Anda di halaman 1dari 14

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Berdasarkan sejarahnya, masyarakat suku bajo merupakan suatu komunitas yang hidup di atas perahu,
dan biasa disebut dengan “manusia perahu”. Masyarakat suku bajo selalu membudayakan hal ini,
sehingga kehidupan mereka selalu berpindah pindah. Setelah memanfaatkan satu daerah maka mereka
akan berpidah pada daerah yang lain, barulah kemudian dimanfaatkan, dan begitu seterusnya. Hal ini
sudah menjadi tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Masyarakat suku bajo percaya bahwa laut merupakan kehidupan mereka. laut adalah ombok lao, atau
raja laut. Sehingga filosofi tersebut berakibat pada penggolongan manusia dalam suku Bajo. Suku Bajo,
dalam menempatkan orang membaginya ke dalam dua kelompok, yaitu Sama‘ dan Bagai. Sama‘ adalah
sebutan bagi mereka yang masih termasuk ke dalam suku Bajo sementara Bagai adalah suku di luar Bajo.
Penggolongan tersebut telah memperlihatkan kehati-hatian dari suku Bajo untuk menerima orang baru.
Mereka tidak mudah percaya sama pendatang baru.

Masyarakat suku bajo memiliki suatu filosofis ‘Papu Manak Ita Lino Bake isi-isina, kitanaja manusia
mamikira bhatingga kolekna mangelolana‘, artinya Tuhan telah memberikan dunia ini dengan segala
isinya, kita sebagai manusia yang memikirkan bagaimana cara memperoleh dan mempergunakannya.
Sehingga laut dan hasilnya merupakan tempat meniti kehidupan dan mempertahankan diri sambil terus
mewariskan budaya leluhur suku Bajo. Dalam suku Bajo, laki-laki atau pria biasa dipanggil dengan
sebutan Lilla dan perempuan dengan sebutan Dinda.

1.2 TUJUAN PENULISAN

Penulisan makalah ini selain bertujuan untuk menyelesaikan tugas mata kulian Antropologi, juga sebagai
bahan atau referensi pembaca khususnya mahasiswa untuk belajar dan memperluas pengetahuan
tentang masyarakat suku bajo.

1.3 RUMUSAN MASALAH

§ Nama dan Bahasa Masyarakat Suku Bajo

§ Lokasi Masyarakat Suku Bajo

§ Demografi Masyarakat Suku Bajo

§ Mata Pencaharian Masyarakat Suku Bajo


§ Organisasi Sosial Masyarakat Suku Bajo

§ Religi Masyarakat Suku Bajo

§ Kesenian Masyarakat Suku Bajo

§ Sistem Pengetahuan Masyarakat Suku Bajo

§ Peralatan Hidup Masyarakat Suku Bajo

§ Perubahan Masyarakat Suku Bajo

BAB II PEMBAHASAN

2.1 NAMA DAN BAHASA

Bajo berasal dari nama seorang leluhur mereka. Yang sangat hebat dalam melaut, dan hebat juga dalam
bercocok tanam. Kemudian kampung Karang Bajo adalah nama wilayah keturunan dari Bajo.
Konon Suku Bajo berasal dari Laut Cina Selatan. Versi lain menyebutkan nenek moyang mereka berasal
dari Johor, Malaysia. Mereka keturunan orang-orang Johor atau keturunan Suku Sameng yang ada di
semananjung Malaka Malaysia yang diperintahkan raja untuk mencari putrinya yang kabur dari istana.
Orang-orang tersebut mengarungi lautan ke sejumlah tempat sampai ke Pulau Sulawesi. Kabarnya sang
puteri berada di Sulawesi, menikah dengan pangeran Bugis kemudian menempatkan rakyatnya di daerah
yang sekarang bernama BajoE. Sedangkan orang-orang yang mencarinya juga lambat laun memilih
tinggal di Sulawesi, enggan kembali ke Johor. Keturunan mereka lalu menyebar ke segala penjuru wilayah
Indonesia semenjak abad ke-16 dengan perahu. Itulah sebabnya mereka digolongkan suku laut nomaden
atau manusia perahu (seanomedic).

Asal-usul suku Bajo sesungguhnya dari pulau Sulawesi. Selain menguasai bahasa daerah setempat,
mereka juga berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Bajo, serumpun dengan bahasa Bugis –
Sulawesi Selatan. Di mana dua atau tiga warga Bajo berkumpul, mereka diwajibkan menggunakan
bahasa Bajo. Kecuali kalau berada di antara atau bersama warga penduduk setempat. Mereka adalah
orang pelaut yang tidak bisa hidup di gunung. Bajo, identik dengan air laut, perahu, dan permukiman dia
atas air laut. Bajo artinya mendayung perahu dengan alat yang disebut bajo.

2.2 LOKASI MASYARAKAT SUKU BAJO

Dahulu kala masyarakat Bajo kerap berpindah-pindah dari satu tempat ke temat lainnya mencari sumber
kehidupan seperti masyarakat gipsy atau nomaden. Namun saat ini meskipun masih ada yang
meneruskan tradisi berpindah tempat, sebagian lainnya memilih menetap di lokasi tertentu dengan pola
hidup yang sangat sederhana. Salah satu lokasi menetap yang dipilih suku ini ada di Pulau Kaledupa,
Wakatobi. Suku Bajo yang terletak di kepulauan Wakatobi – Sulawesi Tenggara. Suku Bajo yang mendiami
kabupaten Wakatobi ini diduga hadir di wilayah ini sekitar abad XVI. Dikatakan mereka berasal dari
daerah China Selatan. Mereka termasuk suku bangsa Proto Malayan yang datang ke wilayah Asia
Tenggara ini sejak 2000 tahun Sebelum Masehi. Mereka sempat bermukim di daratan Indochina dan
bermigrasi ke daerah Semenanjung Malaysia dan akhirnya menyebar ke seluruh wilayah Asia Tenggara,
termasuk ke wilayah mereka sekarang ini di Sulawesi Tenggara. Selain di Sulawesi Tenggara pemukiman
orang Bajo juga banyak di daerah-daerah lain di Sulawesi.

Perkampungan Suku Bajo juga ada di Desa Bajo Kabupaten Boalemo memiliki daya tarik untuk
menjaring wisatawan. Tinggal di rumah Suku Bajo, ikut melaut lalu menjual ikan di Tempat Pelelangan
Ikan (TPI) di Desa Taulo, Kecamatan Mananggu atau melihat bagaimana cara Suku Bajo membudidayakan
lobster dan sejumlah ikan di tambak terapung, bisa menjadi kegiatan menarik buat wisatawan yang biasa
hidup di perkotaan. Belum lagi budaya masyarakat Suku Bajo, seperti perkawinan dan acara selamatan.
Adat Perkawinan masyarakat Suku Bajo, saat malam pertama, biasanya pasangan suami istri baru, di
lepas ke laut dengan perahu. Mereka menghabiskan malam pertama di atas perahu. Ini merupakan
tradisi yang sangat unik.

2.3 DEMOGRAFI MASYARAKAT SUKU BAJO

Suku Bajo (Bajau) tersebar di beberapa daerah di Sulawesi Tenggara, selain di pulau Kabaena populasi
suku Bajo terdapat juga di pulau Wakatobi. Persebaran Suku Bajo di pulau Kabaena antara lain
kecamatan Kabaena Barat (desa Baliara Laut yang terdiri dari dusun Bambanipa Laut dan dusun Tanjung
Malake, desa Baliara kepulauan dan desa Sikele yang terdiri dari dusun Tanjung Perak, dusun pulau
Sagori dan dusun pulau Mataha). Sementara di kecamatan Kabaena Selatan tersebar di desa Batua dan
desa Pangkalero dan di kecamatan Kabaena Utara terdiri dari desa Mapila.

Sejak lama, masyarakat suku Bajo telah menempati wilayah pesisir pulau Kabaena ini, hidup dengan
kearifan dan budaya mereka sendiri. Laut adalah tumpuan utama mereka dalam memenuhi kebutuhan
hidup ratusan orang anggota komunitas mereka dari tahun ke tahun.

Walaupun suku Bajo tersebar di beberapa pulau sekitarnya, tapi hampir tidak terdapat perbedaan
dengan suku-suku bajo di daerah lain, masyarakat Bajo di wilayah ini hidup berdampingan dalam satu
komunitas mereka dan menempati wilayah yang sedikit terpisah dengan komunitas lain, meskipun
mereka secara administrasi pemerintahan dalam satu kesatuan dengan penduduk asli masyarakat
Kabaena di desa ini. Rumah-rumah yang mereka huni secara keseluruhan berada di atas laut sehingga
membuat komunitas suku lain agak sulit melakukan interaksi sengan mereka dalam kehidupan sehari-
hari. Belum bisa dipastikan apa yang menyebabkan mereka sedikit menutup diri dengan komunitas lain.

Jumlah penduduk suku Bajo di Kepulauan Wakatobi kini 12 ribu orang, yang tersebar di beberapa
kampung. Selain Mola Selatan, ada Desa Mantigola dan Sampela di Pulau Kaledupa serta Desa
Lamanggau di Tomia. Mola terbanyak penduduknya, 7.000 orang. Kampung ini juga paling “modern”
dibanding kampung Bajo lain. Beberapa rumah terbuat dari tembok, sebagian beratap seng,
menunjukkan sisa-sisa “kejayaan” mereka.

Suku Bajo memang tak terpisahkan dari laut. Sejak dulu, mereka dikenal sebagai pelaut ulung, gemar
mengarungi lautan Nusantara. Sejak puluhan tahun lalu, para orang tua mereka mendapat berkah dari
hasil laut perairan ini. Mereka bisa menangkap ikan dan penyu di mana pun tanpa larangan.

Populasi masyarakat yang mendiami wilayah pesisir kabupaten wakatobi Sulawesi Tenggara merupakan
yang terbesar diseluruh wilayah pesisir Indonesia. Khusus di Kota Wangiwangi, jumlah populasi suku bajo
mencapai sekitar 20.000 jiwa. Diderah lain, seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan, dalam
satu komunitas suku bajo paling banyak sekitar 3000 hingga sekitar 5000 jiwa.

2.4 MATA PENCAHARIAN

Mata pencaharian utama suku Bajoe adalah mencari ikan dengan cara yang masih terbilang tradisional,
seperti memancing, memanah, dan menjaring ikan. Ikan-ikan tersebut nantinya dijual kepada penduduk
sekitar pesisir atau pulau terdekat. Kehidupan Suku Bajoe memang masih terbilang sangat sederhana.
Mendirikan pemukiman tetap pun mungkin tak terpikir oleh mereka apabila tidak dihimbau oleh
Pemerintah setempat.

Kegiatan melaut untuk mencari ikan adalah rutinitas utama mereka seiap harinya. Dari subuh mereka
telah berangkat melaut untuk mencari ikan sampai pada siang hari, sehingga apabila pagi hari
pemukiman mereka terlihat sepi, hanya anak-anak yang berada di rumah. pemukiman ini nanti

terlihat ramai ketika siang hari sampai sore hari, kerana mereka telah kembali dari melaut.

http://indonesia.travel/public/media/images/upload/article/Suku%20Bajoe%20%28Resize
%29%20%282%29.jpg

Beberapa suku Bajoe bahkan sudah mengenal teknik budidaya produk laut tertentu, misalnya lobster,
ikan kerapu, udang, dan lain sebagainya. Mereka menyebut tempat budidaya sebagai tambak terapung
yang biasanya terletak tak jauh dari pemukiman. Sebagian kecil masyarakat suku Bajoe bahkan sudah
membuat rumah permanen dengan menggunakan semen dan berjendela kaca. Anak-anak Suku Bajoe
juga sudah banyak yang bersekolah, bahkan ada yang sampai perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan
bahwa kesadaran mereka tentang pentingnya pendidikan sudah mulai terbangun.

Suku Bajoe yang mendapat sebutan sea nomads atau manusia perahu karena sejak zaman dahulu
mereka adalah petualang laut sejati yang hidup sepenuhnya di atas perahu sederhana. Mereka berlayar
berpindah-pindah dari wilayah perairan yang satu dan lainnya. Perahu adalah rumah sekaligus sarana
mereka mencari ikan di luas lautan yang ibaratnya adalah ladang bagi mereka. Ikan-ikan yang mereka
tangkap akan dijual kepada penduduk di sekitar pesisir pantai atau pulau. Inilah asal mula mereka
disebut sebagai manusia perahu atau sea nomads. Kini mereka banyak bermukim di pulau-pulau sekitar
Pulau Sulawesi, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara, Maluku, hingga Papua. Persebaran suku Bajoe di
beberapa daerah di Nusantara tentunya terjadi karena cara hidup mereka yang berpindah-pindah dan
berlayar dengan perahu.

2.5 ORGANISASI SOSIAL


Dalam masyarakat suku bajo, terdapat beberapa jenis perkawinan, yakni :

Perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan peminangan (Massuro)

Perkawinan jenis ini berlaku secara turun-temurun bagi masyarakat Suku Bajo yang bersifat umum, baik
dari golongan bangsawan maupun masyarakat biasa. Perbedaannya hanya dari tata cara pelaksanaannya.
Bagi golongan bangsawan melalui proses yang panjang dengan upacara adat tertentu, sedangkan
masyarakat awam berdasarkan kemampuan yang dilaksanakan secara sederhana.

Perkawinan Silaiyang ( Kawin Lari)

Perkawian yang dilaksanakan tidak berdasarkan peminangan akan tetapi kedua belah pihak melakukan
mufakat untuk lari rumah penghulu atau kepala kampung untuk mendapat perlindungan dan selanjutnya
diurus untuk dinikahkan.

Dalam masyarakat Suku Bajo, peristiwa Silaiyang (melarikan diri untuk dinikahkan) adalah perbuatan
yang mengakibatkan “pakayya” bagi keluarga perempuan. Dahulu peristiwa semacam ini bagi pihak
perempuan yang disebut “nggai ia” selalu berusaha untuk menegakkan harga diri atau “pakayya” dengan
cara membunuh lelaki yang melarikan anak gadisnya (anaknya). Namun, sekarang ini menurut ketentuan
adat, apabila keduanya telah berada di rumah anggota adat atau penghulu (pemerintah) maka ia tidak
bisa diganggu lagi. Penghulu atau anggota adat harus berusaha dan berkewajiban mengurus dan
menikahkannya.

Untuk maksud tersebut di atas diadakanlah komunikasi kepada orang tua perempuan untuk dimintai
persetujuannya. Tetapi sering juga terjadi orang tua dan keluarga pihak perempuan tidak mau memberi
persetujuannya, karena merasa dipermalukan (adipakaiya). Bahkan orang tua yang dipermalukan
(dipakaiya) itu menganggap anaknya yang dilarikan itu telah meninggal dunia dan tidak lagi diakui
sebagai anaknya. Apa bila hal ini terjadi maka jalan lain yang ditempuh adalah pihak adat atau penghulu
menikahkannya dengan istilah Wali- Hakim.

Akan tetapi walaupun keduanya telah dinikahkan, hubungan antara keluarga laki-laki dan perempuan
tetap berbahaya. Oleh karena itu selama keduanya belum diterima kembali untuk rujuk yang disebut
“sipamapporah) (meminta maaf), maka laki-laki yang membawa lari gadis tersebut harus tetap berhati-
hati dan berupaya menghindar untuk bertemu orang tua dan keluarga dari pihak perempuan.

Perkawinan Menurut Usia

Telah diketahui, bahwa usia perkawinan diatur dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, yaitu usia 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Hal ini dimaksudkan agar
kedua calon mempelai tersebut memiliki kematangan dalam berumahtangga, agar dapat memenuhi
tujuan luhur dari suatu perkawinan yaitu mendapat keturunan yang baik dan sehat.
Dahulu, usia perkawinan tidak ada pembatasan sehingga sering terjadi anak di bawah umur dinikahkan
(nekke ana’-ana’). Tetapi mereka berdua masih tetap tinggal di rumah orang tua masing-masing. Dan
nanti keduanya akil baliq (menanjak dewasa) barulah dipertemukan untuk hidup sebagai suami isteri. Hal
seperti ini masih berlaku hingga akhir abad ke-19.

Perkawinan yang Dilarang

Sejak dahulu adat yang berlaku dalam masyarakat Suku Bajo melarang perkawinan antara dua orang
(laki-laki dan perempuan) yang masih memiliki hubungan darah yang dekat, seperti :

- Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurunkannya (ibu/nenek) baik melalui ayah
maupun ibu.

- Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurun dirinya (anak/cucu/cicit) termasuk
keturunan anak wanita

- Seorang pria dilarang kawin dengan wanita dari keturunan ayah atau ibu (saudara kandung / anak
dari saudara kandung)

- Seorang pria dilarang kawin dengan wanita saudara dari yang menurunkan (saudara kandung
ayah/saudara kandung ibu/saudara kakek atau nenek baik dari ayah maupun dari ibu).

Perkawinan Duduk ( Sitingkoloang )

Perkawinan ini terjadi apabila salah satu pihak, baik laki-laki atau pihak perempuan pergi kerumah
orangtua laki-laki atau perempuan guna menyerahkan dirinya kepada keluarga laki-laki atau
perempuan.Karena laki-laki atau perempuan sangat cinta sehingga dia memberanikan diri untuk
menyampaikan kedatanganya bahwa dia sangat sayang.Untuk maksud ini dari pihak orangtua
memberikan saran agar masing-masing pihak dapat meluangkan waktunya untuk musyawarah
(sitummu).Perkawinan ini masih berlaku di Masyarakat Bajo.

2.6 RELIGI

Pada awalnya, Suku Bajo memeluk kepercayaan animisme dan agama Hindu. Namun seiring ajaran
agama Islam masuk yang dibawa oleh Sunan Prapen (cucu Sunan Giri), banyak masyarakat Bajo
berpindah agama. Kerajaan Anak Agung Gedhe Agung yang menganut agama Hindu yang ketika itu
berkuasa di pulau Lombok merasa eksistensinya terganggu, takut apabila banyak masyarakat Bajo
memeluk Islam yang nantinya bisa dan mampu menggulingkan kekuasaan kerajaan.

Filsafat kehidupan suku Bajo di Bayan menilai antara kebudayaan dan Agama Islam mempunyai korelasi
inklusif. Tidak adanya perbedaan, antara kebudayaan dan Agama Islam, semua itu disingkronisasi oleh
peradaban.Kebudayaan merupakan keseluruhan dari hasil budidaya manusia baik cipta, karsa dan rasa.
Kebudayaan berwujud gagasan/ide, perilaku/ aktivitas dan benda-benda. Sedangkan peradaban adalah
bagian-bagian dari kebudayaan yang tinggi, halus, indah dan maju

Masyarakat suku Bajo Bayan memiliki filosofi yang sering disebut dengan Wetu Telu. Makna dari kata
Wetu adalah Keluar, sedangkan Telu adalah Tiga. Jadi Wetu Telu adalah Keluarnya tiga Filosofi kehidupan
suku Bajo, yaitu Beranak (diperuntukkan manusia, dan hewan mamalia), Bertelur (diperuntukkan unggas
dan ikan) dan Tumbuh (diperuntukkan tumbuh-tumbuhan).

Wetu Telu juga mempunyai tiga fase dari kehidupan makhluk hidup, yaitu fase pertama kelahiran, fase
kedua adalah kehidupan, fase ketiga adalah kematian. Ketiga fase ini memiliki pola hubungan yang sama,
dan setiap individu manusia memiliki perbedaan dinamika kehidupan yang berbeda. Khususnya manusia
yang diberikan akal dan pikiran oleh Allah SWT akan mempertanggung jawabkan apa yang telah
dilakukannya selama hidup Dari ketiga makna ini mempunyai arti bahwa manusia merupakan satu
kesatuan dari alam, yang tersirat dari filsafat kosmologi kehidupan dan budaya.

Seperti halnya masyarakat Jawa, suku Bajo juga mengenal adanya dewi padi. Jika orang Jawa mengenal
Dewi Sri sebagai dewi kesuburan (dewi padi), maka orang Bajo mengenal dewi padi dengan sebutan Inak
Sariti. Suku bajo hanya menanam varietas padi lokal dari golongan padi bulu. Hal ini dikarenakan
varietas padi ini adalah varietas padi yang pertama kali ditanam di bangkat, sawah orang Bayan pertama
kali. Selain itu, masyarakat percaya bahwa jika tidak menaman padi bulu, maka panen berikutnya akan
gagal. Masyarakat setempat juga lebih menyukai varietas ini dikarenakan varietas padi ini menghasilkan
nasi yang lebih pulen dan lebih enak

Tradisi bertani di desa ini merupakan sebuah gambaran akan pentingnya menghargai makna dan nilai-
nilai positif yang terkandung, untuk selalu dijaga dan dihormati tanpa berlebihan. Masyarakat desa hidup
dan masih berpegang teguh pada aturan adat yang mengatur segala bentuk hubungan antara manusia
dengan Tuhan, sesama manusia maupun dengan makhluk yang lain serta lingkungan sekitar. Dan disisi
lainnya sangat menghargai dan menjunjung tinggi atas nilai kehidupan. Demikianlah kearifan lokal yang
dimiliki kampung adat Sasak. Sebagian kecil kearifan ini dapat kita refleksikan sebagai bentuk kekuatan
bangsa kita

2.7 KESENIAN

A. TARIAN
Umumnya tarian tradisional masyarakat suku Bajo hampir sama dengan tarian suku bugis,buton,mandar
dan toraja.Ada dua tarian yang lumrah di kalangan Suku Bajo yakni :

Tarian Manca

Tarian Manca adalah salah satu tarian yang sangat populer dikalangan masyarakat Bajo.Tarian ini
dilakukan pada saat ada pesta pernikahan yang resmi (Massuro). Biasanya tarian ini dibawakan oleh
sepasang pamanca (tukang manca) terdiri dari dua orang yang masing-masing saling membawa peddah
(pedang). Tarian ini sudah merupakan turun temurun dari nenek moyang mereka.Si pamanca sudah
terlatih sejak kecil,sehingga gerak badannya sangat lentur sesuai dengan irama sarroni/sulleh(seruling)
dan gandah (gendang). Manca bagi masyarakat suku bajo melambangkan kesatriaan sejati karena tarian
ini dianggap sebagai bekal untuk menjaga diri. Para pamanca saling bergantian pabila salah satu dari
sipamanca lelah yang lain dapat (nyamboh) istilahnya menyambung tarian.Umumnya manca dipentaskan
saat pengantin laki-laki diantar kerumah wanita(lekka). Nah setelah pengantin laki-laki tiba dirumah
perempuan,di depan pintu sudah berdiri salah satu anggota keluarga yang sudah dekat atau akrab
dengan pengantin laki-laki atau perempuan istilah ini disebut nyambo'. Kalau pengantin laki-laki disebut
nyambo' lille sedangkan pengantin perempuan disebut nyambo' dinde. Manca diiringi dengan alat musik
seruling(sarroni),goh(gong),dan gandah (gendang).

Lebih serunya lagi para pemanca dengan keterampilan seni beladirinya,tidak ada yang luka walaupun
menggunakan pedang.Kita saja yang menonton sangat ketakutan tetapi hal ini sudah terbiasa bagi para
pemanca.

2. Sile' kampoh ( silat kampung )

Silat kampung merupakan tradisi adat istiadat suku bajo.Ini bersinambungan dengan manca artinya
semua jurus-jurus yang didapat dari silat kampung diterapkan dalam manca.Silat kampung ini tidak
sembarangan orang untuk mempelajarinya.Syaratnya harus sudah cukup umur.Untuk mempelajari silat
ini dibutuhkan empat minggu ini sudah sempurna.Prinsipnya silat adalah jalan hidup yang meliputi
berbagai aspek kehidupan seorang manusia.

Fungsi dari silat ini adalah untuk menjaga diri.Ada sebuah ungkapan yang menyatakan "Bukan orang Bajo
yang meninggal dibunuh tanpa melawan".Makanya setiap pemuda yang berkeinginan untuk pergi
meninggalkan kampung halamannya tidak diperkenankan oleh orangtuanya sebelum dia mempelajari
silat.

B. PANDUAN SILAT
Silat bagi Suku bajo berlandaskan pada akidah dan syariah.Maksudnya bagi siapa yang ingin mempelajari
ilmu silat harus terlebih dahulu membetulkan tata cara sholat yang baik.Karena ilmu silat ini ada
kaitannya dengan gerak-gerik sholat.

Ada beberapa syarat-syarat yang perlu diperhatikan yakni

1. Menyediakan pengeras seperti kain putih

2. Tidak boleh meninggalkan sembahyang.

3. Melakukan gerak silat membuka atau menutup gelanggang setiap kali memula atau menamatkan
latihan silat.

4.Guru memainkan peranan penting di dalam menyampaikan sesuatu ilmu bagi menjamin kesahihan dan
kesempurnaan ilmu tersebut. Di dalam ilmu persilatan, guru adalah lambang kesempurnaan.

5. Berikrar untuk tidak menggunakan silat dalam urusan yang tidak bermanfaat.

2.8 SISTEM PENGETAHUAN

Masyarakat Bajo memiliki pengetahuan alamiah-kontekstual yang dibangun dari dan atas dasar
pengalaman alamiah-kontekstual sehari-hari. Hal ini bermanfaat dalam menjalani kehidupan mereka
sehari-hari sebagai nelayan. Beberapa pengetahuan itu, seperti peredaran bulan, musim dan peristiwa
pasang surut air laut, termasuk ilmu perbintangan secara tradisional dan sistem penanggalan qamariah
(yang dihitung berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi) dan penanggalam syamsiah (yang
dihitung berdasarkan peredaran bumi mengelilingi matahari).

Pengetahuan masyarakat Bajo dilihat dari perspektif sosial/budaya antara lain direfleksikan dalam
sebuah pandangan yang sejalan dengan teori dan fenomena sosial dalam kehidupan sehari-hari, yaitu
sama dan bagai. Selain itu, orang Bajo dapat diidentifikasi dari bahasanya, yaitu baong sama (bahasa
Bajo) yang dapat menyatukan mereka dalam suatu komunitas besar masyarakat Bajo meskipun asal dan
tempat tinggalnya berbada-beda daerah.

Ada tiga sumber utama nilai-nilai yang membentuk sistem kepercayaan dan nilai-nilai transendental
dalam masyarakat Bajo, yaitu ajaran-ajaran agama Islam, keyakinan kepada keberadaan dan kekuatan
leluhur atau makhluk gaib yang dapat mendatangkan kebaikan/rezeki dan bencana/penyakit dan
keyakinan kepada sanro atau dukun yang dapat berdoa untuk kebaikan, menolong orang susah, menolak
bencana dan menyembuhkan penyakit.
Ada dua analogi atau metafora sistem kehidupan masyarakat Bajo, khususnya menyangkut hubungan
antara sesama manusia serta hubungan antara manusia dengan alam semesta dalam kerangka ruang dan
waktu. Pertama, tubuh manusia sebagai simbol masyarakat suku Bajo, dimana pimpinan mereka
menempati posisi bagian kepala. Kedua, masyarakat manusia sebagai suatu simbol dari “entire Badjao
moltitude”, termasuk realitas kehidupan dan kematian. Dalam perspektif analogi yang kedua tersebut,
Umboh merupakan pimpinan/kepala yang memiliki otoritas, sebagai pusat koordinasi, dan kepala-
leluhur. Dalam hubungan ini, tubuh manusia menjadi cermin dari alam dan menjadi suatu medium
dalam mana dan melaluinya manusia mengorientasi dan mengorganisasikan kosmos. Rumah sebagai
tempat tinggal adalah sebuah kosmos kecil, menjadi meniatur kosmos yang lebih besar, dan perbedaan
rumah sebagai kosmos kecil mudah dikontrol dan diatur, sedangkan alam semesta sebagai kosmos yang
lebih besar tidak mudah dikontrol dan diatur

Orang Bajo memiliki bendera sendiri yang disebut ula-ula yang dapat menjadi identitas komunitas dan
diri mereka. Pada ula-ula terdapat gambar manusia dengan kombinasi warna merah putih sebagai simbol
kehidupan masyarakat Bajo. Dalam masyarakat Bajo, tubuh manusia menjadi wacana dari struktur suatu
masyarakat dan merupakan suatu metafora untuk memahami alam semesta dalam kerangka ruang dan
waktu.

2.9 PERALATAN HIDUP

Alat-alat tersebut selain untuk menangkap ikan juga digunakan untuk aktivitas sehari-hari, misalnya
sampan kaloko. Setelah datangnya era modernisasi alat tangkap, alat-alat tersebut saat ini hanya tinggal
cerita saja. Beberapa alat tangkap yang terlacak adalah Timbalu, Sampan Kaloko, Bagu, dan Ngambai.

1. Timbalu

Ikan tuna atau yang dalam bahasa Bajo disebut bangkunes, merupakan hasil laut yang sudah sejak lama
menjadi target nelayan Bajo. Dahulu, Suku Bajo menangkap ikan tuna menggunakan pancing ulur.
Bersama dengan pancing, digunakan alat bantu yang disebut dengan timbalu. Timbalu adalah alat bantu
nelayan dalam memancing ikan tuna. Konstruksi timbalu berupa bambu yang dipasang melintang dan
diikat kuat di atas sampan. Senar dipasang pada bambu tersebut dengan jumlah antara 4-6 senar.
Sedangkan pada masing-masing senar dipasang mata kail dengan jumlah bervariasi, antara 2-4 buah
mata kail. Saat menggunakan timbalu, sampan biasanya dalam posisi diam atau dikayuh perlahan.

2. Sampan Kaloko

Sampan Kaloko merupakan alat utama yang membantu dalam kehidupan sehari-hari Suku Bajo, mulai
dari transportasi hingga menangkap ikan. Sampan kecil tanpa layar dengan panjang tidak lebih dari 5
meter ini dahulu menjadi identitas Suku Bajo. Sampan ini lebih ramping dari sampan yang banyak
dijumpai pada masa kini. Sampan Kaloko digunakan Suku Bajo untuk menangkap ikan cakalang dengan
mengandalkan dayung dan kekuatan tangan untuk mengejar kumpulan burung yang dipercaya sebagai
tanda berkumpulnya ikan cakalang. Konstruksi rumah Suku Bajo yang berada di “atas laut” dan tidak
adanya jembatan penghubung antar rumah pada masa itu membuat sampan ini memiliki fungsi yang
penting.

3. Bagu

Bagu adalah tali pancing yang terbuat dari serat pohon bagu. Berdasarkan informasi yang dihimpun,
pohon bagu banyak terdapat di daerah Buton. Pohon ini tinggi menjulang dan kaya manfaat. Kayunya
bisa digunakan untuk bahan baku pembuatan rumah, daunnya bisa digunakan untuk sayur mayur, dan
seratnya bisa digunakan untuk tali pancing. Saat ini, pohon ini sudah sangat langka dan sulit ditemukan.

4. Ngambai

Ngambai adalah istilah bahasa Bajo untuk menggambarkan proses penangkapan ikan dengan sistem
kerjasama menggunakan jaring. Target penangkapan adalah semua jenis ikan. Sekelompok nelayan harus
dipecah dalam sistem ini, ada kelompok yang memasang jaring dan ada kelompok yang menggiring ikan.
Modernisasi ternyata memiliki pengaruh pada suatu komunitas masyarakat. Salah satunya perubahan
alat tangkap ikan yang yang ada di Suku Bajo. Alat-alat tangkap yang diuraikan di atas saat ini hanya
menjadi cerita saja. Masuknya mesin membuat daya jelajah nelayan semakin luas, alat tangkap yang
semakin maju membuat ikan lebih mudah tertangkap sehingga mereka meninggalkan alat-alat tangkap
yang dianggap konvensional dan ketinggalan jaman.

2.10 PERUBAHAN

Di Kabupaten Bone, permukiman komunitas suku Bajo mulai berubah. Awalnya, mereka banyak
bermukim di laut, dan saat ini ada kecendrungan bergeser ke darat. Kajian ini dilakukan untuk meninjau
apakah perubahan tersebut terkait interaksi dengan suku Bugis serta kemungkinan adanya perubahan
bentuk hunian suku Bajo di Kelurahan BajoE Kabupaten Bone. Beberapa landasan teori yang digunakan
dalam penelitian ini antara lain teori Rapoport (2005), tentang culture, design and architecture untuk
mengkaji perubahan bentuk hunian suku Bajo ditinjau dari sisi budaya. Teori transformasi kebudayaan
oleh Kleden (1987), dapat mempertegas adanya akulturasi kebudayaan dalam lingkungan permukiman
suku Bajo. Teori Turner (1972), tentang keberadaan rumah yang merupakan suatu proses, bisa
diterjemahkan pada permukiman suku Bajo terkait dengan adanya perubahan bentuk hunian. Dan
beberapa landasan teoritik lainnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif dan kuantitatif secara bersama-sama. Metode ini dipakai karena kemungkinan ada data yang
hanya didapat dari sekelompok orang yakni tentang persepsi, nilai-nilai budaya dan adat istiadat.
Sementara data lainnya bisa melalui kuisioner pada sejumlah sampel yang dipilih. Adapun analisis yang
digunakan adalah deskripsi pada data-data kualitatif dengan menyusun, mengelompokkan dan
mengaitkannya menjadi sebuah uraian. Hasil analisa ini kemudian dirangkai dan dievaluasi untuk
menemukan makna dan memberikan tanggapan atas temuan yang diperoleh yaitu perubahan bentuk
hunian suku Bajo akibat adanya interaksi dengan suku Bugis di Kabupaten Bone. Tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini yakni ingin mengetahui perubahan bentuk hunian suku Bajo akibat pengaruh
interaksi dengan suku Bugis. Selain itu, penelitian ini bertujuan ingin mengetahui wujud akulturasi
budaya yang terjadi di permukiman suku Bajo. Hasil yang telah dicapai dalam penelitian ini adalah
teridetifikasinya perubahan bentuk hunian suku Bajo akibat pengaruh interaksi dengan suku Bugis di
Kelurahan BajoE Kabupaten Bone.

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Bajo berasal dari nama seorang leluhur mereka. Yang sangat hebat dalam melaut, dan hebat juga dalam
bercocok tanam. Kemudian kampung Karang Bajo adalah nama wilayah keturunan dari Bajo.

Suku Bajoe lahir dan hidup di laut. Mereka memiliki ketangguhan untuk mengarungi lautan sebagai
bagian dari sejarah dan jati dirinya.
Suku Bajo (Bajau) tersebar di beberapa daerah di Sulawesi Tenggara, selain di pulau Kabaena populasi
suku Bajo terdapat juga di pulau Wakatobi.

Mata pencaharian utama suku Bajoe adalah mencari ikan dengan cara yang masih terbilang tradisional,
seperti memancing, memanah, dan menjaring ikan

Pada awalnya, Suku Bajo memeluk kepercayaan animisme dan agama Hindu. Namun seiring ajaran
agama Islam masuk yang dibawa oleh Sunan Prapen (cucu Sunan Giri), banyak masyarakat Bajo
berpindah agama.

Masyarakat Bajo memiliki pengetahuan alamiah-kontekstual yang dibangun dari dan atas dasar
pengalaman alamiah-kontekstual sehari-hari.

3.2 SARAN

Makalah ini dibuat sebagai bahan belajar pembaca khususnya mahasiswa dan memperluas wawasan
mengenai masyarakat suku bajo, oleh karena itu sebaiknya makalah ini digunakan sebagaimana fungsi
seharusnya.

DAFTAR PUSTAKA

http://protomalayans.blogspot.com/2012/11/suku-bajo-kabaena-sulawesi_15.html

http://ahmilanakwajo.blogspot.com/2010/03/jenis-perkawinan-suku-bajo.html

http://dimasadityo.wordpress.com/2008/08/20/suku-bajo-dan-%E2%80%9Cno-go-area%E2%80%9D/

Aslan, La Ode Muhamad dan Nadia, La Ode Abdul Rajak. 2009. Potret Masyarakat Pesisir Sulawesi
Tenggara. Kendari : Unhalu Press.

http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com

redaksi@kabarindonesia.com

http://www.kabarindonesia.com//

Anda mungkin juga menyukai