Anda di halaman 1dari 10

Anemia Aplastik

Pendahuluan
Penyakit anemia aplastik pertama kali di deskripsikan oleh Ehrlich tahun 1888.
Ditemukan banyak pasien anemia aplastik meninggal dikarenakan proses penyakitnya yang
progresif. Dasar penyakit ini adalah kegagalan sumsum tulang dalam memproduksi sel-sel
hematopoetik dan limfopoetik, yang mengakibatkan tidak ada atau berkurangnya sel-sel darah di
darah tepi, keadaan ini disebut sebagai pansitopenia. Pada 70% kasus penyebab anemia aplastik
didapat adalah idiopatik, sedangkan sisanya diduga akibat radiasi, bahan kimia termasuk obat-
obatan, infeksi virus, dan lain-lain.2,3
Anemia aplastik merupakan penyakit yang jarang ditemukan di dunia. Angka kejadian di
Asia termasuk Cina, Jepang, Thailand dan India lebih tinggi dibandingkan dengan Eropa dan
Amenika Serikat. Insidens penyakit ini bervariasi antara 2 - 6 kasus tiap 1 juta populasi.
Penelitian yang dilakukan The International Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study di
Eropa dan Israel awal tahun 1980 mendapatkan 2 kasus tiap 1 juta populasi. Perbandingan
insidens antara laki-laki dan perempuan kira-kira 1:1, meskipun dari beberapa data menunjukkan
laki-laki sedikit Iebih sering terkena anemia aplastik. Perbedaan insidens yang mungkin terjadi di
beberapa tempat mungkin karena perbedaan risiko okupasional, variasi geografis dan pengaruh
lingkungan. Anemia aplastik terjadi pada semua umur, dengan awitan klinis pertama terjadi pada
usia 1,5 sampai 22 tahun, dengan rerata 6-8 tahun.
Anemia aplastik didefinisikan sebagai pansitopenia yang dihubungkan dengan kelainan
primer pada sumsum tulang sehingga terjadi hiposeluler. Dibutuhkan setidaknya 2 penanda pada
pemeriksan darah tepi untuk konfirmasi diagnosis, yaitu nilai hemoglobin <10gr/dL, neutrofil
<1.5 × 109/L dan platelet <5 × 109/L.
Insiden anemia aplastik di negara-negara di benua Amerika dan Eropa adalah sekitar 0,23
kasus per 100.000 penduduk per tahun sedangkan tingkat kejadian di Asia adalah 0,39 - 0,5
kasus per 100.000 penduduk atau kira-kira dua sampai tiga kali lipat lebih tinggi dari insiden di
negara-negara barat. Terdapat pola distribusi usia yang bifasik dari anemia aplastik, dengan
puncaknya pada kelompok usia 15 - 25 tahun dan puncak keduanya dengan insiden yang lebih
2

rendah pada kelompok usia diatas 60 tahun. Tidak ditemukan perbedaan insiden yang bermakna
antara jenis kelamin perempuan maupun laki-laki.

Etiologi
Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia. Akan tetapi,
kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti penyebabnya tidak diketahui.
Anemia aplastik dapat juga terkait dengan infeksi virus dan dengan penyakit lain (Tabel 1). 4,5

Tabel 1. Etiologi Anemia Aplastik


Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia)
Anemia aplastik sekunder
Radiasi
Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
Efek regular
Bahan-bahan sitotoksik
Benzene
Reaksi Idiosinkratik
Kloramfenikol
NSAID
Anti epileptik
Emas
Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya
Virus
Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa)
Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G)
Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia)
Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat)
Penyakit-penyakit Imun
Eosinofilik fasciitis
Hipoimunoglobulinemia
Timoma dan carcinoma timus
3

Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi


Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
Kehamilan
Idiopathic aplastic anemia
Anemia Aplastik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia)
Anemia Fanconi
Diskeratosis kongenita
Sindrom Shwachman-Diamond
Disgenesis reticular
Amegakariositik trombositopenia
Anemia aplastik familial
Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)
Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)

Patogenesis

Acquired Aplastic Anaemia


The pathogenesis of acquired AA
is now believed to be immune
mediated, with active destruction of
haematopoietic stem cells (HSC) by
lymphocytes, with activated type 1
cytotoxic T cells implicated. Recently,
a causal relationship between
haematopoietic stem cells (HSC)
and microenvironment has been
identified i.e. an abnormal expansion
of suppressor T cells may cause
depletion and possibly also clonal
abnormalities of HSC.12 Clinically,
it was found that a signi f icant
proportion of patients with acquired
AA, ranging from 30% to 80%, given
immunosuppressive therapy (IST)
exhibit long-lasting recovery of
peripheral blood counts supporting
the hypothesis that responders would
have immune-mediated suppression
of haematopoiesis whereas nonresponders
could either have marrow
failure caused by a primary HSC
defect or immune-mediated aplasia
4

with complete exhaustion of the


stem cell pool. A further evidence
in support of a primary immunemediated
pathogenesis of acquired
AA comes from a recent we l l -
designed study,13 signifying that
CD4+CD25+FOXP3+ regulatory T cells
are deficient in AA patients, similar
to other autoimmune disorders.
Thus, deficient regulation of T cells
could then lead to an increase of
T-bet protein levels in T cells,13
and increased interferon (IFN)-γ
production.12 Polymorphism in
cytokine genes may be associated
with an increased immune response,
including tumour necrosis factor
Tabel 1. Kriteria Camitta untuk Derajat Keparahan Anemia Aplastik1
Derajat Keparahan
Anemia Aplastik Ringan Penurunan seluleritas sumsum tulang
(hiposeluler) dan sitopenia pada pemeriksaan
darah tepi namun tidak memenuhi kriteria
anemia aplastik berat dan sangat berat
Anemia Aplastik Berat Seluleritas sumsum tulang <25%
Ditemukan setidaknya 2 dari
- neutrofil <0.5 × 109/L
- platelet <20 × 109/L
- nilai retikulosit <20 x 109/L
Anemia Aplastik Sangat Berat Memenuhi kriteria anemia aplastik berat
ditambah nilai neutrofil <0.2 × 109/L

Leukemia didefinisikan sebagai kelompok penyakit keganasan oleh karena abnormalitas genetik
pada sel hematopoietic, yang menyebabkan peningkatan proliferasi klonal yang tidak terkendali.
Peningkatan jumlah sel hematopoietic tersebut diakibatkan adanya peningkatan laju proliferasi
dan menurunnya tingkat apoptosis.
Leukemia adalah penyakit keganasan yang paling banyak ditemui pada anak-anak, dimana
leukemia merupakan 31% dari total penyakit keganasan yang terjadi pada anak usia kurang dari
15 tahun. Setiap tahunnya leukemia didiagnosis pada sekitar 3250 anak di Amerika serikat
5

dengan insiden per tahun sekitar 4,5 kasus per 100.000 anak. Leukemia limfoblastik akut
bertanggung-jawab atas 77% kasus leukemia pada anak, 11% merupakan leukemia myeloblastik
akut, 2-3% merupakan leukemia myelogenik kronis, dan hanya 1 – 2 % saja kasus leukemia
myelomonocytic juvenile.
Diagnosis penyakit leukemia akut sangat tergantung pada beberapa karakteristik klinis dan
pendekatan multidisipliner, termasuk pemeriksaan morfologi sel, imunofenotiping, sitogenetik,
dan molekular. Pada umumnya kasus, data – data yang telah dikumpulkan dari beberapa
pemeriksaan dan pemeriksaan mampu membimbing klinisi menentukan stadium dan lineage
pada kasus leukemia akut. Informasi mengena prognostik dapat diberikan oleh pemeriksaan
kromosom.1
Berdasarkan komposisinya, leukemia akut dibagi menjadi leukemia limfoblastik akut (LLA) dan
leukemia myeloid akut (LMA). Pada beberapa kasus tertentu, populasi sel blast menunjukkan
adanya gambaran atau karakteristik imunofenotiping dan imunohistokimia dari dua atau lebih
linieage (biphenotypic) atau populasi sel blast yang terdiri dari dua jenis linieage yang berbeda
(bilineal). Pada klasifikasi WHO pada tahun 2008, bersama dengan leukemia akut yang berasal
dari linieage yang ambigu, biphenotyping dan bilinieage leukemia digabungkan menjadi istilah
mixed phenotype acute leukemia (MPAL).2
Manifestasi klinis pasien dengan leukemia bifenotip akut, hampir mirip dengan pasien dengan
tipe leukemia akut lainnya. Pasien biasanya mengalami gejala-gejala seperti sering atau Nampak
lelah, sering mengalami infeksi dan tanda perdarahan.3

Morfologi sel pada MPAL


6

Gambar 1. Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang pada leukemia akut bilineal menunjukkan
adanya populasi dengan karakteristik dimorfik. Sel blast yang lebih kecil pada gambar tersebut
memiliki fenotip sel limfosit T, sedangkan sel blast yang lebih besar merupakan sel mieloblast.4

Klasifikasi Leukemia Akut


Sebelum tahun 1980, klinisi menetapkan diagnosis leukemia berdasarkan manifestasi klinis dan
karakteristik morfologi sel, seperti penampialn sitoplasmik dan ada atau tidaknya Aurer rods.
Dibantu dengan pewarnaan kimia seperti Sudan Black, Chloroacetate esterase, dan reaksi asam
Schiff.
Secara imunohistokimia, leukemia limfoblastik akut dibagi menjadi ALL sel B dan sel T. ALL
tipe sel B didefinisikan dengan adanya ekspresi paling tidak dua dari tiga petanda awal sel B,
yakni CD19, CD79a, atau CDD. Terdapat 4 kategori ALL sel B yang terdiri dari B-I hingga B-
IV berdasarkan derajat diferensiasi sel limfosit B itu sendiri, dimana kategori B-IV merupakan
kategori sel B yang paling mature. Sedangkan ALL sel T didefinisikan dengan adanya ekspresi
atau ekspresi pada membran CD3. Empat subgroup ALL sel T juga didefinisikan berdasarkan
tingkat maturitas dan diferensiasi sel T. Leukemia myeloid akut secara imunologis ditandai
dengan ekspresi petanda linieage myeloid, yakni anti-MPO, CD13, CD33, CDw65, dan/atau
CD117.5
EGIL (European Group for the Immunological Characterization of Leukemia) pada tahun 1995,
membuat sebuah sistem skoring untuk mendefinisikan biphenotype acute leukemia (BAL),
dengan disertai beberapa perubahan dengan menambahkan petanda baru yang telah tersedia.
7

BAL didefinisikan ketika didapatkan skor lebih dari dua pada kriteria mieloid dan satu pada
kriteria limfoid (Tabel 1).6

Tabel 1. Sistem skor untuk definisi biphenotype acute leukemia

Karena beberapa kelemahan dari sistem skoring EGIL, WHO pada tahun 2008 mengeluarkan
kriteria terbaru yang mengeluarkan sistem skoring, dan menghasilkan kriteria yang deskriptif
namun lebih spesifik dalam menggambarkan lebih dari satu linieage dalam satu populasi sel
blast.

Tabel 2. Kriteria dalam menetapkan linieage sel blast pada leukemia akut
8

Prevalensi dan prognosis


Kasus leukemia akut yang memenuhi kriteri EGIL untuk BAL, ditemukan tidak lebih dari 5%
dari seluruh kasus leukemia akut. Lebih jauh, leukemia akut dengan linieage yang ambigu yang
didefinisikan berdasarkan kriteria WHO 2008, didapatkan lebih jarang ditemukan, yakni hanya
3% dari total kasus leukemia.
Pada tahun 2010, van den Ancker dan kolega, mendeskripsikan seri kasus dari 517 kasus
leukemia akut yang didiagnosis pada rumah sakit antara tahun 2000 hingga 2008, yang ditandai
dengan adanya ekspresi petanda sel-B, sel T dan mieloid. Secara keseluruhan hanya 31 dari 517
(5,8%) yang memenuhi kriteria BAL berdasarkan kriteria EGIL, dan hanya 8 kasus (1,5%) yang
memenuhi kriteria WHO 2008 untuk MPAL.7
Penelitian di China, menunjukkan bahwa pasien dengan kasus biphenotypic memiliki prognosis
yang lebih buruk dibandingkan dengan pasien dengan kasus AML atau ALL yang tipikal. Selain
itu, subtipe paling banyak ditemui adalah kombinasi dari sel B/mieloid leukemia (59 – 72%),
diikuti oleh sel T/mieloid (21 – 32%), sel B/sel T dan tripel sel B/sel T/mieloid merupakan
kombinasi yang paling jarang ditemui.5
Leukemia bifenotip akut memiliki frekuensi kelainan kromosom struktural yang tinggi, termasuk
kromosom Philadelphia (Ph), penyusunan ulang kromosom melibatkan bagian 11q23 dan
abnormalitas sitogenetik yang kompleks. Pasien dengan leukemia bifenotip yang berkaitan
dengan abnormalitas kromosom memiliki prognosis yang tidak baik, terutama pasien yang
berusia kurang dari 15 tahun dan kasus dengan t(4;11) atau kromosom Philadelphia. Ekspresi
cylcin A1 dilaporkan berkorelasi dengan karakteristik morfologi myeloid dan adanya rantai berat
immunoglobulin dan gen TCR γ berkorelasi dengan karakteristik limfoid.3

Tatalaksana
Karena tidak adanya tatalaksana spesifik terhadap leukemia akut tipe bifenotip (MPAL), kunci
bagi para klinisi untuk memutuskan terapi yang akan diberikan adalah memberikan kemoterapi
diperuntukkan bagi leukemia limfoblastik akut, leukemia mieloblastik akut, atau gabungan kedua
regimen. Penelitian di Inggris yang memberikan regimen gabungan AML dan ALL, induksi
angka kematian didapatkan tinggi, yakni sekitar 25%. Sehingga muncul rekomendasi untuk
menggunakan salah satu regimen atau regimen lainnya. Pasien dengan MPAL atau BAL
umumnya memiliki sitogenetik yang tidak baik dengan ekpresis glikoprotein-p resisten terhadap
9

berbagai macam obat. Hal tersebut kemungkinan juga berkontribusi terhadap prognosis yang
buruk.
Tatalaksana yang optimal bagi MPAL belum ditegakkan dengan baik. Penelitian Matute dkk
menganalisis karakteristik dan luaran klinis dari 100 pasien MPAL. Respon terhadap terapi
dilihat pada 67 pasien. Dari 67 pasien tersebut, 27 pasien mendapatkan tatalaksana sesuai dengan
protocol untuk leukemia limfoblastik akut, 34 pasien mendapatkan tatalaksana sesuai dengan
leukemia mieloblastik akut, lima pasien mendapatkan terapi kombinasi dengan leukemia
mieloblastik dan limfoblastik akut, dan satu pasien mendapatkan hanya imatinib. Respon penuh
ditemukan pada 85% pasien yang mendapatkan terapi berdasarkan leukemia limfoblastik akut
dan 41% pada pasien yang mendapatkan terapi berdasarkan leukemia mieloblastik akut. Median
angka kesintasan adalah 18 bulan.8
Pada seri kasus di Kroasia terhadap 21 pasien dengan BAL berdasarkan kriteria EGIL, respon
penuh terjadi pada pasien yang mendapatkan regimen untuk ALL, namun hanya 60% pasien
yang mendapat regimen AML. Begitu pula dengan seri kasus oleh Anderson pada 31 pasien
dewasa menemukan bahwa angka respon sebesar 78% pada pasien mendapatkan terapi ALL
dibandingkan hanya 57% pada pasien yang mendapatkan regimen AML. Beberapa institusi telah
merekomendasikan tatalaksana MPAL atau BAL berdasarkan regimen ALL, kecuali jika dari
pemeriksaan imunohistokimia, sel blast mengekspresikan MPO secara kuat.5
10

DAFTAR PUSTAKA

1. Camitta BM. Pathogenesis and treatment of aplastic anemia. Rinsho Ketsueki.


1984;25:459–469
2. Young NS, Maciejewski J. The pathofisiology of acquired aplastic anemia. N engl J Med
1997;336:1365-72.
3. Alter BP, Young NS. The bone marrow failure syndromes. Dalam: Nathan DG, Oski FA,
penyunting. Hematology of infancy and childhood. Edisi ke-4. Philadelphia: Saunders,
1993. h. 216-37.
4. Young NS. Acquired aplastic anemia. JAMA 1999;282:271-8.
5. Issaragrisil S. Aplastic anemia: Epidemiology. Disampaikan pada kongres Internasional
society of haematology Asian Pasifik. Bangkok, 24-28 Oktober, 1999.
6. Hoffman. Hematology : Basic Principles and Practice 3rd ed. Churcil Livingstone, 2000.
7. Paquette R, Munker R. Aplastic Anemias. In: Munker R, Hiller E, et al (eds). Modern
Hematology Biology and Clinical Management 2nd ed. New Jersey: Humana Press,
2007 ;207-16.

Anda mungkin juga menyukai