, rhisus sardonikus, opistotonus,


kesulitan menelan, dan trismus

S - Kejang seluruh tubuh, kumat bila ada suara berisik


- Riwayat terkena paku
Subjective
- Sulit bernafas
- Mulut kaku dan sulit makan
O - Kejang
- Lock jaw atau trismus
Objective
- Nuchal rigidity
- Opisthotonus

Assessment Tetanus

ILMU PENYAKIT SARAF 3


Diagnosis :

- Pemeriksaan fisik: lockjaw atau trismus risus sardonicus.


Opisthotonos dan kekakuan seperti pada perut,
Hyperactive deep tendon reflexes, Local or general
muscle spasm
- Riwayat medis dan imunisasi
- Tes laboratorium tidak membantu untuk mendiagnosis
tetanus. Dari pemeriksaan darah mungkin menunjukkan
leukositosis sedang
Terapi :

Non farmakologi :

- Rawat luka
- diet cukup kalori
Planning
- isolasi untuk menghindari rangsang luar
- oksigenasi, trakeostomi bila perlu
- pengaturanelektrolit
Farmakologi :

- anti tetanus : TIG > ATS : 5000 U im


- anti kejang : diazepam 0.5 – 1 mg/kg BB/4jam im,
meprobamate 300 – 400 mg/kg BB/4jam im
- antibiotik: penisilin prokain 1.2 juta unit/hari iv,
tetrasiklin 1 g/hari iv
Monitoring: klinis berupa gejala sisa atau sekuele diantaranya,

- spasme berkurang setelah 2-3 minggu


- kekakuan bias berlangsung 6-8 minggu
- gangguan otonom biasanya dimulai beberapa hari setelah
kejang berlangsung.

ILMU PENYAKIT SARAF 4


STEP 1

Kata kunci:

1. Kejang seluruh tubuh

2. Kejang timbul jika ada suara berisik

3. 2 minggu sebelumnya terkena paku saat kerja bakti

4. Luka tidak kunjung sembuh

5. Kesulitan bernafas

6. Mulut kaku, sulit dibuka dan sulit makan

7. Tn. X masih tetap sadar

STEP 2

Rumusan Masalah

1. Bagaimana Patofisiologi dari tetanus ?


2. Apa saja macam-macam pemeriksaan meningeal sign ?
3. Apa etiologi dari tetanus ?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari tetanus ?
5. Apa saja differential diagnosis dari tetanus ?
6. Bagaimana penatalaksanaan dari kasus tetanus ?
7. Apa saja komplikasi dari tetanus ?
8. Bagaimana prognosis dari tetanus ?

STEP 3

Jawaban Rumusan Masalah

1. Luka pada kulit menyebabkan masuknya bakteri Clostridium tetani


kedalam tubuh, selanjutya Clostridium T. akan memproduksi
eksotoksin berupa tetanospasmin yang merupakan neurotoksin.
Tetanospasmin tersebut kemudian menyebabkan terjadinya spasme
otot dan kejang.

ILMU PENYAKIT SARAF 5


2. Pemeriksaan meningeal sign :

 Pemeriksaan Kaku Kuduk.


 Pemeriksaan Brudzinski I.
 Pemeriksaan Brudzinski II.
 Pemeriksaan Kernig.
3. Etiologi dari tetanus adalah Bakteri gram positif Clostridium Tetani.
4. Kram tetanik, trismus, disfagia, risussardonicus (sardonic smile),
Kejang.
5. Differential Diagnosis :
 Meningoencephalitis
 Meningtis
 Rabies
 Status Epilepticus
6. Penatalaksanaan :
 Merawat dan membersihkan luka
 Diet cukup kalori dan protein
 Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit
 Antibiotik
 Antitoksin
 Antikonvulsan
7. Laserasi lidah akibat kejang, dekubitus, cardiac arrest, septikemia dan
Status Epileptikus.
8. Semakin sering kejang semakin jelek prognosanya, Terlambat
penanganan prognosa jelek, Makin muda prognosa jelek.

STEP 4

Peta Konsep

ILMU PENYAKIT SARAF 6


Hipotesis

Dari hasil heteroanamnesis dan pemeriksaan fisik pasien diduga mengalami


Tetanus dengan komplikasi status epileptikus.

STEP 5

Learning Objective

1. Menjelaskaan patofisiologi dari tetanus


2. Menjelaskan macam-macam pemeriksaan Meningeal Sign.
3. Menjelaskan pemeriksaan Trismus, Rhisus Sardonikus dan Opistotonus.
4. Menjelaskan etiologi dari tetanus.
5. Menjelaskan manifestasi klinis dari tetanus.
6. Menjelaskan diagnosis dan diagnosis banding dari tetanus.
7. Menjelaskan diagnosis klinis dari tetanus.

ILMU PENYAKIT SARAF 7


8. Menjelaskan komplikasi dan prognosis dari tetanus.
9. Menjelaskan penatalaksanaan dari tetanus.

STEP 6

Pembahasan Learning Objective

1. Patofisiologi Tetanus

Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka


dalam bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk
vegetatif yang menghasilkan tetani spasmi pada keadaan tekanan oksigen rendah,
nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen. Masa inkubasi dan beratnya
penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka. Beratnya penyakit terutama
berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta jumlah toksin
yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor – faktor tersebut selain ditentukan oleh
kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium tetani (Soedarmo,
IDAI).

Penyebaran toksin :

Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara,
sebagai berikut :

1. Masuk ke dalam otot

Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka,
kemudian ke otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke
dalam susunan saraf pusat.

2. Penyebaran melalui sistem limfatik

Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus
limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah
sistemik.

ILMU PENYAKIT SARAF 8


3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah

Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik,


namun dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui
pembuluh darah merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan
beratnya penyakit. Pada manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam
pembuluh darah, sehingga memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan
pemberian antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan secara intravena.
Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran darah karena
sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat penting adalah toksin
bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain melalui peredaran darah,
sehingga secara tidak langsung meningkatkan transport toksin ke dalam susunan
saraf pusat.

4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)

Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara
retrograd toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan
autonom. Toksin yang mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus
motorik batang otak kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf
inhibitor (Soedarmo, IDAI).

Hubungan antar bentuk manifestasi klinis dengan penyebaran toksin :

 Tetanus lokal

Pada bentuk ini, penderita biasanya mempunyai antibodi terhadap toksin tetanus
yang masuk ke dalam darah, namun tidak cukup untuk menetralisir toksin yang
berada di sekitar luka.

 Tetanus sefal

Merupakan bentuk tetanus lokal yang mengikuti trauma pada kepala. Otot-otot
yang terkena adalah otot-otot yang dipersarafi oleh nukleus motorik dari batang
otak dan medula spinalis servikalis.

 Ascending Tetanus

ILMU PENYAKIT SARAF 9


Suatu bentuk penyakit tetanus yng pada awalnya berbentuk lokal biasanya
mengenai tungkai dan kemudian menyebar mengenai seluruh tubuh. Setelah
terjadi tetanus lokal, toksin disekitar luka masuk cukup banyak dengan cara
asenderen masuk ke dalam SSP.

 Tetanus umum

Pada keadaan ini toksin melalui peredaran darah masuk ke dalam berbagai otot
dan kemudian masuk ke dalam SSP. Penyakit ini biasanya didahului trismus
kemudian mengenai otot muka, leher, badan dan terakhir ekstremitas. Hal ini
disebabkan panjang sistem persarafan setiap tempat berbeda-beda, yang paling
pendek adalah yang mengurus otot-otot rahang, kemudian secara berurutan
mengenai daerah lain sesuai urutan panjang saraf (Udwadia FE, 1993).

Mekanisme kerja toksin tetanus :

1. Jenis toksin

Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin


mempunyai efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik
dan neurotoksik. Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum
diketahui pasti. Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai
patogenesis penyakit tetanus terutama dihubungkan dengan toksin tersebut.

2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf

Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik


pada neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting
untuk transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan
toksisitas belum diketahui secara jelas.

Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus


yaitu toksin A yang kurang mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel
saraf namun tetap mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B
yang kuat berikatan dengan sel saraf.

ILMU PENYAKIT SARAF 10


Normal: Inhibitory interneuron → Glycine → blocks excitation & acetylcholine
release → muscle relaxation

Tetanus toxin: Blocks glycine release → no inhibition at acetylcholine release →


irreversible contraction → Spastic paralysis

3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter

Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf
pusat, yaitu dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti
glisin, Gamma Amino Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA
adalah neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi
mencegah pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah
sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara spesifik
menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan
cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis (Udwadia
FE, 1993).

Perubahan akibat toksin tetanus :

1. Susunan saraf pusat

Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan


listrik yang terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological
enhance excitation. Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi
tinggi dari SSP ke perifer, sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang.
Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena makin berat kejang yang terjadi.
Stimulus seperti suara, emosi, raba dan cahaya dapat menjadi pencetus kejang
karena motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan dengan jaringan
saraf lain seperti retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang
(interval), hal ini mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi
toksin, ada beberapa yang resisten terhadap toksin.

Rasa sakit

ILMU PENYAKIT SARAF 11


Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala
ditemukan neurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat
tidak ada kejang. Rasa sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel
saraf ganglion posterior, sel-sel pada kornu posterior dan interneuron.

Fungsi Luhur

Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar
biasanya

2. Pemeriksaan Tanda Rangsangan Meningeal

Kaku kuduk:

Cara: Pasien tidur telentang tanpa bantal.

Tangan pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring,


kemudian kepala ditekukan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada.
Selam penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita
dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat
ringan atau berat.

Hasil pemeriksaan:

Leher dapat bergerak dengan mudah, dagu dapat menyentuh sternum, atau fleksi
leher normal Adanya rigiditas leher dan keterbatasan gerakan fleksi leher kaku
kuduk

Brudzinski I:

Cara : Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan
dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang satu lagi
sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan
kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada.

Hasil Pemeriksaan :

ILMU PENYAKIT SARAF 12


Test ini adalah positif bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di
sendi lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.

 Sewaktu mengangkat kepala, badan ikut terangkat.


 Gerakan leher ke kanan atau kiri tidak ada gangguan.
 Gerakan dorsofleksi tidak ada tahanan

Kernig :

Pada pemeriksaan ini , pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada
persendian panggul sampai membuat sudut 90 derajat. Setelah itu tungkai bawah
diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk sudut lebih dari 135
derajat terhadap paha. Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang
dari sudut 135 derajat, maka dikatakan kernig sign positif.

Brudzinski II:

Cara : Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang difleksikan


pada sendi lutut, kemudian tungkai atas diekstensikan pada sendi panggul.

Hasil Pemeriksaan :

Bila timbul gerakan secara reflektorik berupa fleksi tungkai kontralateral pada
sendilutut dan panggul ini menandakan test ini postif.

3. Pemeriksaan Trismus, Rhisus Sardonikus dan Opistotonus

Trismus Kekakuan otot rahang terutama masseter menyebabkan mulut sukar


dibuka, sehingga penyakit ini juga disebut 'Lock Jaw'.Selain kekakuan otot
masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka menyerupai
muka meringis kesakitan yang disebut 'Rhisus Sardonicus' (alis tertarik ke atas,
sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), akibat
kekakuan otot–otot leher bagian belakang menyebabkan nyeri waktu melakukan
fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan gejala kuduk kaku sampai
opisthotonus.Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik
baik secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan, sinar dan

ILMU PENYAKIT SARAF 13


bunyi). Kejang menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal
kuat dan kaki dalam posisi ekstensi.

Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta ketakutan
yang menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah terangsang.
Spasme otot–otot laring dan otot pernapasan dapat menyebabkan gangguan
menelan, asfiksia dan sianosis. Retensi urine sering terjadi karena spasme
sphincter kandung kemih.

Pada kasus yang berat mudah terjadi overaktivitas simpatis berupa takikardi,
hipertensi yang labil, berkeringat banyak, panas yang tinggi dan ariunia jantung.

Menurut berat ringannya tetanus umum dapat dibagi atas:

1. Tetanus ringan: trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umum walaupun
dirangsang.

2. Tetanus sedang: trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang umum bila
dirangsang.

3. Tetanus berat: trismus kurang dari 1 cm dan disertai kejang umum yang
spontan.

Tetanus general paling sering terjadi dengan karakteristik adanya peningkatan


tonus otot dan spasme menyeluruh. Median onset setelah luka 7 hari, 15% kasus
terjadi dalam 3 hari dan 10% setelah 14 hari. Pada awalnya terjadi peningkatan
tonus otot messeter berupa trismus (lockjaw). Kemudian diikuti disfagia,
kekakuan atau nyeri di leher, bahu dan otot-otot lengan punggung, refleks spasme.
Gejala lain perut mengeras, otot-otot lengan atas kaku. Kekakuan otot meluas dari
dagu dan otot-otot fasial, kemudian dalam 24 sampai 48 jam meluas ke otot-otot
ekstensi lengan. Disfagia terjadi pada tetanus derajat sedang sampai berat,
disebabkan oleh spasme otot faring. Refleks spasme pada sebagian besar pasien
dapat dicetuskan oleh rangsang eksternal minimalseperti cahaya, sentuhan atau
bau. Spasme dalam beberapa detik sampai menit menjadi lebih intensif dan
meningkatkan progresivitas penyakit. Spasme laring dapat terjadi setiap saat yang
dapat menyebabkan asfiksia dan apnea. Kontraksi otot wajah menyebabkan

ILMU PENYAKIT SARAF 14


ekspresi grimace atau risus sardonikus. Kontraksi otot-otot punggung
menimbulkan opistotonus (Abrutyn, 2004).

Menurut Attygalle (2000), beratnya penyakit dapat diklasifikasikan menurut


gejala : 1). Derajat I (ringan) berupa trismus. 2). Derajat II (sedang) ditemukan
kekakuan otot (trismus, disfagia, risus sardonikus, leher kaku, opistotonus),
kejang otot respirasi dengan episode singkat. 3) Derajat IIIA (berat) ditemukan
adanya kekakuan otot dan kejang yang berat. Derajat IIIB (sangat berat)
ditemukan adanya kekakuan otot, kejang yang berat dan disfungsi saraf otonom.

4. Etiology

• Gram +
• Spore
• Mostly found in the horse and human feces. Or in the soil tha
contaminated with the feces
• Spread tetanospasmin toxic when infectioning

5. Clinical Manifestation

ILMU PENYAKIT SARAF 15


ILMU PENYAKIT SARAF 16
6. Diagnosis Tetanus
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu istirahat,
berupa :
1. Gejala klinik : Kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus (
sardonic smile ).
2. Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.
3. Kultur: C. tetani (+).
4. Lab : SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria (Samuels,
1978).

Diagnosis Banding Tetanus


1. Spasme yang disebabkan oleh strictin jarang menyebabkan spasmotes
pada rahang. Tetanus didiagnosis dengan tes darah (kalsium dan fosfat).
2. Kejang pada meningitis dapat dibedakan dari kelainan
cairanancerebrospinalis.

ILMU PENYAKIT SARAF 17


3. Pada rabies ada anjing atau kucing gigitan anamnesis disertai gejala
pembelahan laring dan faring terus menerus dengan pleiositosis namun
tanpa trismus.
4. Trismus juga bisa terjadi pada angina berat, abses retrofaringeal, abses
pada gigi yang hebat, pembesaran kelenjar getah bening.
5. Kekakuan kaku juga bisa terjadi pada meningitis (dalam kesadaran tetanus
tidak berkurang), mastoiditis lobaris pneumonia pada primitif saraf,
spondilitis leher (Samuels, 1978).

7. Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi.Tingkat
keparahan tetanus:
Kriteria Pattel Joag
1. Kriteria 1: rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot
tulang belakang
2. Kriteria 2: Spasme, tanpa mempertimbangkan frekuensi maupun derajat
keparahan
3. Kriteria 3: Masa inkubasi ≤ 7hari
4. Kriteria 4: waktu onset ≤48 jam
5. Kriteria 5: Peningkatan temperatur; rektal 100ºF ( > 400 C), atau aksila
99ºF ( 37,6 ºC).

Grading
1. Derajat 1 (kasus ringan), terdapat satu kriteria, biasanya Kriteria 1 atau 2
(tidak ada kematian)
2. Derajat 2 (kasus sedang), terdapat 2 kriteria, biasanya Kriteria 1 dan 2.
Biasanya masa inkubasi lebih dari 7 hari dan onset lebih dari 48 jam
(kematian 10%)
3. Derajat 3 (kasus berat), terdapat 3 Kriteria, biasanya masa inkubasi kurang
dari 7 hari atau onset kurang dari 48 jam (kematian 32%)
4. Derajat 4 (kasus sangat berat), terdapat minimal 4 Kriteria (kematian 60%)

ILMU PENYAKIT SARAF 18


5. Derajat 5, bila terdapat 5 Kriteria termasuk puerpurium dan tetanus
neonatorum (kematian 84%).

Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Albleet’s :


1. Grade 1 (ringan) Trismus ringan sampai sedang, spamisitas umum, tidak
ada penyulit pernafasan, tidak ada spasme, sedikit atau tidak ada disfagia.
2. Grade 2 (sedang) Trismus sedang, rigiditas lebih jelas, spasme ringan atau
sedang namun singkat, penyulit pernafasan sedang dengan takipneu
3. Grade 3 (berat) Trismus berat, spastisitas umum, spasme spontan yang
lama dansering, serangan apneu, disfagia berat, spasme memanjang
spontan yang sering dan terjadi refleks, penyulit pernafasan disertai
dengan takipneu, takikardi, aktivitas system saraf otonom sedang yang
terus meningkat.
4. Grade 4 (sangat berat) Gejala pada grade 3 ditambah gangguan otonom
yang berat, sering kali menyebabkan “autonomic storm” (Farrar, 2014;
Murray, 2013).
8. Komplikasi
1) Pada saluran pernapasan
Oleh karena spasme otot–otot pernapasan dan spasme otot laring dan
seringnya kejang menyebabkan terjadi asfiksia. Karena akumulasi sekresi
saliva serta sukarnya menelan air liur dan makanan atau minuman
sehingga sering terjadi aspirasi pneumoni, atelektasis akibat obstruksi oleh
sekret. Pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat
dilakukannya trakeostomi.
2) Pada kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa
takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.
3) Pada tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan
dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura columna vertebralis akibat
kejang yang terus–menerus terutama pada anak dan orang dewasa.

ILMU PENYAKIT SARAF 19


Beberapa peneliti melaporkan juga dapat terjadi miositis ossifikans
sirkumskripta.
4) Komplikasi yang lain:
- Laserasi lidah akibat kejang;
- Dekubitus karena penderita berbaring dalam satu posisi saja
- Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar
luas dan mengganggu pusat pengatur suhu. Penyebab kematian penderita
tetanus akibat komplikasi yaitu: Bronkopneumonia, cardiac arrest,
septikemia dan pneumotoraks.

Prognosa
Dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1) Masa inkubasi
Makin panjang masa inkubasi biasanya penyakit makin ringan, sebaliknya
makin pendek masa inkubasi penyakit makin berat. Pada umumnya bila
inkubasi kurang dari 7 hari maka tergolong berat.
2) Umur
Makin muda umur penderita seperti pada neonatus maka prognosanya
makin jelek.
3) Period of onset
Period of onset adalah waktu antara timbulnya gejala tetanus, misalnya
trismus sampai terjadi kejang umum. Kurang dari 48 jam, prognosa jelek.
4) Panas
Pada tetanus febris tidak selalu ada. Adanya hiperpireksia maka
prognosanya jelek.
5) Pengobatan
Pengobatan yang terlambat prognosa jelek.
6) Ada tidaknya komplikasi
7) Frekuensi kejang
Semakin sering kejang semakin jelek prognosanya.
Tetanus neonatorum mempunyai angka kematian 66%, pada usia 10-19
tahun, angka kematiannya antara 10-20% sedangkan penderita dengan usia

ILMU PENYAKIT SARAF 20


> 50 tahun angka kematiannya mencapai 70%. Penderita dengan
undernutrisi mempunyai prognosis 2 kali lebih jelek dari yang mempunyai
gizi baik. Tetanus lokal mempunyai prognosis yang lebih baik dari tetanus
umum.

Sistem Skoring

Skor 1 Skor 0

Masa inkubasi <> > 7 hari


Awitan penyakit <> > 48 jam
Tempat masuk Tali pusat, uterus, fraktur Selain tempat tersebut
terbuka, postoperatif,
bekas suntikan IM
Spasme (+) (-)
Panas badan (per rektal) > 38,4 0C (> 40 0C) < 38,4 0C ( < 40 0C)
Takikardia dewasa > 120 x/menit <>
neonatus > 150 x/menit <>

Tabel klasifikasi untuk prognosis Tetanus

Tingkat Skor Prognosis

Ringan 0-1 <>


Sedang 2-3 10 – 20
Berat 4 20 – 40
Sangat berat 5-6 > 50

Catatan : Tetanus sefalik selalu dinilai berat atau sangat berat. Tetanus
neonatorum selalu dinilai sangat berat

9. Penatalaksanaan Tetanus

Umum

ILMU PENYAKIT SARAF 21


Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan
peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan
sampai pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sbb :
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:
Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan
nekrotik),membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan H202,
dalam hal ini penata laksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam
setelah ATS dan pemberian Antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan
membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan
personde atau parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap
penderita
4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit (Adam, 1997).

Khusus (Farmakologi)
1. Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2 juta unit / hari selama 10 hari, IM.
Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit /
KgBB/ 12 jam secafa IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap
peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40
mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis
terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan
dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani,
bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi
pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan (Hamis, 1985).
2. Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG)
dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh
diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary

ILMU PENYAKIT SARAF 22


aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang
serius (Krugman, 1992)..
Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin,
yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya
adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1
fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan
dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan
secara IM pada daerah pada sebelah luar (Krugman, 1992).
3. Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik
yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan
penggunaan obat – obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi
(Hamid, 1985).
Tabel 1. Jenis Antikonvulsan
Jenis Obat Dosis Efek Samping

Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kgBB/4 jam Stupor, koma


(IM)

Meprobomat 300 - 400 mg/ 4 jam (IM) Tidak ada

Klorpromasin 25 - 75 mg/ 4 jam (IM) Hipotensi

Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM) Depresi pernafasan

Bila dosis optimum telah tercapai dan kejang telah terkontrol, maka jadwal
pemberian diazepam yang tetap dan tepat baru dapat disusun. Dosis diazepam
pada saat dimulai pengobatan (setelah kejang terkontrol) adalah 20 mg/kgBB/hari,
dibagi dalam 8 kali pemberian (pemberian dilakukan tiap 3 jam). Kemudian
dilakukan evaluasi terhadap kejang, bila kejang masih terus berlangsung dosis
diazepam dapat dinaikkan secara bertahap sampai kejang dapat teratasi. Dosis
maksimum adalah 40 mg/kgBB/hari (dosis maintenance) (Krugman, 1992)..
Bila dosis optimum telah didapat, maka skedul pasti telah dapat dibuat,
dan ini dipertahan selama 2-3 hari , dan bila dalam evaluasi berikutnya tidak

ILMU PENYAKIT SARAF 23


dijumpai adanya kejang, maka dosis diazepam dapat diturunkan secara bertahap,
yaitu 10 -15 % dari dosis optimum tersebut. Penurunan dosis diazepam tidak
boleh secara drastis, oleh karena bila terjadi kejang, sangat sukar untuk diatasi dan
penaikkan dosis ke dosis semula yang efektif belum tentu dapat mengontrol
kejang yang terjadi.Bila dengan penurunan bertahap dijumpai kejang, dosis harus
segera dinaikkan kembali ke dosis semula. Sedangkan bila tidak terjadi kejang
dipertahankan selama 2-3 hari dan dirurunkan lagi secara bertahap, hal ini
dilakukan untuk selanjutnya . Bila dalam penggunaan diazepam, kejang masih
terjadi, sedang dosis maksimal telah tercapai, maka penggabungan dengan anti
kejang lainnya harus dilakukan (Krugman, 1992)..
Pengobatan menurut Adam (1997), pada saat onset:
- 3000 - 6000 unit, tetanus immune globulin satu kali saja.
- 1,2 juta unit Procaine penicilin sehari selama 10 hari, Intramuscular. Jika alergi
beri tetracycline 2 gram sehari.
- Perawatan luka, dibersihkan, sekitar luka beri ATS (infiltrasi)
- Semua penderita kejang tonik berulang, lakukan trachcostomi, ini harus
dilakukan tuk mencegah cyanosis dan apnoe.
- Paraldehyde baik diberikan melalui mulut.
- Jika cara diatas gagal, dapat diberi d-Lubocurarine IM dengan dosis 15 mg
setiap jam sepanjang diperlukan, begitu juga pernafasan dipertahankan dengan
respirator.
Sedangkan pengobatan menurut Gilory (1982):
- Kasus ringan :
Penderita tanpa sianosis : 90 - 180 begitu juga promazine 6 jam dan barbiturat
secukupnyanya untuk mengurangi spasme.
- Kasus berat : 1. Semua penderita dirawat di ICU (satu team )
2. Dilakukan tracheostomi segera. Endotracheal tube minimal
harus dibersihkan setiap satu jam dan setiap 3 hari ETT harus
diganti dengan yang baru.
3.Curare diberi secukupnya mencegah spasme sampai 2 jam.
Pernafasan dijaga dengan respirator oleh tenaga yang
berpengalaman.

ILMU PENYAKIT SARAF 24


4.Penderita rubah posisi/ miringkan setiap 2 jam. Mata dibersihkan
tiap 2 jam mencegah conjunctivitis.
5. Pasang NGT, diet tinggi, cairan cukup tinggi, jika perlu 6 1./hari
6. Urine pasang kateter, beri antibiotika.
7. Kontrol serum elektrolit, ureum dan GDA
8. Rontgen foto thorax
9. Pemakaian curare yang terlalu lama, pada saatnya obat dapat
dihentikan pemakaiannya. Jika KU membaik, NGT dihentikan.
Tracheostomy dipertahankan beberapa hari, kemudian
dicabut/dibuka dan bekas luka dirawat dengan baik.
STEP 7
Kesimpulan
Tetanus merupakan penyakit sistem saraf yang perlangsungannya akut
dengan karakteristik spasme tonik persisten dan eksaserbasi persisten dengan
etiologi bakteri clostridium tetani. Diagnosis tetanus dapat diketahui dari
pemeriksaan fisik pasien sewaktu istirahat, berdasarkan temuan klinis dan riwayat
imunisasi. Terapi tetanus meliputi terapi secara umum dan khusus (farmakologi).
Adapun prognosis dari tetanus ini bergantung pada usia, masa inkubasi, masa
onset, jenis luka dan derajat trimus

ILMU PENYAKIT SARAF 25


DAFTAR PUSTAKA

Rauscher LA. (1991). Tetanus. Dalam : Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical


Neurology. Edinburg : Churchill Livingstone ; 865 – 871.

Udwadia FE. (1993). Tetanus. Bombay: Oxford University Press : 305

Soedarmo, Sumarrno S.Poowo; Garna, Herry; Hadinegoro Sri Rejeki S. Buku


Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis. Edisi pertama. Ikatan
Dokter Anak Indonesia.

Aman A. Renindra dr. Sp. Bs, Gangguan saraf Kranialis, Balai Penerbitan FKUI,
2003.

Samuels, AM. Tetanus, Maanual of Neurologic Therapeutic, ed. 2 nd, Ljttle


Brown, and Company, Boston, 1978, 387-390.

Farrar J, Hotez PJ, Junghanss T, Kang G, Lalloo D, White NJ. 2014. Manson’s
Tropical Diseases, Twenty-Third Edition. Elsevier: Philadelphia.

Murray PR, Rosenthal KS, Pfaller MA. 2013. Medical Microbiology, Seventh
Edition. Elsevier: Philadelphia.

Adams. R.D, et al. 1997. Tetanus in : Principles of New'ology. McGraw-Hill.


1205-1207.

Gilroy, John MD, et al. 1982. Tetanus in : Basic Neurology, ed.1. 982, 229-230.

Hamid,E.D, Daulay, AP, Lubis, CP, Rusdidjas, Siregar H. 1985. Tetanus


Neonatorum in babies Delivered by Traditional Birth Attendance in Medan,
Vol. 25. Paeditrica Indonesiana, Departement of Child Health, Medical
School University of lndonesia, 167 -174.

Krugman Saaul, Katz L.. Samuel, Gerhson AA, Wilfert C. 1992. Infectious
diiseases of children, ed. 9 th. St Louis, Mosby, 487-490.

ILMU PENYAKIT SARAF 26


Behrman, Richard E., MD; Kliegman, Robert M.,MD ; Jenson Hal. B.,MD,
Nelson Textbook of Pediatrics Vol 1” 17th edition W.B. Saunders Company.
2004

Barkin, R. M.; Pichichero, M. E. Diphteria–Pertusis–Tetanus Vaccine


Teactogenicity of Cimmercial Products. Pediatricas 1979; 63:256–
260

ILMU PENYAKIT SARAF 27

Anda mungkin juga menyukai