Anda di halaman 1dari 2

Daging Glonggongan Berbahaya

bagi Kesehatan

Peredaran daging sapi glonggongan yang ramai jadi perbincangan masyarakat, tidak hanya
memperlihatkan kecurangan pedagang yaitu menambah berat daging secara tidak wajar. Tapi
yang sebenarnya lebih merugikan, daging glonggongan mengandung bakteri berbahaya
sehingga sangat tidak aman untuk dikonsumsi. Berdasrkan hasil penelitian, daging
glonggongan mengandung bakteri pembusuk empat kali lebih banyak disbanding daging
sehat. Selain itu juga mengandung salmonella, clostridium dan listeria yang bisa
menyebabkan penyakit diare dan keracunan bagi yang mengonsumsinya. Demikian
dijelaskan guru besar spesialis meat science Fakultas Peternakan UGM, Prof. Ir. Soeparno
PhD.“Belum lagi kalau air yang digunakan untuk mengglonggong mengandung bakteri
e.coli. Itu menambah potensi penyakit bagi yang mengkonsumsinya. Oleh sebab itu daging
glonggongan akan lebih cepat membususk karena daging basah merupakan tempat yang
sangat cocok untuk perkembangbiakan mikrobia,” kata Prof. Soeparno.

Disamping itu, lanjut Prof. Soeparno, akibat proses pengglonggongan tersebut daging
mengalami kerusakan secara fisik, kimia dan mikrobiologis. Kandungan protein dan nutrisi
lain dalam daging pun hilang sehingga kandungan gizinya jauh berkurang. Berdasarkan
penelitian diketahui, kadar protein pada daging sehat mencapai 21,08 %, sedangkan pada
daging glonggongan hanya sekitar 15,98 %.

“Penyusutan daging setelah dimasak pada daging glonggongan juga lebih besar yaitu 47 %.
Sedangkan susut masak pada daging sehat hanya 37,25 %. Demikian pula kandungan asam
laktat pada daging glonggong hanya sebesar 2.815,891 part per million(ppm), yang pada
daging normal sebesar 6.827,77 ppm.” tandas Prof. Soeparno.

Peneliti di Laboratorium Pangan Fakultas Peternakan UGM, Dr. Ir. Setiyono SU


menambahkan, daging glonggongan adalah daging yang diperoleh dari sapi yang
diglonggong. Proses glonggong dilakukan dengan cara keji yaitu memasukkan air melalui
mulut sapi secara paksa menggunakan selang dan arus air yang cukup tinggi. Selanjutnya sapi
yang pingsan akibat kemasukan air terlalu banyak dibiarkan 6-8 jam untuk memberikan
kesempatan air masuk kedalam jaringan daging.

“Volume air yang diglonggong berkisar 35 – 40 liter perekor. Dengan perlakuan tersebut,
maka air akan berifusi kedalam jaringan otot sehingga daging akan menggelembung dan
bertambah berat. Pengglonggongan biasanya dilakukan di tempat pemotongan hewan milik
perseorangan bukan Rumah Pemotongan Hewan (RPH),” jelas Setiyono.

Pengglonggongan dilakukan malam hari dan dagingnya dijual pagi buta pada keesokan
harinya, sehingga secara visual sulit diamati. Cara mengenali daging glonggongan, kata
Setiyono, biasanya daging tersebut tidak digantung saat dipajang pedagang, melainkan
diletakkan di meja atau di lantai. Sebab jika digantung akan meneteskan air.

“Daging glonggongan juga tampak lebih basah, berwarna lebih muda atau pucat, disukai
lalat, berbau anyir dan dagingnya tidak kenyal. Daging glonggongan biasanya ramai
diperbincangkan dan kerap disorot media hanya saat menjelang lebaran. Tapi sebenarnya
setiap hari ada peredaran daging tersebut. Masyarakat harus waspada,” tandas Setiyono.
(sumber: Kedaulatan Rakyat Jumat 21 November 2008)

Anda mungkin juga menyukai