ILMU SARAF
SKENARIO TETANUS
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 1
Tutor:
FAKULTAS KEDOKTERAN
2016-2017
KELOMPOK PENYUSUN
Tn. X sudah 3 hari ini dirawat di ICU RSIJS karena kejang seluruh tubuh.
Tn.X harus diintubasi dan diinjeksi obat obatan anti kejang. Kejang ini timbul jika
ada suara berisik. Istrinya memberitahu bahwa 2 minggu sebelumnya, Tn.X
terkena paku saat bekerja bakti dan diobati dengan ramuan tumbuh-tumbuhan
untuk mengobati luka. Luka tak kunjung sembuh, malah di tambah kejang, kejang
disertai kesulitan bernafas. Mulut menjadi kaku, sulit dibuka dan sulit untuk
makan, meskipun Tn.X masih tetap sadar.
Pemeriksaan Fisik:
- Vital sign (TD 140/90 mmhg, nadi 98x permenit regular kuat angkat, RR 28x
permenit terintubasi)
Assessment Tetanus
Non farmakologi :
- Rawat luka
- diet cukup kalori
Planning
- isolasi untuk menghindari rangsang luar
- oksigenasi, trakeostomi bila perlu
- pengaturanelektrolit
Farmakologi :
Kata kunci:
5. Kesulitan bernafas
STEP 2
Rumusan Masalah
STEP 3
STEP 4
Peta Konsep
STEP 5
Learning Objective
STEP 6
1. Patofisiologi Tetanus
Penyebaran toksin :
Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara,
sebagai berikut :
Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka,
kemudian ke otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke
dalam susunan saraf pusat.
Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus
limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah
sistemik.
Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara
retrograd toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan
autonom. Toksin yang mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus
motorik batang otak kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf
inhibitor (Soedarmo, IDAI).
Tetanus lokal
Pada bentuk ini, penderita biasanya mempunyai antibodi terhadap toksin tetanus
yang masuk ke dalam darah, namun tidak cukup untuk menetralisir toksin yang
berada di sekitar luka.
Tetanus sefal
Merupakan bentuk tetanus lokal yang mengikuti trauma pada kepala. Otot-otot
yang terkena adalah otot-otot yang dipersarafi oleh nukleus motorik dari batang
otak dan medula spinalis servikalis.
Ascending Tetanus
Tetanus umum
Pada keadaan ini toksin melalui peredaran darah masuk ke dalam berbagai otot
dan kemudian masuk ke dalam SSP. Penyakit ini biasanya didahului trismus
kemudian mengenai otot muka, leher, badan dan terakhir ekstremitas. Hal ini
disebabkan panjang sistem persarafan setiap tempat berbeda-beda, yang paling
pendek adalah yang mengurus otot-otot rahang, kemudian secara berurutan
mengenai daerah lain sesuai urutan panjang saraf (Udwadia FE, 1993).
1. Jenis toksin
Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf
pusat, yaitu dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti
glisin, Gamma Amino Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA
adalah neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi
mencegah pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah
sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara spesifik
menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan
cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis (Udwadia
FE, 1993).
Rasa sakit
Fungsi Luhur
Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar
biasanya
Kaku kuduk:
Hasil pemeriksaan:
Leher dapat bergerak dengan mudah, dagu dapat menyentuh sternum, atau fleksi
leher normal Adanya rigiditas leher dan keterbatasan gerakan fleksi leher kaku
kuduk
Brudzinski I:
Cara : Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan
dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang satu lagi
sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan
kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada.
Hasil Pemeriksaan :
Kernig :
Pada pemeriksaan ini , pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada
persendian panggul sampai membuat sudut 90 derajat. Setelah itu tungkai bawah
diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk sudut lebih dari 135
derajat terhadap paha. Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang
dari sudut 135 derajat, maka dikatakan kernig sign positif.
Brudzinski II:
Hasil Pemeriksaan :
Bila timbul gerakan secara reflektorik berupa fleksi tungkai kontralateral pada
sendilutut dan panggul ini menandakan test ini postif.
Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta ketakutan
yang menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah terangsang.
Spasme otot–otot laring dan otot pernapasan dapat menyebabkan gangguan
menelan, asfiksia dan sianosis. Retensi urine sering terjadi karena spasme
sphincter kandung kemih.
Pada kasus yang berat mudah terjadi overaktivitas simpatis berupa takikardi,
hipertensi yang labil, berkeringat banyak, panas yang tinggi dan ariunia jantung.
1. Tetanus ringan: trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umum walaupun
dirangsang.
2. Tetanus sedang: trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang umum bila
dirangsang.
3. Tetanus berat: trismus kurang dari 1 cm dan disertai kejang umum yang
spontan.
4. Etiology
• Gram +
• Spore
• Mostly found in the horse and human feces. Or in the soil tha
contaminated with the feces
• Spread tetanospasmin toxic when infectioning
5. Clinical Manifestation
7. Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi.Tingkat
keparahan tetanus:
Kriteria Pattel Joag
1. Kriteria 1: rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot
tulang belakang
2. Kriteria 2: Spasme, tanpa mempertimbangkan frekuensi maupun derajat
keparahan
3. Kriteria 3: Masa inkubasi ≤ 7hari
4. Kriteria 4: waktu onset ≤48 jam
5. Kriteria 5: Peningkatan temperatur; rektal 100ºF ( > 400 C), atau aksila
99ºF ( 37,6 ºC).
Grading
1. Derajat 1 (kasus ringan), terdapat satu kriteria, biasanya Kriteria 1 atau 2
(tidak ada kematian)
2. Derajat 2 (kasus sedang), terdapat 2 kriteria, biasanya Kriteria 1 dan 2.
Biasanya masa inkubasi lebih dari 7 hari dan onset lebih dari 48 jam
(kematian 10%)
3. Derajat 3 (kasus berat), terdapat 3 Kriteria, biasanya masa inkubasi kurang
dari 7 hari atau onset kurang dari 48 jam (kematian 32%)
4. Derajat 4 (kasus sangat berat), terdapat minimal 4 Kriteria (kematian 60%)
Prognosa
Dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1) Masa inkubasi
Makin panjang masa inkubasi biasanya penyakit makin ringan, sebaliknya
makin pendek masa inkubasi penyakit makin berat. Pada umumnya bila
inkubasi kurang dari 7 hari maka tergolong berat.
2) Umur
Makin muda umur penderita seperti pada neonatus maka prognosanya
makin jelek.
3) Period of onset
Period of onset adalah waktu antara timbulnya gejala tetanus, misalnya
trismus sampai terjadi kejang umum. Kurang dari 48 jam, prognosa jelek.
4) Panas
Pada tetanus febris tidak selalu ada. Adanya hiperpireksia maka
prognosanya jelek.
5) Pengobatan
Pengobatan yang terlambat prognosa jelek.
6) Ada tidaknya komplikasi
7) Frekuensi kejang
Semakin sering kejang semakin jelek prognosanya.
Tetanus neonatorum mempunyai angka kematian 66%, pada usia 10-19
tahun, angka kematiannya antara 10-20% sedangkan penderita dengan usia
Sistem Skoring
Skor 1 Skor 0
Catatan : Tetanus sefalik selalu dinilai berat atau sangat berat. Tetanus
neonatorum selalu dinilai sangat berat
9. Penatalaksanaan Tetanus
Umum
Khusus (Farmakologi)
1. Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2 juta unit / hari selama 10 hari, IM.
Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit /
KgBB/ 12 jam secafa IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap
peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40
mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis
terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan
dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani,
bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi
pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan (Hamis, 1985).
2. Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG)
dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh
diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary
Bila dosis optimum telah tercapai dan kejang telah terkontrol, maka jadwal
pemberian diazepam yang tetap dan tepat baru dapat disusun. Dosis diazepam
pada saat dimulai pengobatan (setelah kejang terkontrol) adalah 20 mg/kgBB/hari,
dibagi dalam 8 kali pemberian (pemberian dilakukan tiap 3 jam). Kemudian
dilakukan evaluasi terhadap kejang, bila kejang masih terus berlangsung dosis
diazepam dapat dinaikkan secara bertahap sampai kejang dapat teratasi. Dosis
maksimum adalah 40 mg/kgBB/hari (dosis maintenance) (Krugman, 1992)..
Bila dosis optimum telah didapat, maka skedul pasti telah dapat dibuat,
dan ini dipertahan selama 2-3 hari , dan bila dalam evaluasi berikutnya tidak
Aman A. Renindra dr. Sp. Bs, Gangguan saraf Kranialis, Balai Penerbitan FKUI,
2003.
Farrar J, Hotez PJ, Junghanss T, Kang G, Lalloo D, White NJ. 2014. Manson’s
Tropical Diseases, Twenty-Third Edition. Elsevier: Philadelphia.
Murray PR, Rosenthal KS, Pfaller MA. 2013. Medical Microbiology, Seventh
Edition. Elsevier: Philadelphia.
Gilroy, John MD, et al. 1982. Tetanus in : Basic Neurology, ed.1. 982, 229-230.
Krugman Saaul, Katz L.. Samuel, Gerhson AA, Wilfert C. 1992. Infectious
diiseases of children, ed. 9 th. St Louis, Mosby, 487-490.